Gambaran Optimisme Suami yang Mengalami Cacat

(1)

GAMBARAN OPTIMISME SUAMI

YANG MENGALAMI CACAT

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

MARGARETHA NOVITASARI

091301076

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2014/2015


(2)

Gambaran Optimisme Suami yang Mengalami Cacat

Margaretha Novitasari dan Rahma Fauzia

ABSTRAK

Optimisme merupakan keyakinan bahwa akan lebih banyak hal baik yang terjadi daripada hal yang buruk (Carr, 2004). Individu yang optimis akan berusaha untuk mencapai tujuan meskipun mengalami kesulitan (Carver & Scheier, 2001). Pada suami yang mengalami cacat, mereka harus menghadapi perubahan fisik yang diakibatkan karena kecelakaan ataupun penyakit. Optimisme dapat mempengaruhi bagaimana individu memandang keterbatasannya saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran optimisme suami yang mengalami cacat.

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 15 orang dengan teknik pengambilan sampel insidental. Penelitian ini menggunakan skala LOT-R (Life Orientation Test-Revised) dikembangkan oleh Carver dan Scheier berdasarkan pandangan mereka tentang optimisme. Skala ini terdiri dari 10 aitem yang terdiri dari 6 aitem yang diukur dan 4 aitem filler. Skala yang digunakan memiliki reabilitas 0,675. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa suami yang mengalami cacat lebih banyak

yang optimis dibandingkan dengan yang tidak terkategori (ambivalen). Dari 15 orang, 13 orang optimis dan 2 orang tidak terkategori. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun memiliki kecacatan mereka tetap bisa memiliki keyakinan untuk menghadapi kondisi tersebut.


(3)

Optimism of Disabled Husbands

Margaretha Novitasari and Rahma Fauzia

ABSTRACT

Optimism are expectation that more good thing than bad thing happen (Carr, 2004). Optimists try to achieve their goal although in the face of difficulties (Carver & Scheier, 2001). Disabled husband must have adaptation with their physical condition because accident or illness. Optimism can effect to their opinion in disability This research aim to know optimism of disabled husband.

Subject in this research consist of 15 person by incidental sampling. This research used LOT-R (Life Orientation Test-Revised) by Carver dan Scheier about optimism. Reability of this scale is 0,675. Result of this research, most husband who have disability optimist compared with those not categorized (ambivalen). From 15 person, 13 person optimis and 2 person ambivalen. This indicates that despite having a disability they can still have the confidence to deal with these conditions.


(4)

SKRIPSI

GAMBARAN OPTIMISME SUAMI

YANG MENGALAMI CACAT

Dipersiapkan dan disusun oleh:

MARGARETHA NOVITASARI 091301076

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 01 Juli 2015

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Rahma Fauzia, M.Psi., psikolog Penguji I/ Pembimbing

NIP. 197905152010122002 ___________

2. Arliza J. Lubis, M. Si., psikolog Penguji II

NIP. 197803252003122002 ___________

3. Hasnida, M. Si., psikolog Penguji III


(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan

sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Optimis Suami yang Mengalami Cacat

merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juni 2015

Margaretha Novitasari


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus

Kristus atas berkat dan segala kebaikan-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Gambaran Optimisme Suami Yang

Menggalami Cacat” guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara serta meraih gelar Strata 1 (S1).

Keberhasilan penulisan skripsi ini dapat terwujud tidak hanya hasil kerja keras penulis sendiri namun juga berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada berbagai pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini dan juga selama menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, yaitu kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Ir. Melvi Marthin dan Ir. Marsini Ambawani yang telah memberikan dukungan moril dan material selama penulis menjalani kuliah di psikologi dan menyelesaikan skripsi ini.

2. Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

3. Rahma Fauzia, M.Psi., psikolog selaku dosen pembimbing dan penguji skripsi yang telah membimbing, memberikan kritik dan saran untuk penyelesaian skripsi ini.


(7)

4. Arliza J. Lubis, M. Si., psikolog dan Hasnida, M.Si,, psikolog selaku dosen penguji yang telah membimbing penulis selama revisi skripsi.

5. Rodiatul Hasanah Siregar M. Si., psikolog selaku dosen pembimbing akademik penulis.

6. Kedua saudari penulis, Mbak Fani dan Dik Tia dan telah memberikan doa, semangat, serta motivasi yang tiada henti kepada penulis.

7. Eyang Putri terima kasih untuk doanya selama ini. Keluarga besar dan teman-teman dari mama dan papa yang selama ini telah banyak memberikan motivasi dan dukungan serta membantu mencarikan responden untuk penelitian ini.

8. Sahabat dan keluarga ku di kampus. Terima kasih Susi Trisnawaty, Desy, Antony, Florence dan Ni Putu Defi yang telah menjadi sahabat penlis selama ini, memberikan banyak masukan, bantuan dan motivasi selama mengerjakan skripsi ini. Serefhy yang selalu bersedia diganggu kapan pun, terimakasih untuk diskusinya selama ini.

9. Responden awal penulis, Pak Hutapea dan Alm. Pak Simarmata terimakasih sudah bersedia berbagi cerita dengan penulis.

10. Responden yang terlibat dalam skripsi ini, terima kasih telah meluangkan waktu mengisi skala penulis.

11. Terima kasih untuk seluruh keluarga besar Fakultas Psikologi USU. Dosen, pegawai dan teman-teman mahasiswa terutama angkatan 2009.


(8)

Akhir kata penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Medan, Juni 2015


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan... 6

E. Sistematika Penulisan... 7

BAB II LANDASAN TEORI A.Optimisme... 9

1. Definisi Optimis, Optimistis dan Optimisme... 9

2. Optimisme dan Ekspextancy value Model... 10

3. Dampak Optimisme... 11

B. Suami yang Mengalami Cacat... 13


(10)

2. Cacat ... ... 15

3. Suami yang Mengalami Cacat... 16

C.Dinamika Antar Variabel... 17

D.Paradigma... 19

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian... 20

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 20

C. Populasi, Sampel Penulisan dan Teknik Pengambilan Sampel... 21

1. Populasi dan Sampel... 21

2. Jumlah dan Teknik Pengambilan Sampel... 21

D. Metode Pengumpulan Data ... 22

E. Uji Coba Alat Ukur ... 23

1. Validitas Alat Ukur... 23

2. Reliabilitas Alat Ukur ... 23

3. Hasil Pengujian Alat Ukur... 23

F. Prosedur Penelitian... 24

1. Persiapan Penelitian... 24

2. Pelaksanaan Penelitian... 24

3. Pengolahan Data... 24

G. Metode Analisis Data ... 25

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisa Data... ... 27


(11)

2. Gambaran Optimisme Suami Cacat... 31

B. Pembahasan... 39

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 45

B. Saran ... 45

1. Saran Metodologis... 45

2. Saran Praktis... 46

DAFTAR PUSTAKA……….... 47


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Skoring Aitem LOT-R... 22 Tabel 4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Faktor

Sosiodemografis... 27 Tabel 4.2. Kategorisaasi Optimisme... 31 Tabel 4.3. Gambaran Optimisme Suami Cacat Berdasarkan Faktor


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala LOT-R... 49 Lampiran 2. Hasil Uji Reabilitas... 57 Lampiran 3. Kategorisasi Subjek Penelitian... 58


(14)

Gambaran Optimisme Suami yang Mengalami Cacat

Margaretha Novitasari dan Rahma Fauzia

ABSTRAK

Optimisme merupakan keyakinan bahwa akan lebih banyak hal baik yang terjadi daripada hal yang buruk (Carr, 2004). Individu yang optimis akan berusaha untuk mencapai tujuan meskipun mengalami kesulitan (Carver & Scheier, 2001). Pada suami yang mengalami cacat, mereka harus menghadapi perubahan fisik yang diakibatkan karena kecelakaan ataupun penyakit. Optimisme dapat mempengaruhi bagaimana individu memandang keterbatasannya saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran optimisme suami yang mengalami cacat.

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 15 orang dengan teknik pengambilan sampel insidental. Penelitian ini menggunakan skala LOT-R (Life Orientation Test-Revised) dikembangkan oleh Carver dan Scheier berdasarkan pandangan mereka tentang optimisme. Skala ini terdiri dari 10 aitem yang terdiri dari 6 aitem yang diukur dan 4 aitem filler. Skala yang digunakan memiliki reabilitas 0,675. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa suami yang mengalami cacat lebih banyak

yang optimis dibandingkan dengan yang tidak terkategori (ambivalen). Dari 15 orang, 13 orang optimis dan 2 orang tidak terkategori. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun memiliki kecacatan mereka tetap bisa memiliki keyakinan untuk menghadapi kondisi tersebut.


(15)

Optimism of Disabled Husbands

Margaretha Novitasari and Rahma Fauzia

ABSTRACT

Optimism are expectation that more good thing than bad thing happen (Carr, 2004). Optimists try to achieve their goal although in the face of difficulties (Carver & Scheier, 2001). Disabled husband must have adaptation with their physical condition because accident or illness. Optimism can effect to their opinion in disability This research aim to know optimism of disabled husband.

Subject in this research consist of 15 person by incidental sampling. This research used LOT-R (Life Orientation Test-Revised) by Carver dan Scheier about optimism. Reability of this scale is 0,675. Result of this research, most husband who have disability optimist compared with those not categorized (ambivalen). From 15 person, 13 person optimis and 2 person ambivalen. This indicates that despite having a disability they can still have the confidence to deal with these conditions.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia dihadapkan dengan tugas-tugas perkembangan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika memasuki masa dewasa salah satu tugas perkembangan yang akan dilalui seorang individu adalah membentuk hubungan intim melalui pernikahan (Papalia, et. la., 2007). Setelah menikah laki-laki dan perempuan akan memiliki peran baru sebagai suami dan istri.

Menurut pandangan tradisional, peran utama laki-laki adalah sebagai penguasa utama rumah tangga yang memiliki hak-hak istimewa dan otoritas terbesar dalam keluarga dan anggota keluarga yang lain harus tunduk kepadanya. Laki-laki dalam posisinya sebagai suami dan ayah merupakan figur sentral dalam keluarga (Kusujiarti dalam Supriyantini, 2002). Sedangkan perempuan hidup di lingkungan rumah tangga, melahirkan dan membesarkan anak, memasak dan memberi perhatian kepada suaminya supaya tercipta rumah tangga yang tenteram dan sejahtera (Budiman dalam Supriyantini, 2002).

