dalam suatu perjanjian. Konsensus harus ada tanpa disertai paksaan
tipuan dan keraguan. 3
Ada tujuan yang akan dicapai Suatu perjanjian harus mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu yang
ingin dicapai, dan dengan perjanjian itulah tujuan tersebut ingin dicapai atau dengan sarana perjanjian tersebut suatu tujuan ingin mereka capai, baik yang
dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, yang dalam hal ini mereka selaku subyek dalam perjanjian tersebut.
4 Ada prestasi yang harus dilaksanakan
Para pihak dalam perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu
dengan yang lain hal tersebut adalah merupakan hak dan begitu pula sebaliknya.
5 Ada bentuk tertentu
Suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis, dalam hal suatu perjanjian yang dibuat tertulis dan dibuat dalam suatu akte otentik maupun di
bawah tangan. 6
Ada syarat-syarat tertentu Isi dalam suatu perjanjian harus ada syarat tertentu, karena dalam suatu
perjanjian menurut ketentuan Pasal 1338 1 KUHPerdata mengatakan bahwa persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian yang dibuat tidak dibatasi oleh siapa pihaknya, apa tujuannya, dan apa yang mereka sepakati asal sesuai dengan pasal 1320 bw yaitu :
Pasal 1320 bw : untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat: 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3.
Suatu hal tertentu. 4.
Suatu sebab yang halal. 1.
Kesepakatan atau persetujuan Para Pihak ; Sepakat yang dimaksudkan bahwa subyek yang mengadakan perjanjian
harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang akan dibuat. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak
yang lain, tanpa ada salah satu pihak dirugikan atau bahkan kedua belah pihak saling merugikan.
2. Kecakapan Para Pihak dalam membuat suatu Perjanjian ;
Orang yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum yang berlaku. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya
adalah cakap menurut hukum. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata yang dimaksudkan cakap menurut hukum adalah mereka yang telah berumur 21 tahun
atau belum berumur 21 tahun tetapi telah kawin atau pernah menikah. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah
kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang
melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak
Universitas Sumatera Utara
juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan melawan hukum, masalah kewenangan
berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi
ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan sebaliknya seorang yang dianggap berwenang untuk bertindak melakukan suatu
perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum.
Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan
atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut juga berwenang untuk melakukan suatu
tindakan atau perbuatan hukum tertentu. Masalah kewenangan bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin
ilmu hukum yang berkembang dapat dibedakan ke dalam:
22
a Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang
berkaitan dengan kecakapannya untuk bertindak dalam hukum. b
Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain, yang dalam hal ini tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Bab XIV Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata di bawah judul “Pemberian Kuasa”. c
Kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain.
22
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Op. cit, hal 127
Universitas Sumatera Utara
3. Suatu hal tertentu ;
Suatu hal tertentu maksudnya adalah sudah ditentukan macam atau jenis benda atau barang dalam perjanjian itu. Mengenai barang itu sudah ada atau sudah
berada ditangan pihak yang berkepentingan pada waktu perjanjian dibuat tidak diharuskan oleh undang-undang dan juga mengenai jumlah tidak perlu untuk
disebutkan. 4.
Suatu causa atau sebab yang halal ; Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah isi dari perjanjian itu
sendiri. Sebab yang tidak halal adalah berlawanan dengan Undang-undang, kesusilaan ketertiban umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUH
Perdata. Syarat-syarat dalam suatu perjanjian dibagi dalam dua 2 kelompok, yaitu :
1. Syarat subyektif ;
Syarat subyektif adalah syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu, atau dengan perkataan lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
mereka yang membuat perjanjian, yang meliputi : a
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, b
Kecakapan pihak yang membuat perjanjian. 2.
Syarat obyektif ; Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu
sendiri, yang meliputi : a
Suatu hal tertentu. b
Suatu causa atau sebab yang halal.
Universitas Sumatera Utara
Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta
pembatalan adalah pihak yang tidak cakap. Jadi perjanjian yang telah dibuat akan tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan
pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum atau batal dengan sendirinya,
artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian. Istilah kontrak dengan perjanjian sering membuat banyak orang bingung. Di
dalam BW Burgerlijk Wetboek
penggunaan istilah overeenkomst dan contract digunakan untuk pengertian yang sama.
Hal ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III titel kedua tentang “Perikatan-perikatan yang lahir dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam bahasa
Belanda berbunyi “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”. Banyak para sarjana yang memandang ini dengan berbagai macam
pandangan, ada yang mendukung ada juga yang tidak mendukung. Pengertian yang dikemukakan di dalam BW Burgerlijk Wetboek juga
didukung oleh pendapat banyak sarjana, antara lain : Hofmann dan J. Satrio,
23
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan,
24
Mariam Darus Badrulzaman,
25
Purwahid Patrik
26
dan Tirtodiningrat
27
23
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 19.
24
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 19.
25
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, edisi II, Cet. I, Bandung: Alumni, 1996, hlm. 89.
