Strukturisasi Data Penguatan kepastian hak kelola usaha pemungutan dan pemanfaatan rotan, dengan program-program ::

Halaman 8 hutan parsial, peta KPH provinsi dengan peta unit KPH dst. f. Waktu : Berbagai data pada waktu atau kurun waktu yang sama perlu disinkronkan. Aspek ini penting untuk keperluan monitoring yang terkait dengan konsistensi data serta pemutakhirannya untuk meningkatkan akurasi data. g. Dokumen Data Berbagai dokumen data yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Kehutanan, khususnya Statistik Badan Planologi Kehutanan dan Neraca Sumber Daya Hutan harus betul-betul sinkron, konsisten dan saling melengkapi. Hal ini sangat penting karena kedua dokumen tersebut diterbitkan setiap tahun, sehingga sinkronisasi antar kedua dokumen serta konsistensinya secara time series perlu diperhatikan. h. Program aplikasi Berbagai program aplikasi yang saat ini telah ada maupun yang sedangakan dibuat perlu disinkronkan struktur dan isinya, sehingga saling menunjang dan mudah diintegrasikan nantinya. Data pusat – daerah Data yang ada di pusat dan yang ada di daerah Dinas Kehutanan ProvinsiKabupaten dan UPT Dephut perlu selaluidisinkronkan, secara periodik maupun insidentil. KeluaranOutput antara dari proses ini ialah tersedianya data planologi kehutanan yang lebih dapat diandalkan dan dipertanggungjawabkan.

3. Strukturisasi Data

Seluruh data yang telah sinkron kemudian distruktur ulang menjadi suatu basis data, yaitu koleksi dari sekumpulan data yang berhubunganterkait satu sama lain, disimpan dan dikontrol secara bersama dengan suatu skema atau aturan yang spesifik sesuai dengan struktur yang dibuat. Penyusunan basis data perlu dilaksanakan sesuai kaidah-kaidah atau prosedur yang benar, yaitu : Pembuatan Entity-Relationship Diagram, Penetapan model, Penyusunan disain konseptual, logikal dan fisikal, Normalisasi dan Pembuatan data dictionary. KeluaranOutput antara dari kegiatan ini ialah data planologi kehutanan yang terstruktur dalam format basis data.

