digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
Mutsbit  Lima  Sya’a  Minhu”.  Dialah  Allah  yang  berhak  menghapus  atau menetapkan apa yang ia inginkan dari al-Qur
’an.
36
Dari  landasan  teori  yang  dikembangkan  Syafi’i  di  berbagai  tempat dalam kitabnya ar-Risalah, para ulama kemudian merumuskan nasakh hadis dan
sumber  pengetahuan  tentang  nasakh  itu  sendiri.  Menurut  Ibnu  Jama’ah  hadis mahmud  nasikh  adalah  semua  hadis  yang  menunjukkan  penghapusan  hukum
agama  terdahulu,  sedangkan  mansukh  adalah  semua  hadis  yang  menghapus hukumnya dengan dalil agama yang datang kemudian.
Adanya nasakh dapat diketahui dengan berbagai cara, diantaranya:
37
 Adanya  penegasan  dari  Rasulullah  sendiri,  seperti  nasakh  larangan  ziarah
kubur bagi kaum wanita. 
Adanya keterangan  yang berdasarkan pengalaman, seperti  keterangan bahwa terakhir  kali  Rasulullah  tidak  berwudhu  ketika  hendak  salat,  setelah
mengkonsumsi makanan yang dimasak dengan api. 
Berdasarkan fakta sejarah, seperti diketahui hadis yang menjelaskan batalnya puasa  karena  berbekam,  lebih  awal  datang  daripada  hadis  yang  mengatakan
bahwa Rasulullah sendiri berbekam dalam keadaan puasa. Menurut penjelasan Syafi’i, hadis pertama disabdakan Rasulullah tahun 8 H, sedangkan pada hadis
yang kedua dipraktikkan Rasulullah pada tahun 10 H. 
Berdasarkan ijma’, seperti nasakh hukuman mati bagi orang  yang meminum arak  sebanyak  empat  kali.  Nasakh  ini  diketahui  secara
ijma’  oleh  seluruh sahabat bahwa hukuman seperti itu sudah mansukh. Ini tidak bermakna
36
Syaf i’i, ar-Risalah Beirut: Dar al-Fikr, 1998, 109.
37
Syafi’i, Musnad asy-Syafi’i Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1998, 163.
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
mansukh dengan ijma’, tapi berdasarkan ijma’ terhadap fakta bahwa hukuman
itu pada masa akhir tidak diterapkan lagi oleh Rasulullah. iii.
Metode Tarjih Dalam  pengertian  sederhana  tarjih  adalah  suatu  upaya  komparatif  untuk
menemukan  sanad  yang  lebih  kuat  pada  hadis-hadis  ikhtilaf.  Tarjih  sebagai salah  satu  langkah  penyelesaian  hadis-hadis
mukhtalif    opsional.  Yakni  dapat dilakukan  kapan  saja  apabila  terdapat  hadis  yang
mukhtalif.  Penerapan  tarjih tanpa  didahului  oleh  pendekatan
taufiq  dapat  mengandung  konsekuensi  yang besar.  Karena  dengan  memilih  atau  menguatkan  hadis  tertentu  akan
mengakibatkan ada atau bahkan banyak hadis lain yang terabaikan.
38
Atas dasar inilah, sepertinya tidak ditemukan seorang ulama’ pun yang mengatakan boleh
melakukan  tarjih  pada  hadis mukhtalif  sebelum  terlebih  dahulu  dilakukan
pendekatan al-taufiq atau al- jam’u.
iv. Metode Tawaqquf
Metode tawaqquf adalah menghentikan atau mendiamkan. Yakni, tidak mengamalkan  hadis  tersebut  sampai  ditemukan  adanya  keterangan  hadis
manakah  yang  bisa  diamalkan.  Namun  sikap  tawaqquf  menurut  Abdul Mustaqim  sebenarnya  tidak  menyelesaikan  masalah  melainkan  membiarkan
atau  mendiamkan  masalah  tersebut  tanpa  adanya  solusi.  Padahal  sangat mungkin  diselesaikan  melalui  ta’wil.  Oleh  karena  itu,  teori  tawaqquf  harus
difahami  sebagai  sementara  w aktu  saja,  sehingga  ditemukan  ta’wil  yang
rasional mengenai suatu hadis dengan ditemukannya suatu teori dari penelitian ilmu pengetahuan atau sains, maka
tawaqquf  tidak berlaku lagi.