26
Purwahid Patrik, Dasar-dasar hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju, 1994, hlm. 45.
yang menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam pengertian yang sama.
Universitas Sumatera Utara
Berbeda dengan para sarjana tadi, Subekti
28
mengangap pengertian kontrak lebih sempit cakupannya daripada perjanjian perikatan. Hal ini karena
kontrak digunakan untuk perjanjian perikatan yang tertulis. Sarjana lain yang membedakan kontrak dengan perjanjian adalah Peter Mahmud Marzuki.
29
27
R.M. Suryodiningrat, Azas-azas Hukum Perikatan, Bandung: Tarsito, 1985, hlm. 72.
28
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. XVI, Jakarta: Intermasa, 1996, hlm. 1.
29
Peter Mahmud Marzuki, “Batas-batas Kebebasan Berkontrak”, artikel dalam Jurnal Yuridika, Volume 18 No.3, Mei Tahun 2003, hlm. 195-196.
Beliau membedakan pengertian kontrak dengan perjanjian ke dalam sistem Anglo –
American. Sistematika Buku III tentang Verbintenissenrecht hukum Perikatan mengatur mengenai overeenkomst yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia adalah perjanjian. Istilah kontrak adalah merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris yaitu Contract. Didalam konsep kontinental, penempatan
pengaturan perjanjian pada Buku III BW Indonesia tentang Hukum Perikatan menunjukkan bahwa perjanjian memang berkaitan dengan masalah Harta
Kekayaan Vermogen. Pengertian perjanjian ini mirip dengan contract pada konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis. Di dalam pola pikir
Anglo-American, perjanjian yang dalam bahasa Belandanya adalah overeenkomst, dalam Bahasa Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih luas
dari contract, karena mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut contract,
sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebut agreement.
Universitas Sumatera Utara
Rumusan baik tentang kontrak atau perjanjian di dalam BW terdpat di dalam pasal 1313, yaitu “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
30
a hubungan hukum, artinya perikatan yang dimaksud disini adalah bentuk
hubungan hukum yang menimbulkan akibat hukum; Menurut Agus Yudha Hernoko, terdapat 4 empat unsur perikatan, yaitu :
b bersifat harta kekayaan, artinya sesuai dengan tempat pengaturan
perikatan di Buku III BW yang termasuk di dalam sistematika Hukum Harta Kekayaan Vermogensrecht, maka hubungan yang terjalin antar
para pihak tersebut berorientasi pada harta kekayaan; c
para pihak, artinya dalam hubungan hukum tersebut melibatkan pihak- pihak sebagai subyek hukum;
d prestasi, artinya hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban-
kewajiban prestasi kepada para pihaknya prestasi - kontra prestasi, yang pada kondisi tertentu dapat dipaksakan pemenuhannya, bahkan
apabila diperlukan menggunakan alat negara.”
31
1. Syarat Subyektif
Syarat subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian.
Dengan kata lain syarat subyektif sahnya suatu perjanjian ada 2, yaitu:
30
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980.
31
AgusYudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008, hlm. 18.
Universitas Sumatera Utara
a Kesepakatan bebas kedua belah pihak
Kata sepakat merupakan suatu syarat yang logis, karena dalam pejanjian setidak-tidaknya ada dua orang yang saling berhadap-hadapan dan mempunyai
kehendak yang saling mengisi. Dengan diperlakukannya kata sepakat untuk mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai
kebebasan kehendak. Kesepakatan merupakan syarat yang pertama sahnya perjanjian.
Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jika diperhatikan dengan seksama ketentuan yang diatur dalam Pasal
1321 hingga Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka akan sulit menemui pengertian, atau definisi dari kesepakatan bebas.
Menurut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata tersebut, secara a contrario, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya
kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya
kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:
“Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, maka akan dibahas terlebih dahulu pengertian kesepakatan, bagaimana
Universitas Sumatera Utara
kesepakatan dapat terwujud, dan kapan suatu kesepakatan dianggap telah terjadi.
32
Penyesuaian kehendak antara dua pihak menimbulkan perikatan, karena hukum hanya mengatur perbuatan nyata daripada manusia. Dengan kata lain
adanya kesesuaian kehendak saja antara dua orang belum melahirkan suatu perjanjian, karena kehendak itu harus dinyatakan, harus nyata bagi yang lain, dan
harus dapat di mengerti pihak lain. Seseorang dikatakan telah memberikan persetujuan sepakatnya, Jika seseorang
itu memang menghendaki apa yang disepakati, karena suatu persetujuan pada dasarnya tidak mungkin timbul tanpa kehendak dari para pihak. Dengan kata lain
sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain.
Kesepakatan bebas di antara para pihak itu pada prinsipnya adalah pertanggung jawaban dari asas konsensualitas.
33
Sepakat itu inti sebenarnya adalah suatu penawaran yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya
tersebut. Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika
pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang
Kehendak itu harus saling bertemu dan untuk saling bisa ketemu harus dinyatakan.
