Konversi Sputum Bta Pada Fase Intensif Tb Paru Kategori I Antara Kombinasi Dosis Tetap (Kdt) Dan Obat Anti Tuberkulosis (Oat) Generik Di Rsup. H. Adam Malik Medan

(1)

KONVERSI SPUTUM BTA PADA FASE INTENSIF

TB PARU KATEGORI I ANTARA KOMBINASI

DOSIS TETAP (KDT) DAN OBAT ANTI

TUBERKULOSIS (OAT) GENERIK DI

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh

IRMA TABRANI

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT PARU FK.USU/

SMF PARU RSUP. H. ADAM MALIK

MEDAN


(2)

KONVERSI SPUTUM BTA PADA FASE INTENSIF

TB PARU KATEGORI I ANTARA KOMBINASI

DOSIS TETAP (KDT) DAN OBAT ANTI

TUBERKULOSIS (OAT) GENERIK DI

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Spesialis Paru Pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Departemen Ilmu Penyakit Paru FK- USU

Oleh

IRMA TABRANI

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT PARU FK.USU/

SMF PARU RSUP. H. ADAM MALIK

MEDAN


(3)

PERNYATAAN

Konversi Sputum BTA Pada Fase Intensif TB Paru

Kategori I Antara Kombinasi Dosis Tetap (KDT) Dan Obat

Anti Tuberkulosis (oat) Generik di RSUP. H. Adam Malik

Medan

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 27 juli 2007


(4)

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Tesis : KONVERSI SPUTUM BTA PADA FASE INTENSIF TB PARU KATEGORI I

ANTARA KOMBINASI DOSIS

TETAP (KDT) DAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) GENERIK DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Nama : IRMA TABRANI

Program Studi : PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I PARU

Menyetujui

Pembimbing

Dr.Pantas Hasibuan ,Sp.P NIP. 140.160.382

Koordinator Penelitian

Dep. Ilmu Peny.Paru

Ketua Program Studi

Dep. Ilmu Peny.Paru

Ketua Departemen

Dep. Ilmu Peny.Paru

Dr.H.Tamsil. S,Sp.P(K) NIP.130 811 246

Dr.Hilaluddin S,DTM&H Sp.P NIP.130 365 290

Prof.Dr.H.Luhur Soeroso,Sp.P (K) NIP. 130 422 431


(5)

Telah diuji pada

Tanggal 23 November 2007

Panitia Penguji Tesis

Ketua

: Dr. Hilaluddin Sembiring, DTM&H, SpP

Sekretaris

: Dr. Pantas Hasibuan, SpP

Penguji

: Prof. Dr. H. Luhur Soeroso, SpP(K)

: Dr. Zainuddin Amir, SpP(K)


(6)

TESIS

PPDS ILMU PENYAKIT PARU FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/ RUMAH SAKIT UMUM PUSAT

HAJI ADAM MALIK MEDAN

1. Judul Tesis : Konversi Sputum BTA Pada Fase Intensif TB Paru Kategori I

Antara Kombinasi Dosis

Tetap (KDT) Dan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Generik Di RSUP. H. Adam Malik Medan

2. Nama Peneliti : Irma Tabrani

3. NIP. : -

4. Pangkat/ Golongan : -

5. Fakultas : Kedokteran Sumatera Utara 6. Jurusan : Ilmu Penyakit Paru

7. Jangka Waktu : 6 Bulan (enam bulan)

8. Lokasi Penelitian : SMF Paru RSUP.H. Adam Malik Medan 9. Pembimbing : Dr. Pantas Hasibuan ,Sp.P


(7)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT PARU

FK. USU – RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

ABSTRAK

Objektif : Untuk mengetahui konversi sputum BTA, dengan pemberian OAT Generik dan OAT KDT pada fase intensif pengobatan TB paru kategori I di RSUP H. Adam Malik Medan.