38
Daniel Juned,
Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadis
Jakarta: Erlangga, 2010, 135.
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
36
BAB III AL-
NASA’I  SERTA HADIS TENTANG MANDI BESAR MESKI BELUM
INZAL
A. Biografi al-Nasa’i
Nama  lengkapnya  adalah  Abu  Abd  al- Rahman Ahmad ibn Ali ibn Shu’aib
ibn Bahr al-Khurasani al-Qadi. Al-
Nasa’i  lahir di wilayah Khurasan pada tahun 215 H.  Pada  mulanya  imam
Nasa’i  belajar  di  daerah  Khurasan.  Dan  pada  waktu menginjak waktu remaja ia suka mengembara mencari hadis. Pada daerah Hijaz, Irak,
Mesir dan Syam  merupakan tempat  yang dikunjungi  untuk memperdalam hadis  dari ulama’ulama hadis, seperti Qutaibah ibn Sa’id, Abu Dawud dan Thirmidhi.
1
Imam Nasa’i  lama  tinggal  di  Mesir  pada  bulan  Dzulhijjah  tahun  302  H,
setahun kemudian tepatnya pada hari senin tanggal 13 Safar tahun 303 H beliau wafat di Ramlah Palestina dan dimakamkan di Bait al-Maqdis.
2
Sebagai  seorang  ulama’  hadis,  imam  Nasa’i    telah  menulis  beberapa karyanya  diantaranya:  al-Sunnah  al-Kubra,  al-Sunnah  al-Sughra,  al-
Khasa’is  dan yang terakhir al-Manasik. Diantara dari beberapa kitab tersebut  yang paling terkenal
yakni al-Sunnah al-Kubra.
1. Kitab Sunan al-Nasa’i
Dalam  Kitab Sunan  al-
Nasa’i,  hadis  yang  disebutkan  al-Nasa’i  tidak satupun  hadis  yang  berasal  dari  orang  yang  ditolak  periwayatannya  oleh  para
ulama hadis dan tidak mempercayai periwayatannya. Hadis yang disebutkan juga
1
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis Surabaya: al-Muna, 2010, 124.
2
Ibid., 124.
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
merupakan  ringkasan  dan  seleksi  dari  kitab  al-Sunan  al-Kubra,  sehingga  tidak terdapat hadis yang
d}a’if  dan kalaupun ada itu jumlahnya sangat kecil dan jarang sekali.
Kitab Sunan  al-
Nasa’i    sederajat  dengan  Sunan  Abu  Dawud  atau sekurang-kurang-nya  mendekati  satu  tingkatan  kualitas  yang  sama  dengan
Sunan Abu Dawud, dikarenakan al-
Nasa’i sangat teliti dalam meriwayatkan hadis. Hanya saja  karena
Abu  Dawud  lebih  banyak  perhatiannya  kepada  matan-matan  hadis yang  ada  tambahannya,  dan  lebih  terfokus  pada  hadis-hadis  yang  banyak
diperlukan  oleh  para  fuqaha,  maka Sunan  Abu  Dawud  lebih  diutamakan  sedikit
daripada Sunan  al-
Nasa’i.  Oleh  karena  itu,  Sunan  al-Nasa’i  ditempatkan  yang kedua setelah
Sunan Abu Dawud.
2. Guru dan Murid al-Nasa’i
Seperti  para  pendahulunya:  Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu
Dawud,  Imam  al-Tirmidhi,  Imam  al- Nasa’i  juga  tercatat  mempunyai  banyak
pengajar  dan  murid.  Para  guru  beliau  yang  nama  harumnya  tercatat  oleh  pena sejarah antara lain, Qutaibah ibn Sa’id, Ishaq ibn Ibrahim, Ishaq ibn Rahawaih, al-
Haris ibn Miskin, Ali ibn Kasyram, Imam Abu Dawud.
