Penyelesaian Kredit Macet Pada PT. Bpr Duta Paramarta Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang Dihubungkan Dengan Undang – Undang Perbankan

(1)

SKRIPSI

PENYELESAIAN KREDIT MACET PADA PT. BPR DUTA PARAMARTA KECAMATAN LABUHAN DELI, KABUPATEN

DELI SERDANG DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG – UNDANG PERBANKAN

OLEH :

SANDRO P. GULTOM

NIM. 070200346

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

(3)

ABSTRAK

PENYELESAIAN KREDIT MACET PADA PT. BPR DUTA PARAMARTA KECAMATAN LABUHAN DELI, KABUPATEN DELI SERDANG

DIHUBUNGANKAN DENGAN UNDANG-UNDANG PERBANKAN

Kredit merupakan salah satu produk sebuah bank. Yang memberikan kemudahan para nasabah untuk mendapatkan barang tanpa harus membelinya secara kontan atau tunai. Dengan mendahulukan pembayarannya oleh pihak bank kepada penjual barang tersebut. Seperti contohnya alat elektronik, handphone, kendaraan bermotor, rumah, dll. Kredit juga merupakan sumber pendapatan utama bagi BPR untuk kelangsungan usahanya, sehingga BPR harus senantiasa menjaga kualitas kreditnya. Semakin bagus kualitas yang diberikan sebuah BPR dalam kredit bagi nasabahnya maka semakin terjamin pula kelangsungan BPR tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini Bagaimana proses perjanjian kredit oleh PT. BPR Duta Paramarta kepada nasabah sudah sesuai dengan UU Perbankan? Apakah proses pemberian kredit oleh PT. BPR Duta Paramarta kepada nasabah sudah sesuai dengan UU Perbankan? Bagaimana proses penyelesaian jika terjadi kredit macet oleh PT. BPR Duta Paramarta sudah sesuai dengan UU Perbankan? Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat yuridis normatif., artinya penelitian yang berdasarkan pada penelitian kepustakaan guna memperoleh data sekunder di bidang hukum, yang berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier

Segala sesuatu yang ada pada negara kita pada umumnya di atur di dalam undang - undang, baik Undang - Undang Dasar 1945 maupun Undang - Undang Tambahan. Begitu juga hal nya dengan perbankan. Dengan melakukan revisi pada undang - undangnya agar mampu mengikuti perkembangan sistem perbankan yang sifatnya dinamis. Sehingga diharapkan dapat membantu mengawasi sistem perbankan yang ada di Indonesia ini. Bahwa perkembangan perbankan di Indonesia selalu mengalami perkembangan yang pesat dari tahun ke tahun. Pemberian kredit harus mengikuti perkembangan perekonomian yang ada. Hal ini bertujuan agar pemberian kedit dapat membantu masyarakat dalam mengembangkan usaha yang mereka miliki dengan harapan memperoleh keuntungan. Penilaian pemberian kredit harus memperhatikan dari berbagai sisi agar jangan terjadi kredit macet yang sering membuat rugi banyak pihak di dalamnya. baik nasabah, bank, bahkan negara itu sendiri. diharapkan dengan sistematis pemberian kredit yang telah baik diharapkan kredit macet dapat diminilisasikan dan jika terjadi penyelesaiannya dapat diselesaikan secara kekeluargaan tanpa harus ke jalur hukum yang membutuhkan banyak biaya,waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Penyelesaian kredit macet harus seadil - adilnya.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasihnya penulis diberikan kesehatan dan kesempatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi penulis dalam penyelesaian studi di Fakultas Hukum USU Medan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Skripsi ini berjudul :

PENYELESAIAN KREDIT MACET PADA PT. BPR DUTA PARAMARTA KECAMATAN LABUHAN DELI, KABUPATEN DELI SERDANG DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG - UNDANG PERBANKAN.

Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan kemampuan, pengetahuan, wawasan, serta bahan literatur yang penulis dapatkan. Oleh karena itu penulis menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk semakin menambah wawasan dan ilmu penulis.

Pada kesempatan ini dengan rasa hormat dan bahagia penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tekah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini maupun kepada semua pihak yang menjadi bagian penting selama penulis menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum USU Medan, yaitu :

1. Bapak Prof.Dr.Runtung,SH,M.HUM selaku Dekan Fakultas Hukum USU Medan.


(5)

2. Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,M.H selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU Medan.

3. Bapak Syafruddin,SH,DFN selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU Medan

4. Bapak Muhammad Husni,SH,M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU Medan.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Perdata USU Medan.

6. Bapak M. Hayat, SH selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing Klinis Perdata. dalam penulisan skripsi ini yang penuh kesabaran membimbing penulis baik dalam studi maupun dalam penulisan skripsi ini. 7. Bapak Mohammad Siddik, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II dalam

penulisan skripsi ini yang dengan penuh kesabaran memberi arahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

8. Bapak Muhammad Nuh, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Klinis Pidana yang telah sabar dan banyak memberikan masukan kepada penulis. 9. Seluruh Bapak/Ibu Dosen pengajar Fakultas Hukum USU Medan yang telah

memberikan ilmu dan pengetahuannya baik dalam perkuliahan maupun di luar perkuliahan.

10. Kepada seluruh pegawai Fakultas Hukum USU yang telah banyak membantu penulis di dalam kuliah dan administrasi selama kuliah.

11. Untuk kedua orang tuaku (Bapak) J. Gultom,SH.M.Hum dan (Mama) I. Hutapea yang tersayang dan tercinta yang tidak dapat penulis ungkapkan


(6)

dengan kata - kata karena dalam keikhlasan, ketulusan serta pengorbanannya telah membesarkan dari kecil hingga sekarang, memberikan semangat, dorongan, cinta, dan semua hal yang dibutuhkan dalam menjalani hari-hari dalam pencapaian cita-cita anaknya.

12. Buat kakak-kakakku, Marwita Sorta Eliabeth Gultom, SE, adikku Renova Magdalena Gultom dan Daniel Boy Sogara Gultom.

13. Buat yang penulis sayangin, Melisa C. Sinaga, A.Mak yang telah dengan sepenuh hati mensupport penulis dalam hal apa pun yang tak mampu penulis ungkapkan dengan kata -kata sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah ini.

14. Teman - teman seangkatan 2007 khususnya Yudha Arja Purba, SH, Diandra, Deny JE Simatupang, Dipomagto, Sherad, Torkis, Ignatius Rajagukguk, dll yan tidak bias penulis sebutkan satu per satu

15. Teman - teman angkatan 2008 khususnya Sanda Fajelius Hasibuan, SH, yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.

16. Kawan - kawan klinis; Frans Zebua, Bachtiar Sinaga, Jaka Siswan Pinem, M. Hadid Asyari, Mandala, Josua Dody Lumbantoruan, Fauzi Harahap, Eko Yolanda Putra, Oren Riff Milano Malau, semoga bisa selesaikan kuliahnya.


(7)

Semoga Tuhan memberikan berkat dan kasihnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan mahasiswa - mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumetera Utara.

Medan, Maret2014 Hormat Saya,

Sandro P. Gultom NIM. 070200346


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 10

C. Tujuan Penulisan ... 10

D. Manfaat Penulisan ... 11

E. Metode Penelitian ... 11

F. Keaslian Penulisan... 14

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II PENGATURAN PERJANJIAN KREDIT DI DALAM BANK ... 16

A. Tinjauan Umum Tentang Bank ... 16

1. Pengertian Bank ... 16

2. Sejarah Bank ... 19

3. Jenis – Jenis Bank ... 24

4. Fungsi Bank ... 27

B. Perjanjian Pada Umumnya ... 33

1. Pengertian Perjanjian ... 33

2. Syarat Sahnya Perjanjian ... 35

3. Asas -Asas Perjanjian ... 59

4. Berakhirnya Perjanjian ... 60

C. Kredit Pada Umumnya ... 68

1. Pengertian Kredit ... 68

2. Unsur-unsur Kredit ... 70

3. Fungsi dan Tujuan Kredit ... 71

4. Dasar Hukum Perjanjian Kredit ... 74


(9)

D. Jaminan Dalam Perjanjian Kredit ... 84

1. Pengertian Jaminan ... 84

2. Asas – Asas Hukum Jaminan ... 87

3. Obyek Jaminan ... 89

4. Jenis – Jenis Jaminan ... 89

BAB III BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN AKIBAT HUKUMNYA ... 92

A. Defenisi Bank Perkreditan Rakyat ... 92

B. Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Struktur Kepemimpinan di Bank Perkreditan Rakyat ... 93

C. Usaha – Usaha Bank Perkreditan Rakyat ... 99

D. Kebijakan dalam Memberikan Kredit ... 100

BAB IV PENYELESAIAN KREDIT MACET PADA PT. BPR DUTA PARAMARTA KECAMATAN LABUHAN DELI, KABUPATEN DELI SERDANG DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG – UNDANG PERBANKAN ... 107

A. Tinjauan Umum Perusahaan ... 107

B. Proses Perjanjian Kredit ... 120

C. Analisis Tentang Kredit Pada PT. BPR DUTA Paramarta Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang ... 129

D. Penyelesaian Masalah Kredit Macet Pada PT. BPR DUTA Paramarta Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang ... 136

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 165

A. Kesimpulan ... 165

B. Saran ... 167

DAFTAR PUSTAKA ... 168


(10)