4. Integrasi Basis Data

Proses integrasi merupakan kegiatan untuk memadukan seluruh basis data yang masih berada pada masing-masing bidang. Integrasi ini dilakukan secara berjenjang, yaitu dimulai dengan mengintegrasikan basis data tiap bidang dalam satu pusat yang dilanjutkan dengan mengintegrasikan basis data tiap pusat menjadi satu kesatuan basis data planologi kehutanan yang terintegrasi. KeluaranOutput dari kegiatan ini yang merupakan keluaranoutput akhir ialah tersedianya basis data planologi kehutanan yang terintegrasi, lebih dapat diandalkan dan dipertanggungjawabkan. Secara skematis keseluruhan proses tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 1. GG PP LL AA NN LL OO B U L ET IN B U L E T IN Halaman 9 Manfaat Basis Data yang terintegrasi Data planologi kehutanan yang terstruktur dalam format basis data dan terintegrasi mempunyai beberapa manfaat, yaitu antara lain : 1. Redundansi, kesenjangan dan inkonsistensi data dapat dicegah atau ditekan sekecil mungkin sehingga data yang ada lebih validreliable. 2. Mempermudah pengaksesan data walaupun dalam volume yang sangat besar, sehingga penggunaan waktu bisa lebih efisien. 3. Keamanan data lebih terjamin dibandingkan cara konvensional. 4. Data dapat digunakan oleh banyak pemakai secara lebih efektif dan efisien. 5. Transparansi dan pelayanan publik terhadap kebutuhan data dapat lebih ditingkatkan. 6. Datainformasi yang diperoleh dapat lebih komprehensif dan utuh. PermasalahanKendala Peta penunjukan kawasan hutan provinsi perlu diupdate, karena : Datanya sudah usang.sudah sangat tertinggal, khsusnya kawasan konservasi, ada selisih sekitar 8 juta hektar, karena pesatnya penunjukan kawasan hutan konservasi secara parsial Isitlah penunjukan sebenarnya kurang tepat, karena di dalamnya juga terdapat kawasan hutan yang sudah ditetapkan. Teknologi pemetaan sudah jauh berkembang, yaitu dengan adanya pemetaan secara digital Upaya yang dapat dilakukan : Melengkapai data : Data batas administrasi pemerintahan : ke BPS atau Bakosurtanal Akurasi data : Mengikuti perkembnagan teknologi, peningkatan kemampuanetos kerja SDM, pemutkahiran an validasi data secara insidentil dan periodik Penutup Basis Data planologi kehutanan yang terintegrasi sangat penting dalam rangka revitalisasi fungsi dan peran Badan Planologi Kehutanan, baik saat ini maupun di masa yang akan datang. Untuk itu beberapa upaya yang perlu dilakukan antara lain : Peningkatan kordinasi pusat dan daerah, mengatasi kendala dalam pengelolaan data secara optimal dan sinergis, menyusun protokol pengelolaan data termasuk untuk pelayanan publik, optimalisasi dukungan infrastruktur jaringan perangkat keras LocalWide Area Network, pengembangan berbagai program aplikasi yang telah ada SIAPHUT dll, peningkatan kualitas SDM dan pembinaan etos kerjanya. Apabila basis data planologi kehutanan yang terintegrasi dapat terwujud dengan baik, rasanya kita semua bisa cukup optimis bahwa di masa yang akan datang kita tidak saja bisa menyanyikan lagu ’Satu Nusa Satu Bangsa’, tetapi juga lagu ’Satu Nusa Satu Data’. VIVA INTEGRACAO. Penulis saat ini menjabat sebagai Kepala Bidang Statistik Kehutananm pada Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan,Badan Planologi GG PP AA NN LL OO ET IN E T IN Halaman 10 GG PP LL AA NN LL OO B U L ET IN B U L E T IN Oleh : Syaiful Ramadhan. “ Filosofi pemberdayaan mengajark an pada k ita, bahwa semua sumberdaya terutama manusia yang secara fitrah telah dilengk api potensi positif secara “built in”. Terberdayak annya potensi tersebut sangatlah tergantung dari seberapa k ondusif suasana diri dan lingk ungan yang mendorong termanfaatk annya potensi tersebut, serta seberapa besar hambatan psikologis, sosial dan tek nis yang ada menutup ak ses pengembangan potensi tersebut. Pemberdayaan yang berbasis fitrah k emanusiaan tersebut inilah yang disebut pemberdayaan yang bermartabat “ Potret Umum Upaya Pemberdayaan ? Akhir-akhir ini upaya pembangunan yang langsung menyentuh peningkatan kesejahteraan masyarakat semakin menjadi tuntutan, hal tersebut sangatlah wajar, karena melalui cara tersebut dipercaya dapat mengeliminasi masalah ketimpangan distribusi hasil- hasil pembangunan selama ini. Istilah popular terkait upaya tersebut adalah “pemberdayaan”, apakah itu pemberdayaan sosial, pemberdayaan ekonomi dlsb. Dengan tidak menafikan adanya upaya pemberdayaan yang berhasil secara parsial, upaya pemberdayaan yang diselenggarakan selama ini, umumnya bersifat “top down” melalui jalur judul-judul proyek yang terkadang sulit dihafal karena saking banyaknya dan tidak tertutup kemungkinan saling tumpang tindih pula, sehingga tidaklah aneh bila tingkat keberhasilannya menjadi tidak jelas kalau tidak bisa dibilang biasgagal. Ketidak sinkronan antara kebutuhan nyata “pemberdayaan” dengan “proyek yang bersifat given”, secara perlahan memicu keapatisan berbagai fihak terhadap upaya pemberdayaan yang sebenarnya bertujuan baik tersebut. Pada akhirnya upaya pemberdayaan melalui jalur keproyekan, lebih diterima sebagai penyejahteraan sesaat, berupa upah dan bantuan “modal” selama proyek berjalan, sehingga terkesan upaya “pemberdayaan” berhenti ketika proyek usai. Dalam hal ini boleh dikatakan, bahwa sebagian besar upaya pemberdayaan lebih bersifat “charity” dan hal ini alih-alih mendorong keluar potensi sumberdaya yang ada, malah sebaliknya memupuk sikap apatis yang menutup pengenalan potensi diri dari sumberdaya yang pada akhirnya bemuara pada semakin terpuruknya kesejahteraan dan martabat subyek pemberdayaan di satu fihak dan mubasirnya upaya pemberdayaan selama ini baik secara moril maupun materil. Bagaimana Implikasinya di “Sektor” Kehutanan ? Sektor kehutanan mulai dari awal perencanaan sering lebih memfokuskan program kegiatannya pada pemberdayaan sumberdaya hutan, sehingga sering terjebak pada indikator-indikator keberhasilan yang terkait dengan ; keberadan hutan, luas dan hijaunya kawasan hutan dan terjaganya populasi flora fauna dibandingkan dengan keterkaitan fungsi dan manfaatnya bagi hidup dan kehidupan manusia. Meningkatnya populasi manusia yang menempati bentangan yang sama dengan sumberdaya hutan, tidak pelak lagi menimbulkan trade off antar prioritas upaya pemberdayaan, apakah keberadaan flora fauna atau kesejahteraan manusia. Upaya pemberdayaan di sektor kehutanan bersifat unik, karena sasaran yang mutlak bersifat ”simultan” dalam arti ; Memberdayakan fungsi manfaat sumberdaya hutan yang berjalan setara dan sekaligus dengan pemberdayaan manusia pada umumnya dan khususnya manusia di dalam dan sekitar sumberdaya hutan. Sasaran ganda pemberdayaan yang unik tersebut, berimplikasi pada kerumitan mulai dari tingkat definisi, konsepsi, perencanaan dan berujung pada implementasi yang ”lagi-lagi belum mencerminkan kebutuhan riel pemberdayaan masyarakat ”. Hal ini bisa diukur dengan besaran rasio dana ”pemberdayaan” dengan total anggaran keseluruhan dan besaran rasio anggaran kegiatan yang menyentuh dan atau berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Seharusnya sesuai dengan filosofi pemberdayaan, maka dari perspektif pembangunan kehutanan, upaya pemberdayaan seharusnya berupa upaya pengkondisian tumbuhnya interaksi yang bersifat symbiose mutualistis antara manusia dengan hutan secara utuh. Apabila hal ini dapat terselenggara barulah bisa dapat dikatakan upaya pemberdayaan yang ada berbasis pada dan meningkatkan martabat kemanusiaan sebagai subyek yang diberdayakan. Hutan Rakyat : SDM dan SDH sebagai Inisiator, Partisipator dan Exekutor Pemberdayaan yang Bermartabat Pertama yang harus disepakati bersama, bahwa amanah pembangunan kehutanan mempunyai syarat khusus berupa keberlanjutan keberadaan dan fungsi sumberdaya hutan yang mampu memberikan manfaat langsung dan tak langsungnya secara berkelanjutan pula. Kenyataan, bahwa keberadaan hutan sebagai penunjang penyedia berbagai keperluan kehidupan manusia, sudah selayaknya menumbuhkan nilai value keharusan keberadaannya secara lestari. Nilai tersebut di atas melahirkan 2 dua perilaku pemberdayaan : Kebutuhan akan kelestarian keberadaan sumberdaya hutan mewajibkan diterapkannya secara ilmiah teknik-teknik silvikultur yang berbasis pada ragam perilaku vegetasi, klimatis dan edafis yang tidak ’memperkosa” kondisi alamiahnya, sehingga didapatkan hasil yang optimal dalam pengelolaan hutan. Upaya ini merupakan upaya pemberdayaan potensi sumberdaya hutan Kebutuhan dukungan pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahteraan manusia yang berbasis sumberdaya hutan, mewajibkan adanya penggalian potensi diri atau kreatifitas dalam memahami berbagai potensi hutan secara utuh dalam arti bagaimana cara memanen yang efisien dan efektif dan bagaimana cara menanam kembali dan memeliharanya agar panenan dapat dilakukan secara berkelanjutan, adanya pengaturan akses pengelolaan yang menjamin pemanfaatan dan distribusi manfaat sumberdaya hutan yang secara pasti pula mengkreasikan nilai tambah dar waktu ke waktu dan yang terakhir dan tak kalah penting mengelola hasil dari pemanfaatan bagi peningkatan martabat manusia dalam arti melepaskannya dari berbagai bentuk kemiskinan. Upaya ini merupakan upaya pemberdayaan potensi sumberdaya manusia. Penerapan kedua upaya di atas secara simultan ditambah dengan pendefinisian secara pasti batasan fokus dan lokus baik komunitas sumberdaya hutan maupun manusia serta adanya dukungan kebijakan yang berfihak pada pembangunan baca: peningkatan kesejahteraan rakyat miskin yang berkelanjutan, merupakan modal dasar pemberdayaan manusia secara PEM BERDAYAAN H U TAN DAN RAK YAT YAN G BERM ARTABAT GG PP AA NN LL OO ET IN E T IN Halaman 11 Hutan Rakyat yang berangkat dari inisiasi masyarakat mandiri ditopang oleh kebijakan peraturan yang kondusif bagi backward linkaged dukungan kemudahan ijin, dukungan supply lahan dan sarana prasarana, modal dan teknologi dan forward linkaged dukungan pemasaran serta program pemberdayaan yang hanya bersifat fasilitasi bukan eksekusi, merupakan contoh nyata dari pemberdayaan yang bermartabat, bukan sekedar proyek show window yang akan menyulitkan perencanaan maupun evaluasinya. Perencana Madya Pada Badan Planologi Kehutanan Pemantapan Kawasan Hutan salah satu Program Prioritas Departemen Kehutanan Indikator kawasan hutan mantap : 1. Adanya kepastian kawasan hutan 2. Status kawasan yang bebas konflik jangka panjang 3. Diketahui letak, lkasi, luas dan kondisi penutupan lahannya. 4. Permanen dan dibatasi oleh batas alambuatan yang permanent 5. Diakui secara de-jure dan de facto legal dan legitimate oleh seluruh pemangku kepentingan 6. Adanya rencana pengelolaan serta pengelolaan kawasan. Sasaran Kegiatan : Kegiatan pemantapan kawasan hutan diarahkan untuk memperoleh status yuridis formal kawasan hutan maupun fisik di lapangan dan desain kawasannya sebagai pengelolaan hutan secara efisien, lestari dan berkeadilan. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam program pemantapan kawasan hutan adalah : a. memberikan kepastian status, letak, luas dan batas-batas hutan sesuai fungsinya untuk mewuhudkan pengelolaan hutan yang optimal dan lestari; b. terbentuknya Unit Pengelolaan Hutan dan c. meningkatnya legalitasd dan legitimasi status wilayah pengelolaan hutan. Ruang Lingkup Kegiatan Pemantapan Kawasan Hutan : • Pengelolaan kawasan hutan dilakukan untuk seluruh kawasan hutan dengan prioritas pada lokasi-lokasi yang akan diselesaikan dalam kurun waktu 2005-2009 • Pencapaiannya melalui penetapan criteria : a. Kepastian kawasan hutan; b. Kondisi kawasan hutan dan sumberdaya hutan dan c. Unit pengelolaan hutan • Dijabarkan dalam program-program dan kegiatan-kegiatan Kondisi saat ini : 1. Tata batas baru mencapai ? Halaman 12 GG PP LL AA NN LL OO B U L ET IN B U L E T IN A rtikel ini memberikan uraian ringkas mengenai upaya yang perlu dilakukan dalam rangka melaksanakan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat sebagai salah satu upaya pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Sebelum menelaah dan mengkaji lebih lanjut mengenai pariwisata alam berbasis masyarakat, sebaiknya terlebih dahulu menyimak dua pertanyaan paling mendasar sebagai berikut: Bagaimana caranya masyarakat dapat memperoleh nilai tambah dari kegiatan pariwisata alam? ATAU Bagaimana caranya pariwisata alam memberikan kontribusi terhadap proses pembangunan masyarakat? Proses pengembangan pariwisata secara massal mass tourism pada umumnya terfokus pada pertanyaan nomor 1, sehingga diasumsikan bahwa kegiatan pariwisata alam merupakan kegiatan yang paling utama dan masyarakat sekitar akan memperoleh nilai tambah dengan melakukan kegiatan di dalam kegiatan pariwisata tersebut. Konsep pengembangan pariwisata yang demikian hampir dapat dipastikan merupakan konsep pariwisata yang tidak lestari, dimana masyarakat lokal dalam hal ini masyarakat di dalam dan sekitar hutan akan bergantung kepada kegiatan pariwisata, dan dalam jangka waktu tertentu dikhawatirkan akan terjadi perubahanpergeseran budaya masyarakat lokal setempat. Perubahan budaya tersebut diakibatkan oleh ketergantungan masyarakat lokal sehingga merekalah yang mengikuti budaya wisatawan dan bukan sebaliknya wisatawan yang seharusnya mengapresiasi serta memahami budaya masyarakat lokal. Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat community based tourism tidak semata-mata hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, melainkan mempertimbangkan secara serius terhadap dampak yang ditimbulkannya, khususnya terhadap budaya masyarakat lokal dan lingkungan. Kegiatan pariwisata berbasis masyarakat diharapkan mampu dijadikan sebagai salah satu perangkat dalam rangka pembangunan masyarakat madani. Jadi dalam konteks tersebut, pariwisata berbasis masyarakat merupakan sebuah konsep di dalam memperkuat kemampuan dan kapasitas masyarakat lokal untuk mengelola pariwisata secara lestari dan berkelanjutan melalui partisipasi aktif masyarakat di dalamnya. Bagaimana cara mengadposi konsep pariwisata berbasis masyarakat dalam rangka mendukung proses pembangunan masyarakat madani? Berikut adalah beberapa prinsip pengembangan yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan:Mengakui, mendukung dan mempromosikan konsep kepemilikan usaha pariwisata oleh masyarakat lokal.Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk secara aktif terlibat di dalam segala aspek pengembangan pariwisata.Pariwisata yang dikembangkan mampu memberikan kebanggaan bagi masyarakat.Meningkatkan kualitas hidup masyarakat.Selalu mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan lokal dan global.Melestarikan budaya masyarakat lokal.Mengembangkan konsep pemahaman budaya masyarakat lokal kepada wisatawan.Menghargai adanya perbedaan budaya.Memberikan keuntungan dan manfaat pariwisata secara proporsional kepada masyarakat setempat.Memberikan kontribusi yang ideal dalam rangka pembangunan lingkungan masyarakat. Perlu diperhatikan bahwa sebelum melaksanakan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat yang sejalan dengan prinsip- prinsip tersebut di atas, adalah penting untuk menyiapkan kapasitas masyarakat yang berkualitas dalam melaksanakan pengelolaan pariwisata. Hal tersebut tentunya perlu didukung oleh kegiatan pemasaran yang mampu memberikan pemahaman kepada calon wisatawan bahwa pariwisata berbasis masyarakat adalah berbeda dengan pariwisata masal. Dengan demikian konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat sebagai perangkat konservasi alam dan pelestarian budaya masyarakat lokal dapat tercapai. Dengan asumsi bahwa masyarakat lokal sebagai penyelenggara pariwisata sudah memiliki kapasitas yang ideal dan calon wisatawan sudah memahami konsep pariwisata berbasis masyarakat, maka berikut merupakan beberapa saran mengenai elemen yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan penyelenggaraan pariwisata berbasis masyarakat:

