Faktor Risiko Kejadian Infeksi Soil Transmitted Helmints Pada Anak SD Di Desa Taman, Kecamatan Abiansemal Tahun 2016.

(1)

UNIVERSITAS UDAYANA

FAKTOR RISIKO KEJADIAN INFEKSI

SOIL TRANSMITTED

HELMINTS

PADA ANAK SD DI DESA TAMAN, KECAMATAN

ABIANSEMAL TAHUN 2016

I MADE PRASTA GUNADA

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(2)

ii

UNIVERSITAS UDAYANA

FAKTOR RISIKO KEJADIAN INFEKSI

SOIL TRANSMITTED

HELMINTS

PADA ANAK SD DI DESA TAMAN, KECAMATAN

ABIANSEMAL TAHUN 2016

I MADE PRASTA GUNADA

NIM. 1220025025

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(3)

iii

UNIVERSITAS UDAYANA

FAKTOR RISIKO KEJADIAN INFEKSI

SOIL TRANSMITTED

HELMINTS

PADA ANAK SD DI DESA TAMAN, KECAMATAN

ABIANSEMAL TAHUN 2016

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

I MADE PRASTA GUNADA

NIM. 1220025025

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(4)

iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skipsi ini telah dipresentasikan dan diujikan dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 3 Juni 2016

Tim Penguji Skripsi

Penguji I

Dr. drh. I Made Subrata, M.Erg. NIP. 19681120 200801 1 013

Penguji II

dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M. Epid NIP. 19810404 200604 1 005


(5)

v

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skipsi ini telah disetujui dan diperiksa dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 3 Juni 2016

Pembimbing

Made Pasek Kardiwinata, S.KM, M. Kes NIP. 19770101 200501 1 001


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian yang berjudul, Faktor risiko kejadian soil transmitted helmints pada anak SD di Desa Taman, Kecaatan Abiansemal tahun 2016ini tepat pada waktunya.

Dalam pembuatan dan penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. dr. I Made Ady Wirawan, MPH., Ph.D., selaku Ketua PSKM FK Unud atas segenap bantuan dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian dengan baik.

2. Ibu Ni Luh Putu Suariyani, SKM.,MHlth&IntDev., selaku Kepala Bagian Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

3. Bapak Made Pasek Kardiwinata, S.KM, M. Kes.,selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi dan saran – sarannya dalam penyusunan skipsi ini.

4. Dr. drh. I Made Subrata, M.Erg.,selaku ketua penguji atas bimbingan, arahan, motivasi dan saran – sarannya dalam penyusunan skipsi ini.

5. dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M. Epid.,selaku sekretaris penguji yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi dan saran – sarannya dalam penyusunan skipsi ini.

6. Kepala Bagian serta petugas Laboratorium parasitology FK Unud yang telah memeriksa feses untuk mengetahui infeksi STH.

7. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, atas ijin yang diberikan dalam memperoleh data kesehatan di wilayahnya.

8. Kepala Puskesmas IV Abiansemal yang telah memberikan informasi mengenai data serta ijin pengambilan sampel dalam penyusunan skripsi ini.

9. Kepala Desa Taman, atas Informasi dan ijin untuk memperoleh data serta pengambilan sampel dalam penyusunan skripsi ini di wilayahnya.


(7)

vii

10.Kepala UPT Disdikpora Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung atas ijinya untuk memperoleh informasi data serta pengambilan sampel penelitian pada SD di wilayah kerjanya.

11.Kepala SD N 1 Taman, Kepala SD N 2 Taman, Kepala SD N 3 Taman, Kepala SD N 4 Taman, dan Kepala SD N 5 Taman, atas informasi data penelitian serta ijin untuk pelaksanaan penelitian yang mendukung dalam pembuatan skripsi ini. 12.Keluarga yang memberikan dukungan baik materiil maupun moril serta motivasi

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

13.Seluruh teman serta sahabat IKM 2012 yang telah membantu dalam mengumpulkan data di lapangan dalam pembuatan sripsi ini. Secara khusus kepada Cokorda Istri Vera Purledi, Ni Made Nuryanti, Made Shasmitha Pragmaningtyas, Ida Ayu Asri Suhandewi, Jodinita Angelina De Fatma, Della Delfina Budiyono, Asri Ratih Sudharma, Candra Kusuma Dewi, Putu Pisca Merinda Dewi, Ani Widiani, Irma Juliantari, Lina Widyastiti, Putri Dwintasari, I Gusti Ngurah Edi Putra, dan Made Intan Shantivani.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna dapat menyempurnakan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat diterima sehingga dapat bermanfaat di berbagai kalangan.

Denpasar, 25 Mei 2016


(8)

viii

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA EPIDEMIOLOGI

Skripsi, 16 Mei 2016 I Made Prasta Gunada

Faktor Risiko Kejadian Infeksi Soil Transmitted Helmints Pada Anak SD Di Desa Taman, Kecamatan Abiansemal Tahun 2016

ABSTRAK

Kecacingan merupakan penyakit infeksi disebabkan oleh parasit cacing yang dapat membahayakan kesehatan. Penyakit kecacingan yang sering menginfeksi dan memiliki dampak yang sangat merugikan adalah infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah atau sering disebut “Soil Transmited Helmintes (STH). Infeksi STH dapat memberikan dampak yang mempengaruhi pemasukan, penyerapan serta metabolisme makanan ke dalam tubuh. Di provinsi Bali sendiri, berdasarkan penelitian yang dilakukan Laboratorium Parasitologi Universitas Udayana pada tahun 2000, menyatakan bahwa prevalensi STH pada penduduk pedesaan di Bali relatif tinggi, dimana 35% positif hork worm, 63% terinfeksi cacing cambuk, dan terinfeksi cacing gelang mencapai 74%. Infeksi STH cenderung menginfeksi anak-anak usia Sekolah Dasar karena daya tahan tubuh yang masih rendah serta perilaku yang lebih sering kontak dengan tanah sebagai media penularan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor dominan yang mempengaruhi kejadian Soil Transmitted Helmints pada anak SD di Desa Taman, Kecamatan Abiansemal tahun 2016.

Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan rancangan cross sectional dan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini dilakukan di Desa Taman, kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung yang dilakukan pada anak SD di Desa tersebut. Waktu penelitian ini dilakukan mulai dari tahap persiapan pada bulan Januari 2016 sampai dengan bulan Mei 2016. Besar sampela dalam penelitian ini sebanyak 165 orang.

Hasil penelitian adalah prevalensi STH sebesar 11,38%. Terdapat dua faktor yang paling mempengaruhi kejadian STH pada Anak SD berdasarkan uji multivariat yaitu lantai rumah dari tanah (p=0,068, dan 95%CI OR=0,909-13,378) dan kepemilikan jamban (p=0,068, dan 95%CI OR=0,899-21,351) hal tersebut juga merupakan faktor yang mendominasi terjadinya infeksi STH pada Anak SD. Walaupun tidak bermakna secara statistic, namun dengan melihat nilai OR dua faktor tersebut meningkatkan 3 – 4 kali risiko untuk terinfeksi STH.

Dengan hasil penelitian tersebut menunjukkan masih adanya infeksi STH yang terjadi di daerah Bali, sehingga perlu dilakukan penanggulangan segera dan pemantauan secara berkesinambungan oleh pemerintah.


(9)

ix SCHOOL OF PUBLIC HEALTH

MEDICAL FACULTY OF UDAYANA UNIVERSITY EPIDEMIOLOGY

Minor Thesis, May 16nd, 2016 I Made Gunada Prasta

Risk factors of occurrence of infections Transmitted Helmints Soil On elementary school children in the Taman village of Abiansemal district 2016

ABSTRACT

Intestinal worms is an infectious disease caused by a parasitic worm that can harm health. Diseases of the intestinal worms that infect and often have a very adverse impact is an infection of worms that are transmitted through the ground or often called "Soil Transmited Helmintes (STH)". STH infections can give impact affecting income, food metabolism and absorption into the body. In the province of Bali itself, based on research done in parasitology laboratory of Udayana University in 2000, noted that the prevalence of rural population on STH in Bali is relatively high, where 35% positive horkworm, 63% is infected with worms, whip and infected with roundworms reached 74%. STH infections tend to infect the children of primary school age because of thedurability of the body are still low and behavior more often in contact with the ground as a medium of transmission. The purpose of this research is to know the dominant factors that influence the incidence of Soil Transmitted Helmints on elementary school children in the Taman Village, Abiansemal District 2016.

This research use analytic observational design with cross sectional design and quantitative approach. This research was conducted in Taman village, of Abiansemal district, Badung Regency conducted on elementary school children in the village. Time research was done starting from the preparation phase in January 2016 until may 2016. Great sample in this research as much as 165 people.