ABSTRAK

PENYELESAIAN KREDIT MACET PADA PT. BPR DUTA PARAMARTA KECAMATAN LABUHAN DELI, KABUPATEN DELI SERDANG

DIHUBUNGANKAN DENGAN UNDANG-UNDANG PERBANKAN

Kredit merupakan salah satu produk sebuah bank. Yang memberikan kemudahan para nasabah untuk mendapatkan barang tanpa harus membelinya secara kontan atau tunai. Dengan mendahulukan pembayarannya oleh pihak bank kepada penjual barang tersebut. Seperti contohnya alat elektronik, handphone, kendaraan bermotor, rumah, dll. Kredit juga merupakan sumber pendapatan utama bagi BPR untuk kelangsungan usahanya, sehingga BPR harus senantiasa menjaga kualitas kreditnya. Semakin bagus kualitas yang diberikan sebuah BPR dalam kredit bagi nasabahnya maka semakin terjamin pula kelangsungan BPR tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini Bagaimana proses perjanjian kredit oleh PT. BPR Duta Paramarta kepada nasabah sudah sesuai dengan UU Perbankan? Apakah proses pemberian kredit oleh PT. BPR Duta Paramarta kepada nasabah sudah sesuai dengan UU Perbankan? Bagaimana proses penyelesaian jika terjadi kredit macet oleh PT. BPR Duta Paramarta sudah sesuai dengan UU Perbankan? Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat yuridis normatif., artinya penelitian yang berdasarkan pada penelitian kepustakaan guna memperoleh data sekunder di bidang hukum, yang berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier

Segala sesuatu yang ada pada negara kita pada umumnya di atur di dalam undang - undang, baik Undang - Undang Dasar 1945 maupun Undang - Undang Tambahan. Begitu juga hal nya dengan perbankan. Dengan melakukan revisi pada undang - undangnya agar mampu mengikuti perkembangan sistem perbankan yang sifatnya dinamis. Sehingga diharapkan dapat membantu mengawasi sistem perbankan yang ada di Indonesia ini. Bahwa perkembangan perbankan di Indonesia selalu mengalami perkembangan yang pesat dari tahun ke tahun. Pemberian kredit harus mengikuti perkembangan perekonomian yang ada. Hal ini bertujuan agar pemberian kedit dapat membantu masyarakat dalam mengembangkan usaha yang mereka miliki dengan harapan memperoleh keuntungan. Penilaian pemberian kredit harus memperhatikan dari berbagai sisi agar jangan terjadi kredit macet yang sering membuat rugi banyak pihak di dalamnya. baik nasabah, bank, bahkan negara itu sendiri. diharapkan dengan sistematis pemberian kredit yang telah baik diharapkan kredit macet dapat diminilisasikan dan jika terjadi penyelesaiannya dapat diselesaikan secara kekeluargaan tanpa harus ke jalur hukum yang membutuhkan banyak biaya,waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Penyelesaian kredit macet harus seadil - adilnya.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di zaman sekarang semua kegiatan manusia tidak lepas dari yang namanya uang. Mulai dari hal yang sederhana, sampai yang kompleks sekalipun kita tidak dapat lepas dari yang namanya uang. Uang memiliki 2 fungsi, yaitu fungsi asli dan fungsi turunan.1

1. Fungsi asli

Fungsi asli uang ada tiga, yaitu sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan nilai.

- Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat mempermudah pertukaran. Orang yang akan melakukan pertukaran tidak perlu menukarkan dengan barang, tetapi cukup menggunakan uang sebagai alat tukar. Kesulitan-kesulitan pertukaran dengan cara

- Uang juga berfungsi sebagai satuan hitung (unit of account) karena uang dapat digunakan untuk menunjukan barang/jasa yang diperjualbelikan, menunjukkan besarnya kekayaan, dan menghitung besar kecilnya menentukan harga barang/jasa (alat penunjuk harga). Sebagai alat satuan hitung, uang berperan untuk memperlancar pertukaran.

1

www.wikipedia.org/wiki/uang


(12)

- Selain itu, uang berfungsi sebagai alat penyimpan nilai (valuta) karena dapat digunakan untuk mengalihkan daya beli dari masa mendatang. Ketika seorang penjual saat ini menerima sejumlah uang sebagai pembayaran atas barang dan jasa yang dijualnya, maka ia dapat menyimpan uang tersebut untuk digunakan membeli barang dan jasa di masa mendatang.

2. Fungsi Turunan

Selain ketiga hal di atas, uang juga memiliki fungsi lain yang disebut sebagai fungsi turunan. Fungsi turunan itu antara lain:

a) Uang sebagai alat pembayaran yang sah

Kebutuhan manusia akan barang dan jasa yang semakin bertambah dan beragam tidak dapat dipenuhi melalui cara tukar-menukar atau Guna mempermudah dalam mendapatkan barang dan jasa yang diperlukan, manusia memerlukan alat pembayaran yang dapat diterima semua orang, yaitu uang.

b) Uang sebagai alat pembayaran utang

Uang dapat digunakan untuk mengukur pembayaran pada masa yang akan datang.

c) Uang sebagai alat penimbun kekayaan

Sebagian orang biasanya tidak menghabiskan semua uang yang dimilikinya untuk keperluan konsumsi. Ada sebagian uang yang disisihkan dan ditabung untuk keperluan di masa datang.


(13)

d) Uang sebagai alat pemindah kekayaan

Seseorang yang hendak pindah dari suatu tempat ke tempat lain dapat memindahkan kekayaannya yang berupa tanah dan bangunan rumah ke dalam bentuk uang dengan cara menjualnya. Di tempat yang baru dia dapat membeli rumah yang baru dengan menggunakan uang hasil penjualan rumah yang lama.

e) Uang sebagai alat pendorong kegiatan ekonomi

Apabila nilai uang stabil orang lebih bergairah dalam melakukan investasi. Dengan adanya kegiatan investasi, kegiatan ekonomi akan semakin meningkat.

Uang yang beredar di masyarakat sebagaian ada juga terdapat di bank. Bank sebagai tempat yang digunakan masyarakat untuk menyimpan dan mengambil uang yang mereka peroleh dari hasil kerja mereka sehari – hari. Pada zaman sekarang fungsi bank tidak hanya sebagai tempat menyimpan uang tetapi telah memiliki fungsi yang banyak dan beragam yang memudahkan masyarakat memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya di dalam perbankan. Baik berupa simpan pinjam, jual beli mata uang asing, deposito berjangka, kredit kendaraan bermotor, Kredit Perumahan Rakyat, bantuan modal usaha, kartu debit dan kredit, dll.

Semakin banyak juga bank yang memberikan kemudahan kepada para nasabahnya semudah menggenggam tangan. Bank yang ada pada saat ini memiliki peranan yaitu sebagai intermediasi keuangan. Intermediasi keuangan adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada


(14)

masyarakat. Dana yang dihimpun ini lah yang akan disalurkan kepada pihak – pihak yang memerlukannya dalam pengembangan usaha mereka baik yang secara perseorangan atau pun badan hukum yang lain.

Bank memiliki banyak jenis, salah satunya adalah BPR. Sesuai dengan Undang – undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan bahwa kegiatannya tidak berbeda dengan bank yang lain yaitu menghimpun dana dan menyalurkan kredit.

2

Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1992 pasal 1 tentang perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No, 10 tahun 1998, pengertian kredit adalah sebagai berikut : 3

Kredit merupakan salah satu produk sebuah bank. Yang memberikan kemudahan para nasabah untuk mendapatkan barang tanpa harus membelinya secara kontan atau tunai. Dengan mendahulukan pembayarannya oleh pihak bank kepada penjual barang tersebut. Seperti contohnya alat elektronik, handphone, kendaraan bermotor, rumah, dll. Kredit juga merupakan sumber pendapatan utama bagi BPR untuk kelangsungan usahanya, sehingga BPR harus senantiasa menjaga kualitas kreditnya. Semakin bagus kualitas yang diberikan sebuah BPR dalam kredit bagi nasabahnya maka semakin terjamin pula kelangsungan BPR tersebut.

” Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

2

Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/26/DKBU Tanggal 19 September 2012 3

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan


(15)

Untuk itu dalam pemberian kredit, BPR harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan asas-asas perkreditan yang sehat agar kualitas kredit yang diberikan senantiasa lancar dan tepat sasaran. Apabila BPR tidak mampu menjaga kualitas kreditnya dengan baik maka hal tersebut akan mempengaruhi kinerja BPR khususnya kinerja keuangan yang dapat mengakibatkan kemampuan BPR untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah penyimpan menjadi terganggu. Oleh karena itu agar penerapan prinsip kehati-hatian dan asas-asas perkreditan yang sehat tersebut dilaksanakan secara konsisten maka BPR harus memiliki Pedoman Kebijakan Perkreditan BPR (PKPB). Hal ini diatur di dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.14/26/DKBU Tanggal 19 September 2012 tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan Bagi Bank Perkreditan Rakyat yang dibuat oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia yang membuat kebijakan dan mengatur instansi yang di bawah naungannya agar memiliki keuangan yang sehat sehingga menjaga kestabilan perekonomian yang mantap dan kuat. Adapun fungsi dan tujuan dari Pedoman Kebijakan Perkreditan BPR (PKPB) yaitu :4

1. Fungsi

“FUNGSI DAN TUJUAN PEDOMAN KEBIJAKAN PERKREDITAN BPR (PKPB)”

BPR dalam melaksanakan kegiatan usahanya harus memiliki sistem pengendalian intern. Dalam rangka menerapkan sistem pengendalian intern tersebut, BPR wajib memiliki kebijakan, prosedur dan perangkat organisasi yang memiliki pemisahan fungsi. Salah satu sistem pengendalian intern yang harus

4 Ibid


(16)

dimiliki oleh BPR adalah sistem pengendalian intern dalam perkreditan, yang dituangkan dalam Pedoman Kebijakan Perkreditan BPR (PKPB). PKPB dimaksud mempunyai fungsi:

a) sebagai pedoman bagi BPR dalam setiap pelaksanaan kegiatan di bidang perkreditan yang memuat semua aspek perkreditan yang memenuhi prinsip kehati - hatian dan asas - asas perkreditan yang sehat, antara lain dalam proses pemberian kredit secara individual, pemantauan portofolio perkreditan secara keseluruhan, dan dalam pelaksanaan penanganan kredit bermasalah.

b) sebagai standar atau ukuran dalam pelaksanaan pengawasan pemberian kredit pada semua tahapan proses perkreditan secara individual.

