Faktor Risiko Infeksi Soil Transmitted Helminths Pada Anak Sekolah Dasar Di Dataran Tinggi Dan Rendah Di Kabupaten Gianyar Tahun 2016.

(1)

UNIVERSITAS UDAYANA

FAKTOR RISIKO INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI DATARAN TINGGI DAN RENDAH DI

KABUPATEN GIANYAR TAHUN 2016

NI MADE NURYANTI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

UNIVERSITAS UDAYANA

FAKTOR RISIKO INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI DATARAN TINGGI DAN RENDAH DI

KABUPATEN GIANYAR TAHUN 2016

NI MADE NURYANTI NIM. 1220025069

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA


(3)

UNIVERSITAS UDAYANA

FAKTOR RISIKO INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI DATARAN TINGGI DAN RENDAH DI

KABUPATEN GIANYAR TAHUN 2016

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

NI MADE NURYANTI NIM. 1220025069

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA


(4)

Slqipsi ini tchh disdtiui

tu

elperitrsa dinadry Tim Peneuji $kipsi Progrsm S-ndi Kesehre

msru*a*

FdruftE IGdolaeran Univcrsitas U&yaoa

Denposar, 13 luni 2016

PamHubflilg

NrP. 196t1120 200801 r 013


(5)

S*ripsi ini telah diprescnhsikan dan diujikan dihadapan Tim Penguji Skripsi

Progre Studi Kesehm Masyarakat

Fakult$ Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 13 Juni 2016

Tim Pemguji Skripsi

Kotur (PenguJi I)

Made Pasek Ksdiwinafa S.KM.. M.Kee

NIP. 19770101200501

l

001

Wr

n.r[*r,r^k**


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikannya skripsi yang berjudul “Faktor Risiko Infeksi Soil Transmitted Helminths pada Anak Sekolah Dasar di Dataran Tinggi dan Rendah di Kabupaten Gianyar Tahun 2016” ini tepat pada waktunya.

Ucapan terima kasih penulis berikan atas kerjasamanya dalam penyusunan skripsi ini kepada :

1. dr. I Made Ady Wirawan, MPH., Ph.D., selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat FK UNUD yang telah memberikan izin dalam pelaksanaan penelitian ini.

2. Ni Luh Putu Suariyani, SKM.,MHlth&IntDev., selaku Kepala Bagian Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat atas segenap bantuan dan dukungannya dalam penyusunan skripsi ini.

3. Dr. drh. I Made Subrata, M.Erg selaku dosen pembimbing yang senantiasa membimbing, memberikan pengarahan, dan memberikan nasihat serta dukungan dalam penyusunan skripsi ini, sehingga peneliti dapat menyelesaikannya tepat pada waktunya.

4. dr. I Made Sutarga, M.Kes dan Made Pasek Kardiwinata, S.KM., M.Kes selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk membimbing serta memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh dosen, staf, dan pegawai Program Studi Kesehatan Masyarakat atas dukungan dan kerjasamanya.


(7)

6. Kepala Sekolah SDN 2 dan 6 Taro, SDN 3 dan 6 Ketewel yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di sekolah yang beliau pimpin.

7. Orang tua, Kakak dan adik yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

8. Semua teman-teman Pabo (Dayu Asri, Jodinita, Shasmitha, Della, Pisca, Asriratih, Prasta, dan Chandra Kusuma Dewi) yang selalu membantu dalam pengambilan data dan selalu memberikan saran dan kritik dalam penyusunan skripsi ini.

9. Semua teman-teman IKM 12 khususnya Ani, Irma, Putri Dwintasari, Edi dan semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari adanya keterbatasan kemampuan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis mengharapkan adanya saran dan kritik dari pembaca demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Demikian skripsi ini disusun semoga dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan pihak lain yang menggunakan.

Denpasar, 12 Mei 2016


(8)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

SKRIPSI, JUNI 2016

NI MADE NURYANTI

FAKTOR RISIKO INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI DATARAN TINGGI DAN RENDAH DI

KABUPATEN GIANYAR TAHUN 2016 ABSTRAK

Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah. STH masih menjadi problema kesehatan masyarakat di dunia termasuk di Indonesia. Indonesia yang beriklim tropik menjadi lingkungan yang sesuai untuk tempat hidup STH. Prevalensi STH di Bali dari tahun 2003-2007 mencapai 40,94%-92,4%. Ketinggian daerah dapat mempengaruhi tingkat infeksi STH. Pada penduduk di dataran tinggi tingkat infeksi STH lebih tinggi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko infeksi STH pada anak SD di dataran tinggi dan rendah di Kabupaten Gianyar.

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional analitik. Sampel penelitian ini berjumlah 104 siswa yaitu 53 siswa di dataran tinggi dan 51 siswa di dataran rendah yang ditentukan menggunakan teknik Cluster Random Sampling. Pemeriksaan spesimen menggunakan metode Kato-katz.

Penelitian ini menunjukan prevalensi infeksi STH pada anak SD di dataran tinggi (28,31%) lebih tinggi dibandingkan di dataran rendah (1,96%). Faktor dominan yang mempengaruhi infeksi STH di dataran tinggi yaitu kebiasaan mencuci tangan pakai sabun (AOR=24,99), kebersihan kuku (AOR=13,19), dan pendapatan orang tua (AOR=18,83). Faktor tersebut mempengaruhi 39,68% kejadian infeksi STH pada anak SD di dataran tinggi, selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan pada dataran rendah hanya dapat di identifikasi gambaran faktor risiko, karena yang positif STH hanya 1 siswa. Sedangkan pada dataran tinggi diperoleh bahwa tidak memiliki jamban, pekerjaan ibu yang kontak dengan tanah, pendapatan orang tua yang rendah, kebiasaan tidak mencuci tangan, kebiasaan bermain di tanah dan kuku tangan yang kotor merupakan faktor risiko dan bermakna secara statistik terhadap infeksi STH pada anak SD di dataran tinggi. Sehingga penting adanya pemeriksaan kuku dan praktik personal higiene

secara rutin dengan melibatkan peran guru/wali kelas di sekolah. Selain itu perlu adanya re-implementasi STBM di dataran tinggi untuk meningkatkan sarana jamban dan sanitasi guna menekan perilaku BABS.


(9)

PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM

FACULTY OF MEDICAL UDAYANA UNIVERSITY EPIDEMIOLOGY DEPARTMENT

MINI THESIS, JUNE 2016

NI MADE NURYANTI

RISK FACTORS OF SOIL TRANSMITTED HELMINTHS INFECTION ON ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS IN HIGHLAND AND LOWLAND

AREA OF GIANYAR REGENCY IN 2016 ABSTRACT

Soil Transmitted Helminths (STH) is a worm infection which is transmitted through soil. STH still becomes health problems in the public all around the world including Indonesia. Indonesian tropical climates becomes the suitable environment for STH to life. The prevalence of STH in Bali since 2003 – 2007 reach 40,94% - 92,4%. The altitude of the area may affect the rate of STH infection. For the population in highland area the rate STH infection is higher. This study aimed to risk factors of the STH infection to elementary school students in the highlands area and lowlands area in Gianyar regency.

This study used cross sectional analytic design. The total samples of this research are 104 students, they are 53 students in the highland area and 51 students in the lowland area using cluster random sampling technique. The speciments checking is using Kato-katz method.

This study showed prevalance of STH infection on elementary school students in the highland area (28,31%) is higher than lowland area (1,96%). The dominants factors which influence the STH infection are the habit of washing hands using soap (AOR=24,99), nails cleanness (AOR= 13,19) and the parents income (AOR=18,83). Those factors influence 39,68% cases of STH infection on elementary school students in the highland area, the rest is influence by another factor.

