Tantangan dalam Pengelolaan TWAL Pulau Pombo

penghancuran atau perusakan habitat yang disebabkan oleh alat atau praktek penangkapan, mortalitas secara tidak langsung yang disebabkan oleh penangkapan, mortalitas dari jenis mangsa; ii menaikkan ukuran populasi kelimpahan, kepadatan danatau biomas dan individual atau biomas spawning dari jenis focal; iii menaikkan dan memulihkan atau merawat struktur populasi ukuran atau usia dari jenis target dan populasi cadangan; iv menaikkan dan lindungi reproduksi meningkatkan aktual dan potensi output reproduktif, lindungi porsi stok biomas spawning , mempertinggi penempatanrekrutmen; dan v kualitas habitat.

5.6.2. Tantangan dalam Pengelolaan TWAL Pulau Pombo

Model pengelolaan dengan melakukan penutupan sebagian kawasan perairan terumbu karang menghasilkan nilai ekonomi yang relatif lebih tinggi dibandingkan kondisi sekarang. Hasil tersebut dapat diwujudkan manakala ada perhatian serius dari instansi yang berwenang dalam pengelolaannya, terutama konsistensi untuk melakukan pemantauan secara rutin dengan cara menempatkan petugas jaga seperti sebelumnya, sebagai upaya untuk menghalau kegiatan penangkapan ikan dengan cara dan alat yang merusak. Mengingat kondisi tutupan karang batu yang mengalami degradasi cukup serius, dan didukung oleh hasil tangkapan yang ada sekarang ini jauh berkurang di banding dengan waktu-waktu sebelumnya, seperti yang diutarakan oleh para nelayan. Pengelolaan kawasan DPL yang efektif membutuhkan sejumlah staf yang bermotivasi tinggi, berjumlah memadai, dan dengan kecakapan, keahlian serta perlengkapan yang layak untuk dapat melaksanakan peraturan dan pengawasan Indarawan dkk, 2007. Dengan keefektifan dalam pengelolaan DPL tersebut diharapkan dapat menjamin keberadaan ekosistem terumbu karang, dan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan lokal. Mengingat masih adanya ancaman terumbu karang oleh aktifitas penangkapan ikan dengan bom. Dalam kasus TWAL Pulau Pombo, saat dilakukan pemotretan untuk sampel karang, ditemukan fakta adanya jejak-jejak pemboman seperti lubang pada dasar substrat, patahan-patahan karang mati dari karang bercabang dan pecahan dari karang pejal, dan hingga saat dilakukan studi ini praktek penangkapan yang bersifat merusak tersebut masih dijumpai. Informasi tentang penggunaan bahan peledak ini juga disampaikan oleh nelayan responden, begitu pula informasi yang sama disampaikan oleh peneliti terumbu karang dari LIPI Ambon hasil wawancara dengan peneliti terumbu karang LIPI Ambon. Nampaknya kondisi seperti ini banyak terjadi di tempat lain di kawasan Maluku, sesuai yang dilaporkan oleh Burke et al. 2002 bahwa di Provinsi ini 65 terumbu karangnya mengalami kerusakan akibat bahan peledak. Dalam skala Indonesia, seperti yang digambarkan oleh Cesar et al. 2003, bahwa upaya untuk penegakkan hukum enforcement dari operasi ilegal ini adalah sulit, insentif finansial untuk nelayan dalam jangka pendek cukup tinggi. Biaya dari “inaction” pada pemboman ikan diperkirakan mencapai 3,8 milyar dolar AS di atas jangka waktu 25 tahun. Gambaran ini menjastifikasi pengeluaran penegakkan hukum sekitar 400 juta dolar AS per tahunnya. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan ini didorong oleh karena kepraktisannya dan memberikan hasil tangkapan yang lebih banyak, meskipun cara ini mengandung resiko keselamatan jiwa. Dalam jangka pendek aktifitas semacam ini memberikan keuntungan bagi pelakunya, namun secara pasti kerusakan ekosistem terumbu karang semakin parah dan dalam jangka panjang secara ekonomi akan memberikan kerugian tidak saja bagi pelaku, tetapi juga kerugian bagi nelayan lainnya dan masyarakat luas. Sebagai gambaran untuk ukuran Indonesia, keuntungan individu dari praktik penggunaan bahan peledak ini ditaksir mencapai 15.000 dolar AS setiap km 2 , sedangkan kerugian yang diderita bagi masyarakat akibat peledakan ini antara 91.000 sampai 700.000 dolar AS setiap km 2 selama lebih dari periode 20 tahun Burke et al., 2002. Studi Cesar 1996 di Indonesia melaporkan bahwa, kawasan terumbu karang yang sudah rusak atau hancur 50 hanya akan menghasilkan 6.000 dolar AS tiap km 2 tahun, dan daerah yang 75 rusak menghasilkan hanya sekitar 2.000 dolar AS tiap km 2 tahun. Aktifitas penangkapan yang bersifat merusak ini bila tetap berlangsung, niscaya manfaat ekonomi TWAL Pulau Pombo yang dihasilkan dari skenario dengan pengelolaan , akan sulit dicapai dan yang terjadi adalah justru kerugian yang diperoleh karena rusaknya ekosistem terumbu karang sehingga menghilangkan peran fungsionalnya seperti tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan, seperti yang diperlihatkan dari scenario tanpa pengelolaan. Keadaan ini menjadi tantangan dalam pengelolaan TWAL Pulau Pombo, untuk memecahkan masalah pemboman ikan tersebut. Kiranya diperlukan upaya- upaya penyadaran semacam penyuluhan akan pentingnya keberadaan terumbu karang dan dampak kerusakannya, disamping upaya penegakan hukum terhadap aktifitas penangkapan yang merusak tersebut. Dari informasi yang dihimpun di lapangan, bahwa kasus penggunaan bom ini sudah berulang kali terjadi dan meskipun diketahui, nampaknya hukum tidak menjangkau para pelakunya, hal ini yang ditengarai membuat para pelaku tidak jerah dan tetap aktif melakukan kegiatan pengeboman. Berkaitan dengan keadaan yang ada, layak untuk mempertimbangkan saran dari Westmacott et al. 2000, bahwa perlunya dilakukan tindakan-tindakan pengelolaan seperti: i pengidentifikasian wilayah-wilayah terumbu karang yang kurang rusak dan meninjau ulang sistem zonasi dan batasan-batasan; ii menjamin bahwa DPL dikelola secara efektif; dan iii mengembangkan pendekatan lebih strategis untuk mendirikan sistem DPL. Studi ini telah membantu mengidentifikasi wilayah-wilayah terumbu karang yang rusak dan menilai potensi sumber daya yang dimiliki, khususnya untuk fungsi ekologis, dan menawarkan model pengelolaan DPL dengan luas 13 ha ata 20 dari luas total 65,36 ha. Sudah waktunya saran-saran tersebut dilakukan, dan perlu dilakukan studi lebih lanjut, terutama studi kajian pengelolaan.

VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

Berdasakan hasil analisis yang telah diuraikan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1 Nilai ekonomi aktual terumbu karang TWAL Pulau Pombo untuk tempat pemijahan sebesar Rp 10.812.641, dengan NPV sebesar RP 72.606.820 dalam jangka waktu sepuluh tahun. Untuk jasa tempat pengasuhan dan mencari makan, masing-masing sebesar Rp 511.869.222, dengan NPV sebesar Rp 3.511.784.328 dalam jangka waktu sepuluh tahun. 2 Skenario berdasarkan perubahan produktifitas, dengan pendekatan CBA untuk mengevaluasi antara tanpa pengelolaan dan dengan pengelolaan, dengan menetapkan kawasan perlindungan laut dan kontrol terhadap aktifitas penangkapan ikan yang merusak, tanpa pengelolaan diperkirakan NPV antara Rp 39.653.211 sampai Rp 68.491.313 dari jasa tempat pemijahan, dan dari jasa tempat pengasuhan dan mencari makan antara Rp 2.820.738.177 sampai Rp 3.388.424.567. Sementara dengan pengelolaan diperkirakan NPV antara Rp -261.050.483 sampai Rp 196.187.044 dari jasa tempat pemijahan, dan dari jasa tempat pengasuhan dan mencari makan diperkirakan NPV antara Rp 7.783.903 sampai Rp 6.210.956.923.

6.2. Saran

Kondisi tutupan terumbu karang TWAL Pulau Pombo yang memprihatinkan, dengan tutupan rata-rata 23 seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, merupakan produk dari pengelolaan TWAL yang tidak optimal. Fakta tersebut menjadi justifikasi akan perlunya membuat suatu daerah perlindungan laut DPL untuk melindungi dan menyehatkan terumbu karang, yang akan berdampak pada meningkatnya kelimpahan, keaneka-ragaman dan biomas ikan karang, yang akan di ekspor ke bukan DPL. Dengan demikian dari sisi ekologi menjamin kelestarian terumbu karang, dan secara ekonomi akan meningkatkan kesejahteraan nelayan karang melalui meningkatnya hasil tangkapan, seperti yang ditujukan oleh skenario dengan pengelolaan.