32
AgusYudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008, hlm. 18.
33
J. Satrio, Op. cit, hal. 165
Universitas Sumatera Utara
memuat ketentuan-ketentuan yang di anggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya. Dalam hal
yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar menawar yang disampaikan
dan dimajukan oleh para pihak, adalah, saat tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah benar untuk perjanjian konsensuil, dimana kesepakatan dianggap terjadi
pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir. Dengan kata lain suatu penawaran dan persetujuan itu bisa datang dari kedua belah pihak
secara timbal balik. Menurut Mariam Darus, pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan
kehendak yang disetujui overeenstemende wilsverklaring antara para pihak. Pernyataan tersebut adalah pernyataan dari pihak yang menawarkan dinamakan
penawaran dan pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi. Selanjutnya penting untuk diperhatikan adalah bahwa yang dimaksud sepakat
dalam Pasal 1320 adalah sepakat pada saat akan lahirnya perjanjian, bukan pada saat pelaksanaannya. Dalam perjanjian konsensuil, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menentukan bahwa segera setelah terjadi kesepakatan, maka lahirlah perjanjian, pada saat yang bersamaan juga menrbitkan perikatan di antara para
pihak yang telah bersepakat dan berjanji tersebut.
34
Menutup suatu perjanjian adalah suatu tindakan hukum, dan karena kehendaknya ditujukan kepada timbulnya uatu akibat hukum tertentu Sesuatu
yang dikehendaki, tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh satu pihak tidak
34
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. cit, hal 97
Universitas Sumatera Utara
diketahui oleh pihak lain. Kehendak seseorang baru dapat diketahui oleh pihak lain, kalau kehendak tersebut dinyatakan. Jadi untuk itu perlu adanya pernyataan
kehendak.
35
Cara mengutarakan kehendak bisa bermacam-macam, ada lima cara pernyataan kehendak, yaitu: Pertama, bahasa yang sempurna dan tertulis; Kedua,
Bahasa yang sempurna secara lisan; Ketiga, Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan; Keempat, Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh
pihak lawannya; Kelima, Diam atau membisu, tetapi dipahami atau diterima oleh pihak lawan.
Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan, bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum.
36
Pada dasarnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mensyaratkan suatu bentuk pernyataan kehendak tertentu, tetapi memang benar, ada perjanjian-
perjanjian tertentu yang mensyaratkan, agar kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk tertentu. Untuk beberapa tindakan hukum tertentu hukum perdata dalam
arti luas mensyaratkan perwujudan dalam bentuk suatu akta bentuk tertulis. Akta tersebut dapat berupa akta bawah tangan maupun bentuk suatu akta otentik
Suatu akta yang dibuat oleh para pihak dimaksudkan sebagai alat bukti adanya kesepakatan antara para pihak, namun di samping itu, mereka bebas untuk
membuktikannya dengan bukti lain. Suatu akta selain berlaku sebagai alat bukti, akta merupakan syarat konstitutif untuk adanya perjanjian sebagaimana
dimaksudkan oleh undang-undang. Sesuatu yang diisyaratkan oleh undang- undang adalah penuangan daripada perjanjian itu harus dalam wujud tertentu,
35
J. Satrio, Op. cit, hal. 174
36
Sudikno Mertokusumo dalam Salim HS, Op. cit, hal. 33
Universitas Sumatera Utara
namun hal itu tidak berarti bahwa sebelum dituangkan dalam bentuk yang disyaratkan undang-undang sama sekali tidak ada perjanjian antara para pihak.
Bisa saja ada lahir suatu perjanjian, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh para pihak.
Apabila suatu pernyataan diberikan secara benar, dalam arti pernyataan tersebut sesuai dengan kehendak dan penerimaannya dilaksanakan dengan benar
pula maka terjadilah perjanjian, namun adakalanya sepakat tidak tercapai dengan kehendak yang murni, dan kehendak itu mungkin sengaja diselewengkan kearah
lain atau diberikan dalam suasana yang tidak bebas. Sehubungan dengan syarat kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut.
Cacat dalam kehendak dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok, yaitu: a
Kelompok pertama, tentang kekhilafan dalam perjanjian; b
Kelompok yang kedua, tentang paksaan dalam perjanjian; c
Kelompok ketiga, tentang penipuan dalam perjanjian.
a Tentang kekhilafan dalam perjanjian
Masalah kekhilafan diatur dalam Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali jika kehilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian”.
Universitas Sumatera Utara
Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seseorang bermaksud untuk membuat
perjanjian, kecuali jika perjanjian itu dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut. Dari rumusan Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
terdapat dua hal pokok dan prinsipil, yaitu: 1.
Kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian; 2.
Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan perjanjian karena kekhilafan, yaitu: hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya Eror in substantia; Orang terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat Eror in pesona.
