Perbandingan Hasil Uji Tuberkulin pada Anak Kontak TB Paru Dewasa dengan Kecacingan dan Tidak Kecacingan

(1)

TESIS

PERBANDINGAN HASIL UJI TUBERKULIN PADA ANAK KONTAK TB PARU DEWASA DENGAN KECACINGAN DAN TIDAK KECACINGAN

DERMAWAN 097103026/IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

PERBANDINGAN HASIL UJI TUBERKULIN PADA ANAK KONTAK TB PARU DEWASA DENGAN KECACINGAN DAN TIDAK KECACINGAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik (Anak) Dalam Program Magister Kedokteran Klinik

Konsentrasi Kesehatan Anak

Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

DERMAWAN 097103026/IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

Judul Penelitian : Perbandingan Hasil Uji Tuberkulin pada Anak Kontak TB Paru Dewasa denganKecacingan dan Tidak Kecacingan

Nama Mahasiswa : Dermawan Nomor Induk Mahasiswa : 097103026

Program Magister : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Ilmu Kesehatan Anak

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ridwan M. Daulay, SpA(K) Ketua

Dr. Rita Evalina, M.Ked(Ped), SpA(K) Anggota

Ketua Program Magister Dekan

Dr. Murniati Manik, MSc, SpKK, SpGK Prof.dr. Gontar A.Siregar,Sp.PD-KGEHNIP : 19530719 198003 2 001 NIP : 19540220 198011 1 001


(4)

PERNYATAAN

PERBANDINGAN HASIL UJI TUBERKULIN PADA ANAK KONTAK TB PARU DEWASA DENGAN KECACINGAN DAN TIDAK KECACINGAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dijadikan acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, 13Oktober 2014


(5)

Telah diuji pada

Tanggal: 13 Oktober 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua :Dr. Ridwan M. Daulay, SpA(K) ……… Anggota:Dr.Rita Evalina, M.Ked(Ped), SpA(K) ………

Dr. H. Zainuddin Amir, SpP(K) ……… Dr. Supriatmo, M.Ked(Ped), SpA(K) ………


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Pembimbing utama Dr. Ridwan M. Daulay, SpA(K) danDr. Hj. Rita Evalina,SpA(K), yang telah memberikan bimbingan,bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

2. Prof. Dr. H. Munar Lubis, SpA(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik


(7)

Medan yang telah memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

3. Dr. Supriatmo, SpA(K), Dr. Johannes H. Saing, SpA(K), Dr. Wisman Dalimunthe, SpA(K), Dr. Rini Savitri Daulay, MKed(ped), SpA yang sudah membimbing saya dalam penyelesaian tesis ini.

4. Dr. H. Zainuddin Amir, SpP(K), yang telah memberikan izin kepada saya untuk melakukan penelitian ditempat praktek beliau sekaligus membimbing dan membantu saya dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalampelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

6. Kepala Badan Kesehatan Paru Masyarakat beserta seluruh pegawai yang telah banyak membantu dalam penelitian saya.

7. Teman-teman yang telah membantu saya dalam keseluruhan penelitian maupun penyelesaian tesis ini,Wardah, Willy Santoso, Syarifah M. Soraya, Flora Mindo Panjaitan, Edy Irawan, Indra serta teman-teman seangkatan lainnya. Terimakasih untuk kebersamaan kita dalam menjalani pendidikan selama ini.

8. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta


(8)

Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orangtua sayaH. M. Basyir Yacob dan Hj. Gini Damayanti serta mertua saya Sahmin Effendi dan Suwarni Suzuki atas do’a serta dukungan moril kepada saya. Terima kasih yang sangat besar juga saya sampaikan kepada istriku tercinta Haruko Ria, SE, yang dengan segala pengertian dan bantuannya baik moril maupun materil membuat saya mampu menyelesaikan tesis ini. Begitu juga buat anak-anakku tersayang, Akemi Shazia Dermawan dan Yuriko Aurora Dermawan yang selalu menjadi sumber kekuatan dan semangat bagi saya.

Akhir kata ,penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Medan, 13 Oktober2014


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembaran Persetujuan Pembimbing i

Lembar Pernyataan ii

Lembar Ucapan terima kasih iv

Daftar Isi vii

Daftar Tabel xi

Daftar Gambar xii

Daftar Singkatan xiii

Daftar Lambang xiv

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 3

1.3. Hipotesis 3

1.4. Tujuan Penelitian 3

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Dibidang akademik/ilmiah 3

1.5.2. Dibidang pelayanan masyarakat 3

1.5.3. Dibidang pengembangan penelitian 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis 5

2.1.1 Definisi 5

2.1.2 Epidemiologi 5

2.1.3 Faktor Risiko 6

2.1.4 Patogenesis 6

2.1.5 Diagnosis 8

2.1.5.1 Uji Tuberkulin 9

2.2. Kecacingan (Helminth) 12

2.2.1 Epidemiologi 12

2.2.2 Respon imunitas 13

2.2.3 Gejala klinis 14

2.2.4 Diagnosis 15

2.3. Hubungan Antara Uji Tuberkulin dengan Kecacingan 15


(10)

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian 19

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 19

3.3. Populasi dan Sampel 19

3.4. Perkiraan besar sampel 20

3.5. Kriteria Inklusi dan Eklusi

3.5.1. Kriteria Inklusi 21

3.5.2. Kriteria Eklusi 21

3.6. Persetujuan / Informed Consent 21

3.7. Etika Penelitian 21

3.8. Cara kerja dan alur penelitian

3.8.1. Metode pengambilan sampel 22

3.8.2. Cara Kerja 22

3.8.3. Alur Penelitian 24

3.9. Identifikasi Variabel 25

3.10. Defenisi Operasional 25

3.11. Rencana Pengolahan dan Analisa Data 26

BAB 4. HASIL PENELITIAN 27

BAB 5. PEMBAHASAN 31

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 35

6.1. Kesimpulan 6.2.Saran

RINGKASAN 36

DAFTAR PUSTAKA 41

LAMPIRAN

1. Personil Penelitian 45

2. Biaya Penelitian 45

3. Jadwal Penelitian 46

4. Lembar Penjelasan Kepada Orang Tua 47

5. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan 49


(11)

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Sistem skoring TB anak Tabel 2.2. Jenis-jenis tuberkulin Tabel 4.1. Karakteristik dasarsampel


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Bagan patogenesis tuberkulosis.

Gambar 2.2. Imunomodulator pada penderita kecacingan Gambar 2.3. Kerangka konseptual penelitian

Gambar 3.1. Alur penelitian Gambar 4.1. Profil penelitian


(14)

DAFTAR SINGKATAN

BTA : Basil Tahan Asam

BCG : Bacille Calmette-Guerin

DepKes : Departemen Kesehatan

DTH : Delayed Type Hypersensitivity

DOTS : Direct Observed Treatment Shorecourse Chemoterapy

HIV : Human Immunodeficiency Virus

IL : Interleukin

IDAI : Ikatan Dokter Anak Indonesia IFN : Interferon

IgE : Imunoglobulin E

PPD : Protein Purifed Derivied

STH : Soil Transmitted Helminth

TB : Tuberkulosis

Th : T-helper

TNF : Tumor necrosis factor

T Reg : T Regulator

WHO :World Health Organization

BB : berat badan


(15)

cm : sentimeter TU : tuberculin unit

GM-CSF : granulocyte-macrophage colony-stimulating factor

BP4 : Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru


(16)

DAFTAR LAMBANG

< : lebih kecil dari

≥ : lebih besar dari sama dengan zα : Deviat baku normal untuk α zβ : Deviat baku normal untuk β

n : Jumlah subjek / sampel α : Kesalahan tipe I β : Kesalahan tipe II


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hingga kini tuberkulsosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Pada tahun 1995 diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Dan diperkirakan antara tahun 2000 hingga 2020,1 milyar orang akan terinfeksi TB, 200 juta berkembang menjadi sakit TB dengan 35 juta kematian.1 Di Indonesia, pada tahun 2011 angka insidens TB

sebesar 189 orang per 100 000 penduduk pertahun. Proporsi TB anak secara nasional pada tahun 2011, di antara seluruh kasus sebesar 9%. Pada tahun 2011 di Sumatera Utara angka insidens TB sebesar 1034 orang per 100 000 penduduk. Proporsi TB anak antara tahun 2010 hingga 2011 di Sumatera Utara sebesar 2% dari keseluruhan kasus TB.2

