GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN ORANGTUA TENTANG KONJUNGTIVITIS PADA ANAK DI DUSUN POTROBAYAN SRIHARDONO PUNDONG BANTUL

(1)

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

Derajat Sarjana Keperawatan pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

DENOK EL EPSI KHOIRUNISA 20120320117

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

KARYA TULIS ILMIAH

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN ORANGTUA TENTANG KONJUNGTIVITIS PADA ANAK DI DUSUN POTROBAYAN

SRIHARDONO PUNDONG BANTUL

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

Derajat Sarjana Keperawatan pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

DENOK EL EPSI KHOIRUNISA 20120320117

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

(4)

kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah ini tidak lepas dari bimbingan dan dukungan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat :

1. Ibu Romdzati, S.Kep.,Ns, MNS selaku dosen pembimbing yang telah membantu, mengarahkan, membimbing, dan memberi dorongan sehingga proposal ini dapat terselesaikan.

2. Ibu Arianti, S.Kep.,Ns, M. Kep., Sp. KMB selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan dan pengarahan pada proposal ini sehingga proposal ini menjadi lebih baik.

3. Ibu Shanti Wardaningsih., M.Kep., Ns., Sp.Kep.J, PhD selaku PJ Blok Karya Tulis Ilmiah yang telah mengarahkan dan memberi dorongan sehingga proposal dapat terselesaikan tepat waktu.

4. Teman-teman mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan dan berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang membantu baik secara materil maupun moril sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal ini.

5. Orangtua dan keluarga serta handai taulan yang telah memberi dorongan dan semangat agar proposal ini selesai.


(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

ABSTRACT ... xi

INTISARI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan ... 10

B. Konjungtivitis ... 15

C. Anak ... 28

D. Peran Orangtua ... 31

E. Peran Perawat ... 34

F. Peran Pemerintah ... 38

G. Kerangka Konsep ... 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 41

B. Populasi dan Sampel ... 41

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

D. Variabel Penelitian ... 42

E. Definisi Operasional... 42

F. Instrumen Penelitian... 43

G. Langkah Penelitian ... 44

H. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 46

I. Penggelolaan dan Metode Analisa Data ... 48

J. Etik Penelitian ... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Lokasi ... 54

B. Hasil ... 55

C. Pembahasan ... 63

D. Kekuatan dan Kelemahan Penelitian ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 80


(6)

(7)

(8)

Tabel 4. Interpretasi nilai r Arikunto ... 47

Tabel 5. Kode Data Demografi dan Kategori Tingkat Pengetahuan ... 50

Tabel 6. Gambaran Karakteristik Responden Orangtua ... 52

Tabel 7. Tingkat Pengetahuan Orangtua Berdasarkan Usia ... 57

Tabel 8. Tingkat Pengetahuan Orangtua Berdasarkan Jenis Kelamin ... 58

Tabel 9. Tingkat Pengetahuan Orangtua Berdasarkan Pekerjaan ... 58

Tabel 10. Tingkat Pengetahuan Orangtua Berdasarkan Pendidikan ... 59

Tabel 11. Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Riwayat Konjungtivitis ... 59

Tabel 12. Tingkat Pengetahuan Orangtua Berdasarkan Sumber Informasi 60 Tabel 13. Distribusi Jawaban Responden ... 61


(9)

Lampiran 4. Kuesioner Penilaian Tingkat Pengetahuan Orangtua Lampiran 5. Surat Survey Pendahuluan ke PUSKESMAS Lampiran 6. Survey Pendahuluan ke Dusun Potrobayan Lampiran 7. Surat Keterangan Kelayakan Etik Penelitian Lampiran 8. Surat Uji Validitas

Lampiran 9. Permohonan Surat Ijin Penelitian ke BAPPEDA Lampiran 10. Surat Ijin dari BAPPEDA

Lampiran 11. Hasil Olah Data Demografi dan Tingkat Pengetahuan Lampiran 12. Hasil Crosstab


(10)

(11)

children have been infected with conjunctivitis. Medication mostly used eye drop and eye ointment without know the ingredient. The impact can be complication like cataract, glaucoma, and bacterial resistance. Therefore, researchers want to conduct research on knowledge level overview parents of children conjunctivitis in the Potrobayan Village Srihardono Pundong Bantul.

Purpose : The purpose of this research was to determine the level of parental knowledge of conjunctivitis in children.

Methode : The research design used quantitative descriptive approach that was research to get the overall picture of the object and subject of research. This study used purposive sampling with Slovin formula and obtained 71 respondents representing 246 parent population. Data were collected by distributing questionnaires to the respondents.

Result : The results showed that the respondents' knowledge level description of the 10 respondents (14.1%) had less knowledge, 48 respondents (67.6%) had moderate knowledge, and 13 respondents (18.3%) had good knowledge.

Conclusion and Recommendation : The level of parental knowledge of conjunctivitis in children in the Potrobayan Village mostly moderate. Statements about conjunctivitis known by the respondents with the highest score was on the item that statement on the treatment and the lowest score was on the item statement about the cause of conjunctivitis. Recommendation for Puskesmas in Pundong can give education to family and family can give information about health.


(12)

1

Konjungtivitis dapat mengenai semua kalangan tanpa memandang ras, usia, jenis kelamin, dan strata sosial serta dapat dijumpai diseluruh dunia. Konjungtivitis merupakan salah satu penyakit mata yang paling umum walaupun tidak ada data yang akurat mengenai insidensi konjungtivitis (American Academy of Opthamology, 2010).

Di Indonesia persentase data pasien dengan rawat inap konjungtivitis dan gangguan konjungtiva lain adalah 12,6% dan pasien rawat jalan konjungtivitis ada 28,3% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004). Konjungtivitis menduduki peringkat 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak pada tahun 2009. Dari 135. 749 pasien yang berkunjung ke poli mata, 73% adalah kasus konjungtivitis dan jenis yang paling banyak adalah kataralis epidemika yakni 80% (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Frekuensi konjungtivitis alergi di RS Dr. Soetarto Yogyakarta menempati peringkat pertama dengan jumlah 23 orang (30,7%), peringkat kedua konjungtivitis bakteri berjumlah 20 orang (26,7%), ketiga glaucoma berjumlah 17 orang (22,7%), setelah itu konjungtivitis virus berjumlah 11 orang (14,7%), dan

dry eye berjumlah 4 orang (5,3%) (Kurniadi, 2010). Angka kejadian konjungtivitis di RS PKU Muhammadiyah Bantul lebih banyak, yaitu 373 kasus (50,3%) dan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta terdapat 369 kasus (49,7%). Dari hasil tersebut tidak didapatkan daerah yang spesifik banyak terjadi


(13)

konjungtivitis di Bantul (Yunita, 2015). Berdasarkan pengalaman peneliti dengan melihat kejadian konjungtivitis di lingkungan sekitar Dusun Potrobayan terdapat satu anak yang terkena konjungtivitis maka satu keluarga tersebut ikut tertular. Sehingga, peneliti memilih tempat di Dusun Potrobayan Srihardono Pundong Bantul ini. Selain itu, bentang alam wilayah Bantul yang memang memiliki risiko tinggi terjadinya konjungtivitis (Hariyadi & Ratna, 2013).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Dusun Potrobayan Srihardono Pundong Bantul, beberapa warga baik orangtua maupun anak mereka sudah pernah terkena konjungtivitis. Peneliti melakukan wawancara pada sepuluh ibu di daerah Potrobayan, Srihardono, Pundong, Bantul, enam diantaranya memiliki anak yang pernah mengalami konjungtivitis atau yang mereka ketahui dengan nama belekan. Anak usia sekolah tidak diperbolehkan oleh orangtua mereka untuk mengikuti Proses Belajar Mengajar (PBM) di sekolah selama sakit mata. Selain tidak masuk sekolah, anak juga dilarang untuk bermain oleh orangtua mereka. Orangtua menganggap konjungtivitis pada anak mereka dapat menularkan kepada teman-temannya dan dapat semakin parah apabila anak bermain di luar rumah.

Penularan konjungtivitis sangat bervariasi bergantung pada penyebabnya. Konjungtivitis terbagi menjadi dua kelompok yaitu infeksius dan noninfeksius. Konjungtivitis infeksius seperti konjungtivitis, seperti disebabkan oleh bakteri, dan virus serta konjungtivitis lain disebabkan oleh chlamydia, jamur, dan parasit. Sedangkan, konjungtivitis yang termasuk noninfeksius yaitu konjungtivitis alergik (Mejia-Lopez dkk, 2011). Konjungtivitis yang termasuk infeksius sangat cepat penularannya dari satu mata ke mata lainnya dan dari satu anak ke anak lainnya.


(14)

Penularan konjungtivitis juga dapat disebabkan lifestyle, kondisi hygiene, dan lingkungan pekerjaan (Hutagalung dkk, 2011). Sedangkan konjungtivitis noninfeksius yaitu konjungtivitis alergi tidak dapat menular karena disebabkan oleh reaksi antibodi humoral terhadap alergen dari individu tersebut (Ilyas & Yulianti, 2014).

Banyak orang yang mempersepsikan konjungtivitis dengan pemahaman yang kurang tepat terutama dalam pengobatannya. Ibu-ibu di daerah Potrobayan, membeli obat tetes mata ke apotek tetapi kurang mengetahui kandungan obat tetes mata yang mereka beli. Dua di antara enam ibu yang memiliki anak dengan konjungtivitis menyebutkan pernah memberikan rebusan air daun sirih untuk membersihkan mata anak mereka. Selain di daerah tesebut, masih banyak opini orangtua yang menggunakan herbal tradisional untuk mengobati konjungtivitis tetapi belum ada penelitian secara ilmiah (Rila, 2015).

Pengobatan konjungtivitis selama ini masih banyak yang kurang tepat, baik indikasi maupun rasional penggunaan obatnya. Pengobatan konjungtivitis terbanyak menggunakan obat tetes mata atau salep mata. Obat tetes mata atau salep mata tersebut biasanya merupakan antibiotik dan beberapa mengandung kortikosteroid (Tampi, 2011). Meskipun efektif dalam mengatasi peradangan akut, efek kortikosteroid tidak bertahan lama dan menyebabkan resistensi atau rekurensi pada terapi jangka panjang. Efek samping kortikosteroid, baik topikal maupun sistemik, akan muncul dalam penggunaan jangka panjang (Sitompul, 2011).