Metode : Penelitian ini merupakan Uji Klinis Acak Terkontrol, paralel, tersamar tunggal

Hasil : Dari 70 responden yang memenuhi kriteria, dibagi menjadi 2 kelompok, 35 orang dengan OAT Generik dan 35 orang dengan pengobatan OAT KDT selama 2 bulan. Tidak ada perbedaan bermakna dalam segi demografi responden: umur, jenis kelamin, pendidikan , pekerjaan (p>0.05). Tingkat kepositifan sputum juga tidak ada perbedaan bermakna antar kedua kelompok(p>0.05), Keluhan utama terutama dengan keluhan batuk berdahak.Perbaikan dari keluhan Utama responden tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Satu reponden mengalami keluhan mual, pening dan gatal-gatal pada kulit,dengan pemakain KDT tetapi masih dapat ditoleransi sehingga tidak perlu menghentikan pengobatan. Foto toraks responden dengan lesi luas(46%) pada kelompok KDT dan (57%) pada kelompok OAT Generik.Karakteristik konversi BTA sputum pada minggu ke 4 antara kedua kelompok adalah sama sejumlah 24 orang (69%). Tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok.Di minggu ke 4 beberapa orang responden yang tidak mengalami konversi, sebanyak 9 orang (26%) pada kelompok KDT dan 10 orang (29%) pada kelompok OAT Generik. Pada pemeriksaan BTA sputum minggu ke 8, responden yang mengalami konversi sama pada kedua kelompok sebanyak 31 orang ( 87%), sedangkan responden yang tidak ada dahak sebanyak 1 orang (3%) pada kedua kelompok. 9 orang (26 %) responden pada kelompok KDT yang tidak mengalami konversi BTA sputum pada minggu ke 4 mengalami konversi BTA sputum pada minggu ke 8 sebanyak 6 orang (17%).Pada kelompok OAT generik yang mengalami konversi sputum BTA pada minggu ke 8 ( minggu ke 4 belum konversi) sebanyak 7 orang (20%).Sedangkan responden yang tidak mengalami konversi BTA sputum sampai minggu ke 8, masing- masing 3 orang (9%) pada kedua kelompok . (p>0.05)

Kesimpulan :. Dari hasil penelitian yang dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan terhadap penggunaan OAT jenis KDT dan OAT Generik pada pasien - pasien TB paru, tidak dijumpai perbedaan dalam hal konversi sputum (p > 0.05).


(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

IDENTITAS

Nama : Dr. Irma Tabrani Tempat/Tgl/Lahir : Jakarta, 15 Mei 1972 Agama : Islam

Pekerjaan : PPDS Paru FK-USU Medan

Alamat : Komp. Tasbi II Blok II No.28 Medan

KELUARGA

Suami : IR. Muhammad Johan Anak : 1. Fadilla Atira

2. Nadia Nazihah Putri

PENDIDIKAN

1. SD Mekarsari Jakarta Ijazah 1984 2. SMP Negeri 44 Jakarta Ijazah 1987 3. SMA Negeri 6 Pekanbaru Ijazah 1990 4. FK UISU Medan Ijazah 2001

PEKERJAAN


(9)

PERKUMPULAN PROFESI

1. Anggota IDI kota Medan 2001 - sekarang 2. Anggota muda PDPI cabang Sumatera Utara 2003 – sekarang

PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH

1. Laporan Kasus dengan topik Pyopneumotoraks et causa TB Paru pada PIK XI , Batam 2006

2. Peserta pada beberapa kegiatan ilmiah Paru

TUGAS

Selama mengikuti pendidikan dokter spesialis Ilmu Penyakit Paru FK- USU telah membawakan :

1. Sari Pustaka Dasar 1 buah 2. Sari Pustaka 5 buah 3. Laporan Kasus 5 buah 4. Journal Reading 12 buah 5. Karya Ilmiah tingkat Nasional 1 buah 6. Karya Ilmiah pada Jurnal Respirologi Indonesia 2005 1 buah


(10)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadiratMu. Terima kasih ya ALLAH atas perkenanMu tulisan ini dapat diselesaikan.