Kecacingan juga merupakan masalah kesehatandi dunia. Saat ini lebih dari 2 milyar orang terinfeksi cacing, setengahnya terjadi pada anak usia sekolah. Infeksi soil-transmitted helminth (STH)ini tersebar secara luas di negara berkembang, baik itu di daerah tropis maupun subtropis.3,4 Berdasarkan

dataWorld Health Organization (WHO) pada tahun 2005, jumlah anak usia sekolah di Indonesia yang memiliki risiko terinfeksi adalah sebanyak 41 568 000 anak.5Prevalensi anak Indonesia yang terinfeksi cacing pada tahun


(18)

Sumatera Utara tahun 2003 hingga 2006 memiliki tingkat prevalensi kecacingan antara 24% hingga 39%. 7

Diagnosis, pengobatan dan pencegahan Tuberkulosis anak masih merupakan tantangan di bidang kesehatan. Tuberkulosis anak umumnya merupakan paucibaciler(jumlah kuman sedikit), dan ini sukar terdeteksi walaupun dengan pemeriksaan kultur. Oleh karena itu, hingga saat ini uji tuberkulin masih merupakan perangkat diagnosis TB anak.8

Uji tuberkulin merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Timbulnya respons positif menggambarkan seseorang terinfeksi kuman M. tuberculosis. Uji tuberkulin akan mengaktifkan sel T spesifik yaitu sel T-helper 1 (Th1), sel tersebut akan memproduksi berbagai sitokin inflamasi dan yang dominan adalah interleukin (IL) -12, IL-17A, interferon gamma (IFN-�) dan Tumor necrosis factor-α (TNF-α).Kemudian sitokin tersebut akan mengaktivasi sel makrofag, monosit, dan limfosit ditempat suntikan sehingga menimbulkan edema dan bengkak.9,10

Pada individu kecacingan, peran sel T spesifik yang dominan adalah sel

T-helper 2 (Th2) yang ditandai adanya peningkatan sel eosinofil, titer IgE yang tinggi dan peningkatan sekresi IL-4, IL-5, IL-13 dan menekan respons sel Th1. Kecacingan juga meningkatkan pembentukan sel T supresor yang dikenal dengan sel T Regulator (Tregs). Sel Tregs memproduksi sitokin-sitokin inhibitor

(IL-10, TGF-β). Sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel Tregs dan Th2 akan menekan respons sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1. Sehingga reaksi inflamasi berupa eritema dan indurasi pada uji tuberkulin akan berpengaruh pada individu kecacingan.10,11


(19)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu: Apakah ada perbedaan hasil uji tuberkulin antara anak kontak TB paru dewasa yang kecacingan dengan tidak kecacingan.

1.3 Hipotesis

Terdapat perbedaan pada hasil uji tuberkulin cara Mantoux pada anak kontak TB paru dewasa yang kecacingan dibandingkan dengan tidak kecacingan.

1.4 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan antara hasil uji tuberkulin pada anak kontak TB paru dewasa dengan kecacingan dibandingkan dengan tidak kecacingan.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Di bidang akademik/ilmiah

Meningkatkan pengetahuan mengenai pengaruh kecacingan terhadap indurasi tuberkulin untuk diagnosis infeksi M. tuberculosis pada anak.

2. Di bidang pelayanan kesehatan masyarakat

Menghindarkan terjadinya infeksi M. tuberculosis pada anak, salah satunya dengan cara menghindari anak dari kontak dengan penderitan TB paru dewasa


(20)

3. Di bidang pengembangan penelitian

Memberikan masukan mengenai hubungan antara kecacingan dengan penegakan diagnosis TB pada anak dengan melihat besarnya indurasi tuberkulin yang terbentuk.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Sumber penularan pada anak adalah penderita TB dewasa yang dibuktikan dengan pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) pada pemeriksaan sputumnya. Dimana anak-anak yang kontak erat dengan TB dewasa BTA positif akan memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi M. tuberculosis. 12,13

2.1.2 Epidemiologi

Pada tahun 2005 World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 12 juta kasus baru TB anak.14 Di Indonesia, pada tahun 2011 dengan angka

insidens kasus TB sebesar 189 orang per 100 000 penduduk pertahun. Proporsi kasus TB anak secara nasional pada tahun 2011 di antara seluruh kasus sebesar 9%. Pada tahun 2011 di Sumatera Utara angka insidens penderita TB sebesar 1034 orang per 100 000 penduduk. Sedangkan proporsi TB anak antara tahun 2010 hingga 2011 di Sumatera Utara sebesar 2% dari keseluruhan kasus infeksi TB.2


(22)

2.1.3 Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya infeksi TB pada anak adalah tinggal serumah (kontak erat) dengan penderita TB basil tahan asam (BTA) positif, tinggal di daerah endemis, tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), lingkungan dengan kebersihan dan sanitasi yang tidak baik, serta faktor kemiskinan.13 Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah

pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Tidak semua anak yang telah terinfeksi akan mengalami sakit TB. Ada beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi menjadi sakit TB, diantaranya adalah anak usia kurang dari 5 tahun risikonya lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur), infeksi baru yang ditandai adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais (infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan yang menyebabkan imunosupresi), status sosioekonomi orang tua rendah, kepadatan hunian, pendidikan orang tua yang rendah, virulensi dan jumlah kuman yang menginfeksi.15

2.1.4 Patogenesis

Perjalanan alamiah terjadinya infeksi TB dimulai dari masuknya kuman M. tuberculosis yang terdapat dalam percik renik, karena ukurannya sangat kecil (<5 μm) maka bakteri tersebut dapat mencapai alveolus. Selanjutnya terjadi proses fagositosis oleh makrofag, dimana sebagian bakteri akan mati sedangkan


(23)

sebagian lagi akan terus berkembang biak dalam makrofag dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Setelah itu kuman M. tuberculosis membentuk lesi di tempat tersebut (fokus primer Ghon). Dari fokus primer Ghon, Mycobacterium tuberculosis menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi pada saluran limfe (limfangitis), dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer. Fase ini dinamakan fase inkubasi dan berlangsung dalam waktu 2 hingga 12 minggu.14,15

Selanjutnya dalam waktu 1 hingga 3 bulan pada fase inkubasi, kuman TB dapat menyebar keseluruh tubuh melalui darah. Dalam waktu 3 hingga 7 bulan dapat terjadi efusi pleura. Dalam waktu 1 hingga 3 tahun dapat terjadi TB tulang.16


(24)

2.1.5 Diagnosis

Gejala TB pada anak seringkali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman M. tuberculosis pada pemeriksaan mikrobiologis.12 Pada

anak, sangat sulit untuk mendapatkan spesimen diagnostik yang representatif dan berkualitas baik, sekalipun spesimen dapat diperoleh, kuman M. tuberculosis

jarang ditemukan pada sediaan langsung maupun kultur. Oleh karena itu, uji tuberkulin memegang peranan penting dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, dimana hasil uji tuberkulin positif menandakan bahwa seseorang telah terinfeksi oleh M. tuberculosis.17,18

Kesulitan dalam menegakkan diagnosis TB pada anak menyebabkan banyak usaha untuk membuat pedoman diagnosis, yaitu dengan menggunakan sistem skoring dan alur diagnosis. Pada daerah dengan sarana yang terbatas dapat menggunakan sistem skoring untuk mencegah terjadinya over diagnosis

TB anak.13,14 Sistem skoring yang telah ada diantaranya dibuat oleh Ikatan

Dokter Anak Indonesia (IDAI) bekerjasama dengan Departemen Kesehatan (Depkes) RI, dan sistem skoring ini masih sering digunakan.14,15

2.1.5.1 Uji Tuberkulin

Uji tuberkulin digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis.18 Uji tuberkulin mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama

pada anak, dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%. Saat ini standart tuberkulin yang tersedia di Indonesia adalah dengan kekuatan intermediate


(25)

Serum Institute Denmark, dan PPD S 5TU dari Biofarma. Dosis standart 5 TU PPD-S sama dengan dosis 1 / 2 TU PPD RT 23. 12,15

Tabel 2.1 Jenis-jenis tuberkulin.12

Strenght PPD S (Biofarma) PPD RT 23 (Denmark) First 1 TU 1TU

Intermediate (dosis standar) 5-10 TU 2-5 TU Second 250 TU 100 TU

Reaksi tuberkulin yang dilakukan secara intradermal akan menghasilkan hipersensitivitas tipe IV atau delayed-type hypersensitivity (DTH). Masuknya protein TB saat injeksi akan menyebabkan sel Th1 tersensitisasi dan menggerakkan limfosit ke tempat suntikan. Limfosit akan merangsang terbentuknya indurasi dan vasodilatasi lokal, edema, deposit fibrin dan penarikan sel inflamasi ke tempat suntikan. Protein tuberkulin yang disuntikkan di kulit, kemudian diproses dan dipresentasikan ke sel dendritik/ Langerhans ke sel T melalui molekul MHC-II. Kemudian akan mengaktifkan sel T spesifik yaitu sel T-helper 1 (Th1) yang kemudian sel tersebut akan memproduksi berbagai sitokin inflamasi diantaranya yang dominan adalah IL -12, IL-17A, interferon gamma