Based on the result of this study, it can be concluded that on the lowland only can be identified risk factor, because there is only one student get positive STH infection. Meanwhile, on the highland was obtined namely, no having toilet, mother occupation which contact with land, parent low salary, uncommon to wash hand, play in ground and dirty hand were significant risk factor to STH infaction on elementary school students in highland. So that is important to have nails check and personal hygiene practice regularly with involving teacher and homeroom teacher in school. Beside that there is needed STBM re-implementation in the highland area to increase the toilet facilities and sanitation to decrease ODF behaviors.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL DENGAN SPESIFIKASI ... ii

HALAMAN PERNYATAAN PERBAIKAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN UJIAN SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR ISTILAH ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 6

Pertanyaan Penelitian ... 6

Tujuan Penelitian ... 8

1.4.1 Tujuan Umum ... 8

1.4.2 Tujuan Khusus ... 8

Manfaat Penelitian ... 9

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 9

1.5.2 Manfaat Praktis ... 9

Ruang Lingkup Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11


(11)

2.1.1 Definisi Soil Transmitted Helminths ... 11

2.1.2 Jenis Soil Transmitted Helminths ... 11

Epidemiologi Soil Transmitted Helminths ... 16

2.2.1 Host ... 17

2.2.2 Agent ... 17

2.2.3 Environment ... 18

2.3 Prevalensi Kecacingan ... 18

2.3.1 Prevalensi seluruh cacing ... 19

2.3.2 Prevalensi cacing gelang ... 19

2.3.3 Prevalensi cacing cambuk ... 19

2.3.4 Prevalensi cacing tambang ... 19

Faktor yang Mempengaruhi ... 19

2.3.1 Lingkungan ... 19

2.3.2 Perilaku ... 24

Pencegahan ... 26

Pemeriksaan Tinja ... 27

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 28

Kerangka Konsep ... 28

Hipotesis ... 29

Variabel dan Definisi Operasional ... 30

3.3.1 Variabel Penelitian ... 30

3.3.2 Definisi Operasional... 30

BAB IV METODE PENELITIAN ... 32

Desain Penelitian ... 32

Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

4.2.1 Tempat Penelitian... 32


(12)

Populasi dan Sampel Penelitian ... 33

4.3.1 Populasi Penelitian ... 33

4.3.2 Sampel Penelitian ... 33

4.3.3 Cara Pengambilan Sampel ... 34

4.3.4 Kriteria Sampel ... 35

Data dan Metode Pengumpulan Data ... 35

4.4.1 Jenis Data ... 35

4.4.2 Alur dan Metode Pengumpulan Data ... 36

Intrumen Penelitian ... 37

Teknik Pengolahan Data ... 37

Teknik Analisis Data ... 38

Teknik Analisis Spesimen ... 39

BAB V HASIL PENELITIAN ... 42

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 42

Karakteristik Responden ... 43

Prevalensi Infeksi Soil Transmitted Helminths ... 44

Identifikasi Gambaran Faktor Risiko di Masing-masing Dataran ... 46

5.4.1 Gambaran Faktor Lingkungan ... 46

5.4.2 Gambaran Faktor Perilaku ... 49

Analisis Faktor Risiko Infeksi STH ... 50

5.5.1 Kepemilikan Jamban Terhadap Infeksi STH ... 51

5.5.2 Kondisi Lantai Rumah Terhadap Infeksi STH... 51

5.5.3 Ketersediaan Air Bersih Terhadap Infeksi STH ... 52

5.5.4 Pekerjaan Orang Tua Terhadap Infeksi STH ... 53

5.5.5 Pendidikan Orang Tua Terhadap Infeksi STH ... 54

5.5.6 Pendapatan Orang Tua Terhadap Infeksi STH ... 56


(13)

5.5.8 Kebersihan Kuku Terhadap Infeksi STH ... 57

5.5.9 Kebiasaan Bermain Terhadap Infeksi STH... 58

Faktor Dominan yang Mempengaruhi Infeksi Soil Transmitted Helminths Pada Anak SD di Dataran Tinggi ... 59

BAB VI PEMBAHASAN ... 62

Prevalensi Infeksi STH pada Anak SD di Dataran Tinggi dan Rendah di Kabupaten Gianyar ... 62

Faktor Risiko Infeksi STH pada Anak SD di Dataran Tinggi dan Rendah di Kabupaten Gianyar ... 65

6.2.1 Faktor Risiko Kepemilikan Jamban ... 65

6.2.2 Faktor Risiko Kondisi Lantai Rumah ... 68

6.2.3 Faktor Risiko Ketersediaan Air Bersih ... 69

6.2.4 Faktor Risiko Tingkat Pendidikan Orang Tua ... 71

6.2.5 Faktor Risiko Jenis Pekerjaan Orang Tua ... 73

6.2.6 Faktor Risiko Pendapatan Orang Tua ... 75

6.2.7 Faktor Risiko Kebiasaan Mencuci Tangan ... 78

6.2.8 Faktor Risiko Kebersihan Kuku ... 80

6.2.9 Faktor Risiko Kebiasaan Bermain ... 83

Faktor Dominan yang Mempengaruhi Infeksi STH pada Anak SD di Dataran Tinggi ... 84

Keterbatasan Penelitian ... 87

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 89

Simpulan ... 89

Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 42 LAMPIRAN


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 30 Tabel 4.1 Bahan dan Peralatan Uji Spesimen ... 40 Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin, Asal Sekolah dan

Jenjang Kelas Pada Siswa SD di Dataran Tinggi dan Rendah di Kabupaten Gianyar ... 44 Tabel 5.2 Distribusi Prevalensi Infeksi Soil Transmitted Helminths Pada Anak SD di

Dataran Tinggi dan Rendah di Kabupaten Gianyar... 45 Tabel 5.3 Distribusi Lingkungan Fisik Pada Anak SD di Dataran Tinggi dan Rendah

di Kabupaten Gianyar ... 46 Tabel 5.4 Distribusi Lingkungan Sosial Ekonomi Pada Anak SD di Dataran Tinggi

dan Rendah di Kabupaten Gianyar ... 48 Tabel 5.5 Distribusi Perilaku Berisiko Terinfeksi STH Pada Anak SD di Dataran

Tinggi dan Rendah di Kabupaten Gianyar ... 49 Tabel 5.6 Kepemilikan Jamban Terhadap Infeksi STH pada Anak SD di Dataran

Tinggi di Kabupaten Gianyar ... 51 Tabel 5.7 Kondisi Lanatai Rumah Terhadap Infeksi STH pada Anak SD di Dataran

Tinggi di Kabupaten Gianyar ... 52 Tabel 5.8 Ketersediaan Air Bersih Terhadap Infeksi STH pada Anak SD di Dataran

Tinggi di Kabupaten Gianyar ... 52 Tabel 5.9 Pekerjaan Orang Tua Terhadap Infeksi STH pada Anak SD di Dataran

Tinggi di Kabupaten Gianyar ... 53 Tabel 5.10 Pendidikan Orang Tua Terhadap Infeksi STH pada Anak SD di Dataran

Tinggi di Kabupaten Gianyar ... 55 Tabel 5.11 Pendapatan Orang Tua Terhadap Infeksi STH pada Anak SD di Dataran

Tinggi di Kabupaten Gianyar ... 56 Tabel 5.12 Kebiasaan Mencuci Tangan Terhadap Infeksi STH pada Anak SD di

Dataran Tinggi di Kabupaten Gianyar ... 57 Tabel 5.13 Kebersihan Kuku Terhadap Infeksi STH pada Anak SD di Dataran Tinggi di Kabupaten Gianyar... 57


(15)

Tabel 5.14 Kebiasaan Bermain Terhadap Infeksi STH pada Anak SD di Dataran Tinggi di Kabupaten Gianyar ... 58 Tabel 5.15 Analisis Multivariat Pengaruh Kebiasaan Mencuci Tangan. Kebersihan

kuku, dan Pendapatan Orang Tua terhadap Infeksi STH pada Anak SD di Dataran Tinggi Kabupaten Gianyar ... 59


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Segitiga Epidemiologi ... 16 Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 28


(17)

DAFTAR ISTILAH

Daftar Lambang

< : Lebih kecil > : Lebih besar

≤ : Lebih kecil sama dengan

≥ : Lebih besar sama dengan

= : Sama dengan

0C : Derajat Celcius

Daftar Singkatan

BAB : Buang Air Besar

BABS :Buang Air Besar Sembarangan KK : Kepala Keluarga

MENKES : Menteri Kesehatan ODF : Open Defecation Free

PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat SD : Sekolah Dasar

SDN : Sekolah Dasar Negari

STBM : Sanitasi Total Berbasis Masyarakat STH : Soil Transmitted Helminths


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Jadwal Penelitian

Lampiran 2. Permohonan Menjadi Responden Lampiran 3. Kuesioner

Lampiran 4. Hasil Analisis Data

Lampiran 5. Surat Rekomendasi Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali

Lampiran 6. Surat Ijin Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Gianyar

Lampiran 7. Ethical Clearance Litbang Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Lampiran 8. Dokumentasi


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helminths/STH) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi problema kesehatan masyarakat di dunia. Penyakit ini tergolong kelompok neglected disease yaitu jenis infeksi yang kurang mendapat perhatian karena bersifat kronis tanpa menimbulkan gejala klinis yang jelas serta dampak yang ditimbulkan dalam jangka waktu panjang.

Spesies utama cacing yang ditularkan melalui tanah yang biasa menginfeksi manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale).