2. Tujuan

a) agar BPR menerapkan prinsip kehati-hatian dan asas-asas perkreditan yang sehat secara konsisten dan berkesinambungan dalam rangka mitigasi risiko atas setiap pemberian kredit.

b) untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh berbagai pihak dalam pemberian kredit yang dapat merugikan BPR.

c) untuk mencegah terjadinya praktek pemberian kredit yang tidak sehat. Di dalam pelaksanaan pemberian kredit pada umumnya dilakukan dengan mengadakan suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat tersebut terdiri dari perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang dan dengan perjanjian tambahan berupa perjanjian pemberian jaminan oleh pihak debitor. Pada dasarnya, pemberian kredit oleh bank diberikan kepada siapa saja yang memiliki


(17)

kemampuan untuk membayar kembali dengan syarat melalui suatu perjanjian utang piutang di antara kreditur dan debitur.5

1. Jaminan perorangan.

Secara garis besar dikenal ada 2 (dua) bentuk jaminan, yaitu :

2. Jaminan kebendaan.

Dalam praktek jaminan yang sering digunakan adalah jaminan kebendaan yang salah satunya adalah tanah yang dijadikan jaminan atau disebut Hak Tanggungan.

Kita mengenal dua jenis hak jaminan kredit dalam praktek di masyarakat yaitu :

1. Hak-hak jaminan kredit perorangan

Yaitu jaminan seorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Termasuk dalam golongan ini antara lain “borg” yaitu pihak ketiga yang menjamin bahwa hutang orang lain pasti dibayar.

2. Hak-hak jaminan kredit kebendaan

Yaitu jaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan debiturnya, atau pun antara kreditur dengan seorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Termasuk golongan ini apabila yang bersangkutan didahulukan terhadap kreditur-kreditur lainnya dalam hal pembagian penjualan hasil harta benda debitur,meliputi : previlege (hak istimewa), gadai dan hipotek.

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah serta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, maka segala ketentuan mengenai

5

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 1


(18)

Creditverband dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang diberlakukan berdasarkan Pasal 57 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) dinyatakan tidak berlaku lagi. Pemberian jaminan dengan Hak Tanggungan diberikan melalui Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang didahului dan atau dengan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) merupakan bagian yang terpisahkan dari perjanjian kredit.

Perjanjian kredit mempunyai kedudukan sebagai perjanjian pokok, artinya merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya. Perjanjian kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan bukan merupakan hak jaminan yang lahir karena Undang-Undang melainkan lahir karena harus diperjanjian terlebih dahulu antar bank selaku kreditor dengan nasabah selaku debitor. Oleh karena itu secara yuridis pengikatan jaminan Hak Tanggungan lebih bersifat khusus jika dibandingkan dengan jaminanyang lahir berdasarkan Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata.

Menurut Abdulkadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 KUH Perdata sebagai berikut bahwa yang disebut perjanjian adalah “Suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.6

6

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 78

Fokus perhatian dalam masalah jaminan Hak Tanggungan adalah apabila debitor wanprestasi. Dalam hukum perjanjian apabila debitor tidak memenuhi isi perjanjian atau tidak


(19)

melakukan hal-hal yang telah diperjanjikan, maka debitor tersebut telah wanprestasi dengan segala akibat hukumnya.

Tetapi pada kenyataannya banyak pihak perbankan khususnya Bank Perkreditan Rakyat yang menghiraukan Pedoman Kebijakan Perkreditan BPR (PKPB). Sehingga terjadi kredit macet yang mengakibatkan banyak BPR yang harus tutup karena tidak mampu lagi menjaga kelangsungan usahanya. Kredit yang diberikan dan beredar di tengah masyarakat tidak dapat ditarik secara maksimal oleh pihak BPR karena berbagai faktor dan kurangnya solusi yang dimiliki oleh BPR dalam menangani kredit macet yang ada. Khususnya yang ada di sekitar penulis, agar kredit macet dapat diminimalkan sehingga kelangsungan BPR yang ada dapat berkembang lebih maju dengan kredit yang lancar.

Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini penulis membahas Penyelesaian Kredit Macet Pada PT. BPR DUTA PARAMARTA Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang Dihubungkan Dengan Undang – Undang Perbankan.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka perlui adanya perumusan masalah guna mempermudah pembahasan selanjutnya. Adapun permasalahan yang akan dikemukakan adalah sebagai berikut :

1. Apakah proses pemberian kredit oleh PT. BPR Duta Paramarta kepada nasabah sudah sesuai dengan UU Perbankan?


(20)

2. Bagaimana proses penyelesaian jika terjadi kredit macet oleh PT. BPR Duta Paramarta sesuai dengan UU Perbankan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui BPR dan perkembangannya saat ini.

2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Kredit dan bagaimana penerapannya.

3. Untuk mengetahui cara penyelesaian kredit macet yang terjadi di BPR pada umumnya sesuai dengan UU Perbankan

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

a) Untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya. b) Untuk menambah pengembangan Ilmu Hukum di bidang Perjanjian

tentang Perjanjian Kredit di dalam BPR pada umumnya di Indonesia. 2. Secara Praktis

a) Untuk memberikan wawasan, informasi dan pengetahuan secara langsung ataupun tidak langsung kepada masyarakat mengenai hak dan kewajibannya sebagai nasabah di BPR.

b) Dengan penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi hukum perdata Indonesia.


(21)

c) Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum dalam mengatasi permasalahan – permasalahan yang timbul pada Perjanjian Kredit di dalam BPR di Indonesia.

E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat yuridis normatif., artinya penelitian yang berdasarkan pada penelitian kepustakaan guna memperoleh data sekunder di bidang hukum, yang berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Untuk mendukung data sekunder dilakukan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, sedang penelitian lapangan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti langsung ke lapangan untuk memperoleh data yang konkrit yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Pada penelitian lapangan data yang diperoleh adalah data primer atau data yang diperoleh langsung dari responden. Responden dari penelitian ini adalah nasabah dan pejabat PT. BPR Duta Paramarta Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kepustakaan adalah dokumen atau bahan pustaka, sedang dalam penelitian lapangan dipergunakan pedoman wawancara. Data yang diperoleh dari hasil kepustakaan dan hasil penelitian lapangan dianalisis secara kualitatif.


(22)

2. Sumber data

Bahan yang dipakai untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,7 bahan hukum sekunder,8 dan bahan hukum tersier.9

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yaitu yang mencakup bahan hukum yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, serta bahan-bahan dari bidang ilmu lain diluar bidang hukum yang dianggap relevan dan berguna untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.

Ketiga bahan hukum ini merupakan data sekunder. Bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan analisis hukum terhadap perbuatan wanprestasi dalam perkara perdata yaitu Kitab Undang - Undang Hukum Perdata serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

Bahan hukum sekunder yang merupakan bahan yang akan memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu terdiri dari buku-buku teks, jurnal, laporan penelitian, artikel, majalah, surat kabar, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan analisis hukum terhadap perbuatan wanprestasi dalam perkara perdata.

7

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 142, bahan hukum primer yang berupa perundang-undangan, yang memiliki otoritas tertinggi adalah Undang-Undang Dasar karena semua peraturan dibawahnya baik isi maupun jiwanya tidak boleh bertentangan dengan UUD tersebut.

8

Ibid, bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks karena buku teks berisi prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi.

9

Ibid, hal. 143. Disamping sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, peneliti hukum juga dapat menggunakan bahan-bahan non-hukum apabila dipandang perlu.


(23)

3. Teknik Pengumpulan Data

Bahan-bahan dalam penelitian ini diperoleh melalui penggunaan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kepustakaan adalah dokumen atau bahan pustaka, sedang dalam penelitian lapangan dipergunakan pedoman wawancara.

4. Analisis data

Bahan hukum yang telah diperoleh yaitu yang berkaitan dengan analisis hukum terhadap perbuatan wanprestasi dalam perkara perdata, kemudian diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang sistematis untuk dapat menjawab isu hukum yang telah dirumuskan.

Cara pengolahan yang sedemikian rupa disebut sebagai pengolahan data deskrtiptif analisis,

10

F. Keaslian Penulisan

yaitu yang menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang dihadapi sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan.

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Penyelesaian kredit macet pada PT. BPR

10

Soerjono Soekanto, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998), hal. 3. Penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan. secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.