(IFN-�) dan Tumor necrosis factor-α (TNF-α).Kemudian sitokin tersebut akan mengaktivasi sel makrofag, monosit, dan limfosit ditempat suntikan sehingga menimbulkan edema dan bengkak.9,10,19

Saat ini uji tuberkulin dengan cara Mantoux telah secara luas digunakan diseluruh dunia, yaitu dengan cara menyuntikkan 0.1 ml PPD RT 23 2TU atau


(26)

PPD S 5TU, secara intrakutan atau intradermal dibagian volar sentral lengan bawah dengan sudut penyuntikan 30derajat. Pembacaan hasil uji tuberkulin dilakukan 48 sampai 72 jam setelah penyuntikan dengan cara meraba dan mengukur secara transversal diameter indurasi yang timbul, bukan mengukur hiperemis / eritemanya.20 Secara umum hasil uji tuberkulin dinyatakan positif bila

diameter indurasi ≥10 mm tanpa menghiraukan penyebabnya. 18 Pasien yang memiliki riwayat kontak erat dengan penderita TB BTA positif lebih besar kemungkinannya untuk menjadikan hasil uji tuberkulin cara Mantoux positif bila dibandingkan dengan yang tidak ada riwayat kontak.21

Apabila diameter indurasi 0 sampai 4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5 sampai 9 mm dinyatakan positif meragukan, karena dapat disebabkan oleh infeksi mikobakteri atipik dan Bacille Calmette-Guérin (BCG), atau memang karena infeksi TB.16 Untuk hasil yang meragukan ini perlu diulang.

Untuk menghindari efek booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2 minggu kemudian.14

Diameter indurasi ≥10 mm dinyatakan positif tanpa melihat st atus BCG pasien. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10 sampai 15 mm masih mungkin disebabkan oleh BCGnya selain oleh infeksi TB alamiah. Sedangkan bila ukuran indurasi ≥15 mm hasil positif ini lebih mungkin karena infeksi TB alamiah dibandingkan karena BCGnya.16 Pengaruh BCG

terhadap reaksi positif tuberkulin paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan. Jika membaca tuberkulin pada anak-anak di atas usia 5 tahun faktor BCG dapat diabaikan.14,19


(27)

Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromais), maka cut off-pointhasil positif yang digunakan adalah ≥ 5 mm. Keadaan imunokompromais ini dapat dijumpai pada pasien dengan gizi buruk, infeksi HIV, keganasan, morbili, pertussis, varisela atau pasien-pasien yang mendapat imunosupresan jangka panjang (≥ 2 minggu).14

2.2 Kecacingan(Helminths)

Saat ini lebih dari 2 milyar orang terinfeksi cacing di seluruh dunia, dan diantaranya sebanyak 300 juta menderita penyakit yang berat, dimana setengahnya merupakan anak usia sekolah. Infeksi soil-transmitted helminth

(STH)ini tersebar secara luas di negara berkembang, baik itu di daerah tropis maupun subtropis.3,4 Di Indonesia, beberapa spesies cacing yang mempunyai

prevalensi tinggi ialah Ascaris lumbricoides (A.lumbricoides), Trichuris trichiura

dan Necator americanus.22

2.2.1 Epidemiologi

Berdasarkan data dari WHO pada tahun 2005, jumlah anak usia sekolah di Indonesia yaitu usia 5 sampai 14 tahun adalah sebanyak 41 568 000 anak, dengan jumlah yang sama yang dianggap mempunyai risiko terhadap infeksi STH.5 Data dari berbagai survei di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan

bahwa STH merupakan masalah di semua daerah di Indonesia dengan prevalensi 15% sampai 100%.23


(28)

Di Indonesia prevalensi anak terinfeksi cacing pada tahun 2008 sekitar 24.1%, dimana distribusi prevalensi infeksi cacing disebabkan oleh Ascaris lumbricoides (14.5%), Trichuris trichiura (13.9%), Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus (3.6%).6 Berdasarkan Survei Seksi P2ML Sub Dinas P2P &

PL, Dinas Kesehatan Tingkat I Sumatera Utara pada anak Sekolah Dasar di tiga belas Kabupaten/Kota tahun 2003 sampai 2006 diperoleh hasil yaitu prevalensi

Ascaris lumbricoides 39%, Trichuris trichiura 24%, Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus 5%.7

2.2.2 Respons Imunitas

Kecacingan merupakan induksi kuat Th2 dengan memproduksi sitokin-sitokin seperti IL-4, IL-5, IL-9, dan IL-13 dan peningkatan kadar antibodi IgE yang beredar, eosinofilia dan sel mast. Dominasi Th2 pada infeksi cacing dipertahankan oleh IL-10 dan TGF-β dan menekan sel Th1 dan Th17.24

Sel T Regulator merupakan sub-populasi dari sel T yang mendukung sistem imun untuk mencegah kerusakan jaringan dari respon pro-inflamasi, toleransi antigen diri, dan mencegah penyakit autoimun. Sel T regulator memproduksi sitokin-sitokin inhibitor (IL-10, TGF-β) yang akan menekan reaksi inflamasi.25

2.2.3 Gejala Klinis

Larva A. lumbricoidesdapat menyebabkan perdarahan kecil pada dinding alveolus disertai batuk, demam, pernafasan cepat dan dangkal, ronki atau mengi tanpa krepitasi yang berlangsung 1 sampai 2 minggu, eosinofilia transien,


(29)

infiltrat pada gambaran radiologi (sindroma Loeffler) sehingga diduga sebagai pneumonia viral atau tuberkulosis.Gangguan karena cacing dewasa seperti rasa tidak enak di perut, kolik akut, anoreksia dan mencret. Komplikasi dapat berupa penyumbatan saluran napas, terjadi ileus akibat sumbatan di usus ataupun apendisitis akibat cacing masuk ke lumen apendiks.3,26

Trichuris trichiura memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan. Terdapat respon imunitas humoral yaitu adanya reaksi anafilaksis lokal yang dimediasi oleh IgE. Gejala pada infeksi ringan dan sedang ialah nafsu makan anak menurun, nyeri epigastrik, muntah dan konstipasi. Pada infeksi berat dijumpai diare diselingi dengan sindrom disentri yaitu mencret yang mengandung darah dan lendir, nyeri perut dan tenesmus. Gejala lain seperti anemia, penurunan berat badan dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum.27

Larva N. americanus dan A. duodenale, sewaktu menembus kulit, dapat menyebabkan bakteri piogenik terikut masuk, sehingga menimbulkan rasa gatal pada kulit (ground itch) dankadang-kadang dapat terjadi creeping eruption

(cutaneous larva migrans). Cacing dewasa dapat menimbulkan gangguan saluran cerna yaitu anoreksia, mual, muntah, diare, nyeri di sekitar duodenum, jejunum dan ileum. Pada pemeriksaan laboratorium, umumnya dijumpai anemia.28


(30)

2.2.4 Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis adalah dengan pemeriksaan feses secara langsung. Adanya telur dalam feses dapat memastikan diagnosis infeksi STH. Selain itu diagnosis dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung maupun melalui feses.29 Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan

metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif yaitu dengan teknik langsung, dan ini merupakan metode pemeriksaan telur cacing yang paling sederhana dan paling mudah dilakukan. Metode kuantitatif yaitu dengan metode Natif, metode Apung, metode Harada-Mori dan metode Kato-Katz.30

2.3 HUBUNGAN ANTARA UJI TUBERKULIN DENGAN KECACINGAN

Anak yang kecacingan memiliki kadar eosinophil dan IgE yang tinggi, dimana IgE tersebut disekresi oleh limfosit B.Limfosit T juga memiliki peran dalam menstimulasi limfosit B melalui sebagian sitokin yang dihasilkan oleh limfosit T yaitu IL-4 dan IL-13. Sitokin adalah molekul protein kecil yang mempengaruhi fungsi sel di tingkat lokal. Interleukin-4 dan IL-13 diproduksi oleh subset sel CD4+ T, juga dikenal sebagai sel Th2. Sebaliknya, sitokin utama yang menghambat stimulasi IgE adalah interferon-γ yang disekresi oleh sel Th1.31


(31)

Gambar 2.2 Imunomodulator pada penderita kecacingan.24

Individu yang kecacingan akan mengaktivasi sel Th2 dan sel T regulator.Dimana sel Th2 akan menstimulasi sitokin IL-4 dan IL-13,yang kemudian menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi antibodi IgE. Sel T regulator adalah sel T supresor yang menghambat reaksi inflamasi dan mensupresi sitokin-sitokin yang dibentuk oleh sel Th1 seperti IFN-γ dan IL-2 (gambar 2.2).32