STH is the prevalence of research results of 11,38%. There are two factors that most influence the incidence of STH on elementary school children based on multivariatetesting that is the floor of the House from the ground (p=0,068, and 95%CI OR=0,909-13,378) and ownership of the toilets (p=0,068, dan 95%CI OR=0,899-21,351) it is also a factor that dominates the occurrence of STH infections on elementary school children. Although statistics are meaningless, but by looking at the value OR two of these factors increases 3 – 4 times the risk for infected with STH.

With the results of the study showed the existence of STH infections still occur in the region of Bali, so that needs to be done to cope with immediate and continuous monitoring by the Government.


(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN JUDUL DENGAN SPESIFIKASI ... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Pertanyaan Peneliti ... 5

1.4 Tujuan Penelitian... 6

1.4.1 Tujuan Umum ... 6

1.4.2 Tujuan Khusus ... 6

1.5 Manfaat Penelitian... 7

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 7

1.5.2 Manfaat Praktis ... 7

1.6 Ruang Lingkup ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Penyakit Cacingan ... 9

2.2 Epidemiologi STH... 9

2.3 Soil Transmitted Helmints (STH) ... 10

2.3.1 Cacing gelang (Ascaris lumbricoides) ... 11

2.3.2 Cacing cambuk (Trichuris Trichiura) ... 14

2.3.3 Cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) ... 16


(11)

xi

2.4 Pemeriksaan tinja ... 18

2.4.1 Cara memperoleh spesimen tinja ... 18

2.4.2 Cara Pemeriksaan Kualitatif (modifikasi teknik Kato) ... 19

2.5 Prevalensi STH ... 20

2.5.1 Prevalensi STH ... 20

2.5.2 Prevalensi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) ... 20

2.5.3 Prevalensi cacing cambuk (Trichuris Trichiura) ... 20

2.5.4 Prevalensi cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) ... 21

2.6 Faktor Perilaku ... 21

2.7 Faktor Lingkungan ... 23

2.8 Teori Segitiga Epidemiologi (the pidemiologic triangle) ... 25

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 27

3.1 Kerangka Konsep ... 27

3.2 Hipotesis ... 28

3.3 Variabel dan Definisi Operasional ... 29

3.3.1 Variabel Penelitian ... 29

3.3.2 Definisi Operasional ... 30

BAB IV METODE PENELITIAN ... 32

4.1 Desain Penelitian ... 32

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

4.2.1 Tempat Penelitian ... 32

4.2.2 Waktu Penelitian ... 33


(12)

xii

4.3.1 Populasi Penelitian ... 33

4.3.2 Besar dan Cara Pengambilan Sampel ... 33

4.3.3 Teknik Sampling ... 35

4.4 Kriteria Penelitian ... 36

4.4.1 Kriteria Inklusi ... 36

4.4.2 Kriteria Eksklusi ... 36

4.5 Data dan Metode Pengumpulan Data ... 37

4.5.1 Jenis Data ... 37

4.5.2 Alur dan Metode Pengumpulan Data ... 37

4.6 Instrumen Penelitian ... 38

4.7 Teknik Pengolahan Data ... 38

4.8 Teknik Analisis Data ... 40

4.9 Uji Laboratorium Diteksi STH pada Feses secara Kualitatif ... 41

4.9.1 Alat dan Bahan ... 41

4.9.2 Prosedur Pemeriksaan Kato-Katz ... 42

BAB V HASIL PENELITIAN ... 44

5.1 Gambaran Lokasi Penelitian ... 44

5.2 Prevalensi STH ... 45

5.2.1 Prevalensi berdasarkan jenis cacing yang menginfeksi ... 45

5.3 Karakteristik Responden ... 46

5.3.1 Kejadiaan Kecacingan Berdasarkan Karakteristik Responden ... 48

5.3.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Jenjang Kelas, dan Asal Sekolah ... 49


(13)

xiii

5.4.1 Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian STH pada Anak SD

di Desa Taman Kecamatan Abiansemal tahun 2016 ... 50

5.5 Analisis Variabel Lingkungan Terhadap Kejadian Infeksi STH ... 52

5.5.1 Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian STH pada Anak SD di Desa Taman Kecamatan Abiansemal tahun 2016 ... 53

5.6 Analisis Multivariabel Faktor yang Mempengaruhi Kejadian STH pada Anak SD di Desa Taman Kecamatan Abiansemal tahun 2016 ... 55

BAB VI PEMBAHASAN ... 58

6.1 Gambaran Kejadian Infeksi Soil Tansmitted Helminth pada Anak SD di Desa Taman Kecamatan Abiansemal Tahun 2016 ... 58

6.2 Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi STH pada Anak SD di Desa Taman Kecamatan Abiansemal tahun 2016 ... 60

6.3 Kelemahan Penelitian ... 71

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 73

7.1 Simpulan... 73

7.2 Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Jenis Telur Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah ... 11

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 30

Tabel 4.1 Jumlah Siswa Per Kelas di Masing-Masing SD... 35

Tabel 5.1 Hasil Uji Laboratorium Soil Transmitted Helminth ... 45

Tabel 5.2 Hasil Uji Laboratorium Berdasarkan Jenis Cacing ... 46

Tabel 5.3 Karakteristik Responden ... 48

Tabel 5.4 Hasil Analisis Karakteristik Responden Terhadap Kejadian STH ... 49

Tabel 5.5 Frekuensi Variabel Perilaku Anak SD di Desa Taman ... 50

Tabel 5.6 Hasil Analisis Perilaku Berisiko Dengan Kejadian STH ... 50

Tabel 5.7 Frekuensi Variabel Lingkungan Anak SD di Desa Taman ... 52

Tabel 5.8 Hasil Analisis Perilaku Berisiko Dengan Kejadian STH ... 53

Tabel 5.9 Model Analisis Multivariabel Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian STH Pada Anak SD di Desa Taman Kecamatan Abiansemal Tahun 2016 ... 56


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Segitiga Epidemiologi (The Epidemiological Triangle) ... 26 Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 27


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Jadwal Penelitian

2. Lembar Permohonan Menjadi Responden 3. Kuesioner Kecacingan

4. Tabel Analisis Data 5. Hasil Analisis Data 6. Dokumentasi


(17)

xvii

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

Daftar Lambang : % : Persen >. : Lebih dari X : Kali

- : Sampai dengan : : titik dua

& : dan p : p value Daftar Singkatan :

BAB : Buang Air Besar

BABS : Buang Air Besar Sembarangan CI : Conviden Interval

CTPS : Cuci Tangan Pakai Sabun Depkes : Departemen Kesehatan Kemenkes : Kementrian Kesehatan OR : Ood Ratio

PP&PL : Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan RI : Republik Indonesia

SD : Sekolah Dasar SD : Sekplah Dasar

SDM : Sumber Daya Manusia STH : Soil Transmitted Helminths WHO : World Health Organization


(18)

1.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kecacingan merupakan penyakit infeksi disebabkan oleh parasit cacing yang dapat membahayakan kesehatan. Penyakit kecacingan yang sering menginfeksi dan memiliki dampak yang sangat merugikan adalah infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah atau sering disebut “Soil Transmited Helmintes (STH). STH sendiri masih dianggap tidak penting di masyarakat, karena dianggap tidak membahayakan atau menyebabkan kematian. Namun pada kenyataannya dampak dari infeksi STH dapat menyebabkan penurunan kesehatan bahkan kematian (Depkes RI, 2010).

Infeksi STH dapat memberikan dampak yang sangat besar terhadap kesehatan yang menyebabkan kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung STH dapat mempengaruhi pemasukan, penyerapan serta metabolisme makanan ke dalam tubuh. Secara kumulatif STH dapat menimbulkan kerugian berupa penurunan kalori dan protein serta kehilangan darah. Selain kerugian pada penurunan zat gizi, STH dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan serta produktifitas kerja, dan dapat pula menurunkan ketahanan dan kekebalan tubuh sehingga mudah terserang penyakit dan infeksi lainya (DikJen PP&PL RI, 2012).

Menurut Aditama (2010), satu ekor cacing dapat mengisap darah, protein, dan karbohidrat dari tubuh manusia. Cacing gelang dapat mengisap 0,14 gram karbohidrat dan 0,035 gram protein, cacing cambuk mampu mengisap 0,005 mL darah, dan cacing tambang mampu mengisap 0,2 mL darah. Secara sekilas angka


(19)

2

tersebut masih terlihat sangat rendah, namun jika diakumulasikan dengan jumlah penduduk, prevalensi rata-rata jumlah cacing 6 ekor per orang dan kemungkinan kerugian akibat kehilangan nutrisi berupa protein, karbohidrat dan darah, tentu akan memberikan efek yang sangat membahayakan.