(24)

Duta Paramarta Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang dihubungkan dengan Undang – undang Perbankan.”, belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitan ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secaraakademis.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas tentang pengaturan perjanjian kredit di dalam bank. Antara lain memuat pengertian bank, sejarah bank, jenis – jenis bank, fungsi bank, perjanjian, kredit pada umumnya, serta jaminan – jaminan yang ada di dalam kredit.

BAB III : Bab ini akan membahas tentang Bank Perkreditan Rakyat. Antara lain ,memuat pengertian BPR, tugas dan wewenang posisi jabatan di BPR, Usaha – usaha BPR, kebijakan dalam memberikan kredit yang ada di BPR pada umumnya.

BAB IV : Bab ini akan dibahas tentang latar belakang perusahaan, proses perjanjian kredit, analisis tentangkredit yang ada di


(25)

BPR Duta Paramarta, Penyelesaian kredit macet pada PT. BPR Duta Paramarta Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang dihubungkan dengan Undang – undang Perbankan.

BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran - saran mengenai


(26)

BAB II

PENGATURAN PERJANJIAN KREDIT DI DALAM BANK

A. Tinjauan Umum Tentang Bank 1. Pengertian Bank

Bank adalah sebuah tempat yang tidak asing lagi bagi semua orang. Pada umumnya semua pernah ke bank. Kata bank berasal dari bahasa Italia banque atau

Italia banca yang berarti

penukaran uang, berbeda dengan pekerjaan kebanyakan orang yang tidak memungkinkan mereka untuk duduk sambil bekerja.

Beberapa pengertian bank menurut para ahli ;11

- Pengertian Bank Menurut Kasmir dalam bukunya Manajemen Perbankan, secara sederhana bank dapat diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa bank lainnya”.

- Pengertian Bank Menurut Prof G.M. Verryn Stuart dalam bukunya Bank Poltik, Bank merupakan salah satu badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit, baik dengan alat pembayaran sendiri, dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, dengan jalan mengedarkan alat-alat pembayaran baru berupa uang giral.

11


(27)

- Pengertian Bank menurut. H. Malayu S.p Hasibuan “Bank adalah lembaga keuangan berarti Bank adalah badan usaha yang kekayaan terutama dalam bentuk asset keuangan (Financial Assets) serta bermotivasi profit dan juga sosial, jadi bukan mencari keuntungan saja.”

Beberapa Pengertian Bank Menurut UU Republik Indonesia:12

- Definisi bank menurut UU No. 14 tahun 1967 Pasal 1 Tentang Pokok-Pokok Perbankan adalah : “lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”, dan pengertian bank menurut UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, yaitu “bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

- Definisi bank menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

- Definisi bank menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

12 Ibid


(28)

Menurut UU RI No 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan, yaitu menghimpun dana,menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank lainnya. Kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana merupakan kegiatan pokok bank sedangkan memberikan jasa bank lainnya hanya kegiatan pendukung. Kegiatan menghimpun dana, berupa mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk menarik seperti menyalurkan dana, berupa pemberian pinjaman kepada masyarakat. Sedangkan jasa-jasa perbankan lainnya diberikan untuk mendukung kelancaran kegiatan utama tersebut. Inilah beberapa manfaat perbankan dalam kehidupan:13

- Sebagai model investasi, yang berarti, transaksi derivatif dapat dijadikan sebagai salah satu model berinvestasi. Walaupun pada umumnya merupakan jenis investasi jangka pendek (yield enhancement).

- Sebagai cara lindung nilai, yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai salah satu cara untuk menghilangkan risiko dengan jalan lindung nilai (hedging), atau disebut juga sebagai risk management.

- Informasi harga, yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai sarana mencari atau memberikan informasi tentang harga barang komoditi tertentu dikemudian hari (price discovery).

Fungsi perbankan yaitu :

13


(29)

- Fungsi spekulatif, yang berarti, transaksi derivatif dapat memberikan kesempatan spekulasi (untung-untungan) terhadap perubahan nilai pasar dari transaksi derivatif itu sendiri.

- Fungsi manajemen produksi berjalan dengan baik dan efisien, yang berarti, transaksi derivatif dapat memberikan gambaran kepada manajemen produksi sebuah produsen dalam menilai suatu permintaan dan kebutuhan pasar pada masa mendatang.

Terlepas dari funsi-fungsi perbankan (bank) yang utama atau turunannya, maka yang perlu diperhatikan untuk dunia perbankan, ialah tujuan secara filosofis dari eksistensi bank di Indonesia. Hal ini sangat jelas tercermin dalam Pasal empat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menjelaskan, ”Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”.14

2. Sejarah Bank

Meninjau lebih dalam terhadap kegiatan usaha bank, maka bank (perbankan) Indonesia dalam melakukan usahanya harus didasarkan atas asas demokrasi ekonomi yang menggunakan prinsip kehati-hatian. Hal ini jelas tergambar, karena secara filosofis bank memiliki fungsi makro dan mikro terhadap proses pembangunan bangsa.

Sejarah bank dimulai pada saat pertama kali didirikan dalam bentuk seperti sebuah firma pada umumnya pada tahu berkemauan merencanakan membangun kembali kekuatan armada lautnya untuk

14


(30)

bersaing dengan kekuatan armada laut Perancis. Akan tetapi pemerintahan Inggris saat itu tidak mempunyai kemampuan pendanaan, kemudian berdasarkan gagasan membentuk sebuah lembaga intermediasi keuangan yang akhirnya dapat memenuhi dana pembiayaan tersebut hanya dalam waktu dua belas hari.

Sejarah mencatat asal mula dikenalnya kegiatan perbankan adalah pada berkembang ke ke negara jajahannya baik di Asia, Afrika maupun benua Amerika. Bila ditelusuri, sejarah perbankan, arti bank dikenal sebagai meja tempat penukaran uang. Dalam perjalanan sejarah kerajaan pada masa dahulu penukaran uangnya dilakukan antar kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lain. Kegiatan penukaran ini sekarang dikenal dengan nama Pedagang Valuta Asing (Money Changer). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan operasional perbankan berkembang lagi menjadi tempat penitipan uang atau yang disebut sekarang ini kegiatan simpanan. Berikutnya kegiatan perbankan bertambah dengan kegiatan peminjaman uang. Uang yang disimpan oleh masyarakat, dipinjamkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkannya. Jasa-jasa bank lainnya menyusul sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam.

Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu De javasche Bank, NV didirikan di Batavia pada


(31)

tanggal 24 Januari 1828 kemudian menyusul Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai pemegang monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar negeri serta terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda. Bank-bank yang ada itu antara lain:

- De Javasce NV - De Post Poar Bank - Hulp en Spaar Bank

- De Algemenevolks Crediet Bank - Nederland Handles Maatscappi (NHM) - Nationale Handles Bank (NHB)

- De Escompto Bank NV

- Nederlansche Indische Handelsbank

Di Indonesia, praktek perbankan sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan. Lembaga keuangan berbentuk bank di Indonesia berupa Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Umum Syari’ah, dan juga BPR Syari’ah (BPRS). Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia mengenal dunia perbankan dari bekas penjajahnya, yaitu Belanda. Oleh karena itu, sejarah perbankanpun tidak lepas dari pengaruh negara yang menjajahnya baik untuk bank pemerintah maupun bank swasta nasional. Pada 1958, pemerintah melakukan nasionalisasi bank milik Belanda mulai dengan Nationale Handelsbank (NHB) selanjutnya pada tahun 1959 yang diubah menjadi Bank Umum Negara (BUNEG kemudian menjadi Bank Bumi Daya) selanjutnya pada 1960 secara berturut-turut


(32)

Escomptobank menjadi Bank Dagang Negara (BDN) dan Nederlandsche Handelsmaatschappij (NHM) menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) dan kemudian menjadi Bank Expor Impor Indonesia (BEII).

Berikut ini akan dijelaskan secara singkat sejarah bank-bank milik pemerintah, yaitu :

- Bank Sentral

Bank Sentral di Indonesia adalah Bank Indonesia (BI) berdasarkan UU No 13 Tahun 1968. Kemudian ditegaskan lagi dnegan UU No. 23 Tahun 1999. Bank ini sebelumnya berasal dari De Javasche Bank yang di nasionalkan di tahun 1951.

- Bank Rakyat Indonesia dan Bank Expor Impor

Bank ini berasal dari De Algemene Volkscrediet Bank, kemudian di lebur setelah menjadi bank tunggal dengan nama Bank Nasional Indonesia (BNI) Unit II yang bergerak di bidang rural dan expor impor (exim), dipisahkan lagi menjadi :

1. Yang membidangi rural menjadi Bank Rakyat Indonesia dengan UU No 21 Tahun 1968.

2. Yang membidangi Exim dengan UU No 22 Tahun 1968 menjadi Bank Expor Impor Indonesia.

- Bank Negara Indonesia (BNI ’46)

Bank ini menjalani BNI Unit III dengan UU No 17 Tahun 1968 berubah menjadi Bank Negara Indonesia ’46.


(33)

- Bank Dagang Negara(BDN)

BDN berasal dari Escompto Bank yang di nasionalisasikan dengan PP No 13 Tahun 1960, namun PP (Peraturan Pemerintah) ini dicabut dengan diganti dengan UU No 18 Tahun 1968 menjadi Bank Dagang Negara. BDN merupakan satu-satunya Bank Pemerintah yang berada di luar Bank Negara Indonesia Unit.