TB paru merupakan masalah Global, menurut laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002. Tiga koma sembilan juta adalah kasus BTA ( Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1992, TB merupakan penyebab kematian kedua, sedang pada SKRT 2001 menunjukkan TB merupakan penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi. Di Indonesia sebagian besar kasus TB paru tidak ditemukan secara keseluruhan dan dari kasus yang ditemukan tersebut, hanya sebagian kasus TB paru dengan basil tahan asam. Hasil BTA sputum positif yang tidak dapat disembuhkan, pengobatan tidak teratur, penggunaan obat antituberkulosis (OAT) tidak adekuat ataupun pengobatan terputus menimbulkan kuman yang resisten terhadap OAT . OAT KDT adalah tablet yang berisi kombinasi beberapa jenis obat anti TB dengan dosis tetap. Penggunaan KDT terhadap pasien TB paru Kategori I, lebih aman dan mudah pemberiannya, lebih nyaman untuk pasien, lebih sesuai dengan dosis obat, pengelolaan obat lebih mudah.


(11)

Tulisan ini merupakan tugas akhir sebagai syarat dalam penyelesaian Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Paru di Departemen Ilmu Penyakit Paru FK – USU/ SMF Paru RSUP H. Adam Malik Medan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam karya tulis ini, namun diharapkan semoga tulisan ini bermanfaat.

Selama mengikuti pendidikan di Bagian Ilmu Penyakit Paru, penulis banyak mendapat bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak.Untuk kesemuanya itu perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi –tingginya kepada:

Yang terhormat Prof. Dr. H. Luhur Soeroso, Sp.P (K) sebagai Ketua Departemen Ilmu Penyakit Paru FK – USU/ SMF Paru RSUP H. Adam Malik, yang telah banyak memberikan pengarahan yang tak ternilai dan bimbingan khususnya dalam menilai foto toraks pada saat melakukan koordinasi pelayanan.

Yang terhormat Dr. Hilaluddin Sembiring, DTM&H, Sp.P, Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Paru FK – USU/ SMF Paru RSUP H. Adam Malik, yang telah banyak memberikan bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti pendidikan.

Yang terhormat Dr.Zainuddin Amir, Sp.P (K), yang juga sebagai Sekretaris Bagian Ilmu Penyakit Paru FK – USU/ SMF Paru RSUP H. Adam Malik, yang telah banyak memberikan bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti pendidikan dan khususnya sangat membantu dalam hal pelaksanaan penelitian.


(12)

Terima Kasih kepada Dr. Pantas Hasibuan, Sp.P yang menjadi pembimbing utama penulis, atas segala bimbingan dan motivasi yang diberikan selama pendidikan.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K) yang banyak memberikan bimbingan ilmu selama penulis menjalankan pendidikan dan bimbingan dalam penulisan ini.

Yang Terhormat Dr. H. Sugito, Sp.P (K) yang telah banyak memberikan bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti pendidikan.

Terima Kasih kepada Dr.Sumarli, Sp.P (K) yang memberikan bimbingan dan masukkan selama penulis mengikuti pendidikan.

Terima Kasih kepada Dr. RS. Parhusip, Sp.P (K) dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti pendidikan, terutama di bidang perawatan intensif penyakit paru. Serta selalu memberikan dorongan untuk selalu belajar.

Yang terhormat Dr. Adlan L .Sitompul, Sp.P sebagai kepala BP-4 Medan, Dr. Syahlan Sp.P, sebagai Kepala UPF Paru RSUD Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan bimbingan selama penulis menjalani pendidikan.

Yang Terhormat seluruh Staf Pengajar di Bagian Ilmu Penyakit paru FK – USU, Khususnya Dr. Widirahardjo, Sp.P yang telah banyak memberikan ilmu terutama dibidang pleura, Dr. Fajrinur Syarani, Sp.P, Dr. Parluhutan Siagian, Sp.P, Dr. PS Pandia, Sp.P, Dr. Amira Permatasari


(13)

Tarigan ,Sp.P, Dr. Bintang YM. Sinaga, Sp.P, yang telah memberikan dorongan moril dan petunjuk selama pendidikan.

