ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 677 K/PID.SUS/2008 TENTANG PIDANA DENDA YANG DIHAPUSKAN DALAM PERKARA PENCABULAN

(1)

PENCABULAN (Skripsi)

Oleh

SYENDRO EKA SYAHPUTRA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(2)

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana... 12

B. Pertanggungjawaban Pidana... 22

C. Jenis-jenis Pidana ... 24

D. Tindak Pidana Pencabulan ... 28

E. Pengertian Kasasi ... 32

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 39

B. Jenis dan Sumber Data ... 40

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 42

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 42


(3)

B. Dasar pertimbangan hakim dalam putusan mahkamahAgung

No.677K/Pid.Sus/2008 Tentang pidana denda yang di hapuskan dalam perkara pencabula... 46

V. PENUTUP

A. Kesimpulan... 67 B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(4)

K/PID.SUS/2008 TENTANG PIDANA DENDA YANG DIHAPUSKAN DALAM PERKARA

PENCABULAN

Oleh

SYENDRO EKA SYAHPUTRA

Tindak pidana pencabulan merupakan perbuatan yang sangat merugikan. Oleh karena itu harus dicegah, ditangkal dan ditanggulangi, dengan cara jajaran kepolisian harus selalu siap melaksanaan tugasnya sekaligus mengantisipasi peningkatan tindak pidana pencabulan. Seorang guru honorer SD, terbukti melakukan pencabulan terhadap anak dibawah umur (9 th). Di tingkat PN terdakwa dinyatakan terbukti melanggar pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara minimum 3 tahun maksimum dan maksimum 15 tahun dan denda minimum Rp. 60.000.000 dan maksimum Rp 300.000.000. Oleh Majelis Hakim tingkat I terdakwa dihukum pidana penjara 4 tahun dan denda Rp. 60.000.000, namun oleh Pengadilan Tinggi hukuman tersebut diubah menjadi pidana penjara 6 tahun sedangkan dendanya dihapuskan dengan pertimbangan sebagaimana diatas. Atas dihapuskannya denda yang secara normatif bersifat imperatif tersebut JPU mengajukan kasasi, namun oleh Mahkamah Agung permohonan JPU tersebut tidak dikabulkan

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, pendekatan analisis empiris karena penelitian ini berdasarkan jenisnya merupakan kombinasi antara penelitian normatif dengan empiris. Sedangkan berdasarkan sifat, bentuk dan tujuannya adalah penelitian deskriptif dan problem identification, yaitu dengan mengidentifikasi masalah yang muncul kemudian dijelaskan berdasarkan peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang berlaku serta ditunjang dengan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian. Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif, hal ini didasarkan pada teori bahwa penelitian normatif dimana perolehan datanya lebih dominan dengan studi kepustakaan/data sekunder (meliputi hukum primer, sekunder dan tersier) metode yang diterapkan lebih tepat analisis kuantitatif, sedangkan data primer hasil pengamatan dan wawancara dikualitatifkan.

Hasil penelitian dan pembahasan diperoleh data dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana tindak pidana pencabulan diambil berdasarkan pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa menurut Majelis Hakim.


(5)

Pertimbangan yuridis yang dimaksud di sini adalah pertimbangan adanya barang bukti kejahatan dan keterangan saksi, sedangkan pertimbangan non yuridis berdasarkan gugatan jaksa dan serta pertimbangan hakim dalam memutus perkara pencabulan tersebut. Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi pada dasarnya adalah pertimbangan hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan

tentang ”pidana denda, yang menurut pasal yang terbukti tersebut, paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) adalah hanya kata-kata di atas kertas yang sangat tidak mungkin dilaksanakan oleh Terdakwa sebagai seorang tenaga guru honorer, sehingga tidak ada urgensinya menghukum Terdakwa dengan hukuman denda tersebut, akan tetapi Majelis akan menaikkan hukuman penjara terhadap Terdakwa.

Saran yang diberikan adalah Dalam menentuan dasar penjatuhan pidana tindak pidana pencabulan hakim harus mempertimbangan ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000,-. Dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pencabulan, sebaiknya para penegak hukum sebelum menjatuhkan hukuman terhadap terpidana melihat terlebih dahulu latar belakang terpidana, sehingga dalam penjatuhan pidana pada tersangka pelaku tindak pidana pencabulan dapat lebih memberikan efek jera bagi para pelakunya.


(6)

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Alumni, Bandung

Cholil, 1996.Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa. Usaha Maju. Surabaya

Friedman, Lawrence M, 1977. Law and Society an Introduction, New Jersey: Prentice. Hall Inc

Hakim, Abdul, 1994. Politik Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan. Lembaga Bantuan Hukum Indonesia

Hartono, Sunaryati, 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung

Kholis, Efi Laila 2010. Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Solusi.Publishing, Depok

Kuncoro, Wahyu, 2010. Dilema Keadilan diantara Legal Justice dan Keadilan Masyarakat. Mandar Maju. Bandung .

Kusumaatmadja, Mochtar 1986. Pengantar Hukum Internasional. Binacipta Bandung

Lamintang, PAF, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung

Lamintang, PAF. 1981. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung

Marpaung, 1998.Metode Penelitian Hukum, Penerbit Bhineka Cipta

Moleong, Lexy J, 2005,Metode Penelitian Sosial: Edisi Revisi, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Pound, Roscoe, 1992. Filsafat, Suatu Pengantar ke Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta


(7)

Roger, Cotterrell. 1984. The Sociology of Law An Introduction, London: Butterworths

Saleh, Roeslan, 1979. Satu Reorientasi dalam Hukum pidana. Jakarta: Aksara baru

Soekanto, Soerjono, 1983.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta

Soekanto, Soerjono, 1984. Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : PT. Rajawali Press

Soekanto, Soerjono, 1986.Pengantar Tindak pidana dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung

Soekanto, Soerjono. 1986.Metode Penelitian Sosial. Bina Rupa Aksara. Jakarta. Suparni, Niniek, 1993. Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana. Alumni.

Bandung

Susanto, 1992.Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta Pradya Paramita

Tongat, 2008. DasarDasar Hukum Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang.

Weber, Max, 1988. Soziologie, Weltgeschichtliche Analysen, Politik. disunting Pustaka Sekunder Bender


(8)

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan (KUHP).

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar (Barda Nawawi Arief, 1996: 152-153).

Konstelasi negara modern hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of sosial engineering). Roscoe Pound (1992: 43) menekankan arti pentingnya hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi.


(9)

Konteks sosial teori ini adalah masyarakat dan badan peradilan di Amerika Serikat. Dalam konteks ke Indonesiaan, fungsi hukum demikian itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja (1978: 11) diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat. Sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peraturan perundang-undangan itu.

Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan (Satjipto Rahardjo, 1983: 24).

Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat (Soerjono Soekanto, 1983: 15).

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto (1983: 15), dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan


(10)

perundang-undangan. Pertama, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat,faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Sementara itu Satjipto Rahardjo (1983: 23-24), membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif. Pertama, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan Ketiga,unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial. Pada sisi lain, Jerome Frank (1991: 121), juga berbicara tentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi.

Lawrence M. Friedman (1977, 6-7) melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang


(11)

dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.

Friedman (1977:16) menambahkan pula komponen yang Keempat, yang disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi objek kajian peneliti.

Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga Negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda (Roger Cotterrell, 1984: 25).

Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of sosial engineering dari Roscoe Pound (1989: 51),atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja (1986: 11) disebutkan sebagai hukum yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.

Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat


(12)

demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi. Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat (Max Weber, 1988: 483).

Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono melihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa sosial (Sunaryati Hartono, 1991 53). Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan peraturan perundang-undangan, di samping ditentukan oleh suasana atau konfigurasi politik momentum pembuatannya, juga berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota legislatif itu sendiri. Oleh karena semangat hukum (spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang, maka dalam konteks membangun hukum yang demokratis, tinjauan tentang peran pembentuk undang-undang penting dilakukan. Dikemukakan oleh Gardiner bahwa pemben-tuk undang-undang tidak semata-mata berkekewajiban to adapt the law to this changed society, melainkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri. Pembentuk undang-undang, dengan demikian, tidak lagi semata-mata mengikuti perubahan


(13)

masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini Saleh, Roeslan menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan makmur serta modern yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari pembentuk undang-undang (Roeslan Saleh, 1979: 12).

Arti terpenting dari adanya hukum pidana sebagai bagian dari sistem hukum yang berlaku di dalam suatu negara terletak pada tujuan hukum pidana itu sendiri yakni menciptakan tata tertib di dalam masyarakat sehingga kehidupan masyarakat dapat berlangsung dengan damai dan tenteram. Tujuan hukum pidana secara umum demikian ini, sebenarnya tidak banyak berbeda dengan tujuan yang ingin dicapai oleh bidang-bidang hukum lainnya. Perbedaannya terletak pada cara kerja hukum pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu bahwa upaya untuk mewujudkan tata tertib dan suasana damai ini oleh hukum pidana ditempuh melalui apa yang di dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan istilah pemidanaan atau pemberian pidana.

Cara kerja hukum pidana dengan melakukan pemidanaan atau pemberian pidana ini mempunyai pengertian yang luas. Pemidanaan atau pemberian pidana mempunyai pengertian yang luas dalam arti bisa dibedakan menjadi dua pengertian, yakni (1) pemidanaan dalam arti abstrak (pemidanaan in abstracto), dan (2) pemidanaan dalam arti kongkrit (pemidanaanin concreto). Hukum pidana menciptakan tata tertib di dalam masyarakat melalui pemberian pidana secara abstrak, artinya dengan ditetapkannya di dalam undang-undang perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang disertai ancaman pidana, atau


(14)

dengan ditetapkannya perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana di dalam undang-undang, maka diharapkan warga masyarakat akan mengerti dan menyesuaikan diri sehingga tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang telah dilarang dan diancam pidana itu. Dengan demikian, dengan diberlakukannya suatu undang-undang pidana yang baru di dalam masyarakat, diharapkan akan tercipta ketertiban di dalam masyarakat.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Suatu tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada umumnya memiliki dua unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku dan unsur objektif yaitu unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan (Lamintang, 1981: 193).

Menurut Lamintang (1981: 193) unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah: 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolusatauculpa)

2. Maksud atauvoornemenpada suatu percobaan 3. Macam-macam maksud atauoogmerk

4. Merencanakan terlebih dahulu atauvoorbedachte raad 5. Perasaan takut atauvress

Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah : 1. Sifat melanggar hukum

2. Kualitas dari si pelaku

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

Menurut Marpaung (1998: 25-26) unsur tindak pidana yang terdiri dari dua unsur pokok, yakni:

Unsur pokok subjektif : 1. Sengaja (dolus)


(15)

2. Kealpaan (culpa)

Unsur pokok objektif : 1. Perbuatan manusia

2. Akibat (result) perbuatan manusia 3. Keadaan-keadaan

4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum (Abdul Hakim, 1994: 295). Kesalahan pelaku tindak pidana berupa dua macam yakni :

1. Kesengajaan (Opzet)

Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet. Kesengajaan ini mempunyai tiga macam jenis yaitu :

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan (Oogmerk)

Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana. b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij

Zekerheids-Bewustzinj)

Kesengajaan semacam ini ada apbila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheids-Bewustzijn)

Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayingan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

2. Culpa

Arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi (Wirjono Prodjodikoro, 1996: . 65-72.).

Berdasarkan uraian di atas penulis berpendapat bahwa semua unsur tersebut merupakan satu kesatuan dalam suatu tindak pidana, satu unsur saja tidak ada akan menyebabkan tersangka tidak dapat dihukum. Sehingga penyidik harus cermat dalam meneliti tentang adanya unsur-unsur tindak pidana tersebut.


(16)

Pasal 1 angka (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHAP), penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan Pasal 1 angka (2) KUHAP dapat disimpulkan penyidikan baru dimulai jika terdapat bukti permulaan yang cukup tentang telah terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui penyidikan dilakukan oleh Pejabat Polisi Negara dan Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan dilakukan guna mengumpulkan bukti-bukti sehingga membuat terang Tindak Pidana yang terjadi. Hukum pidana menciptakan tata tertib atau ketertiban melalui pemidanaan dalam arti kongkrit, yakni bilamana setelah suatu undang-undang pidana dibuat dan diberlakukan ternyata ada orang yang melanggarnya, maka melalui proses peradilan pidana orang tersebut dijatuhi pidana. Tujuan penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu sendiri bermacam-macam bergantung pada teori-teori yang dianut di dalam sistem hukum pidana di suatu masa. Kendati demikian, tujuan akhir dari penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu tetap di dalam koridor atau kerangka untuk mewujudkan tujuan hukum pidana. Ini berarti bahwa penjatuhan pidana atau pemberian pidana sebenarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana.


(17)

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa kurang dapat ditanggulanginya masalah kejahatan karena hal-hal berikut:

1. Timbulnya jenis-jenis kejahatan dalam dimensi baru yang mengangkat dan berkembang sesual dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Jenis-jenis kejahatan tersebut tidak seluruhnya dapat terjangkau oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan produk peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

2. Meningkatnya kualitas kejahatan baik dari segi pelaku dan modus operandi yang menggunakan peralatan dan teknologi canggih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal kemampuan aparat penegak hukum (khususnya Polri) terbatas baik dan segi kualitas sumber daya manusia, pembiayaan, serta sarana dan prasarananya, sehingga kurang dapat menanggulangi kejahatan secara intensif.

Kebijakan untuk menanggulang masalah-masalah kejahatan di atas dilakukan dengan mengadakan peraturan perundang-undangan di luar KUHP baik dalam bentuk undang-undang pidana maupun undang-undang administratif yang bersanksi pidana, sehingga di dalam merumuskan istilah kejahatan dikenal adanya istilah tindak pidana umum, tindak pidana khusus, dan tindak pidana tertentu. Sesuai dengan ketentuan Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penanganan masing tindak pidana tersebut diselenggarakan oleh penyidik yang berbeda dengan hukum acara pidananya masing-masing.


(18)

Tindak pidana umum adalah tindak pidana kejahatan dan pelanggaran yang diatur di dalam KUHP yang penyidikannya dilakukan oleh Polri dengan menggunakan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Tindak pidana khusus adalah tindak pidana di luar KUHP seperti Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Undang-Undang Bea Cukai, Undang-Undang-Undang-Undang Terorisme dan sebagainya yang penyidikannya dilakukan oleh Polri, kejaksaan, dan pejabat penyidik lain sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus hukum acara pidana bersangkutan. Sementara itu, tindak pidana tertentu adalah tindak pidana di luar KUHP yang tidak termasuk dalam tindak pidana khusus, seperti Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Keimigrasian, Peraturan Daerah, dan sebagainya.

B. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab dimana menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah, keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tangung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1998: 591).

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang


(19)

terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak (Saifudien, 2001).

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”(Saifudien, 2001).

Pertanggungjawaban yang akan dibahas adalah menyangkut tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh si pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan. Namun dalam kenyataannya memastikan siapa si pembuatnya tidak mudah karena untuk menentukan siapakah yang bersalah harus sesuai dengan proses yang ada, yaitu sistem peradilan pidana berdasarkan KUHP.


(20)

C. Jenis-jenis Pidana

Menurut Saifudien (2001) hukuman pokok telah ditentukan dalam pasal 10 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:“Pidanapokok terdiri atas:

1) Pidana Mati

Pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana yang dicantumkan terhadap berbagai kejahatan yang sangat berat, misalnya pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), pencuruan dengan kekerasan (Pasal 365 ayat (4), pemberontakan yang diatur dalam pasal 124 KUHP.

2) Pidana Penjara

Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu berupa hukuman penjara dan kurungan. Hukuman penjara lebih berat dari kurungan karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan. Adapun kurungan lebih ringan karena diancamkan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan karena kelalaian.(Leden marpaung, 2008:108). Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum seumur hidup. Hal ini diatur dalam pasal 12 KUHP yang berbunyi:

(1) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.

(2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut

(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turutdalam hal yang pidananya Hakim boleh memilih antara Pidana Mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau antar pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena pembarengan


(21)

(concursus), pengulangan (residive) atau Karena yang telah ditentukan dalam Pasal 52.

(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.

3) Kurungan

Pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringan antara lain, dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan membawa peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya: tempat tidur, selimut, dll. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam pasal 18 KUHP yang berbunyi :

(1) Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun.

(2) Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu tahun empat bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada pasal 52 dan 52 a.

4) Denda

Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative atau kumulatif. Jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda ditentukan minimum dua puluh sen, sedang jumlah maksimim, tidak ada ketentuan. Mengenai hukuman denda diatur dalam pasal 30 KUHP, yang berbunyi:

(1) Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.

(2) Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak dibayar maka diganti dengan hukuman kurungan.


(22)

(3) Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan.

(4) Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan begitu rupa, bahwa harga setengah rupiah atau kurang, diganti dengan satu hari, buat harga lebih tinggi bagi tiap-tiap setengah rupiah gantinya tidak lebih dari satu hari, akhirnya sisanya yang tak cukup, gantinya setengah rupiah juga

(5) Hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama-lamanya delapan bulan dalam hal-hal jumlah tertinggi denda itu ditambah karena ada gabungan kejahatan, karena mengulangi kejahatan atau karena ketentuan pasal 52 dan 52a.

(6) Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih dari delapan bulan.

Pidana denda tersebut dapat dibayar siapa saja. Artinya, baik keluarga atau kenalan dapat melunasinya.

1) Pencabutan hak-hak tertentu. Hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP yang berbunyi:

(1) Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang ini atau dalam undang-undang umum lainnya, ialah

a. Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu; b. Masuk balai tentara;

c. Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena undang-undang umum;


(23)

d. Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas atau pengampu atau pengampu pengawas atas orang lain yang bukan ankanya sendiri;

e. Kekuasaan bapak, perwalian, dan pengampuan atas anaknya sendiri;

f. Melakukan pekerjaan tertentu;

(2) Hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri dari jabatannya apabila dalam undang-undang umum ada ditunjuk pembesar lain yang semata-mata berkuasa melakukan pemecatan itu.

2) Perampasan Barang Tertentu

Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP yang berbunyi:

(1) Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan kejahatan atau dengan sengaja telah dipakainya untuk melakukan kejahatan, boleh dirampas.

(2) Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan tidak dengan sengaja atau karena melakujkan pelanggran dapat juga dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang.


(24)

(3) Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atsa orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah atas barang yang telah disita.

3) Pengumuman Putusan Hakim

Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumuman kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas biaya si terhuku. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat dalam putusan (Pasal 43 KUHP).

D. Tindak Pidana Pencabulan

Pencabulan berasal dari kata cabul. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

memuat arti kata sebagai berikut: “keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). Perbuatan cabul digolongkan sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap kesusilaan. KUHP belum mendefinisikan dengan jelas maksud perbuatan cabul itu sendiri dan terkesan mencampur arti kata persetubuhan maupun perkosaan. Dalam rancangan KUHP sudah terdapat penambahan kata “persetubuhan” disamping kata perbuatan cabul. Perumusan tersebut dapat dilihat bahwa pengertian perbuatan cabul dan persetubuhan sangatlah berbeda. Perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan.

Menurut Simon ”ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan dibidang seksual, yang dilakukan dengan


(25)

maksud-maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan (Lamintang, 1997: 159).

Tindak pidana pencabulan merupakan salah satu kejahatan kesusilaan, yang diatur di dalam KUHP Buku II Bab XIV Pasal 294 ayat (1) yang ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Meskipun perbuatan ini selalu harus dilakukan oleh kedua belah pihak secara bersama-sama, namun yang dihukum hanyalah seorang yang sudah dewasa. Apabila perbuatan cabul dilakukan pelaku tidak tercapai maksudnya, karena adanya perlawanan dari pihak korban, ia dipersalahkan melakukan percobaan pencabulan yang ketentuannya

diatur dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”.

Sanksi pidana mengenai perbuatan cabul terhadap anak diatur pula di luar KUHP yaitu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ketentuan tersebut dalam Pasal 82 yaitu sebagai berikut: 1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).


(26)

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Ketentuan dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak menjelaskan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.

Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban sesorang untuk mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus kesalahannya dengan pembayaran sejumlah uang tertentu. Dalam praktik pidana juga difungsikan sebagai cara merampas kembali keuntungan hasil kejahatan yang dilakukan pelaku. Pidana denda diancam dengan cara (Efi Laila Kholis, 2010 : 9) yaitu :

a. Tunggal, yaitu hanya pidana denda saja yang diancamkan terhadap pelanggaran pasal yang mengatur sebuah tindak pidana, seperti pasal 403, pasal 489 KUHP, pasal 188 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan; b. Alternatif, sesuai pasal 174 KUHP, pasal 62 ayat (1) dan (2) Undang-undang

Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;


(27)

KUHP;

d. Secara ganda absolute. Yaitu dengan bunyi pidana denda dan/ atau pidana lainnya. Misalnya pasal 3 undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi;

e. Secara ganda absolute. Pidana denda dan pidana lainnya. Misalnya pasal 2 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.

