Stabilisasi Tanah Lempung dengan Menggunakan Semen Portland Tipe I dan Abu Vulkanik dengan Pengujian Kuat Tekan Bebas

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Bowles, J. E. 1991. Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis Tanah (Mekanika Tanah).

Jakarta: Erlangga.

BBC Indonesia. 2014. Vulkanolog: Erupsi Sinabung Belum Sebesar Merapi. (http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2014/01/140121gunung_sinabung, diakses 14 Januari 2016 pukul 16.20 WIB)

Das, B. M. 1991. Mekanika Tanah, Prinsip-prinsip Rekayasa Geoteknis, Jilid I.

Jakarta: Erlangga.

Das, B. M. 1995. Mekanika Tanah, Prinsip-prinsip Rekayasa Geoteknis, Jilid II.

Jakarta: Erlangga.

Fadilla, N. 2014. Pengujian Kuat Tekan Bebas (Unconfined Compression Test)Pada Stabilitas Tanah Lempung Dengan Campuran Semen dan Abu Sekam Padi. Program Studi Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara,

Medan.

Hardiyatmo, H. C. 1992. Mekanika Tanah I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.

Lambe, T. W. and Whitman, R. V. 1969. Soil Mechanics. Wiley. J and Son, Inc,

New York

Mu‟minah, R. N. 2014. Pengaruh Abu Vulkanik Terhadap Parameter Kuat Geser Tanah Lempung. Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia.

Nugraha, P. dan Antoni. 2007. Teknologi Beton. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Pakpahan, S. S. 2014. Kajian Efektifitas Abu Kayu Bakar Dan Semen Portland Tipe I Sebagai Bahan Stabilisasi Pada Tanah Lempung Dengan Uji Kuat Tekan Bebas. Program Studi Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara,


(2)

Prabowo, I. 2013. Pengaruh Abu Vulkanik Sebagai Bahan Stabilisasi Tanah untuk Lapis Subgrade. Diploma Teknik Sipil Sekolah Vokasi Universitas Gadjah

Mada. Yogyakarta.

Pranata, M. I. 2012. Studi dan Analisis Kuat Tekan Tanah Lempung Organik yang Distabilisasi dengan Abu Gunung Merapi. Jurnal Universitas Lampung.

Pusat Litbang Prasarana Transportasi. 2001. Panduan Geoteknik 1 : Proses Pembentukan dan Sifat-sifat Dasar Tanah Lunak. Jakarta.

Rostaman, T., Kasno, A., dan Anggria, L. 2011. Perbaikan Sifat Tanah dengan Dosis Abu Vulkanik Pada Tanah Oxisols. Badan Litbang Pertanian.

Soedarmo, G. D. dan Purnomo, S. J. E. 1997. Mekanika Tanah I, Yogyakarta:


(3)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 PROGRAM PENELITIAN

Metodologi penelitian yang penulis lakukan dalam penelitian ini menggunakan metode Eksperimen di Laboratorium Mekanika Tanah, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara. Penelitian yang dilakukan yaitu pada sampel tanah yang tidak diberikan bahan stabilisasi (tanah asli) dan pada tanah yang diberikan bahan stabilisasi kimiawi berupa penambahan Portland Cement (PC)

dan Abu Gunung Vulkanik (AGV) dengan berbagai variasi campuran.

3.2 PEKERJAAN PERSIAPAN

Adapun pekerjaan persiapan yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini yakni :

 Mencari bahan literatur yang berkaitan dengan tanah lempung yang distabilisasi dengan semen dan abu gunung vulkanik, serta literatur mengenai pengujian Kuat Tekan Bebas (Unconfined Compression Test).

 Penyediaan alat dan bahan penelitian - Persiapan Alat

Peneliti menentukan dan menyusun alat-alat yang akan digunakan selama penelitian, mulai dari penelitian tahap awal hingga penelitian tahap akhir. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat untuk Uji Kadar Air, Uji Berat Spesifik, Uji Batas-batas Konsistensi, Uji Pemadatan, Uji Kuat Tekan Bebas dan peralatan lainnya yang ada di Laboratorium


(4)

Mekanika Tanah, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara yang telah sesuai dengan standarisasi American Society for Testing Material (ASTM).

- Persiapan Bahan a. Tanah

Sampel tanah yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari PTPN II, Patumbak, Deli Serdang, Sumatera Utara. Pada penelitian ini digunakan sampel disturbed. Untuk pengambilan tanah dengan cara penggalian

menggunakan cangkul kemudian dimasukan ke dalam karung. Tanah yang diambil kemudian dikeringkan hingga kering udara dan ditumbuk dengan alat pemecah mekanis.

b. Semen

Semen yang dipakai adalah jenis Semen Portland Tipe I, dengan merk dagang Holcim (Portland Pozzolan Cement).

c. Abu vulkanik

Abu vulkanik yang dipakai adalah abu dari Gunung Sinabung yang diambil dari Desa Tiganderket, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Kemudian abu vulkanik disaring dengan menggunakan saringan no. 200.

3.3 PEMBUATAN BENDA UJI

Pembuatan benda uji dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan pengujian masing-masing dengan kadar semen dan abu yang tetap untuk semua pengujian.


(5)

3.3.1 Benda Uji untuk Pengujian Water Content

Pada pengujian Kadar Air dibuat sampel sebanyak 2 buah. Dimana tanah yang dipakai untuk pegujian adalah tanah yang langsung dari lapangan tanpa adanya penjemuran terlebih dahulu.

3.3.2 Benda Uji untuk Pengujian Berat Spesifik dan Analisa Saringan Pada pengujian Berat Spesifik tanah, sampel yang dibuat sebanyak 3 buah dan untuk pengujian Analisa Saringan dibuat sampel sebanyak 1 buah.

3.3.3 Benda Uji untuk Pengujian Batas-batas Atterberg

Tanah yang dipakai adalah tanah yang telah disaring dengan saringan No. 40. Kemudian tanah tersebut ditimbang sebesar 500 gr untuk satu benda uji dan dimasukan ke dalam plastik. Setelah itu, tanah tersebut dicampur dengan semen dan abu vulkanik. Benda uji yang dibuat untuk pengujian Batas-batas Atterberg

adalah sebanyak 15 buah.

3.3.4 Benda Uji untuk Pengujian Compaction

Untuk pengujian ini tanah disaring dengan saringan No. 4 ditimbang sebesar 2 kg untuk satu benda uji. Kemudian sama halnya dengan pengujian Atterberg

tanah dimasukan ke dalam plastik dan dicampur dengan semen, abu vulkanik dan air. Lalu dilakukan pemeraman selama 14 hari. Untuk setiap variasi campuran dibutuhkan 5 benda uji dikarenakan penambahan air yang berbeda-beda yang telah ditentukan diawal sebesar 3%, 6%, 9%, 12% dan 15% . Sehingga total benda uji pada pengujian ini adalah 75 buah.


(6)

3.3.5 Benda Uji untuk Pengujian Unconfined Compression Test

Tanah disaring dengan saringan No. 4 ditimbang sebesar 2 kg untuk satu benda uji. Kemudian tanah dimasukan ke dalam plastik dan dicampur dengan semen, abu vulkanik dan air. Dilakukan pemeraman selama 14 hari sebelum dilakukan pengujian. Pada pengujian ini benda uji yang dibuat sebanyak 15 buah.

3.4 PELAKSANAAN PENGUJIAN

Pengujian yang dilakukan dibagi menjadi 2 bagian yaitu pengujian untuk tanah dan pengujian untuk abu vulkanik, adapun pengujian-pengujian tersebut adalah sebagai berikut :

3.4.1 Tanah 3.4.1.1 Tanah Asli

Adapun pengujian untuk tanah asli meliputi : - Uji Kadar Air

- Uji Berat Spesifik

- Uji Batas-batas Atterberg - Uji Analisa Saringan - Uji Pemadatan

- Uji Kuat Tekan Bebas

3.4.1.2 Tanah yang Telah Distabilisasi

Adapun pengujian untuk tanah yang telah dicampur dengan semen dan abu vulkanik meliputi :


(7)

- Uji Batas-batas Atterberg - Uji Pemadatan

- Uji Kuat Tekan Bebas

3.4.2 Abu Vulkanik

Untuk pengujian abu vulkanik yaitu terdiri dari : - Uji Berat Spesifik

- Uji Analisa Saringan - Uji Batas-batas Atterberg

3.5 ANALISIS DATA LABORATORIUM

Setelah seluruh data-data diperoleh baik dari pengujian sifat fisik dan sifat mekanis, kemudian dilakukan pengumpulan data. Setelah data dikumpulkan, lalu dilakukan analisa data. Semua hasil yang didapat dari pelaksanaan penelitian akan ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik hubungan serta penjelasan-penjelasan.


(8)

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian Mulai

Persiapan Studi literatur

Penyediaan bahan

Tanah Semen (PC) Abu Gunung Vulkanik (AGV)

1. Uji Kadar Air (2 Sampel) 2. Uji Berat Spesifik (3 Sampel) 3. Uji Atterberg (15 Sampel)

4. Uji Analisa Saringan (1 Sampel) 5. Uji Compaction (5 Sampel)

6. Uji Kuat Tekan Bebas (1 Sampel)

Pembuatan Benda Uji 1. Kombinasi campuran

4%PC 4% PC + 6% AGV 4% PC + 11% AGV 4% PC + 2% AGV 4% PC + 7% AGV 4% PC + 12% AGV 4% PC + 3% AGV 4% PC + 8% AGV 4% PC + 13% AGV 4% PC + 4% AGV 4% PC + 9% AGV 4% PC + 14% AGV 4% PC + 5% AGV 4% PC + 10% AGV

2. Lakukan pemeraman (curing time) 14 hari.

Uji Compaction (70 Sampel) Uji Kuat Tekan Bebas (14 Sampel)

Analisis Data

Kesimpulan dan Saran

Selesai

1. Uji Berat Spesifik (3 Sampel) 2. Uji Analisa Saringan (1 Sampel) 3. Uji Atterberg (1 Sampel)


(9)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 PENDAHULUAN

Pada bab ini akan menjelaskan mengenai hasil pengujian dan pembahasan penelitian dengan campuran semen 4% dan abu gunung vulkanik yang bervariasi antara 2% sampai 14%.

4.2 PENGUJIAN SIFAT FISIK 4.2.1 Pengujian Sifat Fisik Tanah Asli

Adapun hasil uji sifat fisik tanah asli ditunjukkan pada Tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Data Uji Sifat Fisik Tanah Asli

No. Pengujian Hasil

1. Kadar Air (Water Content) 17,89 %

2. Berat Spesifik (Specific Gravity) 2,65

3. Batas Cair (Liquid Limit) 45,49 %

4. Batas Plastis (Plastic Limit) 15,19 %

5. Indeks Plastisitas (Plasticity Index) 30,30 %

6. Persen Lolos Saringan No 200 52,28 %

Dari data di atas, berdasarkan sistem klasifikasi AASHTO dimana diperoleh data berupa persentase tanah lolos ayakan no. 200 sebesar 52,28% dan nilai Batas Cair (Liquid Limit) sebesar 45,49% maka sampel tanah memenuhi persyaratan


(10)

41 dan Indeks Plastisitas (Plasticity Index) > 11, sehingga tanah dapat

diklasifikasikan dalam jenis tanah A-7-6.

Menurut sistem klasifikasi USCS, dimana diperoleh data berupa nilai Indeks Plastisitas sebesar 30,30% dan nilai Batas Cair (Liquid Limit) sebesar 45,49%

sehingga dilakukan plot pada grafik penentuan klasifikasi tanah yaitu yang ditunjukkan pada Gambar 4.1. Dari hasil plot diperoleh tanah termasuk dalam kelompok CL yaitu lempung anorganik dengan plastisitas rendah sampai sedang.