Menurut WHO (2015), lebih dari 1,5 miliar orang atau sekitar 24% dari penduduk dunia mengalami infeksi STH. Dimana lebih dari 270 juta anak usia pra-sekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah yang menderita infeksi STH dan membutuhkan perlakuan yang intensif. Infeksi STH tersebar luas pada daerah tropis maupun subtropis, termasuk Indonesia.

Menurut Kemenkes RI tahun 2006, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Subdit diare pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 Provinsi menunjukkan prevalensi STH sekitar 2,2% - 96,3%. Survei yang dilakukan oleh Yayasan Kusuma Bangsa (YKB) tahun 2006-2007, rata-rata angka prevalensi cacingan di daerah Jakarta Timur adalah sekitar 2,5% dan Jakarta Utara sebesar 7,8%. Survei pada tahun 2009-2010 yang dilakukan di Provinsi Sulawesi Selatan menunjukan rata-rata prevalensi cacingan sebesar 27,28%. Tahun 2011 data yang terkumpul melalui survei yang dilakukan di beberapa Kabupaten/Kota, diperoleh beberapa angka yang bervariasi diantaranya, di Kabupaten Lebak dan Pandeglang memiliki rata-rata yang cukup tinggi yaitu 62% dan 43,78%, selanjutnya di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta prevalensinya 21,78%, di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram menunjukkan prevalensi berturut-turut 29,47% dan 24,53%. Terakhir Kabupaten Sumba Barat menunjukkan prevalensi sebesar 29,56% (DikJen PP&PL RI, 2012). Berdasarkan data tersebut dapat diartikan bahwa di Indonesia merupakan daerah endemis STH.


(20)

3

Di provinsi Bali sendiri, berdasarkan penelitian yang dilakukan Laboratorium Parasitologi Universitas Udayana pada tahun 2000, menyatakan bahwa prevalensi STH pada penduduk pedesaan di Bali relatif tinggi, dimana 35% positif hork worm, 63% terinfeksi cacing cambuk, dan terinfeksi cacing gelang mencapai 74%. Sedangkan penelitian yang dilakukan Kapti selama kurun waktu 2003 – 2007 di daerah Bali menujukkan prevalensi STH berkisar antara 40,94% - 92,4%. Pada tahun 2004 penelitian lain yang dilakukan pada 13 SD di daerah Badung, Denpasar dan Gianyar yang menunjukkan rata-rata prevalensi infeksi cacing tularan tanah sekitar 58,3% - 96,8%.

Kabupaten Badung menrupakan salah satu Kabupaten di Bali yang dinyatakan endemis STH. Dilihat dari keadaan topografi, Kabupaten Badung terbagi menjadi dua karakteristik wilayah, yaitu bagian selatan merupakan daerah perkotaan dan pantai, serta bagian utara merupakan wilayah perbukitan yang lembab. Berdasarkan penelitian yang dilakukan kapti tahun 2003 – 2007 prevalensi STH di Desa Blahkiuh adalah sebesar 94%, dimana angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pada daerah perkotaan yang hanya sebesar 15%. Hal ini menunjukan bahwa prevalensi STH lebih tinggi di pedesaaan dibandingkan di perkotaan. Ini disebabkan karena karateristik penduduk desa yang dominan memiliki mata pencaharian sebagai petani yang cenderung kontak langsung dengan tanah sebagai media penularan STH.

Pada umumnya infeksi STH cenderung menginfeksi anak-anak usia Sekolah Dasar karena daya tahan tubuh yang masih rendah serta perilaku yang lebih sering kontak dengan tanah sebagai media penularan. Secara epidemiologi, faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi pada anak diantaranya iklim tropis, kesadaran akan kebersihan yang masih rendah, sanitasi buruk, kondisi social


(21)

4

ekonomi yang rendah, serta kepadatan penduduk (Depkes, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2012) terdapat hubungan yang signifikan antara air bersih, jamban, SPAL, tempat sampah, kondisi halaman, kebersihan kuku, penggunaan alas kaki, dan kebiasaan cuci tangan dengan infeksi kecacingan, dimana faktor kebiasaan cuci tangan adalah yang paling besar mempengaruhi terjadinya infeksi kecacingan.

Desa Taman merupakan dataran rendah dengan ketinggian 500 m dari permukaan laut. Suhu rata-rata yang dimiliki desa ini sekitar 19o – 28oC dimana suhu tersebut merupakan suhu yang baik untuk perkembangan telur cacing hingga menjadi infektif. Selain daripada itu studi awal yang dilakukan, peneliti melihat kebiasaan masyarakat yang masih memanfaatkan sungai sebagai tempat pemandian, mencuci serta membang air besar. Anak-anak di desa tersebut juga masih suka bermain ditanah dan tidak menggunakan alas kaki ketika bermain. Dari beberapa rumah warga masih terdapat rumah yang menyatu dengan kandang ternak serta lantai yang tidak berbahan yang layak. Faktor penularan cacing dapat berupa jenis tanah, suhu, kelembaban, perilaku manusia terkait dengan sanitasi dan hygiene misalnya kebiasaan mencuci tangan dengan air bersih sebelum makan, penggunaan alas kaki dan buang air besar disembarang tempat, tidak tersedianya pembuangan limbah kotoran manusia yang memadai serta kurangnya kepedulian terhadap pengobatan penyakit kecacingan (Ridwigdo dalam Marlina, 2012). Melihat dari hal-hal tersebut diatas yang merupakan suatu perilaku dan kondisi lingkungan yang mendukung terjadinya infeksi cacing, maka peneliti ingin melihat faktor risiko kejadian infeksi Soil Transmitted Helmints pada anak SD di Desa Taman, Kecamatan Abiansemal tahun 2016.


(22)

5

1.2Rumusan Masalah

STH adalah penyakit berbahaya yang dianggap tidak penting di masyarakat. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi STH di Indonesia masih tinggi yang menyatakan bahwa Indonesia endemis kecacingan. Penelitian terkait kecacingan di Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung sendiri masih tinggi yaitu di Blahkiuh dengan prevalensi sekitar 94% di tahun 2003-2007. Data tersebut perlu didukung dengan analisis faktor risiko yang mempengaruhi kejadian STH di daerah tersebut. Desa Taman merupakan daerah yang terletak berdampingan dengan Desa Blahkiuh dengan karakteristih wilayah yang sama dan kondisi lingkungan yang sama. Desa taman memiliki wilayah yang luas dan sebagian besar lahan pertanian dan perkebunan. Perilaku masyarakat terhadap PHBS yang masih minim serta perilaku BABS yang masih tinggi. Oleh karena itu peneliti tertarik mengetahui faktor risiko yang mempengaruhi kejadian infeksi Soil Transmitted Helmints pada anak SD di Desa Taman, Kecamatan Abiansemal tahun 2016.

1.3Pertanyaan Peneliti

Adapun pertanyaan peneliti adalah bagaimana pengaruh antara jenis kelamin, kebersihan kuku, kebiasaan bermain di tanah, kebiasaan cuci tangan pakai sabun, lantai rumah dari tanah, lingkungan rumah yang buruk, dan kepemilikan jamban terhadap kejadian STH pada anak SD di Desa Taman Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung tahun 2016?


(23)

6

1.4Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor dominan yang mempengarihi kejadian Soil Transmitted Helmints pada anak SD di Desa Taman, Kecamatan Abiansemal tahun 2016.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengaruh antara jenis kelamin terhadap kejadian STH pada anak SD di Desa Taman Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung tahun 2016.

2. Untuk mengetahui pengaruh antara kebersihan kuku terhadap kejadian STH pada anak SD di Desa Taman Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung tahun 2016.

3. Untuk mengetahui pengaruh antara kebiasaan bermain di tanah terhadap kejadian STH pada anak SD di Desa Taman Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung tahun 2016.

4. Untuk mengetahui pengaruh antara kebiasaan cuci tangan pakai sabun terhadap kejadian STH pada anak SD di Desa Taman Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung tahun 2016.

5. Untuk mengetahui pengaruh antara lantai rumah dari tanah terhadap kejadian STH pada anak SD di Desa Taman Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung tahun 2016.

6. Untuk mengetahui pengaruh antara lingkungan rumah yang buruk terhadap kejadian STH pada anak SD di Desa Taman Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung tahun 2016.


(24)

7

7. Untuk mengetahui pengaruh antara kepemilikan jamban terhadap kejadian STH pada anak SD di Desa Taman Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung tahun 2016.

1.5Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Bagi peneliti adalah untuk menambah wawasan dan pengalaman dalam penerapan ilmu yang diperoleh mengenai hubungan antara factor risiko kejadian kecacingan terhadap kejadian kecacingan pada anak SD di Desa Taman Kecamatan Abiansemal tahun 2016.