- Bank Bumi Daya (BBD)

BBD semula berasal dari Nederlandsch Indische Hendles Bank, kemudian menjadi Nationale Hendles Bank, selanjutnya bank ini menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV dan berdasarkan UU No. 19 Tahun 1968 menjadi Bank Bumi Daya.

- Bank Pembangunan Daerah (BPD)

Bank ini didirikan di daerah-daerah tingkat I. Dasar hukumnya adalah UU No. 13 Tahun 1962.

- Bank Tabungan Negara (BTN)

BTN berasal dari De Post Paar Bank yang kemudian menjadi Bank Tabungan Pos tahun 1950. Selanjutnya menjadi Bank Negara Indonesia Unit V dan terakhir menjadi Bank Tabungan Negara dengan UU No. 20 Tahun 1968.

- Bank Mandiri

Dagang Negara (BDN), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Expor Impor Indonesia (Bank Exim). Hasil merger keempat bank ini dilaksanakan pada tahun 1999.


(34)

3. Jenis – jenis Bank

Bank memiliki banyak jenisnya jika dilihat dari berbagai segi, yaitu : a) Jenis-jenis bank berdasarkan fungsinya

1. Bank Umum

Menurut Undang - undang RI No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan “Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.

Kegiatan - kegiatan yang dilakukan bank umum antara lain:

- Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan.

- Memberikan kredit.

- Menerbitkan surat pengakuan hutang.

- Membeli, menjual, menjamin resiko sendiri maupun kepentingan dan atas perintah nasabahnya.

- Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan nasabah.

2. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Menurut Undang-undang RI No. 10 Tahun 1998 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.


(35)

b) Jenis-jenis Bank Berdasarkan Kepemilikannya

Menurut Kasmir jenis-jenis bank berdasarkan kepemilikannya dibedakan menjadi dua yaitu bank milik pemerintah dan bank milik swasta.

1. Bank Milik Pemerintah

Bank milik pemerintah adalah bank yang seluruh atau sebagian modalnya dan akte pendiriannya didirikan oleh pemerintah.

2. Bank Milik Swasta

Bank milik pemerintah adalah bank yang seluruh atau sebagian modalnya dan akte pendiriannya didirikan oleh swasta.

c) Jenis-jenis Bank Berdasarkan Status

Jenis-jenis bank berdasarkan status dibedakan menjadi dua yaitu bank devisa dan bank non devisa.

1. Bank Devisa

Bank devisa adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dapat memberikan pelayanan lalu lintas pembayaran dalam dan luar negeri dan sudah mendapat izin dari Bank Indonesia.

2. Bank Non Devisa

Bank non devisa adalah bank yang belum mendapat izin dari Bank Indonesia untuk memberikan pelayanan lalu lintas pembayaran dalam dan luar negeri seperti bank devisa.


(36)

d) Jenis-jenis Bank Berdasarkan Cara Menentukan Harga

Jenis-jenis bank berdasarkan cara menentukan harga dibedakan menjadi dua yaitu bank berdasarkan prinsip konvensional dan bank berdasarkan prinsip syariah.

1. Bank Berdasarkan Prinsip Konvensional

Bank yang berdasarkan prinsip konvensional menetapkan bunga sebagai harga dan mengenakan biaya dalam nominal atau persentase tertentu (fee base) dalam mendapatkan keuntungan dan menentukan harga produk bank. 2. Bank Berdasarkan Prinsip Syariah

Bank yang berdasarkan prinsip syariah menggunakan aturan perjanjian menurut hukum islam dalam pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpapilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

4. Fungsi Bank

Bank juga memiliki fungsinya di dalam kehidupan masyarakat. Selain sebagai tempat menyimpan uang, bank juga merupakan lembaga perantara keuangan yang resmi. Selain memiliki fungsi-fungsi umum lembaga perantara keuangan, bank umum memiliki pula fungsi-fungsi khususnya. Berikut fungsi bank menurut para ahli.


(37)

Menurut A. Howard D. Crosse dan George H. Hempel bahwa bank mempunyai tujuh fungsi pokok yaitu:15

1. Credit Creation (penciptaan kredit). 2. Depository Function (fungsi giral).

3. Payments and Collections (pembayaran dan penagihan).

4. Savings Accumulation and Investment (akumulasi tabungan dan investasi).

5. Trust Services (jasa-jasa 'trust'). 6. Other Services (jasa lain-lain).

7. Perolehan laba untuk imbalan para pemegang saham.

Menurut Oliver G. Wood, jr mengatakan bahwa bank umum melaksanakan lima fungsi utama dalam perekonomian yaitu:16

1. Memegang dana nasabah.

2. Menyajikan mekanisme pembayaran. 3. Menciptakan uang dan kredit.

4. Menyajikan pelayanan 'trust'. 5. Menyajikan jasa lain-lain.

Menurut C. Herbert Spero dan Lewis E. Davids menyebutkan ada lima buah fungsi bank, tetapi dengan rincian yang berbeda; yaitu:17

1. Menerima dan menyimpan dana setoran.

2. Membayar tagihan (penarikan cek. deposito, tabungan).

15

Howar D. Cross dan George H. Hempel, Management Politicie for Commercial Bank, Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs, N.J. 1973, hl.3

16

Oliver G. Wood, Jr. Commercial Banking, D. Van Nostrand Company, New York, 1978, hlm. 12

17


(38)

3. Memberikan kredit kepada perusahaan – perusahaan untuk modal kerja, atau membeli aktiva tetap.

4. Memberikan kredit kepada pemerintah.

5. Memberikan pinjaman perorangan dalam bentuk kredit konsumsi atau kredit bangunan

Menurut American Bankers Association menyebutkan ada empat fungsi ekonomi utama bank yaitu :18

1. The depositfunction (fungsi penyimpanan dana). 2. The payments function (fungsi pembayaran). 3. The loanfunction (fungsi pemberian kredit). 4. The moneyfunction (fungsi uang)

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi bank ada 7 fungsi secara umum yaitu :

1. Fungsi Pengumpulan Dana.

Dana yang berasal dari masyarakat yang disimpan di bank pada umumnya dalam bentuk giro (demand deposits) sering pula disebut checking deposits, deposito (time deposits) sering disebut dengan deposito berjangka, dan tabungan (savings deposits). Ketiga sumber dana inilah yang merupakan sumber-sumber dana utama bank, selain sumber yang berasal dari modal sendiri (networth) bank, yang terdiri dari modal pesertaan dan laba yang tidak dibagikan. Ketiga sumber dan simpanan inilah memerlukan perhatian pengelola bank jauh lebih banyak

18

American Bankers Association, Principle of Bank Operation, American Institute of Banking, USA, 1971, hlm. 9-20.


(39)

daripada perhatian yang dicurahkan untuk mengelola sumber dana modal sendiri. Hal ini kiranya mudah dipahami, kalau kita ingat bahwa di satu pihak jumlahnya boleh dikatakan tidak berubah-ubah, dana simpanan di lain pihak, besarnya setiap harinya berubah dengan perubahan dua arah, yaitu dalam artian bisa bertambah dan bisa berkurang, dan juga bisa dengan jumlah yang cukup besar. Untuk bank yang sehat seluruh jumlah dana pihak ketiga ini bersama-sama dengan sisa modal sendiri perusahaan beserta sumber pembelanjaan berupa utang jangka panjang yang tidak tertanam dalam bentuk aktiva tetap fisik dan pesertaan modal di perusahaan lain secara permanen, dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dan untuk memenuhi kebutuhan kredit para nasabahnya, seperti tersebut pada butir 2 dan 3 di bawah ini.

2. Fungsi Pemberian Kredit.

Yaitu dana yang dikumpulkan melalui penerimaan giro, deposito, dan tabungan seperti yang dimaksud di atas, oleh bank harus segera "dijalankan" atau "diputar", sebab terhadap dana yang dikumpulkan tersebut bank terkena beban biaya berupa jasa giro , bunga deposito, bunga tabungan dan biaya operasional, seperti misalnya gaji, sewa gedung atau penyusutan dan sebagainya. Alternatif pemakaian dana yang pada umumnya bagi bank paling menguntungkan dan tidak banyak mengganggu likuiditas bank adalah pemberian kredit jangka pendek kepada pihak ketiga yang membutuhkan; yaitu yang singkatnya kita sebut sebagai nasabah pemakai kredit jangka pendek, atau lebih singkat lagi, debitur jangka pendek.


(40)

3. Fungsi Penanaman Dana/Investasi.

Yang dimaksud dengan investasi di sini berbeda dengan apa yang dimaksud dengan investasi di bidang ekonomi makro. Dalam ekonomi makro istilah investasi selalu dimaksudkan dalam artian investasi fisik, yaitu berupa penambahan sumber daya modal dalam perekonomian, dalam bidang perbankan, terlebih lagi dalam Manajemen Bank, istilah investasi selalu digunakan dalam artian investasi finansial, yaitu penanaman dana dalam bentuk surat-surat berharga, baik surat tanda pemilikan (saham misalnya) atau pun surat tanda utang (surat obligasi, surat wesel. SBI dan sebagainya). Selanjutnya, perlu diingat bahwa salah satu ciri khas dari penanaman modal ialah bahwa dari penanaman tersebut si penanam modal memperoleh imbalan berupa pendapatan modal yang bisa berupa bunga (termasuk di dalamnya adalah diskonto), laba atau dividen. Ini berarti bahwa dana yang tertanam dalam bentuk aktiva likuid atau aktiva cadangan primer, tidak termasuk kategori aktiva investasi.