A. KEBUDAYAAN DAN SUMBERDAYA ALAM –

Sumberdaya alam dapat terpelihara secara lestari. – Ekonomi masyarakat diperoleh melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. – Daerah tujuan wisata memliki kekhasan budaya dan tradisi.

B. KELOMPOK MASYARAKAT

Memiliki seseorang yang dituakan, yang memahami kearifan budaya masyarakat setempat. Menunjukkan perilaku yang sesuai dengan adat istiadat setempat. Terciptanya rasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap pembangunan yang dilaksanakan.

C. MANAJEMEN PENGELOLAAN

n Terdapat peraturan dan kebijakan di dalam upaya pengelolaan pariwisata dan alam secara lestari dan berkelanjutan. n Memiliki kemampuan untuk mengkolaborasikan antara pengembangan pariwisata dengan pengembangan masyarakat. n Manfaat dan keuntungan dibagi secara adil dan proporsional. n Terdapat kontribusi pembagian hasil pendapatan pariwisata untuk dipergunakan dalam pembangunan ekonomi dan sosial n Masyarakat. n n n l n

D. PROSES PEMBELAJARAN

Terbangunnya proses pembelajaran dua arah secara positif antara masyarakat dengan wisatawan. Terbangunnya pemahaman dan penghargaan tentang adanya perbedaan kebudayaan dan perbedaan cara hidup. Terbangunnya kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya dan lingkungan diantara masyarakat dan wisatawan. Oleh: Ristianto Pribadi, S.Hut, M.Tourism PERAN GK AT PEM BAN GU N AN M ASYARAK AT M ADAN I GG PP AA NN LL OO ET IN E T IN Halaman 13 Idealnya pemerintah memberikan dukungannya melalui penyediaan akses, peraturan dan kebijakan, serta kemampuan dalam melakukan pembimbingan dan pembinaan yang memadai, yang mampu menarik para pihak lainnya untuk mau terlibat secara aktif. Kemudian sektor swasta diharapkan bersedia untuk membantu masyarakat di dalam penyelenggaraan pariwisata, khususnya melalui dukungan pendanaan dan promosi. Pada akhirnya unsur masyarakat yang memiliki kemauan dan kemampuan yang tinggilah yang akan menentukan keberhasilan pembangunan masyarakat madani melalui kegiatan pariwisata. Seluruh upaya perlu dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan. Komitmen yang kuat dari para pihak menjadi kunci penting menuju kesuksesan. Pertanyaannya adalah “Sanggupkah kita untuk berkomitmen?...” Selamat berkarya. Staf Pada Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan Scenario planning is a discipline for rediscovering t he original ent repreneurial power of creat ive foresight in cont ext s of accelerat ed change, great er com plexit y, and genuine uncert aint y Pierre Wack, Royal Dut ch Shell, 1984 GG PP LL AA NN LL OO B U L ET IN B U L E T IN Halaman 14 HASIL REVIEW Banjir bandang yang terjadi pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2003 di kawasan wisata alam Bukit Lawang, Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, menelan korban jiwa yang cukup banyak ± 143 orang, 100 orang lebih hilang dan puluhan lainnya luka-luka serta kerugian materiil yang besar Sumber : berita Media Indonesia dan Kompas tanggal 3 sd 18 Nopember 2003. Banyak pihak mempertanyakan salah siapa ini ? Apakah pemerintah dengan kebijakan-kebijakan politisnya, pengusaha yang punya kepentingan terhadap eksploitasi hutan atau masyarakat yang notabene diarahkan untuk melakukan tindakan penebangan liar, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kawasan Ekosistem Leuser KEL merupakan paru-paru dunia yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup manusia sehingga wajib dijaga kelestariannya. Di KEL terdapat hulu beberapa Daerah Aliran Sungai DAS termasuk DAS Bahorok, yang berfungsi sebagai penyimpan air dan menahan banjir di daerah hilir. Kawasan DAS Bahorok menjadi sumber kehidupan masyarakat Bukit Lawang. Daerah hulunya merupakan areal hutan yang sangat lebat dengan topografi bergunung. Namun kini telah berkurang mutu dan luasnya karena ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, sehingga ketika terjadi fenomena alam seperti curah hujan yang tinggi, hutan tidak sanggup lagi untuk menahan beban. Kawasan hutan Leuser merupakan hutan tropis yang memiliki areal seluas 1,79 juta hektare yang terdiri dari kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi, kawasan konservasi dan kawasan hutan produksi terbatas. Hutan Leuser kaya akan flora, fauna, dan bahan tambang. Hal ini mengakibatkan banyak pihak ingin turut campur di dalam upaya pengelolaannya karena ada kepentingan lain didalamnya dengan dalih untuk menyelamatkan lingkungan karena KEL merupakan paru-paru dunia. Kawasan wisata alam Bukit Lawang terletak di kaki Taman Nasional Gunung Leuser TNGL yang oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten Langkat direncanakan untuk dijadikan sebagai kawasan ekowisata dengan tetap memperhatikan upaya pelestarian lingkungan konservasi lahan dan ekosistem sungai. Namun karena ulah dari oknum- oknumstakeholder yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan perencanaan yang semula baik menjadi buruk, yaitu dengan dibangunnya kawasan permukiman penduduk di bantaran sungai Bahorok DAS Bahorok yang tidak sesuai dengan kaidah tata ruang. Oleh karena itu setiap pengunjung tidak lagi mendapatkan keindahan alam secara langsung, tetapi hanya menikmati pemandangan sungai sebagai tempat pemandian alam yang mulai kotor oleh sampah yang sengaja dibuang sembarangan. 42 ribu hektar hutan Leuser telah rusak dan upaya untuk memulihkan kembali kerusakan hutan tersebut akan memakan waktu lama dan biaya yang besar. Apalagi sekarang telah memakan korban jiwa dan harta benda. Kerusakan hutan Leuser ini diakibatkan oleh penebangan liar legalillegal, kegiatan konversi hutan untuk areal penggunaan lain contoh untuk perkebunan kelapa sawit, perambahan hutan masyarakat pengungsi dan aksi pencurian kayu dalam skala besar yang dibekingi oleh aparat penegak hukum tentara, polisi, dan pejabat daerah kehutanan pemda yang dibantu oleh preman-preman setempat. Pembangunan jalan Ladia Galaska yang melewati kawasan hutan lindung Taman Nasional Gunung Leuser semakin membuat tekanan terhadap kondisi hutan yang sudah rusak tersebut. Kerusakan sumber daya hutan dan lahan telah mengakibatkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat seperti turunnya mutu lingkungan hidup, terjadinya banjir, tanah longsor, erosi dan sedimentasi, hilangnya biodiversitas dan pendapatan negara. Pengelolaan hutan dan pengelolaan lingkungan di Indonesia masih dilakukan secara sektoral dan parsial, dan ternyata sistem seperti ini tidak dapat mencegah kerusakan hutan. Kawasan hutan dikelola oleh Departemen Kehutanan sedangkan produk kehutanan dikelola menurut hitungan industri oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Untuk meningkatkan kapasitas industri terpasang Depperindag terus mengeluarkan surat izin pengembangan industri perkayuan, sedangkan kemampuan produksi hutan kayu untuk memenuhi kapasitas industri terpasang ini lebih rendah dibandingkan dengan permintaan pasar. Ketidakseimbangan antara supply dan demand kayu inilah yang mengakibatkan kasus penebangan liar makin marak. Kebijakan ekonomi makro di Indonesia yang memandang kayu sebagai komoditi yang masih dapat dieksploitasi makin memperparah kondisi kerusakan hutan. Kebijakan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang punya akses terhadap hutan tidak sinkron. Kawasan hutan lindung yang mestinya hanya diperuntukan sebagai kawasan resapan air yang berfungsi untuk menjaga erosi lahan, bahaya banjir dan melindungi keanekaragaman hayati yang ada didalamnya, ternyata diperuntukkan juga sebagai areal pertambangan. Ini hanya salah satu contoh adanya tumpang tindih didalam pemanfaatan hutan. Ekploitasi hutan tanpa memperhitungkan upaya pelestariannya akan sangat merugikan. Nilai ekonomis yang diperoleh tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkannya. Kegiatan eksploitasi hutan yang terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser benar-benar sangat memprihatinkan karena kegiatan ini dibarengi dengan hancurnya ekosistem lain, yaitu ketersediaan air, keanekaragaman hayati dan potensi ekowisata. Sedangkan nilai ekonomi yang diperoleh diperkirakan hanya 20 persen saja dan yang 80 persen adalah nilai kerugiannya. Akar dari semua permasalahan tersebut di atas adalah adanya konflik kepentingan terhadap hutan Leuser antara instansi pemerintah, pengusaha maupun masyarakat sekitar hutan yang menimbulkan tumpang tindih terhadap fungsi hutan. Hutan tidak difungsikan sesuai dengan peruntukannya. Tekanan-tekanan terhadap hutan Leuser yang semakin meningkat dan terakumulasi dengan sempurna tersebut yang akhirnya mengakibatkan banjir bandang di kawasan wisata Bukit Lawang kasus DAS bahorok, karena hutan sudah tidak kuat lagi menahan beban tersebut. Dapat dikatakan bahwa bencana banjir di kawasan wisata Bukit Lawang merupakan bencana alam yang dipicu oleh faktor- faktor lain yang semakin mendukung terjadinya bencana alam tersebut kerusakan hutan. Selain itu juga pola penataan ruang yang tidak sesuai dengan kaidah tata ruang kawasan permukiman di bantaran DAS Bahorok. Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut : APA YANG PERLU DIBENAHI ? Kasus di Kawasan Ekosistem Gunung Leuser KEL Re vie w te rha d a p Ko m p a s d a n Me d ia Ind o ne sia ta ng g a l 3 s d 18 No p e m b e r 2003 d a n The Esse ntia l C ivil So c ie ty Re a d e r ka ra ng a n Do n E. Enb e rly Oleh : J uliant y,SE.,MT. GG PP AA NN LL OO ET IN E T IN Halaman 15 LANDASAN TEORITIK Don E. Enberly dalam bukunya “The Essential Civil Society Reader” menggambarkan berbagai pendapat atau teori tentang civil society masyarakat sipil. Oleh karena pendapat atau teori tentang civil society dalam buku tersebut dirangkai dalam bentuk cerita dan merupakan bunga rampai, sehingga arti dan makna civil society itu sendiri pengertian tentang civil society tidak diteorikan dalam suatu rangkaian kata-kata yang besar yang menggambarkan pendapat para tokoh dalam satu kalimat. Beberapa tokoh yang mengemukakan teori tentang civil society antara lain yaitu : E.J. Dione, Chris Beem, Michael Walzer, dan Tocqueville. Secara ringkas dapat digambarkan bahwa awal mula terbentuknya civil society adalah karena adanya kemauan individu naluri manusia yang ingin membebaskan diri kelompoknya dari suatu ketidakberdayaan dalam bidang sosial, politik dan ekonomi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah atau swasta korporasiperusahaan yang menyangkut kepentingan publik. Ada 3 tiga kekuatan utama yang terkait dengan civil society ini yaitu : pemerintah konsep sosial konservatif, korporasiswasta konsep libertarian dan masyarakat konsep komunitarian. Peran pemerintah sangat besar dalam konsep sosial konservatif, dimana masyarakatnya sudah baik good citizen. Peran pemerintah kecil dalam konsep libertarian, dimana orang-orangnya sudah baik good person. Peran pemerintah sedang dalam konsep komunitarian, aliran ini menitikberatkan pada terwujudnya masyarakat yang baik. Civil society dibentuk dengan tujuan untuk melakukan suatu pembaharuan terhadap kondisi diri dan lingkungannya untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Di dalam konsep civil society terdapat nilai-nilai yang baik, nilai-nilai sosial dan budaya, nilai agama, moralitas dan etika. Civil society ini difasilitasi oleh institusi-institusi baik formal maupun non formal. Civil society bisa muncul dari kalangan individu sebagai pribadi, keluarga, gereja atau asosiasi sukarela kelompok masyarakat. Institusi-institusi yang mewadahi civil society ini berlaku sebagai lembaga penghubungmediator antara pemerintah dengan masyarakat atau antara korporasi dengan masyarakat. Civil society berlaku sebagai lembaga penyeimbang di antara kekuatan-kekuatan yang punya kepentingan terhadap kebijakan dalam bidang sosial, politik dan ekonomi tersebut. Dengan didukung oleh asas demokrasi, ideologi, adanya partisipasi, kesetaraan dan tanggung jawab sosial akan melahirkan civil society yang solid dan benar-benar mencerminkan aspirasi dari kalangan masyarakat. Civil society akan berkembang dengan baik apabila ada dukungan dan respon negara, yaitu dengan menciptakan iklim yang kondusif dalam bidang politik dan pemerintahan, adanya kepastian hukum, demokratis, dan stabilitas ekonomi, politik dan keamanan. Secara skematis landasan teori ini dapat digambarkan sebagai berikut : KERANGKA TEORITIS Konsep Sos. Konservatif Peran pemerintah besar Pemerintah Good citizen Pemerintahkorporasi : Kebijakan publik yang menyangkut kepentingan-kepentingan publik Konsep Libertarian Peran pemerintah kecil Korporasi Good person Konsep Komunitarian Peran pemerintah sedang Masyarakat Masyarakat yg baik Civil Society Lahir : kemauan individunaluri Wadah : institusi formalinformal Tujuan : pembaharuan untuk mencapai kesejahteraankehidupan yang lebih baik o Demokrasi : kepercayaan, kompromi dan kerjasama o Ideologi o Partisipasi o Keluargabertetangga o Kepentingan o Kesetaraan o Tanggungjawab sosial - Nilai-nilai yang baik - Nilai-nilai budaya - Nilai-nilai sosial - Moralitas dan etika - Kesadaran terhadap kondisi diri lingkungan - Agama Dukungan dan respon negara : menciptakan iklim yang kondusif, stabilitas keamanan, politik, ekonomi, kepastian hukum, demokrasi Ketidakberdayaan Sosial, politik, ekonomi Wadahinstitusi : - Lingkungan - Keluarga - Gerejaagama - Asosiasi sukarela Memfa- silitasi GG PP LL AA NN LL OO B U L ET IN B U L E T IN Halaman 16 Kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser KEL sudah sangat mendesak untuk diperbaharui karena sudah menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat sekitar KEL tersebut dan juga bagi bangsa Indonesia. Kerusakan hutan yang sangat parah yang akhirnya menyebabkan terjadinya banjir di kawasan wisata Bukit Lawang tersebut benar-benar telah membuka mata kita semua bahwa alampun berhak untuk mendapatkan hak-haknya yaitu upaya perlindungan dan pelestarian hutan. Kegiatan ekploitasi hutan tanpa upaya perlindungan dan pelestariannya akan sangat riskan. Adalah WALHI Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, yaitu suatu organisasi yang merupakan wadah bagi masyarakat yang peduli terhadap upaya-upaya untuk memperbaiki suatu keadaan yang terkait dengan lingkungan hidup pelestarian lingkungan hidup. Salah satu tugas atau kepedulian WALHI terhadap apa yang terjadi di masyarakat adalah menyampaikan aspirasi yang berkembang di masyarakat yang terkait dengan suatu kondisikejadian yang dialami masyarakat baik diminta oleh masyarakat maupun tidak. Kondisi hutan yang semakin parah di Indonesia akibat penebangan liar menyebabkan WALHI sangat gusar. Untuk menyalurkan kegusarannya WALHI menuntut kepada Pemerintah untuk segera mengeluarkan suatu kebijakan tentang “Moratorium Pembalakan Kayu” Kompas : Sabtu, 8 Nopember 2003, halaman 51. Memang moratorium penangguhan bukan merupakan suatu tujuan, tetapi esensinya adalah bahwa dengan adanya moratorium pembalakan kayu ini kasus penebangan liar yang banyak terjadi di areal hutan akan dapat teratasi, karena moratorium merupakan suatu proses pembaharuan untuk memperoleh sistem pengelolaan hutan yang berkelanjutan sistem pengelolaan hutan lestari. Moratorium merupakan penghentian seluruh aktivitas penebangan kayu pada skala industri untuk sementara waktu hingga kondisi yang diinginkan tercapai. Hampir 80 dari supply kayu Indonesia untuk memenuhi permintaan nasional maupun internasional diperoleh dari penebangan liar illegal logging. Nilai ekonomi yang diperoleh hanya 20 saja, sedangkan nilai kerugiannya mencapai 80 . Eksploitasi hutan yang besar-besaran tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang dan dampak negatif dari kerusakan hutan tersebut berimbas pada seluruh masyarakat Indonesia. Dampak langsung yang dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan antara lain adalah tanah longsor, erosi dan banjir. Disamping itu pendapatan negara juga berkurang, sementara upaya pemulihan kondisi hutan yang sudah rusak tersebut akan menyedot alokasi anggaran yang mestinya dapat digunakan untuk kepentingan lain. Illegal logging memang sangat bernuansa politis, sehingga untuk penanganannya diperlukan suatu moratorium, dan ini harus segera dilakukan oleh pemerintah. Praktek korupsi, kolusi, nepotisme dan pola manipulasi sangat