Lebih lanjut dalam Undang-Undang Pernikahan No. 1 Tahun 1974 pasal 31 ayat 3, suami adalah kepala keluarga yang menuntut suami memiliki tanggung jawab untuk melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Selain melindungi istri dan memberikan keperluan hidup (nafkah), suami juga bertanggung jawab melindungi anggota keluarga, mengambil peran publik, serta melakukan urusan di luar rumah


(17)

tangga (Widyarini, 2009). Agama juga memiliki pandangan tertentu akan peran

suami. menurut tafsiran Al-Qur’an, 4:34, suami juga berperan untuk

membimbing, mendidik, serta mengayomi keluarganya (Chusniatun, 2011) dan menurut agama Kristen suami memiliki tanggung jawab untuk mengasihi, melindungi, mencukupi kebutuhan, dan memimpin keluarganya sebagai kepala keluarga. Peran sebagai kepala keluarga ini menuntut laki-laki untuk memiliki kondisi fisik dan psikologis yang baik, namun tidak semua kepala keluarga memiliki kondisi fisik dan psikologis yang baik. Pada beberapa keluarga, kepala keluarga mengalami cacat yang menyebabkan keterbatasan dalam menjalankan perannya sebagai kepala keluarga.

Kondisi cacat ini ada yang telah dimiliki sejak lahir dan ada yang dialami selama rentang kehidupan sebelum ataupun sesudah pernikahan. Cacat sejak lahir umumnya dialami sejak masih dalam kandungan. Cacat selain bawaan sejak lahir, biasanya disebabkan oleh bencana alam, kecelakaan ataupun cedera dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Tentama dalam Kasmayati, 2013). Menurut WHO, cacat juga disebabkan karena penyakit, trauma atau kondisi kesehatan lain (McLean, 2007). Salah satu contohnya seperti penyakit stroke yang penderitanya akan mengalami gangguan motorik, sensorik, kognitif ataupun berbicara sebagai akibat dari kerusakan otak yang dialami (Sarafino & Smith, 2011).

Cacat yang dialami membuat individu cenderung merasa dirinya tidak berdaya, kurang percaya diri, rendah diri, sensitif, cemas, dan sering kali merasa takut dirinya akan menjadi beban bagi orang lain (Carolina dalam Suparni, 2009). Hal ini juga dipengaruhi oleh sikap dan pandangan negatif lingkungan, yang pada


(18)

umumnya menganggap orang yang cacat sebagai orang yang tidak mampu dalam kehidupan sosial. Penolakan masyarakat terhadap individu cacat ini menyebabkan munculnya perasaan rendah diri, perasaan sedih dan penyesalan akan kondisinya. Mereka akhirnya cenderung menutup diri terhadap pergaulan, kurang dapat menyesuaikan diri dan bersosialisasi dengan lingkungan (Somantri, 2007).

Selain harus menyesuaikan diri dengan keterbatasan yang dialami, suami juga umumnya akan mengalami beberapa perubahan berkaitan dengan perannya sebagai kepala keluarga. Kurangnya lapangan pekerjaan bagi penyandang cacat menyebabkan mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan penghasilan sendiri. Hal ini didukung dengan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2002, dari 20 juta penyandang cacat di Indonesia, sekitar 80 persennya tidak memiliki pekerjaan.

Ketika cacat dialami oleh seorang suami maka tanggung jawabnya untuk mencari nafkah akan mengalami hambatan. Hal ini di dapat peneliti dari komunikasi personal dengan seorang bapak yang keluar dari pekerjaannya setelah mengalami kecelakaan, yakni:

“Ya cemana lah ya. Pertamanya itu perasaan tersiksa lah sebenarnya, tapi misalnya ingatan sudah normal perasaan ku, ngomong pun sudah kata orang, tapi kok perasaan itu seperti tertekan kali lah, kayak yang saya bilang hari itu, gara-gara ini saya diberhentikan kerja, ya dalam istilah dipensiunkan, pensiun muda lah, karena dianggap tidak mampu lagi, sementara kebutuhan kan ada, tanggungan ada, disitu sedihnya”

(H, komunikasi Personal, 3 Desember 2013)

Selain mengganggu perannya sebagai pencari nafkah dalam keluarga peran suami lainnya seperti sebagai pelindung keluarga, pengayom dan pembimbing keluarga dapat juga terganggu mengingat keterbatasannya dalam


(19)

melakukan aktivitas sehari-hari. Peran sebagai pencari nafkah bisa saja digantikan oleh istri. Seperti yang dituturkan Ibu Sonti dalam sebuah artikel.

“Sejak tahun 1980 suami saya sakit dan tidak bisa bekerja, padahal anak-anak masih usia 8 tahun dan baru sekolah SD.. Selanjutnya dia menceritakan, sebelum sakit, suaminya bekerja layaknya sebagai kepala keluarga. Walaupun harus kerja keras di proyek-proyek bangunan. Tetapi semenjak sakit, tanggung jawab rumah tangga dan segala kebutuhan anak-anak termasuk biaya sekolah dia pikul sepenuhnya seorang diri.”

(http://m.merdeka.com/peristiwa/perjuangan-guru-sd-dengan-suami-stres-besarkan-dua-anak.html).

Istri yang pasangannya mengalami keterbatasan sejak sebelum menikah lebih siap dengan kondisi rumah tangga yang akan sedikit berbeda dengan keluarga lain. Sedangkan pada istri yang awalnya memiliki pasangan dengan fisik sempurna namun sekarang memiliki suami dengan keterbatasan, hal ini bisa menjadi sumber konflik dalam keluarga. Masalah keuangan contohnya, dimana istri yang awalnya tidak bekerja terkadang harus menggantikan peran suami sebagai tulang punggung keluarga. Ketika istri memang sudah bekerja sebelumnya (dual-earn family) (DeGenova, 2008), masalah keuangan mungkin tidak akan terlalu berpengaruh. Akan tetapi ketika peran lainnya tidak dapat dijalankan maka hal ini tentu saja mempengaruhi pandangan keluarga serta pandangan laki-laki tersebut terhadap perannya sebagai kepala keluarga.

Perubahan yang dialami ini akan menjadi sumber stres bagi individu. Stres merupakan kondisi ketika interaksi individu dengan lingkungan mengarahkan individu berpandangan bahwa ada ketidaksesuaian antara tuntutan fisik dan psikologis terhadap situasi dan sumber biologis, psikologis dan sistem sosial sosial (Sarafino & Smith , 2011). Stres akan mempengaruhi sistem dalam tubuh seperti tekanan darah, denyut jantung dan pernafasan. Untuk menghadapi kondisi


(20)

ini penting bagi individu untuk dapat melakukan coping. Carr (2004) individu yang optimis akan melakukan coping yang untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

Carver dan Scheier (2001) mengembangkan teoriexpectancy-value model.

Menurut teori ini individu yang optimis akan memiliki harapan lebih banyak hal baik (positif) yang terjadi di masa depan. Ada dua aspek yang membuat individu bertindak yaitu tujuan dan ekspektasi. Semakin penting tujuan yang akan maka individu akan semakin termotivasi untuk mencapainya. Sedangkan ekspektasi akan mempengaruhi individu untuk memberikan respon ketika menghadapi kesulitan atau masalah. Individu yang optimis akan tetap percaya diri dan gigih dapat menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya. Optimisme merupakan

expectancy (ekspektasi) bahwa akan lebih banyak hal baik yang terjadi daripada hal buruk di masa depan (Carr, 2004).

Keuntungan optimis menurut Ginnis (dalam Kasmayati, 2013) antara lain hidup lebih bertahan lama, kesehatan lebih baik, menggunakan waktu lebih bersemangat dan berenergi, berusaha keras mencapai tujuan, lebih berprestasi dalam potensinya, mengerjakan sesuatu jadi lebih baik seperti dalam hubungan sosial, pendidikan, pekerjaan dan olahraga. Jika dikaitkan pada suami yang mengalami cacat maka diharapkan suami optimis akan lebih mampu menyesuaikan diri dengan kondisinya.

Di bidang kesehatan selain mampu meningkatkan kesehatan tubuh dan sistem kekebalan, optimisme juga dapat mengurangi depresi. Selain itu dampak


(21)

lain stres seperti rasa takut, kecemasan dan marah (Sarafino & Smith, 2011) juga lebih sedikit dibandingkan individu pesimis.

Melihat adanya peran penting optimis membuat peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran optimisme suami yang mengalami cacat.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkah latar belakang yang telah dijelaskan diatas, dapat disusun permasalahan, yaitu: “apakah suami yang mengalami cacat memiliki optimisme”

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran optimisme suami yang mengalami cacat.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu: 1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan pemikiran untuk mengembangkan ilmu Psikologi, terutama Psikologi Klinis. 2. Manfaat praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan serta pengetahuan bagi masyarakat umum, terkait topik yang menjadi bahan penelitian


(22)

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi pada istri dan keluarga yang memiliki suami atau anggota keluarga yang cacat.

E. SISTEMATIKA PENELITIAN

Sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang optimisme dan cacat fisik.

Bab III : Metode Penelitian

Berisikan mengenai metode-metode dalam penelitian yaitu identifikasi variabel, definisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, lokasi penelitian, instrumen dan alat ukur yang digunakan, metode pengambilan sampel, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Memuat hasil pengolahan data, gambaran umum subjek penelitian, dan hasil penelitian berdasarkan acuan teori.


(23)

Bab V : Kesimpulan dan Saran


(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. OPTIMISME

1. Defenisi Optimis, Optimistis dan Optimisme

Optimis dalam KBBI diartikan sebagai orang yang selalu berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal sedangkan optimistis didefenisikan sebagai bersifat optimis atau penuh harapan. Menurut Carver dan Scheier (2001) optimis merupakan individu yang memperkirakan hal baik yang terjadi pada dirinya, sedangkan pesimis adalah individu yang memperkirakan dirinya akan mengalami hal buruk.

Optimisme menurut KBBI adalah paham (keyakinan) atas segala sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan atau sikap selalu mempunyai harapan baik di segala hal. Optimisme merupakan expectancy (ekspektasi) bahwa akan lebih banyak hal baik yang terjadi daripada hal buruk di masa depan (Carr, 2004). Individu optimis saat menghadapi kesulitan akan terus berusaha mencapai tujuan dan akan menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi dengan menggunakan strategi coping yang efektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Individu yang optimis dan pesimis, berbeda caranya dalam mengatasi masalah dan menghadapi tantangan, cara dan hasil yang diperoleh dalam menyelesaikan kesulitan yang dihadapi (Carver & Scheier, 2004). Optimis ketika menghadapi tantangan akan menghadapinya dengan percaya diri dan gigih, meskipun kemajuan dalam menyelesaikan tantangan tersebut lambat karena


(25)

mereka percaya kesulitan dapat ditangani. Berbeda dengan optimis, pesimis cenderung akan menyerah ketika menghadapi kondisi yang sulit dan menantang, selain itu mereka juga cenderung memiliki perasaan negatif dan membayangkan kalau suatu kejadian yang buruk akan terjadi (Carver & Scheier, 2001).