Jadi dalam hal pidana denda diancamkan, dan seringkali sebagai alternatif dengan

pidana kurungan terhadap hampir semua “pelanggaran” yang tercantum dalam Buku III KUHP. Terhadap semua kejahatan ringan, pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif dengan pidana penjara. Demikian juga terhadap bagian terbesar kejahatan-kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja. Alternatif lain adalah dengan pidana kurungan. Pidana denda itu jarang sekali diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang lain. Mengenai pidana denda oleh pembuat undang-undang tidak ditentukan suatu batas maksimum yang umum. Dalam tiap-tiap pasal dalam KUHP yang bersangkutan ditentukan batas maksimumm (yang khusus) pidana denda yang dapat ditetapkan oleh Hakim. Karena jumlah-jumlah pidana denda baik dalam KUHP maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 adalah tidak sesuai lagi dengan sifat tindak pidana yang dilakukan, berhubung ancaman pidana denda itu sekarang menjadi terlalu ringan jika dibandingkan dengan nilai mata uang pada waktu kini, sehingga jumlah-jumlah itu perlu diperbesar/ dipertinggi (Niniek Suparni, 1993 : 51).


(28)

E. Pengertian Kasasi

Berdasarkan esensi Pasal 244 KUHAP dan pendapat kalangan doktrina dapat disimpulkan bahwa upaya hukum kasasi merupakan suatu hak yang dapat dipergunakan atau dikesampingkan oleh terdakwa atau penuntut umum. Apabila terdakwa atau penuntut umum tidak menerima putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat bawahnya maka dapat mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap pelaksanaan dan pengetrapan hukum yang telah dijalankan oleh pengadilan di bawahnya kecuali terhadap putusan yang mengandung pembebasan (Harun M. Husein, 1992: 130).

Menurut KUHAP terhadap putusan bebas tidak ada kesempatan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini dapat dipahami dari redaksional Pasal 244 KUHAP, yang

menyatakan, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecualiterhadap putusan bebas.”

Dengan demikian secara tataran normatif yudisial, hak atau peluang bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hokum kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) oleh KUHAP dapat dikatakan bahwa sebenarnya jalan atau pintu itu sudah tertutup. Kondisi ini direfleksikan oleh Soedirdjo menjadi sebuah judul sub bab dalam buku karangan beliau dengan judul bab, “Putusan Bebas Pintu Jalan HukumTertutup.” (Soedirdjo, 1985: 87)


(29)

Akan tetapi terjadi perkembangan dalam praktek peradilan pidana Indonesia, yakni terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP tersebut akhirnya dilakukan suatu penerobosan sehingga terhadap putusan bebas dapat dimintakan upaya hokum kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini merupakan suatu langkah untuk mengatasi krisis ketidak adilan menurut persepsi publik akan ekses putusan bebas yang cenderung mempolakan situasi dan kondisi negatif bagi dunia peradilan khususnya dan penegakan hukum pada umumnya. Satu-satunya langkah yang diambil untuk memperkecil gejala negatif tersebut antara lain berupa kembali ke belakang menoleh dan mempertahankan yurisprudensi lama, yakni mengikuti jejak yurisprudensi seperti yang dianut pada zamannya HIR, yakni dengan tindakan Mahkamah Agung melakukan contra legem terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP melalui putusannya tanggal 15 Desember 1983 Regno: 275 K/Pid/1983 yang merupakan yurisprudensi pertama dalam lembaran sejarah peradilan Indonesia sejak diberlakukannya KUHAP yang mengabulkan permohonan upaya hokum kasasi kepada Mahkamah Agung atas putusan bebas yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Ketentuan terhadap putusan bebas yang secara langsung dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung dapat kita lihat dalam:

1) Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07. 03 Tahun 1982 tanggal 4 Pebruari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP. 2) Butir 19 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14- PW. 07.


(30)

3) Yurisprudensi Mahkamah Agung.135 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07 03 Tahun 1982 Tanggal 4 Pebruari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, menyatakan:

Mengingat bahwa mengenai masalah “salah atau tidak tepatnya penerapan hukum” justru merupakan alasan yang dapat dipakai dalam mengajukan permohonan kasasi (lihat Pasal 253), dan melihat pada Pasal 244 yang menyebutkan bahwa hanya terhadap putusan bebas tidak boleh dimohonkan kasasi, maka haruslah diartikan bahwa terhadap semua putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat diajukan permintaan banding, melainkan hanya boleh dimohonkan kasasi.

Terkait dengan esensi Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07. 03 Tahun 1982 tersebut, untuk dapat dimintakan kasasi secara langsung kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas maka diperlukan adanya suatu pembuktian bahwa putusan bebas tersebut sebagai pembebasan yang tidak murni (pelepasan dari segala tuntutan hukum terselubung). Sedangkan esensi dari butir 19 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983, yakni, “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding. tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.”

Berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW. 07. 03. Tahun 1983 tersebut maka terhadap putusan bebas, Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung tanpa terlebih dahulu melalui


(31)

upaya hukum banding. Keputusan Menteri Kehakiman ini menjadi titik awal penentu lahirnya yurisprudensi yang sangat bersejarah dalam konteks penegakan hukum khususnya dalam beracara pidana kita yang menyangkut persoalan putusan bebas. Selanjutnya mengenai yurisprudensi Mahkamah Agung yang menjadi dasar hukum pengajuan kasasi terhadap putusan bebas, yakni, bahwa dalam waktu singkat berselang 5 (lima) hari sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Desember 1983 dengan Nomor: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tersebut, Mahkamah Agung langsung merespon dengan yurisprudensi pertama, yakni Putusan Mahkamah Agung RI Regno: 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 dengan mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum atas permohonan kasasi kasus Raden Sonson Natalegawa. Putusan Mahkamah Agung ini menjadi yurisprudensi pertama dalam lembaran sejarah peradilan Indonesia sejak diberlakukannya KUHAP yang mengabulkan permohonan upaya hukum atas putusan bebas yang dimohonkan kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI Regno: 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember Tahun 1983 tersebut melahirkan dua (2) yurisprudensi yang isinya , yakni:

1) Putusan Pengadilan yang membebaskan terdakwa dapat diajukan kasasi. Mahkamah Agung (MA) dalam putusan tersebut di atas, pada

pertimbangan-pertimbangannya antara lain mencantumkan sebagai berikut: “...sesuai dengan yurisprudensi yang ada apabila ternyata putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa itu merupakan pembebasan yang murni sifatnya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP, permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sebaliknya, apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang


(32)

disebutkan dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya dalam arti bukan saja wewenang yang menyangkut kompetensi absolut atau relatif, tetapi juga dalam hal apabila ada unsur non yuridis yang turut dipertimbangkan dalam putusan itu, hal mana dalam melaksanakan wewenang pengawasannya meskipun hal itu tidak diajukan sebagai keberatan kasasi oleh Jaksa. Mahkamah Agung wajib menelitinya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni, Mahkamah Agung harus menerima permohonan kasasi tersebut.

2) Penafsiran “melawan hukum”, mengenai hal ini Mahkamah Agung dalam pertimbangannya, antara lain mencantumkan: “Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, tidak semata-mata diukur dari segi perbuatan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang diancam dengan hukum pidana tertulis maupun asas-asas yang bersifat umum, tapi juga menurut kepatutan dalam kehidupan dalam masyarakat perbuatan itu menurut penilaian masyarakat merupakan perbuatan tercela.” (Leden Marpaung, 1992: 446-447)

Bertitik tolak dari uraian di atas dapat diketahui bahwa, “Putusan bebas” dapat diajukan kasasi agar permintaan kasasi tersebut berhasil maka penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa “putusan bebas” tersebut bukan merupakan pembebasan murni.”(Leden Marpaung, 1992: 447)


(33)

Atas cerminan dan panutan dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, dalam praktek peradilan pidana di Indonesia para Jaksa Penuntut Umum memperoleh nuansa baru dan angin segar berupa hak untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (tanpa perlu terlebih dahulu harus menempuh upaya hukum banding atau peradilan tingkat kedua) atau dengan kata lain bahwa yurisprudensi Mahkamah Agung pertama tersebut menjadi acuan dan dasar pembenar secara yuridis normatif bagi para Jaksa Penuntut Umum untuk memanfaatkan hak dan ruang guna meminta pemeriksaan kepada Mahkamah Agung berupa upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas. Hal ini merupakan salah satu langkah penegakan hukum terkait dengan adanya berbagai fenomena yuridis sebagai ekses dari kevakuman norma tentang hak Jaksa Penuntut Umum dalam pengajuan kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) tersebut.