3
Sementara  murid-murid  yang  setia  mendengarkan  fatwa-fatwa  dan ceramah-ceramah  beliau  antara  lain:  Abu  al-Qasim  al-
thabarani,  Abu  Ja’far  al- Thahawi,  al-Hasan  ibn  al-Kadhir  al-Suyuti,  Muhammad  ibn  Muawiyah  ibn  al-
Ahmar,  Abu  Bakar  ibn  Ahmad  al-Sunni.  Nama  yang  disebutkan  terakhir merupakan murid
al- Nasa’i
sebagai “penyabung lidah” al-Nasa’i.
4
3
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis Surabaya: al-Muna, 2010, 125.
4
Ibid., 125.
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
3. Metode dan Sistematika Sunan al-Nasa’i
Kitab Sunan  al-
Nasa’i    adalah  kitab  yang  muncul  setelah  s}ah}ih}ain  yang paling  sedikit  hadis
d}a’if-nya  dibandingkan  Kutub  al-Sittah  yang  lainnya,  akan tetapi  banyak  pengulangannya.  Maka  dalam  kitab
Sunan  al- Nasa’i  tidak  hanya
terikat hadis yang s}ah}ih} saja, akan tetapi terdapat hadis yang hasan atau
d}a’if.
5
Adapun  sistematika  penulisannya  disusun  berdasarkan  fiqh.  Urutan- urutannya  antara  lain:  kitab  Thaharah,  al-Miyah,  al-Gushl  wa  al-Tayammum,  al-
Salah,  al-Mawaqih,  al-Adzan,  AL-Masajid,  al-Qiblat,  al-Imamah,  al-Kusuf,  al- Istisqa’,  Shalat  al-Khauf,  Shalat  al-Idain,  al-Janaiz,  al-Siyam,  al-Zakah,  Manasik
al-Hajji,  al-Jihad, al-Nikah, al-Talak,  al-Khail, al-Ahbas, al-Washaya, al-Nahl,  al- Hibah, al-Ruqba, al-
‘Umrah, al-Aiman, al-Ba’it, al-Haqiqah, al-Fara’, al-Dahaya,, al-
Buyu’, al-Zina dan al-Istihadhah.
4. Pandangan dan kritik terhadap Sunan al-Nasa’i
Kitab Sunan  al-
Nasa’i  disusun  berdasarkan  sistematika  fiqih  dengan jumlah 5.761 hadis. Kitab ini paling sedikit hadis
d}a’if-nya, demikian juga perawi yang dicela ulama’ lain. Deikian komentar Muhammad Ajaj al-Khatib. Komentar
ini timbul disebabkan al-
Nasa’i sangat teliti dalam menilai hadis.
6
Para  ulama’  berbeda  penilaian  terhadap  al-Nasa’i.  Diantara  mereka  ada yang menilainya positif dan ada yang menilai negatif. Ulama’-ulama’ yang menilai
positif terhadap al-
Nasa’i pada umumnya dari segi ketelitian periwayatan. Jalal al- Din  al-Suyuthi  menjelaskan  bahwa
al- Nasa’i  lebih  ketat  menerima  riwayat
dibanding Muslim.
5
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis Surabaya: al-Muna, 2010, 125.
6
Ibid., 126.