Uji tuberkulin merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin menggambarkan terpaparnya seseorang terhadap kuman M. tuberculosis dan disini yang berperan adalah sel Th1. Pada sebagian besar anak, uji tuberkulin akan bereaksi positip dalam 4 hingga 8 minggu dengan rentang waktu 2 sampai 12 minggu setelah terinfeksi M. tuberculosis dan dapat bertahan hingga seumur hidup.14,33

Mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe 4 tergantung pada IFN-� yang dihasilkan oleh sel Th1 dalam aktivasi makrofag. Pada anak dengan kecacingan,


(32)

sel Th2 lebih dominan dan akan memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 menstimulasi proliferasi dan diferensiasi limfosit B dan menekan aktifitas sel Th1 yang menyebabkan penurunan produksi IFN- �. Stimulasi sel Tregs akan memproduksi banyak sitokin anti inflamasi, sehingga akan menghambat reaksi inflamasi dan alergi.34,35 Pada berbagai

penelitian menemukan bahwa individu yang terinfeksi cacing menunjukan respon yang rendah terhadap reaksi uji tuberkulin dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi dan respon Th1 lebih rendah pada penderita kecacingan dengan tuberkulin positif dibandingkan tidak kecacingan.36,37


(33)

2.4. Kerangka Konseptual

Gambar 2.3 Kerangka Konseptual Penelitian

Anak kontak dengan penderita TB

paru dewasa

Tidak Kecacingan

Uji Tuberkulin Kecacingan

: Hal yang diamati Sel Th2

Reaksi hipersensitifitas tipe 4  Sel Th1

Diameter Indurasi TB Paru dewasa

Sel T Regulator

IL-4, IL-5, IL-13

Sel B, Makrofag, Eosinofil


(34)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah studi cross sectional untuk membandingkan hasil uji tuberkulin pada anak yang kontak TB paru dewasa dengan kecacingan dibandingkan dengan tidak kecacingan.

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Directly Observed Treatment Short (DOTS) Paru Dewasa RSUP H. Adam Malik, Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Paru jalan Arteri Ringroad Medan dan praktek swasta jalan Jemadi Pulo Brayan Darat Medan. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret 2014.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi target adalah anak-anak usia 3 bulan sampai 18 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TB dewasa.Populasi terjangkau adalah anak dengan kontak TB paru dewasa yang kecacingan dan tidak kecacingan usia 3 bulan sampai 18 tahun yang datang berobat ke poliklinik DOTS Paru Deawa RSUP H. Adam Malik, praktek swasta dokter paru dewasa dan BP4 Paru di Medan. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.


(35)

3.4 Perkiraan besar sampel

Perkiraan besar sampel ditentukan dengan rumus uji hipotesis terhadap 2 proporsi independen dengan rumus :

Z(1- α / 2)√ 2P(1-P) + Z(1-β) √ P1(1-P1) + P2(1-P2) n1= n2 =

(P1 – P2)2

Keterangan :

α = kesalahan tipe I = 0,05 → Tingkat kepercayaan 95% Zα = nilai baku normal = 1,96

β = kesalahan tipe II = 0,2 → Power (kekuatan penelitian) 80% Zβ = 0,842

P2 = proporsi kecacingan dengan kontak TB paru dewasa = 0,2125

Q2 = 1 – P1 = 0,79

P1 =proporsi tidak kecacingan dengan kontak TB paru dewasa (perbedaan

proporsi yang diharapkan sebesar 20%) = 0,51 Q1 = 1 – P2 = 0,49

P = ½ (P1+P2) = 0,36

P1-P2 = 0,3

Dengan menggunakan rumus di atas didapat jumlah sampel sebanyak 39 orang tiap kelompok.


(36)

3.5. Kriteria Inklusi dan Ekslusi

3.5.1 Kriteria Inklusi

1. Anak dengan kontak TB paru dewasa berusia 3 bulan sampai 18 tahun.

2. Bersedia mengikuti prosedur penelitian dan menandatangani informed consent.

3.5.2 Kriteria Eksklusi

1. Anak dengan status gizi buruk, HIV, keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit campak, pertusis, varisela, vaksinasi dengan virus hidup.

2. Penderita yang telah dilakukan uji tuberkulin kurang dari 2 minggu.

3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan ( Informed Consent )

Semua subyek penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua / wali setelah diberi penjelasan terlebih dahulu untuk dilakukan uji tuberkulin.

3.7. Etika Penelitian

Penelitian ini telah mendapat izin dari Komite Etika Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian


(37)

Pengambilan sampel secara konsekutif. Anak-anak yang kontak serumahdengan TB paru dewasa yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan dalam penelitian. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah anak kontak serumah dengan TB paru dewasa dan terinfeksi cacing, kelompok kedua adalah tidak terinfeksi cacing.

3.8.2 Cara Kerja

• Penderita TB dewasa diperoleh berdasarkan data dari rekam medik Poliklinik DOTS Paru Dewasa RSUP H. Adam Malik, dokter praktek swasta dan BP4 Paru.Anak dari penderita TB yang berusia 3 bulan sampai 18 tahun dijadikan subjek penelitian. Diberi penjelasan mengenai penelitian, dan diminta persetujuan agar anaknya ikut serta sebagai subjek penelitian.

• Subyek penelitian yang bersedia menjadi sampel penelitian memberi persetujuan tertulis (informed consent).

• Terhadap subyek penelitian dibagikan pot tinja yang sudah diberi nomor. Tinja yang terkumpul diperiksa dengan metode pemeriksaan kualitatif yaitu teknik langsung.

• Subyek penelitian dengan tinja yang dijumpai telur cacing dimasukan kedalam kelompok pertama, sedangkan subyek penelitian dengan tinja yang tidak dijumpai telur cacing dimasukan kedalam kelompok kedua.


(38)

• Masing-masing kelompok dilakukan uji tuberkulin cara Mantoux, dengan cara menyuntikan 0,1 ml PPD RT23 2TU secara intrakutan di bagian sentral volar lengan bawah.

• Hasil uji tuberkulin dibaca setelah 48-72 jam oleh peneliti sendiri. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan hiperemisnya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, kemudian tepi kanan dan kiri indurasi ditandai dengan pulpen. Diukur diameter transversal terpanjang dengan menggunakan penggaris transparan. Hasil pengukuran dinyatakan dalam satu desimal millimeter, jika tidak timbul indurasi, dilaporkan indurasi 0 mm. Bila timbul bula atau vesikel dianggap sebagai positif dan dilakukan pencatatan.


(39)

3.8.3 Alur Penelitian

Gambar 3.1 Alur penelitian

Anak dengan kontak TB Paru dewasa

Pemeriksaan tinja/feses

Kelompok A Kelompok B

Analisis data, penyusunan dan laporan Uji tuberkulin cara

Mantoux

Uji tuberkulin cara Mantoux

Mengukur indurasi tuberkulin

Infeksi cacing (+) Infeksi cacing (-)

Mengukur indurasi tuberkulin Penderita TB Paru dewasa


(40)

3.9. Identifikasi Variabel

Variabel Bebas Skala

Anak kontak TB paru dewasa yang Kecacingan Nominal Anak kontak TB paru dewasa tidak Kecacingan Nominal

Variabel Tergantung Skala

Hasil uji tuberkulin Nominal

3.10. Definisi Operasional

1. Infeksi cacing adalah apabila dijumpai telur cacing pada tinja melalui pemeriksaan mikroskopis atau ditemukan cacing dewasa.

2. Teknik pemeriksaan feses secara langsung adalah teknik kualitatif yang paling sederhana dan paling mudah dilakukan.

3. Uji tuberkulin adalah uji yang digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi M. tuberculosis.

4. Kontak serumah TB dewasa adalah individu yang berkepanjangan atau sering berhubungan dalam kurun waktu 8 jam atau lebih dalam seminggu selama 3 bulan dengan penderita TB dewasa aktif yang telah dibuktikan dengan pemeriksaan BTA.

5. Indurasi uji tuberkulin adalah pembengkakan yang terjadi 48 hingga 72 jam setelah penyuntikan tuberkulin.

6. Tuberkulosis BTA positif adalah penderita TB dewasa dengan hasil pemeriksaan BTA dari sputum didapati M. tuberculosis sebanyak tiga kali


(41)

pemeriksaan. Pada penelitian ini data tersebut diperoleh dari data rekam medik dokter ahli paru praktek swasta dan rumah sakit.

7. Ukuran indurasi adalah hasil pengukuran indurasi uji tuberkulin cara Mantoux. Pengukuran diameter dilakukan secara tranversal. Penilaian diukur dalam milimeter.