Ucapan terimakasih kepada Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes.yang telah membimbing penulis dalam analisis statistik pada penelitian ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Dekan Fakultas Kedokteran USU Medan, Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Direktur RSUD Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjalani pendidikan Spesialisasi di Bagian Ilmu Penyakit Paru FK – USU, RSUP H. Adam Malik dan RSUD Dr. Pirngadi Medan dan dinas terkait dalam penelitian ini.

Ucapan terima kasih kepada Kakanwil Dep.Kes. RI. Wilayah Sumatera Utara yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan spesialisasi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat peserta Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Paru FK USU, khususnya kepada Dr.Titiek, Dr.Refi, Dr.Mual atas segala dukungan moril dan persahabatan selama penulis mengikuti pendidikan, kepada Dr. Indra, Dr.Meyland, Dr Sri Rezeki, Dr. Sugiono atas bantuan selama ini di poli TB paru, serta pegawai Tata Usaha/ Paramedis Poliklinik/ Ruang Bronkoskopi/ Ruang Inap Paru RSUP. H Adam Malik Medan, atas bantuan dan kerjasama yang baik selama penulis menjalankan pendidikan.


(14)

Terima kasih yang mendalam penulis ucapkan kepada suami tercinta IR. Muhammad Johan serta anak – anak tersayang, Fadilla Atira, Nadia Nazihah Putri atas segala pengertian, kesabaran, perhatian dan pengorbanan yang telah diberikan selama penulis mengikuti pendidikan. Kelulusan ini khusus untuk papa tersayang yang selalu memotivasi anaknya untuk selalu belajar, sabar dan tabah dalam menjalankan pendidikan serta memberikan bantuan moril dan materil . Terima kasih kepada mama atas doanya selama ini.

Sebagai manusia biasa, penulis menyadari tidak terlepas dari tutur kata dan tingkah laku yang kurang berkenan di hati selama menjalankan pendidikan, pada kesempatan ini penulis mohon maaf yang sedalam- dalamnya.

Medan, Agustus 2007 Penulis,


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR SKEMA ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I.PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Hipotesis ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II.TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1. Definisi TB Paru ... 6

2.2 Epidemiologi TB Paru ... 6

2.3 Morfologi dan Fisiologi Kuman Tuberkulosis... 9

2.4 Patogenesis dan Patologi TB Paru ... 10

2.5 Diagnosis TB Paru ... 13

2.6 Pemeriksaan Penunjang ... 14

2.7 Pengobatan TB Paru... 18

BAB III.Bahan dan Metoda ... 33

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 33


(16)

3.3. Rancangan Penelitian. ... 33

3.4. Pelaksanaan Penelitian... 35

3.5. Kerangka Konsep ... 35

3.6. Definisi Operasional ... 36

3.7. Variabel Penelitian ... 36

3.8. Analisis Data ... 36

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 38

4.1. Hasil Penelitian ... 38

4.2. Pembahasan ... 43

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Indikator TB 2004 Di Indonesia ... 8

Tabel 2.2 Jenis dan Dosis Obat ... 20

Tabel 2.3 Ringkasan Paduan Obat ... 20

Tabel 2.4 Kerja dari Lini pertama OAT... 21

Tabel 2.5 Paduan OAT Kategori I KDT ... 29

Tabel 4.1.1 Karakteristik Responden ... 38

Tabel 4.1.2 Karakteristik Keluhan Utama... 40

Tabel 4.1.3 Karakteristik BTA Sputum ... 41

Tabel 4.1.4 Karakteristik Konversi BTA Sputum ... 41

Tabel 4.1.5 Karakterisitik Gambaran Radiologi... 42

Tabel 4.1.6 Karakteristik Perbaikan Keluhan Utama... 43


(18)

DAFTAR SKEMA

Halaman 1. Alur Diagnosis TB Paru Pada Dewasa ... 14 2. Kerangka Konsep ... 35


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Jumlah Kasus Yang Tercatat Di Indonesia ... 7