Terkait dengan yurisprudensi Mahkamah Agung mengenai putusan bebas tersebut berikut pendapat salah seorang ahli yang menyatakan: Pada hemat kami Mahkamah Agung tidaklah melahirkan yurisprudensi yang bertentangan dengan undang-undang, bahkan Mahkamah Agung berusaha meluruskan penerapan hukum yang dilakukan oleh pengadilan, agar penerapan hukum tersebut benarbenar sesuai dengan arti dan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan cara ini, Mahkamah Agung berusaha untuk menyesuaikan pelaksanaan ketentuan undang-undang dengan aspirasi hokum dan keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sebab larangan kasasi terhadap putusan bebas, dirasakan terlalu idealistik dan belum sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat kita, oleh karena itu demi hukum, kebenaran dan keadilan, Mahkamah Agung


(34)

membenarkan pengajuan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas. (Harun M. Husein, 1985: 120).

Jadi hal yang esensial dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, yakni suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hukum berupa kepastian, kemanfaatan dan keadilan dengan meluruskan penerapan hukum yang dilakukan pengadilan melalui suatu pertimbangan apakah putusan bebas yang dimintakan kasasi tersebut merupakan kualifikasi putusan bebas murni atau tidak murni.


(35)

A. Pendekatan Masalah

Berdasarkan klasifikasi penelitian hukum baik yang bersifat normatif maupun yang bersifat empiris serta ciri-cirinya, maka pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Pendekatan Yuridis Normatif (Library Research)

Pendekatan yuridis normatif dilakukan melalui studi kepustakaan, dengan cara mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang-undangan yang menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum terhadap kaedah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian normatif terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

Pendekatan ini dilaksanakan dengan mempelajari norma atau kaidah hukum yaitu Undang-Undang tindak pidana denda yang dihapuskan dalam perkara pencabulan dan peraturan-peraturan lainnya serta literatur-literatur yang berhubungan dengan pidana denda yang dihapuskan dalam perkara pencabulan yaitu Putusan Mahkamah Agung No.677 K/Pid.Sus/2008 Tentang pidana denda yang dihapuskan dalam perkara pencabulan.


(36)

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris adalah menelaah hukum terhadap objek penelitian sebagai pola perilaku yang nyata dalam masyarakat yang ditujukan kepada penerapan hukum yang berkaitan dengan penyelesaian hukum yang dapat dilakukan pengadilan dalam mengadili tindak pidana denda yang dihapuskan dalam perkara pencabulan pada Pengadilan Negeri dan identifikasi permasalahannya.

Dipergunakannya pendekatan normatif dan pendekatan empiris karena penelitian ini berdasarkan jenisnya merupakan kombinasi antara penelitian normatif dengan empiris. Sedangkan berdasarkan sifat, bentuk dan tujuannya adalah penelitian deskriptif danproblem identification, yaitu dengan mengidentifikasi masalah yang muncul kemudian dijelaskan berdasarkan peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang berlaku serta ditunjang dengan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian Moleong (2005: 60).

B. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis Data

Menurut Moleong (2005: 65) Sumber data yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah bersumber pada:

a. Data Sekunder, adalah data yang diperoleh dengan jalan menelaah bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang sesuai dengan masalah yang dibahas.


(37)

b. Data Primer, adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dari masyarakat. Dalam hal ini mengenai tugas dan wewenang Pengadilan Negeri sebagai penyelenggara peradilan di masyarakat.

2. Sumber Data

Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan (Library Research) dengan cara membaca, mengutip, menyalin dan menganalisis berbagai literatur. Data sekunder yang terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yaitu:

a. Bahan hukum primer yaitu antara lain meliputi: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

5) Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.

b. Bahan Hukum sekunder yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti buku-buku, literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP.


(38)

2) Rancangan KUHP dan Rancangan KUHAP

3) Putusan Mahkamah Agung No.677 K/Pid.Sus/2008 Tentang pidana denda yang dihapuskan dalam perkara pencabulan

c. Bahan hukum tersier merupakan data pendukung yang berasal dari informasi dari buku-buku, literatur, media massa, kamus maupun data-data lainnya.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan kumpulan unsur-unsur atau elemen-elemen yang menjadi objek kajian penelitian, atau jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diperkirakan (Suharsimi Arikunto, 1998: 32). Populasi dalam penelitian ini berjumlah 2 orang, yaitu Hakim di Pengadilan tinggi Tanjung Karang

2. Sampel

Sampel merupakan sebagian dari populasi yang diambil secara proporsional untuk dinikmati dalam suatu penelitian. Dengan rincian sampel adalah yaitu hakim di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang sebanyak 2 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:

a. Studi dokumentasi dan Studi Pustaka, studi dokumentasi dan pustaka ini dilakukan dengan jalan membaca teori-teori dan peraturan


(39)

perundang-undangan yang berlaku (bahan hukum primer, sekunder dan bahan buku tertier). Kemudian menginventarisir serta mensistematisirnya.

b. Wawancara, wawancara ini dipergunakan untuk mengumpulkan data primer yaitu dengan cara wawancara terarah atau directive interview. Dalam pelaksanaan wawancara terlebih dahulu menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada Kepala Pengadilan.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data yang telah diperoleh maka penulis melakukan kegiatan-kegiatan antara lain:

a. Editing yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejalasan dan kebenaran data yang telah diterima serta relevansinya dalam penelitian

b. Klasifikasi data adalah suatu kumpulan data yang diperoleh perlu disusun dalam bentuk logis dan ringkas, kemudian disempurnakan lagi menurut ciri-ciri data dan kebutuhan penelitian yang diklasifikasikan sesuai jenisnya. c. Sistematika data yaitu melakukan penyusunan data secara sistematis sesuai

dengan jenis dan pokok bahasan dengan maksud memudahkan dalam menganalisa data tersebut.

E. Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian yang bersifat sosial adalah analisis secara kualitatif. Pengertian analisis kualitatif adalah tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan perilaku yang nyata. Sedangkan yang dimaksud


(40)

dengan analisis kualitatif adalah penyorotan upaya-upaya yang banyak didasarkan pada pengukuran yang memecahkan objek-objek penelitian ke dalam unsur-unsur tertentu, untuk kemudian ditarik generalisasinya yang seluas mungkin terhadap ruang lingkup yang telah ditetapkan (Soerjono Soekanto. 1986: 35).

Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif, hal ini didasarkan pada teori bahwa penelitian normatif dimana perolehan datanya lebih dominan dengan studi kepustakaan/data sekunder (meliputi hukum primer, sekunder dan tersier) metode yang diterapkan lebih tepat analisis kuantitatif, sedangkan data primer hasil pengamatan dan wawancara dikualitatifkan.