(11)

Gambar 4.2 Grafik Analisa Saringan Tanah Asli

Gambar 4.3 Grafik Batas Cair (Liquid Limit), Atterberg Limit

4.2.2 Pengujian Sifat Fisik Abu Gunung Vulkanik

Untuk hasil uji sifat fisik dari abu gunung vulkanik ditunjukkan pada Tabel 4.2 berikut.

20 30 40 50 60 70

1 10 100

K

ad

ar

Ai

r (

%

)


(12)

Tabel 4.2 Data Uji Sifat Fisik Abu Gunung Vulkanik

No. Pengujian Hasil

1. Berat Spesifik (Specific Gravity) 2,62

2. Batas Cair (Liquid Limit) Non Plastis

3. Batas Plastis (Plastic Limit) Non Plastis

4. Indeks Plastisitas (Plasticity Index) Non Plastis

5. Persen Lolos Saringan No 200 11,40 %

Gambar 4.4 Grafik Analisa Saringan Abu Gunung Vulkanik

4.2.3 Pengujian Sifat Fisik Tanah dengan Bahan Stabilisator

Hasil pengujian Batas-batas Atterberg tanah yang telah dicampur dengan

bahan semen dan abu gunung vulkanik ditunjukkan pada Tabel 4.3. Grafik hubungan antara nilai Batas Cair (Liquid Limit) dengan variasi campuran


(13)

dengan variasi campuran ditunjukkan pada Gambar 4.6, dan hubungan antara nilai Indeks Plastisitas (Plasticity Index) dengan variasi campuran ditunjukkan pada

Gambar 4.7.

Tabel 4.3 Data Hasil Uji Atterberg Limit

Sampel Batas - Batas Atterberg

LL PL PI

Tanah Asli 45,49 15,19 30,30 4% Portland Cement 45,22 14,69 30,53 4% PC + 2% AGV 42,95 15,24 27,71 4% PC + 3% AGV 41,25 15,54 25,71 4% PC + 4% AGV 37,72 16,09 21,63 4% PC + 5% AGV 36,81 16,23 20,58 4% PC + 6% AGV 34,21 16,52 17,69 4% PC + 7% AGV 32,65 17,39 15,26 4% PC + 8% AGV 32,02 17,77 14,25 4% PC + 9% AGV 31,68 18,20 13,48 4% PC + 10% AGV 30,13 18,72 11,41 4% PC + 11% AGV 29,58 19,20 10,38 4% PC + 12% AGV 29,55 19,30 10,25 4% PC + 13% AGV 29,16 19,43 9,73 4% PC + 14% AGV 29,11 19,71 9,40


(14)

4.2.3.1 Batas Cair (Liquid Limit)

Gambar 4.5 Grafik Hubungan Antara Nilai Batas Cair dengan Variasi Campuran PC dan AGV

Gambar 4.5 tersebut menunjukkan bahwa Batas Cair akibat penambahan bahan stabilisasi semen dan abu gunung vulkanik mengalami penurunan. Semakin besar persentase abu gunung vulkanik, maka semakin kecil batas cairnya. Pada tanah asli Batas Cair mencapai 45,49 % sedangkan nilai Batas Cair terendah pada penambahan 4% semen dan abu gunung vulkanik 14% sebesar 29,11%. Hal tersebut disebabkan akibat tanah mengalami proses sementasi oleh semen dan abu gunung vulkanik sehingga tanah menjadi butiran yang lebih besar yang menjadikan gaya tarik menarik antar partikel dalam tanah menurun.

25 30 35 40 45 50

0 2 4 6 8 10 12 14

N

il

ai

B

at

as

C

ai

r

4% PC + % Abu Gunung Vulkanik


(15)

4.2.3.2 Batas Plastis (Plastic Limit)

Gambar 4.6 Grafik Hubungan Antara Nilai Batas Plastis dengan Variasi Campuran PC dan AGV

Pada Gambar 4.6 tersebut dapat dilihat bahwa terjadinya peningkatan nilai Batas Plastis akibat penambahan bahan stabilisasi. Nilai Batas Plastis meningkat seiring dengan pertambahan kadar abu gunung vulkanik yang ditambahkan. Untuk tanah asli Batas Plastisnya yaitu 15,19% dan terus meningkat sampai variasi campuran 4% PC + 14% AGV nilai Batas Plastis mencapai 19,71%.

12 14 16 18 20 22

0 2 4 6 8 10 12 14

N

il

ai

B

at

as

P

last

is

4% PC + % Abu Gunung Vulkanik


(16)

4.2.3.3 Indeks Plastisitas (Plasticity Index)

Gambar 4.7 Grafik Hubungan Antara Nilai Indeks Plastisitas dengan Variasi Campuran PC dan AGV

Gambar 4.7 memperlihatkan bahwa dengan penambahan bahan stabilisasi maka nilai Indeks Plastisitas akan menurun. Penurunan nilai Indeks Plastisitas tersebut dapat mengurangi potensi pengembangan dan penyusutan dari tanah. Hal ini disebabkan oleh adanya proses hidrasi dari semen yang ditambahkan ke tanah. Proses ini memperkuat ikatan antara partikel-partikel tanah, sehingga terbentuk butiran yang lebih keras dan stabil. Terisinya pori-pori tanah memperkecil terjadinya rembesan pada campuran tanah-semen tersebut yang berdampak pada berkurangnya potensi kembang susut.

Ditambah dengan bahan stabilisasi berupa abu gunung vulkanik. Silika dan Alumina dari abu gunung vulkanik bercampur dengan air membentuk pasta yang mengikat partikel lempung dan menutupi pori-pori tanah. Rongga-rongga pori yang dikelilingi bahan sementasi yang lebih sulit ditembus air akan membuat

0 5 10 15 20 25 30 35 40

0 2 4 6 8 10 12 14

N il ai Indeks P last isi tas

4% PC + % Abu Gunung Vulkanik


(17)

campuran tanah-abu gunung vulkanik lebih tahan terhadap penyerapan air sehingga menurunkan sifat plastisitasnya.

Dari Gambar 4.7 dapat dilihat penurunan Indeks Plastisitas dari tanah asli yang awalnya dengan nilainya sebesar 30,30% kemudian turun sampai menjadi 9,40% pada penambahan 4% semen dan abu gunung vulkanik sebesar 14%.

4.3 Pengujian Sifat Mekanis Tanah

4.3.1 Pengujian Pemadatan Tanah Asli (Compaction)

Dalam pengujian ini diperoleh hubungan antara Kadar Air Optimum dan Berat Isi Kering Maksimum. Peneliti menggunakan metode pengujian dengan uji pemadatan Proctor Standard. Dimana alat dan bahan yang digunakan

diantaranya:

Mould cetakan Ø 10,2 cm, diameter dalam Ø 10,16 cm.  Berat penumbuk 2,5 kg dengan tinggi jatuh 30 cm.

 Sampel tanah lolos saringan no 4.

Hasil uji pemadatan Proctor Standard ditampilkan pada Tabel 4.4 dan

kurva pemadatan ditampilkan pada Gambar 4.8.

Tabel 4.4 Data Uji Pemadatan Tanah Asli

No Hasil Pengujian Nilai

1 Kadar Air Optimum 20,73 %


(18)

Gambar 4.8 Kurva Kepadatan Tanah Asli

4.3.2 Pengujian Pemadatan Tanah (Compaction) dengan Bahan Stabilisator Hasil pengujian sifat mekanis tanah yang telah dicampur dengan bahan stabilisator berupa semen dan abu gunung vulkanik ditunjukkan pada Tabel 4.5 dan hubungan antara nilai Berat Isi Kering dengan variasi campuran ditunjukkan pada Gambar 4.9 serta hubungan Kadar Air Optimum dengan variasi campuran ditunjukkan pada Gambar 4.10.

0 0,5 1 1,5 2

17 19 21 23 25

γd

(g

r/c

m

3)

w (%)

Zero Air Void Compaction Curve wopt

ZAV Line


(19)

Tabel 4.5 Data Hasil Uji Compaction

Sampel γd maks

(gr/cm³) w(%) opt

Tanah Asli 1,28 20,73

4% PC 1,31 20,22

4% PC + 2% AGV 1,38 19,84

4% PC + 3% AGV 1,41 19,58

4% PC + 4% AGV 1,50 18,45

4% PC + 5% AGV 1,58 17,80

4% PC + 6% AGV 1,55 18,07

4% PC + 7% AGV 1,49 18,59

4% PC + 8% AGV 1,47 18,75

4% PC + 9% AGV 1,43 19,64

4% PC + 10% AGV 1,41 19,73

4% PC + 11% AGV 1,40 19,97

4% PC + 12% AGV 1,35 20,26

4% PC + 13% AGV 1,35 20,27

4% PC + 14% AGV 1,34 20,35

4.3.2.1Berat Isi Kering Maksimum (γd maks)

Dari pengujian pemadatan tanah yang telah dilakukan pada tanah asli diperoleh nilai Berat Isi Kering tanah sebesar 1,28 gr/cm³. Gambar 4.9 menunjukkan bahwa nilai Berat Isi Kering semakin meningkat jika ditambahkan abu gunung vulkanik dan yang paling besar ketika tanah ditambahan bahan stabilisasi 4% Portland Cement (PC) + 5% Abu Gunung Vulkanik (AGV) yakni

sebesar 1,58 gr/cm³ dan mengalami penurunan ketika penambahan kadar abu gunung vulkanik selanjutnya.


(20)

Gambar 4.9 Grafik Hubungan Antara Berat Isi Kering Maksimum (γd maks) Tanah

dengan Variasi Campuran

4.3.2.2Kadar Air Optimum (wopt )

Hasil Kadar Air Optimum dari percobaan yang dilakukan diketahui bahwa nilai Kadar Air Optimum tanah asli yaitu 20,73% dan selanjutnya mengalami penurunan. Gambar 4.10 menunjukkan nilai Kadar Air Optimum paling kecil pada saat penambahan 4% Portland Cement (PC) + 5% Abu Gunung Vulkanik

(AGV) yakni sebesar 17,80% dan mengalami peningkatan ketika penambahan kadar abu gunung vulkanik dilakukan.

1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0

0 2 4 6 8 10 12 14

γ

d m

ax

(

gr/

cm

3)

4% PC + % Abu Gunung Vulkanik


(21)

Gambar 4.10 Grafik Hubungan Antara Kadar Air Optimum Tanah (wopt ) dengan

Variasi Campuran

4.3.3 Pengujian Kuat Tekan Bebas (Unconfined Compression Test)

Dalam pengujian ini akan diperoleh hubungan antara nilai Kuat Tekan Bebas tanah (qu) pada tanah asli dan tanah remoulded (buatan) serta nilai Kuat

Tekan Bebas tanah (qu) pada tiap variasi tanah yang telah dicampur dengan bahan

stabilisasi semen dan abu gunung vulkanik dengan waktu pemeraman selama 14 hari. Selanjutnya dari hasil nilai qu diperoleh nilai Kohesi (cu) yaitu sebesar½ qu.

Hasil pengujian Kuat Tekan Bebas yang dilakukan pada setiap variasi campuran ditunjukkan pada Tabel 4.6. Pada Gambar 4.11 ditunjukkan perbandingan nilai Kuat Tekan tanah (qu) antara tanah asli dengan tanah

remoulded dan pada Gambar 4.12 ditunjukkan nilai Kuat Tekan tanah (qu) yang

diperoleh di setiap variasi campuran. 14

16 18 20 22 24

0 2 4 6 8 10 12 14

w

opt

(%

)

4% PC + % Abu Gunung Vulkanik


(22)

Tabel 4.6 Data Hasil Uji Kuat Tekan Bebas 4% PC dengan Berbagai Variasi Penambahan AGV

Sampel qu(kg/cm²) cu (kg/cm²)

Tanah Asli 1,40 0,70

Tanah Remoulded 0,50 0,25

4% PC 1,75 0,87

4% PC + 2% AGV 2,13 1,06

4% PC + 3% AGV 2,24 1,12

4% PC + 4% AGV 2,62 1,31

4% PC + 5% AGV 3,05 1,52

4% PC + 6% AGV 2,88 1,44

4% PC + 7% AGV 2,86 1,43

4% PC + 8% AGV 2,76 1,38

4% PC + 9% AGV 2,70 1,35

4% PC + 10% AGV 2,53 1,27

4% PC + 11% AGV 2,51 1,25

4% PC + 12% AGV 2,26 1,13

4% PC + 13% AGV 2,24 1,12

4% PC + 14% AGV 2,10 1,05

Dari hasil pengujian diperoleh nilai kadar abu gunung vulkanik sebesar 5% sebagai kadar abu maksimal. Pada Tabel 4.7 menampilkan perbandingan antara Kuat Tekan tanah asli dan tanah remoulded.