8. Hasil uji tuberkulin dikatakan positif infeksi TB jika diameter indurasi transversal ≥ 10 mm. Untuk anak umur ≤ 5 tahun yang telah diimunisasi BCG dikatakan positif jika diameter indurasi ≥ 15 mm. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif. Apabila diameter indurasi 5-9 mm dinyatakan meragukan. Jika hasil meragukan maka dilakukan uji tuberkulin ulangan setelah 2 minggu dan penyuntikan dilakukan di lokasi yang lain, minimal berjarak 2 cm untuk menghindari efek booster.

9. Umur subjek adalah umur subjek berdasarkan umur kalender.

3.11. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer. Untuk melihat apakah ada perbedaan hasil indurasi antara kedua kelompok digunakan uji Chi-Square. Dikatakan bermakna bila didapatkan nilai p < 0,05.


(42)

BAB 4 HASIL

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik DOTS Paru Dewasa RSUP H. Adam Malik, BP4 Paru dan praktek swasta jalan Jemadi Pulo Brayan Darat Medan. Diperoleh sampel 95 anak yang kontak TB paru dewasa, dimana 3 anak dikeluarkan dari sampel (1 anak menderita gizi buruk, 2 anak pergi keluar kota). Total sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 92 anak, dibagi menjadi dua kelompok yaitu 39 anak kontak TB paru dewasa yang kecacingan dan 53 anak kontak TB paru dewasa yang tidak kecacingan (Gambar 4.1).

Anak kontak TB paru dewasa, N = 95

3 anak dieksklusikan : 1 gizi buruk, 2 pergi keluar kota.

Mengisi formulir isian dan

pemeriksaan telur 92 anak yang memenuhi

kriteria inklusi dan k kl i

Anak kontak TB paru dewasa yang kecacingan (+)

n= 39

Anak kontak TB paru dewasa yang tidak kecacingan (-)

n= 53 Gambar 4.1. Profil penelitian


(43)

Tabel 4.1. Karakteristik dasar sampel

Karakteristik Kecacingan (+)

n= 39

Kecacingan (-) n= 53

Umur (tahun), rerata (SD) Jenis kelamin, n

- laki-laki - perempuan

Berat badan (kg), rerata (SD) Tinggi badan (cm), rerata (SD) Jumlah anggota keluarga, rerata (SD)

Pendidikan ayah, n - SD

- SMP - SMA

- Perguruan Tinggi Pendidikan ibu, n

- SD - SMP - SMA

- Perguruan Tinggi Pekerjaaan orangtua, n - Nelayan

- Wiraswasta - Pegawai Negeri - Pegawai Swasta - Buruh

- Tidak bekerja Gizi, n

- Kurang - Baik - Lebih

9.4 (3.69) 17 22 27.7 (12.52) 129.8 (17.70) 4.7 (1.09) 15 8 16 11 12 16 8 19 2 2 8 22 16 1 8.8 (4.49) 26 27 26.0 (12.56) 125.5 (21.34) 4.3 (1.02) 5 11 29 8 3 16 32 2 30 13 6 4 18 29 6

Pada tabel 4.1 rata-rata usia kelompok kecacingan adalah 9.41 tahun, dan kelompok tidak kecacingan 8.8 tahun. Jenis kelamin yang terbanyak pada kelompok kecacingan dan tidak kecacingan perempuan dengan 22 dan 27 anak.


(44)

SMAdan pekerjaan orang tua terbanyak wiraswasta. Status gizi pada kelompok kecacingan yang terbanyak adalah status gizi kurang 22 anak, sedangkan pada kelompok tidak kecacingan memiliki status gizi baik 29 anak. Dari total 39 sampel pada kelompok kecacingan, yang memiliki hasil uji tuberkulin positif lebih sedikit dibandingkan dengan hasil yang negatif yaitu 14 anak. Sedangkan hasil uji tuberkulin pada kelompok tidak kecacingan yang terbanyak adalah hasil yang positif sebanyak 33 anak (Gambar 4.2)

Gambar 4.2 Hasil uji tuberkulin pada kelompok kecacingan dan tidak kecacingan

Tabel 4.2 Perbandingan hasil uji tuberkulin dengan kecacingan Hasil Uji Tuberkulin

Positif Negatif P

n:47 % n:45 % Infeksi

Kecacingan

Ya 14 35.9 25 64.1 0.012

Tidak 33 62.3 20 37.7

0 5 10 15 20 25 30 35

Positif Negatif

Kecacingan Tidak kecacingan


(45)

Dari tabel 4.2 menunjukkan hasil positif uji tuberkulin pada anak kecacingan lebih sedikit dibandingkan pada yang tidak kecacingan dengan perbandingan 35.9% dan 62.3%. Dengan menggunakan uji chi square

ditemukan perbedaan yang bermakna pada hasil uji tuberkulin antara kedua kelompok dengan nilai P= 0.012. Rasio prevalens pada penelitian ini didapat sebesar 0.48 dengan interval kepercayaan 95% yang artinya kecacingan merupakan suatu faktor proteksi terhadap uji tuberkulin, dimana kecacingan berpengaruh terhadap hasil uji tuberkulin.


(46)

BAB 5 PEMBAHASAN

Hingga saat ini banyak penelitian yang mencari hubungan antara kecacingan dengan TB. Pada penelitian ini bertujuan membandingkan hasil uji tuberkulin pada anak kontak TB paru dewasa dengan kecacingan dibandingkan dengan tidak kecacingan. Penelitian di China tahun 2013 menunjukan infeksi TB dan kecacingan dapat menjadi faktor risiko antara keduanya. Kecacingan secara siknifikan mempengaruhi sistem imunologi pasien terhadap infeksi TB.38

Penelitian ini adalah studi potong lintang, dimana subyek penelitian ini berasal dari sosio-demografi yang sama dengan kondisi lingkungan yang padat. Jenis kelamin yang terbanyak pada kedua kelompok adalah perempuan. Rerata usia pada kedua kelompok studi memiliki nilai yang hampir sama. Hal ini sesuai dengan laporan UNICEF bahwa infeksi TB dan juga infeksi cacing terbanyak pada anak usia sekolah.5

Tingkat pendidikan orang tua yang terbanyak adalah SMA dan pekerjaan orang tua terbanyak wiraswasta. Penelitian di Afrika Selatan menunjukan bahwa kondisi lingkungan perumahan yang padat, tingkat pendidikan orang tua yang rendah dan sosial ekonomi yang rendah akan meningkatkan risiko infeksi TB dan kecacingan.32

Hubungan antara infeksi, kebersihan, tingkat hunian yang padat, status ekonomi yang rendah akan mempengaruhi status gizi seseorang. Infeksi cacing merupakan penyebab terpenting perubahan status nutrisi dan kadar hemoglobin


(47)

anak. Pada penelitian ini didapatkan kelompok yang terinfeksi cacing memiliki status gizi kurang 56%, sedangkan kelompok yang tidak terinfeksi cacing memiliki status gizi kurang 34%. Pada penelitian di Ethiopia Utara yang mencari hubungan status gizi dengan kecacingan, didapatkan angka malnutrisi 35%.39

Sedangkan penelitian yang dilakukan di Venezuela didapatkan tingkat malnutrisi bervariasi dari 13% hingga 80%.40

Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Tetapi tidak semua anak yang telah terinfeksi akan mengalami sakit TB. Penelitian di Laos melaporkan risiko terjadinya infeksi TB pada anak yang kontak dengan penderita TB lebih besar pada anak yang kontak dengan penderita TB dengan BTA positif.33 Pada penelitian ini didapatkan rerata angka ko-infeksi TB dengan

kecacingan 42%, dan ini masih rendah jika dibandingkan dengan yang dilaporkan di Ethiopia Barat tahun 2002 yaitu 72%. Penelitian di Venezuela melaporkan bahwa angka prevalensi kecacingan 50% hingga 70%.40 Penelitian

kohort yang dilakukan di Swedia melaporkan prevalensi kecacingan pada penderita TB lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol 35% : 27%.24

Hal ini telah kita ketahui bahwa angka infeksi TB dan kecacingan tinggi di daerah dengan kondisi sosio-demografi padat dan sosio-ekonomi yang rendah.41

Menggunakan analisa Kai kuadrat didapatkan hasil uji tuberkulin pada penelitian ini memiliki perbedaan bermakna diantara kedua kelompok yaitu kelompok anak yang kecacingan memiliki hasil uji tuberkulin positif lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok yang tidak kecacingan dengan nilai P 0,012.