Ketiga spesies ini dapat mengakibatkan terjadinya anemia, gangguan penyerapan gizi, penurunan tingkat intelegensia, dan gangguan tumbuh kembang anak. Apabila terjadi infeksi secara terus menerus dalam jangka waktu yang panjang akan dapat menimbulkan penurunan kualitas sumber daya manusia.

World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 1,5 milyar atau 24% penduduk didunia terinfeksi STH. Infeksi tersebut tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Angka infeksinya tinggi, tetapi intensitas infeksinya (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Diperkirakan lebih dari 270 juta anak usia prasekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah terinfeksi cacing usus STH, dimana 300 juta diantaranya menderita infeksi berat dengan angka kematian mencapai 150 ribu setiap tahunnya (WHO : Soil Transmitted Helmints Infection, 2015). Sedangkan menurut data yang dilaporkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2012, terdapat


(20)

6 wilayah endemik di dunia yang menjadi prioritas untuk pengobatan infeksi cacing pada anak. Asia Tenggara menempati prioritas pertama dengan persentase 40%. Di Asia Tenggara, infeksi cacing STH mencapai 500 juta orang dan 8 negara dikategorikan sebagai endemis termasuk di Indonesia (WHO, 2012).

Iklim Indonesia yang tropik dan posisi geografis dengan temperatur dan kelembaban udara yang tinggi menjadikan lingkungan Indonesia sebagai lingkungan yang sesuai untuk tempat hidup cacing. Selian itu didukung oleh faktor lain seperti rendahnya pendidikan, kurangnya kesadaran terhadap kesehatan pribadi (personal higiene) dan lingkungan serta keadaan sosial ekonomi yang masih rendah, menyebabkan penyakit cacing usus dengan penularan melalui tanah di Indonesia masih sangat tinggi yaitu pada 2002 sebesar 33,3%, pada tahun 2003 sebesar 33,0%, tahun 2004 sebesar 46,8%, dan pada tahun 2006 sebesar 32,6%. Bahkan di wilayah-wilayah tertentu dengan sanitasi yang buruk prevalensi kecacingan bisa mencapai 80% dengan prevalensi tertinggi pada anak usia sekolah yaitu mencapai 60%-80% (Surat Keputusan Mentri Kesehatan No.424/MENKES/VI, 2006).

Secara kumulatif, infeksi STH dapat menimbulkan kerugian bagi Negara. Kerugian ini dapat diukur dari kehilangan zat gizi seperti kalori dan protein pada infeksi cacing gelang, serta kerugian akibat kehilangan darah untuk infeksi cacing cambuk dan cacing tambang. Kerugian zat gizi dan darah tersebut apabila dihitung dengan jumlah penduduk 220 juta dengan perkiraan jumlah anak usia sekolah tingkat dasar sebesar 21% dapat diperkirakan kerugian akibat infeksi cacing gelang pada anak usia sekolah yaitu mencapai 32 miliar akibat kehilangan karbohidrat dan 335 miliar akibat kehilangan protein. Sedangkan kerugian akibat jenis cacing cambuk mencapai 3 juta liter darah per tahunnya dan kerugian akibat jenis cacing tambang mencapai 16


(21)

juta liter darah per tahunnya (Surat Keputusan Mentri Kesehatan No.424/MENKES/VI, 2006).

Tingginya angka kejadian kecacingan pada anak Sekolah Dasar berdasarkan penelitian Samosir et al, (2015) diindikasi karena anak usia sekolah (5-14 tahun) merupakan kelompok umur yang paling rentan terinfeksi penyakit berbasis lingkungan seperti kecacingan. Selain itu anak Sekolah Dasar juga merupakan kelompok yang paling sering kontak dengan tanah sebagai sumber infeksi cacing.

Di lain pihak, sumber daya manusia merupakan kekuatan utama pembangunan Indonesia sebagai negara berkembang, oleh sebab itu diperlukan sumber daya manusia yang sehat fisik, mental dan sosial. Tersedianya sumber daya manusia yang sehat dan produktif sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia pada usia muda, khususnya pada usia sekolah dasar.

Namun pada dekade terakhir terjadi kecenderungan peningkatan prevalensi kecacingan pada anak usia sekolah. Hal ini dibuktikan dari beberapa penelitian yang dilakukan seperti pada laporan Lab Parasitologi Unud tahun 2000, menyatakan bahwa prevalensi kecacingan penduduk pedesaan di Bali masih relatif tinggi. Dengan perincian 35% penduduk positif hork worm, 63% Trichuris dan Ascaris mencapai 74%. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Kapti pada anak SD di daerah Bali selama kurun waktu 2003-2007, prevalensi kecacingan berkisar antara 40,94%-92,4%. Berdasarkan karakteristik sosial budaya yang ada, penelitian itu juga memperkirakan bahwa persentase cacingan antara daerah pedesaan dan perkotaan di Bali tidak jauh mengalami perbedaan, seperti di Desa Blahkiuh sebesar 94%, kemudian mulai mendekati kota sebesar 84% kasus, dan di Panjer mencapai 15% (Balipost, 2003). Selanjutnya pada tahun 2004 dilakukan penelitian di 13 SD di Badung, Denpasar dan


(22)

Gianyar menunjukkan prevalensi infeksi STH berkisar 58,3 - 96,8 persen (Balipost, 2004).

Secara Epidemiologi, faktor yang mempengaruhi infeksi kecacingan adalah lingkungan dan perilaku personal higiene seseorang seperti kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan dan setelah dari toilet, kebiasaan bermain ditanah, kebiasaan pemakian alas kaki, kepemilikan jamban, kebiasaan BABS, kuku tangan yang panjang dan kurang bersih dan ketersediaan air bersih.

STH mempunyai bentuk infektif yang sesuai dengan tanah. Pada penduduk yang bertempat tinggal di dataran tinggi tingkat infeksi STH lebih sering ditemukan, terutama pada daerah pedesaan (Sutanto et al, 2008). Berdasarkan penelitian Sinarya (2011), ditemukan bahwa ketinggian daerah dapat mempengaruhi infeksi kecacingan. Namun hasilnya bertentangan dengan teori yaitu prevalensi infeksi STH lebih banyak ditemukan pada siswa SD di dataran rendah. Dimana prevalensi infeksi cacing gelang

(Ascaris lumbricoides) sebesar 4,00% pada siswa SD di dataran rendah sedangkan pada siswa SD di dataran tinggi hanya sebesar 1, 49%. Begitupula dengan prevalensi infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator Americanus) lebih banyak ditemukan pada siswa di dataran rendah yaitu sebesar 2,00%. Sedangkan prevalensi infeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura) hanya di temukan pada siswa SD di dataran tinggi yaitu sebesar 1,49% (Sinarya, 2011).

Gianyar merupakan salah satu Kabupaten/Kota di Provinsi Bali yang memiliki kondisi topografi yang terbagi menjadi dua wilayah dengan karakteristik yang berbeda. Bagian utara merupakan wilayah dataran tinggi yang lembab dan dingin, sedangkan pada bagian selatan merupakan dataran rendah dan daerah pantai. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Gianyar, Gianyar terletak pada ketinggian 250-950 meter dari permukaan laut. dengan curah hujan berkisar 1.900 mm.


(23)

Kecamatan Tegalalang merupakan daerah dataran tertinggi di Kabupaten Gianyar dengan ketinggian antara 225-975 m diatas permukaan air laut. Sedangkan Kecamatan Sukawati merupakan daerah dataran terendah dengan ketinggian yaitu 0-125 m diatas permukaan air laut.

Desa Ketewel merupakan desa di Kecamatan Sukawati yang memiliki ketinggian 0-100 m diatas permukaan air laut. Desa ini termasuk daerah dataran yang terletak paling selatan berbatasan langsung dengan Selat Badung (Profil Desa Ketewel tahun 2015). Berdasarkan pengamatan peneliti secara langsung, masyarakat di Desa ini masih banyak yang melakukan BABS dan mandi di sungai. Selain itu sumber air minum dari masyarakat juga masih banyak bersumber dari mata air yang diyakini layak konsumsi tanpa adanya proses pemasakan. Pada tahun 2004 salah satu SD di desa ini juga telah dilakukan pemeriksaan kecacingan dan ditemukan ada anak yang positif cacingan. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi di Desa Taro Kecamatan Tegalalang. Desa ini termasuk daerah dataran tinggi dengan ketinggian 500-1000 m diatas permukaan air laut, beriklim sejuk dengan suhu rata-rata harian 22°C, serta kelembaban berkisar 80% (Info publik Nusantara, 2014). Angka BABS pada desa ini cukup tinggi mencapai angka 80% yaitu pada masyarakat di Banjar Tebuana. Masyarakat di Banjar Tebuana hanya 21 KK dari 99 KK (21,21%) yang memiliki jamban, dan hanya 8 jamban dari 21 (38%) yang layak disebut sebagai jamban sehat. Sedangkan untuk praktek cuci tangan pakai sabun di keluarga hanya 55 KK dari 99 KK (55,55%) yang memiliki sarana cuci tangan, dan hanya 33 KK dari 55 KK (60%) yang memiliki sarana cuci tangan yang memang benar-benar mempraktekkan cuci tangan pakai sabun secara rutin (Dwipayanti et al, 2013).