4. Fungsi Penciptaan Uang.

Di atas sudah disinggung dari sudut pandangan ekonomi makro atau ekonomi moneter, fungsi penciptaan uang dipandang sebagai fungsi paling pokok bank umum dalam perekonomian. Namun dari sudut pandangan manajer bank dapat dikatakan, bahwa dengan melupakan sarna sekali fungsi tersebut tidak akan berpengaruh terhadap maju mundurnya bank yang dipimpinnya. Keberhasilannya dalam mengelola fungsi pertama dan fungsi kedua otomatis berarti bahwa fungsi penciptaan uang telah dilaksanakan dengan baik oleh bank yang dikelolanya.


(41)

5. Fungsi Pembayaran.

Transaksi pembayaran sering diartikan sebagai kegiatan kewajiban pelunasan secara keseluruhan atau sebagian kewajiban finansial. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan ini dalam perekonomian, lembaga perbankan merupakan lembaga pemasok jasa pembayaran terbesar. Fungsi pembayaran ini pelaksanaannya tidak hanya dilakukan melalui cek atau bilyet giro saja, melainkan juga melalui surat wesel, kupon, transfer uang, baik melalui surat ataupun telegram. Dalam masyarakat kelak, pembayaran dilakukan melalui pendebetan dan pengkreditan terhadap rekening-rekening bank dari nasabah yang terdapat dalam memori komputer bank.

6. Fungsi Pemindahan Uang.

Hal ini sering juga disebut sebagai transfer uang. Dimana seseorang ingin mengirimkan uang kepada orang lain di kota lain. Mengenai cara melaksanakan transfer dapat dipergunakan beberapa cara. Antara lain bisa dilakukan melalui telegram, (surat ataupun dengan jalan menyerahkan wesel diantarasesama kantor cabangnya. Penarikan untuk pengertian aktiva likuid dan aktiva cadangan primer, atas saldo kredit yang ada pada bank korespondennya bisa juga dilakukan secara telegram, wesel tunjuk atau dengan cek. Dalam kenyataan kegiatan transfer mengenal beberapa bentuk, yang sering tercampur dengan unsur-unsur kegiatan utama lainnya. Misalnya saja menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran, menjalankan perintah untuk pemindahan uang, menerima pembayaran dari tagihan atas kertas berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antara pihak ketiga, semua ini memang bisa dikategorikan ke dalam produk


(42)

jasa perbankan yang biasa disebut jasa'trust '1'trust service'. Tetapi paling tidak sebagian dari transaksi-transaksi tersebut terdapat unsur kegiatan transfer. Contoh lain untuk 'trust service' yang bercampur dengan transfer ialah pelayanan pembayaran rekening telepon para nasabah oleh bank, dimana bank mendapatkan kepercayaan untuk menyelesaikan hutang nasabah kepada kantor telepon. Dalam transaksi tersebut di samping dijumpai unsur pemberian kuasa untuk menyelesaikan kewajiban membayar, juga ada unsur pemberian kuasa untuk menggunakan saldo debit giro milik nasabah, dan juga ada unsur transfer uang dari nasabahnya kepada kantor telepon.

7. Fungsi Pemasokan Produk Jasa Perbankan Lainnya.

IKPI membedakan produk perbankan lain-lain ke dalam dua kelompok, yaitu jasa-jasa perbankan dalam negeri dan jasa-jasa perbankan luar negeri. Dengan adanya penemuan-penemuan produk baru di bidang jasa perbankan, berbagai macam-ragam produk jasa perbankan senantiasa mengalami perubahan dengan arah lebih pada penambahan. Dengan demikian, maka macam jasa perbankan yang disebutkan dalam sumber tulisan manapun sifatnya tidak limitatif.

B. Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian

Pembentuk Undang-Undang memberikan definisi di dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi perjanjian adalah “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.


(43)

Menurut Abdulkadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 KUH Perdata sebagai berikut bahwa yang disebut perjanjian adalah “Suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.19

Menurut Subekti yang menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah “Suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan”.20

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Berdasarkan uraian tersebut ada subyek perjanjian yaitu kreditor dan debitor. Kreditor mempunyai hak terhadap prestasi sedangkan debitor wajib memenuhi prestasi. Di dalam suatu perjanjian termuat beberapa unsur yaitu : 21 1) Ada pihak-pihak

Pihak yang ada disini paling sedikit harus ada dua orang, para pihak bertindak sebagai subyek perjanjian tersebut. Subyek bisa terdiri dari manusia atau badan hukum. Dalam hal para pihak terdiri dari manusia maka orang tersebut harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum.

2) Ada persetujuan para pihak

Para pihak sebelum membuat perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian haruslah diberikan keduanya, hal ini bisa disebut dengan asas konsensualitas

19

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 78

20

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, 1987, hlm.1 21


(44)

dalam suatu perjanjian. Konsensus harus ada tanpa disertai paksaan tipuan dan keraguan.

3) Ada tujuan yang akan dicapai

Suatu perjanjian harus mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu yang ingin dicapai, dan dengan perjanjian itulah tujuan tersebut ingin dicapai atau dengan sarana perjanjian tersebut suatu tujuan ingin mereka capai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, yang dalam hal ini mereka selaku subyek dalam perjanjian tersebut.

4) Ada prestasi yang harus dilaksanakan

Para pihak dalam perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu dengan yang lain hal tersebut adalah merupakan hak dan begitu pula sebaliknya. 5) Ada bentuk tertentu

Suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis, dalam hal suatu perjanjian yang dibuat tertulis dan dibuat dalam suatu akte otentik maupun di bawah tangan.

6) Ada syarat-syarat tertentu

Isi dalam suatu perjanjian harus ada syarat tertentu, karena dalam suatu perjanjian menurut ketentuan Pasal 1338 (1) KUHPerdata mengatakan bahwa persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.


(45)

Perjanjian yang dibuat tidak dibatasi oleh siapa pihaknya, apa tujuannya, dan apa yang mereka sepakati asal sesuai dengan pasal 1320 bw yaitu :

Pasal 1320 bw : untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

1. Kesepakatan atau persetujuan Para Pihak ;

Sepakat yang dimaksudkan bahwa subyek yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang akan dibuat. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain, tanpa ada salah satu pihak dirugikan atau bahkan kedua belah pihak saling merugikan.

2. Kecakapan Para Pihak dalam membuat suatu Perjanjian ;

Orang yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum yang berlaku. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata yang dimaksudkan cakap menurut hukum adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah kawin atau pernah menikah.

Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak


(46)

juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan melawan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan sebaliknya seorang yang dianggap berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum.

Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu.

Masalah kewenangan bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang berkembang dapat dibedakan ke dalam:22

a) Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang berkaitan dengan kecakapannya untuk bertindak dalam hukum.

b) Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain, yang dalam hal ini tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Bab XIV Kitab Undang- Undang Hukum Perdata di bawah judul “Pemberian Kuasa”.

c) Kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain.

22


(47)

3. Suatu hal tertentu ;

Suatu hal tertentu maksudnya adalah sudah ditentukan macam atau jenis benda atau barang dalam perjanjian itu. Mengenai barang itu sudah ada atau sudah berada ditangan pihak yang berkepentingan pada waktu perjanjian dibuat tidak diharuskan oleh undang-undang dan juga mengenai jumlah tidak perlu untuk disebutkan.

4. Suatu causa atau sebab yang halal ;

Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Sebab yang tidak halal adalah berlawanan dengan Undang-undang, kesusilaan ketertiban umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

Syarat-syarat dalam suatu perjanjian dibagi dalam dua (2) kelompok, yaitu : 1. Syarat subyektif ;

Syarat subyektif adalah syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu, atau dengan perkataan lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, yang meliputi :

a) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, b) Kecakapan pihak yang membuat perjanjian. 2. Syarat obyektif ;

Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu sendiri, yang meliputi :

a) Suatu hal tertentu.


(48)

Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap. Jadi perjanjian yang telah dibuat akan tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian.

Istilah kontrak dengan perjanjian sering membuat banyak orang bingung. Di dalam BW (Burgerlijk Wetboek) penggunaan istilah overeenkomst dan contract digunakan untuk pengertian yang sama.

Hal ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III titel kedua tentang “Perikatan-perikatan yang lahir dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam bahasa Belanda berbunyi “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”. Banyak para sarjana yang memandang ini dengan berbagai macam pandangan, ada yang mendukung ada juga yang tidak mendukung.

Pengertian yang dikemukakan di dalam BW (Burgerlijk Wetboek) juga didukung oleh pendapat banyak sarjana, antara lain : Hofmann dan J. Satrio,

23

Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan,24 Mariam Darus Badrulzaman,25 Purwahid Patrik26 dan Tirtodiningrat 27

23

J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 19. 24

J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 19. 25

Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, edisi II, Cet. I, Bandung: Alumni, 1996, hlm. 89.

26

Purwahid Patrik, Dasar-dasar hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju, 1994, hlm. 45.

yang menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam pengertian yang sama.


(49)

Berbeda dengan para sarjana tadi, Subekti 28mengangap pengertian kontrak lebih sempit cakupannya daripada perjanjian / perikatan. Hal ini karena kontrak digunakan untuk perjanjian / perikatan yang tertulis. Sarjana lain yang membedakan kontrak dengan perjanjian adalah Peter Mahmud Marzuki.29

27

R.M. Suryodiningrat, Azas-azas Hukum Perikatan, Bandung: Tarsito, 1985, hlm. 72. 28

Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. XVI, Jakarta: Intermasa, 1996, hlm. 1. 29

Peter Mahmud Marzuki, “Batas-batas Kebebasan Berkontrak”, artikel dalam Jurnal

Yuridika, Volume 18 No.3, Mei Tahun 2003, hlm. 195-196.