(41)

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pertimbangan Mahkamah Agung untuk memutuskan pidana denda yang dihapuskan dalam perkara pencabulan didasarkan pada pidana denda paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) sangat tidak mungkin dilaksanakan oleh terdakwa sebagai seorang tenaga guru honorer melainkan dengan menaikkan hukuman penjara terhadap terdakwa. Putusan Mahkamah Agung tidak tepat karena menurut undang-undang yang bersifat imperatif yang harus diikuti kata-katanya. Seharusnya putusan Mahkamah Agung berupa dijatuhkan pidana penjara dan denda sekaligus, apabila terdakwa/terpidana tidak mampu membayar dapat diganti kurungan pengganti denda yang tidak dapat dibayar oleh terpidana.

B. Saran

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka saran yang dapat diberikan demi perbaikan di masa mendatang sebagai berikut : 1. Dalam menentuan dasar penjatuhan pidana tindak pidana pencabulan hakim

harus mempertimbangan ketentuan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000,-.


(42)

2. Dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pencabulan, sebaiknya para penegak hukum sebelum menjatuhkan hukuman terhadap terpidana melihat terlebih dahulu latar belakang terpidana, sehingga dalam penjatuhan pidana pada tersangka pelaku tindak pidana pencabulan dapat lebih memberikan efek jera bagi para pelakunya.


(43)

A. Latar Belakang

Tindak pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang atau subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah tindak pidana tidak dapat dihindari dan memang selalu ada, sehingga wajar bila menimbulkan keresahan. Diperkirakan bahwa di daerah perkotaan, tindak pidana berkembang dengan bertambahnya penduduk, pembangunan modernisasi dan urbanisasi. Perkembangan pembangunan membawa dampak positif dan negatif, salah satu perkembangan negatif yang seringkali terjadi adalah dengan perkembangan teknologi informasi yang mempengaruhi seseorang melakukan tindakan pidana. Salah satu bentuk tindak pidana adalah tindak pidana pencabulan.

Tindak pidana pencabulan dapat terjadi dimana saja dan kapan saja yang berakibat buruk bagi korban dan juga masyarakat. Sedemikian buruk akibat yang ditimbulkan pelaku pencabulan sehingga membuat pelaku pencabulan diberikan hukuman yang berat. Sehingga mereka berpikir untuk tidak mengulangi perbuatannya melalui upaya pencegahan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui aparat penegak hukum.


(44)

Tindak pidana pencabulan merupakan perbuatan yang sangat merugikan. Oleh karena itu harus dicegah, ditangkal dan ditanggulangi, dengan cara jajaran kepolisian harus selalu siap melaksanaan tugasnya sekaligus mengantisipasi peningkatan tindak pidana pencabulan. Tugas dan wewenang Kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1998 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. Bagi mereka yang tertangkap dalam tindak pidana ini, hendaknya diberikan sanksi yang berat. Dengan pemberian sanksi berupa pidana terhadap pelaku pencabulan, belum memuaskan rasa keadilan di masyarakat.

Salah satu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia ini yang melarang terjadinya suatu tindak pidana adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur jenis-jenis tindak pidana yang bersifat umum. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi adalah tindak pidana pencabulan (Pasal 296 KUHP). Perbuatan tersebut termasuk unsur diancam pidana oleh undang-undang dan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dibutuhkan pembuktian dihadapan hakim, sehingga hakim memegang peranan penting dalam pembuktian apakah seseorang bersalah atau tidak.

Pencabulan tidak dapat hanya merupakan masalah antar individu, melainkan sebagai problem sosial yang terkait dengan masalah hak-hak asasi, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan dari segala bentuk penyiksaan, kekerasan, dan pengabaian martabat manusia terhadap wanita. Hal itu harus dilawan karena merupakan manifestasi ketidakadilan sehubungan dengan peran dan perbedaan jender, di samping manifestasi lainnya seperti marginalisasi, sub-ordinasi,


(45)

pelabelan negatif terhadap kaum perempuan (Fakih, 1996). Tindak kekerasan tersebut diistilahkan sebagai kekerasan gender terhadap perempuan (gender-related violence), dan dikategorikan PBB sebagai Gender-based abuse atau kekerasan pada wanita (Cholil, 1996).

Pencabulan sebagai pelanggaran hak azasi manusia, merupakkan suatu mekanisme untuk membatasi ruang gerak perempuan dalam bentuk terorisme seksual yang menyerang dan merugikan hak-hak privasi berkaitan dengan seksualitas, dan juga menyerang kepentingan umum berupa jaminan hak-hak asasi yang harus dihormati secara kolektif.

Hak yang dilanggar bersifat fundamental, yakni hak setiap orang untuk menikmati standar kesehatan tertinggi termasuk kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi artinya bukan hanya bebas dari kesakitan dan gangguan penyakit, tetapi berarti pula setiap orang mempunyai kemampuan untuk, antara lain: melakukan dan menikmati hubungan seksual secara aman. Ini menjadi hak seksual dan reproduksi (Cholil, 1996 dalam Wattie, 1996), di antaranya bodily integrity.Kekerasan terhadap wanita, dalam hal ini pencabulan, apabila dibiarkan berkembang menjadi rintangan terhadap pembangunan.

Pasal 296 KUHP tentang pencabulan dirumuskan sebagai tindakan ”Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena pencabulan dengan

pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana ini antara lain: dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; memaksa perempuan yang bukan istrinya; untuk melakukan hubungan seksual


(46)

(bersetubuh). Dalam konteks masyarakat saat ini, rumusan ini tentunya sangat ketinggalan zaman, karena tindak pidana pencabulan saat ini mengalami perkembangan yang luar biasa baik modus operandi dan modelnya.

Rumusan tindak pidana pencabulan dalam Pasal 296 KUHP dinilai diskriminatif, dan ikut berperan serta dalam membakukan nilai yang berlaku di masyarakat berkenaan dengan harkat dan martabat wanita. Dalam hukum pidana Indonesia khususnya kasus pencabulan keberadaan wanita diperkecil maknanya menjadi vagina saja, diatur hanya bila vaginanya terganggu (Indarti, 1993). Perumusan Pasal pencabulan menunjukkan standar nilai/moral yang dipakai masyarakat dalam memperlakukan perempuan khususnya isteri. Seorang isteri dalam hubungan seksual tidak mempunyai hak apapun terhadap suaminya (Katjasungkana, 1995:). Sehubungan dengan itu, bukan saja Pasal 296 KUHP perlu diganti, akan tetapi juga nilai-nilai sosial budaya dan mitos-mitos yang mengisyaratkan adanya dominasi pria terhadap wanita atau sesamanya perlu diganti (Susanto, 1992).