Kondisi geografis yang lembab dan sanitasi lingkungan yang kurang memadai mendukung terjadinya transmisi STH di kedua desa tersebut, serta belum adanya


(24)

penelitian yang melihat faktor risiko infeksi Soil Transmitted Helminths pada dataran tinggi dan dataran rendah di Bali, maka peneliti tertarik untuk melaksanakan penelitian di kedua desa tersebut untuk melihat faktor risiko terjadinya infeksi STH pada anak SD di dataran tinggi dan rendah di Kabupaten Gianyar.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dapat diketahui bahwa prevalensi STH paling banyak ditemukan pada anak usia sekolah (5-14 tahun) yang merupakan kelompok yang paling sering kontak dengan tanah sebagai sumber infeksi STH. Ketinggian daerah dapat mempengaruhi infeksi STH. Sehubungan dengan permasalah tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor risiko Soil Transmitted Helminths pada anak SD di dataran tinggi dan rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.

Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan yaitu sebagai berikut :

Berdasarkan permasalahan diatas, pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana prevalensi infeksi STH pada anak SD di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016?

2. Apakah tidak memiliki jamban merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016 ? 3. Apakah lantai rumah dari tanah merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak


(25)

4. Apakah tidak tersedianya air bersih merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016 ?

5. Apakah tingkat pendidikan orang tua yang rendah merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016 ?

6. Apakah pekerjaan orang tua yang kontak dengan tanah merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016 ?

7. Apakah pendapatan orang tua yang rendah merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016 ?

8. Apakah perilaku kebiasaan tidak mencuci tangan merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016 ?

9. Apakah perilaku kebiasaan bermain di tanah merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016 ?

10. Apakah kuku tangan yang kotor merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016 ?


(26)

Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko infeksi

Soil Transmitted Helminths pada anak SD di dataran tinggi dan rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui prevalensi infeksi STH pada anak SD di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.

2. Untuk mengetahui tidak memiliki jamban merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.

3. Untuk mengetahui lantai rumah dari tanah merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.

4. Untuk mengetahui tidak tersedianya air bersih merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.

5. Untuk mengetahui tingkat pendidikan orang tua yang rendah merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.

6. Untuk mengetahui pekerjaan orang tua yang kontak dengan tanah merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.


(27)

7. Untuk mengetahui pendapatan orang tua yang rendah merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.

8. Untuk mengetahui perilaku kebiasaan tidak mencuci tangan merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.

9. Untuk mengetahui perilaku kebiasaan bermain di tanah merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.

10. Untuk mengetahui kuku tangan yang kotor merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak SD baik di dataran tinggi maupun rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.

Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan pengembangan teori dibidang kesehatan mengenai faktor risiko infeksi Soil Transmitted Helminths pada anak SD di dataran tinggi dan rendah di Kabupaten Gianyar. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk instansi kesehatan yang berwenang yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar dalam upaya pengembangan program pencegahan dan penanggulangan kecacingan di Kabupaten Gianyar.


(28)

2. Dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi masyarakat mengenai faktor risiko infeksi Soil Transmitted Helminths pada anak SD di dataran tinggi dan rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah di bidang Epidemiologi untuk mengetahui faktor risiko infeksi Soil Transmitted Helminths pada anak SD di dataran tinggi dan rendah di Kabupaten Gianyar tahun 2016.


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Soil Transmitted Helminths

2.1.1 Definisi Soil Transmitted Helminths

Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan sejumlah spesies cacing parasit kelas Nematoda yang dapat menginfeksi manusia melalui kontak langsung dengan telur ataupun larva parasit itu sendiri yang berkembang di tanah yang lembab pada negara beriklim tropis maupun subtropis (Bethony et al, 2006). Bentuk infektif dari cacing kelompok ini dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara seperti masuk secara aktif ataupun tertelan dan bisa hidup bertahun-tahun di sistem pencernaan manusia (Sutanto et al. 2008).

2.1.2 Jenis Soil Transmitted Helminths

Menurut Bethony et al, (2006) Soil Transmitted Helminths yang paling penting dan sering menginfeksi manusia adalah cacing gelang/roundworm (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk/whipworm (Trichuris trichiura) dan cacing tambang/anthropophilic hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus).

a. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Askariasis merupakan sebutan untuk penyakit yang disebabkan oleh parasit ini. Parasit ini ditemukan hampir di seluruh provinsi yang ada di Indonesia termasuk di dunia (kosmopolit). Prevalensi askariasis di Indonesia masih cukup tinggi terutama pada anak-anak yaitu mencapai 60-90% dari jumlah penduduk (Sutanto et al, 2008). Penyakit ini memiliki prevalensi yang paling besar diantara penyakit cacing lainnya.


(30)

Hal ini diindikasi karena banyaknya terlur disertai daya tahan telur yang mengandung larva cacing pada keaadaan tanah yang kondusif. Telur dapat bertahan sampai berbulan-bulan bahkan sampai 2 tahun ditanah akibat adanya lapisan tebal sebagai pelindung terhadap situasi lingkungan yang tidak sesuai (Widoyono, 2005). Telur

Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat dengan kelembapan tinggi dan pada suhu 250-300 C. Di tanah telur tumbuh menjadi infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu (Onggowaluyo, 2001). Parasit ini dapat hidup dalam tubuh manusia selama 1-2 tahun. Zat utama yang diserap selama cacing ini hidup dalam rongga usus halus adalah karbohitdrat dan protein. Seekor cacing akan mengambil karbohidrat 0.14 gram per hari dan protein 0.035 gram per hari (Siregar, 2006).

Penularan terjadi secara oral yaitu tertelannya telur cacing yang mengandung larva infektif melalui makanan dan minuman yang tercemar (Zulkoni, 2010). Selian itu penularan juga bisa terjadi melalui perantara/vektor serangga seperti lalat yang dapat menularkan telur pada makanan yang tidak disimpan dengan baik (Widoyono, 2005).

Gejala yang ditunjukkan sebagian besar adalah asimtomatis. Hanya sebagian kecil penderita menunjukkan gejala klinis. Gejala yang timbul biasanya disebabkan oleh migrasi larva dari paru-paru ke alveolus kemudian naik ke trakea dan larva menuju faring. Pada orang yang rentan, migrasi dan rangsangan dari larva ini akan menyebabkan perdarahan kecil dinding alveolus dan timbul iritasi pada paru sehingga penderita akan mengalami reaksi alergi yang terdiri dari batuk kering, mengi, dan demam (39,90-40,00C). Selain itu cacing dewasa juga dapat bermigrasi dan


(31)

pankreas dan organ lainnya. Migrasi juga sering terjadi keluar melalui anus, mulut dan hidung (Onggowaluyo, 2001).

Karena gejala klinik yang ditunjukkan tidak khas, maka perlu diadakan pemeriksaan tinja untuk menegakkan diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat digunakan sebagai pedoman untuk menentukan berat tidaknya infeksi yang diderita, yaitu dengan cara menghitung jumlah telur cacing (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/, 2006). Selain itu diagnosis juga dapat ditegakkan bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung karena muntah maupun melalui tinja (Sutanto et al, 2008).

b. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Penyakit yang disebabkan oleh parasit ini disebut trikuriasis. Cacing ini lebih sering ditemukan bersama-sama dengan Ascaris lumbricoide (Onggowaluyo, 2001).

Disebut sebagai cacing cambuk dilihat dari bentuknya yang seperti cambuk dengan bagian depan (kepala) yang mengecil dan bagian belakang yang membesar. Parasit ini bersifat kosmopolit atau ditemukan hampir di seluruh dunia terutama di daerah panas dan lembab seperti Indonesia. Di dunia hampir 500-900 juta orang terserang parasit ini. Prevalensi di Asia lebih dari 50%, Afrika 25%, dan Amerika Latin 12%. Di Indonesia sendiri frekuensi penyakit ini masih cukup tinggi, terutama di daerah-daerah pedesaan yaitu antara 30%-90% (Widoyono, 2005).