Hal pertama adalah prinsip umum yang harus dipegang, diikuti dan ditaati. Hal kedua merupakan pengecualian atau penyimpangan, yang dibatasi alasannya.
Alasan pertama yaitu eror in substantia, maksudnya ialah bahwa kekhilafan itu mengenai sifat dari benda yang merupakan alasan sesungguhnya bagi kedua belah
pihak untuk mengadakan perjanjian. Sedangkan dalam alasan kedua yaitu eror in persona, kekhilafan itu mengenai orangnya. Dari kedua alasan pengecualian
tersebut, maka alasan kedua lebih mudah dimengerti daripada alasan pertama. Dari rumusan yang dikemukakan dalam alasan kedua tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dalam pengecualian kedua tersebut adalah subyek dalam perikatan, artinya salah satu pihak dalam perikatan diwajibkan
untuk melakukan atau berbuat sesuatu. Hal ini adalah konsekuensi logis dari tiga macam perikatan yang dikenal dan diakui oleh Kitab Undang-Undang Hukum
Universitas Sumatera Utara
Perdata. Tiga macam perikatan yang dimaksud antara lain: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
b Tentang paksaan dalam perjanjian
Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam 5 Pasal, yaitu dari Pasal 1323 hingga Pasal 1327 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal
1323 membuka paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian, dengan menyatakan bahwa:
“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan, juga
bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat”.
Ketentuan Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menunjukkan pada subyek yang melakukan pemaksaan, yang dalam hal ini dapat
dilakukan oleh orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, orang yang bukan pihak dalam perjanjian tetapi mempunyai kepentingan terhadp perjanjian tersebut,
dan orang yang bukan pihak dalam perjanjian dan tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat tersebut.
Hal yang terakhir ini sangat penting artinya bagi hukum, mengingat bahwa kenyataan menunjukkan banyak terjadinya paksaan yang dilakukan oleh “orang
bayaran” atau “orang suruhan”, yang nota bene memang tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat dibawah paksaan atau ancaman
tersebut. Selanjutnya ketentuan Pasal 1325 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:
Universitas Sumatera Utara
“Paksaan menjadikan suatu perjanjian batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat perjanjian, melainkan juga bila
dilakukan terhadap suami atau isteri atau keluarganya dalam garis keatas maupun ke bawah”.
Subyek terhadap siapa paksaan dilakukanpun ternyata tidak hanya meliputi orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, melainkan juga termasuk
di dalamnya suami atau isteri dan keluarga mereka dalam garis keturunan maupun ke bawah. Akibat paksaan atau ancaman yang dilakukan, dapat dijadikan sebagai
alasan pembatalan perjanjian yang telah dibuat. Hal ini diatur dalam Pasal 1324 dan 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:
Pasal 1324 “Paksaan telah terjadi, bila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga
dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau
kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata”. Pasal 1326
“Ketakutan saja karena hormat kepada ayah, ibu atau sanak keluarga lain dalam garis ketasa, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk
embatalkan perjanjian”. Dari Pasal 1324 dan 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat
diketahui bahwa paksaan yang dimaksud dapat terwujud dalam dua bentuk kegiatan atau perbuatan yaitu berupa Pertama Paksaan Fisik dalam pengertian
Universitas Sumatera Utara
kekerasan. Kedua Paksaan Psikis, yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis atau kejiwaan.
Pasal terakhir yang mengatur mengenai paksaan sebagai alasan untuk membatalkan perjanjian yaitu Pasal 1327 yang menyatakan:
“Pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi, bila paksaan berhenti, perjanjian itu dikuatkan, baik secara
dinyatakan dengan tegas maupun secara diam-diam, atau jika seseorang melampaukan waktu yang ditentukan undang-undang untuk dapat
dipulihkan seluruhnya ke keadaan sebelumnya”. c
Tentang penipuan dalam perjanjian Penipuan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam Pasal 1328
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari dua ayat, berbunyi: “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu perjanjian,
apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak
telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, melainkan harus dibuktkan”.
Penipuan melibatkan unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam perjanjian, untuk mengelabui pihak lawannya, sehingga pihak yang terakhir ini
memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat antara mereka. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa masalah
penipuan yang berkaitan dengan kesengajaan ini harus dibuktikan dan tidak boleh hanya dipersangkakan saja. Dalam hal ini, maka pihak terhadap siapa penipuan
Universitas Sumatera Utara
telah terjadi wajib membuktikan bahwa lawan pihaknya telah memberikan suatu informasi secara tidak benar, dan hal tersebut disengaja olehnya, yang tanpa
adanya informasi yang tidak benar tersebut, pihak lawannya tersebut tidak mungkin akan memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang
dibuat tersebut. 2.