(48)

Perbedaan ini dapat dijelaskan melalui sistem imunitas tubuh. Uji tuberkulin merupakan reaksi hipersensitivitas tipe 4 tergantung pada IFN- � yang dihasilkan oleh sel Th1 dalam aktivasi makrofag. Pada anak dengan kecacingan, sel Th2 lebih dominan dan akan memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 menstimulasi proliferasi dan diferensiasi limfosit B dan menekan aktifitas sel Th1 yang menyebabkan penurunan produksi IFN- �. Stimulasi sel Tregs akan memproduksi banyak sitokin anti inflamasi, sehingga akan menghambat reaksi inflamasi dan alergi.34,35Penelitian di Afrika

Selatan tahun 2009 menjelaskan bahwa kecacingan memiliki pengaruh yang siknifikan terhadap peningkatan serum IgE dan hasil uji tuberkulin.42Dan

penelitian pada tahun 2012 di Afrika selatan menjelaskan bahwa infeksi cacing dapat merubah respon sistem imunitas pada anak terutama di daerah dengan tingkat prevalensi kecacingan dan TB yang tinggi.32

Keterbatasan studi ini adalah jumlah sampel yang sedikit yaitu anak dengan riwayat kontak tanpa ada gejala klinis lainnya sehingga tidak dilakukan penilaian terhadap sakit TB. Tidak dilakukan pengukuran titer antibodi IgE pada semua sampel dan tidak mengukur tingkat keparahan infeksi cacing. Sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel penelitian yang lebih besar.


(49)

(50)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari penelitian ini didapati perbedaan yang bermakna pada hasil uji tuberkulin antara anak kontak TB paru dewasa yang kecacingan dan tidak kecacingan.

6.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan studi kohort untuk menilai pengaruh Imunoglobulin E terhadap uji tuberkulin pada anak.


(51)

RINGKASAN

Tuberkulosis (TB) dan kecacingan merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Diperkirakan antara tahun 2000 hingga 2020, 1 milyar orang akan terinfeksi TB, 200 juta berkembang menjadi sakit TB dengan 35 juta kematian.Dan 2 milyar orang terinfeksi cacing, setengahnya terjadi pada anak usia sekolah. Infeksi soil-transmitted helminth (STH)ini tersebar secara luas di negara berkembang, baik itu di daerah tropis maupun subtropis.

Uji tuberkulin merupakan alat diagnostik yang digunakan untuk menegakan diagnosis TB pada anak. Uji tuberkulin akan mengaktifkan sel T spesifik yaitu sel T-helper 1 (Th1), dan memproduksi berbagai sitokin inflamasi yaitu interleukin (IL) -12, IL-17A, interferon gamma (IFN-�) dan Tumor necrosis factor-α (TNF-α).

Pada individu kecacingan, peran sel T spesifik yang dominan adalah sel

T-helper 2 (Th2) yang ditandai adanya peningkatan sel eosinofil, titer IgE yang tinggi dan peningkatan sekresi IL-4, IL-5, IL-13 dan menekan respons sel Th1. Kecacingan juga meningkatkan pembentukan sel T supresor yang dikenal dengan sel T Regulator (Tregs). Sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel Tregs dan Th2 akan menekan respons sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1. Sehingga reaksi inflamasi berupa eritema dan indurasi pada uji tuberkulin akan berpengaruh pada individu kecacingan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan hasil uji tuberkulin pada anak kecacingan dan tidak kecacingan yang kontak TB paru dewasa.


(52)

Desain penelitian ini adalah cross sectional yang dilaksanakan mulai bulan februari hingga Maret 2014. Penelitian ini dilakukan di Poliklinik DOTS Paru Dewasa RSUP H. Adam Malik, BP4 Paru dan praktek swasta Medan. Sampel anak-anak usia 3 bulan hingga 18 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TB dewasa, baik yang kecacingan ataupun tidak kecacingan.Kriteria inklusi yaitu anak kontak TB paru dewasa dan kriteria eksklusi anak dengan status gizi buruk, HIV, keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit campak, pertussis, varisela dan vaksinasi dengan virus hidup dan penderita yang telah dilakukan uji tuberkulin kurang dari 2 minggu.

Anak yang kontak serumah TB paru diperiksa tinja, yang dijumpai telur cacing dimasukan kedalam kelompok pertama, sedangkan anak dengan tinja yang tidak dijumpai telur cacing dimasukan kedalam kelompok kedua. Masing-masing kelompok dilakukan uji tuberkulin cara Mantoux.

Penelitian ini menunjukkan hasil positif uji tuberkulin pada anak kontak TB paru dewasa yang kecacingan lebih sedikit dibandingkan pada anak kontak TB paru dewasa yang tidak kecacingan dengan perbandingan 35.9% dan 62.3%. Dengan menggunakan uji chi square ditemukan perbedaan yang bermakna pada hasil uji tuberkulin pada kelompok anak kontak TB paru dewasa yang kecacingan dan kelompok anak kontak TB paru dewasa yang tidak kecacingan dengan nilai P= 0.012.


(53)

SUMMARY

Tuberculosis (TB) and helminth infection is a major health problem in the world. It is estimated that between 2000 and 2020, 1 billion people will be infected with TB, 200 million developing TB becomes ill with 35 million deaths. And 2 billion people are infected with helminth, half as common in school-age children. Infection of soil-transmitted helminths (STH) is spread widely in developing countries, both in the tropical and subtropical regions.

Tuberculin test is a diagnostic tool that is used to enforce the diagnosis of TB in children. Tuberculin test will activate the T cells specific T-helper 1 cells (Th1), and produce a variety of inflammatory cytokines, namely interleukin (IL) -12, IL-17A, interferon gamma (IFN-γ) and tumor necrosis factor-α (TNF-α).

Helminthes is strong inducer of T-helper cell 2 (Th2) cells were characterized by an increase in eosinophils, high IgE titers and increased secretion of IL-4, IL-5, IL-13 and suppress Th1 cell respons. Helminth infection also increases the formation of suppressor T cells known as T cells Regulator (Tregs). Cytokines produced by Th2 cells and Tregs would suppress cytokine responses produced by Th1 cells. So that the inflammatory reaction in the form of erythema and induration on tuberculin test will affected.

The purpose of this study was to determine the difference of tuberculin test result in adult pulmonary TB contacted children with and without helminth infections.


(54)

This study was cross sectional implemented starting in February to March 2014 and conducted at H. Adam Malik Hospital, BP4 and private practice. Subject were children aged 3 months to 18 years who contacted with adult TB patients, whether or not helminth infection. Inclusion criteria, children contactacted adult pulmonary TB and exclusion criteria, children with poor nutritional status, HIV, malignancy, long-term steroid use, sitostatica, measles, pertussis, and varicella virus vaccine live and people who have done the test tuberculin is less than 2 weeks.

Subject who are household contacts of pulmonary tuberculosis examined stool, found worm eggs inserted into the first group, whereas children with fecal worm egg is not found inserted into the second group. Each group performed tuberculin test.

This study showed positive tuberculin test results in children with helminth infection less than without helminth infection by comparison 35.9% and 62.3%. By using the chi square test found significant differences in the results of tuberculin test in the group of children contactedadult pulmonary TB with helminth infection and groups of children without helminth infection with a value of P = 0.012.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

1. Shingadia D, Novelli V.Diagnosis and treatment of tuberculosis in children. The Lancet Infectious Diseases, 2003; Vol.2:624-632

2. TB Indonesia 2011, Situasi terkini perkembangan TB di Indonesia. Diunduh dari http://tbindonesia.or.id/pdf/Data_tb_1_2011. Diakses Mei 2013

3. Pullan RL, Brooker SJ. The global limits and population at risk of soil-transmitted helminth infections in 2010. Biomed Central. Pullan and Brooker Parasites & Vectors 2012, 5:81

4. Montresor A, Crompton DWT, Gyorkos TW, Savioli L, penyunting. Dalam: Helminth control in school-age children. Geneva: WHO. 2002

5. Brooker S. Human helminth infections in Indonesia, East Timor and the Philippines. UNICEF. 2002; h.40-53

6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2008

7. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara: Laporan hasil kegiatan program seksi P2ML sub dinas P2P & PL. Medan: Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara. 2008

8. Perez PT, Ascaso C, Ogusku MM, Abellana R, Malheiro A, Quinco P, dkk. Evaluation of New Strategies for the Diagnosis of Tuberculosis among Pediatric Contacts of Tuberculosis Patients. The Pediatric Infectious Disease Journal. 2012;1097:1-9

9. Obihara CC, Kimpen JLL, Gie RP, van Lill SW, Hoekstra MO, Marais BJ,dkk. Mycobacterium tuberculosis infection may protect against allergy in a tuberculosis endemic area. Clinical and experimental allergy. 2006; 36:70-6