Gambar 2.2. Struktur INH ... 21

Gambar 2.3 Strukur Rifampisin... 23

Gambar 2.4 Struktur Pyrazinamid... 25


(20)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Data Pasien TB Paru dengan KDT

Lampiran2 Data Pasien TB Paru dengan OAT Generik

Lampiran 3 Persetujuan Komite Etik Tentang Pelaksanaan Bidang Kesehatan


(21)

DAFTAR SINGKATAN

BTA : Basil Tahan Asam

DOTS : Directly Observed Treatment Short Course ELISA : Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay FDC : Fixed Dose Combination

INH : Isoniazid

KDT : Kombinasi Dosis Tetap MDR : Multi Drug Resistant

MICs : Minimal Inhibitory Concentrations MBCs : Minimal Bactericidal Concentrations OAT : Obat Anti Tuberkulosis

PCR : Polymerase Chain Reaction RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

SGOT : Serum Glutamat Oxalo Asetat Transaminase SGPT : Serum Glutamat Pyruvic Transaminase

TB : Tuberculosis

X2 : Chi-square

WHO : World Health Organization


(22)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium Tuberculosis Complex dan merupakan masalah

kesehatan masyarakat yang penting. Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan tuberkulosis sebagai “Global Emergency”. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002. Tiga koma sembilan juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.1 Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1992, TB merupakan penyebab kematian kedua, sedang pada SKRT 2001 menunjukkan TB merupakan penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi.2

Penyebab peningkatan TB paru di seluruh dunia adalah ketidakpatuhan terhadap program pengobatan, diagnosis, dan pengobatan yang tidak adekuat, migrasi, infeksi human immunodeficiency

virus (HIV). Di Indonesia sebagian besar kasus TB paru tidak ditemukan

secara keseluruhan dan dari kasus yang ditemukan tersebut,hanya sebagian kasus TB paru dengan basil tahan asam. Hasil BTA sputum


(23)

positif yang tidak dapat disembuhkan, pengobatan tidak teratur, penggunaan obat antituberkulosis (OAT) tidak adekuat ataupun pengobatan terputus menimbulkan kuman yang resisten terhadap OAT.3

Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, menurunkan tingkat penularan. Prinsip pengobatan TB adalah obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, agar semua kuman termasuk kuman persisten dapat dibunuh.3

Pada tahun 1995 WHO menganjurkan strategi DOTS (Directly

Observed Treatment Shortcourse), strategi komperhensif untuk digunakan

oleh pelayanan kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan penderita TB, agar transmisi penularan dapat dikurangi di masyarakat.1,2,3,4

Kemasan OAT terdiri dari berbagai macam obat tunggal dimana obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol atau obat kombinasi dosis tetap (KDT) atau yang juga dikenal sebagai Fixed Dose combination ( KDT). Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet. Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (Multidrug Resistant

Tuberculosis ). Pada tahun 1998 International Union Against Tuberculosis


(24)

kombinasi paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer.4,5

Dosis obat tuberkulosis berdasarkan WHO pada kategori I tahap intensif diberikan isoniazid (H), rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE), kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H), dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Sedangkan satu paket Kombinasi Dosis Tetap (KDT) OAT kategori I, dalam satu obat terdiri dari Rifampisin 150 mg, INH 75 mg, Pyrazinamid 400 mg, Ethambutol 275 mg.6

Pada tahun 2005, beberapa penelitian mengenai farmakokinetik dan bioavibilitas masing- masing OAT di Western Cape (Afrika Selatan) yang dilakukan oleh American Society for Microbiology.7 Di Indonesia telah dilakukan penelitian mengenai pengembangan paket SOT (Sediaan Obat Tunggal) yang dilakukan oleh Chulug ar dkk pada tahun 2004.8

Penggunaan KDT di Indonesia diawali dengan Uji coba di Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 1999 dengan hasil yang cukup memuaskan. Sekitar 10 % yang mengeluh efek samping ringan tanpa harus menghentikan pengobatan dan hanya 1 orang (0,6%) yang harus dihentikan pengobatan.9

Penelitian mengenai konversi sputum antara KDT dengan OAT Generik di Indonesia dosis belum pernah dilakukan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan mengenai pemberian OAT di Indonesia oleh


(25)

karena faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan seperti gizi, kepatuhan minum obat, penyakit penyerta, efek samping selama pemberian OAT merupakan hal yang sering ditemukan.