(15)

Efek samping antibiotik jika digunakan secara tidak tepat akan menjadi resisten terhadap bakteri. Data yang didapatkan terdapat 48 catatan medik dari bagian mata RSUP Dr. Kariadi Semarang yang dinilai rasionalitas penggunaan antibiotikanya, yang tergolong rasional hanya 3,7%. Sebanyak 43,7% tidak ada indikasi, 96,3% dengan kategori ada antibiotika lain yang lebih efektif, 96,3% dengan kategori ada antibiotika lain yang kurang toksik, dan 42,3% dengan kategori ada antibiotika lain yang lebih murah (Tampi, 2011). Efek samping kortikosteroid antara lain resistensi, glaukoma, katarak, dan gangguan sistemik seperti trias efek samping, yaitu hiperglikemia, osteoporosis, dan hipertensi (Sitompul, 2011).

Pencegahan agar tidak terkena konjungtivitis akan mengurangi penggunaan obat tetes mata atau salap mata yang mengandung antibiotik maupun kortikosteroid. Sehingga dapat mengurangi efek samping antibiotik dan kortikosteroid. Pencegahan yang bisa dilakukan bergantung pula dengan penyebabnya. Jika konjungtivitis noninfeksius yang disebabkan oleh alergen maka bisa menghindari alergen tersebut. Jika konjungtivitis infeksius karena

lifestyle, kondisi hygiene, dan lingkungan pekerjaan yang dapat menjadi perantara bakteri, virus, jamur, dan parasit maka perlu memperbaiki lifestyle, menjaga kebersihan diri dan kebersihan lingkungan kerja. Hal tersebut sejalan dengan ayat Al Quran yaitu Surah Al-Baqarah ayat 222 yang artinya :

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang membersihkan diri”. (QS. Al Baqarah: 222)


(16)

Selain dicintai oleh Allah, kita juga dapat terhindar dari penyakit yang disebabkan oleh lingkungan yang kurang bersih (Departemen Agama RI, 2005).

Penting bagi kita menjaga mata karena pengetahuan (knowledge) menurut Notoatmodjo (2007) merupakan hasil tahu seseorang dengan menggunakan semua sistem indra yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba. Jika alat indra kita terganggu maka proses mendapatkan informasi atau pengetahuan juga akan terganggu seperti halnya dalam QS. An Nahl ayat 78 yang artinya :

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”. (QS. An Nahl :78)

Pencegahan yang dilakukan oleh perawat dan orangtua agar anak tidak terkena konjungtivitis serta berbagai komplikasi jangka panjang, tidak bisa lepas dari peran pemerintah. Pemerintah perlu membuat kebijakan khusus tentang penggunaan antibiotik dan kortikosteroid dalam menjaga kesehatan mata. Hal tersebut seharusnya dapat sejalan dengan sasaran pokok Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dalam meningkatkan pengendalian penyakit (Kementrian Kesehatan RI, 2015). Kebijakan pemerintah dalam kesehatan mata masih memprioritaskan gangguan refraksi dan katarak. Indonesia mencanangkan vision 2020 pada tanggal 15 Februari 2000 oleh Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden waktu itu. Vision 2020 adalah suatu inisiatif global untuk penanganan kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia yang dibuat oleh WHO (Pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI, 2014). Belum adanya kebijakan khusus berkaitan konjungtivitis dan pengobatannya membuat kesadaran masyarakat dalam memeriksakan juga


(17)

menjadi kurang. Sedangkan, dilihat dari komplikasi pengobatan jangka panjang konjungtivitis ini dapat berdampak pada gangguan penglihatan dan katarak juga (Sitompul, 2011).

Melihat dampak pengobatan kongjungtivitis dan bentang alam di Daerah Potrobayan yang berisiko terjadinya konjungtivitis serta hasil studi pendahuluan tentang kesadaran memeriksakan konjungtivitis pada anak yang kurang maka pengetahuan tentang konjungtivitis sangat perlu diperhatikan. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian tentang “Gambaran Tingkat Pengetahuan Orangtua tentang Konjungtivitis Anak di Dusun Potrobayan Srihardono Pundong Bantul”.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: “Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan orangtua tentang konjungtivitas pada anak?”

C.Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan orangtua tentang konjungtivitis pada anak.

2. Tujuan Khusus

a.Untuk mengetahui pengetahuan orangtua tentang penyebab konjungtivitis pada anak

b.Untuk mengetahui pengetahuan orangtua tentang tanda dan gejala konjungtivitis pada anak


(18)

c.Untuk mengetahui pengetahuan orangtua tentang penularan konjungtivitis pada anak

d.Untuk mengetahui pengetahuan orangtua tentang pengobatan konjungtivitis pada anak

e.Untuk mengetahui pengetahuan orangtua cara pencegahan konjungtivitis pada anak

f. Untuk mengetahui pengetahuan orangtua tentang komplikasi pengobatan konjungtivitis yang kurang tepat

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Ilmu Keperawatan

Penelitian ini bisa menjadi acuan untuk mengkaji tingkat pengetahuan orangtua terutama tentang konjungtivitis di suatu tempat untuk dilakukan penyuluhan terkait konjungtivitis.

2. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini bisa menjadi data penunjang bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian berkaitan dengan tingkat pengetahuan orangtua tentang konjungtivitis pada anak.

3. Bagi Puskesmas setempat

Penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi puskesmas setempat untuk melakukan penyuluhan tentang konjungtivitis.

4. Bagi Pemerintah

Penelitian ini dapat menjadi sumber data untuk pemerintah agar mencanangkan program penyuluhan untuk kesehatan mata anak. Hal


(19)

tersebut berfungsi untuk mencegah agar anak tidak terkena gangguan kesehatan mata terutama konjungtivitis.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan konjungtivitis, yaitu : 1. Penelitian oleh Anindya Hapsari dan Isgiantoro (2014) dengan judul

penelitian “Pengetahuan Konjungtivitis pada Guru Kelas dan Pemberian Pendidikan Kesehatan Mencuci Tangan pada Siswa Sekolah Dasar”.

Tujuan dalam penelitian mereka yaitu untuk mengetahui hubungan pengetahuan konjungtivitis guru kelas sekolah dasar dengan pemberian pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan menggunakan sabun pada peserta didik. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan menggunakan penarikan sampel jenis purposive sampling dengan sampel seluruh guru kelas sekolah dasar di wilayah kerja Puskesmas Trowulan. Hasil penelitian menemukan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan konjungtivitis guru sekolah dasar dengan pemberian pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan menggunakan sabun. Sebanyak 80 reponden (59,7%) memiliki pengetahuan yang kurang tentang konjungtivitis dan berperilaku negatif dengan tidak memberikan pendidikan kesehatan kepada peserta didik mereka.

Persamaan dalam penelitian Anindya Hapsari dan Isgiantoro yaitu sama dalam menilai pengetahuan konjungtivitis dan jenis pengambilan sampel dengan menggunaan purposive sampling. Perbedaan dalam penelitian Anindya Hapsari dan Isgiantoro yaitu responden merupakan


(20)

guru kelas dan menilai dua variabel dari guru berupa pengetahuan dan perilaku pemberian pendidikan kesehatan mencuci tangan oleh guru. 2. Penelitian oleh Erwin (2011), dengan judul penelitian “Tingkat

Pengetahuan Siswa SMA Methodist Pematang Siantar tentang Konjungtivitis”. Penelitian ini bersifat deskriptif. Sampel diambil dengan

metode non-probability sampling yaitu consecutive sampling dari bulan Juli hingga September 2011 dan didapatkan jumlah sampel 83 orang. Hasil penelitian didapatkan tingkat pengetahuan siswa-siswi SMA Methodist Pematang Siantar terhadap konjungtivitis 73,6% sedang, 16,8% buruk, dan 9,6% baik. Dilihat dari hasil tersebut, tingkat pengetahuan siswa-siswi 73,6% dikategorikan sedang, sehingga dalam penelitian ini peneliti berharap sekolah dapat memberikan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan tentang konjungtivitis.

Persamaan dari penelitian Erwin yaitu menilai tingkat pengetahuan tentang konjungtivitis dan sama bersifat deskriptif. Perbedaan dari penelitian Erwin yaitu responden merupakan siswa SMA dan sampel diambil dengan metode non-probability sampling yaitu consecutive sampling.


(21)

10 A. Pengetahuan (Knowledge)

1. Pengertian

Pengetahuan (knowledge) menurut Notoatmodjo (2007) merupakan hasil tahu seseorang dengan menggunakan semua sistem indra yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba. Mata dan telinga merupakan alat indra yang paling besar pengaruhnya dalam pengambilan informasi sebagai pengetahuan. Pengetahuan juga yang paling penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). 2. Dampak

Dampak dari pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007) yaitu adanya perilaku baru dari individu baik perilaku negatif maupun perilaku positif. Suatu perilaku bersifat langgeng (long lasting) jika perilaku tersebut diterapkan berdasarkan pengetahuan, kesadaran, dan sikap positif. Sebelum seseorang menerapkan perilaku, terjadi tahap berurutan seperti : a. Awareness (kesadaran). Hal ini dapat berarti individu menyadari

informasi yang akan didapatkan terlebih dahulu.

b. Interest. Individu mulai memiliki rasa ketertarikan dengan informasi yang didapatkan.

c.Evaluation. Pada tahap ini individu mulai bersikap lebih baik dengan menimbang baik atau tidak informasi tersebut bagi dirinya.


(22)

d. Trial. Tahap ini merupakan tahap individu mulai mencoba perilaku yang baru.

e. Adoption. Tahap terakhir, individu mulai menerapkan perilaku sesuai dengan kesadaran, pengetahuan, dan sikap.

3. Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu baik, cukup, kurang. Skor untuk menentukan kategori tersebut biasanya dituliskan dalam bentuk persentase. Pengetahuan dinilai baik jika persentasenya > 76 % - 100 %; cukup dengan persentase 56 % - 75 % ; dan kurang dengan persentase ≤ 55 % (Nursalam, 2013). Tingkat pengetahuan orangtua juga dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa hal-hal yang berkaitan dengan diri individu. Faktor eksternal berhubungan dengan lingkungan di luar diri individu yang mempengaruhi pengetahuan. Orangtua mampu menyerap informasi yang didapatkan dapat dikategorikan menjadi beberapa tingkatan menurut Notoatmodjo (2007), yaitu:

1) Tahu (know)

Tahu merupakan proses mengingat suatu materi yang telah didapatkan sebelumnya. Tahap ini merupakan tahap paling rendah karena termasuk tahap mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari semua informasi yang diterima. Pengukuran yang dapat dilakukan pada tahap ini yaitu individu tahu tentang informasi yang


(23)

dipelajari seperti menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya.