2. Data yang diperoleh dapat sebagai acuan untuk perbaikan kesehatan di masyarakat serta sebagai data awal untuk penelitian berikutnya.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Sebagai Masukan Bagi instansi kesehatan yang berwenang terutama Dinas Kesehatan Kabupaten Badung dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap program penyakit infeksi kecacingan pada bidang P2B2.

2. Sebagai data tambahan untuk Puskesmas Abiansemal IV dalam monitoring dan evaluasi program P2B2 serta pengobatan terhadap pasien cacingan di wilayah kerjanya.

3. Sebagai informasi di masyarakat mengenai bahaya kecacingan dan factor yang mempengaruhi, sehingga dapat melakukan pencegahannya.

1.6Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang keilmuan epidemiologi penyakit infeksi yang bersumber cacing tularan tanah dengan menganalisis


(25)

8

hubungan antara perilaku dan kondisi lingkungan terhadap prevalensi kejadian infeksi STH pada anak SD di Desa Taman Kecamatan Abiansemal tahun 2016.


(26)

2.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Penyakit Cacingan

Berbagai permasalahan kesehatan yang dihadapi di masyarakat. Salah satu penyakit yang menimbulkan masalah pada kesehatan yang sangat mempengaruhi adalah kecacingan. Manusia merupakan salah satu hospes defenitif dari berbagai jenis cacing usus (cacing perut). Sebagian besar penulatran cacing perut berasal dari tanah yang disebaut soil transmitted helmints (STH) (Kemenkes RI No. 424/MENKES/SK/VI/2006). Penyakit STH sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, karena hampir semua wilayah Indonesia merupakan tempat yang baik sebagai media perkembangan STH, yang merupakan tempat tropis dengan suhu dan iklim yang sesuai.

Infeksi STH umumnya masuk melalui mulut dengan perantara makanan dan minuman yang terkontaminasi atapun melalui tangan atau kulit yang terkontaminasi dan tanpa sengaja masuk ke mulut. Dalam tubuh manusia STH akan hidup dan memperoleh makanan dari manusia dengan mengisap dan melukai dinding usus manusia (Zulkoni. dkk, 2010).

2.2Epidemiologi STH

Dampak infeksi STH perlu diketahui untuk dapat menanggulangi dan melakukan pencegahanya. Secara epidemiologi, penyebaran cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dan cacing cambuk (Trichuris Trichiura) memiliki pola yang hampir sama, demikian juga dengan penularan cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) (Sutanto. dkk, 2008). Dari ketiga cacing tersebut memerlukan tanah sebagai media infektif untuk


(27)

10

penularanya kepada hospes utamanya yaitu manusia. Telur cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dan cacing cambuk (Trichuris memerlukan tanah untuk menjadi bentuk infektif, telur yang mencapai tanah akan menjadi matang dalam waktu 3 minggu pada suhu obtimum 25o – 30oC. Kemudian telur yang matang akan menetas setelah masuk dalam tubuh manusia. Semakin banyak telur ditemukan pada daerah yang terkontaminasi maka semakin endemis daerah tersebut. Sedangkan untuk cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) memerlukan tanah berpasair, mengandung humus dan terlindung dri sinar matahari langsung. Telur cacing akan menetas dalam waktu 24 – 36 jam dan kemudian pada hari ke 5 – 8 menjadi bentuk filariformyang infektif (Dikjen PP&PL RI, 2012).

2.3Soil Transmitted Helmints (STH)

Infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah atau sering disebut dengan Soil Transmitted Helmints (STH). Siklus hidup Soil Transmitted Helmints (STH) memerlukan tanah sebagai media perkembangbiakanya untuk menjadi infektif. Terdapat tiga jenis STH yang terdapat di Indonesia diantaraya adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris Trichiura), dan cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) (Digjen PP&PL, 2012). Dari tiga jenis cacing tersebut akan dipaparkan sebagai berikut :


(28)

11

Tabel 2.1 Jenis Telur Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah

Spesies Ukuran Bentuk Warna Keterangan

Ascaris lumbricoides (tidak

dibuahi)

60 – 90 x 40 – 60 (micron)

Memanjang ellipsoidal

Coklat sampai coklat tua

Lebih ramping daripada telur dibuahi, bagian luar mempunyai tonjolan kasar dan lapisan

albuminoid,

bagian dalam penuh berisi granul.

Ascaris lumbricoides (dibuahi, tanpa lapisan albumin)

45 – 70 x 35 – 50 (micron)

Oval Jernih Bentuk hampir

menyerupai telur cacing tambang, tapi dindingnya tebal. Ascaris lumbricoides (dibuahi, dengan lapisan albumin)

50 – 70 x 40 – 50 (micron)

Lonjong atau bulat

Kuning kecoklatan sampai coklat tua

Dinding tebal dan berlapis, bagian luar dilapisi lapisan yang berbenjol-benjol dan bergelombang. Ascaris

lumbricoides (infektif siap menginfeksi manusia)

50 – 70 x 40 – 50 (micron)

Lonjong atau bulat

Kuning kecoklatan sampai coklat tua

Dinding tebal berlapis 3 (fertile)

atau 2

(decorticated) berisi larva Tricuri

Trichiura

50 – 54 x 22 – 23 (micron)

Seperti tempayan / gentong

Coklat sampai coklat tua

Kedua katub mempunyai

sumbat, stadium infektif berisi larva Cacing

Tambang

55 – 75 x 35 – 46 (micron)

Oval atau ellipsoidal

Jernih Dinding telur satu lapis, bila baru dikeluarkan

melalui tinja intinya terdiri dari 4-8 sel.

(Dikjen PP&PL, 2012)

2.3.1 Cacing gelang (Ascaris lumbricoides)

Cacing gelang (Ascaris lumbricoides) merupakan infeksi cacing yang bayak diderita masyarakat di Indonesia baik anak-anak, dewasa dan lanjut usia pernah atau sedang mengidapnya. Dalam berbagai kasus STH,


(29)

12

cacing gelang (Ascaris lumbricoides) merupakan penyakit STH yang paling besar prevalensinya, yang diperkirakan menginfeksi lebih dari 1 miliar orang. Banyaknya telur disertai dengan daya tahan telur yang mengandung lrva yang kondusif pada keadaan tanah menjadi penyebab utama (Widoyono,2005). Hospes satu-satunya dari cacing gelang (Ascaris lumbricoides) adalah manusia sehingga manusia menjadi sumber utama dari penularan cacing ini (Sutanto. dkk, 2008).

Infeksi yang terjadi pada manusia terjadi akibat dari telur cacing yang mengandung larva yang masuk kedalam tubuh melalui kontaminasi makanan dan minuman yang tercemar. Penyakit ini terutama menyerang pada anak-anak usia pra-sekolah (usia 3 – 8 tahun) (Widoyono, 2006). Di Indonesia frekuensi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) mencapai 60 – 90%. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemakaian jamban yang menyebabkan banyak masyarakat yang buang air besar sembarangan yang mengakibatkan pencemaran tanah, juga ada yang memakai kotoran sebagai pupuk dan diolah tanpa menggunakan pelindung. Tanah liat dengan suhu 25o-30oC merupakan kondisi yang sangat baik untuk telur cacing gelang (Ascaris lumbricoides) menjadi infektif (Susanto. dkk, 2008).

Parasit ini bersifat kosmopolitan yang terdapat di seluruh dunia, dimana penyebaran parasit ini terutama berada di daerah tropis dengan tingkat kelembaban yang cukup tinggi (Onggowaluyo, 2002). Penyebaranya terutama pada daerah lokal pasifik bagian barat daya (Brooks. dkk, 2008). Di Indonesia parasit ini sangat komplosit dengan ditemukanya prevalensi antara 60 – 90% dari berbagi survey yang telah dilakukan (Susanto. dkk, 2008).


(30)

13

Cacing gelang (Ascaris lumbricoides) memiliki bentuk silindrik dengan ujung anterior lancip. Cacing jantan berukuran 10-31 cm, ekor melingkar, dan memiliki 2 kepala spikula. Sedangkan cacing betina berukuran 22-35 cm, ekor lurus, pada sepertiga bagian anterior memiliki cincin kopulasi. Mulut terdiri atas tiga bagian bibir. Telur yang dibuahi, memiliki ukuran kurang lebih, 60 x 45 mikron, memiliki bentuk oval dan berdinding tebal dengan tiga lapisan yang berisi embrio. Telur yang tidak dibuahi berukuran lebih besar dan bentuk tidak teratur (Prianto, 2002).

Proses penularan cacing gelang (Ascaris lumbricoides) pada manusia yaitu sebagai berikut, telur cacing yang dikeluarna manusia melalui feses dalam lingkungan yang sesuai akan berkembang menjadi embrio dan larva yang infektif dalam telur. Telur yang infektif akan mengontaminasi makanan atau minuman sehingga tertelan oleh manusia saat dikinsumsi. Di dalam usus larva akan menetas dan menembus dinding usus halus dan menuju pada sistem peredaran darah dan menimbulkan penyakit. Siklus ini berlangsung selama 65 – 70 hari (Widoyono 2005).