Beliau membedakan pengertian kontrak dengan perjanjian ke dalam sistem Anglo – American. Sistematika Buku III tentang Verbintenissenrecht (hukum Perikatan) mengatur mengenai overeenkomst yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah perjanjian. Istilah kontrak adalah merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris yaitu Contract. Didalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III BW Indonesia tentang Hukum Perikatan menunjukkan bahwa perjanjian memang berkaitan dengan masalah Harta Kekayaan (Vermogen). Pengertian perjanjian ini mirip dengan contract pada konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis. Di dalam pola pikir Anglo-American, perjanjian yang dalam bahasa Belandanya adalah overeenkomst, dalam Bahasa Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebut agreement.


(50)

Rumusan baik tentang kontrak atau perjanjian di dalam BW terdpat di dalam pasal 1313, yaitu “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.30

a) hubungan hukum, artinya perikatan yang dimaksud disini adalah bentuk hubungan hukum yang menimbulkan akibat hukum;

Menurut Agus Yudha Hernoko, terdapat 4 (empat) unsur perikatan, yaitu :

b) bersifat harta kekayaan, artinya sesuai dengan tempat pengaturan perikatan di Buku III BW yang termasuk di dalam sistematika Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht), maka hubungan yang terjalin antar para pihak tersebut berorientasi pada harta kekayaan;

c) para pihak, artinya dalam hubungan hukum tersebut melibatkan pihak-pihak sebagai subyek hukum;

d) prestasi, artinya hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban-kewajiban (prestasi) kepada para pihaknya (prestasi - kontra prestasi), yang pada kondisi tertentu dapat dipaksakan pemenuhannya, bahkan apabila diperlukan menggunakan alat negara.” 31

1. Syarat Subyektif

Syarat subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian. Dengan kata lain syarat subyektif sahnya suatu perjanjian ada 2, yaitu:

30

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980.

31

AgusYudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008, hlm. 18.


(51)

a) Kesepakatan bebas kedua belah pihak

Kata sepakat merupakan suatu syarat yang logis, karena dalam pejanjian setidak-tidaknya ada dua orang yang saling berhadap-hadapan dan mempunyai kehendak yang saling mengisi. Dengan diperlakukannya kata sepakat untuk mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.

Kesepakatan merupakan syarat yang pertama sahnya perjanjian. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jika diperhatikan dengan seksama ketentuan yang diatur dalam Pasal 1321 hingga Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka akan sulit menemui pengertian, atau definisi dari kesepakatan bebas.

Menurut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata tersebut, secara a contrario, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

“Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, maka akan dibahas terlebih dahulu pengertian kesepakatan, bagaimana


(52)

kesepakatan dapat terwujud, dan kapan suatu kesepakatan dianggap telah terjadi.32

Penyesuaian kehendak antara dua pihak menimbulkan perikatan, karena hukum hanya mengatur perbuatan nyata daripada manusia. Dengan kata lain adanya kesesuaian kehendak saja antara dua orang belum melahirkan suatu perjanjian, karena kehendak itu harus dinyatakan, harus nyata bagi yang lain, dan harus dapat di mengerti pihak lain.

Seseorang dikatakan telah memberikan persetujuan/ sepakatnya, Jika seseorang itu memang menghendaki apa yang disepakati, karena suatu persetujuan pada dasarnya tidak mungkin timbul tanpa kehendak dari para pihak. Dengan kata lain sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain. Kesepakatan bebas di antara para pihak itu pada prinsipnya adalah pertanggung jawaban dari asas konsensualitas.

33

Sepakat itu inti sebenarnya adalah suatu penawaran yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang Kehendak itu harus saling bertemu dan untuk saling bisa ketemu harus dinyatakan.

32

AgusYudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008, hlm. 18.

33


(53)

memuat ketentuan-ketentuan yang di anggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya. Dalam hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah, saat tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah benar untuk perjanjian konsensuil, dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir. Dengan kata lain suatu penawaran dan persetujuan itu bisa datang dari kedua belah pihak secara timbal balik.

Menurut Mariam Darus, pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak. Pernyataan tersebut adalah pernyataan dari pihak yang menawarkan dinamakan penawaran dan pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi. Selanjutnya penting untuk diperhatikan adalah bahwa yang dimaksud sepakat dalam Pasal 1320 adalah sepakat pada saat akan lahirnya perjanjian, bukan pada saat pelaksanaannya. Dalam perjanjian konsensuil, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa segera setelah terjadi kesepakatan, maka lahirlah perjanjian, pada saat yang bersamaan juga menrbitkan perikatan di antara para pihak yang telah bersepakat dan berjanji tersebut.34

Menutup suatu perjanjian adalah suatu tindakan hukum, dan karena kehendaknya ditujukan kepada timbulnya uatu akibat hukum tertentu (Sesuatu yang dikehendaki), tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh satu pihak tidak

34


(54)

diketahui oleh pihak lain. Kehendak seseorang baru dapat diketahui oleh pihak lain, kalau kehendak tersebut dinyatakan. Jadi untuk itu perlu adanya pernyataan kehendak. 35

Cara mengutarakan kehendak bisa bermacam-macam, ada lima cara pernyataan kehendak, yaitu: Pertama, bahasa yang sempurna dan tertulis; Kedua, Bahasa yang sempurna secara lisan; Ketiga, Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan; Keempat, Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; Kelima, Diam atau membisu, tetapi dipahami atau diterima oleh pihak lawan.

Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan, bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum.

36

Pada dasarnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mensyaratkan suatu bentuk pernyataan kehendak tertentu, tetapi memang benar, ada perjanjian-perjanjian tertentu yang mensyaratkan, agar kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk tertentu. Untuk beberapa tindakan hukum tertentu hukum perdata (dalam arti luas) mensyaratkan perwujudan dalam bentuk suatu akta (bentuk tertulis). Akta tersebut dapat berupa akta bawah tangan maupun bentuk suatu akta otentik Suatu akta yang dibuat oleh para pihak dimaksudkan sebagai alat bukti adanya kesepakatan antara para pihak, namun di samping itu, mereka bebas untuk membuktikannya dengan bukti lain. Suatu akta selain berlaku sebagai alat bukti, akta merupakan syarat konstitutif untuk adanya perjanjian sebagaimana dimaksudkan oleh undang. Sesuatu yang diisyaratkan oleh undang-undang adalah penuangan daripada perjanjian itu harus dalam wujud tertentu,

35

J. Satrio, Op. cit, hal. 174 36


(55)

namun hal itu tidak berarti bahwa sebelum dituangkan dalam bentuk yang disyaratkan undang-undang sama sekali tidak ada perjanjian antara para pihak. Bisa saja ada lahir suatu perjanjian, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh para pihak.

Apabila suatu pernyataan diberikan secara benar, dalam arti pernyataan tersebut sesuai dengan kehendak dan penerimaannya dilaksanakan dengan benar pula maka terjadilah perjanjian, namun adakalanya sepakat tidak tercapai dengan kehendak yang murni, dan kehendak itu mungkin sengaja diselewengkan kearah lain atau diberikan dalam suasana yang tidak bebas.

Sehubungan dengan syarat kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut. Cacat dalam kehendak dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok, yaitu:

a) Kelompok pertama, tentang kekhilafan dalam perjanjian; b) Kelompok yang kedua, tentang paksaan dalam perjanjian; c) Kelompok ketiga, tentang penipuan dalam perjanjian.

a) Tentang kekhilafan dalam perjanjian

Masalah kekhilafan diatur dalam Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali jika kehilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian”.


(56)

Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seseorang bermaksud untuk membuat perjanjian, kecuali jika perjanjian itu dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut. Dari rumusan Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat dua hal pokok dan prinsipil, yaitu:

1. Kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian;

2. Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan perjanjian karena kekhilafan, yaitu: hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (Eror in substantia); Orang terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat (Eror in pesona).

Hal pertama adalah prinsip umum yang harus dipegang, diikuti dan ditaati. Hal kedua merupakan pengecualian atau penyimpangan, yang dibatasi alasannya. Alasan pertama yaitu eror in substantia, maksudnya ialah bahwa kekhilafan itu mengenai sifat dari benda yang merupakan alasan sesungguhnya bagi kedua belah pihak untuk mengadakan perjanjian. Sedangkan dalam alasan kedua yaitu eror in persona, kekhilafan itu mengenai orangnya. Dari kedua alasan pengecualian tersebut, maka alasan kedua lebih mudah dimengerti daripada alasan pertama.

Dari rumusan yang dikemukakan dalam alasan kedua tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dalam pengecualian kedua tersebut adalah subyek dalam perikatan, artinya salah satu pihak dalam perikatan diwajibkan untuk melakukan atau berbuat sesuatu. Hal ini adalah konsekuensi logis dari tiga macam perikatan yang dikenal dan diakui oleh Kitab Undang-Undang Hukum


(57)

Perdata. Tiga macam perikatan yang dimaksud antara lain: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

b) Tentang paksaan dalam perjanjian

Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam 5 Pasal, yaitu dari Pasal 1323 hingga Pasal 1327 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1323 membuka paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian, dengan menyatakan bahwa:

“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat”.