Cacing dewasa hidup di sekum dengan anteriornya seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Selain itu cacing dewasa juga dapat ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak cacing tersebar diseluruh kolon dan rektrum. Cacing betina diperkirakan dapat menghasilkan telur sebanyak 3000-20.000 butir per hari. Telur berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan


(32)

yang jernih pada kedua kutub. Telur yang dibuahi dikeluarkan bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu di tanah yang kondusif. Tanah yang sesuai untuk parasit ini adalah tanah yang lembab dan teduh dengan suhu optimum 300C. Telur yang matang ialah telur yang mengandung larva dan merupakan infektif

(Sutanto et al, 2008) .

Infeksi terjadi melalui oral yaitu hospes secara kebetulan menelan telur matang yang tercemar dimakanan. Untuk perkembangan larvanya cacing tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur menjadi cacing dewasa yaitu ± 30-90 hari.

Infeksi cacing cambuk biasanya tanpa gejala (asimtomatis). Namun apabila terjadi infeksi berat gejala klinis yang ditumbulkan yaitu nyeri perut, diare yang diselingi sindrom disentri, anemia, prolapsus rektal, berat badan menurun, dan peradangan usus buntu (apenditis) (Zulkoni, 2010). Sedangkan untuk penegakkan diagnosis dilakukan melalui penemuan telur dalam tinja atau menemukan cacing dewasa pada penderita prolapsus rekti (pada anak) (Onggowaluyo, 2001).

c. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)

Nama “cacing tambang” pada kedua parasit ini diberikan karena pada zaman dahulu cacing ini banyak ditemukan pada pekerja pertambangan di Eropa. Penyakit yang disebabkan oleh kedua parasit ini disebut nekatoriasis dan ankilostomiasis. Cacing ini tersebar diseluruh daerah khatulistiwa terutama pada daerah dengan kondisi lingkungan yang sesuai seperti di daerah pertambangan dan perkebunan. Diperkirakan di seluruh dunia penyakit ini menyerang 700-900 juta orang, dengan 1 juta liter darah hilang (1 orang = 1 mL darah terhisap cacing tambang) (Widoyono, 2005). Di Indonesia prevalensi kecacingan akibat spesies ini masih cukup tinggi, terutama di


(33)

daerah pedesaan, khususnya perkebunan sekitar 40%. Penyakit ini menyerang semua umur dengan proporsi terbesar pada anak (Sutanto et al, 2008).

Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa

dinding usus. Cacing betina mempunyai panjang ± 1 cm, cacing jantan ± 0,8 cm. Bentuk cacing dewasa N. Americanus biasanya seperti huruf S, sedangkan A. Duodenale menyerupai huruf C. Rongga kedua mulut jenis cacing ini besar dan di dalam ada sepasang gigi (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/, 2006).

Cacing dewasa bertelur di dalam 1/3 atas usus halus. Cacing betina N. americanus mampu mengelurkan telur sebanyak 5000-10.000 butir per hari, sedangkan A. duodenale sebanyak 10.000-25.000 butir per harinya. Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari keluarlah larva rabdritiform. Setelah 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan mampu hidup selama 7-8 minggu di tanah (Widoyono, 2005). Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ini ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk N. americanus 280-320C, sedangkan A. duodenale lebih rendah yaitu 230-250C. A. duodenale lebih kuat dibandingkan N. americanus (Sutanto et al, 2008). Infeksi pada manusia terjadi apabila larva filariform menembus kulit atau tertelan bersama makanan yang kurang hegienis. Infeksi cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita bisa mengalai anemia (kekurangan darah). Secara klinis gejala yang ditimbulkan akibat infeksi cacing tambang antara lain ruam menonjol dan terasa gatal (ground itch) pada kulit tempat larva masuk, lesu, nyeri perut bagian atas, demam, batuk, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhaadap penyakit, prestasi dan produktifitas menurun serta anemia (anemia hipokrom micrositer) (Zulkoni, 2010).


(34)

Anemia terjadi karena adanya perdarahan di usus yang menyebabkan tubuh kekurangan zat besi dan rendahnya kadar protein dalam darah (Onggowaluyo, 2001).

Penegakkan diagnosis dilakukan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Sedangkan dalam tinja lama biasanya ditemukan sudah dalam bentuk larva. Untuk membedakan kedua spesies ini dapat dilakukan dengan biakkan dengan cara Harada-Mori (Sutanto et al, 2008).

Epidemiologi Soil Transmitted Helminths

Epidemiologi Soil Transmitted Helminths berkaitan dengan teori segitiga epidemiologi atau Trias Penyebab Penyakit yaitu host, agen, environment. Dimana proses terjadinya penyakit disebabkan oleh adanya interaksi antara agen (penyebab penyakit), manusia sebagai host (penjamu), dan faktor lingkungan yang mendukung (enviromental). Ketiga faktor tersebut dalam mempengaruhi kesehatan tidak berdiri sendiri, namun masing-masing saling mempengaruhi. Interaksi dapat terjadi apabila

agen atau penyebab penyakit kontak dengan manusia sebagai penjamu yang rentan dan didukung oleh keadaan lingkungan. Sehingga untuk mewujudkan status kesehatan ketiga faktor tersebut harus seimbang (Budiarto et al, 2002). Proses interaksi ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Sumber :Budiarto, E., & Anggraeni, D. (2002). Pengantar Epidemiologi edisi 2. Jakarta : EGC.

Gambar 2.1 Segitiga Epidemiologi

Host (Penjamu)

Agen (Penyebab Penyakit)

Enviromental


(35)

2.2.1 Host

Host atau penjamu adalah keadaan manusia yang sedemikian bersifat sangat kompleks menjadi faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit sesuai karakteristik yang dimiliki. Faktor host yang dapat menjadi faktor risiko untuk timbulnya penyakit yaitu, genetik seperti penyakit herediter yaitu hemophilia, umur seperti usia lanjut lebih rentan untuk terinfeksi penyakit jantung dan karsinoma, jenis kelamin seperti penyakit diabetes melitus lebih rentan terjadi pada perempuan, budaya yang membentuk kebiasaan dan perilaku di masyarakat, serta gaya hidup dalam masyarakat untuk berperilaku hidup sehat.

Manusia merupakan hospes definitif dari soil transmitted helmintes terutama pada spesies Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus. Faktor host yang dapat menjadi faktor risiko untuk timbulnya infeksi soil transmitted helmintes adalah perilaku masyarakat seperti kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan BABS, kebiasaan bermain di tanah, kebiasaan pemakaian alas kaki, dan perilaku lainnya yang memungkinkan adanya kontak langsung dengan tanah.

2.2.2 Agent

Agent merupakan faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati baik dalam jumlah banyak maupun kekurangan. Agent unsur hidup berupa patogen biologis seperti virus, bakteri, jamur, parasit, protozoa, dan lain-lainnya. Sedangkan agen unsur mati seperti fisika (sinar radioaktif), kimia (karbon monoksida, pertisida, obat-obatan, arsen), dan fisik (benturan atau tekanan).

Agent dari infeksi Soil Transmitted Helminths yang terpenting bagi manusia adalah empat spesies berikut, Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris


(36)

trichiura (cacing cambuk), Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (cacing tambang).

2.2.3 Environment

Environmental atau lingkungan merupakan faktor penunjang terjadinya penyakit. Faktor lingkungan dibedakan menjadi tiga komponen yaitu lingkungan fisik seperti geografis dan keadaan musim, lingkungan biologis yaitu semua makhluk hidup yang berada disekitar kita yang dapat menularkan penyakit, serta lingkungan sosial ekonomi dapat berupa pekerjaan, perkembangan ekonomi, dan lain-lainya yang dapat memberi pengaruh terhadap perilaku di masyarakat (Notoatmodjo, 2010).

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap infeksi Soil Transmitted Helminths adalah faktor lingkungan fisik dan sosial ekonomi. Faktor lingkungan fisik seperti kondisi iklim yaitu iklim tropis dan subtropis, kelembaban, ketinggian daerah, kondisi lantai rumah, kepemilikan jamban, dan lain-lainnya. Sedangkan faktor lingkungan sosial ekonomi dapat berupa pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan.