mewarnai kegiatan illegal logging ini. Apalagi kegiatan tersebut dibekingi oleh aparat pemerintah sendiri oknum, sehingga kegiatan yang tadinya illegal menjadi legal. Pengawasan dan penegakan hukum akan sulit dilaksanakan apabila moratorium belum dijalankan, karena adanya kerjasama antara aparat penegak hukum dengan para pencuri kayu tersebut. Sebagai proses pembaharuan perbaikan, moratorium yang diusulkan WALHI akan dilakukan secara bertahap. Tahapan moratorium sebagai proses pembaharuan ini adalah : 1. Menghentikan pemberian izin baru di tingkat pusat maupun daerah. Pengawasan dan pembenahan yang lebih efektif, dilakukan terhadap manifestasi izin-izin usaha yang sudah diberikan pada periode sebelumnya 2. Restrukturisasi industri kehutanan yang bermasalah. Upaya due diligence perlu dilakukan, artinya untuk industri kehutanan yang punya masalah finansial dan tidak mampu bayar, disita dan asetnya dijual. Industri yang tidak bisa mengupayakan bahan baku legal atau berkonflik sosial, ditutup, sehingga akan didapat industri-industri kehutanan yang sehat, efisien dan kuat. 3. Perlu persiapan sosial bagi tenaga kerja atau exit emergency yaitu strategi pemerintah untuk mengalihkan lapangan kerja di sektor kehutanan. Selain WALHI ada lagi lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam MPL Masyarakat Peduli Leuser. Sudah lama MPL mengingatkan pemerintah daerah setempat untuk segera menghentikan kegiatan illegal logging ini, tetapi rupanya tidak begitu diindahkan karena ada beberapa oknum setempat aparat penegak hukum dan pemerintah yang ikut andil didalamnya. Jadi setiap kasus kegiatan illegal logging yang dilaporkan akan terus menguap begitu saja tanpa ada penyelesaian. Jika moratorium diabaikan dan penebangan tetap dilanjutkan, hutan akan habis, bencana makin mengancam, dan industri kehutanan akan collaps. Ini sangat memprihatinkan. Good governance atau sistem pemerintahan yang baik harus diupayakan di setiap institusi pemerintahan. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan korupsi, kolusi, nepotisme dan manipulasi yang biasa terjadi di lingkungan pemerintahan dapat hilang dan tergantikan oleh sistem pemerintahan yang baik. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pengarahanpenyuluhan rohani pada para pegawai pemerintah sekaligus juga melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap tingkah laku dan moralitas pegawai tersebut. Disamping itu pemberian insentif mungkin perlu dilakukan walaupun hal ini untuk sementara waktu akan banyak mengeluarkan modal, tetapi mungkin dapat dijadikan salah satu solusi pencegahan dan pengurangan praktik korupsi, kolusi, nepotisme dan manipulasi. Dampaknya tidak akan terasa secara langsung, tetapi untuk ke depannya mungkin dapat dirasakan manfaatnya, karena salah satu pencetus praktik-praktik tersebut adalah faktor “money”. Upaya penyuluhanbimbingan rohani ini juga perlu diterapkan pada anggota lembaga korporasiswasta dan juga masyarakat di sekitar hutan KEL. Moralitas berawal dari adanya nilai-nilai sosial, budaya dan pribadi yang baik. Pada dasarnya setiap manusia juga memiliki sifat-sifat yang baik, hanya karena ingin memenuhi kebutuhan hidupnya maka berbagai macam cara mungkin akan dilakukan. Bagi masyarakat sekitar hutan KEL, hutan adalah sumber penghidupan sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka akan memanfaatkan hutan tersebut. Mereka merasa telah memiliki hutan itu selama barabad-abad yang lalu warisan nenek moyang. Inilah yang menyebabkan mereka melakukan penebangan kayu, tetapi pengaruh dari kegiatan masyarakat sekitar hutan tersebut tidak begitu besar karena mereka melakukan kegiatan penebangan hanya untuk mengisi perut dan itupun sekedarnya saja. Berbeda dengan oknum pemerintah dan anggota korporasi, mereka secara sadar melakukan penebangan baik legalillegal dalam rangka untuk memperkaya diri sendiri dan para kroninya. Ini yang membedakan tingkat moralitas aparat pemerintah dan anggota korporasi dengan tingkat moralitas masyarakat sekitar hutan. Kawasan ekosistem Leuser KEL telah rusak akibat ulah manusia-manusia yang tidak bertanggungjawab dan untuk memulihkannya perlu waktu yang lama dan biaya yang besar. Selain kebijakan tentang moratorium dan menciptakan good governance di lingkungan stakeholder tersebut di atas, perlu juga dilakukan upaya pemberdayaan masyarakat setempat KEL. Masyarakat harus dimandirikan sehingga mereka akan dapat hidup dengan layak, mandiri dalam berinteraksi dengan anggota masyarakat lain dalam kegiatan sosialisasinya. Upaya pemberdayaan ini dilakukan dengan cara memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada masyarakat sekitar hutan mengenai cara-cara pemanfaatan hutan tanpa merusak lingkungan, antara lain adalah : 1. Memanfaatkan hasil-hasil hutan selain kayu untuk diolah dan dijadikan komoditi yang unik. Misalnya seperti pandan hutan yang dapat dikembangkan menjadi topi, tas dan lain-lain. Untuk dapat menghasilkan barang-barang tersebut memerlukan ketrampilan dan itu dapat dicapai dengan melalui latihan dan pendidikan keterampilan. GG PP AA NN LL OO ET IN E T IN Halaman 17 3. Masyarakat harus diikutsertakan berperan serta aktif dalam setiap program pembangunan yang berkaitan dengan pembangunan hutan berkelanjutan, sehingga mereka akan merasa benar-benar memiliki hutan dan dalam pemanfaatannya akan selalu memperhatikan hak-hak hutan yaitu perlindungan dan pelestarian hutan. Jadi hutan dapat dimanfaatkan secara bijaksana optimal dan lestari. Peran pemerintah dan LSM sangat dibutuhkan untuk mengakomodasi berbagai alternatif pemanfaatan hutan dan penciptaan good governance tersebut. Hak-hak hutan dan masyarakat sekitar hutan harus ditempatkan pada posisinya, untuk menghindari konflik yang mungkin timbul di kemudian hari. Tata Guna Hutan Kesepakatan yang partisipatif perlu disusun kembali. Hal ini dimaksudkan agar hutan produksi, lahan masyarakat, dan usaha perkebunan dapat dikembangkan secara berkelanjutan dengan meminimalkan kerusakan alam. KESIMPULAN Beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah : 1. Perbedaan mendasar mengapa civil society dapat berkembang di Amerika dalam buku The Essential Civil Society Reader, sedangkan di Indonesia tidak adalah : a. Di Amerika civil society dapat berkembang karena adanya dukungan dan respon pemerintah yaitu : menciptakan lingkungan yang kondusif, adanya kepastian hukum, demokratis, stabilitas dalam bidang politik, ekonomi dan sosial. b. Di Indonesia civil society tidak dapat berkembang dengan sempurna karena tidak adanya kepastian hukum, lingkungan tidak kondusif, demokrasi tidak berjalan semestinya, stabilitas politik, ekonomi dan sosial belum terwujud dengan baik. c. Aspirasi masyarakat yang disalurkan lewat LSM ditanggapi dengan baikpositif oleh pemerintah Amerika. Sedangkan di Indonesia adanya aspirasi masyarakat yang disalurkan lewat LSM biasanya ditanggapi dengan negatif. Oleh karena tidak ada kepastian hukum di Indonesia setiap aspirasi masyarakat yang muncul akan didengar tetapi upaya penanganannya lambat sehingga akhirnya akan menguap begitu saja. d. Kontrol masyarakat terhadap pemerintah di Amerika sangat dihargai dan dipertimbangkan dengan baik, sehingga apabila sekali saja pemerintah melakukan suatu kesalahan akan dapat menjatuhkan pemerintah itu sendiri. Di Indonesia kontrol masyarakat terhadap pemerintah masih kurang, kesalahan pemerintah yang sangat besarpun akan terhapus begitu saja. 2. Persamaannya antara lain adalah : a. Baik di Amerika maupun di Indonesia, mengartikan masyarakat sipil civil society sebagai suatu gerakan sukarela dari sekelompok individumasyarakat baik formal maupun informal yang mempunyai kemauan untuk mengadakan suatu pembaharuanmemperbaiki kondisi diri dan lingkungannya pada suatu keadaankondisi yang lebih baik. Jadi dalam hal ini ada tujuan bersama dari sekelompok masyarakat tersebut. b. Civil society dapat berawal dari lingkungan keluarga, masyarakat, kelompok agamawan dan asosiasi sukarela. Staf Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan GG PP LL AA NN LL OO B U L ET IN B U L E T IN Halaman 18