Terdapat dua gejala yang dapat ditimbulkan jika terifeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides), diantaranya gejala infeksi ringan dan gejala infeksi berat. Gejala infeksi ringan berupa, ditemukanya cacing dalam tinja, batuk mengluarkan cacing, kurang nafsu makan, demam, dan bunyi mengi saat bernafas. Untuk gejala berat diantaranya, muntah, nafas pendek, perut buncit, nyeri perut, usus tersumbat, dan saluran empedu tersumbat (Zulkoni, 2010).

Pengobatan dapat dilakukan secara individual maupun secara masal dengan memberikan berbagai macam obat diantaranya, piperasin, pirantel


(31)

14

pamoat 10 mg/kg berat badan, dosis tunggal mebendazol 500 mg atau albendazol 400 mg. secara masal dapat dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan obat cacing albendazol 400 mg pada anak SD 2 kali setahun (Susanto. dkk, 2008). Penanggulangan yang dilakukan terkait cacing gelang adalah perbaikan perilaku yang berhubaungan dengan kebersihan seperti, mencuci tangan, menjaga kebersihan pribadi, menggunakan alas kaki, tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanam terutama sayur, dann perbaikan sanitasi lingkungan berupa kepemilikan jamban sesuai kriteria kesehatan (Widoyono, 2006).

2.3.2 Cacing cambuk (Trichuris Trichiura)

Manusia merupakan satu-satunya hospes dari cacing cambuk (Trichuris Trichiura), dimaana penyakit ini menduduki peringkat kedua tertinggi di dunia setelah cacing gelang (Widoyono, 2006). Keberadaan cacing ini dalam tubuh manusia sangat merugikan karena dapat menurunkan kadar gizi dalam tubuh manusia. Kehilangan zat gizi yang disebabkan oleh cacing ini berupa kehilangan darah sekitar 0,005 cc per hari, jika dikalikan dengan jumlah penduduk serta persentase kasus cacing cambuk (Trichuris Trichiura) tentu angka ini akan menjadi lebih tinggi (Kemenkes RI No. 424/MENKES/SK/VI/2006).

Cacing cambuk (Trichuris Trichiura) menginfeksi hampir 500 – 900 juta orang di dunia. Infeksi dapat dialami semua golongan umur, terutama pada anak-anak yang berusia 5 – 15 tahun. Cacing cambuk (Trichuris Trichiura) lebih banyak menyebar pada daerah yang beriklim panas. Di Asia, prevalensi cacing cambuk (Trichuris Trichiura) lebih dari 50%, afrika 25%, dan amerika latin 12%. Penyebaran cacing akan lebih cepat pada


(32)

15

daerah pedesaan yang sanitasinya kurang bagus (Widoyono, 2006). Factor yang paling penting dalam penyebaranya adalah keadaan tanah liat yang lembab dan teduh dengan suhu obtimum 30oC. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia, Frekuensi cacing cambuk (Trichuris Trichiura) berkisar 30 – 90% (Susanto. dkk, 2008).

Infeksi cacing cambuk (Trichuris Trichiura) tersebar di seluruh dunia pada daerah yang beriklim tropis, lembab dan panas. Penyebaranya bersifat komplosit di seluruh dunia termasuk Indonesia (Onggowaluyo, 2002). Cacing ini berukuran 4 cm untuk yang jantan dan 5 cm untuk yang betina. Bagian anterior halus seperti cambuk dan bagian ekor melingkar untuk yang jantan dan yang betina ekornya lurus berujung tumpul. Telurnya berukuran 50 x 22 mikron, bentuk seperti tempayan dengan kedua ujung menonjol berdinding tebal dan berisi larva (Prianto, dkk, 2002). Telur tersebut akan menjadi matang dalam waktu 6 minggu dalam lingkungan yang sesuai yaitu tanah yang lembab, teduh dan terhindar dari sinar matahari (Susanto. dkk, 2008). Telur yang tertelan manusis dakan menetas dalam usus halus lalu berpindah ke usus besar kemudian akan menancapkan kepalanya pada lapisan usus. Darah akan diisap sebagai makanan cacing yang menimbulak damapak anemia akibat kekurang daran oleh inanggnya setiap larva akan tumbuh sepanjang 12,5 cm, cacing betina dewasa menghasilkan telur sekitar 5000 per hari yang akan dibuang melalui tinja (Zulkoni, 2010).

Infeksi berat pada anak dimana cacing tersebar pada seluruh kolon dan rectum sehingga dapat menimbulkan prolapses rekti akibat penderita mengejan dengan kuat dan sering timbul pada saat defekasi. Penderita juga


(33)

16

dapat mengalami diare dengan gejala sindrom disentri atau colitis kronis, sehingga berat badan turun. Akibat dari bagian anterior cacing yang melukai mukosa usus yang mengakibatkan peradangan dan pendarahan, sehingga menimbulkan anemia (Dikjen PP&PL RI, 2012).

Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing cambuk (Trichuris Trichiura) adalah dengan memberikan albendazole 400 mg (dosis tunggal), mebendazole 100 mg (2 kali sehari) selama tiga kali berturut-turut, dan oksantel pamoate (Kemenkes RI No. 424/MENKES/SK/VI/2006). Pencegahanya dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan lingkungan, menggunakan alat pelindung ke tempat yang lembab dan temperature yang merupakan habitat dari cacing ini. Memperhatikan tanah dan temperatur serta sinar matahari pada lingkungan yang dapat mengganggu perkembangan telur cacing (Zaman & Ng Mah-Lee, Mary, 2008).

2.3.3 Cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus)

Cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) pertama kali ditemukan di Eropa pada pekerja tambang yang terinfeksi Necator Americanus dan Ancylostoma Duodenale, sehingga dua spesies cacing yang menginfeksi manusia ini disebut cacing tambang (Susanto. dkk, 2008). Cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) dapat menginfeksi usus. Hospes definitive dari kedua cacing ini adalah manusia dan tidak memiliki hosper perantara. Penyakit yang disebabkan oleh parasit ini adalah nekatoriasis dan ankilostomiasis (Onggowaluyo, 2002).


(34)

17

Infeksi cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) dapat menyerang semua umur dengan proporsi tertinggi pada anak-anak. Hal tersebut dikarenakan aktifitas anak-anak yang suka bermain di lingkungan yang tidak bersih dan terkontaminasi cacing tambang. Penyakit ini diperkirakan menyerang 700 – 900 juta orang di Dunia, dengan 1 juta liter darah hilang (1 orang = 1 mL darah diisap oleh cacing) (Widoyono, 2006). Tempat perkembangan yang baik untuk cacing ini adalah tanah yang gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 28o– 32oC untuk Necator Americanus dan 23o – 25oC untuk Ancylostoma Duodenale (Susanto. dkk, 2008).

Ancylostoma Duodenale memiliki panjang sekitar 1 cm, dan memiliki bentuk menyerupai huruf C. Pada bagian mulutnya memiliki dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks pada bagian ekornya, sedangkan cacing betina memiliki bagian ekor yang runcing. Untuk Necator Americanus panjang badanya sekitar 1 cm dan berbentuk menyerupai huruf S, pada bagian mulutnya memiliki benda kitin. Telurnya berukuran sekitar 70 x 45 mikon, bulat lonjong, berdinding tipis, kedua kutub mendatar, dan di dalamnya terdapat beberapa sel (Prianto, dkk, 2002).

Parasit ini ditemukan di daerah tropis dan sub tropis di seluruh dunia, untuk Necator banyak ditemukan di Amerika Utara, dan pada daerah beriklim sedang untuk Ancylostoma (Brooks. dkk, 2008). Di Indonesia prevalensinya tinggi, sekitar 40% di daerah pedesaan (Susanto. dkk, 2008). Cacing ini memiliki gigi kecil yang digunakan untuk melukai dinding usus untuk mengisap darah sehingga penderita cacing ini akan mengalami pendarahan akibat peradangan dan anemia. Telur yang keluar


(35)

18

melalui feses akan menetas pada tempat-tempat yang becek karena pada tempat kering telur akan mati. Telur yang menetas akan menjadi larva yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Larva yang menembus kulit akan dibawa oleh aliran darah menuju paru-paru, kemudian masuk ke dalam aveoli, trakea, esophagus, kemudian masusk ke lampoon dan menuju ke usus menjadi cacing dewasa (Onggowaluyo, 2002).