2) Memahami (comprehension)

Pada tahap ini, individu sudah mampu menjelaskan dengan benar tentang objek yang telah dipelajari. Penilaian yang bisa dilakukan untuk mengetahui individu telah sampai ditahap ini yaitu individu mampu menjelaskan, menyebutkan contoh, dan menyimpulkan materi yang telah dipelajari.

3) Aplikasi (aplication)

Individu yang telah sampai pada tahap ini, sudah mampu menerapkan materi yang dipelajari sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Individu mampu menggunakan hukum-hukum, rumus, metode, dan prinsip dalam suatu keadaan yang berbeda.

4) Analisis (analysis)

Tahap analisis, individu mampu menjabarkan suatu informasi dalam komponen-komponen yang sesuai tetapi tetap saling berkaitan. Individu yang telah mencapai tahap ini, mampu menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, dan mengelompokkan. 5) Sintesis (synthesis)

Individu mencapai tahap sintetis jika telah mampu menghubungkan beberapa informasi menjadi suatu informasi yang baru dalam satu keseluruhan. Individu sudah mampu menyusun,


(24)

merencanakan, meringkas, dan menyesuaikan suatu teori yang telah ada.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi merupakan tahap individu mampu untuk melakukan penilaian terhadap suatu informasi yang ada. Individu mampu mengelompokan permasalahan berdasarkan teori yang telah ada sesuai dengan pemikiran individu.

4. Indikator Tingkat Pengetahuan

Indikator tingkat pengetahuan dapat digunakan untuk menilai tingkat pengetahuan orangtua sampai pada tingkat baik, cukup, atau kurang. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan tentang sakit dan penyakit menurut Notoatmodjo (2007), yaitu Penyebab penyakit, tanda dan gejala penyakit, cara pengobatan dan layanan kesehatan yang harus dicari, cara penularan, dan cara pencegahan agar tidak terjadi lagi.

5. Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Pengetahuan seseorang dengan orang lainnya akan berbeda-beda. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang menurut Budiman dan Riyanto (2013), yaitu :

a. Pendidikan

Pendidikan seseorang akan mempengaruhi proses belajarnya, semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan semakin mudah untuk menerima informasi. Peningkatan pengetahuan tidak hanya


(25)

didapatkan di pendidikan formal tetapi juga dapat diperoleh di pendidikan nonformal, orang lain, dan media massa. Oleh karena itu, seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti berpengetahuan rendah pula.

b. Informasi/media massa

Informasi dapat dijumpai di sekitar kita yang diperoleh dari data dan pengamatan melalui pancaindra dan diteruskan melalui komunikasi. Informasi dapat berupa data, teks, gambar, suara, kode, program komputer, dan basis data. Informasi yang diperoleh dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) yang akan menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.

c. Sosial, budaya, dan ekonomi

Seseorang akan bertambah pengetahuan tentang sesuatu hal yang berkaitan dengan kebiasaan dan tradisi yang ada di sekitarnya. Selain itu, pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh status ekonominya karena berkaitan dengan fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu.

d. Lingkungan

Lingkungan mempengaruhi proses masuknya pengetahuan ke dalam individu karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak. Lingkungan yang ada akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.


(26)

e. Pengalaman

Pengalaman merupakan suatu cara seseorang memperoleh kebenaran pengetahuan. Masa lalu menjadi salah satu pengetahuan sebagai pertimbangan dalam memecahkan masalah yang sama.

f. Usia

Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikir seseorang, sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin membaik. Selain itu, banyak hal yang dilakukan oleh seseorang dalam bertambahnya infromasi sehingga pengetahuannya akan meningkat. Di sisi lain, dapat diperkirakan IQ (Intelligence Quotient) akan menurun sejalan bertambahnya usia seperti penurunan dalam pengetahuan umum dan kosa kata.

B. Konjungtivitis

1. Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah selaput lendir pada mata yang melapisi belakang kelopak mata dan di bagian bola mata di sekitar kornea (selaput bening mata). Keduanya berfungsi melindungi mata dari gesekan mata dan berbatasan langsung dengan dunia luar (Syaifuddin, 2011).

Konjungtiva adalah membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang. Konjungtiva berfungsi membasahi bola mata terutama kornea karena terdapat sel Goblet yang menghasilkan kelenjar musin. Konjungtiva merupakan bagian yang dapat menyerap berbagai macam


(27)

obat mata. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian yaitu konjungtiva tarsal, konjungtiva bulbi, konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva (Ilyas & Yulianti, 2014).

Gambar 1. Penampakan konjungtivits normal 2. Pengertian Konjungtivitis

Konjungtivitis adalah radang konjungtiva atau radang pada selaput lendir yang menutupi belakang kelopak dan bola mata (Ilyas & Yulianti, 2014). Konjungtivitis adalah proses inflamasi akibat infeksi atau non-infeksi pada konjungtiva yang ditandai dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler, dan eksudasi (Vaughan dkk, 2010). Konjungtivitis jika diatasi dengan segera tidak akan membahayakan, jika tidak segera ditangani atau diobati dapat menyebabkan kerusakan pada mata dan dapat menimbulkan komplikasi seperti glaukoma, katarak maupun ablasia retina (Arif, 2005).


(28)

Tabel 1. Diagnosis Banding Konjungtivitis yang Lazim Klinik & sitologi Viral Bakteri Klamidia Atopik

(alergi)

Gatal Minim Minim Minim Hebat

Hiperemia Umum Umum Umum Umum

Air mata Profuse Sedang Sedang Sedang

Eksudasi Minim Mengucur Mengucur Minim

Adenopati-preurikular

Lazim Jarang Lazim hanya konjugntivitis inklusi

Tak ada Pewarnaan

usapan & eksudat

Monosit Bakteri, PMN

PMN, plasma sel badan inklusi

Eosinofil Sakit tenggorok,

panas yang menyertai

Kadang Kadang Tidak Tidak Sumber : D. Vaugan & T. Asbury dalam Ilyas & Yulianti, 2014 3. Macam-macam Konjungtivitis

Konjungtivitis dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu infeksius dan non infeksius. Konjungtivitis yang termasuk ke dalam kelompok infeksius terbanyak akibat bakteri dan virus serta yang lain disebabkan oleh chlamydia, jamur, dan parasit. Konjungtivitis ini banyak terjadi pada musim panas. Sedangkan, konjungtivitis yang termasuk noninfeksius yaitu konjungtivitis alergik (Mejia-Lopez dkk, 2011).

a. Viral Conjunctivitis

Viral Conjunctivitis merupakan kasus tersering dari semua kasus konjungtivitis akut. Banyak kasus kesalahan diagnosa Viral Conjunctivitis sebagai bacterial conjunctivitis. Konjungtivitis jenis ini biasanya disebabkan oleh andenovirus. Masa inkubasi terjadi pada 5 sampai 12 hari. Penularan penyakit mulai pada 10 sampai 15 hari.


(29)

Penularan konjungtivitis dapat terjadi akibat lifestyle, kondisi hygiene, dan lingkungan pekerjaan (Hutagalung dkk, 2011).

Viral Conjunctivitis memiliki risiko penularan yang tinggi melalui kontak langsung dari jari tangan, alat pengobatan, air kolam renang, dan bagian tubuh lain yang terkontaminasi. Pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terkena Viral Conjunctivitis dengan mencuci tangan, membersihkan dengan disinfektan, dan memisahkan tempat tidur penderita dengan orang lain yang belum terkena konjungtivitis (Azari & Barney, 2014).

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu dengan artificial tears (air mata buatan), topical antihistamines, atau diberikan kompres dingin. Meskipun kurang efektif, tindakan tersebut dapat mengurangi gejala yang muncul. Penggunaan antivirus tidak dianjurkan dan antibiotik topikal tidak diindikasikan. Penggunaan obat tetes mata antibiotik dapat meningkatkan risiko penularan dari tetes mata tersebut. Selain itu, juga dapat meningkatkan angka resisten dari bakteri. Jika gejala tidak berkurang setelah lebih dari 7 sampai 10 hari, maka penderita Viral Conjunctivitis harus dirujuk ke poli mata karena berisiko terjadi komplikasi (Azari & Barney, 2014).


(30)

Gambar 2. Kondisi Mata dengan Viral Conjunctivitis

b. Bacterial Conjunctivitis

Bacterial Conjunctivitis dapat terjadi akibat terinfeksi dari individu secara langsung atau hasil dari perkembangbiakan abnormal mikroorganisme di konjungtiva. Selain itu, penyebab lain terjadi akibat kontaminasi jari tangan, penularan secara oculogenital, dan beberapa kondisi seperti gangguan produksi air mata, gangguan penghalang alami dari epithelial, trauma, dan bakteri. Bakteri yang umum pada orang dewasa yaitu spesies dari Staphylococcal seperti Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Sedangkan, pada anak-anak lebih sering disebabkan oleh S. pneumoniae, H. Influenzae, dan

Moraxella chatarralis. Konjungtivitis ini biasanya berlangsung selama 7 sampai 10 hari (Ilyas dkk, 2008) .

Hyperacute conjunctivitis ditandai dengan keluarnya kotoran mata yang sangat purulent dan penurunan penglihatan. Gejala lain yang timbul yaitu pembengkakan pada kelopak mata, mata terasa nyeri ketika dipalpasi, dan preauricular adenopathy. Dikatakan kronik


(31)

jika konjungtivitis bakterial terjadi lebih dari 4 minggu dengan penyebab bakteri Staphylococcus aureus, Moraxellalacunata dan enteric bacteria (bakteri tipus). Tanda dan gejala yang muncul juga yaitu mata merah, keluar kotoran bersifat purulen atau mucopurulen, dan chemosis. Masa inkubasi selama 1 sampai 7 hari dan berlangsung juga dapat menular selama 2 sampai 7 hari (Ilyas dkk, 2008).