(23)

Tabel 4.7 Perbandingan Kuat Tekan Tanah Asli dan Tanah Remoulded

Strain (%) Tanah Asli

qu (kg/cm²)

Tanah Remoulded qu (kg/cm²)

0,5 0,23 0,14

1 0,42 0,23

2 0.65 0,32

3 1,23 0,37

4 1,40 0,50

5 1,12 0,31

6 0,53 0,27

7 0,35 0,18

Gambar 4.11 Grafik Hubungan Antara Nilai Kuat Tekan Tanah (qu) dengan

Regangan (Strain) yang Diberikan Pada Sampel Tanah Asli dan Remoulded

Nilai Kuat Tekan Tanah pada tanah asli adalah sebesar 1,40 kg/cm², sedangkan pada tanah remoulded diperoleh sebesar 0,50 kg/cm². Terjadi

penurunan yang cukup besar seperti terlihat pada Gambar 4.11. Penurunan ini diakibatkan oleh perlakuan berupa kerusakan struktur tanah yang diterima oleh

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6

0 2 4 6 8

qu (kg /cm²) Strain (%) Tanah Asli Remoulded


(24)

tanah buatan (remoulded). Sifat berkurangnya kekuatan tanah akibat adanya

kerusakan struktural tanah tersebut disebut kesensitifan (sensitivity). Nilai

Sensitifitas inilah yang akan menentukan klasifikasi tanah menurut sensitifitasnya.

Gambar 4.12 Grafik Kuat Tekan 4% PC dengan Berbagai Variasi Penambahan AGV

Berdasarkan Gambar 4.12 tersebut didapat nilai Kuat Tekan tanah asli (qu)

sebesar 1,40 kg/cm². Kemudian dengan adanya penambahan abu gunung vulkanik nilai Kuat Tekan semakin meningkat tetapi hanya sampai variasi campuran 4% PC + 5% AGV, pada variasi campuran tersebutlah nilai Kuat Tekan tanah yang paling maksimum yaitu sebesar 3,05 kg/cm². Selanjutnya terjadi penurunan nilai Kuat Tekan pada penambahan abu gunung vulkanik 6% - 14%.

Dengan demikian, semakin banyak penambahan semen dan abu gunung vulkanik akan mengakibatkan semakin kecil nilai Kuat Tekan tanah. Hal ini dikarenakan penambahan kadar abu gunung vulkanik yang terlalu banyak pada tanah akan memperkecil lekatan antara butiran tanah dan air, sehingga tanah menjadi mudah pecah ketika diberi tekanan vertikal.

0 1 2 3 4 5

0 2 4 6 8 10 12 14

qu

(kg

/cm

2 )

Persentase AGV

Kuat Tekan 4% PC

Tanah Asli


(25)

Berikut adalah grafik dari nilai Kuat Tekan untuk ketiga kadar semen yaitu untuk 2% PC, 3% PC dan 4% PC dengan variasi penambahan AGV mulai dari 2% sampai 14%. Data tersebut diambil dari penelitian Lini Marsela dan Michael Napitupulu.

Gambar 4.13 Grafik Nilai Kuat Tekan 2% PC, 3%PC dan 4% PC dengan Berbagai Variasi Penambahan AGV

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa dengan penambahan semen sebesar 4% diperoleh nilai Kuat Tekan paling maksimal dibandingkan dengan penambahan 2% PC dan 3% PC.

0 1 2 3 4 5

0 2 4 6 8 10 12 14

qu

(kg

/cm

2 )

Persentase AGV

Tanah Asli

Kuat Tekan 2% PC

Kuat Tekan 3% PC

Kuat Tekan 4% PC


(26)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh bahan stabilisator semen portland tipe I dan abu vulkanik terhadap tanah lempung dengan kadar campuran yang telah ditetapkan dan masa peram (curing time)

selama 14 hari, dapat disimpulkan bahwa :

1. Berdasarkan klasifikasi USCS, sampel tanah tersebut termasuk dalam jenis CL (Clay - Low Plasticity) yaitu lempung anorganik dengan plastisitas

rendah sampai sedang.

2. Berdasarkan klasifikasi AASHTO (American Association of State Highway Transportation Official), sampel tanah tersebut termasuk dalam jenis A-7-6.

3. Dari hasil uji Water Content didapat bahwa nilai Kadar Air tanah asli

sebesar 17,89%.

4. Dari hasil uji Specific Gravity didapat bahwa nilai Berat Spesifik tanah yaitu

sebesar 2,65.

5. Pada pengujian sifat fisik abu gunung vulkanik diperoleh Berat Spesifik sebesar 2,62.

6. Dari uji Atterberg pada tanah asli diperoleh nilai Batas Cair sebesar 45,49%

dan Indeks Plastisitas sebesar 30,30%. Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan diketahui bahwa dengan penambahan 4% PC + 14% AGV, memiliki Indeks Plastisitas yang paling rendah yakni 9,40%. Dengan nilai Batas Cair sebesar 29,11%.


(27)

7. Dari hasil uji Proctor Standard menghasilkan nilai Kadar Air Optimum

pada tanah asli sebesar 20,73% dan Berat Isi Kering Maksimum sebesar 1,28 gr/cm³, sedangkan nilai Berat Isi Kering yang paling maksimum dari semua campuran yaitu pada variasi campuran 4% PC + 5% AGV dimana sebesar 1,58 gr/cm³ dan Kadar Air Optimumnya yaitu 17,80% dengan waktu pemeraman selama 14 hari.

8. Dari uji Unconfined Compression Test yang dilakukan pada tanah asli

diperoleh nilai Kuat Tekan Tanah (qu) sebesar 1,40 kg/cm², sedangkan pada

tanah remoulded diperoleh nilai Kuat Tekan Tanah (qu) sebesar 0,50 kg/cm².

9. Dari hasil penelitian yang dilakukan penambahan 4% PC + 5% AGV memiliki nilai Kuat Tekan Tanah (qu) yang paling besar yakni 3,05 kg/cm².

10. Dari hasil penelitian Lini Marsela didapat nilai Kuat Tekan tanah (qu) yang

paling besar pada variasi campuran 2% PC + 8% AGV yaitu sebesar 2,88 kg/cm², sedangkan untuk penelitian Michael Napitupulu diperoleh nilai Kuat Tekan (qu) yang paling besar yaitu pada variasi campuran 3% PC + 7%

AGV dimana nilainya sebesar 2,98 kg/cm².

11. Dapat disimpulkan bahwa Abu Gunung Vulkanik memiliki sifat Non-Plastis. Dilihat dari hasil semua pengujian setelah dicampurkan abu tersebut ke tanah lempung, karakter fisis dan kuat dukung tanah menjadi lebih baik. 12. Setelah diperoleh variasi campuran yang paling optimum, selanjutnya

terjadi penurunan dalam nilai Kuat Tekan. Hal ini dikarenakan terlalu besarnya penambahan kadar abu gunung vulkanik pada tanah, sehingga mengakibatkan lekatan antara butiran tanah dan air semakin kecil, sehingga tanah menjadi mudah pecah ketika diberi tekanan vertikal.


(28)

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh bahan stabilisator semen dan abu gunung vulkanik terhadap tanah lempung, penulis memberikan saran bahwa:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan variasi lama pemeraman yang berbeda sehingga dapat dilakukan perbandingan nilai antar variasi untuk setiap bahan pencampur.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai nilai ekonomis penggunaan abu gunung vulkanik sebagai bahan stabilisator (stabilizing agents) pada

tanah lempung jika dikombinasikan dengan bahan pencampur semen.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pengaruh penambahan semen dan abu vulkanik pada jenis tanah yang lain.


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TINJAUAN UMUM 2.1.1 Tanah

Tanah penyusun kerak bumi secara garis besar menjadi dua kategori yaitu tanah (soil) dan batuan (rock). Batuan merupakan agregat mineral yang satu sama

lainnya diikat oleh gaya-gaya kohesif yang permanen. Sedangkan tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong di antara partikel-partikel padat tersebut (Das,1991).

Berdasarkan sifat lekatnya tanah dapat dibedakan menjadi dua yaitu, tanah tak berkohesif dan tanah berkohesif. Tanah tak berkohesif adalah tanah yang tidak mempunyai atau sedikit sekali lekatan antara butir butirnya seperti tanah berpasir. Tanah kohesif adalah tanah yang mempunyai sifat lekatan antara butir-butirnya, contohnya tanah lempung.

Tanah merupakan komposisi dari tiga fase yang berbeda. Jika tanah dalam keadaan jenuh sebagian maka terdiri dari tiga fase yaitu partikel padat, pori-pori udara dan air pori. Fase-fase tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram fase seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1 berikut.


(30)

( a ) ( b )

Gambar 2.1 (a) Elemen Tanah Dalam Keadaan Asli; (b) Tiga Fase Elemen Tanah (Lambe dan Whitman, 1969)

Dari gambar tersebut diperoleh persamaan hubungan antara volume - berat dari tanah berikut:

(2.1)

(2.2)

Dimana :

: volume butiran padat (cm3) : volume pori (cm3)

: volume air di dalam pori (cm3) : volume udara di dalam pori (cm3)

Apabila udara dianggap tidak mempunyai berat, maka berat total dari contoh tanah dapat dinyatakan dengan :

(2.3)

Dimana:

: berat butiran padat (gr) : berat air (gr)


(31)

2.1.2 Sifat-Sifat Fisik Tanah 2.1.2.1 Angka Pori (Void Ratio)

Angka Pori atau Void Ratio (e) adalah perbandingan antara volume rongga

( ) dengan volume butiran ( ) dalam tanah. Angka Pori dinyatakan dalam bentuk desimal. Berikut adalah rumus dari Angka Pori:

(2.4)

Dimana:

: angka pori

: volume rongga (cm3) : volume butiran (cm3)

2.1.2.2 Porositas (Porosity)

Porositas atau Porosity (n) diartikan sebagai persentase perbandingan antara

volume rongga ( ) dengan volume total ( ) dalam tanah. Porositas biasanya dikalikan dengan 100% dengan demikian Porositas dapat dinyatakan dalam bentuk persen, atau :

(2.5)

Dimana:

: porositas (%)

: volume rongga (cm3) : volume total (cm3)


(32)

Hubungan antara Angka Pori dan Porositas adalah :

(2.6)

(2.7)

2.1.2.3 Derajat Kejenuhan (Degree of Saturation)

Derajat Kejenuhan atau Degree of Saturation (S) adalah perbandingan

antara volume air ( ) dengan volume total rongga pori tanah ( ). S = 0 bila tanah dalam keadaan kering dan sebaliknya bila tanah dalam keadaan jenuh, maka = 100% atau 1. Derajat Kejenuhan suatu tanah ( ) dapat dinyatakan dalam persamaan:

(2.8)

Dimana:

: derajat kejenuhan (%) : berat volume air (cm3)

: volume total rongga pori tanah (cm3)

Tabel 2.1 Derajat Kejenuhan dan Kondisi Tanah Keadaan Tanah Derajat Kejenuhan

Tanah kering 0

Tanah agak lembab > 0 - 0,25 Tanah lembab 0,26 - 0,50 Tanah sangat lembab 0,51 - 0,75 Tanah basah 0,76 - 0,99

Tanah jenuh 1


(33)

2.1.2.4 Kadar Air (Moisture Water Content)

Kadar Air atau Water Content (w) adalah persentase perbandingan berat air

( ) dengan berat butiran ( ) dalam tanah, atau :

(2.9)

Dimana:

(%)

(gr)

(gr)

2.1.2.5 Berat Volume (Unit weight)

Berat Volume (γ adalah berat tanah per satuan volume.