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas perlu diteliti apakah terdapat perbedaan konversi sputum BTA pada fase intensif pengobatan TB Paru Kategori I antara Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Generik di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Penilaian terhadap konversi sputum BTA pada fase intensif pengobatan TB paru Kategori I antara Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Generik. Penilaian tersebut bertujuan untuk evaluasi terhadap pengobatan pada pasien – pasien dengan sputum BTA positif di RSUP H . Adam Malik Medan.

1.4. HIPOTESIS:

Konversi sputum setelah pemberian obat antara KDT dan OAT Generik selama 8 minggu adalah sama.


(26)

Mengevaluasi konversi sputum BTA antara KDT dan OAT Generik,serta efek samping yang timbul dengan pemakaian KDT, sehingga hasil penelitian dapat sebagai pertimbangan pada pengobatan kasus TB paru di Indonesia.


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI TB PARU

Definisi TB paru menurut WHO adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium Tuberculosis complex .1

2.2. EPIDEMIOLOGI TB PARU

WHO menyatakan bahwa dari sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga penduduk dunia ini telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis.

Pada tahun 1993 WHO juga menyatakan bahwa TB sebagai reemerging

disease. Angka penderita TB paru di negara berkembang cukup tinggi, di

Asia jumlah penderita TB paru berkisar 110 orang penderita baru per 100.000 penduduk.9,10,11,12

Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1992, TB merupakan penyebab kematian kedua, sedang pada SKRT 2001 menunjukkan TB merupakan penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi. Antara tahun 1979- 1982 telah dilakukan survei prevalensi di 15 propinsi dengan hasil 200 - 400 per 100.000 penduduk. Berdasarkan hal diatas, diketahui bahwa prevalensi TB di Indonesia dari laporan Direktorat Jendral CDC, menyatakan prevalensi TB bervariasi yaitu di daerah Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh dan sebagian besar jawa,


(28)

Kalimantan Selatan, dan Timur dan sebagian Sulawesi prevalensi TB berkisar 200 -700 per 100.000 penduduk. Penyakit TB di Indonesia sebagian besar menyerang kelompok usia kerja produktif dan kebanyakan penderitanya berasal dari kelompok sosio ekonomi rendah.13

WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB dan terdapat 550.000 kasus TB. Sedangkan data Departemen Kesehatan pada tahun 2001 di Indonesia terdapat 50.443 penderita TB paru BTA (+) yang diobati (23% dari perkiraan penderita TB BTA positif).Tiga perempat dari kasus berusia 15- 49 tahun dan baru 20 % yang tercakup dalam program pemberantasan tuberkulosis yang dilaksanakan pemerintah.14

49878 77840 25 53780 89313 25 76488 156041 35 92516 177662 42 128981 214658 60 154508 242634 70.5 0 50000 100000 150000 200000 250000

2000 2001 2002 2003 2004 2005

: Smear sputum (+) : Semua kasus TB

> : Kasus yang tercatat smear sputum (+)

Gambar 2.2.1 Jumlah Kasus yang Tercatat di Indonesia

(Seluruh Kasus TB dan BTA Sputum (+) Tahun 2000 – 2005 ) 14


(29)

Laporan WHO pada tahun 2006 (berdasarkan data terakhir 2004), insiden TB adalah 530.000 kasus dari semua kasus (245/100.000) dan prevalensi kasus TB sekitar 600.000 pasien. Sedangkan insiden kasus BTA (+) dari 2004 diperkirakan 110 kasus baru per 100.000 populasi (240.000 per kasus per tahun) dengan prevalensi lebih dari 260.000 kasus BTA positif.14