2. Optimisme danExpectancy Value Model

Konsep optimisme berkaitan dengan teori motivasi atau yang lebih dikenal dengan teoriexpectancy-value (Carver & Scheier, 2001). Teori ini berpandangan bahwa perilaku individu disusun oleh dua aspek:

a. Goal (Tujuan)

Tujuan adalah state atau tindakan yang dianggap diinginkan atau tidak diinginkan. Individu mencoba untuk menyesuaikan perilaku sesuai dengan yang dia inginkan dan menjauhkan diri dari apa yang tidak diinginkan. Semakin penting tujuan tersebut bagi seseorang, semakin besar nilainya dalam memberi motivasi pada individu. Tanpa memiliki tujuan, seseorang tidak memiliki alasan untuk bertindak.

b. Expectancy(Ekspektasi)

Ekspektasi merupakan confidence (kepercayaan) ataupun doubt

(keragu-raguan) dalam pencapaian tujuan. Jika individu ragu-ragu, tidak akan ada tindakan. Keraguan dapat mengganggu usaha untuk mencapai tujuan baik sebelum tindakan dimulai atau saat sedang berlangsung. Hanya individu dengan ekspektasi yang cukup yang mampu melanjutkan usahanya.


(26)

3. Dampak Optimisme

Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan terhadap optimisme, disimpulkan bahwa optimisme sangat membantu individu dalam berbagai bidang. Optimis akan lebih cepat menerima kenyataan akan kondisi yang dihadapinya sekarang dibandingkan dengan individu yang pesimis (Carver & Scheier, 2004) Optimisme berkaitan dengan kondisi kesehatan yang lebih baik. Individu dengan optimis yang rendah lebih membutuhkan psikoterapi dibandingkan dengan individu dengan optimisme yang tinggi (Karlsson, 2011).

Ketika individu memiliki ekspektasi, maka individu akan mampu mengatasi kesulitan yang dihadapinya dan mencari penyelesaian dari masalah tersebut meskipun sulit (Carver & Scheier, 2001). Individu yang memiliki kepercayaan tentang masa depan akan terus mengeluarkan usaha walaupun menghadapi masa sulit, sedangkan individu yang ragu akan berhenti mengeluarkan usahanya.

Ketika menghadapi kondisi yang sulit, akan muncul perasaan sedih, cemas dan stres (Sarafino & Smith, 2011), kondisi ini menuntut individu untuk melakukan coping. Coping diartikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang berubah secara konstan untuk mengelola tuntutan eksternal dan/atau internal yang

dinilai berat atau melebihi batas kemampuan individu

(Lazarus & Folkman, 1984). Copingdilihat dari fungsinya dibagi menjadi 2:

1. Emotion-focused coping

Berfokus pada cara mengontrol respons emosional saat kondisi stres. Individu dapat meregulasi respon emosional mereka melalui pendekatan kognitif


(27)

dan perilaku. Pendekatan kognitif berkaitan dengan cara individu berpikir terhadap situasi stres yang dihadapi. Individu dapat mendefenisikan kembali situasi sehingga dapat menghadapinya dengan lebih baik. Proses kognitif dari

emotion-focused coping yang lain adalah dengan strategi defense mechanism. Individu cenderung menggunakan pendekatan emotion-focused ketika tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk mengatasi kondisi yang penuh stres tersebut.

2. Problem-focused coping

Coping ini berfokus pada masalah bertujuan untuk mengurangi tuntutan-tuntutan dari keadaan stres atau mengembangkan sumber daya untuk menghadapinya. Coping ini akan digunakan saat kondisi masih mungkin untuk berubah. Pendekatan yang berfokus pada masalah cenderung digunakan ketika adanya perubahan dari sumber daya atau tuntutan situasi.

Optimisme mempengaruhi strategicopingyang lebih adaptif, Individu bisa melakukan pencegahan ataupun meminimalisasikan stress. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencegah ataupun meminimalkan stres disebutproactive coping. Individu yang optimis yang biasanya menggunakan metode yang berfokus pada masalah. Terdapat beberapa bentuk proactive coping, seperti: meningkatkan dukungan sosial, meningkatkan kontrol personal, mengorganisir lingkungan sendiri, melakukan olahraga, dan menyiapkan diri untuk situasi yang menyebabkan stres.


(28)

B. Suami yang Mengalami Cacat 1. Suami

Laki-laki menurut KBBI adalah orang (manusia) yang mempunyai zakar, kalau dewasa mempunyai jakun dan adakalanya berkumis. Sebagai laki-laki, ada beberapa hal yang dituntut pada peran gender laki-laki yaitu (Weiten, 2012): 1. Achievement

Untuk membuktikan kejantanan mereka, laki-laki perlu untuk mengalahkan orang lain di tempat kerja dan dalam olahraga serta memiliki jabatan yang lebih tinggi.

2. Agression

Laki-laki harus tanggguh dan berjuang untuk apa yang mereka yakini benar. Mereka harus mampu membela diri mereka sendiri dan orang yang mereka cintai dari ancaman atau bahaya.

3. Autonomy

Laki-laki harus mampu mandiri dan tidak tergantung pada orang lain. 4. Seksualitas

Laki-laki sejati harus heteroseksual dan sangat termotivasi untuk mengejar kegiatan seksual dan penaklukan.

5. Stoicism

Laki-laki tidak harus berbagi rasa sakit mereka atau menunjukkan kelemahan yang dimiliki.

Laki-laki ketika telah dewasa dan menikah akan memiliki peran baru sebagai suami. Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan bahwa suami adalah


(29)

laki-laki yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan (istri) yang telah menikah. Dalam undang-undang pernikahan No. 1 Tahun 1974 ada beberapa hak dan kewajiban suami dan ayah dalam keluarga:

1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (pasal 34 ayat 1).

2. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya (pasal 45 ayat 1).

Menurut pandangan tradisional, suami merupakan penguasa utama rumah tangga yang memiliki hak-hak istimewa dan otoritas terbesar dalam keluarga (Kusujiarti dalam Supriyantini, 2002). Selain itu berdasarkan tafsiran Al-Qur’an, 4:34, suami juga berperan untuk membimbing, mendidik, serta mengayomi keluarganya (Chusniatun, 2011).

Menurut Dr. Phil, peran suami sebagai kepala keluarga ada 4, yaitu: 1. Provider(penyedia)

Selain mendukung keluarga dalam hal finansial, suami juga harus dapat mensejahterakan keluarganya secara emosional, spiritual, fisik dan mental. 2. Protector(pelindung)

Suami harus dapat menjaga harga diri dan martabat dirinya serta keluarga. 3. Leader(pemimpin)

Suami yang bertanggung jawab untuk mengambil keputusan penting dalam keluarga ketika menghadapi suatu masalah.


(30)

Menjadi contoh untuk keluarga dan masyarakat, baik melalui kata-kata maupun perbuatan.

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa suami merupakan laki-laki yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan (istri) yang telah menikah yang memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan keluarga, memelihara, melindungi, mendidik, membimbing serta mengayomi keluarganya.

2. Cacat

Cacat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997, penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari (a) penyandang cacat fisik; (b) penyandang cacat mental; dan (c) penyandang cacat fisik dan mental.

Hawlet (2001) menyatakan kalau cacat secara umum dapat dibagi menjadi 4 yaitu:

1. Cacat Fisik

Cacat fisik disebabkan oleh kondisi fisik yang cacat. Individu yang dikategorikan cacat fisik adalah individu yang tidak memiliki kemampuan fisik, pincang, kelemahan fisik, dan kelemahan tulang.


(31)

2. Cacat Pendengaran

Cacat pendengaran merupakan kondisi fisik yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan seseorang untuk mendengarkan suara.

3. Cacat Penglihatan

Cacat penglihatan adalah gangguan atau hambatan dalam indera penglihatan. Cacat penglihatan terbagi 2, yaitu buta total dan buta sebagian.

4. Cacat mental

Cacat mental adalah ketika fungsi intelektual berada di bawah rata-rata. Cacat umumnya disebabkan oleh hal-hal berikut:

1. Cacat sejak lahir, terjadi karena serangan penyakit dalam kandungan, penyakit tersebut dapat langsung menyerang janin sehingga pertumbuhan anggota badan menjadi terganggu.

2. Cacat karena penyakit.

3. Cacat karena infeksi, disebabkan karena suatu penyakit tetapi menyebabkan serangan langsung.

4. Cacat karena kecelakaan, terjadi karena lalu lintas, perang, kecelakaan pabrik, bencana alam dan sebagainya.

3. Suami yang Mengalami Cacat

Suami yang mengalami cacat adalah laki-laki yang menjadi pasangan hidup resmi perempuan yang mengalami kondisi cacat fisik, penglihatan, pendengaran dan mental yang disebabkan karena bawaan dari lahir, penyakit, infeksi dan kecelakaan. Dalam penelitian ini peneliti tidak membatasi penyebab


(32)

cacat subjek penelitian tetapi jenis cacat yang dialami hanya cacat fisik, penglihatan dan pendengaran.

C. DINAMIKA ANTAR VARIABEL

Setiap individu mengharapkan memiliki kondisi fisik dan psikologis yang baik, namun pada kenyataannya tidak semua orang dapat memiliki kondisi fisik dan psikologis yang baik. Keterbatasan ini bisa dialami siapa saja, termasuk suami yang berperan sebagai kepala keluarga. Perubahan kondisi fisik ini tentu menuntut suami untuk dapat menyesuaikan diri akan kondisinya.

Kondisi lingkungan sangat penting dalam penyesuaian diri. Begitu juga pada suami yang mengalami cacat, suami yang mendapat dukungan dari orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan teman-temannya akan mampu menyesuaikan diri dengan baik. Dukungan sosial ternyata mempengaruhi kondisi kesehatan (Brennan & Spencer, 2012).

Ketika suami tidak mampu menghadapi dalam hal ini menyesuaikan diri dengan perubahan fisik dan perubahan lain yang dialaminya, suami bisa mengalami kemarahan, kecemasan bahkan depresi. Sehingga penting bagi suami untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisinya yang sekarang. Penyesuaian diri terhadap kondisi stres yang dihadapi akan berkaitan dengan strategi coping

yang digunakan. Optimisme berkaitan positif dengan dengan penggunaan strategi

coping yang lebih adaptif (Carr, 2004). Coping pada individu yang optimis berbeda dengan individu yang pesimis (Carver & Scheier, 2002). Optimisme diharapkan dapat menjadi pelindung individu ketika menghadapi kondisi stres ini.


(33)

Jadi suami cacat yang optimis akan lebih mampu untuk beradaptasi dengan kondisi baru yang dihadapinya dibandingkan dengan suami yang pesimis. Optimisme diharapkan dapat membantu suami menyesuaikan diri dengan kondisi yang dialaminya dan perubahan-perubahan lain yang terjadi akibat cacat yang dialaminya tersebut.


(34)

D. PARADIGMA

Pernikahan

Suami Istri

Kepala Keluarga

Cacat

Stres

Adaptasi danCoping Optimis??


(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

Berdasarkan yang telah dijabarkan di bab pertama, jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif. Penelitian deskriptif menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk difahami dan disimpulkan (Azwar, 2014). Penelitian kuantitatif ini bertujuan untuk menggambarkan optimis pada suami yang mengalami cacat. Berikut disajikan identifikasi masalah, definisi operasional penelitian, populasi, sampel, dan metode pengambilan sampel penelitian, dan alat ukur serta metode analisis data.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah optimis.