I. PENDAHULUAN

Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan termasuk salah satu kebijakan prioritas Departemen Kehutanan pada periode 2005 2009, dimana salah satu kegiatan pokoknya yaitu Penanggulangan kebakaran hutan. Dalam upaya menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan lahan, Departemen Kehutanan telah bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPPT dan Badan Meteorologi dan Geofisika BMG, dan pada tanggal 30 Oktober 2003 disepakati Perjanjian Kerjasama dalam Penerapan Teknologi Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran SPBK untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran SPBK pada dasarnya merupakan sistem untuk memprediksi potensi dan resiko terjadinya kebakaran melalui pengamatan dan evaluasi secara sistematis terhadap kondisi cuaca dan bahan bakar vegetasi yang tersedia pada suatu wilayah. Perjanjian kerjasama ini dilandasi oleh keinginan bersama antara Departemen Kehutanan, BPPT dan BMG untuk berperan serta dalam rangka pemanfaatan hasil kerjasama antara Kanada dan Indonesia mengenai proyek South East Asia Fire Danger Rating system SEA FDRS: Indonesia Initiative Perjanjian kerjasama ini dimaksudkan sebagai landasan bagi Departemen Kehutanan, BPPT dan BMG untuk melakukan kegiatan terpadu dalam penerapan teknologi SPBK untuk mendukung kegiatan pengendalian kebakaran lahan dan hutan. di Indonesia. Sebagai langkah awal dalam implementasi kerjasama tersebut, Departemen Kehutanan ,Badan Planologi Kehutanan Cq. Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan telah membuat Peta Identifikasi Daerah Rawan Kebakaran berdasarkan bahan bakar hutan. I