2.3 Prevalensi Kecacingan

Prevalence merupakan frekuensi penyakit lama dan baru yang berjangkit dalam masyarakat di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu. Sehingga prevalensi kecacingan adalah angka yang menggambarkan kejadian kasus kecacingan di suatu wilayah tertentu. angka ini diperoleh dengan cara jumlah kejadian kecacingan dibagi dengan jumlah populasi dikali dengan konstanta (100%). Berdasarkan hasil survei cacingan di Sekolah Dasar di beberapa provinsi di Indonesia yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/VI/2006, menunjukkan bahwa prevalensi kecacingan untuk semua umur berkisar antara 40%-60%, sedangkan pada anak usia sekolah (5-14 tahun) mencapai angka 60%-80%.


(37)

2.3.1 Prevalensi seluruh cacing

Jumlah specimen positif telur minimal jenis cacing

Jumlah specimen yang diperiksa � % 2.3.2 Prevalensi cacing gelang

Jumlah specimen positif telur cacing gelang

Jumlah specimen yang diperiksa � %

2.3.3 Prevalensi cacing cambuk

Jumlah specimen positif telur cacing cambuk

Jumlah specimen yang diperiksa � %

2.3.4 Prevalensi cacing tambang

Jumlah specimen positif telur cacing tambang

Jumlah specimen yang diperiksa � %

Faktor yang Mempengaruhi 2.3.1 Lingkungan

Lingkungan merupakan salah satu faktor dari empat faktor (keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan) menurut HL. Blum yang dapat mempengaruhi kesehatan. Kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Sedangkan apabila salah satu faktor timpang/terganggu, maka status kesehatan akan tergeser ke bawah optimal (Notoatmodjo, 2007). Menurut Zulkoni (2010) infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan. Tingginya angka infeksi di Indonesia dikarenakan masih rendahnya mutu sanitasi di beberapa daerah. Lingkungan yang dapat berkaitan dengan infeksi soil transmitted helmints adalah sebagai berikut :


(38)

1. Lingkungan Fisik

a. Daerah Tempat Tinggal  Dataran Tinggi

Dataran tinggi atau yang biasa disebut sebagai daerah pegunungan secara geografis adalah dataran yang terletak pada ketinggian di atas 500 meter dari permukaan air laut. Daerah dapat digolongkan menjadi dataran tinggi apabila dataran tersebut memiliki sekumpulan puncak yang sama tinggi yang dipisahkan oleh lembah-lembah (Subandrio, 2009). Karakteristik lingkungan yang membedakannya dengan dataran rendah yaitu kelembaban udara yang jauh lebih tinggi, tekanan oksigen yang rendah, suhu yang rendah, radiasi matahari yang tinggi, kecepatan angin yang tinggi, rendahnya nutrisi, dan topografi yang terjal. Selaian itu karakteristik yang dominan dapat diamati adalah kondisi tanah yang lebih padat dari daerah dataran rendah (Fauzi, 2015). Dengan kondisi kelembaban udara yang tinggi serta kondisi tanah yang padat atau tanah liat sangat memungkin daerah ini menjadi habitat yang sangat baik untuk perkembangan cacing jenis tularan melalui tanah/soil transmitted helminths.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sinarya (2011) di Cirebon menunjukkan gambaran bahwa prevalensi infeksi cacing tularan tanah yaitu cacing cambuk

(Trichuris trichiura) pada siswa SD di dataran tinggi lebih tinggi daripada siswa SD di dataran rendah yaitu sebesar 1,49%. Sedangkan menurut penelitian Darusin (2004) di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung yang merupakan daerah dataran tinggi menunjukkan prevalensi infeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura) yaitu sebesar 1%, lebih rendah di dataran tinggi di bandingkan dengan infeksi cacing tularan tanah lainnya seperti Ascaris lumbricoides yaitu 2%, dan cacing tambang yaitu 30%.


(39)

 Dataran Rendah

Dataran rendah adalah daerah yang landai dan terletak di daerah rendah yaitu kurang dari 100 meter diatas permukaan air laut. Dataran rendah umumnya memiliki bentuk yang relatif rata atau bergelombang lemah (Subandrio, 2009). Ciri-ciri daerah dataran rendah adalah daerahnya datar, daerah dimana banyak pemukiman penduduk, aktivitas penduduk terdiri dari berbagai jenis seperti pertanian, perikanan, industri dan niaga. Kondisi tanah di daerah dataran rendah adalah tanah humus, berpasir, dan gembur (Kurniawan, 2015). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sinarya (2011) di Cirebon menunjukkan gambaran bahwa prevalensi infeksi cacing tularan tanah yaitu prevalensi infeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) pada siswa SD di dataran rendah sebesar 4,00%, hasil ini lebih tinggi daripada siswa SD di dataran tinggi yang hanya mencapai 1,49%. Selain itu prevalensi infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator Americanus) juga menunjukkan hasil yang sama yaitu lebih tinggi pada daerah dataran rendah sebesar 2,00%.

b. Kondisi Lantai Rumah

Menurut Notoatmodjo (2010) rumah yang sehat adalah rumah dengan jenis lantai yang tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim penghujan. Penelitian Fitri et al (2012) di Kecamatan Angkola Timur menunjukkan bahwa kondisi rumah memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan dengan nilai p=0,000 dan nilai OR=19,776, dimana rumah dengan kondisi halaman yang tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 19,776 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan rumah dengan kondisi rumah yang memenuhi syarat kesehatan. Sedangkan menurut penelitian Yulianto (2007) di Kota Semarang


(40)

menunjukkan hasil yang bertentangan yaitu jenis lantai rumah tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=0,094. c. Kepemilikan Jamban

Tinja memiliki peranan yang sangat besar dalam penyebaran penyakit. Di samping dapat langsung mengkontaminasi makanan dan minuman, kontaminasi juga dapat terjadi secara tidak langsung melalui perantara vektor (lalat, kecoa, dan sebagainya) serta benda-benda yang telah terkontaminasi. Menurut penelitian Fitri

et al (2012) di Kecamatan Angkola Timur menunjukkan bahwa jamban memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan. Diperoleh nilai p=0,000 dan nilai OR=16,349, dimana rumah dengan jamban yang tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 16,349 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan rumah dengan jamban yang memenuhi syarat kesehatan. Sedangkan penelitian Widari (2014) di desa Jagapati Bali menunjukkan hasil yang bertentangan yaitu kepemilikan jamban tidak memiliki hubungan secara signifikan terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=1,00.

d. Katersedian Air Bersih

Selain tinja, air yang tidak sehat juga memiliki peranan yang sangat besar dalam penularan penyakit yang biasa disebut dengan water borne diases. Akibat air yang tidak sehat dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti kolera, diare, disentri, dan penyakit lainnya termasuk kecacingan. Menurut penelitian Fitri et al

(2012) di Kecamatan Angkola Timur menunjukkan bahwa ketersediaan air bersih memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan dengan nilai p=0,000 dan nilai OR=4,529, dimana rumah dengan air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 4,529 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan rumah dengan air bersih yang memenuhi syarat kesehatan. Sedangkan


(41)

penelitian Yulianto (2007) di Kota Semarang menunjukkan hasil yang bertentangan yaitu ketersediaan air bersih tidak memiliki hubungan secara signifikan terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=0,094

2. Lingkungan Sosio Ekonomi a. Pendidikan Orang tua

Pendidikan orang tua mempengaruhi pengetahuan orang tua terhadap kesehatan khususnya perilaku hidup bersih dan sehat. Dengan rendahnya pendidikan maka orang tua tidak dapat memberikan pendidikan perilaku hidup bersih yang benar kepada anaknya. Sehingga anak cenderung berperilaku hidup yang kurang sehat dan berisiko terinfeksi kecacingan. Menurut penelitian Sumanto (2010) di Desa Rejosari, Karangawen, Demak menunjukkan bahwa pendidikan orang tua (bapak dan ibu) tidak berhubungan secara signifikan dan bukan merupakan faktor risiko terhadap infeksi kecacingan pada anak. Dimana diperoleh nilai p=0,657 dan OR =0,7 untuk pendidikan bapak. Sedangkan untuk pendidikan ibu nilai p=0,362 dan nilai OR=0,2.

b. Pekerjaan Orang tua

Jenis pekerjaan orang tua khususnya ibu dapat mempengaruhi kejadian kecacingan pada anak. Menurut Ginting (2003) di Sumatera Utara, ibu yang memiliki pekerjaan sebagai petani berhubungan bermakna dengan kejadian kecacingan pada anak. Peran yang besar pada ibu dalam pengasuhan anak tampak memberikan peluang cukup besar terjadinya proses penularan dari ibu ke anak. Menurut penelitian Sumanto (2010) di Desa Rejosari, Karangawen, Demak menunjukkan bahwa pekerjaan orang tua (bapak dan ibu) tidak berhubungan secara signifikan dan bukan merupakan faktor risiko terhadap infeksi kecacingan pada