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

Optimis pada penelitian ini adalah individu yang yang memiliki keyakinan dapat mencapai tujuan walaupun mengalami kesulitan. Alat ukur LOT-R (Life Orientation Test-Revised) dikembangkan oleh Carver dan Scheier untuk mengukur optimisme. Alat ukur ini merupakan hasil revisi dari alat ukur sebelumnya LOT yang terdiri dari 8 aitem yang diukur (4 aitem favourabledan 4 aitemunfavourable) dan 4 aitem filler. LOT-R terdiri dari 10 aitem, 6 aitem yang diukur (3 favorable dan 3 unfavourable) dan 4 aitem filler. Dua aitem LOT dihilangkan karena ternyata berdasarkan hasil penelitian, 2 aitem tersebut bukan


(36)

mengukur optimisme melainkan cara coping. Skala LOT-R ini berbentuk likert dan memiliki 5 pilihan respon dari 0 (sangat tidak setuju) sampai 4 (sangat setuju). Optimisme dapat dilihat berdasarkan total skor skala LOT-R, individu dikatakan optimis ketika total skor semakin mendekati 24 dan dikatakan pesimis ketika total skor semakin mendekati angka 0 (nol).

C. POPULASI , SAMPEL, DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi dan Sampel

Populasi didefenisikan sebagai kelompok subjek yang akan dikenai generalisasi hasil penelitian dan memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan kelompok subjek yang lain. Sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan populasi (Azwar, 2014). Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah suami dengan cacat yang berada di kota Medan.

2. Jumlah dan Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini melibatkan 15 orang suami dengan cacat sebagai sampel penelitian. Diambil dengan teknik pengambilan sampel insidental, yaitu teknik pengambilan sampel berdasarkan pada ketersediaan subjek yang tersedia di lapangan ketika pengambilan data dilakukan (Singh, 2006).


(37)

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah quisionaire, yaitu LOT-R (Life Orientation Test-Revised). LOT-R dikembangkan oleh Carver dan Scheier berdasarkan pandangan mereka tentang optimisme. LOT-R berbentuk Likert (Scheier dkk, 1994 dalam Carver) dan merupakan quisionaire dengan 10 aitem, dengan 5 pilihan respon dari 0 (sangat tidak setuju) sampai 4 (sangat setuju). LOT-R terdiri dari 4 aitem filler dan 6 aitem yang diukur.

Tabel 3.1. Skoring Aitem LOT-R

Nomor Aitem Pilihan Jawaban Nilai Skor

1, 4, 10

Sangat setuju (SS) 4 Setuju (S) 3 Netral (N) 2 Tidak setuju (TS) 1 Sangat tidak setuju (STS) 0 3, 7, 9

Sangat setuju (SS) 0 Setuju (S) 1 Netral (N) 2 Tidak setuju (TS) 3 Sangat tidak setuju (STS) 4

Penelitian ini menggunakan translasi LOT-R yang sudah pernah dipergunakan pada penelitian skripsi yang berjudul Hubungan antara Social Supportdengan Optimisme pada Orang dengan HIV/Aids (ODHA), yang disusun oleh Erni Julianti Simanjuntak untuk memenuhi persyaratan ujian Sarjana Psikologi pada tahun 2011. Simanjuntak mentranslasikan LOT-R untuk HIV/AIDS (ODHA). Simanjuntak menggunakan validitas konten berupa

professional judgement dari penerjemah di Pusat Bahasa di Universitas Sumatera Utara dan dosen pembimbing di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.


(38)

E. UJI COBA ALAT UKUR

Pengujian alat ukur dilakukan dengan menguji validitas dan reliabilitas alat ukur. Pengujian ini diperlukan agar hasil peneliti dapat dipercaya (Azwar, 2014).

1. Validitas Alat Ukur

Uji validitas dilakukan agar dapat mengetahui ketepatan dan kecermatan fungsi alat ukur sesuai dengan tujuan pengukuran yang dikehendaki (Azwar, 2014). Peneliti menggunakan alat ukur yang telah digunakan dalam penelitian skripsi Simanjuntak. Pada penelitian Simanjuntak, telah dilakukan validasi isi dengan professional judgement, baik dari penerjemah dari sebuah lembaga bahasa, yaitu pusat bahasa Universitas Sumatera Utara dan dari dosen pembimbing skripsi tersebut di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Reliabilitas Alat Ukur

Estimasi reliabilitas hasil pengukuran pada penelitian ini menggunakan pendekatan uji konsistensi internal dengan formula alpha Cornbach. Reliabilitas hasil pengukuran yang sempurna ditunjukkan dengan nilai koefisien yang positif dan mendekati angka 1 (Azwar, 2014).

3. Hasil Pengujian Alat Ukur

Pengambilan data penelitian menggunakan LOT-R yang telah ditranslasi dan diuji cobakan dengan melibatkan 10 orang suami cacat. Hasil estimasi


(39)

koefisien reliabilitas LOT-R yang telah ditranslasi adalah 0,675, dengan rentang indeks daya diskriminasi aitem sebesar 0,345 sampai 0,839. Harga indeks diskriminasi minus (-) menunjukkan bahwa aitem yang bersangkutan tidak ada gunanya. Berdasarkan uji reabilitas, LOT-R memiliki reliabilitas yang rendah. Validasi konten pada LOT-R tidak dilakukan kembali pada penelitian ini.

F. PROSEDUR PENELITIAN 1. Persiapan penelitian

Peneliti menggunakan LOT-R yang telah digunakan dalam penelitian skripsi Simanjuntak, yang telah ditranslasi ke dalam bahasa Indonesia. Peneliti juga memasukkan beberapa kondisi demografis pada lembar identitas kuisioner yang akan disebarkan, seperti usia, cacat yang dialami, penyebab cacat, durasi cacat (lamanya subjek mengalami cacat), subjek mengalami cacat sebelum atau sesudah menikah, pekerjaan subjek sebelum cacat dan sekarang, pekerjaan istri subjek sebelum dan sesudah menikah, peran utama kepala keluarga, ekspektasi diawal mengalami cacat dan sekarang, dan pengobatan yang diikuti. Peneliti mempersiapkan skala dalam bentuk booklet.

2. Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data dilakukakan dengan melakukan analisis dengan melibatkan 15 orang suami cacat yang berbeda dengan suami cacat yang dilibatkan dalam pengujian alat ukur. Pengambilan data dilakukan dengan membacakan secara langsung aitem-aitem yang ada di dalam kuesioner, peneliti


(40)

memilih membacakan langsung setiap aitem supaya subjek bisa tidak mengalami kesulitan dalam menjawab skala.

3. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan setelah peneliti selesai melakukan pengambilan data. Dalam proses ini, peneliti dibantu dengan perangkat lunak SPSS for Windows ver. 22.0.

G. METODE ANALISIS DATA

Analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif dimana hasil pengolahan data bertujuan mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data sampel atau populasi (Wiratna, 2014). Statistik deskriptif hanya dapat digunakan untuk peneltian dengan satu variabel saja. Statistik deskriptif menghasilkan tabel, grafik atau diagram.

Kategorisasi tingkat optimisme dilakukan terhadap skor optimisme subjek berdasarkan pertimbangan eror standar dalam pengukuran karena hasil pengujian menunjukkan data tidak terdistribusi secara normal dan reliabilitas yang rendah. Semakin besar eror standar dalam pengukuran berarti hasil pengukuran semakin tidak dapat dipercaya.

Keterangan:

= Eror standar dalam pengukuran


(41)

= Koefisien reliabilitas

Besarnya ini akan memperlihatkan kisaran estimasi skor sebenarnya

pada taraf kepercayaan tertentu. Dengan kata lain, mengetahui besarnya akan

memberikan gambaran kecermatan fungsi ukur skala, estimasi fluktuasi skor adalah (Azwar, 2014):


(42)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

A. ANALISA DATA

Bab ini akan menguraikan analisis data dan pembahasan, mulai dari gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan pembahasan.

1. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Penelitian ini melibatkan 15 suami yang cacat yang tinggal di kota Medan. Tabel 4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian

berdasarkan Faktor Sosiodemografis

Faktor Sosiodemografis Frekuensi Persentase (%)

1. Usia:

a. Dewasa awal (17-40 tahun) 4 26,67 b. Dewasa madya (41-64 tahun) 11 73,33 2. Cacat yang Dialami:

a. Fisik 13 86,67 b. Penglihatan 2 13,33 3. Penyebab cacat:

a. Penyakit 9 60 b. Kecelakaan 6 40 4. Durasi Cacat:

a. 4-32 bulan 7 46,67 b. 33-61 bulan 1 6,67 c. 62-90 bulan 2 13,33 d. 91-119 bulan 1 6,67 e. 120-148 bulan 4 26,67 5. Subjek Mengalami Cacat:

a. Sebelum Menikah 2 13,33 b. Sesudah Menikah 13 86,67 6. Subjek Sebelum Cacat:

a. Bekerja 15 100 b. Tidak Bekerja 0 0 7. Subjek sesudah Cacat:

a. Bekerja 6 40 b. Tidak Bekerja 9 60 8. Istri Subjek Sebelum Cacat:

a. Bekerja 9 60 b. Tidak Bekerja 6 40 9. Istri Subjek Sesudah Cacat:


(43)

a. Bekerja 11 73,33 b. Tidak Bekerja 4 26,67 10. Peran Kepala Keluarga:

a. Menafkahi Keluarga 12 80 b. Membahagiakan Keluarga 1 6,67 c. Melindungi Keluarga 1 6,67 d. Mendidik Anak 1 6,67 11. Ekspektasi Diawal Mengalami Cacat:

a. Cepat Sembuh 10 66,67 b. Masih bisa bekerja 4 26,67 c. Tidak ada 1 6,67 12. Ekspektasi Sekarang:

a. Cepat Sembuh 10 66,67 b. Bisa kembali normal 3 20 c. Ada mukjizat yang bisa Menyembuhkan 1 6,67 d. Tidak berharap apa-apa 1 6,67 13. Pengobatan yang Diikuti:

a. Medis 1 6,67 b. Non Medis 6 40 c. Medis dan Non Medis 7 46,67 d. Tidak ada 1 6,67

Pada tabel 4.1. dapat dilihat subjek yang terlibat dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan dua kelompok usia, yaitu dewasa awal yang berada di rentang usia 17 sampai 40 tahun dan dewasa madya usia 41-64 tahun. Subjek yang berada pada kelompok usia dewasa awal ada sebanyak 4 orang atau 26.67% sedangkan subjek pada kelompok dewasa madya ada 11 orang (73,33%).

Berdasarkan pengelompokkan yang dilakukan Hawlet, cacat secara umum dibagi menjadi 4 yaitu fisik, penglihatan, pendengaran dan mental. Berdasarkan tabel diatas, sampel dalam penelitian ini paling banyak mengalami cacat fisik yaitu sebanyak 13 orang (86,67%). Sisanya 2 orang (13,33%) mengalami cacat penglihatan. Sedangkan untuk untuk dua kategori yang lain yaitu cacat pendengaran dan cacat mental tidak ada subjek yang mengalami cacat tersebut dalam penelitian ini.