Gambar 3. Kondisi Mata dengan Bacterial Conjunctivitis

c. Allergic Conjunctivitis

Konjungtivitis alergi merupakan bentuk radang konjungtiva akibat reaksi alergi terhadap noninfeksi dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasa dan reaksi terlambat sesudah beberapa hari kontak dengan alergen. Konjungtivitis alergi merupakan reaksi antibodi humoral terhadap alergen. Biasanya dengan riwayat atopi. Gejala utama penyakit alergi ini adalah radang (merah, sakit, bengkak, dan panas), gatal, silau berulang, dan menahun. Tanda karakteristik lainnya yaitu terdapat papil besar pada konjungtiva dan dapat mengganggu penglihatan. Walaupun penyakit alergi konjungtiva


(32)

sering sembuh sendiri akan tetapi dapat memberikan keluhan yang memerlukan pengobatan. Pengobatan yang dapat dilakukan yaitu menghindari penyebab pencetus penyakit dan memberikan astingen,

sodium kromolin, steroid topikal dosis rendah yang disusul dengan kompres dingin untuk menghilangkan bengkak. Pada kasus yang berat dapat diberikan antihistamin dan steroid sistemik (Ilyas dkk, 2008). 4. Pengobatan Konjungtivitis Konvensional

a. Air Rebusan Daun Sirih

Orangtua sering memberikan pengobatan dengan menggunakan air rebusan daun sirih untuk beberapa gangguan akibat bakteri. Masyarakat Indonesia sudah lama mempercayai dan menggunakannya sebagai obat tradisional. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa ekstrak daun sirih hijau mengandung daya antibakteri yang terdiri dari

fenol dan senyawa turunannya yang mampu menghambat pertumbuhan berbagai macam bakteri. Bakteri yang dapat dihambat oleh kandungan dalam ekstrak daun sirih yaitu bakteri Staphylococcus aureus yang menjadi patogen pada keadaan tertentu (Inayatullah, 2012).

b. Saliva

Konjungtivitis yang terjadi pada anak usia bayi sering diberi saliva oleh orangtua mereka untuk mengobati konjungtivitis. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengoleskan saliva pada mata anak dan membersihkan mata anak dari sekret. Dilihat dari perannya dalam mulut, saliva atau air ludah memiliki peran sebagai pelumas yang


(33)

melapisi mukosa dan membantu melindungi jaringan mulut terhadap iritasi mekanis, termal, dan zat kimia. Fungsi lain saliva yaitu dapat bertindak sebagai penyimpan ion yang memfasilitasi remineralisasi gigi, aktivitas antimikroba yang melibatkan immunoglobulin A, lisozim,

laktoferin dan myeloperoxide (DePaola, 2008). Beberapa tindakan yang dilakukan oleh orangtua dengan mengobati konjungtivitis anak menggunakan air ludah (saliva) karena salah satu perannya sebagai antimikroba.

c. ASI

Beberapa manfaat ASI dan kandungannya menurut Hegar (2008) sangat banyak yaitu ASI telah terbukti sangat bermanfaat dalam mencegah berbagai penyakit berkaitan dengan infeksi pada balita, mengandung antivirus dan antibakteri, serta faktor antiparasit. Hal tersebut karena ASI mengandung beberapa zat yaitu protein, enzim, Calcium, phospor, vitamin, besi, zinc, cuprum, dan hormon. Selain itu, ASI juga mengandung faktor kekebalan seperti latobacillus bifidus, antistafilokok, sekresi IgA dan Ig lainnya, C3 dan C4, lisozim,


(34)

Tabel 2. Manfaat Jenis Faktor Kekekebalan dalam ASI

Jenis Faktor Kekebalan Manfaat

latobacillus bifidus Menghambat pertumbuhan bakteri patogen Antistafilokok Menghambat pertumbuhan staphylokok sekresi IgA dan Ig lainnya Melindungi tubuh terhadap infeksi saluran

makanan dan saluran pencernaan Lisozim Menghancurkan sel dinding bakteri

C3 dan C4 C3 mempunyai daya opsonik, kemotaktik, dan anafilatoksik

Laktoperoksidase Membunuh streptokok sel darah putih (leukosit) Fagositosis

Laktoferin Membunuh kuman dengan jalan merubah ion zat besi (Fe)

Sumber : Hegar, 2008 d. Air Seni Pagi Hari

Air seni atau urin sudah sangat banyak dijadikan terapi sejak beberapa tahun silam. Terapi urin tersebut dikenal sebagai terapi auto

urin yang berawal dari India sejak 5.000 tahun lalu. Setelah itu beberapa negara mulai menerapkan terapi auto urin ini seperti negara Eropa, Cina, dan Jepang. Terapi auto urin ini merupakan suatu metode untuk menjaga kesehatan maupun pengobatan yang menggunakan air seni sendiri sebagai suatu obat. Setelah itu, perkembangan zaman modern mulai memperhatikan dan membuktikan secara ilmiah tentang kandungan dan khasiat dari urin (Gitoyo, 2014).

Dalam pertemuan besar di beberapa negara telah membahas tentang efektivitas urin sebagai obat dari penyakit serius seperti HIV/AIDS. Beberapa orang melaporkan pengalaman mereka dalam terapi auto urin untuk menyembuhkan penyakit HIV/AIDS. Meskipun begitu, belum ada penelitian terbaru terkait terapi auto urin. Proses penyembuhan dengan terapi auto urin masih belum dijelaskan secara


(35)

rinci. Kandungan urin yang dapat menghambat virus atau bakteri juga belum dapat dijelaskan oleh beberapa ilmuwan atau peneliti. Sehingga urin sebagai pengobatan konjungtivitis dengan berbagai penyebab belum dapat dikatakan efektif untuk diberikan (Pusat Informasi Pengobatan Medis Holistik untuk HIV/AIDS, 2015).

Menurut pandangan Islam, urin atau air kencing manusia merupakan najis. Hal tersebut dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas ra. yang diriwayatkan di dalam Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) tentang dua orang penghuni kubur yang diazab, Rasulullah SAW bersabda,

Adapun salah satu dari keduanya tidak membersihkan dirinya dari kencingnya” (HR. Bukhari no. 216, 218, 1361, 1378 dan Muslim no. 292).

Adanya hadist tersebut, sebaiknya pengobatan dengan menggunakan urin dapat dipertimbangkan karena berdampak pada keyakinan seseorang. Jika pengobatan lain yang lebih baik dapat dilakukan maka pengobatan dengan menggunakan urin dapat dihindari karena urin termasuk kedalam najis.

5. Komplikasi Konjungtivitis

a. Komplikasi Pengobatan Antibiotik

Rasionalitas penggunaan antibiotik dalam penatalaksanaan konjungtivitis sangat rendah. Sebagaian besar penggunaan antibiotika tidak rasional karena tidak ada indikasi dan tidak tepat jenis. Terdapat 48 catatan medik dengan pemberian antibiotik sesuai indikasi


(36)

berjumlah 27 (56,3 %) dan tidak ada indikasi 21 (43,7%). Berdasarkan ketepatan penggunaan antibiotik, ada 1 (3,7%) tepat dan tidak tepat 26 (96,3%). Hal tersebut terjadi karena konjungtivitis memiliki banyak macam berdasarkan penyebabnya tetapi tanda dan gejala banyak yang hampir sama (Tampi, 2011).

b. Komplikasi Pengobatan Kortikosteroid 1) Mekanisme Kerja Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan antiinflamasi yang identik dengan kortisol, hormon steroid alami pada manusia yang disintesis dan disekresi oleh korteks adrenal. Efek antiinflamasi kortikosteroid mempengaruhi berbagai sel imunokompeten seperti sel T, makrofag, sel dendritik, eosinofil, neutrofil, dan sel mast, yaitu dengan menghambat respons inflamasi dan menyebabkan apoptosis berbagai sel tersebut (Sitompul, 2011).

2) Resistensi dan Efek Samping pada Penggunaan Kortikosteroid Jangka Panjang

Kortikosteroid efektif dalam mengatasi peradangan akut, meskipun begitu efek kortikosteroid seringkali tidak bertahan lama bahkan menyebabkan resistensi atau rekurensi dalam perjalanan terapi jangka panjang. Selain itu, efek samping kortikosteroid baik topikal maupun sistemik membatasi penggunaan jangka panjang (Sitompul, 2011).


(37)

Kortikosteroid sebaiknya hanya diberikan apabila manfaat terapi melebihi risiko efek samping yang akan terjadi (risk-benefit ratio). Dosis dan lama terapi dengan kortikosteroid bersifat individual. Pemberian kortikosteroid dianjurkan untuk dimulai dari dosis tinggi kemudian diturunkan secara perlahan menurut tanda klinis inflamasi. Apabila kortikosteroid digunakan selama lebih dari 2-3 minggu, penghentiannya harus dilakukan secara bertahap (tapering off) (American Academy of Ophthalmology, 2010).

3) Terjadi Glaukoma

Pada beberapa pasien, kortikosteroid topikal menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler (TIO) yang disebut sebagai

corticosteroid-induced ocular hypertension. Apabila peningkatan TIO tersebut menetap dan menyebabkan gangguan lapang pandang serta kerusakan saraf penglihatan, maka terjadi corticosteroid-induced glaucoma. Corticosteroid-induced ocular hypertension

terjadi dalam waktu beberapa minggu setelah pemberian kortikosteroid potensi kuat atau beberapa bulan setelah pemberian kortikosteroid potensi lemah. Potensi dan konsentrasi sediaan kortikosteroid topikal berbanding lurus dengan “kemampuan” mencetuskan corticosteroid-induced ocular hypertension dan

corticosteroid-induced glaucoma (Sitompul, 2011).

Kortikosteroid menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia di jaringan trabekular. Kortikosteroid mempengaruhi


(38)

proliferasi, fagositosis serta bentuk dan ukuran sel pada jaringan trabekular. Selain itu, kortikosteroid menyebabkan penumpukan materi ekstraseluler melalui induksi proliferasi apparatus Golgi, peningkatan jumlah retikulum endoplasma, dan peningkatan jumlah vesikel sekretorik. Kortikosteroid juga meningkatkan sintesis fibronektin, laminin, kolagen, dan elastin. Struktur aktin sitoskeleton jaringan trabekular mengalami reorganisasi menjadi

cross-linked actin networks (CLANs). Seluruh perubahan morfologi dan biokimia pada jaringan trabekular menyebabkan gangguan aliran cairan aqueous. Gangguan tersebut mengakibatkan peningkatan TIO pada corticosteroid-induced glaucoma (Clark dkk., 2010).

4) Terjadi Katarak

Corticosteroid-induced subcapsular cataract adalah efek samping lain yang sering ditemukan pada penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang. Penyebab timbulnya katarak adalah ikatan kovalen antara steroid dan protein lensa yang menyebabkan oksidasi protein struktural. Risiko terjadinya katarak berbanding lurus dengan lama penggunaan kortikosteroid topikal (Sitompul, 2011).