Kecakapan untuk bertindak Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah
kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang
melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kedewasaan dari orang perorangan yang
melakukan suatu tindakan atau perbuatan melawan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat
dalam hukum. Dapat saja seorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan
sebaliknya seorang yang dianggap berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak
dalam hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan
untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang
cakap bertindak dalam hukum tersebut juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Masalah kewenangan bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang berkembang dapat dibedakan ke dalam:
37
a Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri,
yang berkaitan dengan kecakapannya untuk bertindak dalam hukum.
b Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain, yang dalam
hal ini tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Bab XIV Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di bawah judul “Pemberian
Kuasa”. c
Kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain.
1. Syarat Objektif
Syarat objektif sahnya perjanjian yaitu: 1.
Tentang hal tertentu dalam perjanjian Kitab undang-undang hukum perdata menjelaskan maksud hal tertentu,
dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 Kitab undang-undang hukum perdata, yang berbunyi:
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya”
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Secara sepintas, dengan
rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang telah ditentukan jenisnya” terlihat
37
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Op. cit, hal 127
Universitas Sumatera Utara
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu, namun demikian jika diperhatikan lebih
lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak
berbuat sesuatu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hendak menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi
dari suatu kebendaan yang tertentu. Pada perikatan untuk memberikan sesuau kebendaan yang akan diserahkan
berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebut haruslah sesuai yang telah ditentukan secara pasti. Dalam jual beli misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan
pembeli mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli harus telah ditentukan terlebih dahulu kebendaannya. Jika sebuah sepeda motor, maka harus ditentukan
merek sepeda motor tersebut, kapasitasnya, serta spesifikasi lain yang melekat pada kebendaan sepeda motor yang dipilih tersebut, sehingga tidak akan
menerbitkan keraguan mengenai sepeda motor lainnya yang serupa tetapi bukan yang dimaksudkan.
Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam
perikatan tersebut debitor pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud.
Dalam perjanjian penanggungan utang misalnya, seorang penanggung yang menanggung utang seorang debitor, harus mencantumkan secara jelas utang mana
yang ditanggung olehnya, berapa besarnya, serta sampai seberapa jauh ia dapat
Universitas Sumatera Utara
dan baru diwajibkan untuk memenuhi perikatannya kepada kreditor, atas kelalaian atau wanprestasi dari pihak debitor. Pasal 1824 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menentukan bahwa: “Penanggungan utang tidak dipersangkakan, tetapi harus diadakan
dengan pernyataan yang tegas, tidaklah diperbolehkan untuk memperluas penanggungan hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat
sewaktu mengadakannya”. Dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kewajiban
penanggungan yang diberikan oleh penanggung adalah penanggungan utang terhadap hak tagih kreditor kepada debitor, dimana penanggung akan memenuhi
kewajiban debitor yaitu untuk membayar hak tagih kreditor manakala debitor cidera janji. Dalam hal yang demikian, berarti hak tagih kreditor adalah
kebendaan yang menurut ketentuan Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, harus telah dapat ditentukan terlebih dahulu.
Dalam perikatan untuk tidak melakuan atau tidak berbuat sesuatu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menegaskan kembali bahwa apapun yang
ditentukan untuk tidak dilakukan atau diperbuat, pastilah merupakan kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang pasti harus telah dapat
ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Dalam perjanjian untuk merahasiakan sesuatu confidentially agreement misalnya, apa-apa saja yang wajib dirahasiakan
oleh debitor misalnya terhadap hak atas kekayaan intelektual milik kreditor, yang dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah juga
merupakan kebendaan yang telah tertentu sifatnya. Suatu perjanjian merahasiakan
Universitas Sumatera Utara
saja tanpa menjelaskan apa yang harus dan wajib dirahasiakan belumlah merupakan perjanjian yang mengikat pada pihak, dan karenanya belum
menerbitkan perikatan bagi para pihak. Jadi jelaslah bahwa dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yang dimaksudkan dengan kebendaan yang telah ditentukan jenisnya, meliputi tidak hanya perikatan untuk memberikan sesuatu, melainkan juga dalam
perikatan untuk berbuat sesuatu dan juga perikatan untuk tidak berbuat sesuatu. 2.
Tentang sebab yang halal Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga 1337 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:
“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan”.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal yaitu: pertama: Bukan tanpa sebab, kedua: Bukan sebab yang palsu, ketiga: Bukan sebab
yang terlarang Undang-undang tidak memberikan batasan mengenai makna sebab yang tidak terlarang. Melalui rumusan negatif mengenai sebab yang terlarang,
undang-undang juga tidak menjelaskan bagaimana alasan atau sebab yang menjadi dasar pembentukan suatu perjanjian dapat digali atau ditetapkan hingga
memang benar bahwa sebab itu adalah terlarang.