Obat yang dapat diberikan pada penderita cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) yaitu albendazol dosis tunggal 400 mg oral atau mebendazol 2 x 100 mg/hari atau pirantel pamoat 11 mg / kg BB maksimum 1 gram. Untuk meningkatkan kadar Hb, perlu diberikan asupan gizi dan suplementasi zat besi (Dikjen PP&PL, 2012). Pencegahan dapat dilakukan dengan menanamkan PHBS kepada masyarakat yang berisiko. Pengukuran prevalensi penting dilakukan untuk mengetahui daerah endemisitas (Widoyono, 2006).

2.4Pemeriksaan tinja

Pemeriksaan tinja bertujuan untuk mengetahui diagnosis pasti menggunakan pemeriksaan microscopis untuk melihat ada tidaknya telur cacing, jenis telur cacing, dan menentukan intensitas infeksi. Pemerksaan tinja dilakukan dengan metode Kato-Katz Kualitatif.

2.4.1 Cara memperoleh spesimen tinja

a. Sebelum pot tinja dibagi perlu dilakukan wawancara mengenai pengetahuan cacingan, kebiasaan hidup bersih dan sehat dengan menggunakan kuesioner.


(36)

19

b. Setelah wawancara, responden diberikan pot yang sudah diberikan kode sesuai dengan kode kuesioner pengetahuan untuk anak SD. c. Jumlah tinja yang dimasukkan ke dalam pot / kantong plastic sekitar

100 mg (sebesar kelereng atau ibu jari tangan).

d. Specimen harus segera diperiksa pada hari yang sama, sebab jika tidak telur cacing tambang akan rusak atau menetas menjadi larva, jika tidak memungkinkan, tinja harus diberikan formalin 5 – 10% sampai terendam (Kemenkes RI No. 424/MENKES/SK/VI/2006).

2.4.2 Cara Pemeriksaan Kualitatif (modifikasi teknik Kato)

Hasil pemerikasaan kualitatif berupa positif atau negative cacingan. Prevalensi cacingan dapat berupa prevalensi seluruh jenis cacing atau per jenis cacing.

Cara membuat preparat berdasarkan Kemenkes RI (2006) :

a. Pakailah sarung tangan untuk mengurangi kemungkinan kontaminasi berbagai penyakit.

b. Tulislah nomor kode pada gelas dengan menggunakan sepidol sesuai dengan yang tertulis di pot tinja.

c. Ambilah tinja dengan lidi sedbesar kacang hijau, dan letakkan di atas gelas objek.

d. Tutup dengan selofan yang sudah direndam dalam larutan di atas gelas obyek.

e. Biarkan sediaan selama 20-30 menit.

f. Periksa dengan pembesaran lemah 100 x (objektif 10 x dan okuler 10 x), bila diperlukan dapat dibesarkan 400 x (objektif 40x dan okuler 10 x).


(37)

20

g. Hasil pemeriksaan tinja berupa positif atau negative tiap jenis telur cacing.

2.5Prevalensi STH

Prevalensi STH merupakan angka yang menggambarkan kejadian kasus kecacingan di suatu wilayah yang dibagi dengan jumlah populasi dilkali 100%. Beberapa penelitian mengatakan masih tingginya prevalensi STH di beberapa Negara di dunia. Menurut Jejaw et al (2015) dalam penelitiannya yang dilakukan pada anak SD di barat daya Ethiopia bahwa prevalensi cacing usus tularan tanah sangat tinggi sehingga perlu tindakan yang lebih lanjut. Prevalensi keseluruhan infeksi STH dan S.mansoni kalangan anak-anak sekolah dari Gorgora dan Kota Chuahit, 66,7% dan masih sangat tinggi (Mathewos et al, 2014). Selain daripada itu, penelitian lain yang dilakukan Alemu et al (2011) juga mengatakan prevalensi cacing tularan tanah merupakan masalah kesehatan utama pada daerah penelitian.

2.5.1 Prevalensi STH

2.5.2 Prevalensi cacing gelang (Ascaris lumbricoides)

2.5.3 Prevalensi cacing cambuk (Trichuris Trichiura)

Jumlah specimen positif telur minimal 1 jenis cacing x 100% Jumlah specimen yang diperiksa

Jumlah specimen positif telur cacing gelang x 100% Jumlah specimen yang diperiksa

Jumlah specimen positif telur cacing cambuk x 100% Jumlah specimen yang diperiksa


(38)

21

2.5.4 Prevalensi cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus)

2.6Faktor Perilaku

Penelitian yang dilakukan Fitri (2012), perilaku memiliki hubungan terhadap kejadian STH pada anak SD. Perilaku yang berhubuangan denag kejadian STH adalah diantaranya kebersihan kuku, penggunaan alas kaki, dan kebiasaan cuci tangan pakai sabun. Selain dari penelitian yang dilakuan oleh Rusmanto dan J. Mukono (2012), juga mengatakan bahwa hubungan yang signifikan antara prilaku personal hygiene siswa SD dengan prevalensi STH. Penelitian lain yang dilakukan Faridan K, dkk (2013) menujukkan kejadian STH dipengaruhi oleh kebersihan kuku dan mencuci tangan sebelum makan, sesudah bermain ditanah, dan setelah buang air besar. Namun hasil ini bertolak belakang dengan hasil yang dikemukakan oleh Chadijah, dkk (2014), dimana perilaku tidak ada hubungan dengan kejadian STH pada anak sekolah dasar.

Pada dasarnya perilaku merupakan suatu tindakan dari individu untuk melakukan sesuatu berdasarkan stimulus atau rangsangan dari luar. Perilaku akan dipengaruhi berbagai faktor baik dari segi sosial maupun budaya yang tumbuh menjadi kebiasaan baik maupun buruk (Notoatmodjo, 2010). Perilaku yang berhubungan dengan kejadian STH diantaranya adalah :

a) Kebiasaan cuci tangan pakai sabun

Cuci tangan merupakan salah satu langkah awal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadianya penularan berbagai macam penyakit. Cuci tangan yang baik dan benar dengan menggunakan sabun dapat membunuh

Jumlah specimen positif telur cacing tambang x 100% Jumlah specimen yang diperiksa


(39)

22

bateri, kuman dan menghanyutkan kototan yang terdapat di tangan. Tangan merupakan sarana yang baik untuk penularan penyakit, karena sebagian besar aktivitas dilakukan dengan menggunakan tangan, sehingga menjaga kebersihan tangan sangat perlu dilakukan. Penelitian yang dilakukan Jejaw et al. (2015) bahwa mencuci tangan sebelum makan memiliki hubungan yang erat dengan kejadian STH di Ethiopia. Namun penelitian yang dilakukan oleh Sofiana (2010), menunjukan hal yang berbeda dimana perilaku mencuci tangan pakai sabun tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan infeksi STH yang ditularkan melalui tanah.

b) Kebersihan kuku

Kuku yang panjang dapat memerangkap kotoran di dalamnya, kotoran yang berupa tanah dapat mengandung larva cacing yang infektif dan dapat menginfeksi. Perilaku yang tidak bersih yaitu tidak mencuci tangan sebelum makan dan setelah beraktifitas dapat menyebabkan infesius tersebut masuk ke dalam mulut sehingga mengakibatkan terjadinya infeksi cacing pada individu tersebut. Namun pendapat berbeda dalam penelitian yang dilakukan Sofiana (2010), memotong kuku seminggu sekali tidak memiliki hubungan yang bermakna denagan kejadian STH.

c) Kebiasaan bermain di tanah

Tanah merupakan sarana bermain yang paling disenangi anak-anak. Anak-anak mampu berkreasi menggunakan tanah saat mereka bermain. Namun dibalik kesenanggan mereka dalam bermain, tanah juga mengandung banyak unsur yang berbahaya termasuk salah satunya larva cacing. Larva cacing dapat menginfeksi anak-anak melalui kulit dan terselip pada kuku yang tdak dipotong. Pada saat makan secara tidak sengaja kuku yang kotor


(40)

23

juga ikut masuk ke dalam mulut, sehingga larva cacing ikut masuk ke dalam mulut dan menginfeksi di dalam usus anak. Usia anak-anak merupakan usia untuk bermain dan mengembangkan kreatifitas dengan memafaatkan lingkungan salah asatunya tanah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Xiao et al. (2015) di bagian barat daya Cina mengatakan bahwa lingkungan tempat beraktivitas memiliki hubungan yang baik terhadap penularan cacing, seperti bekerja pada peternakan. Lingkungan bermain anak mirip dengan kondisi tersebut dimana lingkungan tempat bermain seperti bermain di tanah memiliki peluang untuk terkena infeksi cacing.