(44)

Menurut Soeharso ada 4 penyebab cacat yaitu sejak lahir, penyakit, infeksi dan kecelakaan. Subjek dalam penelitian ini lebih banyak mengalami keterbatasan fisik karena penyakit 60% (9 orang) dibandingkan dengan yang cacat karena kecelakaan 40% (6 orang) namun subjek yang cacat sejak lahir dan cacat karena infeksi tidak ada yang menjadi sampel dalam penelitian ini.

Subjek dalam penelitian ini paling banyak mengalami cacat antara 4 sampai 32 bulan yaitu sebanyak 7 orang (46,67%). Empat orang subjek (26,67%) mengalami cacat yang paling lama antara 120 sampai 148 bulan. Dua orang subjek mengalami cacat sejak 62 sampai 90 bulan dan masing-masing seorang subjek (6,67%) mengalami cacat sejak 33 sampai 61 bulan dan 91 sampai 119 bulan.

Subjek dalam penelitian ini kebanyakan mengalami cacat sesudah pernikahan yaitu ada 13 orang (86,67%) sedangkan yang mengalami cacat sebelum menikah hanya ada dua orang (13,33%).

Sebelum mengalami cacat, keseluruhan subjek atau 15 orang subjek bekerja (100%) dan tidak ada subjek yang tidak bekerja sebelum mengalami cacat (0%). Sesudah mengalami kondisi cacat, dari 15 orang subjek yang awalnya bekerja tinggal 6 orang (40%) yang masih bekerja. Sesudah cacat dialami, subjek yang tidak bekerja menjadi 9 orang (60%).

Sebelum mengalami cacat, istri subjek yang bekerja ada 9 orang (60%) sedangkan yang tidak bekerja ada 6 orang (40%). Sesudah mengalami cacat istri subjek yang bekerja menjadi lebih banyak yaitu 11 orang (73,33%) sedangkan istri subjek yang tidak bekerja jadi tinggal 4 orang (26.67%).


(45)

Pada tabel 4.1. dapat dilihat bahwa ada beberapa peran kepala keluarga menurut pendapat subjek, dari 15 subjek sebanyak sebanyak 11 orang atau 80% menganggap peran utama kepala keluarga adalah untuk menafkahi keluarga, sedangkan yang 3 orang (20%) menganggap kalau peran utama kepala keluarga bukan menafkahi keluarga. Masing-masing dari 3 orang subjek tersebut menganggap peran utama kepala keluarga adalah untuk membahagiakan keluarga, melindungi keluarga dan mendidik anak (6,67%).

Pada tabel 4.1. dapat dilihat kalau jumlah subjek yang memiliki ekspektasi untuk cepat sembuh di awal mengalami cacat yang paling banyak yaitu 10 orang (66,67%), sedangkan yang berharap masih bisa bekerja 4 orang (26,67%) dan yang satu orang lagi (6,67%) tidak memiliki ekspektasi apapun.

Kebanyakan subjek saat ini memiliki ekspektasi untuk sembuh yaitu sebanyak 10 orang (66,67%). Tiga orang subjek (20%) berharap bisa kembali normal karena kondisinya saat ini sudah lebih baik jika dibandingkan dengan kondisinya diawal mengalami cacat. Satu orang (6,67%) hanya berharap ada keajaiban yang bisa menyembuhkan penyakitnya dan 1 orang subjek (6,67%) tidak memiliki harapan apapun terhadap kondisi fisiknya saat ini.

Selama mengalami cacat, 1 orang subjek (6,67%) tidak pernah mengikuti pengobatan apapun. Satu orang subjek (6,67%) hanya mengikuti pengobatan medis dan 6 orang subjek (40%) hanya mengikuti pengobatan non medis saja. Sebanyak 7 orang subjek (46,67%) mencoba dua pengobatan baik medis maupun non medis untuk mencari kesembuhan.


(46)

2. Gambaran Optimis Suami cacat

a. Kategorisasi Tingkat Optimisme Suami cacat

Kategorisasi tingkat optimisme berdasarkan pertimbangan eror standar dalam pengukuran, kategorisasi ini digunakan apabila jumlah individu dalam kelompok yang ingin didiagnosis tidak terlalu besar (Azwar, 2014). Pertimbangan eror standar dalam pengukuran menggunakan deviasi standar skor empirik dan koefisien reliabilitas, dengan mean =16,9, diperoleh deviasi standar ( )= 2,4. Dengan koefisien reabilitas ( ) = 0,675, maka didapatkan

eror standar dalam pengukuran ( ) = 1,37 . Taraf kepercayaan yang digunakan

sebesar 90%, maka = 0,10. Nilai = 0,05, memiliki nilai z = 1,65.

Dengan mean hipotetik=12 didapat fluktuasi skor 12 ± (z x ) = 12 ± 2,26.

Tabel 4.2. Kategorisasi Optimisme Komponen Rentang Skor Kategori Frekuensi

(n)

Persentase (%)

Optimisme

x<9,74 Pesimis - -9,74≤x≤14,26 Tidak terkategori 2 13,33

x>14,26 Optimis 13 86.67 Total 15 100

Tabel 4.2. menunjukkan subjek dikategorikan ke dalam 3 kelompok berdasarkan total skor LOT-R yang diperoleh. Subjek dikatakan pesimis ketika total skor subjek lebih kecil dari 9,24. Subjek dikatakan tidak terkategori ketika memiliki total skor antara 9,74 sampai 14,26. Subjek dikatakan optimis ketika total skor yang diperolehnya melebihi 14,26.

Subjek didominasi oleh kategori optimis yaitu sebanyak 13 orang atau 86,67%. Dua orang (13,3%) tidak terkategori atau ambivalen dan tidak ada


(47)

yang berada dalam kategori pesimis. Subjek yang berada dalam kategori optimis diidentifikasi sebagai suami cacat yang memiliki keyakinan akan tercapainya tujuannya meskipun mengalami kesulitan, sebaliknya suami cacat yang berada dalam kategori pesimis diidentifikasi sebagai suami cacat yang tidak memilik keyakinan akan tercapainya tujuan ketika menghadapi kesulitan.


(48)

b. Gambaran Optimisme Suami Cacat Berdasarkan Faktor Sosiodemografis

Tabel 4.3. Gambaran Optimisme Suami Cacat Berdasarkan Faktor Sosiodemografis

No Subjek Usia Cacat yang Dialami Penyebab Cacat Durasi Cacat (bulan) Subjek Mengalami Cacat Subjek Sebelum Cacat Subjek Sesudah Cacat Istri Subjek Sebelum Cacat Istri Subjek Sesudah Cacat Peran Kepala Keluarga Ekspektasi Diawal Mengalami Cacat Ekspektasi Sekarang Pengobatan yang Diikuti Total Skor Kategori Optimisme 1 Dewasa

Madya Fisik Penyakit 33-61

Sesudah

Menikah Bekerja

Tidak

Bekerja Bekerja Bekerja

Melindungi

Keluarga Cepat Sembuh

Bisa Kembali Normal

Medis dan

Non Medis 17 Optimis

2 Dewasa

Awal Penglihatan

Penyakit

120-148 Sebelum

Menikah Bekerja Bekerja Bekerja Bekerja

Menafkahi

Keluarga Tidak Ada

Ada Mukiizat yang bisa Menyembuhkan

Medis dan

Non Medis 17 Optimis

3 DewasaMadya Fisik Penyakit 120-148 MenikahSesudah Bekerja BekerjaTidak BekerjaTidak Bekerja MenafkahiKeluarga Cepat Sembuh Cepat Sembuh Non MedisMedis dan 12 TerkategoriTidak

4 Dewasa

Awal Penglihat-an

Penyakit

120-148 Sebelum

Menikah Bekerja Bekerja

Tidak Bekerja

Tidak

Bekerja Mendidik Anak Cepat Sembuh

Tidak Berharap

apa-apa Tidak Ada 15 Optimis 5 Dewasa

Madya Fisik Kecelakaan 120-148

Sesudah

Menikah Bekerja

Tidak

Bekerja Bekerja Bekerja

Menafkahi

Keluarga Cepat Sembuh Cepat Sembuh

Medis dan Non Medis 13

Tidak Terkategori 6 Dewasa

Madya Fisik Kecelakaan 4-32

Sesudah Menikah Bekerja Tidak Bekerja Tidak bekerja Bekerja Membahagiakan Keluarga Masih bisa Bekerja Bisa Kembali

Normal Non Medis 21 Optimis 7 Dewasa

Madya Fisik Keceakaan 4-32

Sesudah

Menikah Bekerja Bekerja Bekerja Bekerja

Manafkahi

Keluarga Cepat Sembuh Cepat Sembuh Medis 16 Optimis 8 Dewasa Madya Fisik Penyakit 91-119 Sesudah Menikah Bekerja Tidak

Bekerja Bekerja Bekerja

Menafkahi

Keluarga Cepat Sembuh Cepat Sembuh

Medis dan

Non Medis 15 Optimis 9 DewasaMadya Fisik Penyakit 62-90 MenikahSesudah Bekerja BekerjaTidak BekerjaTidak BekerjaTidak MenafkahiKeluarga Masih bisaBekerja Cepat Sembuh Non Medis 19 Optimis

10 Dewasa Awal

Fisik

Kecelakaan 4-32 Sesudah

Menikah Bekerja Tidak Bekerja Tidak Bekerja Tidak Bekerja Menafkahi

Keluarga Cepat Sembuh Cepat Sembuh Non Medis 17 Optimis 11 Dewasa

Madya

Fisik

Penyakit 4-32 Sesudah

Menikah Bekerja Bekerja

Tidak Bekerja

Tidak Bekerja

Menafkahi

Keluarga Cepat Sembuh

Bisa Kembali Normal

Medis dan

Non Medis 20 Optimis 12 Dewasa

Madya

Fisik

Penyakit 62-90 Sesudah

Menikah Bekerja Bekerja Bekerja Bekerja

Menafkahi

Keluarga Cepat Sembuh Cepat Sembuh

Medis dan

Non Medis 18 Optimis 13 Dewasa

Madya

Fisik

Penyakit 4-32 Sesudah

Menikah Bekerja Bekerja Bekerja Bekerja

Menafkahi

Keluarga Cepat Sembuh Cepat Sembuh Non Medis 18 Optimis 14 Dewasa

Awal

Fisik

Kecelaka-an 4-32 Sesudah

Menikah Bekerja

Tidak

Bekerja Bekerja Bekerja

Menafkahi Keluarga

Masih bisa

Bekerja Cepat Sembuh Non Medis 19 Optimis 15 Dewasa

Madya

Fisik

Kecelaka-an 4-32 Sesudah

Menikah Bekerja

Tidak

Bekerja Bekerja Bekerja

Menafkahi Keluarga

Masih bisa


(49)

Tabel 4.3. menunjukkan bahwa subjek pertama berada di usia dewasa madya, mengalami cacat fisik, cacat disebabkan karena penyakit, mengalami cacat selama 33 - 61 bulan, cacat sesudah menikah, sebelum cacat bekerja tetapi sesudah cacat tidak lagi bekerja, istri subjek sudah bekerja sebelum subjek cacat dan sekarang masih tetap bekerja, subjek berpendapat kalau peran kepala keluarga adalah untuk melindungi keluarga, diawal mengalami cacat berekspektasi bisa cepat sembuh, sekarang memiliki ekspektasi untuk bisa kembali normal, mengikuti pengobatan medis dan non medis untuk mencari kesembuhan, total skor skala LOT-R 17 dan masuk dalam kategori optimis.

