Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Aktivitas masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup meliputi kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi merupakan suatu kehidupan ekonomi yang tidak dapat dilepaskan. Masyarakat harus lebih konsumtif dalam memilih kebutuhan hidupnya, dalam kehidupan sekarang tidak sedikit konsumen yang menginginkan kualitas barang yang bagus tanpa ada unsur yang dapat merugikan konsumen. Semakin berkembangnya teknologi yang ada maka semakin banyak barang dan jasa yang di konsumsi oleh konsumen. Hal ini menimbulkan banyak dampak yang terjadi bagi konsumen karena bermanfaat bagi kebutuhan konsumen akan barang yang diproduksi oleh pelaku usaha. Jelas saja disini kedudukan pelaku usaha lebih berkuasa dibanding kedudukan konsumen. Posisi konsumen yang lemah dapat dimudahkan oleh pelaku usaha untuk memperoleh untung yang sebesar-besarnya. Faktor utama yang menyebabkan kedudukan konsumen selalu lemah adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya yang masih sangat lemah. Masyarakat sebagian besar tidak mengerti bahkan tidak mengetahui hak-haknya sebagai konsumen. Canggihnya teknologi pada saat ini tidak menjamin penjualan produk tersebut benar-benar sempurna, karena bisa saja mengandung cacat 2 tersembunyi yang dapat menyebabkan konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut mengalami kerugian. Dalam Era Globalisasi Produk –produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha tidak sedikit yang berbahaya bagi konsumen. Dalam Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang diproduksi sampai tahap purna penjualan. Sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan jasa . Hal ini disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang di produksi oleh produsen pelaku usaha, sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen dimulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen. 1 Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara kedua pihak konsumen yang begitu mudah percaya dengan informasi pelaku usaha yang menyesatkan menjadi suatu pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. “Nurmadjito mengatakan larangan ini dapat mengupayakan agar barang dan jasa yang beredar luas dimasyarakat merupakan produk yang layak edar antara lain asal usulnya, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiket, dan lain sebagainya”. 2 1 Ahmad Miru Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen , Rajawali Pers, Jakarta, hlm.54 2 Nurmadjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia,Mandar Maju, Bandung, hlm.18 3 Kenyataannya yang terjadi di lapangan larangan tersebut tidak dihiraukan oleh pelaku usaha, seperti sudah diketahui bahwa Undang- Undang Nomer 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya disebut UUPK menetapkan tujuan perlindungan konsumen untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha, sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan jasa. Arus globalisasi jaman yang membuat perdagangan bebas serta kemajuan telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan jasa yang melintasi batas-batas wilayah suatu negara membuat barang dan jasa yang ditawarkan bervariasi baik dalam produk luar negeri maupun dalam negeri. Kondisi demikian membuat para konsumen mempunyai pilihan dalam menentukan kebutuhan barang dan jasa yang akan dipergunakan. Sejauh itu konsumen sendiri harusnya berperan aktif dalam menanggulangi penjualan barang yang dapat merugikannya. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seharusnya menentukan efektivitas UUPK, bahwa konsumen harus sadar hukum. “Achmad Ali mengemukakan ketaataan hukum, kesadaran hukum, dan efektivitas perundang- undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan”. 3 3 Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Kencana, Jakarta, hlm.191 4 Perlunya banyak pengetahuan konsumen yang menjadi dasar agar konsumen tidak mengalami kerugian dalam hal-hal yang tidak diinginkan, karena tidak sedikit konsumen yang memerlukan sosialisasi dari pemerintah, dan jika konsumen sudah mengetahui sebab-akibatnya perlu adanya kesadaraan dan ketaatan hukum dalam pembentukan diri konsumen agar terjaminannya keselamatan konsumen. Tentang kewajiban pelaku usaha Pasal 7 UUPK huruf b yaitu “memberikan informasi yang benar dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa serta memberi penjelasan, penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan”, salah satu bentuk wujud kewajiban pelaku usaha agar konsumen terhindar dari adanya kerugian membeli barang dan jasa yang akan dikonsumsinya. Pembelian produk cacat tersembunyi merupakan salah satu bentuk kerugian yang dialami oleh konsumen, jika saja konsumen mengetahui adanya cacat di dalam barang yang akan ia beli, maka konsumen tidak akan membeli barang tersebut. Pentingnya penyampaian penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Dalam hal ini kerugian yang dialami oleh konsumen akibat adanya cacat tersembunyi tersebut bukanlah semata kesalahan konsumen sendiri yang kurang hati-hati, akan tetapi pelaku usaha mempunyai andil yang besar karena sebagai pihak penjual. “Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat penting. Mengingat semakin lajunya ilmu 5 pengetahuan dan teknologi yang produktivitas dan efisiensi pelaku usaha atas barang dan jasa yang dihasilkannya, dalam rangka menyelesaikan sengketa konsumen yang semakin kompleks sehingga peraturan perlindungan konsumen diperlukan”. 