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
Ibn  Hajar  al-Asqalani  mengatakan  sebagaimana  dikutip  Jalal  al-Din  al- Suyuthi, banyak orang yang dipakai sebagai perawi untuk mentahrij kan hadis oleh
Imam  Tirmidhi,  tetapi  tidak  dipakai  oleh al-
Nasa’i untuk mentahrijkan  hadisnya, bahkan  ia  juga  menjauhi  untuk  mentahrijkan  hadis  dan  beberapa  Rijal  Hadis  al-
Sahihain. Lantaran  ketelitannya  itulah
al- Nasa’i  tidak  mau  memasukkan  dalam
kitabnya  al-Mujtaba  hadis- hadis  yang  berasal  dari  Ibn  Lahi’ah.  Padahal  Ibn
Lahi’ah adalah seorang hafizh besar melebihi gurunya Qutaibah, hanya saja Ibn Lahi’ah banyak salahnya ketika umurnya sudah tua. Demikian ungkapan Ahmad
Umar Hasyim dalam bukunya Manahij al-Muhaddithin. Menurut  Ibn  Katsir  bahwa  dalam
Sunan  al- Nasa’i  terdapat  perawi  yang
tidak  dikenal,  cacat  lemah,  tercela,  dan  mungkar.  Maka  dari  pendapat  tersebut dapat diketahui bahwa
Sunan al- Nasa’i masih dibawah Sahihain.
B. Hadis Tidak Diwajibkan Mandi Besar
1. Data hadis tidak diwajibkan mandi besar
153 -
جرخا يئاس لا
ٍيِلَع ْنَع ،ِهيِبَأ ْنَع ،َةَوْرُع ِنْب ِماَشِ ْنَع ،ٌريِرَج اَنَرَ بْخَأ ،َميِاَرْ بِإ ُنْب ُقاَحْسِإ اَنَرَ بْخَأ ْعِماَُُ َََْو ،ىَذْمَأَف ِهِلَْأِب ُلُجرلا  َََ ب اَذِإ :ِداَدْقِمْلِل ُتْلُ ق :َلاَق ُهَْع ُهللا َيِضَر
- ىلَص  ِِ لا ِلَسَف
ِهْيَلَع ُها ََِِْ ُهُتَْ باَو َكِلَذ ْنَع ُهَلَأْسَأ ْنَأ يِحَتْسَأ  ِِِإَف ؛َكِلَذ ْنَع َملَسَو
- : َلاَقَ ف ُهَلَأَسَف
« ُأضَوَ تَ يَو ،َُرِكاَذَم ُلِسْغَ ي
ِة َاصلِل َُءوُضُو »
7
7
Al- Nasa’i
,
Sunan al- Nasa’i
, Vol 1, 96.
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
Imam al-
Nasa’i  meriwayatkan  hadis:  Telah  mengabarkan  Ishaq  ibn Ibrahim  mengabarkan  kepada  kami  dari
Jarir,  dari Hisham  ibn  ‘Urwah  ,  dari
ayahnya  bahwa Ali  berkata  kepada  al-Miqdad,  “Apabila  seorang  mengauli
istrinya,  lalu  keluar  madzi,  padahal  dia  belum  mencampurinya.  Tanyakanlah  hal itu kepada Nabi Muhammad Saw, aku malu  bertanya langsung pada beliau karena
putri  beliau  adalah  istriku”.  Kemudian  al-Miqdad  menanyakannya  dan  beliau
bersabda, “hendaklah  dia  mebasuh  kemaluannya  dan  berwudhu  sebagaimana
wudhu ketika akan shalat”. Guna  mendapatkan  validitas  data  hadis  tentang  diwajibkan  mandi  meski
belum inzal,  penulis  menggunakan  sebuah  kitab  standart  yakni  kitab
Mu’jam  al- Mufahras li al-Fadhi al-Hadith al-Nabawi.
Adapun  dalam  penelitian  ini  penulis  hanya  membatasi  pada  hadis-hadis dalam  kutub  al-
Tis’ah. Adapun data-data hadis tentang mandi besar meski belum inzal sebagai berikut:
Setelah  diketahui  data-data  hadis  tersebut,  selanjutnya  memaparkan  dari satu persatu dari data hadis diatas sebagai berikut:
No Kitab
Bab No Indeks
1 S{ah}ih} al-Bukhari
Ghusli min Farji al- Mar’ah
293 2
Muslim Innama al-
Ma’ mina al-Ma’ 84
3 Sunan al-Tirmidhi
Fi al-Gusli mina al-Janabah 104
4 Sunan al-
Nasa’i Ma Yanqud}u al-
Wud}u’ 153
5
M
usnad Ahmad H{adis Abu Ayyub al-Ans}ari
210