Subjek kedua masuk di usia dewasa awal, mengalami cacat penglihatan, cacat disebabkan karena penyakit, mengalami cacat selama 120-148 bulan, cacat dialami sebelum menikah, subjek bekerja sebelum cacat dan masih tetap bekerja setelah cacat, istri subjek bekerja sebelum dan sesudah subjek mengalami cacat, memandang peran utama kepala keluarga adalah untuk menafkahi keluarga, diawal mengalami cacat memiliki tidak memiliki ekspektasi apapun, sekarang hanya berharap ada mukjizat yang bisa menyembuhkan, mengikuti pengobatan medis dan non medis, memiliki total skor skala LOT-R 17 dan masuk dalam kategori optimis.

Subjek ketiga masuk dalam kelompok usia dewasa madya, mengalami cacat pada fisiknya, cacat disebabkan karena penyakit, telah mengalami cacat fisik antara 120 sampai 148 bulan, mengalami cacat sesudah menikah, subjek awalnya bekerja tetapi sesudah mengalami cacat subjek tidak bekerja lagi, istri subjek sebelum subjek cacat tidak bekerja namun sekarang bekerja, subjek memandang peran utama keluarga adalah menafkahi keluarga, ekspektasi diawal cacat dan


(50)

sekarang sama yaitu cepat sembuh, mengikuti pengobatan medis dan medis untuk mencari kesembuhan, total skor skala LOT-R 12 dan masuk ke dalam kelompok tidak terkategori.

Subjek keempat masuk dalam kelompok usia dewasa awal, mengalami cacat penglihatan yang disebabkan karena penyakit, telah mengalami cacat sebanyak 120 sampai 148 bulan, cacat terjadi sebelum subjek menikah, subjek sebelum dan sesudah cacat tetap bekerja, istri subjek sebelum dan sesudah subjek tetap tidak bekerja, subjek berpendapat kalau peran utama kepala keluarga adalah untuk mendidik anak, diawal mengalami cacat subjek memiliki ekspektasi untuk cepat sembuh namun sekarang subjek tidak berharap apa-apa lagi akan kondisinya, sejak cacat sampai sekarang subjek tidak mengikuti pengobatan apapun, memiliki total skor skala LOTR 15, dan masuk dalam kategori optimis.

Subjek kelima masuk dalam kelompok usia dewasa madya, mengalami cacat fisik yang diakibatkan karena kecelakaan, mengalami cacat antara 120 sampai 148 bulan, subjek mengalami cacat setelah menikah, subjek yang awalnya bekerja jadi tidak bekerja lagi setelah mengalami cacat, istri subjek sebelum dan sesudah subjek mengalami cacat tetap bekerja, menganggap peran utama kepala keluarga adalah untuk menafkahi keluarga, diawal mengalami cacat dan sekarang subjek memiliki ekspektasi untuk cepat sembuh, subjek mengikuti pengobatan medis dan non medis, memiliki total skor skala LOTR 13, dan masuk dalam kelompok tidak terkategori.

Subjek keenam masuk dalam kategori usia dewasa madya, mengalami cacat fisik yang disebabkan karena kecelakaan, cacat dialami subjek sejak 4 sampai 32 bulan, mengalami cacat sesudah menikah, subjek sebelum cacat


(51)

bekerja namun sekarang tidak bekerja lagi, istri subjek yang awalnya tidak bekerja jadi bekerja setelah subjek mengalami cacat, subjek memandang peran utama kepala keluarga adalah untuk membahagiakan keluarganya, diawal mengalami cacat subjek memiliki ekspektasi masih bisa bekerja, ekspektasi subjek sekarang bisa kembali normal, subjek hanya mengikuti pengobatan non medis selama mengalami cacat, memiliki total skor skala LOT-R sebanyak 21 dan masuk dalam kategori optimis.

Subjek ketujuh berada di kelompok usia dewasa madya, mengalami cacat fisik yang disebabkan karena kecelakaan, cacat fisik antara 4 sampai 32 bulan, subjek mengalami cacat fisik setelah menikah, subjek sebelum dan sesudah cacat tetap bekerja, istri subjek bekerja sebelum dan sesudah cacat tetap bekerja, peran utama kepala keluarga menurut subjek adalah untuk menafkahi keluarganya, diawal mengalami cacat dan sekarang subjek memiliki ekspektasi untuk cepat sembuh, subjek hanya mengikuti pengobatan medis, memiliki total skor skala LOT-R 16 dan masuk dalam kategori optimis.

Subjek kedelapan berada di usia dewasa madya, cacat fisik dialami karena sakit,telah dialami selama 91 sampai 119 bulan, cacat terjadi setelah pernikahan, karena cacat subjek yang awalnya bekerja sekarang tidak dapat lagi bekerja, istri subjek sebelum dan sesudah suami cacat tetap bekerja, menganggap peran utama kepala keluarga adalah untuk menafkahi keluarga, ekspektasi subjek diawal cacat dan sekarang sama yaitu cepat sembuh, mengikuti pengobatan medis dan non medis, memiliki total skor skala LOT-R 15 dan masuk dalam kategori optimis.

Subjek kesembilan berada di usia dewasa madya, cacat fisik terjadi karena penyakit, telah terjadi selama 62 sampai 90 bulan, cacat terjadi sesudah menikah,


(52)

subjek yang awalnya bekerja jadi tidak bekerja, istri subjek yang sebelumnya tidak bekerja tetap tidak bekerja, peran utama kepala keluarga adalah menafkahi keluarga, diawal mengalami cacat subjek berharap masih bisa bekerja namun sekarang subjek hanya berharap untuk bisa sembuh, subjek hanya mengikuti pengobatan non medis, total skor skala LOT-R 19, dan masuk dalam kategori optimis.

Subjek kesepuluh berada di usia dewasa awal, cacat dialami pada fisiknya yang disebabkan karena kecelakaan, subjek telah mengalami kondisi ini selama 4 sampai 32 bulan, terjadi sesudah subjek menikah, karena keterbatasannya subjek yang awalnya bekerja jadi tidak bekerja lagi, istri subjek sebelum dan sesudah subjek cacat tidak bekerja, peran utama keluarga menurut subjek adalah untuk menafkahi keluarga, diawal cacat dan sekarang subjek memiliki ekspektasi untuk cepat sembuh, subjek hanya mengikuti pengobatan non medis, total skor skala LOT-R 17 dan masuk dalam kategori optimis.

Subjek kesebelas berada di usia dewasa madya, cacat terjadi pada fisik subjek yang disebabkan karena penyakit, cacat dialami antara 4 sampai 32 bulan, terjadi setelah menikah, subjek sebelum dan sesudah cacat fisik tetap bekerja, istri subjek sebelum dan sesudah subjek cacat tetap tidak bekerja, peran utama kepala keluarga adalah untuk menafkahi keluarga, subjek diawal cacat mengalami keinginan untuk cepat sembuh dan sekarang ingin bisa kembali normal, subjek mengikuti dua jenis pengobatan baik medis maupun non medis, total skor skala LOT-R 20, dan masuk dalam kategori optimis.

Subjek keduabelas berada di usia dewasa madya, mengalami cacat fisik yang disebabkan karena penyakit, telah mengalami cacat antara 62 sampai 90


(53)

bulan, cacat setelah menikah, sebelum dan sesudah cacat subjek tetap bekerja, sebelum dan sesudah cacat istri subjek tetap bekerja, peran utama kepala keluarga menurut subjek adalah untuk menafkahi keluarga, diawal mengalami cacat dan sekarang subjek berharap untuk cepat sembuh, mengikuti pengobatan medis dan non medis, total skor skala LOT-R 18, dan masuk dalam kategori optimis.

Subjek ketigabelas masuk dalam kelompok usia dewasa madya, mengalami cacat fisik yang disebabkan karena penyaki, cacat telah terjadi selama 4 sampai 32 bulan, cacat terjadi sesudah menikah, baik sebelum maupun sesudah cacat subjek tetap bekerja, sebelum dan sesudah cacat istri subjek tetap bekerja, peran utama kepala keluarga menurut subjek adalah untuk menafkahi keluarga, subjek berharap untuk cepat sembuh sekarang dan diawal mengalami cacat, hanya mengikuti pengobatan non medis, total skor skala LOT-R 18 dan masuk dalam kategori optimis.

Subjek keempat belas masuk dalam kategori usia dewasa awal, mengalami cacat fisik yang disebabkan karena kecelakaan, telah terjadi selama 4 sampai 32 bulan, cacat terjadi sesudah pernikahan, subjek yang awalnya bekerja jadi tidak bekerja, istri subjek sebelum dan sesudah subjek cacat tetap bekerja, peran utama kepala keluarga untuk menafkahi keluarga, ekspektasi subjek diawal cacat adalah dapat kembali bekerja namun sekarang subjek hanya berharap untuk bisa sembuh, hanya mengikuti pengobatan non medis, total skor skala LOT-R 19 dan masuk kategori optimis.

Subjek kelimabelas berada di usia dewasa madya, mengalami cacat fisik akibat kecelakaan, cacat telah dialami selama 4 sampai 32 bulan, mengalami cacat sesudah menikah, sebelum cacat subjek bekerja namun sekarang tidak lagi, istri


(54)

subjek sebelum dan sesudah subjek cacat tetap bekerja, peran kepala keluarga menurut subjek adalah untuk menafkahi keluarga, diawal cacat subjek ingin bisa kembali bekerja namun sekarang subjek berharap cepat sembuh, hanya mengikuti pengobatan non medis, total skor skala LOT-R 17 dan masuk dalam kategori optimis.

B. PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar suami tergolong optimis yaitu 86,67% (13 orang), 13,33% tidak terkategori (2 orang) dan tidak ada subjek yang pesimis. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas suami yang cacat dalam penelitian ini memiliki keyakinan dapat mencapai tujuan walaupun mengalami kesulitan. Sehingga meskipun mengalami cacat, mereka yakin bisa menghadapi kondisinya tersebut. Mereka juga diasumsikan memiliki tingkat penggunaan

copingyang lebih adaptif (Carr, 2004) dibanding dengan yang tidak terkategori. Berdasarkan pengelompokannya subjek yang berada pada usia dewasa awal (4 orang) semuanya optimis sedangkan subjek pada usia dewasa madya (11 orang), 9 orang optimis dan 2 orang tidak terkategori. Hal ini menunjukkan kalau usia subjek ternyata tidak mempengaruhi optimisme subjek.