γ (2.10)

Para ahli tanah kadang-kadang menyebut Berat Volume (Unit Weight)

sebagai Berat Volume Basah (Moist Unit Weight).

Dimana:

: berat volume basah (gr/cm3) : berat butiran tanah (gr) : volume total tanah (cm3)

2.1.2.6 Berat Volume Kering (Dry Unit Weight)

Berat Volume Kering ( adalah perbandingan antara berat butiran tanah ( ) dengan volume total tanah ( ). Berat Volume Kering ( dapat dinyatakan dalam persamaan :


(34)

(2.11) Dimana:

: berat volume kering (gr/cm3) : berat butiran tanah (gr) : volume total tanah (cm3)

2.1.2.7 Berat Volume Butiran Padat (Soil Volume Weight)

Berat Volume Butiran Padat ( ) adalah perbandingan antara berat butiran tanah ( ) dengan volume butiran tanah padat ( ). Berat Volume Butiran Padat ( ) dapat dinyatakan dalam persamaan :

(2.12)

Dimana:

: berat volume padat (gr/cm3) : berat butiran tanah (gr) : volume total padat (cm3)

2.1.2.8 Berat Jenis (Specific Gravity)

Berat Jenis atau Specific Gravity (Gs) didefinisikan sebagai perbandingan

antara berat volume butiran tanah ( ) dengan berat volume air ( ) dengan isi yang sama pada temperatur tertentu. Berat Jenis ( ) dapat dinyatakan dalam persamaan:


(35)

Dimana:

: berat volume padat (gr/cm3) : berat volume air(gr/cm3)

: berat jenis tanah

Batas-batas besaran Berat Jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Berat Jenis Tanah Macam Tanah Berat Jenis

Kerikil 2,65 - 2,68 Pasir 2,65 - 2,68 Lanau tak organik 2,62 - 2,68 Lempung organik 2,58 - 2,65 Lempung tak organik 2,68 - 2,75

Humus 1,37

Gambut 1,25 - 1,80 Sumber : Hardiyatmo, 1992

Hasil-hasil penentuan Berat Jenis dari sebagian besar tanah menunjukan bahwa nilai-nilai dari 2,6 sampai 2,75 merupakan nilai yang paling banyak terdapat.

Nilai-nilai Porositas, Angka Pori dan Berat Volume pada keadaan asli di alam dari berbagai jenis tanah diberikan oleh Terzaghi seperti terlihat pada Tabel 2.3 berikut.


(36)

Tabel 2.3 Nilai n, e, w,d dan b Untuk Tanah Keadaan Asli Lapangan.

Macam Tanah (%) n E

w

(%) (gr/cmd 3)

b

(gr/cm3) Pasir seragam, tidak padat

Pasir seragam, padat

Pasir berbutir campuran, tidak padat Pasir berbutir campuran, padat Lempung lunak sedikit organis Lempung lunak sangat organis

46 34 40 30 66 75 0,85 0,51 0,67 0,43 1,90 3,0 32 19 25 16 70 110 1,43 1,75 1,59 1,86 − − 1,89 2,09 1,99 2,16 1,58 1,43 Sumber : Das,1991

2.1.2.9 Batas-batas Atterberg (Atterberg Limit)

Atterberg adalah seorang peneliti tanah berkebangsaan Swedia yang telah menemukan batas-batas Atterberg pada tahun 1911. Atterberg mengusulkan ada

lima keadaan konsistensi tanah. Batas-batas konsistensi tanah ini didasarkan pada kadar air, yaitu Batas Cair (Liquid Limit), Batas Plastis (Plastic Limit), Batas

Susut (Shrinkage Limit), Batas Lengket (Sticky Limit) dan Batas Kohesi

(Cohesion Limit). Tetapi pada umumnya Batas Lengket dan Batas Kohesi tidak

digunakan (Bowles, 1991). Batas-batas konsistensi dapat dilihat pada Gambar 2.2.


(37)

2.1.2.9.1 Batas Cair (Liquid Limit)

Batas Cair (Liquid Limit) adalah kadar air tanah ketika tanah berada diantara

keadaan cair dan keadaan plastis, yaitu pada batas atas dari daerah plastis. Batas Cair ditentukan dari pengujian Cassagrande (1948), yakni dengan meletakkan

tanah ke cawan dan dibentuk sedemikian rupa, kemudian tanah tersebut dibelah oleh Grooving Tool dan dilakukan pemukulan dengan cara engkol dinaikkan dan

sampai mangkuk menyentuh dasar, dilakukan juga perhitungan ketukan sampai tanah yang dibelah tadi berhimpit. Untuk lebih jelasnya, alat uji batas cair berupa cawan Cassagrande dan Grooving Tool dapat dilihat pada Gambar 2.3


(38)

Gambar 2.4 Kurva Pada Penentuan Batas Cair Tanah Lempung (Soedarmo, 1997)

2.1.2.9.2 Batas Plastis (Plastic Limit)

Batas Plastis (Plastic Limit) dapat didefinisikan sebagai kadar air pada tanah

dimana pada batas bawah daerah plastis atau kadar air minimum. Untuk mengetahui Batas Plastis suatu tanah dilakukan dengan percobaan menggulung tanah berbentuk silinder dengan diameter sekitar 3,2 mm (1/8 inchi) dengan menggunakan telapak tangan di atas kaca datar. Apabila tanah mulai mengalami retak-retak atau pecah ketika digulung, maka kadar air dari sampel tersebut adalah Batas Plastis.

2.1.2.9.3 Batas Susut (Shrinkage Limit)

Batas Susut (Shrinkage Limit) adalah kadar air tanah pada kedudukan antara

daerah semi padat dan padat, yaitu persentase kadar air di mana pengurangan kadar air selanjutnya tidak mengakibatkan perubahan volume tanahnya. Dapat dikatakan bahwa tanah tersebut tidak akan mengalami penyusutan lagi meskipun dikeringkan secara terus menerus.


(39)

Percobaan Batas Susut dilakukan dengan cawan porselin diameter 44,4 mm dengan tinggi 12,7 mm. Pada bagian dalam cawan dilapisi oleh pelumas dan diisi dengan tanah jenuh sempurna yang kemudian dikeringkan dalam oven. Volume ditentukan dengan mencelupkannya dalam air raksa. Batas Susut dapat dinyatakan dalam persamaan :

{ } (2.14)

dengan :

= berat tanah basah dalam cawan percobaan (gr) = berat tanah kering oven (gr)

= volume tanah basah dalam cawan ( ) = volume tanah kering oven ( )

= berat jenis air

2.1.2.9.4 Indeks Plastisitas (Plasticity Index)

Indeks Plastisitas adalah selisih Batas Cair dan Batas Plastis. Indeks Plastisitas merupakan interval kadar air dimana tanah masih bersifat plastis. Indeks Plastisitas dapat menunjukkan sifat keplastisitasan tanah tersebut. Jika tanah memiliki interval kadar air daerah plastis yang kecil, maka tanah tersebut disebut tanah kurus, sedangkan apabila suatu tanah memiliki interval kadar air daerah plastis yang besar disebut tanah gemuk. Persamaan 2.15 dapat digunakan untuk menghitung besarnya nilai Indeks Plastisitas dari suatu tanah. Tabel 2.4 menunjukkan batasan nilai Indeks Plastisitas dari jenis-jenis tanah.


(40)

Dimana :

IP = Indeks Plastisitas (%) LL = Batas Cair (%) PL = Batas Plastis (%)

Tabel 2.4 Indeks Plastisitas Tanah

PI Sifat Macam Tanah Kohesi

0 Non-Plastis Pasir Non Kohesif

< 7 Plastisitas Rendah Lanau Kohesif Sebagian 7-17 Plastisitas Sedang Lempung berlanau Kohesif > 17 Plastisitas Tinggi Lempung Kohesif Sumber : Hardiyatmo, 1992

2.1.2.9.5 Indeks Kecairan (Liquidity Index)

Kadar Air tanah asli relatif pada kedudukan plastis dan cair, dapat didefinisikan oleh Indeks Kecairan (Liquidity Index). Indeks Kecairan merupakan

perbandingan antara selisih Kadar Air asli dengan Batas Plastis terhadap Indeks Plastisitasnya. Berikut persamaannya:

(2.16)

Dimana :

LI = Liquidity Index (%) WN = kadar air asli (%)


(41)

Gambar 2.5 Hubungan Antara WP, WL dan WN Dalam Menghitung LI atau IL

(Bowles, 1991)

Dapat dilihat bahwa jika WN = LL, maka Indeks Kecairan akan sama dengan 1. Sedangkan, jika WN = PL, Indeks Kecairan akan sama dengan nol. Jadi, untuk lapisan tanah asli yang dalam kedudukan plastis, nilai LL > WN > PL. Nilai

Indeks Kecairan akan bervariasi antara 0 dan 1. Lapisan tanah asli dengan WN >

LL akan mempunyai LI > 1.

2.1.2.10 Klasifikasi Tanah

Sistem Klasisfikasi Tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa jenis tanah yang berbeda-beda tapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam kelompok-kelompok dan subkelompok-subkelompok berdasarkan pemakaiannya (Das,1991). Sistem Klasisfikasi Tanah didasarkan atas ukuran partikel yang diperoleh dari analisa saringan dan plastisitasnya. Tujuan dari pengklasifikasian tanah ini adalah untuk memungkinkan memperkirakan sifat fisis tanah dengan mengelompokkan tanah dengan kelas yang sama yang sifat fisisnya diketahui dan menyediakan sebuah metode yang akurat mengenai deskripsi tanah. Kebanyakan Klasifikasi Tanah menggunakan indeks pengujian yang sangat sederhana untuk memperoleh karakteristik tanahnya.


(42)

Beberapa Sistem Klasifikasi telah dikembangkan dan pengklasifikasian tersebut terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Klasifikasi Tanah Sistem USCS 2. Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO

2.1.2.10.1 Sistem Klasifikasi Unified Soil Classification System (USCS)

Sistem ini pertama kali dikembangkan oleh Casagrande (1942) sebagai

sebuah metode untuk pekerjaan pembuatan lapangan terbang oleh The Army Corps of Engineers pada Perang Dunia II. Pada saat ini sistem ini telah

dipergunakan secara luas oleh para ahli teknik. Sistem ini selain biasa digunakan untuk desain lapangan terbang juga untuk spesifikasi pekerjaan tanah untuk jalan. Pada tahun 1969 sistem ini diadopsi oleh American Society for Testing and Materials (ASTM) sebagai Metode Klasifikasi Tanah (ASTM D 2487).

Klasifikasi berdasarkan Unified System (Das, 1991), tanah dikelompokkan

menjadi:

1. Tanah Butir Kasar (Coarse-Grained-Soil)

Merupakan tanah yang lebih dari 50% bahannya tertahan pada ayakan no.200 (0,075 mm). Simbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal G atau S. G adalah untuk kerikil (gravel) atau tanah berkerikil, dan S adalah

untuk pasir (sand) atau tanah berpasir.

2. Tanah Berbutir Halus (Fine-Grained-Soil)

Merupakan tanah yang lebih dari 50 % berat total contoh tanah lolos ayakan no.200 (0,075 mm). Simbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal M untuk lanau (silt) anorganik, C untuk lempung (clay) anorganik, dan


(43)

O untuk lanau-organik dan lempung-organik. Simbol PT digunakan untuk tanah gambut (peat), dan tanah-tanah lain dengan kadar organik yang tinggi.