Patofisiologi posterior subcapsular cataract (PSC) akibat kortikosteroid antara lain melalui pembentukan ikatan kovalen antara kortikosteroid dengan residu lisin pada lensa dan penurunan


(39)

kadar anti-oksidan asam askorbat dalam cairan aqueous. Ikatan kovalen tersebut mengakibatkan terjadinya kekeruhan lensa pada katarak. Selain itu, kortikosteroid menghambat pompa Na-K pada lensa sehingga terjadi akumulasi cairan dan koagulasi protein lensa yang menyebabkan kekeruhan lensa (Poetker & Reh., 2010). 5) Efek Samping Sistemik

Ada tiga efek samping yang khas sehingga disebut trias efek samping, yaitu hiperglikemia, osteoporosis, dan hipertensi. Oleh sebab itu, perlunya membatasi penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang. Kortikosteroid menyebabkan hiperglikemia melalui peningkatan glukoneogenesis hati dan penurunan ambilan glukosa oleh jaringan perifer. Kortikosteroid juga meningkatkan resistensi insulin melalui penurunan kemampuan adiposa dan hepatosit untuk berikatan dengan insulin. Hiperglikemia terkait pemberian kortikosteroid bersifat reversibel, gula darah akan kembali normal setelah penghentian kortikosteroid. Pasien yang menerima kortikosteroid oral memiliki risiko lebih besar untuk mengalami hiperglikemia. Selain itu, diabetes ditemukan empat kali lebih sering pada kelompok yang menerima kortikosteroid (Sitompul, 2011).

Kortikosteroid menyebabkan penurunan kadar kalsium darah melalui penghambatan absorbsi kalsium oleh usus halus dan peningkatan ekskresi kalsium di urin. Kadar kalsium darah yang


(40)

rendah menstimulasi sekresi hormon paratiroid sehingga terjadi peningkatan aktivitas osteoklas dan absorbsi tulang. Hal itu ditujukan untuk memperbaiki keseimbangan kalsium serum, namun menyebabkan penurunan densitas tulang. Kecepatan penurunan densitas tulang lebih tinggi pada enam bulan pertama terapi (sebesar 10%) dan menurun setelahnya (2-5% per tahun). Kortikosteroid juga menghambat aktivitas osteoblas dan menginduksi apoptosis osteoblas serta osteosit sehingga terjadi osteoporosis. Osteoporosis terutama terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid dengan dosis yang setara denagn prednison >5 mg/hari. Oleh sebab itu, pengukuran densitas tulang dianjurkan untuk pasien yang akan menerima kortikosteroid dengan dosis ekuivalen prednison > 7,5 mg/hari selama lebih dari 1-3 bulan (Sitompul, 2011).

C. Anak

1. Pengertian anak

Anak adalah individu yang berada dalam suatu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun), usia bermain 1-2,5 tahun, pra sekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun), hingga remaja (11-18 tahun). Setiap anak dalam renatang tersebut akan berbeda satu sama lain. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan anak dapat terjadi secara cepat dan lambat. Proses


(41)

perkembangan anak dapat dilihat dari ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping, dan perilaku sosial (Hidayat, 2007).

Pengertian anak berdasarkan usia menurut beberapa ahli (Huraerah, 2006), yaitu :

a. Menurut The Minimum Age Convention No 138 tahun 1973, anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah.

b. Convention on The Right of the Child tahun 1989 yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 tahun 1990, menyatakan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.

c. UNICEF mengartikan anak sebagai penduduk yang berusia 0 sampai dengan 18 tahun.

d. Undang-undang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak menjelaskan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah.

2. Karakteristik Anak

Perkembangan anak terbagi menjadi beberapa tahap perkembangan (Erickson,1963 dalam Yusuf, 2006) yaitu :

a. Masa bayi (0-1,5 tahun), anak belajar bahwa dunia merupakan tempat yang baik baginya, dan ia belajar menjadi optimis mengenai kemungkinan–kemungkinan mencapai kepuasan.

b. Masa Toddler (1,5 – 3 tahun), anak belajar menggunakan kemampuan bergerak sendiri untuk melaksanakan dua tugas penting, yakni


(42)

pemisahan diri dari ibu dan mulai menguasai diri, lingkungan, dan keterampilan dasar untuk hidup.

c. Awal masa kanak – kanak ( > 4 tahun), anak belajar mencontoh orang tuanya, pusat perhatian anak berubah dari benda ke orang.

d. Awal masa kanak – kanak (6 – 7 tahun), anak belajar menyesuaikan diri dengan teman sepermainannya, ia mulai bisa melakukan hal – hal kecil (berpakaian, makan) secara mandiri.

e. Akhir masa kanak – kanak (8 – 11 tahun), anak belajar untuk membuat kelompok dan berorganisasi.

f. Awal masa remaja (12 tahun), anak belajar membuang masa kanak – kanaknya dan belajar memusatkan perhatian pada diri sendiri.

g. Remaja (adolescence) dan dewasa, masa ini merupakan masa transisi yang dapat diarahkan kepada perkembangan masa dewasa yang sehat. 3. Faktor-faktor yang Mepengaruhi Tumbuh Kembang Anak

Faktor yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak menurut Soetjiningsih (2014) dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik akan lebih mempengaruhi pada kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Faktor lingkungan diantaranya dipengaruhi oleh faktor keluarga. Faktor keluarga yang berperan penting dalam mempengaruhi tumbuh kembang anak yaitu ayah dan ibu. Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak. Jika pendidikan orangtua baik, maka orangtua dapat menerima segala informasi dari luar


(43)

terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, cara menjaga kesehatan anaknya, pemenuhan pendidikan anak dan sebagainya.

D. Peran Orangtua

1.Peran Orangtua dalam personal hygiene

Menurut Paujiah (2013) personal hygiene adalah suatu kegiatan positif dalam merawat diri yang akan mempengaruhi kesehatan terutama pada anak. Selain itu, personal hygiene dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti peran guru, orangtua, sarana, dan prasarana serta pengetahuan dari anak tersebut. Beberapa faktor tersebut, hubungan dukungan orangtua sangat mempengaruhi personal hygiene anak terutama pola asuh orangtua (Indrawati, 2014). Orangtua adalah ayah dan ibu kandung (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2015).

Menurut Tarwoto dan Wartonah (2006) yang termasuk dalam

personal hygiene diantaranya perawatan kebersihan kulit kepala dan rambut, mata, hidung, telinga, kuku kaki dan tangan, kulit, dan perawatan tubuh secara menyeluruh.

Kesimpulan dari beberapa pengertian tersebut yaitu perawatan mata juga termasuk dalam personal hygiene yang perlu juga diperhatikan oleh orangtua. Peran orangtua sangat mempengaruhi personal hygiene

anak termasuk pengetahuan anak tentang personal hygiene. Pengetahuan orangtua yang tepat terutama dalam pola asuh anak akan mempengaruhi pengetahuan anak tentang personal hygiene. Kebersihan mata juga bisa mencegah terjadinya konjungtivitis karena konjungtivitis disebabkan oleh


(44)

bakteri, virus, dan jamur yang muncul akibat kurangnya menjaga kebersihan mata.

2.Peran Orangtua dalam Mengobati dan Mencegah Konjungtivitis

Beberapa hal yang bisa dilakukan orangtua dalam mengobati dan mencegah konjungtivitis. Jika hal tersebut dapat dilakukan oleh orangtua di rumah maka akan mengurangi tugas perawat pada layanan kesehatan seperti puekesmas atau rumah sakit. Orangtua dapat membawa anaknya ke layanan kesehatan untuk mengetahui penyebab konjungtivitis. Setelah mengetahui penyebabnya maka orangtua dapat menyesuaikan pengobatan dan pencegahan penularan dari anak ke orang lain.

Pengobatan yang dapat dilakukan oleh orangtua sesuai dengan penyebab konjungtivitis pada anak mereka sesuai dengan tanda dan gejala yang muncul. Pengobatan pada konjungtivitis akibat virus dapat dilakukan dengan memberikan kompres dingin pada mata. Kompres dingin dapat mengurangi inflamasi yang ditimbulkan oleh virus. Perlu diperhatikan juga ketika memberikan satu kompres pada mata tidak boleh diberikan pada mata yang lain. Hal tersebut dapat mempercepat penularan mata yang satu ke mata lainnya. Pada konjungtivitis virus, penggunaan obat tetes mata antibiotik akan menambah risiko penularan. Sedangkan konjungtivitis akibat bakteri dapat diberikan antibiotik tetapi harus memperhatikan jarak antara mata dengan ujung obat tetes serta kebersihan tangan ketika mengobati. Konjungtivitis bakteri dapat diberikan air hangat untuk membersihkan sekret yang lengket pada mata.


(45)

Konjungtivitis alergik dapat diobati dengan mengatasi penyebab alergi kemudian dapat diberikan kompres dingin untuk mengurangi pembengkakan (Azari & Barney, 2014).

Pencegahan dapat dilakukan sesuai dengan penyebab yang sudah diketahui ketika memeriksakan ke layanan kesehatan. Pencegahan yang dapat dilakukan orangtua di rumah agar anak tidak terkena Viral Conjunctivitis dengan mengajarkan mencuci tangan, membersihkan dengan disinfektan, dan memisahkan tempat tidur anak mereka dengan orang lain yang belum terkena konjungtivitis (Azari & Barney, 2014). Pencegahan akibat bakteri hampir sama dengan pencegahan akibat virus tetapi penularan konjungtivitis akibat bakteri tidak setinggi penularan akibat virus. Pencegahan akibat alergi dapat dilakukan dengan menghindari alergen (Azari & Barney, 2014).

Secara umum beberapa hal yang harus diperhatikan keluarga atau orang sekitar yang membantu dalam merawat konjungtivitis pada anak menurut Ilyas dkk (2008) yaitu mengawasi penderita konjungtivitis untuk tidak sering memegang mata, mencuci tangan dengan baik sebelum dan setelah memakai obat, membersihkan muka dari bahan kosmetik seperti bedak atau semacamnya secara baik, mencegah pemakaian bersama saputangan, memakai lensa kontak dengan bersih agar tidak menjadi media kuman untuk masuk ke dalam mata, mata tidak boleh diperban atau dibebat, mata dengan konjungtivitis bakteri dapat dibersihkan menggunakan kasa dengan air hangat dan bersih, kompres dingin untuk


(46)

inflamasi dan pembengkakan akibat konjungtivitis, dan melepas lensa kontak yang dipakai jika sudah mengalami konjungtivitis.

E. Peran Perawat

Perawat kontemporer menuntut perawat yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai bidang. Peran perawat menjadi lebih luas dengan penekanan pada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit. Selain itu, perawat juga memandang klien secara komprehensif (Potter & Perry, 2005). Beberapa peran perawat menurut Hidayat (2009), yaitu :

1. Perawat Sebagai Pemberi Pendidikan Kesehatan

Peran perawat sebagai penyuluh, perawat menjelaskan kepada klien konsep dan informasi tentang kesehatan, mendemonstrasikan prosedur seperti aktivitas perawatan diri, menilai pemahaman klien tentang hal yang dijelaskan, dan mengevaluasi kemajuan pembelajaran klien (Potter & Perry, 2005).