Dari 15 orang subjek yang terlibat dalam penelitian, 2 subjek mengalami cacat penglihatan dan 13 subjek mengalami cacat fisik. Kedua orang subjek yang cacat penglihatan masuk dalam kategori optimis. Sedangkan 13 subjek yang cacat fisik, tidak semuanya optimis, hanya 11 orang yang masuk kategori optimis dan sisanya 2 orang masuk dalam kelompok tidak terkategori. Cacat penglihatan dan fisik menyebabkan subjek harus menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang


(55)

dihadapinya tersebut. Subjek yang cacat penglihatan dan fisik yang masuk dalam kategori optimis dianggap telah dapat menyesuaikan diri dengan kondisinya, sedangkan subjek masuk dalam kelompok tidak terkategori dapat disebabkan karena subjek masih belum dapat menerima kondisinya yang dahulu normal sekarang harus bergantung pada orang lain dalam hal ini kepada istri.

Subjek yang cacat karena penyakit ada 9 orang sedangkan yang cacat karena kecelakaan ada 6 orang. Dari 9 orang yang cacat karena penyakit 8 orang masuk dalam kategori optimis sedangkan 1 orang lainnya tidak terkategori. Dari 6 orang yang cacat karena kecelakaan, 5 orang optimis dan 1 orang tidak terkategori. Optimis atau tidaknya subjek ternyata tidak dipengaruhi oleh penyebab cacat.

Dari 15 orang subjek, 7 orang mengalami cacat antara 4 sampai 32 bulan, 1 orang mengalami cacat antara 33 sampai 61 bulan, 2 orang mengalami cacat antara 62 sampai 90 bulan, 1 orang subjek mengalami cacat selama 91 sampai 119 bulan dan 4 orang mengalami cacat 120 sampai 148 bulan. Total subjek yang mengalami cacat selama 4 sampai 119 bulan ada 11 orang dan mereka semua tergolong dalam kategori optimis. Empat orang lainnya mengalami cacat antara 120 sampai 148 bulan, dua orang masuk kategori optimis dan dua orang masuk dalam kelompok tidak terkategori. Lamanya subjek mengalami cacat fisik ternyata tidak menjadi patokan individu akan optimis atau tidak. Mereka yang telah lama cacat pun ketika tidak memiliki keyakinan dapat menjalankan hidupnya dengan baik dengan keterbatasannya ternyata masih masuk dalam kelompok tidak terkategori. Sedangkan individu yang baru menghadapi kondisi


(56)

cacat tetapi mampu menyesuaikan diri terhadap keterbatasan yang dimiliki malah lebih optimis.

Subjek yang mengalami cacat sebelum menikah ada 2 orang sedangkan subjek yang mengalami cacat sesudah menikah ada 13 orang. Dua orang subjek yang cacat sebelum menikah, keduanya optimis. Dari 13 subjek yang mengalami cacat sesudah menikah, 11 orang optimis dan 2 orang tidak terkategori. Subjek yang mengalami cacat sebelum menikah optimis karena menganggap pasangan sudah tahu kekurangan yang subjek miliki sebelum memutuskan untuk menikah (dapat menerima kekurangan) sedangkan pada subjek yang mengalami cacat sesudah menikah, kondisi subjek yang berbeda dari sebelumnya, belum tentu dapat diterima oleh pasangan.

Hanya 6 orang subjek yang masih bekerja setelah mengalami cacat sedangkan 9 subjek lainnya jadi tidak bekerja setelah mengalami cacat. Keenam subjek yang tetap bekerja masuk dalam kategori optimis. Sembilan subjek yang tidak bekerja, 7 orang optimis sedangkan 2 orang lainnya tidak terkategori. Individu yang mengalami cacat akan mengalami kesulitan untuk bekerja sehingga cacat sering menjadi faktor yang menyebabkan individu di keluarkan dari pekerjaannya. Enam orang subjek yang masih bekerja setelah cacat ternyata sejak awal telah menjalankan usahanya sendiri bukan bekerja dengan orang lain sehingga kondisi cacat tidak menyebabkan subjek kehilangan pekerjaannya. Sedangkan 9 orang subjek tidak bekerja lagi karena diberhentikan dari pekerjaannya setelah mengalami cacat.

Para istri subjek penelitian yang awalnya hanya 9 orang yang bekerja, setelah subjek cacat jadi 11 orang yang bekerja. Sebelas orang subjek yang


(57)

memiliki istri bekerja ini, 9 orang optimis dan 2 orang tidak terkategori. Sedangkan 4 orang subjek yang memiliki istri tidak bekerja masuk dalam kategori optimis. Jika dilihat dari gambaran dua subjek tidak terkategori ini, peran gender yang dituntut pada laki-laki atau suami bisa menjadi penyebab subjek tidak masuk dalam kategori optimis. Menurut Weiten, laki-laki selalu dikaitan dengan

achievement yang lebih tinggi, termasuk dalam hal pekerjaan, dua subjek yang tidak bekerja lagi memiliki posisi yang lebih rendah dalam hal pekerjaan bila dibandingkan dengan istri. Meskipun hal ini belum dapat dipastikan kalau hal ini lah yang menyebabkan subjek ambivalen.

Dua belas subjek berpendapat kalau peran kepala keluarga adalah menafkahi keluarga sedangkan 3 orang subjek lainnya berpendapat kalau peran utama kepala keluarga adalah untuk membahagiakan keluarga, melindungi keluarga dan mendidik anak. Pada 12 subjek yang menandang peran utama kepala keluarga adalah untuk menafkahi keluarga, 2 diantaranya masuk dalam kelompok tidak terkategori dan 10 orang subjek masuk dalam kategori optimis sedangkan 3 subjek yang memandang kalau peran utama suami bukan hanya sebagai pencari nafkah, ketiganya masuk dalam kategori optimis. Dua orang yang tidak terkategori ini memiliki pandangan kalau peran suami mencari nafkah tetapi mereka sendiri tidak dapat menjalankan peran tersebut.

Lima belas subjek yang awalnya mengalami cacat, 10 orang ingin cepat sembuh, 4 orang masih ingin dapat bekerja dan 1 orang tidak memiliki harapan apapun. Namun sekarang 10 subjek berharap cepat sembuh, 3 orang berharap bisa normal, 1 orang hanya berharap ada mukjizat yang dapat menyembuhkan dan 1 orang tidak berharap apa-apa. Ternyata setelah mengalami cacat selama durasi


(58)

tertentu, subjek masih memiliki harapan untuk cepat sembuh dan bisa kembali normal.

Pengobatan yang diikuti subjek beragam, ada yang hanya mengikuti pengobatan medis (1 orang), non medis (6 orang), medis dan non medis (7 orang) dan ada yang tidak mengikuti pengobatan apapun sejak cacat (1 orang). Subjek yang mengikuti pengobatan medis, non medis dan tidak mengikuti pengobatan apapun ternyata masuk dalam kategori optimis. sedangkan dari 7 orang yang mengikuti dua pengobatan, 5 orang masuk dalam kategori optimis tetapi 2 orang malah tergolong tidak terkategori. Dua subjek ini mungkin masih berharap untuk sembuh dan belum dapat menerima kondisinya sehingga mereka mencoba pengobatan baik medis dan non medis untuk mencari kesembuhan namun ternyata dari pengobatan yang diikuti juga tidak memberikan kesembuhan.

Dalam penelitian ini terdapat dua subjek yang berada pada kelompok tidak terkategori. subjek pertama ini tidak selalu optimis dengan masa depannya dan jarang berharap sesuatu terjadi sesuai dengan keinginannya. Tetapi subjek ketika berada dalam kondisi yang penuh ketidakpastian biasanya berharap yang terbaik yang akan terjadi dan berharap hal baik yang akan lebih sering terjadi pada dirinya daripada hal buruk.

Berbeda dengan subjek pertama, subjek kedua ketika berada dalam kondisi yang penuh ketidakpastian biasanya berharap yang terbaik yang akan terjadi, selalu optimis dengan masa depannya, dan jika subjek merasa akan muncul masalah biasanya hal tersebut benar-benar akan terjadi.

Penelitian ini juga menemukan bahwa subjek cacat ternyata memiliki keyakinan bahwa akan lebih banyak hal yang baik yang terjadi pada dirinya


(59)

meskipun memiliki kondisi cacat. Hal ini merupakan temuan yang menarik melihat pada umumnya masyarakat selalu berpendapat kalau kecacatan akan membuat individu memiliki hambatan bukan hanya dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari tetapi juga bila dikaitkan dengan perannya di lingkungan keluarga sebagai laki-laki atau suami. Penelitian tentang optimisme pada suami cacat ini dapat diteliti lebih mendalam melalui penelitian kualitatif.


(60)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari responden yang mengikuti penelitian ditemukan bahwa lebih banyak suami cacat yang optimis dibandingkan dengan tidak terkategori. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun memiliki kecacatan mereka tetap bisa memiliki keyakinan untuk menghadapi kondisi tersebut. Faktor usia, jenis cacat yang dialami, penyebab cacat, durasi cacat, cacat sebelum/sesudah menikah, bekerja/tidaknya suami, bekerja/tidaknya istri, pandangan akan peran kepala keluarga, ekspektasi akan kondisi dan pengobatan yang diikuti ternyata tidak terlalu terkait dengan optimisme.

B. SARAN

1. Saran Metodologis

Peneliti ataupun pihak-pihak yang tertarik untuk meneliti fenomena optimisme pada suami cacat sebaiknya menggunakan metode kualitatif untuk dapat melihat bagaimana dinamika optimisme pada suami cacat, melihat ternyata dari penelitian ini meskipun banyak faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi optimisme, namun tidak terlihat bagaimana sebenarnya dinamika yang menyebabkan suami cacat bisa optimis.

Peneliti selanjutnya yang tertarik untuk menggunakan alat ukur LOT-R seperti yang digunakan dalam penelitian ini sebaiknya menggunakan jumlah


(61)

sampel yang lebih besar dan data sosiodemografis yang lebih banyak sehingga data yang diperoleh lebih lengkap dan meningkatkan reabilitas dari alat ukur.

Aitem atau butir soal sebaiknya diperbanyak dan disesuaikan dengan budaya atau adat Indonesia. Aitem-aitem tersebut juga dapat dimodifikasi dan dikaitkan langsung dengan objek penelitian sehingga hasil yang diperoleh bukan hanya gambaran optimisme secara umum.

2. Saran Praktis

Melihat pentingnya optimisme pada suami cacat, diharapkan adanya peran serta dari keluarga dan orang-orang terdekat untuk membantu proses adaptasi pada mereka yang mengalami kondisi ini. Keluarga juga diharapkan tidak putus asa untuk mencoba berbagai pengobatan yang mungkin dapat memberikan kesembuhan pada mereka yang mengalami kondisi cacat.