Untuk klasifikasi yang benar, perlu memperhatikan faktor-faktor berikut ini: 1. Persentase butiran yang lolos ayakan no.200 (fraksi halus).

2. Persentase fraksi kasar yang lolos ayakan no.40.

3. Koefisien Keseragaman (Uniformity Coefficient, Cu) dan Koefisien Gradasi

(Gradation Coefficient, Cc) untuk tanah dimana 0-12% lolos ayakan no.200.

4. Batas Cair (LL) dan Indeks Plastisitas (IP) bagian tanah yang lolos ayakan no.40 (untuk tanah dimana 5% atau lebih lolos ayakan no.200).

Tabel 2.5 Simbol Klasifikasi Tanah Sistem USCS

Simbol Nama Klasifikasi Tanah

G Kerikil (gravel)

S Pasir (sand)

C Lempung (clay)

M Lanau (silt)

O Lanau atau lempung organik (organic silt or clay)

Pt Tanah gambut dan tanah organik tinggi (peat and highly organic clay)

L Plastisitas rendah (low plasticity), (LL < 50)

H Plastisitas tinggi (high plasticity), ( LL > 50)

W Bergradasi baik (well graded)


(44)

Gambar 2.6 Klasifikasi Tanah Sistem Unified (Das, 1991)

2.1.2.10.2 Sistem Klasifikasi AASHTO

Sistem klasifikasi tanah sistem AASHTO (American Association of State Highway Transportation Official) dikembangkan pada tahun 1929 sebagai Public Road Administration Classification System. Kemudian sistem ini mengalami


(45)

beberapa perbaikan, sampai saat ini versi yang berlaku adalah yang diajukan oleh

Committee on Classification of Materials for Subgrade and Granular Type Road of the Highway Research Board pada tahun 1945. Sistem ini mengklasifikasikan

tanah kedalam tujuh kelompok besar, yaitu A-1 sampai A-7. Tanah yang diklasifikasikan ke dalam A-1 sampai A-3 adalah tanah berbutir yang 35% atau kurang dari jumlah butiran tanah tersebut lolos ayakan no. 200. Sedangkan tanah A-4 sampai A-7 adalah tanah yang lebih dari 35% butirannya lolos ayakan no. 200.

Pengklasifikasian tanah dilakukan dengan cara memproses dari kiri ke kanan pada bagan tersebut sampai menemukan kelompok pertama yang data pengujian bagi tanah tersebut memenuhinya dan pada awalnya membutuhkan data-data sebagai berikut :

1. Analisis Ukuran Butiran.

2. Batas Cair, Batas Plastis dan Indeks Plastisitas yang dihitung. 3. Batas Susut.

Khusus untuk tanah-tanah yang mengandung bahan butir halus diidentifikasikan lebih lanjut dengan indeks kelompoknya. Bagan pengklasifikasian sistem ini dapat dilihat seperti pada Gambar 2.7.


(46)

Gambar 2.7 Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO (Das, 1991)

2.1.3 Sifat-Sifat Mekanis Tanah

2.1.3.1 Pemadatan Tanah (Compaction)

Pemadatan Tanah (Compaction) adalah suatu proses dimana udara pada

pori-pori tanah dikeluarkan dengan cara mekanis (digilas/ditumbuk) sehingga partikel-partikel tanah menjadi rapat. Dengan kata lain, Pemadatan adalah densifikasi tanah yang jenuh dengan penurunan volume rongga diisi dengan udara, sedangkan volume padatan dan kadar air tetap pada dasarnya sama. Hal ini merupakan cara yang paling jelas dan sederhana untuk memperbaiki stabilitas dan kekuatan dukung tanah.

Maksud pemadatan tanah menurut Hardiyatmo (1992), antara lain : 1. Mempertinggi kuat geser tanah

2. Mengurangi sifat mudah mampat (kompresibilitas) 3. Mengurangi permeabilitas


(47)

4. Mengurangi perubahan volume sebagai akibat perubahan kadar air dan lainnya.

Tanah granuler merupakan tanah yang paling mudah penanganannya untuk pekerjaan lapangan. Setelah dipadatkan tanah tersebut mampu memberikan kuat geser yang tinggi dengan sedikit perubahan volume. Hal ini dikarenakan permeabilitas tanah granuler yang tinggi. Berbeda dengan pada tanah lanau yang permeabilitasnya rendah sangat sulit dipadatkan bila dalam keadaan basah.

Tanah lempung mempunyai permeabilitas yang rendah dan tanah ini tidak dapat dipadatkan dengan baik dalam kondisi basah seperti halnya tanah lanau. Tanah lempung yang dipadatkan dengan cara yang benar akan memberikan kuat geser yang tinggi. Stabilitas terhadap sifat kembang-susut tergantung dari jenis kandungan mineralnya.

Pada tahun 1933, Proctor menemukan dasar-dasar pemadatan tanah, dimana

terdapat 4 (empat) variabel yang digunakan dalam fungsi Compaction, yaitu:

- Usaha pemadatan - Jenis tanah - Kadar Air tanah

- Berat Isi Kering tanah (Bowles, 1991).

Hubungan berat volume kering ( ) dengan berat volume basah ( ) dan kadar air (%) dinyatakan dalam persamaan :

(2.17)

Pada pengujian Compaction di laboratorium alat pemadatan berupa silinder mould dengan volume 9,34 x , dan penumbuk dengan berat 2,5 kg


(48)

3 lapisan (Standard Proctor) dan 5 lapisan (Modified Proctor) dengan pukulan

sebanyak 25 kali pukulan.

Perbedaan antara pengujian Pemadatan Standard Proctor dan pengujian

Pemadatan Modified Proctor dapat dilihat dalam Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Pengujian Pemadatan Proctor

Standar (ASTM D698) Modifikasi (ASTM D1557) Palu 24,5 N (5,5 lb) 44,5 N (10 lb) Tinggi jatuh palu 305 mm (12 in) 457 mm (18 in)

Jumlah lapisan 3 5

Jumlah tumbukan per

lapisan 25 25

Volume cetakan 1/30 ft3 1/30 ft3

Tanah Saringan no 4 Saringan no 4

Energi pemadatan 595 kJ/ m3 (12400 lb ft/ft3) 2698 kJ/ m3 (56250 lb ft/ft3) Sumber : Bowles, 1991

Pengujian-pengujian tersebut dilakukan dengan pemadatan sampel tanah basah (pada kadar air terkontrol) dalam suatu cetakan dengan jumlah lapisan tertentu. Setiap lapisan dipadatkan dengan sejumlah tumbukan yang ditentukan dengan penumbuk dengan massa dan tinggi jatuh tertentu. Standar ASTM maupun AASHTO hendaknya digunakan sebagai acuan untuk rincian pengujian tersebut.

Kadar air yang memberikan berat unit kering yang maksimum disebut Kadar Air Optimum (Optimum Moisture Content). Usaha pemadatan diukur dari

segi energi tiap satuan volume dari tanah yang telah dipadatkan. Untuk usaha pemadatan yang lebih rendah kurva pemadatan bagi tanah yang sama akan lebih rendah dan tergeser ke kanan, yang menunjukkan suatu kadar air optimum yang


(49)

lebih tinggi. Hasil dari pengujian pemadatan berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air dan berat volume kering tanah yamg ditunjukkan Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Hubungan Antara Kadar Air dan Berat Isi Kering Tanah (Hardiyatmo, 1992)

Garis ZAV (Zero Air Void Line) adalah hubungan antara Berat Isi Kering

dengan Kadar Air bila derajat kejenuhan 100%, yaitu bila pori tanah sama sekali tidak mengandung udara. Grafik ini berguna sebagai petunjuk pada waktu menggambarkan grafik pemadatan. Grafik tersebut berada di bawah ZAV dan biasanya grafik tersebut tidak lurus tetapi agak cekung ke atas. Apabila kurva pemadatan yang dihasilkan berada lebih dekat di bawah dengan garis ZAV maka hal tersebut menunjukan tanah yang dipadatkan memiliki derajat kejenuhan mendekati 100% dan sedikit mengandung udara. Pada penelitian ini, percobaan pemadatan tanah di laboratorium yang digunakan untuk menentukan Kadar Air Optimum dan Berat Isi Kering maksimum adalah percobaan Pemadatan Standar (Standard Compaction Test).


(50)

2.1.3.2Pengujian Unconfined Compression Test (UCT)

Nilai Kuat Geser Tanah perlu diketahui untuk mengukur kemampuan tanah menahan tekanan tanpa terjadi keruntuhan. Seperti material lainnya, tanah mengalami penyusutan volume jika mendapat tekanan merata di sekelilingnya. Apabila menerima tegangan geser, tanah akan mengalami distorsi dan apabila distorsi yang terjadi cukup besar, maka partikel-partikelnya akan terpeleset satu sama lain dan tanah akan dikatakan gagal dalam geser.

Hampir semua jenis tanah daya dukungnya terhadap tegangan tarik sangat kecil atau bahkan tidak mampu sama sekali. Tanah tidak berkohesi, kekuatan gesernya hanya terletak pada gesekan antara butir tanah saja (c = 0), sedangkan pada tanah berkohesi dalam kondisi jenuh, maka ø = 0 dan S = c. Parameter Kuat Geser tanah diperlukan untuk analisa-analisa daya dukung tanah (Bearing Capacity), tegangan tanah terhadap dinding penahan (Earth Preassure) dan

kestabilan lereng (Slope Stability).

Kuat Geser Tanah adalah gaya perlawanan yang dilakukan oleh butir-butir tanah terhadap desakan atau tarikan. Dengan dasar seperti ini, bila tanah mengalami pembebanan akan ditahan oleh :

 Kohesi tanah yang tergantung pada jenis tanah dan pemadatannya, tetapi tidak tergantung dari tegangan vertikal yang bekerja pada gesernya.

 Gesekan antara butir-butir tanah yang besarnya berbanding lurus dengan tegangan vertikal pada bidang gesernya.

Oleh karena itu kekuatan geser tanah dapat diukur dengan rumus :

(2.18)


(51)

: kekuatan geser tanah (kg/cm2) c : kohesi tanah efektif (kg/cm2)

: tegangan normal total (kg/cm2) u : tegangan air pori (kg/cm2)

: sudut perlawanan geser efektif (0)

Ada beberapa cara untuk menentukan kuat geser tanah, antara lain : o Pengujian Geser Langsung (Direct Shear Test)

o Pengujian Triaksial (Triaxial Test)

o Pengujian Tekan Bebas (Unconfined Compression Test) o Pengujian Baling-Baling (Vane Shear Test)

Dalam penelitian ini yang digunakan untuk menentukan kuat geser tanah adalah Pengujian Tekan Bebas (Unconfined Compression Test).

Uji Kuat Tekan Bebas (Unconfined Compression Test) mengukur

kemampuan tanah untuk menerima kuat tekan yang diberikan sampai tanah terpisah dari butir-butirannya, pengujian ini juga mengukur regangan tanah akibat tekanan tersebut. Pada Gambar 2.9 menunjukkan skema pengujian Unconfined Compression Test.


(52)

Tegangan aksial yang diterapkan di atas benda uji berangsur-angsur ditambah sampai benda uji mengalami keruntuhan. Pada saat keruntuhannya, karena σ3 = 0, maka:

(2.19) Dimana:

= Kuat geser (kg/cm2) = Tegangan utama (kg/cm2)

= kuat tekan bebas tanah (kg/cm2) = kohesi (kg/cm2)

Pada Gambar 2.10 menunjukkan Lingkaran Mohr untuk pengujian

Unconfined Compression Test (UCT).

Gambar 2.10 Keruntuhan Geser Kondisi Air Termampatkan qu di Atas

Sebagai Kekuatan Tanah Kondisi Tak Tersekap (Das, 1995)

Hubungan Konsistensi dengan Kuat Tekan Bebas tanah lempung diperlihatkan dalam Tabel 2.7.