(42)

anak. Dimana diperoleh nilai p=1,000 dan OR=0,9 untuk pekerjaan bapak. Sedangkan untuk pekerjaan ibu nilai p=0,055 dan nilai OR=0,5.

c. Pendapatan Orang tua

Kondisi ekonomi orang tua serta kondisi sanitasi lingkungan rumah sangat mungkin menjadi faktor risiko terjadinya infeksi cacing tularan tanah. Menurut penelitian Jalaluddin (2009) di Lhokseumawe, penghasilan orang tua secara statistik menunjukkan ada hubungan yang bermaksa dengan infeksi kecacingan. Diperoleh nilai p=0,000 dan OR=3,80, dimana orang tua murid SD berpenghasilan rendah berpeluang 3,8 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan penghasilan orang tua yang tinggi. Sedangkan menurut penelitian Sumanto (2010) di Desa Rejosari, Karangawen, Demak menunjukkan bahwa pengasilan orang tua tidak berhubungan signifikan dengan kejadian infeksi cacing tambang pada anak sekolah dengan nilai p=1,000 serta penghasilan keluarga juga bukan merupakan faktor risiko kejadian infeksi cacing tambang pada anak yang ditunjukkan dari nilai OR=0,9. Penelitian Sumanto sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2003) di Sumatra Barat yang menunjukkan bahwa pendapatan orang tua tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=0,098.

2.3.2 Perilaku

Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2010), perilaku menurut ilmu psikologi adalah respons atau reaksi seseorang rangsangan dari luar (stimulus). Sedangkan perilaku kesehatan (health behavior) adalah semua aktivitas seseorang baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati yang berkaitan dengan sehat-sakit dalam pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Perilaku yang dapat berkaitan dengan infeksi soil transmitted helmints adalah sebagai berikut :


(43)

a. Kebiasaan Mencuci Tangan

Kebiasaan mencuci tangan merupakan salah satu dari delapan indikator penting dalam PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) yang dicanangkan pemerintah. Kebiasaan anak-anak yang jarang memperhatikan hegiene tangannya mengakibatkan mereka kerap kali terinfeksi penyakit berbasis perilaku dan sanitasi seperti kecacingan. Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Jalaluddin (2009) di Lhokseumawe menunjukkan bahwa kebiasaan cuci tangan memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan dengan nilai p=0,002 dan OR=2,958, dimana siswa yang memiliki kebiasaan cuci tangan yang tidak baik berpeluang 2,9 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan siswa yang memiliki kebiasaan cuci tangan yang baik. Sedangkan penelitian Widari (2014) di desa Jagapati Bali menunjukkan hasil yang bertentangan yaitu kebiasaan mencuci tangan tidak memiliki hubungan secara signifikan terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=1,00.

b. Kebiasaan Bermain di Tanah

Perilaku bermain terkait dengan kondisi sanitasi lingkungan merupakan hal yang penting diperhatikan di tinjau dari segi kesehatan. Pada kondisi lingkungan masyarakat pedesaan, anak-anak cenderung bermain di halaman rumah atau kebun bersama teman sebaya. Dalam kaitannya dengan kebiasaan anak bermain di tanah, perlu diwaspadai kemungkinan anak terpapar oleh cacing tularan tanah yang memang membutuhkan media tanah untuk perkembangbiakannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Xiao et al, (2015) di Cina pada menunjukkan bahwa lingkungan tempat beraktivitas memiliki hubungan bermakna terhadap infeksi kecacingan. Sedangkan menurut penelitian Widari (2014) di desa Jagapati Bali menunjukkan hasil bahwa yaitu kebiasaan bermain tidak memiliki hubungan secara signifikan terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=1,00.


(44)

c. Kebersihan Kuku

Personal hegiene penting untuk pencegahan. Selain kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan memotong kuku juga memiliki peran yang sangat penting dalam penularan penyakit berbasis lingkungan. Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari kontaminasi telur cacing dari tangan ke mulut. Menurut penelitian Jalaluddin (2009) di Lhokseumawe menunjukkan bahwa kebersihan kuku memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan. Diperoleh nilai p=0,005 dengan nilai OR 2,730, dimana siswa yang memiliki kebersihan kuku yang tidak baik berpeluang 2,7 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan siswa yang memiliki kebersihan kuku yang baik. Sedangkan penelitian Farisdan et al (2013) di Kota Banjarbaru menunjukkan hasil yang bertentangan yaitu kebiasaan mencuci tangan secara statistik tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=0,632, namun dilihat dari nilai OR 1,7, diperoleh bahwa kebersihan kuku merupakan faktor risiko dari infeksi kecacingan, dimana keadaan kuku kotor berisiko 1,7 kali lebih tinggi menderita kecacingan dibandingkan kuku bersih.

Pencegahan

Pencegahan yang paling efektif untuk menghindari infeksi Soil Transmitted Helminths adalah pada tingkat promotif dan preventif. Pada tingkat promotif yaitu dengan memberikan pendidikan kepada masyarakat berupa kesehatan, khususnya sanitasi lingkungan dan personal higiene, mengingat infeksi ini termasuk jenis infeksi berbasis lingkungan. Sedangkan tindakan preventif melalui pengendalian faktor risiko meliputi personal higiene, sanitasi lingkungan, pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai, penyediaan air bersih, serta semenisasi lantai rumah. Dengan adanya upaya masyarakat untuk mempelajari pengaruh sanitasi lingkungan dan higiene


(45)

personal terhadap kesehatan, maka secara tidak langsung masyarakat telah menjamin pemeliharaan kesehatannya sendiri.

Pemeriksaan Tinja

Tujuan dari pemeriksaan tinja yaitu untuk menegakkan diagnosis pasti, ada dan tidaknya infeksi, serta jenis telur cacing yang menginfeksi. Penelitian ini menggunakan metode pemeriksaan tinja Kato-Katz kualitatif, dengan pertimbangan hanya untuk mendapatkan hasil pemeriksaan tinja positif atau negatif cacingan tanpa mentukan intensitas atau berat ringannya penyakit. Langkah memperoleh spesimen tinja menurut pedoman Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/2006 yaitu sebagai berikut :

a. Sebelum pot tinja dibagi ke responden perlu terlebih dahulu dilakukan wawancara mengenai pengetahuan kecacingan, kebiasaan hidup sehat dengan menggunakan kuesioner.

b. Setelah wawancara, pot tinja yang telah diberi kode yang sama dengan kode kuesioner dibagikan ke responden.

c. Jumlah tinja yang dimasukkan ke dalam pot tinja sekitar 100 mg (sebesar kelereng atau ibu jari tangan.

d. Spesimen harus segera diperiksa pada hari yang sama untuk menghindari rusaknya telur cacing tambang. Apabila tidak memungkinkan tinja harus diberi formalin 10% hingga terendam.


(1)

menunjukkan hasil yang bertentangan yaitu jenis lantai rumah tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=0,094. c. Kepemilikan Jamban

Tinja memiliki peranan yang sangat besar dalam penyebaran penyakit. Di samping dapat langsung mengkontaminasi makanan dan minuman, kontaminasi juga dapat terjadi secara tidak langsung melalui perantara vektor (lalat, kecoa, dan sebagainya) serta benda-benda yang telah terkontaminasi. Menurut penelitian Fitri et al (2012) di Kecamatan Angkola Timur menunjukkan bahwa jamban memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan. Diperoleh nilai p=0,000 dan nilai OR=16,349, dimana rumah dengan jamban yang tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 16,349 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan rumah dengan jamban yang memenuhi syarat kesehatan. Sedangkan penelitian Widari (2014) di desa Jagapati Bali menunjukkan hasil yang bertentangan yaitu kepemilikan jamban tidak memiliki hubungan secara signifikan terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=1,00.

d. Katersedian Air Bersih

Selain tinja, air yang tidak sehat juga memiliki peranan yang sangat besar dalam penularan penyakit yang biasa disebut dengan water borne diases. Akibat air yang tidak sehat dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti kolera, diare, disentri, dan penyakit lainnya termasuk kecacingan. Menurut penelitian Fitri et al (2012) di Kecamatan Angkola Timur menunjukkan bahwa ketersediaan air bersih memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan dengan nilai p=0,000 dan nilai OR=4,529, dimana rumah dengan air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 4,529 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan rumah dengan air bersih yang memenuhi syarat kesehatan. Sedangkan