Melihat banyaknya tantangan yang akan dihadapi oleh mereka yang mengalami cacat diharapkan pada psikolog yang memiliki klien dengan kondisi ini dapat memberikan konseling untuk mengkonstruksi ulang tujuan yang akan dicapainya dengan keterbatasan yang dimiliki, dengan begitu individu akan lebih bisa menerima kondisinya yang baru.


(62)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saifuddin. (2014).Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, Saifuddin. (2014). Penyusunan Skala Psikologi (Edisi II). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, Saifuddin (2014). Reliabilitas dan Validitas (Edisi IV). Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Brennan, D. S., & Spencer, A. J. (2012).Social Support and Optimism in Relation to the Oral Health of Young Healths, 56-64.

Carr, A. (2004). Positive Psychology: The Science of Happiness and Human Strengths. New York: Brunner-Routledge.

Carver, C. S., & Scheier, M. F. (2001). Optimism, Pessimism, and Self-Regulation. In E. C. Chang, Optimism & pessimism: Implications for theory, research, and practice (pp. 31-51). Washington, DC: American Psychological Association.

Carver, C. S., & Scheier, M. F. (2002). Optimism. In C. Synder, & S. J. Lopez,

Handbook of Positive Psychology (pp. 231-243). New York: Oxford University Press.

Carver, C. S., & Scheier, M. F. (2004). Optimism. In C. Snyder, & S. J. Lopez,

Positive Psychology Assessment: A Handbook of Model and Measures

(pp.75-89). Washington, DC: American Psychological Association.

Chusniatun. (2011). Keberterimaan Tafsiran Al-Quran Surat 4: 34 oleh Komunitas Muslim di Surakarta.

DeGenova, M. K. (2008). Intimate Relationship, Marriages, and Families (7th edition). New York: McGraw-Hill.

Hewlett, S. A. (2001).Socio-Emotional Problem of Students with Handicap.

Julianty, Erni. (2011). Hubungan antara Social Support dengan Optimisme pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tanggal akses 5 Juni 2013.

Kasmayati (2013).Optimisme Remaja Penyandang Cacat Akibat Kecelakaan. Karlsson, H., et al. (2011). Low Level of Optimism Predicts Initiation of

Psychotheraphy for Depression: Results from the Finnish Public Sector Study, 238-244.

Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984).Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company.


(63)

Papalia, D. P., Olds, S.W., & Feldman, R. D. (2007). Human Development (10th Edition). New York: McGraw Hill.

Peristiwa Perjuangan Guru SD dengan Suami Stres Besarkan Dua Anak. Merdeka. FTP Tersedia http://www.merdeka.com/peristiwa/perjuangan-guru-sd-dengan-suami-stres-besarkan-dua anak.html. Tanggal akses 20 Juli 2013.

Sarafino, E. P., & Smith, T. W. (2011). Health Psychology. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Singh, Y.K. (2006). Fundamental of Research Methodology and Statistics. New Delhi: New Age International (P) Limited Publishers

Sujarweni, V.W. (2014).SPSS untuk Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Baru Press. Suparni, Sri. (2009).Kemampuan Berafiliasi pada Remaja Tuna Rungu.

Supriyantini, Sri. (2002). Hubungan antara Pandangan Peran Gender dengan Keterlibatan Suami dalam Kegiatan Rumah Tangga. Medan:USU Digital Library.

The Role of The Man in The Family. FTP tersedia

http://www.drphil.com/articles/article/347. Tanggal akses 30 Oktober 2014.

Weiten, W. (2012). Psychology Applied to Modern Life: Adjustment in the 21st Century(10th edition). USA: Wadsworth, Cengage Learning.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Tanggal akses 16 Juli 2013.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.Tanggal akses 16 Juli 2013.

Widyarini, M. (2009). Membangun Hubungan antar Manusia. Tanggal akses 5 Mei 2013.


(1)

55

Berilah tanda ceklist (V) pada salah satu pilihan jawaban yang telah tersedia

dibawah penyataan.

1. Dimasa yang penuh ketidakpastian, saya biasanya berharap yang

terbaiklah yang akan terjadi.

Sangat setuju

Setuju

Netral

Tidak setuju

Sangat tidak setuju

2. Mudah bagi saya untuk merasa rileks.

Sangat setuju

Setuju

Netral

Tidak setuju

Sangat tidak setuju

3. Jika saya merasa akan muncul suatu masalah, biasanya hal tersebut

benar-benar akan terjadi.

Sangat setuju

Setuju

Netral

Tidak setuju

Sangat tidak setuju

4. Saya selalu optimis dengan masa depan saya.

Sangat setuju

Setuju

Netral

Tidak setuju

Sangat tidak setuju

5. Saya suka dengan teman-teman saya.

Sangat setuju

Setuju

Netral

Tidak setuju

Sangat tidak setuju

6. Penting sekali bagi saya untuk memiliki kesibukan.

Sangat setuju

Setuju

Netral

Tidak setuju

Sangat tidak setuju

7. Saya jarang sekali berharap sesuatu terjadi sesuai dengan keinginan saya.

Sangat setuju

Setuju

Netral

Tidak setuju

Sangat tidak setuju

8. Saya tidak mudah merasa kesal.

Sangat setuju

Setuju

Netral

Tidak setuju

Sangat tidak setuju

9. Saya sangat jarang menyadari hal-hal baik yang terjadi pada diri saya.

Sangat setuju

Setuju

Netral

Tidak setuju

Sangat tidak setuju


(2)

56

10. Secara keseluruhan, saya berharap hal-hal baik akan lebih sering terjadi

pada diri saya daripada hal-hal yang buruk.

Sangat setuju

Setuju

Netral

Tidak setuju

Sangat tidak setuju

PERIKSA KEMBALI JAWABAN ANDA

PASTIKAN TIDAK ADA JAWABAN YANG TERLEWAT

Terima Kasih


(3)

0

LAMPIRAN 2

HASIL UJI REABILITAS


(4)

57

REABILITAS SKALA LOT-R

Case Processing Summary

N

%

Cases

Valid

10

100,0

Excluded

a

0

,0

Total

10

100,0

a. Listwise deletion based on all

variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha

N of Items

,675

6

Item-Total Statistics

Scale

Mean if

Item

Deleted

Scale

Variance if

Item Deleted

Corrected

Item-Total

Correlation

Cronbach's

Alpha if Item

Deleted

AITEM01

14,50

6,500

,345

,667

AITEM03

15,30

4,011

,748

,485

AITEM04

14,30

7,344

-,161

,756

AITEM07

14,90

3,656

,587

,562

AITEM09

14,70

6,900

,094

,700

AITEM10

14,30

3,344

,839

,415


(5)

0

LAMPIRAN 3

KATEGORISASI

SUBJEK PENELITIAN


(6)

58

KATEGORI SUBJEK PENELITIAN

No Subjek Usia (tahun) Cacat yang Dialami Penyebab Cacat Durasi Cacat (bulan) Subjek Mengalami Cacat Pekerjaan Subjek Sebelum Cacat Subjek Sesudah Cacat Istri Subjek Sebelum Cacat Istri Subjek Sesudah Cacat Peran Kepala Keluarga Ekspektasi Diawal Mengalami Cacat Ekspektasi Sekarang Pengobatan yang Diikuti Total Skor Kategori Optimisme

1 51 Fisik Penyakit 60 Sesudah

Menikah Montir

Tidak

Bekerja Guru Guru

Melindungi Keluarga Cepat Sembuh Bisa Kembali Normal Medis dan

Non Medis 17 Optimis

2 25 Penglihatan Penyakit 120 Sebelum

Menikah Tukang Pijat Tukang Pijat Tukang Pijat Tukang Pijat

Menafkahi

Keluarga Tidak Ada

Ada Mukiizat yang bisa Menyembuhkan

Medis dan

Non Medis 17 Optimis

3 62 Fisik Penyakit 120 MenikahSesudah Pelaut BekerjaTidak BekerjaTidak Pedagang MenafkahiKeluarga SembuhCepat Cepat Sembuh Non MedisMedis dan 12 TerkategoriTidak

4 30 Penglihatan Penyakit 144 Sebelum

Menikah Tukang Pijat Tukang Pijat

Tidak Bekerja

Tidak

Bekerja Mendidik Anak

Cepat Sembuh

Tidak Berharap

apa-apa Tidak Ada 15 Optimis

5 48 Fisik Kecelakaan 120 Sesudah

Menikah Supir

Tidak

Bekerja Guru Guru

Menafkahi Keluarga

Cepat

Sembuh Cepat Sembuh

Medis dan

Non Medis 13

Tidak Terkategori

6 51 Fisik Kecelakaan 4 MenikahSesudah BangunanBuruh BekerjaTidak bekerjaTidak Tukang Cuci MembahagiakanKeluarga Masih bisaBekerja Bisa KembaliNormal Non Medis 21 Optimis

7 53 Fisik Kecelakaan 12 Sesudah

Menikah Pedagang Pedagang Pedagang Pedagang

Manafkahi Keluarga

Cepat

Sembuh Cepat Sembuh Medis 16 Optimis

8 55 Fisik Penyakit 96 Sesudah

Menikah Pedagang

Tidak

Bekerja Pedagang Pedagang

Menafkahi Keluarga

Cepat

Sembuh Cepat Sembuh

Medis dan

Non Medis 15 Optimis

9 53 Fisik Penyakit 84 Sesudah

Menikah Karyawan Toko Tidak Bekerja Tidak Bekerja Tidak Bekerja Menafkahi Keluarga Masih bisa

Bekerja Cepat Sembuh Non Medis 19 Optimis

10 30 Fisik Kecelakaan 4 Sesudah

Menikah Tukang las

Tidak Bekerja Tidak Bekerja Tidak Bekerja Menafkahi Keluarga Cepat

Sembuh Cepat Sembuh Non Medis 17 Optimis

11 53 Fisik Penyakit 24 Sesudah

Menikah Wiraswasta Wiraswasta

Tidak Bekerja Tidak Bekerja Menafkahi Keluarga Cepat Sembuh Bisa Kembali Normal Medis dan

Non Medis 20 Optimis

12 60 Fisik Penyakit 84 Sesudah

Menikah Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta Wiraswasta

Menafkahi Keluarga

Cepat

Sembuh Cepat Sembuh

Medis dan

Non Medis 18 Optimis

13 56 Fisik Penyakit 24 Sesudah

Menikah Tukang Pijat Tukang Pijat Penjahit Penjahit

Menafkahi Keluarga

Cepat

Sembuh Cepat Sembuh Non Medis 18 Optimis

14 34 Fisik Kecelakaan 6 Sesudah

Menikah Petani

Tidak

Bekerja Petani Petani

Menafkahi Keluarga

Masih bisa

Bekerja Cepat Sembuh Non Medis 19 Optimis

15 60 Fisik Kecelakaan 5 Sesudah

Menikah

Buruh Bangunan

Tidak

Bekerja Pedagang Pedagang

Menafkahi Keluarga

Masih bisa

Bekerja Cepat Sembuh Non Medis 17 Optimis