Pengertian kekerasan dan ancaman kekerasan berkecenderungan dalam arti riil, sehingga sulit untuk memasukannya bagi perbuatan yang tidak riil, artinya tidak mengaitkan perbuatan dengan konteks suasana atau kondisi, serta status pelaku dan korban. Unsur persetubuhan dimaksudkan masuknya penis ke dalam vagina (alat reproduksi), disyaratkan harus betul-betul masuk dan mengeluarkan sperma. Penegakan hukum tidak lain berarti menegakkan norma-norma hukum sekaligus nilai-nilai di belakang norma tersebut. Jadi, selama ini yang ditegakan adalah nilai-nilai individualistis, yang mengabaikan prinsip keadilan. Hukum pidana


(47)

hanya mempersoalkan 3 hal yaitu: perbuatan yang dilarang, pertanggung-jawaban (orangnya/pelaku), dan sanksi pidana, sehingga korban tidak menjadi perhatian. Sehubungan dengan kasus pencabulan, kedudukan korban dalam proses peradilan pidana hanyalah sebagai saksi korban. Korban justeru dirugikan dan seolah-olah tidak dimanusiakan hanya penting untuk memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku, dan dijadikan barang bukti untuk mendapatkan visum et repertum.

Pidana denda, yang menurut pasal yang terbukti tersebut, paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) adalah hanya kata-kata di atas kertas yang sangat tidak mungkin dilaksanakan oleh Terdakwa sebagai seorang tenaga guru honorer, oleh karena itu Majelis Hakim Banding berpendapat tidak ada urgensinya menghukum Terdakwa dengan hukuman denda tersebut, akan tetapi Majelis akan

menaikkan hukuman penjara terhadap Terdakwa”

Terdakwa, seorang guru honorer SD, terbukti melakukan pencabulan terhadap anak dibawah umur (9 th). Di tingkat PN terdakwa dinyatakan terbukti melanggar pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara minimum 3 tahun maksimum dan maksimum 15 tahun dan denda minimum Rp. 60.000.000 dan maksimum Rp 300.000.000. Oleh Majelis Hakim tingkat I terdakwa dihukum pidana penjara 4 tahun dan denda Rp. 60.000.000, namun oleh Pengadilan Tinggi hukuman tersebut diubah menjadi pidana penjara 6 tahun sedangkan dendanya dihapuskan dengan pertimbangan sebagaimana diatas. Atas dihapuskannya denda yang secara normatif bersifat imperatif tersebut JPU mengajukan kasasi, namun oleh Mahkamah Agung permohonan JPU tersebut


(48)

tidak dikabulkan. Alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, judex factitidak salah menerapkan hukum, pertimbangan hukum dan putusan judex facti sudah tepat, karena judex facti telah mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis dengan benar, yaitu;

1. Bahwa pidana “denda” adalah alternatif dari pidana penjara yang diancamkan

atas pelanggaran Pasal aquo ;

2. Bahwa judex facti telah mempertimbangkan keadaan-keadaan yang memberatkan dan keadaan-keadaan yang meringankan sesuai Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, berat ringannya pidana adalah wewenangjudex facti;

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul: Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 677 K/Pid.Sus/2008 Tentang Pidana Denda yang Dihapuskan Dalam Perkara Pencabulan

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Apakah dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No.677 K/Pid.Sus/2008 tentang pidana denda yang dihapuskan dalam perkara pencabulan?

2. Ruang Lingkup

Penulis membatasi ruang lingkup dalam penelitian terbatas pada kajian hukum pidana yang meliputi: Putusan Mahkamah Agung No.677 K/Pid.Sus/2008 Tentang Pidana Denda Yang Dihapuskan Dalam Perkara Pencabulan


(49)

C. Tujuan dan Kegunaam Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian dalam skripsi ini, pada garis besarnya adalah untuk menjawab permasalahan, yaitu: untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No.677 K/Pid.Sus/2008 Tentang pidana denda yang dihapuskan dalam perkara pencabulan.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini meliputi kegunaan teoritis dan praktis, yaitu : a. Kegunaan teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu hukum dan dapat memperluas daya berfikir, dapat mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah dengan daya nalar dan sebagai sumber informasi bagi mereka yang memerlukan dan dapat menjadi salah satu referensi, khususnya mengenai Putusan Mahkamah Agung No.677 K/Pid.Sus/2008 Tentang Pidana Denda Yang Dihapuskan Dalam Perkara Pencabulan.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan khususnya bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam menindak tindak pidana pencabulan.


(50)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. (Soerjono Soekanto, 1984 : 124).

Perkembangan arus globalisasi yang kian pesat membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya ada pada pekembangan teknologi yang dapat dirasakan oleh siapapun serta arus informasi yang kian cepat. Namun di sisi lain timbul pula dampak negatif dari arus globalisasi yaitu semakin maraknya kejahatan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kemajuan teknologi informasi serta adanya kebebasan pers. Hal tersebut dapat kita lihat pada media cetak maupun elektronik yang bernuansa pornografi. Itu semua dapat menimbulkan kejahatan terutama tindak pidana kesusilaan, khususnya terhadap anak-anak.

Tindak pidana paling rentan dialami oleh anak-anak adalah tindak pidana kesusilaan yang berupa pencabulan, karena anaklah yang paling mudah untuk diperdaya. Hakim adalah pihak yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi terhadap seorang terdakwa. Dalam hal ini, hakim memilik kebebasan untuk menjatuhkan putusannya. Meskipun hakim memiliki kebebasan, namun kebebasan tersebut masih dalam batasan hukum. Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan harus disertai dengan berbagai macam pertimbangan. Sehingga dari


(51)

putusan tersebut terwujud suatu kepastian hukum dan terpenuhinya rasa keadilan bagi semua pihak.

Pertimbangan hakim pada umumnya mencakup sebagai berikut: pembuktian terdakwa, dan apakah telah memenuhi asas minimum pembuktian sesuai Pasal 183 KUHAP. Hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa dari hasil pemeriksaan sidang. hukuman yang patut dijatuhkan kepada terdakwa, serta apakah putusan yang akan dijatuhkan akan memenuhi rasa keadilan bagi korban maupun keluarganya. Disamping hal tersebut pertimbangan hakim juga harus meliputi pertimbangan latar belakang terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi terdakwa dan agama terdakwa. Hal ini dimaksudkan agar putusan yang dijatuhkan sesuai dengan nilai sosiologis, filosofis, maupun seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 1986: 132)

a. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana (Tongat. 2008: 113).

b. Ontuchtige handelingen atau cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan dibidang seksual, yang dilakukan dengan maksud-maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan (PAF. Lamintang, 1997: 159).


(52)

c. Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban sesorang untuk mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus kesalahannya dengan pembayaran sejumlah uang tertentu cara (Efi Laila Kholis, 2010 : 9).

d. Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan (Wahyu Kuncoro, 2010: 7).

E. Sistematika Penulisan

Upaya memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat dipahami, maka penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab secara berurutan dan saling berkaitan hubungannya yaitu sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang tentang Putusan Pengadilan dalam memutuskan pelaku tindak pidana pencabulan yang selanjutnya merumuskan masalah dalam menentukan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Konseptual dan Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang dapat dijadikan sebagai dasar atau teori dalam menjawab masalah yang terdiri dari Pengertian Tindak pidana dan Jenis-Jenis Tindak pidana, Bentuk-Bentuk Tindak pidana pencabulan,


(53)

Sebab-sebab Terjadinya Tindak pidana, serta Dasar Hukum Pemberantasan Tindak pidana pencabulan.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penelitian meliputi Pendekatan Masalah, Sumber dan Jenis Data, Pengumpulan Data dan Pengolahan Data serta Analisa Data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari pokok permasalahan tentang: dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan pelaku tindak pidana pencabulan dan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pencabulan.