(53)

Tabel 2.7 Hubungan Kuat Tekan Bebas Tanah Lempung Dengan Konsistensinya Konsistensi qu (kg/cm2)

Lempung keras >4,00 Lempung sangat kaku 2,00 – 4,00

Lempung kaku 1,00 – 2,00 Lempung sedang 0,50 – 1,00 Lempung lunak 0,25 – 0,50 Lempung sangat lunak < 0,25 Sumber : Hardiyatmo, 1992

2.1.3.3 Teori Keruntuhan Mohr-Coulomb

Teori keruntuhan berguna untuk menguji hubungan antara Tegangan Normal dengan Tegangan Geser Tanah, dimana keruntuhan (failure) adalah

ketidakmampuan elemen tanah untuk menahan beban akibat pembebanan. Sekitar tahun 1776, Coulomb memperkenalkan hubungan linear yang terjadi antara tegangan normal dan tegangan geser.

( 2.20)

dimana : c = kohesi (kg/cm2) Ø = sudut geser internal (0)

Gambar 2.11 Grafik Hubungan Tegangan Normal dan Tegangan Geser (Das, 1995)


(54)

2.1.3.4 Sensitivitas Tanah Lempung

Pengujian Kuat Tekan Bebas dilakukan pada contoh tanah asli (undisturbed)

dan contoh tanah tidak asli (remoulded). Pada Uji Tekan Bebas yang diukur

adalah kemampuan masing-masing contoh terhadap Kuat Tekan Bebas, sehingga didapat nilai kuat tekan maksimum. Dari nilai kuat tekan maksimum yang diperoleh maka akan didapat nilai sensitivitas tanah. Nilai Sensitivitas adalah ukuran bagaimana perilaku tanah apabila ada gangguan yang diberikan dari luar.

Gambar 2.12 Grafik Sensitifitas Tanah Asli dan Tanah Remoulded (Das, 1995)

Kekuatan tekanan tak tersekap berkurang banyak pada tanah-tanah lempung yang terdeposisi (terendapkan) secara alamiah, dan jika tanah tersebut diuji ulang kembali setelah tanah tersebut mengalami kerusakan struktural (remoulded) tanpa


(55)

Gambar 2.13 Kuat Tekan Tanah Asli dan Tanah Remoulded (Das, 1995)

Sifat berkurangnya kekuatan tanah akibat adanya kerusakan struktural tanah disebut Sensitivitas (Sensitivity). Tingkat Sensitivitas adalah rasio (perbandingan)

antara kekuatan tanah yang masih asli dengan kekuatan tanah yang sama setelah terkena kerusakan (remoulded), bila kekuatan tanah tersebut diuji dengan cara

tekanan tak tersekap. Jadi, Sensitivitas dinyatakan dalam persamaan:

(2.21)

Umumnya, nilai Rasio Sensitivitas tanah lempung berkisar antara 1 sampai 8, akan tetapi pada beberapa tanah-tanah lempung maritim yang mempunyai tingkat flokulasi yang sangat tinggi, nilai Sensitivitas berkisar antara 10 sampai 80.

Karena beberapa jenis lempung mempunyai sifat sensitif terhadap gangguan yang berbeda-beda, oleh karena itu perlu adanya pengelompokan yang berhubungan dengan nilai Sensitivitas. Klasifikasi secara umum dapat dilihat pada Tabel 2.8.


(56)

Tabel 2.8 Sensitivitas Lempung Tidak Sensitif St < 2 Agak Sensitif 2 < St < 4

Sensitif 4 < St < 8 Sangat Sensitif 8 < St < 16

Cepat St > 16 Sumber : Bowles, 1991

Syarat-syarat yang perlu diperhatikan pada pengujian kuat tekan: 1. Penekanan

Sr = Kecepatan regangan berkisar antara 0,5 –2% per menit 2. Kriteria keruntuhan suatu tanah :

a. Bacaan proving ring turun tiga kali berturut-turut.

b. Bacaan proving ring tiga kali berturut-turut hasilnya sama.

c. Ambil pada ε= 20% dari contoh tanah, Sr = 1% permenit, berarti waktu maksimum runtuh = 20 menit.

Untuk menghitung regangan axial dihitung dengan rumus :

(2.22)

Dimana :

ε = Regangan axial (%) ∆L = Perubahan panjang (cm) Lo = Panjang mula-mula (cm)

Besarnya luas penampang rata-rata pada setiap saat :


(57)

Dimana :

A = Luas rata-rata pada setiap saat (cm2) Ao = Luas mula-mula (cm2)

Besarnya tegangan normal :

(2.24)

Dimana :

σ = Tegangan (kg/cm2) P = Beban (kg)

k = Faktor kalibrasi proving ring N = Pembacaan proving ring (div)

Sensitifitas tanah dihitung dengan rumus :

(2.25) Dimana :

St = Nilai sensitivitas tanah

σ = Kuat tekan maks. tanah asli (kg/cm2) σ„ = Kuat tekan maks. tanah tidak asli (kg/cm2)

2.2 BAHAN-BAHAN PENELITIAN 2.2.1 Tanah Lempung (Clay)

Beberapa definisi tanah lempung antara lain: 1. Terzaghi (1987)


(58)

Mendefenisikan bahwa tanah lempung sebagai tanah dengan ukuran mikrokonis sampai dengan sub mikrokonis yang berasal dari pelapukan unsur-unsur kimiawi penyusun batuan. Tanah lempung sangat keras dalam keadaan kering dan permeabilitas lempung sangat rendah. Sehingga bersifat plastis pada kadar air sedang. Sedangkan pada keadaan air yang lebih tinggi tanah lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak.

2. Das (1991)

Mendefenisikan bahwa tanah lempung sebagian besar terdiri dari partikel mikroskopis dan sub-mikroskopis (tidak dapat dilihat dengan jelas bila hanya dengan mikroskopis biasa) yang berbentuk lempengan-lempengan pipih dan merupakan partikel-partikel dari mika, mineral-mineral lempung (clay mineral), dan mineral-mineral yang sangat halus lain. Tanah lempung

sangat keras dalam kondisi kering dan bersifat plastis pada kadar air sedang. Namun pada kadar air yang lebih tinggi lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak.

3. Bowles (1991)

Mendefinisikan tanah lempung sebagai deposit yang mempunyai partikel berukuran lebih kecil atau sama dengan 0,002 mm dalam jumlah apabila lebih dari 50 %.

4. Hardiyatmo (1992)

Mengatakan bahwa sifat-sifat yang dimiliki dari tanah lempung antara lain ukuran butiran halus lebih kecil dari 0,002 mm, permeabilitas rendah, kenaikan air kapiler tinggi, bersifat sangat kohesif, kadar kembang susut yang tinggi dan proses konsolidasi lambat.


(59)

Secara umum dalam klasifikasi tanah, partikel tanah lempung memiliki diameter 2µm atau sekitar 0,002 mm (AASHTO, USCS). Dibeberapa kasus partikel berukuran antara 0,002 mm sampai 0,005 mm masih digolongkan sebagai partikel lempung (ASTM-D-653). Dari segi mineral tanah dapat juga disebut sebagai tanah bukan lempung (non clay soil) meskipun terdiri dari

partikel-partikel yang sangat kecil (partikel-partikel-partikel-partikel quartz, feldspar, mika dapat berukuran sub mikroskopis tetapi umumnya tidak bersifat plastis). Partikel-partikel dari mineral lempung umumnya berukuran koloid, merupakan gugusan kristal berukuran mikro, yaitu < 1 µm (2 µm merupakan batas atasnya). Tanah lempung merupakan hasil proses pelapukan mineral batuan induknya, yang salah satu penyebabnya adalah air yang mengandung asam atau alkali, oksigen, dan karbondioksida.

2.2.1.1 Lempung dan Mineral Penyusun

Mineral lempung merupakan senyawa aluminium silikat yang kompleks. Mineral ini terdiri dari dua lempung kristal pembentuk kristal dasar, yaitu silika tetrahedra dan aluminium oktahedra. Setiap unit tetrahedra terdiri dari empat atom oksigen yang mengelilingi satu atom silikon dan unit oktahedra terdiri dari enam gugus ion hidroksil (OH) yang mengelilingi atom aluminium (Das, 1991).

Ciri tanah lempung adalah sangat keras dalam keadaan kering dan bersifat plastis pada kadar air sedang sedangkan pada kadar air yang lebih tinggi lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak. Kohesif menunjukan bahwa pada keadaan basah tanah memiliki kemampuan gaya tarik-menarik yang besar sehingga partikel-pertikel itu melekat satu sama lainnya sedangkan plastisitas


(60)

merupakan sifat yang memungkinkan bentuk bahan itu diubah-ubah tanpa perubahan isi atau tanpa kembali ke bentuk aslinya dan tanpa terjadi retakan-retakan atau terpecah-pecah.

Lempung merupakan mineral asli yang mempunyai sifat plastis saat basah, dengan ukuran butir yang sangat halus dan mempunyai komposisi berupa

Hydrous Aluminium dan Magnesium Silikat dalam jumlah yang besar. Mineral

lempung sebagian besar mempunyai struktur berlapis dimana ukuran mineralnya sangat kecil yakni kurang dari 2 µm (1µm = 0,000001m), meskipun ada klasifikasi yang menyatakan bahwa batas atas lempung adalah 0,005 m (ASTM) dan merupakan partikel yang aktif secara elektrokimiawi yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron.

Bowles (1991) menyatakan bahwa sumber utama dari mineral lempung adalah pelapukan kimiawi dari batuan yang mengandung :

 Felspar Ortoklas  Felspar Plagioklas  Mika (Muskovit)

Dimana semuanya itu dapat disebut Silikat Aluminium Kompleks (Complex Aluminium Silicates). Lempung terdiri dari berbagai mineral penyusun, antara lain

mineral lempung (Kaolinite, Montmorillonite dan Illite) dan mineral-mineral lain

yang mempunyai ukuran sesuai dengan batasan yang ada (Mika Group, Serpentinite Group). Satuan struktur dasar dari mineral lempung terdiri dari Silika

Tetrahedron dan Aluminium Oktahedron. Satuan-satuan dasar tersebut bersatu membentuk struktur lembaran.


(61)

Unit-unit Silika Tetrahedra berkombinasi membentuk lembaran Silika (Silica Sheet) dan unit-unit Oktahedra berkombinasi membentuk lembaran

Oktahedra (Gibbsite Sheet). Bila lembaran Silika itu ditumpuk di atas lembaran

Oktahedra, atom-atom oksigen tersebut akan menggantikan posisi ion hidroksil pada oktahedra untuk memenuhi keseimbangan muatan mereka.

Gambar 2.14 Struktur Atom Mineral Lempung (a) dan (b) Silica Tetrahedra ;

(c) Aluminium Oktahedra ; (d) Magnesium Oktahedra ; (e) Silika ; (f) Gibbsite ;


(62)

a. Kaolinite

Istilah “Kaolinite” dikembangkan dari kata “ Kauling” yang berasal dari

nama sebuah bukit yang tinggi di Jauchau Fu, China, dimana lempung kaolinite putih mula-mula diperoleh beberapa abad yang lalu (Bowles, 1991). Kaolinite merupakan hasil pelapukan sulfat atau air yang

mengandung karbonat pada temperatur sedang dan umumnya berwarna putih, putih kelabu, kekuning-kuningan atau kecoklat-coklatan.

Struktur unit Kaolinite terdiri dari lembaran-lembaran Silika Tetrahedral

yang digabung dengan lembaran Alumina Oktahedran (Gibbsite). Lembaran

Silika dan Gibbsite ini sering disebut sebagai mineral lempung 1:1 dengan

tebal kira-kira 7,2 Å (1 Å=10-10 m). Mineral

Kaolinite berwujud seperti

lempengan-lempengan tipis dengan diameter 1000 Å sampai 20000 Å dan ketebalan dari 100 Å sampai 1000 Å dengan luasan spesifik per unit massa ± 15 m2/gr yang memiliki rumus kimia:

(OH)8Al4Si4O10

Keluarga mineral Kaolinite 1:1 yang lainnya adalah Halloysite. Halloysite memiliki tumpukan yang lebih acak dibandingkan dengan Kaolinite sehingga molekul tunggal dari air dapat masuk. Halloysite

memiliki rumus kimia sebagai berikut.