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang hanya melihat pada apa yang tercantum dalam perjanjian, apa yang merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak, yang
merupakan prestasi pokok, yang merupakan unsur esensialia atau yang terkait erat dengan unsur esensialia dalam perjanjian tersebut, yang tanda adanya unsur
esensialia tersebut, tidak mungkin perjanjian tersebut akan dibuat oleh para pihak. Syarat sahnya kontrak menurut hukum kontrak law of contract Amerika Di
dalam hukum kontrak law of contact Amerika syarat sahnya kontrak, yaitu:
38
a. Offer dan Acceptance penawaran dan penerimaan
Setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya offer penawaran dan acceptance penerimaan. Offer penawaran adalah suatu janji untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu secara khusus pada masa yang akan datang. Penawaran ini ditujukan kepada setiap orang. Sedangkan yang berhak dan
berwenang mengajukan penawaran adalah setiap orang yang layak dan memahami apa yang dimaksudkan. Ada 5 lima syarat adanya penawaran, yaitu :
1. Adanya konsiderasi prestasi.
2. Sesuai dengan undang-undang.
3. Under one of the special rules relating to the revocation of a unilateral
contract. 4.
Under doctrine of promissory estoppels. 5.
By virtue of a sealed instrument. Penawaran yang disampaikan kepada para khalayak, akan menghasilkan dua
macam kontrak, yaitu:
38
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Op. cit, hal 127
Universitas Sumatera Utara
1 Kontrak bilateral.
2 Kontrak unilateral
Kontrak bilateral, yaitu kontrak yang diadakan antara dua orang, dalam kontrak itu kedua belah pihak harus memenuhi janjinya. Sedangkan kontrak unilateral
adalah penawaran yang membutuhkan tindakan saja, karena berisi satu janji dari satu pihak saja.
b. Metting of minds persesuaian kehendak
Penawaran dan penerimaan antara kedua belah pihak dapat menghasilkan bentuk luar dari sebuah kontrak, tetapi tidak berarti bahwa kontrak itu dikatakan
sah. Hal yang harus diperhatikan supaya kontrak itu dikatakan sah adalah adanya meeting of minds, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para
pihak tentang objek kontrak. Apabila objeknya jelas maka kontrak itu dikatakan sah. Penyesesuaian kehendak itu harus dilakukan secara jujur, tetapi apabila
kontrak itu dilakukan dengan adanya penipuan fraud, kesalahan mistake, paksaan durress, dan penyalahgunaan keadaan undu influence maka kontrak
itu menjadi tidak sah, dan kontrak itu dapat dibatalkan. c.
Consideration prestasi, Supaya kontrak dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan mengikat
haruslah didukung dengan konsiderasi concideration. Menurut sejarahnya, bahwa doktrin konsiderasi sudah berumur ratusan tahun. Ini tidak dianggap
sebagai unsur penting untuk membuat kontrak. Dulu semua hak yang dilaksanakan dibagi menjadi sejumlah kategori yang terbatas. Untuk pelanggaran
Universitas Sumatera Utara
masing-masing kategori pengadilan menyediakan formulir yang dikenal dengan surat perintah writ.
Mengenai pengertian konsiderasi itu sendiri belum ada kesepakatan para ahli. Ada ahli yang mengartikan bahwa konsiderasi merupakan motif atau alasan
untuk membuat kontrak. Pendapat lain mengatakan bahwa konsiderasi disamakan artinya dengan prestasi, yaitu sebagai sesuatu yang diberikan, dijanjikan, atau
dilakukan secara timbal balik. Perbuatan, sikap tidak berbuat atau jani dari masing-masing pihak adalah harga bagi yang telah dibeli oleh pihak lainnya.
Konsiderasi dapat berupa akan dilaksanakan atau sudah dilaksanakan. d.
Competent parties and legal subject matter kemampuan hukum para pihak dan pokok persoalan yang sah.
Competent parties adalah kemampuan dan kecakapan dari subjek hukum untuk melakukan kontrak. Sedangkan legal subject matter yaitu keabsahan dari
pokok persoalan. Di dalam sistem hukum Amerika, pengadilan membedakan kemampuan tentang legalitas dari seorang untuk membuat kontrak. Orang yang
dapat membuat kontrak harus sudah cukup umur. Masing-masing negara bagian tidak sama tentang umur kedewasaan. Ada yang menentukan 21 tahun untuk
semua jenis kelamin dan ada juga negara bagian yang menentukan 21 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk wanita. Sedangkan orang yang tidak berwenang
untuk membuat kontrak adalah: 1
Orang dibawah umur, dan 2
Orang gila
Universitas Sumatera Utara
3 Asas-Asas Perjanjian
Ada beberapa asas yang terjadi dalam hukum perjanjian, yaitu: 1.
Asas Kebebasan Mengadakan Perjanjian Asas Kebebasan Berkontrak
Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak yang
bebas pancaran hak asasi manusia. Asas ini terdapat dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yang menentukan bahwa para pihak bebas untuk menentukan apa yang
disepakati tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan kepatutan, kesusilaan dan ketentuan undang-undang. Selain dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH
Perdata disebutkan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Secara langsung telah
tampak pengertian bahwa orang bebas untuk membuat perjanjian. Janji mana justru berlaku sebagai undang-undang bagi mereka.