2.7Faktor Lingkungan

Penelitian yang dilakuakn Saleha Sungkar, dkk (2015) mengatakan bahwa lingkungan memiliki peranan besar dalam penyebaran infeksi parasit cacing di masyarakat. Dalam penelitianya di Sumba dederapa indicator penyebaran STH tersebut diantaranya, lantai tanah, lingkungan kumuh, sumber air bersih, dan ketersediaan jamban. Menurut HL. Blum (1974), kesehatan lingkungan merupakan suatu kondisi lengkungan yang optimum sehingga perpengaruh terhadap kesehatan. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencakup : perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (limbah air), rumah hewan ternak atau kandang dan sebagainya. Mengingat bahwa permasalahan terkait kesehatan lingkungan di Negara-negara berkemang termasuk Indonesia adalah berasal dari beberapa permasalahan tersebut.

Berikut ini beberapa permasalahan yang akan di bahas dalm penelitian ini diantaranya :


(41)

24

a) Lingkungan rumah

Lingkungan yang baik untuk sebuah rumah yang dapat dikatakan sehat adalah lingkungan yang terhindar dari sumber-sumber pencemar seperti kandang ternak, tempat sampah, persawahan dan sebagainya, selain dari pada itu kondisi rumah yang sehat harus sesuai dengan kriteria sehat yaitu, memiliki ventilasi, pencahayaan yang cukup, luas bangunan, dan bahan bangunan itu sendiri. Dengan adanya fasilitas rumah dengan lingkungan yang sehat sehingga keluarga mampu terhindar dari segala jenis penyakit.

b) Lantai rumah

Lantai berbahan ubin atau semen merupakan hal yang baik, namun kondisi pedesaan yang terasa sangat dingin dan kondisi perekonomian masyarakatnya yang rendah mengakibatkan usaha semenisasi banyak tidak dilakukan. Sehingga membuat lantai di pedesaan cukuplah dengan tanah yang biasa didapatkan. Syaratb dari lantai yang baik dan sehat adalah tidak berdebu di musim kemarau dan tidak basah di musim hujan. Karena lantai yang berdebu dan basah merupakan sumber penyakit.

c) Kepemilikan jamban

Kepemilikan jamban terkait dengan pembuangan kotoran manusia (tinja). Tinja merupakan suatu zat yang sudah tidak terpakai dalam tubuh manusia dan dibuang. Pembuangan tinja sembarangan akamn menimbulan dampak yang besar bagi kesehatan. Tinja merupakan sumber penyebaran penyakit yang multi kompleks. Penyebaran benyakit bersumber dari tinja dapat melalui berbagi cara, baik dari vektor maupun lingkungan itu sendiri. Untuk menanggulangi permasalahan yang ditimbulkan oleh pembuangan


(42)

25

tinja semabarangan, maka perlu dibangun jamban dengan penampungan tinja yang tertutup sehingga tidak dapat mengontaminasi lingkungan. Persepsi tersebut bertentangan dengan penelitian ynga dilakukan oleh Sofiana (2010) bahwa BAB sembarangan atau tidak pada jamban tidak memiliki hubungan dengan kejadian STH, yang dikarenakan perilaku BAB sembarangan sudah tidak dilakukan. Penelitiannyang diakukan Xiao (2015) juga mengtakan memiliki toilet di rumah tidak memiliki hubungan dengan kejadian STH. Namun dalam penelitian lain menunjukan bahwa hubungan tersebut bermakna, yang dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat.

2.8Teori Segitiga Epidemiologi (the pidemiologic triangle)

Faktor risiko merupakan suatu masalah dalam kesehatan yang mempengarihi terjadinya kesakitan itu sendiri. Dalam teori ini dijelaskan bahwa terjadinya sakit dipengaruhi oleh 3 faktor utama. Ketiga faktor tersebut disebut dengan segitiga epidemiologi (the pidemiologic triangle). Pada model segitiga epidemiologi ini, proses timbulnya penyakit dipengaruhi tiga faktor, yaitu adanya penjamu (host), agens (bibit penyakit) dan lingkungan (enviromental). Disamping berpengaruh langsung terhadap kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Untuk mewujudkan satatus kesehatan ketiga faktor tersebut harus seimbang. Jika salah satu saja ada yang lebih besar atau lebih kecil maka akan timbul keadaan sakit (Adnani, 2011).

Host atau penjamu merupakan faktor manusia yang bersifat sangat kompleks terhadap terjadinya suatu penyakit sesuai karakteristik yang dimiliki. Faktor host dapat berupa, umur seperti kerentanan infeksi penyakit pada umur anak-anak yang lebih rentan daripada orang dewasa, jenis kelamin dimana laki-laki memiliki frekuensi penyakit lebih tinggi daripada wanita, adat-istiadat yang


(43)

26

membentuk kebiasaan dan perilaku di masyarakat, serta gaya hidup dalam masyarakat untuk berperilaku hidup sehat dan memperoleh kesehatan.

Agen penyakit dapat berupa agen biologis, nutrisi, fisisk, kimiawi, dan mekanis. Agen biologi merupakan agen yang hidup dan menjadi parasit dalam tubuh hostnya seperti virus, bakteri, fungi, riketsia, protozoa, metazoa, dan helminths.

Lingkungan atau environmental terdiri dari tiga komponen yaitu, lingkungan fisik yang bersifat abiotic atau benda mati, diantaranya air, cahaya matahari, tanah, udara, makanan, rumah dan lain-lain. Lingkungan biologis yang bersifat biotik atau benda hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, dan serangga yang berperan menyalurkan atau menularkan penyakit. Lingkungan sosial masyarakat yang memberi pengaruh terhadap perilaku di masyarakat (Candra, 2009).

Gambar 2.1 Segitiga Epidemiologi (the epidemiological triangle) (sumber : Sutrisna, 2010)

Host (penjamu)

Agent (bibit

penyakit)

Enviromental


(1)

2.5.4 Prevalensi cacing tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus)

2.6Faktor Perilaku

Penelitian yang dilakukan Fitri (2012), perilaku memiliki hubungan terhadap kejadian STH pada anak SD. Perilaku yang berhubuangan denag kejadian STH adalah diantaranya kebersihan kuku, penggunaan alas kaki, dan kebiasaan cuci tangan pakai sabun. Selain dari penelitian yang dilakuan oleh Rusmanto dan J. Mukono (2012), juga mengatakan bahwa hubungan yang signifikan antara prilaku personal hygiene siswa SD dengan prevalensi STH. Penelitian lain yang dilakukan Faridan K, dkk (2013) menujukkan kejadian STH dipengaruhi oleh kebersihan kuku dan mencuci tangan sebelum makan, sesudah bermain ditanah, dan setelah buang air besar. Namun hasil ini bertolak belakang dengan hasil yang dikemukakan oleh Chadijah, dkk (2014), dimana perilaku tidak ada hubungan dengan kejadian STH pada anak sekolah dasar.

Pada dasarnya perilaku merupakan suatu tindakan dari individu untuk melakukan sesuatu berdasarkan stimulus atau rangsangan dari luar. Perilaku akan dipengaruhi berbagai faktor baik dari segi sosial maupun budaya yang tumbuh menjadi kebiasaan baik maupun buruk (Notoatmodjo, 2010). Perilaku yang berhubungan dengan kejadian STH diantaranya adalah :

a) Kebiasaan cuci tangan pakai sabun

Cuci tangan merupakan salah satu langkah awal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadianya penularan berbagai macam penyakit. Cuci tangan yang baik dan benar dengan menggunakan sabun dapat membunuh

Jumlah specimen positif telur cacing tambang x 100% Jumlah specimen yang diperiksa


(2)

bateri, kuman dan menghanyutkan kototan yang terdapat di tangan. Tangan merupakan sarana yang baik untuk penularan penyakit, karena sebagian besar aktivitas dilakukan dengan menggunakan tangan, sehingga menjaga kebersihan tangan sangat perlu dilakukan. Penelitian yang dilakukan Jejaw et al. (2015) bahwa mencuci tangan sebelum makan memiliki hubungan yang erat dengan kejadian STH di Ethiopia. Namun penelitian yang dilakukan oleh Sofiana (2010), menunjukan hal yang berbeda dimana perilaku mencuci tangan pakai sabun tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan infeksi STH yang ditularkan melalui tanah.

b) Kebersihan kuku

Kuku yang panjang dapat memerangkap kotoran di dalamnya, kotoran yang berupa tanah dapat mengandung larva cacing yang infektif dan dapat menginfeksi. Perilaku yang tidak bersih yaitu tidak mencuci tangan sebelum makan dan setelah beraktifitas dapat menyebabkan infesius tersebut masuk ke dalam mulut sehingga mengakibatkan terjadinya infeksi cacing pada individu tersebut. Namun pendapat berbeda dalam penelitian yang dilakukan Sofiana (2010), memotong kuku seminggu sekali tidak memiliki hubungan yang bermakna denagan kejadian STH.

c) Kebiasaan bermain di tanah

Tanah merupakan sarana bermain yang paling disenangi anak-anak. Anak-anak mampu berkreasi menggunakan tanah saat mereka bermain. Namun dibalik kesenanggan mereka dalam bermain, tanah juga mengandung banyak unsur yang berbahaya termasuk salah satunya larva cacing. Larva cacing dapat menginfeksi anak-anak melalui kulit dan terselip pada kuku yang tdak dipotong. Pada saat makan secara tidak sengaja kuku yang kotor


(3)

juga ikut masuk ke dalam mulut, sehingga larva cacing ikut masuk ke dalam mulut dan menginfeksi di dalam usus anak. Usia anak-anak merupakan usia untuk bermain dan mengembangkan kreatifitas dengan memafaatkan lingkungan salah asatunya tanah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Xiao et al. (2015) di bagian barat daya Cina mengatakan bahwa lingkungan tempat beraktivitas memiliki hubungan yang baik terhadap penularan cacing, seperti bekerja pada peternakan. Lingkungan bermain anak mirip dengan kondisi tersebut dimana lingkungan tempat bermain seperti bermain di tanah memiliki peluang untuk terkena infeksi cacing.