Ketentuan Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menunjukkan pada subyek yang melakukan pemaksaan, yang dalam hal ini dapat dilakukan oleh orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, orang yang bukan pihak dalam perjanjian tetapi mempunyai kepentingan terhadp perjanjian tersebut, dan orang yang bukan pihak dalam perjanjian dan tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat tersebut.

Hal yang terakhir ini sangat penting artinya bagi hukum, mengingat bahwa kenyataan menunjukkan banyak terjadinya paksaan yang dilakukan oleh “orang bayaran” atau “orang suruhan”, yang nota bene memang tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat dibawah paksaan atau ancaman tersebut. Selanjutnya ketentuan Pasal 1325 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:


(58)

“Paksaan menjadikan suatu perjanjian batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat perjanjian, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau isteri atau keluarganya dalam garis keatas maupun ke bawah”.

Subyek terhadap siapa paksaan dilakukanpun ternyata tidak hanya meliputi orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, melainkan juga termasuk di dalamnya suami atau isteri dan keluarga mereka dalam garis keturunan maupun ke bawah. Akibat paksaan atau ancaman yang dilakukan, dapat dijadikan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang telah dibuat. Hal ini diatur dalam Pasal 1324 dan 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:

Pasal 1324

“Paksaan telah terjadi, bila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata”. Pasal 1326

“Ketakutan saja karena hormat kepada ayah, ibu atau sanak keluarga lain dalam garis ketasa, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk embatalkan perjanjian”.

Dari Pasal 1324 dan 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat diketahui bahwa paksaan yang dimaksud dapat terwujud dalam dua bentuk kegiatan atau perbuatan yaitu berupa Pertama Paksaan Fisik dalam pengertian


(59)

kekerasan. Kedua Paksaan Psikis, yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis atau kejiwaan.

Pasal terakhir yang mengatur mengenai paksaan sebagai alasan untuk membatalkan perjanjian yaitu Pasal 1327 yang menyatakan:

“Pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi, bila paksaan berhenti, perjanjian itu dikuatkan, baik secara dinyatakan dengan tegas maupun secara diam-diam, atau jika seseorang melampaukan waktu yang ditentukan undang-undang untuk dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan sebelumnya”.

c) Tentang penipuan dalam perjanjian

Penipuan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari dua ayat, berbunyi:

“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, melainkan harus dibuktkan”.

Penipuan melibatkan unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam perjanjian, untuk mengelabui pihak lawannya, sehingga pihak yang terakhir ini memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat antara mereka. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa masalah penipuan yang berkaitan dengan kesengajaan ini harus dibuktikan dan tidak boleh hanya dipersangkakan saja. Dalam hal ini, maka pihak terhadap siapa penipuan


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Proses perjanjian kredit oleh PT. BPR Duta Paramarta kepada nasabah sudah sesuai dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah sudah sesuai bagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang tersebut. Hal ini juga telah sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/26/DKBU tanggal 19 September 2012 Perihal Pedoman Kebijakan dan Prosedur perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat dimana telah dijabarkan di dalam penulisan ini pada Bab IV Bagian D. Proses Perjanjian Kredit. Mulai dari pengajuan, syarat-syarat yang harus dipenuhi, hak dan kewajiban nasabah, proses administrasi sampai pada proses pencairan dana kepada nasabah. Sehingga PT. BPR Duta Paramarta sudah menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan undang-undang yang ada jadi kegiatan yang dilakukan secara resmi sesuai dengan undang-undang tanpa ada merugikan salah satu pihak pun.

2. Proses pemberian kredit oleh PT. BPR Duta Paramarta kepada nasabah sudah sesuai dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang


(2)

agunan yang harus diserahkan di dalam proses pemberian kredit, dokumentasi sampai pencairan kepada nasabah telah diberikan secara baik dan maksimal oleh PT. BP Duta Paramarta. Penulis juga telah mewawancarai dan melihat langsung oleh pemberian kredit yang ada di PT. BPR Duta Paramarta apakah benar telah sesuai dengan Undang-Undang dan hasilnya sesuai dengan Undang-Undang-Undang-Undang. Hal ini dibuat dengan tujuan agar nasabah PT. BPR Duta Paramarta dapat menikmati pelayanan yang baik dan benar tanpa sedikit pun merugikan nasabah demi kelangsungan kegiatan PT. BPR Duta Paramarta.

3. Proses penyelesaian jika terjadi kredit macet oleh PT. BPR Duta Paramarta sudah sesuai dengan UU Perbankan adalah sesuai dengan yang diatur di dalam Undang-Undang Perbankan PT. BPR Duta Paramarta menerapkan kebijakan di dalam peraturan mereka dalam hal penyelesaian kredit macet. Penulis telah melakukan wawancara secara langsung bahwa PT. BPR Duta Paramarta di dalam penyelesaian kredit macet yang terjadi pada nasabah dapat diselesaikan secara kekeluargaan tanpa harus menempuh jalur hukum dan telah selesai. Hal ini menunjukkan bahwa nasabah yang ada di dalam PT. BPR Duta Pamarta adalah nasabah yang baik, yang memiliki etikad yang baik dalam menjalankan hak dan kewajibannya.


(3)

B. Saran

1. Proses pemberian kredit di Indonesia tergolong rumit dan lambat dalam membantu masyarakat. Padahal fungsi BPR diharapkan dapat membantu masyarakat dalam pemberian kredit. Nasabah sering mengeluhkan lambatnya pross pemberian kredit oleh pihak bank. Karena proses administrasi yang berbelit-belit membuat kadang nasabah harus menunggu dengan ketidakpastian sementara mereka membutuhkan dana secepatnya demi kelangsungan usaha mereka, dimana seharusnya diharapkan untung menjadi rugi. Pemerintah harus mengambil peranan di dalam proses pemberian kredit ini. Pemerintah harus mempercepat kerja dan system dalam pemberian kredit. Dengan penilaian yang tepat diharapkan pemberian kredit dapat diberikan kepada nasabah sehingga perekonomian bangsa ini menjadi lebih baik.

2. Proses pemberian kredit yang ada di dalam undang-undang telah baik tetapi harus disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Kredit harus dapat mudah di dapatkan masyarakat tetapi pemerintah harus memperhatikan fungsinya jika pinjaman kredit tersebut dicairkan. Perkembangan perekonomian yang ada di Indonesia terjadi secara dinamis dan cepat. Hal ini juga yang harus diperhatikan pemerintah dalam mengatur kebijakan di dalam pemberian kredit. Dengan pengambilan


(4)

3. Kredit macet adalah masalah yang sering dihadapin setiap lembaga perbankan yang ada di Indonesia. Hal ini terjadi karena kurang tepatnya penilaian lembaga tersebut dalam memberikan kredit. Padahal banyak nasabah yang benar-benar membutuhkan pinjaman kredit tetapi sering salah pemberian kredit. Jika terjadi kredit macet kadang harus diambil tindakan ke jalur hukum PT. BPR Duta Paramarta adalah salah satu contoh BPR yang benar-benar menilai apakah seorang nasabah yang mengajukan permohonan kredit benar-benar membutuhkan atau tidak. Penilaian secara benar dan mendetail harus dilakukan agar jangan terjadi kredit macet yang dapat merugikan pihak bank dan membuat perekonomian bangsa ini menjadi terpuruk. Karena banyaknya terjadi kredit macet membuat suatu perekonomian menjadi lesu dan tidak berkembang.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Badrulzaman Mariam Darus, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Edisi II, Cet. I Bandung : Alumni, 1996.

_______________________, Sjahdeini Sutan Remy, dkk, Hukum Perikatan, Bandung : Komplikasi Citra Aditya Bakti, 2001.

_______________________, Perjanjian Kredit Bank, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991.

Fuady Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001.

Hernoko Agus Yudha, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta : LaksBang Mediatama, 2008.

HS H. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafido Persada, 2004.

Muhammad Abdulkadir, Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992. Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung : PT. Citra

Aditya Bakti, 2000.

Muljadi Kartini dan Widjaja Gunawan, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.

Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2009.

Marzuki Peter Mahmud, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Artikel dalam Jurnal Yuridika, Volume 18 No. 3, Bandung : PT. Alumni, 2007.

Nasroen Yasabari dan Dewi Nina Kurnia, Penjaminan Kredit Mengantar UKMK Mengakses Pembiayaan, Bandung : PT. Alumni, 2007.


(6)

Rahardjo Handri, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009.

Satrio J., Hukum Perjanjian, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1992.

Satrio J., Hukum Jaminan Hak-hak Kebendaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

Soepraptomo Heru, Hak Tanggungan Sebagai Pengaman Kredit Perbankan, Bandung: PT. Aditya Bakti, 1996.

Suryodiningrat R.M., Azas-azas Hukum Perikatan, Bandung: Tarsito, 1985. Soekanto Soerjono, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1998. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1987. Subekti, Hukum Perjanjian, Get. XVI, Jakarta: Intermasa, 1996.

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980.

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung: Penerbit Alfabeta, 2005.

Tje'man Mgs.Edy Putra, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Yogyakarta: Liberty, 1989.

Widjaja Gunawan dan Yani Ahmad, Jaminan Fidusia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

B. Peraturan Perundang - Undangan Kitab Undang - Undang Hukum Perdata. Undang - Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang - Undang

No. 7 Tahun 1992

Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/26/DKBU tanggal 19 September 2012 Perihal : Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan Bagi Bank Perkreditan Rakyat.

B. Website www.wikipedia.com