Jenis Soil Transmitted Helminths

pankreas dan organ lainnya. Migrasi juga sering terjadi keluar melalui anus, mulut dan hidung Onggowaluyo, 2001. Karena gejala klinik yang ditunjukkan tidak khas, maka perlu diadakan pemeriksaan tinja untuk menegakkan diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat digunakan sebagai pedoman untuk menentukan berat tidaknya infeksi yang diderita, yaitu dengan cara menghitung jumlah telur cacing Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424MENKESSKVI, 2006. Selain itu diagnosis juga dapat ditegakkan bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung karena muntah maupun melalui tinja Sutanto et al, 2008. b. Cacing Cambuk Trichuris trichiura Penyakit yang disebabkan oleh parasit ini disebut trikuriasis. Cacing ini lebih sering ditemukan bersama-sama dengan Ascaris lumbricoide Onggowaluyo, 2001. Disebut sebagai cacing cambuk dilihat dari bentuknya yang seperti cambuk dengan bagian depan kepala yang mengecil dan bagian belakang yang membesar. Parasit ini bersifat kosmopolit atau ditemukan hampir di seluruh dunia terutama di daerah panas dan lembab seperti Indonesia. Di dunia hampir 500-900 juta orang terserang parasit ini. Prevalensi di Asia lebih dari 50, Afrika 25, dan Amerika Latin 12. Di Indonesia sendiri frekuensi penyakit ini masih cukup tinggi, terutama di daerah-daerah pedesaan yaitu antara 30-90 Widoyono, 2005. Cacing dewasa hidup di sekum dengan anteriornya seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Selain itu cacing dewasa juga dapat ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak cacing tersebar diseluruh kolon dan rektrum. Cacing betina diperkirakan dapat menghasilkan telur sebanyak 3000- 20.000 butir per hari. Telur berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Telur yang dibuahi dikeluarkan bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu di tanah yang kondusif. Tanah yang sesuai untuk parasit ini adalah tanah yang lembab dan teduh dengan suhu optimum 30 C. Telur yang matang ialah telur yang mengandung larva dan merupakan infektif Sutanto et al, 2008 . Infeksi terjadi melalui oral yaitu hospes secara kebetulan menelan telur matang yang tercemar dimakanan. Untuk perkembangan larvanya cacing tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur menjadi cacing dewasa yaitu ± 30-90 hari. Infeksi cacing cambuk biasanya tanpa gejala asimtomatis. Namun apabila terjadi infeksi berat gejala klinis yang ditumbulkan yaitu nyeri perut, diare yang diselingi sindrom disentri, anemia, prolapsus rektal, berat badan menurun, dan peradangan usus buntu apenditis Zulkoni, 2010. Sedangkan untuk penegakkan diagnosis dilakukan melalui penemuan telur dalam tinja atau menemukan cacing dewasa pada penderita prolapsus rekti pada anak Onggowaluyo, 2001. c. Cacing Tambang Ancylostoma duodenale dan Necator americanus Nama “cacing tambang” pada kedua parasit ini diberikan karena pada zaman dahulu cacing ini banyak ditemukan pada pekerja pertambangan di Eropa. Penyakit yang disebabkan oleh kedua parasit ini disebut nekatoriasis dan ankilostomiasis. Cacing ini tersebar diseluruh daerah khatulistiwa terutama pada daerah dengan kondisi lingkungan yang sesuai seperti di daerah pertambangan dan perkebunan. Diperkirakan di seluruh dunia penyakit ini menyerang 700-900 juta orang, dengan 1 juta liter darah hilang 1 orang = 1 mL darah terhisap cacing tambang Widoyono, 2005. Di Indonesia prevalensi kecacingan akibat spesies ini masih cukup tinggi, terutama di daerah pedesaan, khususnya perkebunan sekitar 40. Penyakit ini menyerang semua umur dengan proporsi terbesar pada anak Sutanto et al, 2008. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa dinding usus. Cacing betina mempunyai panjang ± 1 cm, cacing jantan ± 0,8 cm. Bentuk cacing dewasa N. Americanus biasanya seperti huruf S, sedangkan A. Duodenale menyerupai huruf C. Rongga kedua mulut jenis cacing ini besar dan di dalam ada sepasang gigi Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424MENKESSKVI, 2006. Cacing dewasa bertelur di dalam 13 atas usus halus. Cacing betina N. americanus mampu mengelurkan telur sebanyak 5000-10.000 butir per hari, sedangkan A. duodenale sebanyak 10.000-25.000 butir per harinya. Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari keluarlah larva rabdritiform. Setelah 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan mampu hidup selama 7-8 minggu di tanah Widoyono, 2005. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ini ialah tanah gembur pasir, humus dengan suhu optimum untuk N. americanus 28 -32 C, sedangkan A. duodenale lebih rendah yaitu 23 -25 C. A. duodenale lebih kuat dibandingkan N. americanus Sutanto et al, 2008. Infeksi pada manusia terjadi apabila larva filariform menembus kulit atau tertelan bersama makanan yang kurang hegienis. Infeksi cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita bisa mengalai anemia kekurangan darah. Secara klinis gejala yang ditimbulkan akibat infeksi cacing tambang antara lain ruam menonjol dan terasa gatal ground itch pada kulit tempat larva masuk, lesu, nyeri perut bagian atas, demam, batuk, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhaadap penyakit, prestasi dan produktifitas menurun serta anemia anemia hipokrom micrositer Zulkoni, 2010. Anemia terjadi karena adanya perdarahan di usus yang menyebabkan tubuh kekurangan zat besi dan rendahnya kadar protein dalam darah Onggowaluyo, 2001. Penegakkan diagnosis dilakukan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Sedangkan dalam tinja lama biasanya ditemukan sudah dalam bentuk larva. Untuk membedakan kedua spesies ini dapat dilakukan dengan biakkan dengan cara Harada- Mori Sutanto et al, 2008. Epidemiologi Soil Transmitted Helminths Epidemiologi Soil Transmitted Helminths berkaitan dengan teori segitiga epidemiologi atau Trias Penyebab Penyakit yaitu host, agen, environment. Dimana proses terjadinya penyakit disebabkan oleh adanya interaksi antara agen penyebab penyakit, manusia sebagai host penjamu, dan faktor lingkungan yang mendukung enviromental. Ketiga faktor tersebut dalam mempengaruhi kesehatan tidak berdiri sendiri, namun masing-masing saling mempengaruhi. Interaksi dapat terjadi apabila agen atau penyebab penyakit kontak dengan manusia sebagai penjamu yang rentan dan didukung oleh keadaan lingkungan. Sehingga untuk mewujudkan status kesehatan ketiga faktor tersebut harus seimbang Budiarto et al, 2002. Proses interaksi ini dapat digambarkan sebagai berikut : Sumber : Budiarto, E., Anggraeni, D. 2002. Pengantar Epidemiologi edisi 2. Jakarta : EGC. Gambar 2.1 Segitiga Epidemiologi Host Penjamu Agen Penyebab Penyakit Enviromental Lingkungan