Tabel 2.2.1 Indikator TB 2004 di Indonesia 14

Populasi : 220 077 000 Tingkat didunia 3

Insiden (semua kasus/100.000 populasi/tahun ) 245 Insiden ( kasus baru sputum (+)/100.000 populasi/tahun ) 100 Prevalensi (semua kasus/100.000 populasi/tahun pada) 275 Mortalitas TB (semua kasus/100.000 populasi/tahun ) 65 Kasus TB dengan HIV (usia dewasa 15-49%) 0,9 Kasus baru Multi Drug Resistant (%) 1,5

Di Indonesia penyakit TB bahkan hampir tidak pernah mengalami penurunan, walaupun OAT yang baik telah ditemukan dan terbukti ampuh untuk membasmi M.Tuberculosis. Sejak tahun 1995 Indonesia menggunakan strategi DOTS dalam program penanggulangan TB melalui Program Penanggulangan Tuberkulosis (P2TB) nasional yang direkomendasikan oleh WHO.2,6,14 Kemudian berkembang seiring dengan pembentukan GEDURNAS- TB pada tahun 1999. Di dalam P2TB


(30)

nasional, tujuan penanggulangan TB adalah tercapainya cakupan penemuan penderita (case detection rate). 6

Rekomendasi WHO, dosis esensial lini I OAT terdiri dari rifampisin, INH, pirazinamid, etambutol dan streptomisin. Terdapat juga dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap (KDT) yaitu rifampisin + INH (RH), etambutol +INH (EH), INH + thiocetazone (HT), rifampisin +INH + pirazinamid (RHZ), rifampisin +INH + pirazinamid + etambutol (RHZE).15,16

2.3. MORFOLOGI DAN FISIOLOGI KUMAN TUBERKULOSIS

Kuman tuberkulosis berbentuk batang dengan ukuran 2-4 μ x 0,2-0,5μm, dengan bentuk uniform, tidak berspora dan tidak bersimpai. Dinding sel mengandung lipid sehingga memerlukan pewarnaan khusus agar dapat terjadi penetrasi zat warna. Yang lazim digunakan adalah pengecatan Ziehl-Nielsen. Kandungan lipid pada dinding sel menyebabkan kuman TB sangat tahan terhadap asam basa dan tahan terhadap kerja bakterisidal antibiotika.1,10,12,17,18 M.Tuberculosis

mengandung beberapa antigen dan determinan antigenik yang dimiliki mikobakterium lain sehingga dapat menimbulkan reaksi silang. Sebagian besar antigen kuman terdapat pada dinding sel yang dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.1,12

Kuman TB tumbuh secara obligat aerob. Energi diperoleh dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan. Dapat tumbuh dengan suhu 30-40 0 C dan suhu optimum


(31)

37-380 C. Kuman akan mati pada suhu 600 C selama 15-20 menit. Pengurangan oksigen dapat menurunkan metabolisme kuman.12

2.4. PATOGENESIS DAN PATOLOGI TB PARU 2.4.1 Patogenesis TB Primer

Ketika seorang penderita TB paru batuk, bersin atau berbicara maka droplet nukleus akan jatuh dan menguap akibat suhu udara yang panas ,maka kuman tuberkulosis akan berterbangan di udara dan berpotensi sebagai sumber infeksi pada orang sehat, hal ini yang sering disebut sebagai airborne infection. Pada sekali batuk dikeluarkan 3000 droplet.12,18 Setelah melewati barier mukosilier saluran nafas, basil TB akan mencapai bronkiolus distal atau alveoli. Kuman mengalami multiplikasi di paru dikenal sebagai focus Ghon. Basil juga mencapai kelenjar limfe hilus melalui aliran limfe sehingga terjadi limfadenopati hilus. Focus Ghon dan limfadenopati hilus akan membentuk kompleks primer. Kompleks primer berlokasi di lobus bawah karena ventilasi lebih baik di area tersebut. Ghon menemukan pendistribusian fokus primer yang sama antara lobus atas dan lobus bawah, tetapi lebih sering pada paru kanan.19 Respon imun seluler berupa hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada 4-6 minggu setelah infeksi primer. Banyaknya basil TB dan kemampuan daya tahan tubuh akan menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Pada kebanyakan kasus, respon imun tubuh dapat