10. Jyonouchi H, Steele WR. Delayed-type hypersensitivity. Diunduh

dari Diakses

september 2013

11. Elias D. Helminths and Immunity Against Tuberculosis. Karolinska Unoversity Press. 2006; h.1-50

12. Varaine F, Henkens M, Grauzard V. Tuberculosis. Edisi ke-5. Med Sans Frontieres. 2010; h.48-50

13. Aditama TY, Kamso S, Basri C, Surya A, penyunting. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Edisi ke-2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008; h.3-30

14. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman nasional tuberkulosis anak. Jakarta: Unit Kerja Koordinasi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2005; h.8-37

15. Kartasasmita CB, Basir D. Tuberkulosis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta:


(56)

16. Avalos GGL, Montes OEP. Classic and new diagnostic approaches to childhood tuberculosis. Journal of tropical medicine. 2012; 818219:1-9

17. Akhila K, Mahadevan S, Adhisivam B. Qualitative evaluation of tuberculin test responses in childhood tuberculosis. Ind J Ped. 2007; 74:641-4

18. Besser RE, Pakiz B, Schulte JM, Alvarado S, Zell ER. Risk Factors for positive mantoux tuberculin skin test in children in San Diego, California: evidence for boosting and possible foodborne transmission. Pediatrics. 2001; 108:305-10

19. Kenyorini, Suradi, Surjanto E. Uji tuberkulin. Jurnal tuberkulosis Indonesia. 2006; 3:h.1-5

20. Kiwanuka JP. Interpretation of tuberculin skin-test result in the diagnosis of tuberculosis in children. African Health Sciences. 2005; 5:152-6

21. Marais BJ. Tuberculosis in children. Pediatric Pulmonology, Wiley-Liss. 2008; 43:322–9

22. Margono SS. Important human helminthiasis in Indonesia. Dalam: Crompton DWT, Montresor A, Nesheim MC, Savioli L, penyunting. Controlling disease due to helminth infections. Geneva: WHO. 2003; h.3-14

23. Brooker S, Clements AC, Bundy DA. Global epidemiology, ecology and control of soil-transmitted helminth infections. Adv Parasitol. 2006; 62:221-61 24. Abate E. The Impact of helminth infection in patients with active tuberculosis.

Linkopin University. 2013; h.1-91

25. Abate E, Belayneh M, Gelaw A, Idh J, Getachew A, Alemu S, Diro E, dkk. The impact of asymptomatic helminth co-infection in patients with newly diagnosed tuberculosis in North-West Ethiopia. Plos one. 2012; 7:1-5

26. Dent AE, Kazura JW. Ascariasis (Ascaris Lumbricoides). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders. 2007; h.1495-6

27. Dent AE, Kazura JW. Trichuriasis (Trichuris trichiura). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders. 2007; h.1499-500

28. Hotez PJ. Hookworm (Necator americanus and ancylostoma spp). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders. 2007; h.1496-9 29. Kazura JW. Helminthic disease. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson

HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders Company. 2004; h.1495-501

30. Pasaribu S, Lubis CP. Askariasis, trikuriasis, ankilostomiasis. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Jakarta: Buku ajar infeksi & pediatri tropis. 2008; h.370-84


(57)

31. Akan GE, Lemanske RF. Allergic disease, pathophysiology and immunopathology. Alergic Disease. humana press. 2007; h.4-6

32. Soelen NV, Mandalakas AM, Kirchner HL, Walzl G, Grewal HMS, Jacobsen M, Hesseling A. Effect of Ascaris Lumbricoides specific IgE on tuberculin skin test responses in children in a high-burden setting: a cross-sectional community-based study. BMC Infectious Diseases. 2012; 12:211

33. ฀฀฀฀฀฀฀ CC, ฀฀฀฀฀฀ CW, ฀฀฀฀฀฀ N, ฀฀฀฀฀฀ J LL. Mycobacterial infection and atopy in childhood: A systematic review.Pediatr Allergy Immunol. 2007; 18:551–9

34. Yazdanbakhsh M, Biggelaar AVD, Maizels RM. Th2 responses without atopy: immunoregulation on chronic helminth infection and reduce allergic disease. TRENDS in Immunology. 2001; Vol.22: 372-77

35. Rafi W, Rodrigues RR, Ellner J, Salgame P. Coinfection-helminthes and tuberculosis. Lippincott Williams & Wilkins. 2012; 7:239-44

36. Babu S, Bhat SQ, Kumar P, Jayantasri S, Rukmani S, Kumaran P, Gopi PG, Kolappan C, Nutman TB. Human Type 1 and 17 Responses in Latent Tuberculosis Are Modulated by Coincident Filarial Infection through Cytotoxic T Lymphocyte Antigen–4 and Programmed Death–1. The Journal of Infectious Diseases. 2009; 200:288–98

37. Borkow G, Bentwich Z. Eradication of helminthic infections maybe essential for successful vaccination against HIV and tuberculosis. Bulletin of the World Health Organization. 2000; 78:1368-9

38. Li XX, Zhou XN. Co-infection of tuberculosis and parasitic diseases in humans: a systematic review. Parasites & Vectors. 2013, 6:79

39. Mahmud MA, Spigt M, Bezabih AM, Pavon IL, Dinant GJ, Velasco RB. Risk factors for intestinal parasitosis, anaemia, and malnutrition among school children in Ethiopia. Pathogens and Global health. 2013; 107:2

40. Verhagen LM, Incani RN, Franco CR, Ugarte A, Cadenas Y, Ruiz CI, Hermans PWM,et all. High malnutrition rate in Venezuela Yanomami compared to Warao Amerindians and Creoles: Significant associations with intestinalparasites and anemia. PLOS ONE. October 2013; 8:e77581

41. Elias D, Mengistu G, Akuffo H, Britton S. Are intestinal helmints risk factors for developing active tuberculosis?. Tropical medicine and International health. April 2006; 11:551-558

42. Obihara CC, Beyers N, Gie RP, Hoekstra MO, Fincham JE, Marais BJ, Lombard CJ, Dini LA, Kimpen JLL. Respiratory atopic disease, Ascaris-IgE and tuberculin test in urban South African children. Clin Exp Allergy. 2006;7:88-101


(58)

LAMPIRAN

1. Personil Penelitian

1. Ketua Penelitian

Nama : dr. Dermawan

Jabatan : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK-USU/RSHAM

2. Anggota Penelitian

1. Dr. Ridwan M. Daulay, Sp.A(K) 2. Dr. Rita Evalina, Sp.A(K)

3. Dr. Wisman Dalimunthe, Sp.A(K) 4. Dr. Rini S. Daulay, MKed(Ped), Sp.A 5. Dr. Flora Mindo P.

6. Dr. Wardah

2. Biaya Penelitian

1. Bahan / perlengkapan:

• Obat tuberkulin PPDRT 23TU 8 vial @900.000 : Rp. 7.200.000

• Spuit 1ml, 100 buah : Rp. 200.000

• Masker, 5 0 buah : Rp. 100.000

• Sarung tangan, 100 pasang : Rp. 200.000

• Pot tinja : Rp. 300.000

Sub Total : Rp. 8.000.000

2. Transportasi / Akomodasi : Rp. 2.000.000

3. Penyusunan / Penggandaan:

• Fotokopi lembaran kuisioner untuk 150 subyek : Rp. 500.000

• Penggandaan hasil dan penyusunan laporan : Rp. 1.500.000 4. Seminar dan hasil penelitian : Rp 5.000.000

Jumlah Total : Rp.18.000.000


(59)

3. Jadwal Penelitian

Kegiatan/ Waktu

Februari 2014 Maret 2014 Oktober 2014

Persiapan Pelaksanaan Penyusunan Laporan Pengiriman Laporan


(60)

4. Penjelasan dan Persetujuan Kepada Orang Tua

Kepada Yth Bapak / Ibu ... Di Tempat

Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri, nama saya dr. Dermawan yang sedang menjalani program pendidikan dokter spesialis di Departemen Ilmu kesehatan Anak FK USU / RSUP Haji Adam Malik Medan. Bersama ini saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi sebagai subyek penelitian saya yang berjudul “Perbandingan hasil uji tuberkulin pada anak kontak TB paru dewasa dengan kecacingan dan tidak kecacingan”.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara hasil uji tuberkulin pada anak kontak TB paru dewasa dengan kecacingan dan tidak kecacingan. Sedangkan manfaat menjadi subyek penelitian ini adalah menghindari terjadinya infeksi Mycobacterium tuberculosis pada anak dengan cara menghindari anak dari kontak TB paru dewasa, memberikan informasi kepada orang tua tentang sumber penularan, pencegahan, dan pengobatan TB pada anak. Memberikan pengobatan kecacingan bagi anak Bapak/Ibu yang terinfeksi cacing.