2.2.1 Host

Host atau penjamu adalah keadaan manusia yang sedemikian bersifat sangat kompleks menjadi faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit sesuai karakteristik yang dimiliki. Faktor host yang dapat menjadi faktor risiko untuk timbulnya penyakit yaitu, genetik seperti penyakit herediter yaitu hemophilia, umur seperti usia lanjut lebih rentan untuk terinfeksi penyakit jantung dan karsinoma, jenis kelamin seperti penyakit diabetes melitus lebih rentan terjadi pada perempuan, budaya yang membentuk kebiasaan dan perilaku di masyarakat, serta gaya hidup dalam masyarakat untuk berperilaku hidup sehat. Manusia merupakan hospes definitif dari soil transmitted helmintes terutama pada spesies Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Faktor host yang dapat menjadi faktor risiko untuk timbulnya infeksi soil transmitted helmintes adalah perilaku masyarakat seperti kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan BABS, kebiasaan bermain di tanah, kebiasaan pemakaian alas kaki, dan perilaku lainnya yang memungkinkan adanya kontak langsung dengan tanah.

2.2.2 Agent

Agent merupakan faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati baik dalam jumlah banyak maupun kekurangan. Agent unsur hidup berupa patogen biologis seperti virus, bakteri, jamur, parasit, protozoa, dan lain-lainnya. Sedangkan agen unsur mati seperti fisika sinar radioaktif, kimia karbon monoksida, pertisida, obat-obatan, arsen, dan fisik benturan atau tekanan. Agent dari infeksi Soil Transmitted Helminths yang terpenting bagi manusia adalah empat spesies berikut, Ascaris lumbricoides cacing gelang, Trichuris trichiura cacing cambuk, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus cacing tambang.

2.2.3 Environment

Environmental atau lingkungan merupakan faktor penunjang terjadinya penyakit. Faktor lingkungan dibedakan menjadi tiga komponen yaitu lingkungan fisik seperti geografis dan keadaan musim, lingkungan biologis yaitu semua makhluk hidup yang berada disekitar kita yang dapat menularkan penyakit, serta lingkungan sosial ekonomi dapat berupa pekerjaan, perkembangan ekonomi, dan lain-lainya yang dapat memberi pengaruh terhadap perilaku di masyarakat Notoatmodjo, 2010. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap infeksi Soil Transmitted Helminths adalah faktor lingkungan fisik dan sosial ekonomi. Faktor lingkungan fisik seperti kondisi iklim yaitu iklim tropis dan subtropis, kelembaban, ketinggian daerah, kondisi lantai rumah, kepemilikan jamban, dan lain-lainnya. Sedangkan faktor lingkungan sosial ekonomi dapat berupa pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan.

2.3 Prevalensi Kecacingan

Prevalence merupakan frekuensi penyakit lama dan baru yang berjangkit dalam masyarakat di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu. Sehingga prevalensi kecacingan adalah angka yang menggambarkan kejadian kasus kecacingan di suatu wilayah tertentu. angka ini diperoleh dengan cara jumlah kejadian kecacingan dibagi dengan jumlah populasi dikali dengan konstanta 100. Berdasarkan hasil survei cacingan di Sekolah Dasar di beberapa provinsi di Indonesia yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424MENKESVI2006, menunjukkan bahwa prevalensi kecacingan untuk semua umur berkisar antara 40-60, sedangkan pada anak usia sekolah 5-14 tahun mencapai angka 60-80.

2.3.1 Prevalensi seluruh cacing

Jumlah specimen positif telur minimal jenis cacing Jumlah specimen yang diperiksa � 2.3.2 Prevalensi cacing gelang Jumlah specimen positif telur cacing gelang Jumlah specimen yang diperiksa � 2.3.3 Prevalensi cacing cambuk Jumlah specimen positif telur cacing cambuk Jumlah specimen yang diperiksa � 2.3.4 Prevalensi cacing tambang Jumlah specimen positif telur cacing tambang Jumlah specimen yang diperiksa � Faktor yang Mempengaruhi 2.3.1 Lingkungan Lingkungan merupakan salah satu faktor dari empat faktor keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan menurut HL. Blum yang dapat mempengaruhi kesehatan. Kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Sedangkan apabila salah satu faktor timpangterganggu, maka status kesehatan akan tergeser ke bawah optimal Notoatmodjo, 2007. Menurut Zulkoni 2010 infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan. Tingginya angka infeksi di Indonesia dikarenakan masih rendahnya mutu sanitasi di beberapa daerah. Lingkungan yang dapat berkaitan dengan infeksi soil transmitted helmints adalah sebagai berikut :