Spesifik pada kejadian konjungtivitis, perawat dapat menjelaskan kepada orangtua atau masyarakat tentang penyebab konjungtivitis, tanda dan gejala konjungtivitis, cara pengobatan dan layanan kesehatan yang harus dicari, cara penularan, dan cara pencegahan agar tidak terkena konjungtivitis. Hal tersebut akan meningkatkan pengetahuan tentang konjungtivitis (Notoatmodjo, 2007).

2. Perawat Sebagai Pemberi Perawatan

Perawat sebagai pemberi perawatan dilakukan dengan asuhan keperawatan sesuai wewenang. Perawat membantu klien mendapatkan


(47)

kesehatannya melalui proses penyembuhan lebih dari sekedar sembuh dari penyakit tertentu (Potter & Perry, 2005). Memberikan pelayanan dalam keperawatan anak merupakan tugas utama perawat anak dengan memenuhi kebutuhan dasar anak sepersi asah, asih, dan asuh (Hidayat, 2009).

Pada kasus konjungtivitis ini perawatan yang dapat dilakukan oleh perawat secara mandiri yaitu pada kasus konjungtivitis virus dapat memberikan kompres dingin dan pemberian artificial tears (Azari & Barney, 2014).

3. Perawat Melakukan Kolaborasi

Kolaborasi merupakan tindakan kerja sama dalam menentukan tindakan yang akan dilaksanakan oleh perawat dengan tim kesehatan lain. Pelayanan keperawatan anak tidak dapat dilaksanakan secara mandiri oleh tim perawat tetapi harus melibatkan tim kesehatan lain seperti dokter, ahli gizi, psikolog, dan lain-lain, mengingat anak merupakan individu yang kompleks yang membutuhkan perhatian dalam perkembangan (Hidayat, 2009).

Tindakan kolaborasi yang dapat dilakukan oleh perawat dalam kasus konjungtivitis yaitu bekerja sama dengan dokter untuk pengobatan dan keluarga untuk menjaga anak agar tidak terjadi komplikasi. Kolaborasi yang bisa dilakukan dengan dokter untuk pemeberian obat topikal dengan tetes mata atau salep mata dan secara oral untuk menangani gejala sistemik jika diperlukan (Azari & Barney, 2014).


(48)

4. Perawat sebagai Advokat Keluarga

Selain merawat anak, perawat juga mampu sebagai advokat keluarga untuk membela keluarga dalam beberapa hal seperti dalam menentukan haknya sebagai klien (Hidayat, 2009).

5. Perawat sebagai Pencegah Penyakit

Upaya pencegahan merupakan bagian dari bentuk pelayanan keperawatan sehingga setiap dalam melakukan asuhan keperawatan, perawat harus selalu mengutamakan tindakan pencegahan terhdap timbulnya masalah baru sebagai dampak dari penyakit atau masalah yang diderita (Hidayat, 2009).

6. Perawat sebagai Konseling

Konseling merupakan upaya perawat dalam melaksanakan perannya dengan memberikan waktu untuk berkonsultasi terhadap masalah tersebut diharapkan mampu diatasi dengan cepat dan diahrapkan pula tidak terjadi kesenjangan antara perawat, keluarga, maupun anak itu sendiri. Konseling ini dapat memberikan kemandirian keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan (Hidayat, 2009).

7. Perawat sebagai Pengambil Keputusan Etik

Dalam mengambil keputusan, perawat mempunyai peran yang sangat penting. Saat anak dirawat di rumah sakit, perawat selalu berhubungan dengan anak kurang lebih 24 jam di samping anak, maka peran sebagai pengambil keputusan etik dapat dilakukan oleh perawat. Peran pengambilan


(49)

keputusan dapat terjadi ketika perawat akan melakukan tindakan pelayanan keperawatan (Hidayat, 2009).

8. Perawat sebagai Peneliti

Peran perawat ini sangat penting yang harus dimiliki oleh semua perawat anak. Sebagai peneliti, perawat harus melakukan kajian-kajian keperawatan anak yang dapat dikembangkan untuk perkembangan dunia keperawatan. Peran sebagai peneliti dapat dilakukan dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan anak (Wong 1995 dalam Hidayat, 2009).

Konjungtivitis pada anak dalam pengobatan yang dilakukan orangtua masih banyak yang dilakukan secara tradisional dan beberapa belum terbukti secara ilmiah (Rila, 2015). Seperti pada studi pendahuluan, orangtua masih memberikan rebusan daun sirih untuk menangani konjungtivitis pada anak tanpa mengetahui penyebabnya. Selai itu, ibu-ibu yang melakukan konsultasi pada dokter, banyak yang mgnggunakan ASI sebagai obat konjungtivitis anak (Bawono, 2015). Beberapa pengobatan yang belum terbukti secara ilmiah tersebut dapat dijadikan bahan kajian untuk penelitian bagi perawat.

F. Peran Pemerintah

Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah program Indonesia Sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan. Dalam sasaran pokok RPJMN 2015-2019 salah satunya yaitu meningkatnya pengendalian penyakit (Kementrian Kesehatan RI, 2015).


(50)

Pengendalian penyakit dalam kesehatan mata salah satunya yaitu menangani permasalahan kebutaan dan gangguan penglihatan. Dari permasalahan tersebut, WHO membuat program vision 2020 yang direkomendasikan untuk diadaptasi oleh negara-negara anggota. Vision 2020 adalah suatu inisiatif global untuk penanganan kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia. Tema besar World Sight Day (WSD) yang diangkat oleh WHO melanjutkan tema sebelumnya yaitu “Universal Eye Health” dengan pesan khusus “No more Avoidable Blindness”. Sekitar 80%

gangguan penglihatan dan kebutaan di dunia dapat dicegah. Dua penyebab terbanyak adalah gangguan refraksi dan katarak, yang keduanya dapat ditangani dengan hasil yang baik dan cost-effective di berbagai negara termasuk Indonesia. Di Indonesia, vision 2020 telah dicanangkan pada tanggal 15 Februari 2000 oleh Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden waktu itu (Kementrian kesehatan RI, 2014).

Kebijakan pemerintah dalam pengendalian penyakit terutaman penyakit dan gangguan mata masih memprioritaskan masalah kebutaan dan gangguan penglihatan. Penyebab terbesar dari kebutaan dan gangguan penglihatan yang disebutkan yaitu refraksi dan katarak. Beberapa katarak salah satunya dapat disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Kortikosteroid juga banyak digunakan dalam pengobatan konjungtivitis yang dapat berisiko terjadinya katarak jika penggunaanya yang kurang tepat. Sehingga, pemerintah juga perlu memperhatikan tingkat


(51)

kejadian konjungtivitis dan penggunaan obat yang mengandung kortikosteroid (Kementrian kesehatan RI, 2014).

G. Kerangka Konsep

Gambar 4. Kerangka konsep Tingkat Pengetahuan Orangtua tentang Konjungtivitis pada Anak

Keterangan :

: Tidak Diteliti : Diteliti

Faktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu:

a. Pendidikan

b. Informasi/media massa c. Sosial, budaya,dan ekonomi d. Lingkungan e. Pengalaman f. Usia Indikator tingkat pengetahuan orangtua tentang konjungtivitis:

a. Penyebab

b. Tanda dan gejala

c. Cara pengobatan dan layanan

kesehatan yang harus dicari

d. Cara penularan

e. Cara pencegahan agar tidak

terjadi lagi

f. komplikasi

Perilaku pengobatan yang dilakukan yaitu :

a. Farmakologi

1) Antibiotik

2) kortikosteroid

b. Nonfarmakologi

1) Kompres dingin

2) Kompres hangat

3) Pengobatan

tradisional

Komplikasi dari pengobatan farmakologi jangka panjang, yaitu :

a. Glaukoma

b. Katarak

c. Efek sistemik


(52)

41 A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif yaitu penelitian yang mendapatkan hasil gambaran secara menyeluruh tentang obyek dan subyek penelitian. Rancangan penelitian secara survei untuk mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan pengetahuan. Rancangan penelitian ini menggunakan metode yaitu penyebaran kuesioner. Penelitian ini hanya untuk mengumpulkan informasi tantang pengetahuan orangtua dengan menggunakan kuesioner dan wawancara langsung jika responden kesulitan membaca kuesioner.

B. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu seluruh orangtua yang mempunyai anak di Dusun Potrobayan Srihardono Pundong Bantul dengan jumlah populasi 246 orangtua (Sumber : Data Ka. Dukuh November 2015)

2. Sampel

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Purposive Sampling dengan kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu orangtua yang memiliki anak dan yang bersedia menjadi responden. Penentuan jumlah sampel dengan rumus Slovin yaitu :


(53)

(71 responden) A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Dusun Potrobayan Srihardono Pundong Bantul. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2016.

B. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini merupakan variabel tunggal yaitu tingkat pengetahuan orangtua tentang konjungtivitis pada anak. Variabel terdiri atas variabel independen (terikat) yaitu tingkat pengetahuan dan variabel dependen (tidak terikat) yaitu konjungtivitis.

C. Definisi Operasional

Tingkat pengetahuan orangtua tentang konjungtivitis pada anak mengkaji seberapa jauh orangtua mengetahui tentang konjungtivitis yang pada anak mereka pada tahap tahu. Pengetahuan tentang konjungtivitis dapat meliputi, pengertian konjungtivitis itu sendiri, penyebab, tanda dan gejala yang muncul, penularan, pengobatan, dan pencegahan dari konjungtivitis. Hal tersebut dapat diketahui dengan menggunakan kuesioner penilaian tingkat pengetahuan orangtua tentang konjungtivitis anak yang akan diberikan kepada responden. Kuesioner tersebut akan diinterpretasikan menjadi tiga


(54)

interpretasi yaitu baik, cukup, dan kurang. Skor untuk menentukan kategori tersebut biasanya dituliskan dalam bentuk persentase. Pengetahuan dinilai baik jika persentasenya > 76 % - 100 %; cukup dengan persentase 56 % - 75 % ; dan kurang dengan persentase ≤ 55 % (Nursalam, 2013). Penilaian tingkat pengetahuan orangtua tersebut diukur menggunakan skala ukur ordinal.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini berupa kuesioner yang meliputi kuesioner data demografi dan kuesioner penilaian tingkat pengetahuan orangtua tentang konjungtivitis pada anak.

1.Kuesioner Data Demografi

Data demografi dibuat sendiri oleh penelitian sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan dalam penelitian ini. Kuesioner terdiri atas 11 pertanyaan dengan 7 pertanyaan isian dan 4 pertanyaan pilihan.