I. PENYUSUNAN PETA IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN KEBAKARAN

A. KLASIFIKASI KELAS TYPE BAHAN BAKAR DALAM PEMBUATAN PETA IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN KEBAKARAN Bahan bakar diklasifikasikan dengan tujuan untuk memberikan kemudahan dalam mengidentifikasi potensi dan peluang terjadinya kebakaran dan merupakan suatu system yang menghubungkan antara aspek vegetatif atau ekologi dari suatu tutupan dengan perilaku api yang ditentukan oleh bahan bakar dan cuaca. Klasifikasi type bahan bakar dikelompokkan berdasarkan kemudahan dan keseringan terbakar serta tingkat kesulitan dalam pengendalian. Type bahan bakar dikelompokan atas 4 kelas type yaitu : 1. Areal terbuka Serasah dan ranting, alang alang, semak belukar tanah kering, semak belukar rawa 2. Tebas tebang Perladanganpertanian tanah kering, Perladangan pertanian rawa, Areal Penyiapan Lahan HTI - Tanah kering, Areal Penyiapan Lahan HTI rawa, Areal Penyiapan lahan Perkebunan - Tanah kering, Areal Penyiapan lahan Perkebunan rawa . 3. Hutan konversi Logged Over Area-Tanah kering, Logged Over Area rawa, Hutan terganggu tanah kering, Hutan terganggu rawa . 4. Hutan Alam Mangrove,Dataran rendah, Pegunungan, Gambut B. PEMETAAN BAHAN BAKARAN BERDASARKAN KLASIFIKASI BAHAN BAKAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT Jika kegiatan pemetaan klasifikasi bahan bakar untuk seluruh wilayah Indonesia dilakukan dengan hanya berpedoman pada hasil penelitian lapangan maka akan dibutuhkan waktu yang sangat lama, biaya yang sangan mahal dan dibutuhkan tenaga yang tidak sedikit, sehingga untuk mengatasi hal tersebut diperlukan cara yang cepat, mudah , murah dan dengan akurasi yang baik yaitu dengan menggunakan teknik pengenderaan jauh dengan menggunakan sumber data citra satelit. Klasifikasi bahan bakar dengan menggunakan citra satelit dapat dilakukan secara digital maupun secara visual on screen digitation. Klasifikasi secara visual dilakukan dengan mendeleniasi citra secara langsung pada screenlayer dengan memperhatikan beberapa faktor, seperti warna gelapterang, struktur kerapatan objek- rapattidak, tekstur kasarhalus, pola bentuk obyek, tempatsite Lokasi obyek- keringbasah, generalisasi obyek dan asosiasinya. Pembuatan Model Peta 1. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam pemetaan bahan bakaran ini yaitu Peta Penutupan Lahan skala 1 : 250.000 yang dibuat oleh Badan Planologi Kehutanan berdasarkan analisa Citra landsaat tahun 19992000 dan 2003, Peta Land system dar seri RePPProT regional Phyesical Planning Programme for Transmigration skala 1 : 250.000 dan Peta Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan skala 1 : 250.000 2. Tahapan kegiatan › · Pengumpulan data dan penyusunan klasifikasi › · Analisis spasial › · Penyesuaian klasifikasi berdasarkan sumber data › · Penyusunan model peta identifikasi kawasan hutan yang rawan terbakar berdasarkan bahan bakaran › · Pencetakan model peta identifikasi kawasan hutan yang rawan terbakar berdasarkan bahan bakaran PENYUSUNAN PETA DIGITAL IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN KEBAKARAN BERDASARKAN BAHAN BAKARAN HUTAN SEBAGAI LANGKAH AWAL DALAM 1 PENYUSUNAN BASIS DATA SPASIAL 2 Oleh : Ir. Watty Karyati Pembuatan Peta Indentifikasi daerah rawan kebakaran berdasarkan bahan bakaran hutan skala 1 : 250.000 yang telah dilaksanakan di Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan yaitu , Propinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan .

III. PENGGUNA INFORMASI SPBK

A. MANGGALA AGNI 2002 5 Propinsi 21 Daerah Operasi Daops ; 1.080 orang, 72 regu, 15 orang Sumut 3 Daops,Riau 5 Daops,Jambi 4 Daops Kalbar 5 Daops, Kalteng 4 Daops B. MANGGALA AGNI 2005 3 Propinsi 8 Daerah Operasi Sumsel 4 Daops, Kalsel 2 Daops,Sulsel 2 Daops

IV. PENUTUP

Pencegahan kebakaran hutan dan lahan merupakan kegiatan yang terpenting dalam pengendalilan kebakaran dan merupakan pekerjaan yang harus dilakukan secara terus menerus. Seringkali pencegahan kebakaran merupakan cara yang lebih ekonomis untuk mengurangi kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran tanpa harus menggunakan peralatan yang mahal. Tersedianya Peta Identifikasi Rawan Kebakaran berdasarkan kelas bahan bakar diharapkan dapat melengkapi basis data spasial kehutanan dalam penanggulangan bahaya kebakaran, dimana informasinya dapat digunakan oleh petugas di lapangan dalam melakukan deteksi dini terhadap kemungkinan kebakaran hutan lahan di Indonesia. 1 DALAM RANGKA PENERAPAN SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN SPBK HUTAN DAN LAHAN DI INDONESIA YANG MERUPAKAN IMPELEMENTASI KERJA SAMA DEPARTEMEN KEHUTANAN, DENGAN BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI DAN BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA TENTANG PENERAPAN TEKNOLOGI SISTEM PERINGKAT BAHAYA KEBAKARAN SPBK DALAM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI INDONESIA 2 Watty Karyati Fungsional Perencana Muda Badan Planologi Kehutanan GG PP AA NN LL OO ET IN E T IN Halaman 19 Sumber : Ditjen PHKA, 2006 GG PP LL AA NN LL OO B U L ET IN B U L E T IN Halaman 20 Tulisan ini disajikan untuk melihat berbagai kendala, arah kebijakan dan peluang pengembangan hasil hutan non kayu di Indonesia saat ini yang disarikan dari Hasil Kajian Para Pakar yang difasilitasi oleh Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan. Berdasarkan hasil kajian, para pakar telah merumuskan berbagai formulasi meliputi langkah-langkah yang perlu dilakukan baik untuk jangka panjang, menengah maupun jangka pendek dalam bentuk program dan kegiatan

I. PENDAHULUAN

Di dalam Rencana Strategis Departemen Kehutanan Tahun 20052009 PerMenHut P.04Menhut-II2005 yang memuat kebijakan pembangunan kehutanan selama 5 tahun ke depan secara eksplisit menetapkan komoditas HHNK sebagai salah satu komoditas yang perlu dikembangkan. Oleh karenanya dalam pelaksanaan Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan RPPK yang telah dicanangkan Presiden pada tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur Jawa Barat, salah satu kegiatan yang diusulkan oleh Departemen Kehutanan untuk dikembangkan adalah kegiatan pemanfataan Hasil Hutan Non-Kayu HHNK. Sejalan dengan hal tersebut di atas, diperlukan suatu kajian menyangkut prospek pengembangan produk HHNK di Indonesia sebagai masukan untuk menyusun kebijakan dalam rangka mendorong percepatan pengembangan produk HHNK di Indonesia dengan rotan sebagai produk unggulannya.

II. TUJUAN KAJIAN

Tujuan analisis sektor ini adalah mengidentifikasi situasi dan kondisi obyektif produk unggulan untuk dikaji lebih mendalam dan dicarikan rumusan kebijakan, program dan strategi pengembangannya sebagai masukan dalam penetapan kebijkan pengembangan produk HHNK.