Pada penelitian ini saya akan melakukan wawancara untuk mengetahui anak Bapak/Ibu memiliki kontak dengan TB paru dewasa. Pada anak yang mempunyai riwayat kontak TB paru dewasa, akan dilakukan pemeriksaan tinja untuk mencari telur cacing kemudian dilakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin dilakukan dengan menyuntikan 0,1 ml obat PPDRT 23TU di bagian volar lengan bawah dan hasilnya dilihat 48 hingga 72 jam setelah penyuntikan.


(61)

Demikian keterangan saya diatas, semoga Bapak/Ibu mengerti. Jika Bapak/Ibu bersedia, maka kami mengharapkan Bapak/Ibu menandatangani lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP). Demikianlah yang dapat kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2014

dr. Dermawan

Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara /

RSUP H. Adam Malik Medan Telp : 081311436323


(62)

5. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ... Umur ... tahun L / P

Alamat : ... dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan

PERSETUJUAN

untuk dilakukan uji tuberkulin terhadap anak saya :

Nama : ...Umur ... tahun

Alamat Rumah : ...

yang tujuan, sifat, dan perlunya pengobatan tersebut di atas, serta risiko yang dapat ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya. Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.

...2014 Tanda Tangan

Yang memberikan penjelasan Yang membuat pernyataan persetujuan dr. ... Saksi-saksi : Tanda tangan

1... 2...


(63)

LEMBAR KUESIONER

Nomor : ………..

Tanggal :………

Nama Lengkap : ………...

I. DATA PRIBADI

Jenis Kelamin : LK / PR

Umur : ...tahun...bulan

Anak ke : ….…………dari………..bersaudara

Alamat : ………. ... Pekerjaan orangtua : ( ) Pegawai negeri

( ) Wiraswasta ( ) Pegawai swasta

( ) Lain - lain

Penghasilan orangtua : Rp………bulan

Tingkat pendidikan orangtua : ayah ibu

( ) ( ) Tidak sekolah ( ) ( ) Sekolah dasar

( ) ( ) SLTP ( ) ( ) SLTA

( ) ( ) Perguruan tinggi

BB :………..kg

II. PEMERIKSAAN FISIK

TB :………..cm

Status nutrisi : obese / overweight / normoweight / mild malnutrition / moderate malnutirtion / severe malnutrition


(64)

Pembesaran kelenjar getah bening : Ada/ tidak ada Penonjolan tulang belakang : Ada/ tidak ada

Bengkak pada sendi : Ada/ tidak ada

III. DATA KONTAK (

Riwayat kontak : BTA (+)/BTA(-)

dari rekam medis)

Gambaran foto toraks : ( ) Tuberkulosis ( ) Bukan tuberkulosis Lama pengobatan :...bulan

Lama sakit :...bulan Hubungan dengan kontak : ...

IV. DATA HASIL UJI TUBERKULIN DENGAN CARA MANTOUX

- Tanggal pelaksanaan : - Tanggal pembacaan hasil :

- Diameter Indurasi :


(65)

Metode Kualitatif dengan Teknik Langsung A. Alat dan Bahan

1. Obyek glass 2. Deck glass 3. Aplikator/lidi 4. Pipet tetes

5. Larutan pewarna (lugol, eosin, sudan III) B. Cara Kerja

1. Obyek glass diletakkan dalam posisi mendatar, kemudian diambil feses kurang lebih sebanyak 1 gram ( sebesar ujung korek api).

2. Teteskan larutan pewarna kurang lebih 2 – 3 tetes disebelahnya.

3. Campurkan feses dengan larutan pewarna, buang bagian feses yang keras. 4. Tutup dengan deck glass, upayakan tidak terbentuk gelembung udara.

5. Sediaan awetan dipasang pada mikroskup dengan perbesaran lemah ( 5 x atau 10 x)

6. Dilakukan pengamatan pada seluruh lapangan pandang pada sediaan.


(1)

4. Penjelasan dan Persetujuan Kepada Orang Tua

Kepada Yth Bapak / Ibu ... Di Tempat

Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri, nama saya dr. Dermawan yang sedang menjalani program pendidikan dokter spesialis di Departemen Ilmu kesehatan Anak FK USU / RSUP Haji Adam Malik Medan. Bersama ini saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi sebagai subyek penelitian saya yang berjudul “Perbandingan hasil uji tuberkulin pada anak kontak TB paru dewasa dengan kecacingan dan tidak kecacingan”.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara hasil uji tuberkulin pada anak kontak TB paru dewasa dengan kecacingan dan tidak kecacingan. Sedangkan manfaat menjadi subyek penelitian ini adalah menghindari terjadinya infeksi Mycobacterium tuberculosis pada anak dengan cara menghindari anak dari kontak TB paru dewasa, memberikan informasi kepada orang tua tentang sumber penularan, pencegahan, dan pengobatan TB pada anak. Memberikan pengobatan kecacingan bagi anak Bapak/Ibu yang terinfeksi cacing.

Pada penelitian ini saya akan melakukan wawancara untuk mengetahui anak Bapak/Ibu memiliki kontak dengan TB paru dewasa. Pada anak yang mempunyai riwayat kontak TB paru dewasa, akan dilakukan pemeriksaan tinja untuk mencari telur cacing kemudian dilakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin dilakukan dengan menyuntikan 0,1 ml obat PPDRT 23TU di bagian volar lengan bawah dan hasilnya dilihat 48 hingga 72 jam setelah penyuntikan.


(2)

Demikian keterangan saya diatas, semoga Bapak/Ibu mengerti. Jika Bapak/Ibu bersedia, maka kami mengharapkan Bapak/Ibu menandatangani lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP). Demikianlah yang dapat kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2014

dr. Dermawan

Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara /

RSUP H. Adam Malik Medan Telp : 081311436323


(3)

5. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ... Umur ... tahun L / P

Alamat : ... dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan

PERSETUJUAN

untuk dilakukan uji tuberkulin terhadap anak saya :

Nama : ...Umur ... tahun

Alamat Rumah : ...

yang tujuan, sifat, dan perlunya pengobatan tersebut di atas, serta risiko yang dapat ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya. Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.

...2014 Tanda Tangan

Yang memberikan penjelasan Yang membuat pernyataan persetujuan dr. ... Saksi-saksi : Tanda tangan

1... 2...


(4)

LEMBAR KUESIONER

Nomor : ………..

Tanggal :………

Nama Lengkap : ………...

I. DATA PRIBADI

Jenis Kelamin : LK / PR

Umur : ...tahun...bulan

Anak ke : ….…………dari………..bersaudara

Alamat : ………. ... Pekerjaan orangtua : ( ) Pegawai negeri

( ) Wiraswasta ( ) Pegawai swasta

( ) Lain - lain

Penghasilan orangtua : Rp………bulan Tingkat pendidikan orangtua : ayah ibu

( ) ( ) Tidak sekolah ( ) ( ) Sekolah dasar

( ) ( ) SLTP ( ) ( ) SLTA

( ) ( ) Perguruan tinggi

BB :………..kg II. PEMERIKSAAN FISIK

TB :………..cm

Status nutrisi : obese / overweight / normoweight / mild malnutrition / moderate malnutirtion / severe malnutrition


(5)

Pembesaran kelenjar getah bening : Ada/ tidak ada Penonjolan tulang belakang : Ada/ tidak ada Bengkak pada sendi : Ada/ tidak ada

III. DATA KONTAK (

Riwayat kontak : BTA (+)/BTA(-) dari rekam medis)

Gambaran foto toraks : ( ) Tuberkulosis ( ) Bukan tuberkulosis Lama pengobatan :...bulan

Lama sakit :...bulan Hubungan dengan kontak : ...

IV. DATA HASIL UJI TUBERKULIN DENGAN CARA MANTOUX

- Tanggal pelaksanaan : - Tanggal pembacaan hasil :

- Diameter Indurasi :


(6)

Metode Kualitatif dengan Teknik Langsung A. Alat dan Bahan

1. Obyek glass 2. Deck glass 3. Aplikator/lidi 4. Pipet tetes

5. Larutan pewarna (lugol, eosin, sudan III) B. Cara Kerja

1. Obyek glass diletakkan dalam posisi mendatar, kemudian diambil feses kurang lebih sebanyak 1 gram ( sebesar ujung korek api).

2. Teteskan larutan pewarna kurang lebih 2 – 3 tetes disebelahnya.

3. Campurkan feses dengan larutan pewarna, buang bagian feses yang keras. 4. Tutup dengan deck glass, upayakan tidak terbentuk gelembung udara.

5. Sediaan awetan dipasang pada mikroskup dengan perbesaran lemah ( 5 x atau 10 x)

6. Dilakukan pengamatan pada seluruh lapangan pandang pada sediaan.

7. Bila belum jelas lensa obyektif diubah pada perbesaran sedang (40 x atau 45 x)