2.Kuesioner Penilaian Tingkat Pengetahuan

Kuesioner dalam penelitian ini yaitu Kuesioner Penilaian Tingkat Pengetahuan tentang Konjungtivitis merupakan teori Notoatmodjo (2010) yang dikembangkan oleh peneliti. Kuesioner berisi 22 pernyataan menggunakan skala Guttman yang akan dijawab oleh responden dengan memberikan tanda centang ()untuk jawaban “benar” dan “salah”.


(55)

Tabel 3. Kisi-Kisi Kuesioner Penilaian Tingkat Pengetahuan Orangtua

No. Materi Pertanyaan Favorable

Pertanyaan

Unfavorable Jumlah

1 Pengertian 1, 2 - 2

2 Penyebab 3, 4 5 3

3 Tanda & gejala 6, 7 8, 9 4

4 Penularan 10, 12, 13 11 4

5 Pengobatan 14, 15 - 2

6 Pencegahan 16, 17, 18 19 4

7 Komplikasi 20, 21, 22 3

Total 17 5 22

Nilai maksimal kuesioner ini adalah 22 dengan pernyataan favorable

(positif) berjumlah 17 pernyataan dan unfavorable (negatif) berjumlah 5 pernyataan. Pernyataan dengan jawaban “benar” mendapat skor “1” sedangkan pernyataan dengan jawaban salah dan dikosongkan mendapat skor “0”. Data hasil kusioner ini dinilai dengan skala ordinal yang akan dikategorikan menurut Nursalam (2013) menjadi 3 yaitu, baik jika persentasenya > 76 % - 100 %; cukup jika persentasenya 56 % - 75 % ; dan kurang jika persentasenya ≤ 55 %.

E. Langkah Penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu : 1.Tahap Persiapan

a. Peneliti menyiapkan proposal penelitian.

b. Peneliti mengurus etik penelitian di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

c. Setelah etik keluar, peneliti mengurus izin penelitian dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang ditujukan kepada Badan Pembangunan Daerah (Bapeda) tempat penelitian yaitu Bantul.


(56)

d. Bapeda memberikan rujukan untuk surat ijin ke kelurahan, kecamatan, dan pedukuhan.

a. Peneliti melakukan koordinasi dengan asisten penelitian untuk membantu dalam pembagian kuesioner, pengumpulan kuesioner, dan pendampingan responden. Asisten berjumlah satu orang yang memiliki tujuan penelitian yang sama-sama akan menyebarkan kuesioner di Dusun Potrobayan. Sebelum memulai penelitian, peneliti menyamakan persepsi dengan cara briefing tentang kuisioner peniliti dan kuisioner asisten peneliti karena dalam satu bendel kuisioner terdiri dua macam kuesioner yang harus diisi. Penjelaskan terdiri atas cara menjawab dan maksud dari setiap item pernyataan.

2.Tahap Pelaksanaan

b. Penelitian dilaksanakan di Dusun Potrobayan, Srihardono, Pundong, Bantul yang sebelumnya sudah kontrak waktu dengan warga yang rumahnya akan dilakukan perkumpulan untuk melakukan penelitian di acara perkumpulan bapak-bapak dan ibu-ibu.

c. Peneliti/asisten peneliti menjelaskan tujuan penelitian dan kegiatan yang akan dilakukan kepada responden. Menjelaskan kepada responden bahwa kuesioner ini hanya sebagai bahan untuk penelitian peneliti terkait pengetahuan tentang konjungtivitis (belekan) dan tidak berbahaya maupun merugikan responden. Selain itu juga menjelaskan bahwa hasil pengisian akan dirahasiakan oleh peneliti.


(57)

d. Peneliti/asisten peneliti memberikan informed consent beserta kuesioner kepada responden di Dusun Potrobayan untuk diisi kemudian dikembalikan kepada peneliti.

e. Data yang terkumpul dari bapak-bapak dan ibu-ibu di perkumpulan RT dan arisan banyak yang mengalamai penolakan dengan alasan kurang jelas dalam melihat tulisan dan tidak membawa kacamata, merasa takut dalam menjawab meskipun sebelumnya sudah diberi penjelasan, dan pernyataan yang dianggap terlalu banyak.

f. Untuk memenuhi kekurangan data, peneliti menambah dengan mencari waktu luang bapak-bapak dan ibu-ibu berkumpul. Waktu yang didapatkan saat sore hari dan hari Minggu. Selain itu, untuk mengantisipasi jawaban bapak-bapak diisikan oleh istrinya maka pemberian kuesioner dilakukan diwaktu yang berbeda atau ditempat yang terpisah antara bapak-bapak tersebut dengan istrinya.

g. Peneliti menganalisis dan menyeleksi kuesioner yang didapatkan. F. Uji Validitas dan Reliabilitas

1. Validitas

Kuesioner yang dibuat dengan mengembangkan teori dari Notoatmodjo diujikan kepada populasi lain yang memiliki karakteristik seperti populasi yang diteliti yaitu di Dusun Sragen, Srihardono, Pundong, Bantul. Peneliti melakukan uji validitas kepada 20 responden sesuai dengan kriteria inklusi dari dusun tersebut.


(58)

Pada pengujian validitas, kuesioner yang diisi oleh responden dari populasi lain yang telah ditentukan untuk dilakukan uji korelasi antar skor (nilai) tiap-tiap item pertanyaan dengan skor total seluruh pertanyaan dengan menggunakan uji Pearson product Moment. Uji korelasi antar skor (nilai) telah diujikan menggunakan aplikasi dalam komputer. Hasil uji validitas kuisioner tingkat pengetahuan orangtua tentang konjungtivitis pada Anak dari 29 pertanyaan valid 22 pertanyaan dengan 7 pertanyaan yang tidak valid dan dihilangkan dari kuisioner. Pernyataan yang tidak valid tersebut memiliki r hitung < dari r tabel (0,444).

2. Reliabilitas

Uji reliabilitas pada penelitian ini menggunakan rumus K-R 20 (Kuder-Richardson) karena kuesioner menggunakan Skala Guttman

dengan dua macam pilihan jawaban (dikotomi) yaitu “benar” dan “salah”.

Rentang nilai kuesioner 0 sampai dengan 1. Jika nilai r pada K-R 20 mendekati angka satu maka akan semakin reliabel. Sebagai tolak ukur interpretasi reliabilitas adalah r sebagai berikut :

Tabel 4. Interpretasi nilai r Arikunto

No. Nilai r Interpretasi Hasil

1. 0,81 - 1,00 Sangat Tinggi

2. 0,61 - 0,80 Tinggi

3. 0,41 - 0,60 Cukup

4. 0,21 - 0,40 Rendah

5. 0,00 - 0,20 Sangat Rendah

Sumber : Arikunto (2013)

Hasil nilai r untuk menghitung uji reliabilitas dapat dicari menggunakan rumus K-R 20 seperti di bawah ini, yaitu:


(59)

Rumus K-R 20

r11 = ( ) ( ) Keterangan :

r11 = reliabilitas instrumen k = banyak butiran pertanyaan vt = varians total

p = proporsi subjek yang menjawab betul pada sesuatu butir (proporsi subjek yang mendapatkan skor 1)

p =

q =

Hasil uji reliabilitas kuisioner Tingkat Pengetahuan Orangtua tentang Konjungtivitis pada Anak didapatkan hasil 0,60. Hal tersebut menunjukkan bahwa kuisioner Tingkat Pengetahuan Orangtua tentang Konjungtivitis pada Anak memiliki reliabilitas yang cukup.

G. Pengelolaan dan Metode Analisa Data 1. Pengelolaan data

Data yang terkumpul melalui kuesioner dilakukan pengolahan data melalui beberapa tahap sebagai berikut :

a. Seleksi Data (editing)

Editing yang dilakukan yaitu dengan cara memeriksa kelengkapan, kesalahan pengisian dan konsistensi dari setiap jawaban dan pertanyaan. Beberapa data yang tidak sesuai dan tidak


(1)

DISKUSI

Distribusi Jawaban Responden

Indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan tentang sakit dan penyakit yaitu individu harus mengetahui tentang penyebab penyakit, tanda dan gejala penyakit, cara pengobatan dan layanan kesehatan yang harus dicari, cara penularan, dan cara pencegahan agar tidak terjadi lagi5. Setiap sub pernyataan memiliki beberapa item dengan skor yang berbeda-beda hasil distribusi jawaban responden.

Skor tertinggi dalam setiap sub yaitu pengertian pada pernyataan pertama dari dua pernyataan, belekan (konjungtivitis) adalah radang pada selaput lendir lapisan terluar bola mata. Penyebab pada pernyataan pertama dari tiga pernyataan yaitu belekan disebabkan oleh kebersihan mata yang kurang. Tanda dan gejala pada pernyataan kedua dari empat pernyataan yaitu belekan menimbulkan tanda dan gejala mata merah dan bengkak. Penularan pada pernyataan pertama dari empat pernyataan yaitu belekan menular melalui sapu tangan atau tisu yang sudah digunakan oleh orang yang terkena belekan. Pengobatan pada pernyataan pertama dari dua pernyataan yaitu belekan diobati dengan obat tetes mata atau salep mata yang dibeli di apotek. Pencegahan pada pernyataan pertama dari empat pernyataan yaitu belekan dicegah dengan

mencuci tangan sebelum dan setelah memberikan obat mata. Komplikasi pada pernyataan pertama dari tiga pernyataan yaitu pengobatan dengan obat tetes/salep mata yang mengandung kortikosteroid dalam waktu yang lama menyebabkan glaukoma.

Tingkat Pengetahuan Orangtua

Berdasarkan tabel 3, total responden yaitu 71 orang mayoritas memiliki pengetahuan tentang konjungtivitis pada anak termasuk dalam kategori cukup yaitu berjumlah 48 orang (67,6%). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hapsari dan Isgiantoro (2014) dengan hasil bahwa tingkat pengetahuan konjungtivitis pada guru sekolah dasar mayoritas memiliki pengetahuan kurang tentang konjungtivitis dan berperilaku negatif dengan tidak memberikan pendidikan kesehatan kepada peserta didik mereka6.

Perbedaan hasil tersebut dapat disebabkan beberapa faktor lain yang mempengaruhi pengetahuan tetapi penilitian ini sama-sama mendapatkan hasil pengetahuan individu terutama orangtua tentang konjungtivitis yang belum baik. Faktor yang mempengaruhi yaitu pendidikan, informasi atau media massa, lingkungan, pengalaman, usia, sosial, budaya, dan ekonomi7. Faktor yang


(2)

mempengaruhi tingkat pengetahuan disampaikan juga oleh Notoatmodjo (2007) yaitu diantaranya pengalaman, tingkat pendidikan, keyakinan, dan fasilitas5.