4 “Produk cacat dikategorikan ke dalam 3 bentuk yaitu, cacat dalam produk production flaws, cacat dalam design design defects, ketidaktepatan informasi in adequate information ”. 5 Di dalam UUPK tidak memakai istilah cacat produk tetapi memakai istilah cacat tersembunyi yang diatur di dalam Pasal 9 ayat 1 UUPK huruf f menyebutkan bahwa, “Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan atau jasa tidak benar, dan atau seolah- olah barang tersebut mengandung cacat tersembunyi”. Pasal 11 huruf b UUPK menyebutkan bahwa, “Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui atau menyesatkan konsumen dengan menyatakan barang dan atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi”. Cacat tersembunyi merupakan suatu keadaan dimana seseorang membeli sebuah barang dalam keadaan cacat atau tidak sempurna tanpa mengetahui keadaan tersebut tersembunyi. Kerugian konsumen akan pembelian barang cacat tersembunyi sebagai satu- satunya contoh peristiwa hukum di BPSK Kota Denpasar yaitu terjadi pada Romy Wahyu Franda yang membeli sepasang sandal bermerek Havaianas disebuah toko di Seminyak, sandal tersebut ia berikan kepada tunangannya dan setelah diberikan kepada tunangannya, disalah satu tali 4 Husni Syawali, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, hlm.33 5 Az Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Jakarta, selanjutnya disebut Az. Nasution I, hlm. 248. 6 sandal tersebut cacat atau tidak dapat digunakan kembali, setelah mengetahui adanya cacat di dalam sandal tersebut Romy Wahyu Franda langsung mendatangi pihak pelaku usaha tetapi tidak dapat perlakuan baik atau dengan kata lain tidak mendapati tanggapaan dari pelaku usaha, setelah tidak dapat perlakuan baik dari pelaku usaha Romy Wahyu Franda melaporkan hal ini ke Badan Penyeleseaian Sengketa Konsumen selanjutnya disebut BPSK Kota Denpasar untuk mendapatkan hak-haknya. Karena secara normatifnya pelaku usaha selaku pihak yang bertanggung jawab atas penjualan barang yang di perjual-belikan harus bertanggung jawab atas adanya barang cacat tersembunyi, tetapi dalam kenyataannya karena adanya cacat tersembunyi pelaku usaha menolak bertanggung jawab sebab salah satu kelemahan konsumen yang tidak hati-hati di dalam menentukan barang yang akan dibeli. Tanggung Jawab pelaku usaha di dalam pemberian ganti rugi dalam hal adanya penjualan barang cacat tersembunyi menjadi kewajiban oleh pelaku usaha dalam hal pemberian kompensasi tersebut. Sesuai dengan Pasal 19 ayat 1 UUPK menyebutkan bahwa, “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Pelaku usaha sesuai dengan kewajibannya mengganti kerugian akibat barang yang di produksi untuk memenuhi suatu kewajibannya sesuai dengan Pasal 23 UUPK menyebutkan b ahwa, “Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tangapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen dapat digugat melalui BPSK atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedukan konsumen”. 7 Pengertian BPSK Menurut Pasal 1 angka 11 UUPK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana. BPSK merupakan badan hasil bentukan pemerintah yang berkedudukan di ibu kota Daerah Tingkat II KabupatenKota Pasal 49 ayat 1 UUPK. Tugas BPSK adalah sebagai pengawas dan menyelesaikan sengketa, jika pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas pelanggaran yang dibuat, pihak konsumen berhak mengajukan laporan ke BPSK untuk mendapatkan ganti kerugian sesuai dengan pelanggaran pelaku usaha tersebut. “Secara teoritis penyelesaian sengketa melalui 2 dua cara, yaitu dengan cara penyelesaian sengeketa pertama melalui proses litigasi di luar pengadilan” 6 , kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama di dalam pengadilan. Dari beberapa permasalahan hukum yang timbul dalam masyarakat, munculah pemikiran untuk melahirkan sebuah bentuk penyelesaian sengketa diluar proses peradilan melalui mekanisme arbitrase dan Alternatif Dispute Resolution selanjutnya disebut ADR atau Alternatif Penyelesaian Sengketa selanjutnya disebut APS”. Hadirnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan APS bukan untuk mengacaukan pelaksaan hukum acara sebagai hukum formil dari hukum publik dan hukum privat yang berlaku. Hal tersebut membantu membuka pintu baru untuk masyarakat yang mencari keadilan, agar setiap sengketa tidak selalu di pengadilan dengan waktu yang lama dan biaya yang mahal. 6 Frans Hendra Winarta, 2011, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.9 8 Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan menarik untuk diangkat kedalam sebuah penelitian hukum yang dituangkan di dalam sebuah skripsi yangberjudul “Pelaksanaan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Penjualan Barang Cacat Tersembunyi : Studi Pada Badan Penyelesaian Sengketa BPSK Kota Denpasar”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka permasalahan yang akan di bahas sebagai berikut : 1. Bagaimanakah bentuk tanggung jawab dari pelaku usaha atas penjualan barang cacat tersembunyi studi pada BPSK Kota Denpasar ? 2. Upaya apakah yang dilakukan oleh BPSK Kota Denpasar di dalam penyelesaian sengketa penjualan barang cacat tersembunyi?

1.3 Ruang Lingkup Masalah