(OH)8Al4Si4O10 . 4H2O


(63)

(a)

(b)

Gambar 2.15 Struktur Kaolinite. (a) Struktur Atom ; (b) Simbol Struktur

(Lambe dan Whitman, 1969)

b. Illite

Illite adalah mineral lempung yang pertama kali diidentifikasi di Illinois.

Mineral Illite bisa disebut pula dengan hidrat-mika karena Illite mempunyai

hubungan dengan mika biasa (Bowles, 1991). Mineral Illite memiliki rumus

kimia sebagai berikut:

(OH)4Ky(Si8-y . Aly)(Al4. Mg6 .Fe4 . Fe6)O20

Dimana y adalah antara 1 dan 1,5. Illite memiliki formasi struktur satuan

kristal, tebal dan komposisi yang hampir sama dengan Montmorillonite.

Perbedaannya ada pada :

Kalium (K) berfungsi sebagai pengikat antar unit kristal sekaligus sebagai penyeimbang muatan.


(64)

Struktur mineral Illite tidak mengembang sebagaimana Montmorillonite.

Pembentukan mineral lempung yang berbeda disebabkan oleh subtitusi kation-kation yang berbeda pada lembaran Oktahedral. Bila sebuah anion dari lembaran Oktahedral adalah hydroxil dan dua per tiga posisi kation diisi

oleh aluminium maka mineral tersebut disebut Gibbsite dan bila magnesium

disubstitusikan kedalam lembaran aluminium dan mengisi seluruh posisi kation, maka mineral tersebut disebut Brucite. Struktur mineral Illite dapat

dilihat dalam Gambar 2.16.

(a)

(b)

Gambar 2.16 Struktur Illite. (a)Struktur Atom ; (b) Simbol Struktur


(65)

c. Montmorillonite

Montmorillonite adalah nama yang diberikan pada mineral lempung yang

ditemukan di Montmorillon, Perancis pada tahun 1847 yang memiliki rumus kimia:

(OH)4Si8Al4O20 . nH2O

Dimana nH2O adalah banyaknya lembaran yang terabsorbsi air. Mineral

Montmorillonite juga disebut mineral dua banding satu (2:1) karena satuan

susunan kristalnya terbentuk dari susunan dua lempeng Silika Tetrahedral mengapit satu lempeng Alumina Oktahedral ditengahnya.

Struktur kisinya tersusun atas satu lempeng Al2O3 diantara dua lempeng SiO2. Inilah yang menyebabkan Montmorillonite dapat mengembang dan mengkerut menurut sumbu C dan mempunyai daya adsorbsi air dan kation lebih tinggi. Tebal satuan unit adalah 9,6 Å (0,96 μm). Gaya Van Der Walls

mengikat satuan unit sangat lemah diantara ujung-ujung atas dari lembaran silika, oleh karena itu lapisan air (nH2O) dengan kation dapat dengan mudah menyusup dan memperlemah ikatan antar satuan susunan kristal. Sehingga menyebabkan antar lapisan terpisah. Gambar dari struktur Montmorillonite


(66)

(a)

(b)

Gambar 2.17 Struktur Montmorillonite. (a) Struktur Atom ; (b) Simbol

Struktur(Lambe dan Whitman, 1969)

2.2.1.2 Sifat Umum Tanah Lempung

Bowles (1991) menyatakan beberapa sifat umum mineral lempung adalah: 1. Hidrasi

Partikel lempung hampir selalu mengalami hidrasi, hal ini disebabkan karena lempung biasanya bermuatan negatif, yaitu partikel dikelilingi oleh lapisan-lapisan molekul air yang disebut sebagai air teradsorbsi (adsorbed water). Lapisan ini umumnya memiliki tebal dua molekul.

Sehingga disebut sebagai lapisan difusi (d i f f u s e l a y e r) , lapisan


(67)

2. Aktivitas

Aktivitas tanah lempung adalah perbandingan antara Indeks Plastisitas (IP) dengan persentase butiran lempung, dan dapat disederhanakan

dalam persamaan:

(2.26) Dimana persentase lempung diambil sebagai fraksi tanah yang < 2 µm untuk nilai A (Aktivitas),

A > 1,25 : tanah digolongkan aktif dan bersifat ekspansif

1,25 < A < 0,75 : tanah digolongkan normal A < 0,75 : tanah digolongkan tidak aktif.

Nilai- nilai khas dari Aktivitas dapat dilihat pada Tabel 2.9. Tabel 2.9 Aktivitas Tanah Lempung Minerologi Tanah Lempung Nilai Aktivitas

Kaolinite 0,4 0,5 Illite 0,5 1,0 Montmorillonite 1,0 – 7,0 Sumber : Bowles, 1991

3 .Flokulasi dan Dispersi

Pengertian Flokulasi adalah peristiwa penggumpalan partikel lempung di dalam larutan air akibat mineral lempung umumnya mempunyai pH>7. Flokulasi larutan dapat dinetralisir dengan menambahkan bahan-bahan yang mengandung asam (ion H+), sedangkan penambahan bahan-bahan alkali akan mempercepat flokulasi. Untuk menghindari flokulasi larutan


(68)

dapat dengan mudah didispersikan kembali ke dalam larutan dengan menggoncangnya, menandakan bahwa tarikan antar partikel jauh lebih kecil dari gaya goncangan. Apabila lempung tersebut telah didiamkan beberapa waktu dispersi tidak dapat tercapai dengan mudah, yang menunjukkan adanya gejala tiksotropik, dimana kekuatan didapatkan dari lamanya waktu.

4 .Pengaruh Zat Cair

Air berfungsi sebagai penentu plastisitas tanah lempung. Molekul air merupakan molekul yang dipolar, yaitu atom hidrogen tidak tersusun simetri di sekitar atom-atom oksigen (Gambar 2.18a). Hal ini berarti bahwa satu molekul air merupakan batang yang mempunyai muatan positif dan negatif pada ujung yang berlawanan atau dipolar (dobel kutub) (Gambar 2.18b).

Gambar 2.18 Sifat Dipolar Molekul Air (Hardiyatmo, 1992)

Molekul bersifat dipolar, yang berarti memiliki muatan positif dan negatif pada ujung yang berlawanan, sehingga dapat tertarik oleh lempung secara elektrik. Terdapat 3 mekanismenya, yaitu:


(69)

dengan ujung positif dari dipolar.

2. Tarikan antara kation-kation dalam lapisan ganda dengan muatan negatif dari ujung dipolar. Kation-kation ini tertarik oleh permukaan partikel lempung yang bermuatan negatif.

3. Andil atom-atom hidrogen dalam molekul air, yaitu dengan ikatan hidrogen antara atom oksigen dalam partikel lempung dan atom oksigen dalam molekul-molekul air (hydrogen bonding).

Gambar 2.19 Molekul Air Dipolar Dalam Lapisan Ganda (Das,1991)

Mineral lempung yang berbeda memiliki defisiensi dan tendensi yang berbeda untuk menarik Exchangeable Cation. Exchangeable Cation adalah

keadaan dimana kation dapat dengan mudah berpindah dengan ion yang bervalensi sama dengan kation asli. Montmorillonite memiliki defisiensi dan daya

tarik Exchangeable Cation yang lebih besar daripada Kaolinite. Kalsium dan

magnesium merupakan Exchangeable Cation yang paling dominan pada tanah,

sedangkan potassium dan sodium merupakan yang paling tidak dominan. Ada

beberapa faktor yang mempengaruhi Exchangeable Cation, yaitu valensi kation,

Mekanisme 3 Mekanisme 2 Mekanisme 1


(70)

besarnya ion dan besarnya ion hidrasi. Kemampuan mendesak dari kation-kation dapat dilihat dari besarnya potensi mendesak sesuai urutan berikut:

Al+3>Ca+2>Mg+2>NH+4>K+>H+>Na+>Li+

Kation Li+ tidak dapat mendesak kation lain yang berada dikirinya (Das, 2008). Semakin luas permukaan spesifik tanah lempung, air yang tertarik secara elektrik disekitar partikel lempung yang disebut air lapisan ganda jumlahnya akan semakin besar. Air lapisan ganda inilah yang menyebabkan sifat plastis pada tanah lempung. Konsentrasi air resapan dalam mineral lempung memberi bentuk dasar dari susunan tanahnya sebagai berikut, tiap partikelnya terikat satu sama lain lewat lapisan air serapannya. Selain itu jarak antara partikel juga akan mempengaruhi hubungan tarik menarik atau tolak menolak antar partikel tanah lempung yang diakibatkan oleh pengaruh ikatan hidrogen, gaya Van der Walls

serta macam ikatan kimia dan organiknya. Bertambahnya jarak akan mengurangi gaya antar partikel.

Sehingga ikatan antar partikel tanah yang disusun oleh mineral lempung akan sangat dipengaruhi oleh besarnya jaringan muatan negatif pada mineral, tipe, konsentrasi dan distribusi kation-kation yang berfungsi untuk mengimbangi muatannya.

Kapasitas pertukaran kation tanah lempung didefinisikan sebagai jumlah pertukaran ion-ion yang dinyatakan dalam miliekivalen per 100 gram lempung kering. Beberapa garam juga terdapat pada permukaan partikel lempung kering. Pada waktu air ditambahkan pada lempung, kation-kation dan anion-anion mengapung di sekitar partikelnya (Gambar 2.20).


(71)

Gambar 2.20 Kation dan Anion Pada Partikel (Das,1991)

Pada penelitian ini akan dilakukan usaha penggantian kation-kation yang terdapat pada lempung dengan kation-kation dari bahan semen yang dicampurkan dengan abu vulkanik dengan variasi yang berbeda-beda.

2.2.2 Semen 2.2.2.1 Umum

Semen adalah bahan yang mempunyai sifat adhesif maupun kohesif, yaitu bahan pengikat. Semen juga merupakan perekat hidrolis dimana senyawa-senyawa yang terkandung di dalam semen dapat bereaksi dengan air dan membentuk zat baru yang bersifat sebagai perekat terhadap batuan. Semen mimiliki susunan yang berbeda-beda, dan semen dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:

1. Semen hidrolik

Semen hidrolik adalah semen yang akan mengeras bila bereaksi dengan air, tahan terhadap air (water resistance) dan stabil di dalam air setelah


(72)

pozzolan, semen alumina, semen portland-pozzolan, semen terak, semen alam dan lain-lain.

2. Semen non-hidrolik.

Semen non hidrolik adalah semen yang tidak memiliki kemampuan untuk mengikat dan mengeras di dalam air, akan tetapi dapat mengeras di udara. Contoh dari semen non hidrolik adalah kapur.

2.2.2.2 Semen Portland

Semen Portland adalah perekat hidrolis yang dihasilkan dari penggilingan klinker dengan kandungan utamanya adalah kalsium silikat yang bersifat hidrolis dengan gips sebagai bahan tambahan.

Unsur penting dalam semen portland yaitu: a. Trikalsium Silikat (3CaO.SiO2) atau C3S b. Dikalsium Silikat (2CaO. SiO2) atau C2S c. Trikalsium Aluminat (3CaO.Al2O3) atau C3A

d. Tetrakalsium Aluminoferit (4CaO.Al2O3. Fe2O3) atau C4AF e. Kalsium Sulfat Dihidrat (Gypsum) (CaSO4.2H2O)

2.2.2.2.1 Hidrasi Semen

Ketika air ditambahkan ke dalam campuran semen, proses kimiawi yang disebut hidrasi akan berlangsung. Senyawa kimia dalam semen akan bereaksi dengan air dan membentuk komponen baru. Proses kimia untuk reaksi hidrasi dari unsur C2S dan C3S dapat ditulis sebagai berikut:


(73)

2 C2S + 4 H2O C3S2H3 + Ca (OH)2

Kekuatan semen yang telah mengeras tergantung pada jumlah air yang dapat dipakai waktu proses hidrasi berlangsung. Pada dasarnya jumlah air yang diperlukan untuk proses hidrasi sekitar 20 % dari berat semen (Nugraha, 2007).