Sumber informasi yang didapatkan oleh orangtua menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi orangtua dan saling berkaitan dengan faktor lainnya. Sumber informasi yang banyak didapatkan oleh orangtua di dalam penelitian ini yaitu informasi dari keluarga berjumlah 22 orang (31,0 %) dan tidak mendapatkan informasi terkait konjungtivitis maupun kesehatan mata 22 orang (31,0 %). Informasi dari keluarga paling banyak didapatkan karena sejak lahir individu terkait dengan keluarga dan keterkaitannya ini membuka kemungkinan untuk dipengaruhi dan mempengaruhi anggota-anggota keluarga yang lain termasuk segala hal tentang konjungtivitis5. Sedikit sekali yang mendapatkan informasi dari tenaga kesehatan profesional maupun dari sumber ahli yang mengerti konjungtivitis melalui pendidikan kesehatan di penyuluhan yaitu 2 orang (2,8 %). Hal tersebut mempengaruhi pengetahuan orangtua mayoritas cukup. Pendidikan kesehatan yang diperoleh oleh orangtua sebagai sumber informasi dapat meningkatkan pengetahuan orangtua8. Penelitian yang dilakukan oleh Nurjanah (2015) yaitu tingkat pengetahuan orangtua

sebelum dilakukan pendidikan kesehatan sebagian besar cukup yaitu 60 % dan seluruhnya menjadi baik 100 % setelah dilakukan pendidikan kesehatan. Sehingga penelitian ini dengan mayoritas orangtua yang mendapatkan informasi dari keluarga dan tidak mendapatkan informasi menyebabkan tingkat pengetahuan mayoritas juga didapatkan hasil cukup9. Tingkat pengetahuan orangtua dalam penelitian ini tidak kurang seperti pada penelitian Hapsari dan Isgiantoro yang terjadi pada guru kelas disebabkan pengalaman orangtua dalam merawat anak dengan konjungtivitis. Orangtua dengan riwayat anak yang pernah konjungtivitis berjumlah 64 orangtua (90,1%) dari jumlah total. Pengalaman merupakan suatu cara seseorang memperoleh kebenaran pengetahuan. Masa lalu menjadi salah satu pengetahuan sebagai pertimbangan dalam memecahkan masalah yang sama7. Kumpulan pengalaman yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi pengetahuan bagi individu10. Pengalaman yang terus didapatkan oleh orangtua dalam merawat anaknya akan menjadi sumber informasi baru dan pengetahuan orangtua akan terus bertambah11. Penjabaran di atas dapat disimpulkan, penelitian ini sumber informasi yang didapatkan oleh responden masih kurang dengan ditandai 22 orang (31,0 %) tidak mendapatkan informasi dan informasi didapatkan sebatas dari keluarga


(3)

tetapi didukung dengan pengalaman 90,1 % sehingga pengetahuan menjadi cukup.

Sedikit sumber informasi dapat juga dipengaruhi oleh pekerjaan responden yang mayoritas merupakan buruh. Menurut ILO (2001), jumlah populasi angkatan kerja hampir 1 milyar atau 1/3 dari populasi merupakan buruh dengan upah rendah sehingga tidak mendukung diri dan keluarga mereka12. Penghasilan yang rendah tersebut mempunyai pengaruh yang kuat pada perilaku orang tersebut terutama untuk mencari sumber informasi dengan datang ke layanan kesehatan. Hal tersebut disebabkan penghasilan akan mempengaruhi sumber biaya kesehatan, seseorang yang memiliki asuransi kesehatan lebih sering memeriksakan dirinya ke dokter dan telah dijamin oleh pihak asuransi13.

Faktor lain yang juga dapat menjadi penyebab tingkat pengetahuan orangtua menjadi cukup yaitu usia. Usia seseorang sangat mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin matang usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin membaik. Pada penelitian ini mayoritas usia 41-64 tahun yang tergolong pada usia tengah. Pada usia dewasa tengah jarang terjadi perubahan kognitif, bahkan pada usia ini kemampuan belajar seseorang tidak berbeda jauh dengan usia

dewasa awal14. Pada usia 40-65 tahun merupakan tahun keberhasilan yang menjadi waktu untuk pengaruh maksimal dalam memnimbing diri sendiri dan menilai diri sendiri15.

Faktor usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang tetapi kedua hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh usia melainkan juga pendidikan. Anderson & Zaididi dalam jurnal penelitian Handayani (2012) menyatakan bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor predisposisi yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh individu. Status pendidikan berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan karena status pendidikan akan mempengaruhi kesadaran dan pengetahuan tentang kesehatan16. Berkaitan dengan status pendidikan, pendidikan formal sendiri yang ada di Indonesia adalah tingkat Sekolah Dasar (SD), sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan tingkat akademik Perguruan Tinggi (PT). Tingkat pendidikan tersebut sangat menentukan daya nalar seseorang yang lebih baik, rasional dalam menanggapi informasi atas setiap masalah yang dihadapi8. Pada penelitian ini mayoritas responden berpendidikan SMA/SMK setara dengan SLTA memiliki pengetahuan kurang 2 orang (2,8 %), pengetahuan cukup 20


(4)

orang (28,2 %), dan 7 orang (9,9 %) berpengetahuan baik.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh peneliti dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Tingkat pengetahuan orangtua tentang konjungtivitis pada anak di Dusun Potrobayan sebagian besar cukup. 2. Penyebab konjungtivitis akibat alergi

dengan pernyataan dalam kuesioner yaitu belekan alergi disebabkan oleh virus memiliki skor terendah dalam distribusi jawaban responden.

3. Belekan menimbulkan tanda dan gejala mata merah dan bengkak merupakan pernyataan dengan skor tertinggi dari empat pernyataan dalam sub pernyataan tentang tanda dan gejala konjungtivitis.

4. Pernyataan tentang penularan konjungtivitis, belekan menular melalui sapu tangan atau tisu yang sudah digunakan oleh orang yang terkena belekan merupakan pernyataan yang memiliki nilai tertinggi dari empat pernyataan tentang penularan konjungtivitis. 5. Pernyataan tentang pengobatan

konjungtivitis dalam distribusi jawaban responden mendapat skor tertinggi terutama pada pernyataan belekan diobati dengan obat tetes mata atau salep mata yang dibeli di apotek.

6. Belekan dicegah dengan mencuci tangan sebelum dan setelah memberikan obat mata merupakan pernyataan tentang pencegahan konjungtivits yang memiliki nilai tertinggi dari tiga pernyataan tentang pencegahan konjungtivitis.

7. Pengobatan dengan obat tetes/salep mata yang mengandung kortikosteroid dalam waktu yang lama menyebabkan glaukoma merupakan pernyataan yang memiliki skor nilai tertinggi dari tiga pernyataan tentang komplikasi konjungtivitis.

SARAN

Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian yang lebih luas lagi untuk mengetahui pengetahuan masyarakat tentang konjungtivitis. Selain itu juga, peneliti selanjutnya dapat mengkaji lebih dalam tentang kekuatan daerah terkait cara mengobati konjungtivitis dengan obat tradisional yang ada di daerah tersebut. DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Opthalmology. (2010). Conjunctiva. Diakses pada tanggal 19 Desember 2015, dari http://www.aao.org/preferred-practice-pattern/conjunctivitis-ppp--2013 2. Mejia-Lopez, Herlinda dkk. (2011).

Conjunctivitis – A Complex and Multifaceted Disorder. InTech di akses 21 Januari 2016, dari http://www.intechopen.com/books/con

junctivitis-a-complex-and-

multifaceted- disorder/epidemiological-aspectsof-infectious-conjunctivitis


(5)

3. Tampi, Giovanni G. (2011).

Rasionalitas Penggunaan Antibiotik

dalam Penatalaksanaan

Konjungtivitis di Bagian Mata RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun 2010. Strata Satu Program Studi Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 4. Sitompul, Ratna. 2011. Kortikosteroid

dalam Tata Laksana Uveitis : Mekanisme Kerja, Aplikasi Klinis, Efek Samping. J Indon Med Assosc, vol. 61 No. 6

5. Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta.

6. Hapsari, A dan Isgiantoro. (2014, Mei).Pengetahuan Konjungtivitis pada Guru Kelas dan Pemberian Pendidikan Kesehatan Mencuci Tangan pada Siswa Sekolah Dasar. jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8. Diakses 11 Juni 2015, dari

http://jurnalkesmas.ui.ac.id/index.php/ kesmas/article/view/406.

7. Budiman & Agus Riyanto. (2013).

Kapita Selekta Kuesioner

Pengetahuan dan Sikap dalam Penelitian Kesehatan.Jakarta:Salemba Medika

8. Azwar, S. (2010). Sikap manusia teori dan pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

9. Nurjanah, Nunung. 2015. Pengaruh Penkes Stimulasi Perkembangan Anak terhadap Pengetahuan dan Sikap Orangtua Di Rumah Bintang Islamic Pre School. Jurnal Ilmu Keperawatan. Volume III, No. 2, September 2015.

Diakses pada 6 Agustus 2016, dari http://ejournal.bsi.ac.id/assets/files/11 _Nunung_112_-_119.pdf

10. Machfoedz, Ircham. (2010).

Metodologi Penelitian Kuantitatif &Kualitatif. Yogyakarta : Fitramaya. 11. Mubarak, WI.2012.Bidan Sebuah

Pendekatan Midwifery of Knowledge. Jakarta : Medical Book.

12. Hendrastomo, G. (2010). Menakar Kesejahteraan Buruh : Menakar Kesejahteraan Buruh diantara Kepentingan Negara dan Korporasi. Diakses tanggal 24 Juni 2016.

Available from :

http://staff.uny.ac.id/sites/default/

files/ 132318574/

Menakar%20kesejahteraan%20buruh. pdf

13. Departemen Kesehatan RI. (2009).

Setiap Menit Satu Anak di Dunia Akan Menjadi Buta. Available from :

http://www.depkes.go.id. Diakses

tanggal 11 Juni 2015.

14. Bastable, Susan Bacorn. (2014). Nurse as educator: principles of teaching and learning for nursing practice. Burlington, MA: Jones & Bartlett Learning.

15. Potter, P.A, Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata Komalasari, dkk.Jakarta:EGC.

16. Handayani, D E. (2012). Pemanfaatan Pos Pembinaan terpadu oleh Lanjut

Usia di Kecamatan Ciomas

Kabupaten Bogor tahun 2012 dan Faktor yang Berhubungan. FKM : UI


(6)