III. HASIL ANALISIS A. Isu-isu Strategis Pengembangan HHNK

Nilai ekspor HHNK dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan, apabila pada tahun 2000 total ekspor HHNK ± USD 600 juta, pada tahun 2004 mencapai ± USD 700 juta. Dari nilai total ekspor sebesar itu, lebih dari 50 merupakan sumbangan dari nilai ekspor rotan, di mana pada tahun 2000 nilai ekspor rotan sebesar ± USD 350 juta dan meningkat menjadi ± USD 397 juta pada tahun 2004. Oleh karenanya, rotan merupakan komoditi utama dalam kelompok HHNK dan dijadikan focus kajian pada saat ini. Banyak persoalan yang melingkupi pengembangan rotan. Issue utama yang saat ini berkembang di kalangan pelaku usaha industri rotan adalah kontroversi direvisinya KepMenperindag 355MPPKep52004 tgl 27 Mei 2004 tentang Pengaturan Ekspor Rotan yang diinterpretasikan sebagai “larangan ekspor rotan” dengan PerMendag 12M-DAGPer62005 tgl 30 Juni 2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan yang diinterpretasikan sebagai “pemberian ijin untuk ekspor rotan”. Walaupun apabila dianalisis lebih mendalam kedua peraturan tersebut merupakan perbedaan interpretasi untuk aturan main yang sama. Kedua-duanya hanya mengijinkan ekspor rotan asalan dan setengah jadi jenis tamansega dan irit berdiameter 4 sd 16 mm, serta melarang ekspor rotan asalan dari jenis-jenis selain tamansega dan irit. Issue strategis lainnya meliputi issue yang berkenaan dengan pengembangan bahan baku, petani rotan dan industri rotan. Isu-isu strategis di sisi pengembangan bahan baku rotan supply side meliputi antara lain: 1 rotan belum dipandang sebagai komoditas tersendiri oleh Departemen Kehutanan; 2 belum maksimalnya peranan Departemen Kehutanan, 3 belum ada aturan tegas yang mengatur kejelasan tapak untuk pemanfaatan dan pemungutan HHBK; 4 belum mantapnya data kebutuhan dan persediaan rotan; 5 terdapat kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan lestari AAC rotan; 6 usaha budidaya rotan belum berkembang; 7 ada upaya-upaya masyarakat yang terkait rotan untuk mengadakan kerjasama pasokan bahan baku, tetapi belum diakomodasi dengan baik oleh pemerintah dan 8 kerjasama antara pelaku industri rotan ASMINDO, petanipengumpul dan pedagang rotan APPRI belum maksimal. Issue-issue strategis di sisi produsen bahan baku rotan petani pengumpul meliputi antara lain: 1 panjangnya rantai perdagangan; 2 petanipengumpul merupakan penerima marjin pemasaran yang paling rendah; 3 endowment petani masih rendah; 4 pada kondisi endowment petanipengumpul rendah maka kebijakan membuka atau menutup keran ekspor tidak akan memperbaiki nasib petanipengumpul; dan 5 usaha budidaya dan pemungutan rotan belum mampu menjadi usaha yang dapat diandalkan untuk menutupi kebutuhan hidup petanipengumpul. Sedangkan issue-issue strategis di sisi industri rotan demand side meliputi antara lain: 1 pasar alternative belum digarap dengan baik; 2 ancaman China sebagai pesaing dinilai sangat tinggi; 3 adanya ketertarikan pengusaha industri rotan untuk mengembangkan usaha budidaya rotan, namun tidak tahu bagaimana cara merealisasikan ketertarikan tersebut; 4 ekspor rotan olahan Indonesia cenderung meningkat; 5 pengaruh kebijakan “membuka keran ekspor” PerMendag 12M-DAGPer 62005 terhadap kinerja ekspor belum dapat dikemukakan; dan 6 industri rotan di Indonesia masih sangat tergantung order dari mitranya di luar negeri.

B. Analisis SWOT

Berdasarkan analisis SWOT, pada dasarnya industri rotan di Cirebon dan SemarangJepara memiliki kekuatan internal yang mampu menutupi kelemahan internalnya, namun ancaman eksternal lebih besar dari peluang-peluang eksternalnya. Oleh karenanya strategi yang paling tepat adalah strategi diversifikasi dengan memanfaatkan kekuatan internal yang dimiliki sambil memperbaiki kelemahan-kelemahan internalnya untuk meminimalkan ancaman sambil memperbesar peluang-peluang eksternalnya. Lima kekuatan internal utama yang ada pada industri rotan secara berurutan adalah: 1 mantapnya jaringan Intisari Hasil Analisis Sektor Para Pakar Oleh : Tedi Setiadi, GG PP AA NN LL OO ET IN E T IN Halaman 21

C. Akar Permasalahan dalam Pengembangan Rotan

Dari issue-issue strategis dan analisis SWOT tersebut di atas, selanjutnya ditemu-kenali akar masalah yang melingkupi pengembangan rotan di Indonesia, yaitu: 1 rotan masih dianggap sebagai produk inferior; 2 rendahnya kepastian hak kelola usaha pemungutan dan pemanfaatan rotan; 3 lemahnya informasi yang dimiliki pemerintah dalam hal potensi rotan alam dan tanaman dan kebutuhan bahan baku industri rotan; 4 inisiatif-inisiatif masyarakat petani, pengusaha, dan LSM untuk menjamin pasokan bahan baku belum diakomodir secara maksimal; 5 rendahnya endowment petani dan ketiadaan kemampuan petani untuk menentukan harga optimal sesuai korbanan sumberdaya ekonominya; 6 rendahnya stabilitas kebijakan, kepastian hukum dan standar biaya pelayanan; dan 7 kurangnya fasilitasi pemerintah dan asosiasi untuk peningkatan kemampuan intelijen pemasaran, membangun outlet dan promosi di luar negeri.

D. Alternatif Kebijakan dan program

Dari masalah yang teridentifikasi, kebijakan dan program yang perlu ditetapkan oleh Departemen Kehutanan dalam rangka mendorong pengembangan rotan adalah: 1. Pengarusutamaan rotan sebagai komoditi mandiri, dengan program-program: Jangka pendek: Memanfaatkan wacana revisi UU No 41 tahun 1999 dan PP 34 tahun 2002 untuk mereposisi rotan menjadi komoditi mandiri sejajar dengan kayu Jangka menengah : Memperbaiki struktur organisasi Dephut yang memungkinkan tumbuh kembangnya sinergi antara pembudidayaan rotan, pemanfaatanpemungutan, pengembangan industri, perdagangan dan pemasaran, dan Litbang. Jangka panjang : Pemantapan dan pengembangan peran komoditi rotan sebagai andalan ekonomi Indonesia

2. Penguatan kepastian hak kelola usaha pemungutan dan pemanfaatan rotan, dengan program-program ::

Jangka pendek: ¡· Memanfaatkan wacana revisi UU No 41 tahun 1999 dan PP 34 tahun 2002 untuk penguatan kepastian hak dan hukum pengusahaan rotan. ¡· Melakukan inventarisasi areal yang memiliki potensi rotan alami dan berpotensi untuk budidaya rotan tanaman termasuk jenis yang cocok dan bernilai tinggi. ¡· Membangun kelembagaan property rights, jurisdiction boundaries dan rules of representation pengusahaan rotan yang mendorong pada budidaya dan pengelolaan lestari tanpa menambah biaya transaksi. ¡· Sosialisasi dan promosi pengusahaan rotan lestari. Jangka menengah: ¡· Membangun kemitraan industri petani rotan. ¡· Pemantapan kelembagaan pengusahaan rotan yang mendorong pada budidaya dan pengelolaan lestari. Jangka panjang: ¡· Intensifikasi budidaya rotan ¡· Membuka keran ekspor seluas-luasnya 3. Penguatan informasi potensi rotan alam dan tanaman dan kebutuhan bahan baku industri rotan, dengan program- Program : Jangka pendek: ¡· Reaktualisasi data dari berbagai sumber ¡· Melaksanakan inventarisasi intensif untuk mengetahui potensi, jenis, sebaran dan mutu rotan. Jangka menengah: ¡· Membangun basis data yang akurat dan mudah diakses. ¡· Pemantapan data dan informasi. Jangka panjang: ¡· Membangun pusat data dan informasi rotan Indonesia. ¡· Menetapkan kebijakan yang terintegrasi dan holistik dalam pengembangan rotan, terutama yang berpihak kepada petani rotan. 4. Fasilitasi inisiatif-inisiatif masyarakat petani, pengusaha, dan LSM untuk menjamin pasokan bahan baku, dengan Program--program : Jangka pendek: ¡· Mendorong dan memfasilitasi terbentuknya Forum Bersama ASMINDO APPRI ¡· Menggali potensi-potensi kemitraan antara petani industri rotan Jangka menengah: ¡· Memantapkan kelembagaan Forum Bersama ASMINDO -APPRI. ¡· Memantapkan kelembagaan kemitraan petani industri rotan. GG PP LL AA NN LL OO B U L ET IN B U L E T IN Halaman 22 Memonitor dan mengevaluasi kinerja Forum Bersama dan kemitriaan petani industri rotan.

5. Peningkatan endowment petani, dengan program-program :