Mariam Darus berpendapat bahwa: “Di dalam Hukum Perjanjian Nasional, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab dan mampu memelihara
keseimbangan antara pengguna hak asasi dengan kewajiban asasi ini perlu tetap
dipertahankan yaitu dengan cara pengembangan kepribadian untuk mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras, dan seimbang dengan kepentingan masyarakat”.
39
Dapat dikatakan bahwa hukum perjanjian mengantut sistem terbuka,yang berarti bahwa setiap orang bebas untuk menyatakan keinginan dan mengadakan
39
Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, dkk, Hukum Perikatan, Bandung: Komplikasi Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 86
Universitas Sumatera Utara
perjanjian-perjanjian dengan bentuk tertentu dan bebas memilih undang-undang mana yang dipakainya untuk perjanjian itu. Berarti bahwa setiap orang bebas
untuk menentukan keinginan yang dituangkan dan diatur sebagai isi perjanjian. Lebih jauh berarti bahwa karena berlaku sebagai undang-undang maka wajib
dilaksanakan dan bila perlu menggunakan alat paksa kepentingan umum. Asas ini berkaitan erat dengan asas konsensualisme.
2. Asas Konsensualisme
Asas ini ditemukan dalam Pasal 1338 KUH Perdata dan mempunyai kaitan yang sangat erat dengan asas kebebasan berkontrak. Asas ini berkaitan dengan
kehendak para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian. Asas ini berkenaan dengan adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang mengadakan perjanjian
sehingga dicapai suatu kesepakatan membuat perjanjian. Pesan yang terkandung dalam asas ini adalah bahwa setiap orang yang sepakat berjanji tentang suatu hal,
berkewajiban untuk memenuhinya. Secara implisit asas ini lebih menekankan pada moral para pelaku. Pada perkembangannya asas ini dijelmakan dalam klausa
perjanjian yang berisi tentang hak dan kewajiban para pihak yang berjanji. Apabila salah satu pihak ingkar maka pihak yang diingkari dapat
memohon kepada Hakim agar klausa tersebut mengikat dan dapat dipaksanakan berlakunya. Selain berkaitan erat dengan asas kebebasan berkontrak, asas ini juga
berkaitan dengan asas kepercayaan, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1334 KUH Perdata, yang mengatur bahwa barang yang barus ada pada waktu yang
akan datang, dapat menjadi pokok suatu persetujuan. Dalam hal ini, subjek hukum diberikan kesempatan menyatakan keinginannya yang dianggap baik untuk
Universitas Sumatera Utara
mengadakan perjanjian. Maka ia harus memegang teguh kesepakatan yang diberikan kepadanya.
3. Asas Kepercayaan
Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuh- kembangkan kepercayaan di antara kedua belah pihak, yang menunjukkan bahwa
satu sama lain akan memegang janjinya. Dengan kata lain, akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepecayaan itu maka perjanjian tiak
mungkin akan diadakan oleh para pihak. Asas kepercayaan ditentukan dalam
Pasal 1338 juncto Pasal 1334 KUH Perdata.
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara para pihak bahwa satu sama lain akan
memenuhi prestasinya di kemudian hari. Dengan adanya kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat
sebagai undang-undang.
40
Menurut Grotius, dalam buku Mariam Darus Badrulzaman, dikatakan bahwa “Pasca sunt servanda” janji itu mengikat. Selanjutnya ia mengatakan lagi
“promissorum implemndroum obligation”. kita harus memenuhi janji kita.
41
40
Mariam Darus Badrulzaman, Op. cit. hal. 42
41
Ibid, hal. 109.
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUH Perdata. Dapat diambil suatu kesimpulan bahwa di dalam perjanjian mengandung suatu asas kekuatan
mengikat. Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan tersebut
akan mengikat para pihak. Asas ini hampir sama dengan asas kepatutan, karena
Universitas Sumatera Utara
memang mengaitkan hal yang patut sebagai kewajiban bagi para pihak yang mengikat suatu perjanjian.
4. Asas Persamaan Hak
Asas ini terdapat dalam Pasal 1341 KUH Perdata. Dalam asas ini, para pihak diletakkan pada posisi yang sama. Dalam perjanjian sudah selayaknya tidak
ada pihak yang bersifat dominan dan tidak ada pihak yang tertekan sehingga tidak terpaksa untuk menyetujui syarat yang diajukan karena tidak ada pilihan lain.
Mereka melakukannya walaupun secara formal hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai paksaan. Dalam perjanjian, para pihak harus menghormati pihak lainnya.
Jika prinsip sama-sama menang win win solution tidak dapat diwujudkan secara murni, namun harus diupayakan agar mendekati perimbangan dimana segala
sesuatu yang merupakan hak para pihak tidaklah dikesampingkan begitu saja. 5.
Asas Keseimbangan
Asas ini diatur dalam Pasal 1338 dan Pasal 1244 KUH Perdata yang menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian
itu. Asas keseimbangan itu merupakan kelanjutan dari asas persamaan hak. 6.