2.2.2.2.2 Jenis-Jenis Semen Portland

Sesuai dengan kebutuhan pemakaian semen saat ini, dalam perkembangannya dikenal berbagai jenis semen portland antara lain:

1. Semen Portland Biasa

Semen ini digunakan dalam pelaksanaan konstruksi secara umum jika tidak diperlukan sifat-sifat khusus, seperti ketahanan terhadap sulfat, panas hidrasi rendah, kekuatan awal yang tinggi dan sebagainya. ASTM mengklasifikasikan semen ini sebagai Tipe I.

2. Semen Portland dengan Ketahanan Sedang Terhadap Sulfat

Semen ini digunakan pada konstruksi jika sifat ketahanan terhadap sulfat dengan tingkat sedang, yaitu dimana kandungan sulfat (SO3) pada air tanah dan tanah masing-masing 0,8% - 0,17% dan 125 ppm, serta PH tidak kurang dari 6. ASTM mengklasifikasikan semen jenis ini sebagai Tipe II.

3. Semen Portland dengan Kekuatan Awal Tinggi

Semen portland ini mengandung Trikalsium Silikat (C3S) lebih banyak dibanding Semen Portland biasa. Semen jenis ini memiliki kekuatan awal yang tinggi dan kekuatan tekan pada waktu yang lama juga lebih tinggi dibanding Semen Portland biasa. ASTM mengklasifikasikan semen ini sebagai Tipe III.


(74)

4. Semen Portland dengan Panas Hidrasi Rendah

Semen jenis ini memiliki kandungan Trikalsium Silikat (C3S) dan Trikalsium Aluminat (C3A) yang lebih sedikit, tetapi memiliki kandungan C3S yang lebih banyak dibanding Semen Portland biasa dan memiliki sifat-sifat :

a. Panas hidrasi rendah

b. Kekuatan awal rendah, tetapi kekuatan tekan pada waktu lama sama dengan Semen Portland biasa

c. Susut akibat proses pengeringan rendah

d. Memiliki ketahanan terhadap bahan kimia, terutama sulfat ASTM mengklasifikasikan semen jenis ini sebagai Tipe IV. 5. Semen Portland dengan Ketahanan Tinggi Terhadap Sulfat

Semen jenis ini memiliki ketahanan yang tinggi terhadap sulfat. Semen ini diklasifikasikan sebagai Tipe V pada ASTM. Semen jenis ini digunakan pada konstruksi apabila dibutuhkan ketahanan yang tinggi terhadap sulfat, yaitu kandungan sulfat (SO3) pada air tanah dan tanah masing-masing 0,17% - 1,67% dan 125 ppm – 1250 ppm, seperti pada konstruksi pengolah limbah atau konstruksi dibawah permukaan air.

Persyaratan komposisi kimia semen portland menurut ASTM Designation C 150-92, seperti terlihat pada Tabel 2.10.


(75)

Tabel 2.10 Persyaratan Standar Komposisi Kimia Portland Cement

Sumber : ASTM Standart On Soil Stabilization With Admixure, 1992

2.2.3 Abu Gunung Vulkanik (AGV)

Ketika gunung meletus maka semua material akan keluar. Material vulkanik terdiri dari batuan yang berukuran besar hingga berukuran halus, yang berukuran besar biasanya jatuh disekitar kawah dalam radius 5-7 km, sedangkan yang berukuran halus sampai ratusan bahkan ribuan kilometer dari kawah disebabkan oleh adanya hembusan angin. Material yang paling sering menyebabkan bahaya dari peristiwa gunung meletus adalah seperti lahar, lava, abu vulkanik dan material batu.

Abu vulkanik merupakan salah satu jenis bahan alami yang terbentuk di dalam perut gunung yang kemudian menjadi material vulkanik jatuhan yang


(76)

disemburkan ke udara pada saat terjadi letusan. Abu vulkanik tidak larut dalam air, sangat kasar dan agak korosif.

Secara umum komposisi abu vulkanik terdiri atas Silika dan Kuarsa, sehingga abu vulkanik digolongkan kedalam bahan yang bersifat pozolan. Bahan pozolan didefinisikan bahan bukan semen yang mengandung silika dan alumina. Sementara klasifikasi bahan pozolan terbagi menjadi dua bagian, pozolan alam (natural) dan buatan (sintetis), contoh pozolan alam adalah: tufa, abu vulkanis,

tanah diatomae dan trass adalah sebutan pozolan alam yang terkenal di Indonesia.

Selanjutnya contoh pozolan buatan adalah hasil pembakaran tanah liat, abu sekam padi, abu ampas tebu dan hasil pembakaran batu bara (fly ash).

Abu vulkanik menjadi material yang paling bermanfaat untuk manusia. Abu vulkanik mengandung beberapa jenis mineral yang penting untuk mempengaruhi kesuburan tanah seperti magnesium, seng, mangan, zat besi dan selenium. Komponen ini akan menambah kesuburan tanah ketika bercampur dengan senyawa tanah. Beberapa kegunaan abu vulkanik yaitu:

- Dapat menyuburkan tanah, abu vulkanik yang keluar dari gunung berapi mengandung berbagai mineral yang sangat penting untuk tanah. mineral yang bercampur dengan tanah akan membentuk tanah yang lebih subur. Dampak ini dapat kita lihat secara langsung yaitu kawasan di sekitar pegunungan selalu subur.

- Berguna untuk menyediakan bahan bangunan, berbagai jenis batu apung, abu vulkanik keluar dan akan bercampur dengan pasir dan tanah di sekitar pegunungan. Bahan-bahan ini sering diambil untuk menjadi bahan bangunan.


(1)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Diagram Fase Tanah 8

Gambar 2.2 Batas-batas Atterberg 14

Gambar 2.3 Cawan Cassagrande dan Grooving Tool 15

Gambar 2.4 Kurva Pada Penentuan Batas Cair Tanah Lempung 16 Gambar 2.5 Hubungan Antara WP, WL dan WN Dalam Menghitung LI 19

Gambar 2.6 Klasifikasi Tanah Sistem USCS 22

Gambar 2.7 Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO 24

Gambar 2.8 Hubungan Antara Kadar Air dan Berat Isi Kering Tanah 27

Gambar 2.9 Skema Pengujian Tekan Bebas 29

Gambar 2.10 Keruntuhan Geser Kondisi Air Termampatkan qu di Atas

Sebagai Kekuatan Tanah Kondisi Tak Tersekap 30 Gambar 2.11 Grafik Hubungan Tegangan Normal dan Tegangan Geser 31 Gambar 2.12 Grafik Sensitifitas Tanah Asli dan Tanah Remoulded 32

Gambar 2.13 Kuat Tekan Tanah Asli dan Tanah Remoulded 33

Gambar 2.14 Struktur Atom Mineral Lempung 39

Gambar 2.15 Struktur Kaolinite 41


(2)

Gambar 2.17 Struktur Montmorillonite 44

Gambar 2.18 Sifat Dipolar Molekul Air 46

Gambar 2.19 Molekul Air Dipolar Dalam Lapisan Ganda 47

Gambar 2.20 Kation dan Anion Pada Partikel 49

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian 65

Gambar 4.1 Plot Grafik Klasifikasi USCS 67

Gambar 4.2 Grafik Analisa Saringan Tanah Asli 68 Gambar 4.3 Grafik Batas Cair (Liquid Limit), Atterberg Limit 68

Gambar 4.4 Grafik Analisa Saringan Abu Gunung Vulkanik 69 Gambar 4.5 Grafik Hubungan Antara Nilai Batas Cair dengan Variasi

Campuran PC dan AGV 71

Gambar 4.6 Grafik Hubungan Antara Nilai Batas Plastis dengan Variasi

Campuran PC dan AGV 72

Gambar 4.7 Grafik Hubungan Antara Nilai Indeks Plastisitas dengan

Variasi Campuran PC dan AGV 73

Gambar 4.8 Kurva Kepadatan Tanah Asli 75

Gambar 4.9 Grafik Hubungan Antara Berat Isi Kering Maksimum


(3)

Gambar 4.10 Grafik Hubungan Antara Kadar Air Optimum Tanah

(wopt ) dengan Variasi Campuran 78

Gambar 4.11 Grafik Hubungan Antara Nilai Kuat Tekan Tanah (qu) dengan Regangan (Strain) yang Diberikan Pada Sampel Tanah Asli

dan Tanah Remoulded. 80

Gambar 4.12 Grafik Hubungan Antara Nilai Kuat Tekan dengan Variasi

Campuran PC dan AGV 81

Gambar 4.13 Grafik Nilai Kuat Tekan 2% PC, 3% PC dan 4% PC dengan Berbagai Variasi Penambahan AGV 82


(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Derajat Kejenuhan dan Kondisi Tanah 10

Tabel 2.2 Berat Jenis Tanah 13

Tabel 2.3 Nilai n, e, w,d dan b Untuk Tanah Keadaan Asli Lapangan 14

Tabel 2.4 Indeks Plastisitas Tanah 18

Tabel 2.5 Simbol Klasifikasi Tanah Sistem USCS 21

Tabel 2.6 Pengujian Pemadatan Proctor 26

Tabel 2.7 Hubungan Kuat Tekan Bebas Tanah Lempung Dengan

Konsistensinya 31

Tabel 2.8 Sensitifitas Lempung 34

Tabel 2.9 Aktivitas Tanah Lempung 45

Tabel 2.10 Persyaratan Standar Komposisi Kimia Portland Cement 53

Tabel 2.11 Komposisi Kimia Abu Vulkanik 55

Tabel 4.1 Data Uji Sifat Fisik Tanah 66

Tabel 4.2 Data Uji Sifat Fisik Abu Gunung Vulkanik 69

Tabel 4.3 Data Hasil Uji Atterberg Limit 70

Tabel 4.4 Data Uji Pemadatan Tanah Asli 74

Tabel 4.5 Data Hasil Uji Compaction 76

Tabel 4.6 Data Hasil Uji Kuat Tekan Bebas 4% PC dengan Berbagai

Variasi Penambahan AGV 79

Tabel 4.7 Perbandingan Antara Kuat Tekan Tanah Asli dan Tanah


(5)

DAFTAR NOTASI

V Volume tanah (cm3)

Vs Volume butiran padat (cm3) Vv Volume pori (cm3)

Vw Volume air di dalam pori (cm3) Va Volume udara di dalam pori (cm3) W Berat tanah (gr)

Berat butiran padat (gr) Berat air (gr)

Kadar air

Porositas

Angka pori

γb Berat volume basah (gr/cm3)

Berat volume kering (gr/cm3) Berat volume butiran padat (gr/cm3)

Berat jenis tanah S Derajat kejenuhan

SL Batas susut

Berat tanah basah dalam cawan percobaan (gr) Berat tanah kering oven (gr)

Volume tanah basah dalam cawan (cm3) Volume tanah kering oven (cm3)


(6)

IP Indeks plastisitas LL Batas cair

PL Batas plastis

Kuat geser (kg/cm2) Tegangan utama (kg/cm2)

Kuat tekan bebas tanah (kg/cm2) Kohesi (kg/cm2)

Ø Sudut geser tanah (0) Tegangan runtuh (kg/cm2) St Sensitivitas

ε Regangan axial(%)

∆L Perubahan panjang (cm)

Lo Panjang mula-mula (cm)

A Luas rata-rata pada setiap saat (cm2) Ao Luas mula-mula (cm2)

σ Tegangan (kg/cm2) P Beban (kg)

k Faktor kalibrasi proving ring N Pembacaan proving ring (div)