V. PENUTUP

Bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian permasalahan yang ada guna perbaikan di masa mendatang.


(54)

Oleh:

SYENDRO EKA SYAHPUTRA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG


(55)

(56)

HAPUSKAN DALAM PERKARA PENCABULAN

Nama Mahasiswa :Syendro Eka Syahputra No. Pokok Mahasiswa :0812011293

Bagian :Hukum Pidana

Fakultas :Hukum

MENYETUJUI I. Komisi Pembimbing

Dr.eddy Rifai, S.H.,M.H. Try Andrisman, S.H., M.H.

NIP. 19610912 1986031 1003 NIP. 19611231 198903 1023

II. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati, S.H.,M.H. NIP. 19620817 198703 2 003


(57)

1. Tim Penguji

Ketua :Dr.eddy Rifai, S.H.,M.H. ...

Sekretaris/ Anggota :Tri Andrisman, S.H.,M.H. ...

Penguji Utama :Firga Nefi, S.H.,M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr.Heryandi, S.H.,M.S. NIP. 19621109 198703 1 003


(58)

Penulis dilahirkan di Sekampung (Lampung Timur) pada tanggal 11 MARET 1991, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Syahrizal halimin putra dan Ibu Anita septiana.Penulis memulai jenjang pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Perwanida Metro Pusat 1995-1996, Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 1 Metro Pusat Tahun 1996-2002, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP) di SMP Negeri 3 Metro Pusat 2002-2005, Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 1 Metro Pusat 2005-2008.

Pada Tahun 2008 penulis diterima menjadi Mahasiswa Fakultas Hukum Reguler Universitas Lampung dan untuk lebih mematangkan ilmu hukum yang diperoleh penulis mengkonsentrasikan pada bagian Hukum Pidana. Pada tahun 2011, mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Sidodadi Kecamatan Air Hitam Kabupaten Lampung Barat.


(59)

sebelum kita berharap dan meminta orang lain

untuk menghargai, menghormati,menyayangi dan mencintai kita, yang

harus kita lakukan terlebih dahulu adalah

membuat diri kita layak dan pantas

untuk dihargai, dihormati, disayangi dan dicintai oleh orang lain

Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, sebab itu jangan sakali-kali

kamu termasuk Orang-orang yang ragu.

(Qs : Al Baqarah : 147)

Sebaik-baiknya orang adalah yang mengamalkan ilmu semata-mata

karena cinta dan kerinduan kepada Allah dan Rasulnya...

Dunia baginya adalah ladang amal,

Langkahnya adalah dakwah,

Ucapannya adalah hikmah

Dan

Cita-citanya adalah kampung akkhirat.

(

Penulis

)


(60)

(61)

Kupersembahkan Skripsi ini Kepada:

Ayah dan Ibu Ku Syahrizal halimin putra dan Anita septiana

Terima kasih yang tak terhingga untuk setiap tetes keringat dan air mata, kasih sayang dan

ketabahannya,Berkat Didikan,Bimbingan,doa-doa,keikhlasan,kesabaran yang tak pernah

Habis Dalam Membersarkanku Sehingga AKU Bisa Menjadi Orang Yang Berhasil.

Adik adikku tersayang Syendita dwi cahyati,Syandi try wicaksana yang menjadi semangatku

untuk mencapai keberhasilan.

Seluruh Keluarga besarku,Atu Mas,Eyang Uti,Eyang kakung,Ayah Syaiful,Ibu yanti,Papi

Iwan,Mami tini,Papah irul,Mamah,Engah Lina,Pakwan,Uncu Eli,Walit bani,bunda

Keri,Papah didit,mamah heni,Tante Iin,Dahlia wati Dan seluruh sepupuku yang telah lama

menanti keberhasilanku dan selalu menasehatiku agar menjadi lebih baik

Dan Yunicha diana yang senantiasa menemaniku suka dan duka dan memberi semangat untuk

keberhasilanku

Thank To

Almamater tercinta

Universitas lampung


(62)

(1)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Dr.eddy Rifai, S.H.,M.H. ...

Sekretaris/ Anggota :Tri Andrisman, S.H.,M.H. ...

Penguji Utama :Firga Nefi, S.H.,M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr.Heryandi, S.H.,M.S.

NIP. 19621109 198703 1 003


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sekampung (Lampung Timur) pada tanggal 11 MARET 1991, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Syahrizal halimin putra dan Ibu Anita septiana.Penulis memulai jenjang pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Perwanida Metro Pusat 1995-1996, Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 1 Metro Pusat Tahun 1996-2002, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP) di SMP Negeri 3 Metro Pusat 2002-2005, Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 1 Metro Pusat 2005-2008.

Pada Tahun 2008 penulis diterima menjadi Mahasiswa Fakultas Hukum Reguler Universitas Lampung dan untuk lebih mematangkan ilmu hukum yang diperoleh penulis mengkonsentrasikan pada bagian Hukum Pidana. Pada tahun 2011, mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Sidodadi Kecamatan Air Hitam Kabupaten Lampung Barat.


(3)

MOTTO

sebelum kita berharap dan meminta orang lain

untuk menghargai, menghormati,menyayangi dan mencintai kita, yang

harus kita lakukan terlebih dahulu adalah

membuat diri kita layak dan pantas

untuk dihargai, dihormati, disayangi dan dicintai oleh orang lain

Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, sebab itu jangan sakali-kali

kamu termasuk Orang-orang yang ragu.

(Qs : Al Baqarah : 147)

Sebaik-baiknya orang adalah yang mengamalkan ilmu semata-mata

karena cinta dan kerinduan kepada Allah dan Rasulnya...

Dunia baginya adalah ladang amal,

Langkahnya adalah dakwah,

Ucapannya adalah hikmah

Dan

Cita-citanya adalah kampung akkhirat.

(

Penulis

)


(4)

(5)

✁✂✄ ✁MBAHAN

Kupersembahkan Skripsi ini Kepada:

Ayah dan Ibu Ku Syahrizal halimin putra dan Anita septiana

Terima kasih yang tak terhingga untuk setiap tetes keringat dan air mata, kasih sayang dan

ketabahannya,Berkat Didikan,Bimbingan,doa-doa,keikhlasan,kesabaran yang tak pernah

Habis Dalam Membersarkanku Sehingga AKU Bisa Menjadi Orang Yang Berhasil.

Adik adikku tersayang Syendita dwi cahyati,Syandi try wicaksana yang menjadi semangatku

untuk mencapai keberhasilan.

Seluruh Keluarga besarku,Atu Mas,Eyang Uti,Eyang kakung,Ayah Syaiful,Ibu yanti,Papi

Iwan,Mami tini,Papah irul,Mamah,Engah Lina,Pakwan,Uncu Eli,Walit bani,bunda

Keri,Papah didit,mamah heni,Tante Iin,Dahlia wati Dan seluruh sepupuku yang telah lama

menanti keberhasilanku dan selalu menasehatiku agar menjadi lebih baik

Dan Yunicha diana yang senantiasa menemaniku suka dan duka dan memberi semangat untuk

keberhasilanku

Thank To

Almamater tercinta

Universitas lampung


(6)

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 181 K/PID.SUS/2008 DAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 126 K/PID.SUS/2008 TENTANG PENERAPAN PIDANA DENDA SECARA TANGGUNG RENTENG (JOINT AND SEVERAL LIABILITY) DALAM P.

0 0 1