Asas Kepentingan Umum
Asas ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata. Ditegaskan agar dalam menyusun dan melaksanakan suatu perjanjian
kedua belah pihak, bak kreditur maupun debitur memperhatikan kepentingan umum. Asas ini juga mencakup suatu pesan bahwa walaupun subjek hukum
diberikan kebebasan berkontrak, akan tetapi mereka harus berbuat bahwa apa yang mereka lakukan tidak mengganggu kepentingan umum.
Universitas Sumatera Utara
7. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Dalam hal ini, asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Akan tetapi dalam
prakteknya, asas kepatutan ini selalu dibandingkan dengan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Mariam Darus mengatakan bahwa: “Asas kepatutan ini
harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat”.
42
8. Asas Moral
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ukuran kepatutan dalam masyarakat, pedoman utamanya adalah rasa keadilan dalam masyarakat.
Asas ini terlihat dalam perikatan biasa, artinya bahwa suatu perbuatan suka rela dari seseorang tidak menimbukan hak baginya untuk menggugat kontra
prestasi dari debitur. Hal ini terlihat juga di dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan sukarela moral maka yang
bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini terdapat di dalam Pasal 1339 KUH Perdata.
Faktor-faktor yang memberi motivasi pada orang yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum adalah berdasarkan pada kesusilaan moral sebagai
panggilan hati nuraninya. 9.
Asas Kebiasaan
Asas ini diatur dalam Pasal 1339 juncto Pasal 1347 KUH Perdata yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat
42
Ibid, hal.44
Universitas Sumatera Utara
untuk hal-hal yang diatur secara tegas dalam perjanjian tersebut, akan tetapi juga pada hal-hal yang dalam kebiasaan diikuti. Pasal 1347 KUH Perdata menyatakan
pula bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan di dalam perjanjian meskipun dengan tegas
dinyatakan.
Kebiasaan yang dimaksud oleh Pasal 1339 KUH Perdata menurut Mariam Darus Badrulzaman ialah kebiasaan pada umumnya gewonte dan kebiasaan yang
diatur oleh Pasal 1347 KUH Perdata iala kebiasaan setempat khusus atau kebiasaan yang lazim berlaku di dalam golongan tertentu bestending gebruikelijk
beding.
43
10. Asas Sistem Terbuka
Asas ini penting diperhatikan dalam suatu perjanjian. Sitem perjanjian yang bersifat terbuka berarti dapat dipertanggungjawabkan dan dipertahankan
terhadap pihak ketiga. Pihak ketiga dapat menuntut bila perjanjian tersebut dianggap merugikan kepentingannya.
11. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung unsur kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu
sebagai undang-undang bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian. 4. Berakhirnya Perjanjian
Apabila si berutang debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Ia alpa atau “lalai” atau ingkar janji.
43
Ibid, hal 117.
Universitas Sumatera Utara
Atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda,
yang berarti prestasi buruk.
44
Wanprestasi default atau non fulfilment, ataupun yang disebutkan juga dengan istilah breach of contrac yang dimaksudkan adalah
tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang dimaksudkan
dalam kontrak yang bersangkutan.
45
Menurut Subekti, wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam yaitu :
46
1 Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya ;
2 Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan; 3
Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat ; 4
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Hukuman atau akibat–akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai ada empat macam yaitu :
1 Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau ganti rugi.
2 Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian.
3 Peralihan resiko.
44
Subekti, Op. Cit, hlm. 45
45
Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 87-88
46
Subekti, Op. Cit, hlm. 45
Universitas Sumatera Utara
4 Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan
hakim.
Dalam suatu perjanjian harus diketahui kapan perjanjian itu berakhir.
Perjanjian dapat berakhir karena:
47
1. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak, misalnya persetujuan
yang berlaku untuk waktu tertentu.
2. Ditentukan oleh undang-undang mengenai batas berlakunya suatu
perjanjian, misalnya menurut Pasal 1066 ayat 3 Kitab Undang- Undang Hukum perdata disebutkan bahwa para ahli waris dapat
mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan, tetapi waktu persetujuan tersebut
oleh ayat 4 dibatasi hanya dalam waktu lima tahun. 3.
Ditentukan oleh para pihak atau Undang-undang bahwa perjanjian akan hapus dengan terjadinya peristiwa tertentu. Misalnya jika salah
satu pihak meninggal dunia, maka perjanjian tersebut akan berakhir. 4.
Pernyataan menghentikan persetujuan opzegging. Opzegging dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Opzegging
hanya ada pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara, misalnya:
a. Perjanjian kerja;
b. Perjanjian sewa-menyewa.
c. Perjanjian hapus karena putusan hakim.
47
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009 hal. 95.
Universitas Sumatera Utara
d. Tujuan perjanjian telah dicapai.
e. Berdasarkan kesepakatan para pihak herroeping.
C. Kredit Pada Umumnya
1. Pengertian Kredit