2.7Faktor Lingkungan

Penelitian yang dilakuakn Saleha Sungkar, dkk (2015) mengatakan bahwa lingkungan memiliki peranan besar dalam penyebaran infeksi parasit cacing di masyarakat. Dalam penelitianya di Sumba dederapa indicator penyebaran STH tersebut diantaranya, lantai tanah, lingkungan kumuh, sumber air bersih, dan ketersediaan jamban. Menurut HL. Blum (1974), kesehatan lingkungan merupakan suatu kondisi lengkungan yang optimum sehingga perpengaruh terhadap kesehatan. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencakup : perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (limbah air), rumah hewan ternak atau kandang dan sebagainya. Mengingat bahwa permasalahan terkait kesehatan lingkungan di Negara-negara berkemang termasuk Indonesia adalah berasal dari beberapa permasalahan tersebut.

Berikut ini beberapa permasalahan yang akan di bahas dalm penelitian ini diantaranya :


(4)

a) Lingkungan rumah

Lingkungan yang baik untuk sebuah rumah yang dapat dikatakan sehat adalah lingkungan yang terhindar dari sumber-sumber pencemar seperti kandang ternak, tempat sampah, persawahan dan sebagainya, selain dari pada itu kondisi rumah yang sehat harus sesuai dengan kriteria sehat yaitu, memiliki ventilasi, pencahayaan yang cukup, luas bangunan, dan bahan bangunan itu sendiri. Dengan adanya fasilitas rumah dengan lingkungan yang sehat sehingga keluarga mampu terhindar dari segala jenis penyakit.

b) Lantai rumah

Lantai berbahan ubin atau semen merupakan hal yang baik, namun kondisi pedesaan yang terasa sangat dingin dan kondisi perekonomian masyarakatnya yang rendah mengakibatkan usaha semenisasi banyak tidak dilakukan. Sehingga membuat lantai di pedesaan cukuplah dengan tanah yang biasa didapatkan. Syaratb dari lantai yang baik dan sehat adalah tidak berdebu di musim kemarau dan tidak basah di musim hujan. Karena lantai yang berdebu dan basah merupakan sumber penyakit.

c) Kepemilikan jamban

Kepemilikan jamban terkait dengan pembuangan kotoran manusia (tinja). Tinja merupakan suatu zat yang sudah tidak terpakai dalam tubuh manusia dan dibuang. Pembuangan tinja sembarangan akamn menimbulan dampak yang besar bagi kesehatan. Tinja merupakan sumber penyebaran penyakit yang multi kompleks. Penyebaran benyakit bersumber dari tinja dapat melalui berbagi cara, baik dari vektor maupun lingkungan itu sendiri. Untuk menanggulangi permasalahan yang ditimbulkan oleh pembuangan


(5)

tinja semabarangan, maka perlu dibangun jamban dengan penampungan tinja yang tertutup sehingga tidak dapat mengontaminasi lingkungan. Persepsi tersebut bertentangan dengan penelitian ynga dilakukan oleh Sofiana (2010) bahwa BAB sembarangan atau tidak pada jamban tidak memiliki hubungan dengan kejadian STH, yang dikarenakan perilaku BAB sembarangan sudah tidak dilakukan. Penelitiannyang diakukan Xiao (2015) juga mengtakan memiliki toilet di rumah tidak memiliki hubungan dengan kejadian STH. Namun dalam penelitian lain menunjukan bahwa hubungan tersebut bermakna, yang dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat. 2.8Teori Segitiga Epidemiologi (the pidemiologic triangle)

Faktor risiko merupakan suatu masalah dalam kesehatan yang mempengarihi terjadinya kesakitan itu sendiri. Dalam teori ini dijelaskan bahwa terjadinya sakit dipengaruhi oleh 3 faktor utama. Ketiga faktor tersebut disebut dengan segitiga epidemiologi (the pidemiologic triangle). Pada model segitiga epidemiologi ini, proses timbulnya penyakit dipengaruhi tiga faktor, yaitu adanya penjamu (host), agens (bibit penyakit) dan lingkungan (enviromental). Disamping berpengaruh langsung terhadap kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Untuk mewujudkan satatus kesehatan ketiga faktor tersebut harus seimbang. Jika salah satu saja ada yang lebih besar atau lebih kecil maka akan timbul keadaan sakit (Adnani, 2011).

Host atau penjamu merupakan faktor manusia yang bersifat sangat kompleks terhadap terjadinya suatu penyakit sesuai karakteristik yang dimiliki. Faktor host dapat berupa, umur seperti kerentanan infeksi penyakit pada umur anak-anak yang lebih rentan daripada orang dewasa, jenis kelamin dimana laki-laki memiliki frekuensi penyakit lebih tinggi daripada wanita, adat-istiadat yang


(6)

membentuk kebiasaan dan perilaku di masyarakat, serta gaya hidup dalam masyarakat untuk berperilaku hidup sehat dan memperoleh kesehatan.

Agen penyakit dapat berupa agen biologis, nutrisi, fisisk, kimiawi, dan mekanis. Agen biologi merupakan agen yang hidup dan menjadi parasit dalam tubuh hostnya seperti virus, bakteri, fungi, riketsia, protozoa, metazoa, dan helminths.

Lingkungan atau environmental terdiri dari tiga komponen yaitu, lingkungan fisik yang bersifat abiotic atau benda mati, diantaranya air, cahaya matahari, tanah, udara, makanan, rumah dan lain-lain. Lingkungan biologis yang bersifat biotik atau benda hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, dan serangga yang berperan menyalurkan atau menularkan penyakit. Lingkungan sosial masyarakat yang memberi pengaruh terhadap perilaku di masyarakat (Candra, 2009).

Gambar 2.1 Segitiga Epidemiologi (the epidemiological triangle) (sumber : Sutrisna, 2010)

Host (penjamu)

Agent (bibit penyakit)

Enviromental (lingkungan)


Dokumen yang terkait

Perbandingan Status Nutrisi Antara Anak Dengan Dan Tanpa Infeksi Soil Transmitted Helminths

1 44 85

Perbandingan Status Nutrisi antara Anak dengan dan tanpa Infeksi Soil Transmitted Helminths

0 43 92

Hubungan Antara Higiene dengan Infeksi Cacing Soil Transmitted Helminths pada Siswa-siswi SD Negeri No. 101837 Suka Makmur, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011

0 38 78

Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Kejadian Underweight pada Sekolah Dasar Negeri 067244 Kecamatan Medan Selayang Tahun 2011

0 39 62

Pengaruh Infeksi Soil Transmitted Helminth Terhadap Kemampuan Kognitif Anak

1 35 64

Gambaran Kontaminasi Soil Transmitted Helminths pada Kuku dan Pengetahuan Siswa Sekolah Dasar Negeri 060891 Kecamatan Medan Baru tentang Infeksi Cacing Tahun 2010

0 32 55

HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN RISIKO KEJADIAN ALERGI PADA ANAK SD KELAS 1-4 BERDASARKAN KUESIONER ISAAC DI SD NEGERI 1 KRAWANGSARI KECAMATAN NATAR LAMPUNG SELATAN

5 116 77

Faktor Risiko Infeksi Soil Transmitted Helminths Pada Anak Sekolah Dasar Di Dataran Tinggi Dan Rendah Di Kabupaten Gianyar Tahun 2016.

1 3 45

IDENTIFIKASI TELUR NEMATODA USUS (Soil Transmitted Helmints) PADA ANAK DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) PUUWATU

0 0 6

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG KECACINGAN (INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS) DENGAN ANGKA KEJADIAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA MURID SD NEGERI 3 BAJUR, KECAMATAN LABUAPI, KABUPATEN LOMBOK BARAT - Repository UNRAM

0 0 18