(2)

penelitian Yulianto (2007) di Kota Semarang menunjukkan hasil yang bertentangan yaitu ketersediaan air bersih tidak memiliki hubungan secara signifikan terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=0,094

2. Lingkungan Sosio Ekonomi a. Pendidikan Orang tua

Pendidikan orang tua mempengaruhi pengetahuan orang tua terhadap kesehatan khususnya perilaku hidup bersih dan sehat. Dengan rendahnya pendidikan maka orang tua tidak dapat memberikan pendidikan perilaku hidup bersih yang benar kepada anaknya. Sehingga anak cenderung berperilaku hidup yang kurang sehat dan berisiko terinfeksi kecacingan. Menurut penelitian Sumanto (2010) di Desa Rejosari, Karangawen, Demak menunjukkan bahwa pendidikan orang tua (bapak dan ibu) tidak berhubungan secara signifikan dan bukan merupakan faktor risiko terhadap infeksi kecacingan pada anak. Dimana diperoleh nilai p=0,657 dan OR =0,7 untuk pendidikan bapak. Sedangkan untuk pendidikan ibu nilai p=0,362 dan nilai OR=0,2.

b. Pekerjaan Orang tua

Jenis pekerjaan orang tua khususnya ibu dapat mempengaruhi kejadian kecacingan pada anak. Menurut Ginting (2003) di Sumatera Utara, ibu yang memiliki pekerjaan sebagai petani berhubungan bermakna dengan kejadian kecacingan pada anak. Peran yang besar pada ibu dalam pengasuhan anak tampak memberikan peluang cukup besar terjadinya proses penularan dari ibu ke anak. Menurut penelitian Sumanto (2010) di Desa Rejosari, Karangawen, Demak menunjukkan bahwa pekerjaan orang tua (bapak dan ibu) tidak berhubungan secara signifikan dan bukan merupakan faktor risiko terhadap infeksi kecacingan pada


(3)

anak. Dimana diperoleh nilai p=1,000 dan OR=0,9 untuk pekerjaan bapak. Sedangkan untuk pekerjaan ibu nilai p=0,055 dan nilai OR=0,5.

c. Pendapatan Orang tua

Kondisi ekonomi orang tua serta kondisi sanitasi lingkungan rumah sangat mungkin menjadi faktor risiko terjadinya infeksi cacing tularan tanah. Menurut penelitian Jalaluddin (2009) di Lhokseumawe, penghasilan orang tua secara statistik menunjukkan ada hubungan yang bermaksa dengan infeksi kecacingan. Diperoleh nilai p=0,000 dan OR=3,80, dimana orang tua murid SD berpenghasilan rendah berpeluang 3,8 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan penghasilan orang tua yang tinggi. Sedangkan menurut penelitian Sumanto (2010) di Desa Rejosari, Karangawen, Demak menunjukkan bahwa pengasilan orang tua tidak berhubungan signifikan dengan kejadian infeksi cacing tambang pada anak sekolah dengan nilai p=1,000 serta penghasilan keluarga juga bukan merupakan faktor risiko kejadian infeksi cacing tambang pada anak yang ditunjukkan dari nilai OR=0,9. Penelitian Sumanto sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2003) di Sumatra Barat yang menunjukkan bahwa pendapatan orang tua tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=0,098.

2.3.2 Perilaku

Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2010), perilaku menurut ilmu psikologi adalah respons atau reaksi seseorang rangsangan dari luar (stimulus). Sedangkan perilaku kesehatan (health behavior) adalah semua aktivitas seseorang baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati yang berkaitan dengan sehat-sakit dalam pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Perilaku yang dapat berkaitan dengan infeksi soil transmitted helmints adalah sebagai berikut :


(4)

a. Kebiasaan Mencuci Tangan

Kebiasaan mencuci tangan merupakan salah satu dari delapan indikator penting dalam PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) yang dicanangkan pemerintah. Kebiasaan anak-anak yang jarang memperhatikan hegiene tangannya mengakibatkan mereka kerap kali terinfeksi penyakit berbasis perilaku dan sanitasi seperti kecacingan. Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Jalaluddin (2009) di Lhokseumawe menunjukkan bahwa kebiasaan cuci tangan memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan dengan nilai p=0,002 dan OR=2,958, dimana siswa yang memiliki kebiasaan cuci tangan yang tidak baik berpeluang 2,9 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan siswa yang memiliki kebiasaan cuci tangan yang baik. Sedangkan penelitian Widari (2014) di desa Jagapati Bali menunjukkan hasil yang bertentangan yaitu kebiasaan mencuci tangan tidak memiliki hubungan secara signifikan terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=1,00.

b. Kebiasaan Bermain di Tanah

Perilaku bermain terkait dengan kondisi sanitasi lingkungan merupakan hal yang penting diperhatikan di tinjau dari segi kesehatan. Pada kondisi lingkungan masyarakat pedesaan, anak-anak cenderung bermain di halaman rumah atau kebun bersama teman sebaya. Dalam kaitannya dengan kebiasaan anak bermain di tanah, perlu diwaspadai kemungkinan anak terpapar oleh cacing tularan tanah yang memang membutuhkan media tanah untuk perkembangbiakannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Xiao et al, (2015) di Cina pada menunjukkan bahwa lingkungan tempat beraktivitas memiliki hubungan bermakna terhadap infeksi kecacingan. Sedangkan menurut penelitian Widari (2014) di desa Jagapati Bali menunjukkan hasil bahwa yaitu kebiasaan bermain tidak memiliki hubungan secara signifikan terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=1,00.


(5)

c. Kebersihan Kuku

Personal hegiene penting untuk pencegahan. Selain kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan memotong kuku juga memiliki peran yang sangat penting dalam penularan penyakit berbasis lingkungan. Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari kontaminasi telur cacing dari tangan ke mulut. Menurut penelitian Jalaluddin (2009) di Lhokseumawe menunjukkan bahwa kebersihan kuku memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan. Diperoleh nilai p=0,005 dengan nilai OR 2,730, dimana siswa yang memiliki kebersihan kuku yang tidak baik berpeluang 2,7 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan siswa yang memiliki kebersihan kuku yang baik. Sedangkan penelitian Farisdan et al (2013) di Kota Banjarbaru menunjukkan hasil yang bertentangan yaitu kebiasaan mencuci tangan secara statistik tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=0,632, namun dilihat dari nilai OR 1,7, diperoleh bahwa kebersihan kuku merupakan faktor risiko dari infeksi kecacingan, dimana keadaan kuku kotor berisiko 1,7 kali lebih tinggi menderita kecacingan dibandingkan kuku bersih.

Pencegahan

Pencegahan yang paling efektif untuk menghindari infeksi Soil Transmitted Helminths adalah pada tingkat promotif dan preventif. Pada tingkat promotif yaitu dengan memberikan pendidikan kepada masyarakat berupa kesehatan, khususnya sanitasi lingkungan dan personal higiene, mengingat infeksi ini termasuk jenis infeksi berbasis lingkungan. Sedangkan tindakan preventif melalui pengendalian faktor risiko meliputi personal higiene, sanitasi lingkungan, pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai, penyediaan air bersih, serta semenisasi lantai rumah. Dengan adanya upaya masyarakat untuk mempelajari pengaruh sanitasi lingkungan dan higiene


(6)

personal terhadap kesehatan, maka secara tidak langsung masyarakat telah menjamin pemeliharaan kesehatannya sendiri.

Pemeriksaan Tinja

Tujuan dari pemeriksaan tinja yaitu untuk menegakkan diagnosis pasti, ada dan tidaknya infeksi, serta jenis telur cacing yang menginfeksi. Penelitian ini menggunakan metode pemeriksaan tinja Kato-Katz kualitatif, dengan pertimbangan hanya untuk mendapatkan hasil pemeriksaan tinja positif atau negatif cacingan tanpa mentukan intensitas atau berat ringannya penyakit. Langkah memperoleh spesimen tinja menurut pedoman Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/2006 yaitu sebagai berikut :

a. Sebelum pot tinja dibagi ke responden perlu terlebih dahulu dilakukan wawancara mengenai pengetahuan kecacingan, kebiasaan hidup sehat dengan menggunakan kuesioner.

b. Setelah wawancara, pot tinja yang telah diberi kode yang sama dengan kode kuesioner dibagikan ke responden.

c. Jumlah tinja yang dimasukkan ke dalam pot tinja sekitar 100 mg (sebesar kelereng atau ibu jari tangan.

d. Spesimen harus segera diperiksa pada hari yang sama untuk menghindari rusaknya telur cacing tambang. Apabila tidak memungkinkan tinja harus diberi formalin 10% hingga terendam.