(32)

menghentikan multiplikasi kuman dan sebagian kuman menjadi dorman. 1,2,12,13

Berawal dari kompleks primer infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui berbagai jalan :

a. Secara bronkogen

Menyebar ke paru yang bersangkutan atau melalui sputum ke paru sebelahnya dan dapat tertelan sehingga dapat menyebabkan TB pada gastrointestinal.19

b. Secara hematogen dan limfogen

Vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa material yang mengandung kuman TB dan kuman ini dapat mencapai berbagai organ melalui aliran darah dan sistem limfatik. Penyebaran secara hematogen lebih sering terjadi pada tempat dengan tekanan oksigen yang tinggi seperti pada : otak, epifise tulang panjang, ginjal, tulang vertebra dan daerah apikal-posterior paru. Reaktivasi TB lebih cenderung berkembang di daerah apikal oleh karena PO2 yang lebih tinggi sehingga cocok untuk pertumbuhan kuman. Dock menyatakan, daerah apikal-posterior juga merupakan area yang defisiensi produksi limfe sehingga terjadi penurunan drainase sehingga kuman TB sukar dieliminasi di area tersebut


(33)

Banyak sebutan terhadap fase ini seperti penyakit kronik post TB primer, reinfeksi atau TB progresif dewasa, endogen reinfeksi, reaktivasi terjadi setelah periode laten (beberapa bulan atau tahun) setelah infeksi primer. Dapat terjadi karena reaktivasi atau reinfeksi. Reaktivasi oleh karena kuman dorman mengalami multiplikasi setelah beberapa bulan/ tahun setelah infeksi primer. Reinfeksi diartikan sebagai infeksi ulang pada seseorang yang sebelumnya pernah mengalami infeksi primer. TB paru post primer dimulai dari sarang dini yang umumnya pada segmen apikal lobus superior atau lobus inferior, yang awalnya berbentuk sarang pneumonik kecil. Sarang ini dapat mengalami suatu keadaan, direabsorsi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, sarang meluas, tetapi mengalami penyembuhan berupa jaringan fibrosis dan perkapuran. Sarang dapat aktif kembali membentuk jaringan keju dan bila dibatukkan menimbulkan kavitas. Sarang pneumoni meluas membentuk jaringan keju yang bila dibatukkan akan membentuk kavitas awalnya berdinding tipis kemudian menjadi tebal.2,12,18,19

Bentuk dari TB post primer dapat sebagai tuberkulosis paru seperti adanya kavitas, infiltrat, fibrosis dan endobronkial TB, atau dapat sebagai TB ekstra paru seperti efusi pleura, limfadenopati,meningitis, TB tulang.1


(34)

Perubahan mendasar pada jaringan paru akibat infeksi kuman tuberkulosis berupa lesi eksudatif, fibrinomacrophagic alveolitis,

polymorphonuclear alveolitis, kaseosa dan kavitas, tuberkuloma. 12

2.5. DIAGNOSIS TB PARU

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinis tuberkulosis dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun. Pada paru akan timbul gejala lokal berupa gejala respiratori. Norman Horne membuat daftar gejala dan tanda respiratori TB seperti tidak ada gejala, batuk, sputum purulen, batuk darah, nyeri dada, sesak nafas, mengi yang terlokalisir. Tetapi tanda dan gejala respiratori ini tergantung pada luas lesi. Pada pemeriksaan fisis, kelainan jasmani tergantung dari organ yang terlibat dan luas kelainan struktur paru.12

Pada awal perkembangan penyakit sangat sulit menemukan kelainan paru pada pemeriksaan fisis. Kelainan paru terutama pada daerah lobus superior terutama apeks dan segmen posterior, serta apeks lobus inferior.18,19 Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial, amforik, suara nafas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. 1,2,13


(35)

Skema 2.5.1 Alur Diagnosis TB Paru pada Dewasa 1

2.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG 2.6.1 Pemeriksaan Bakteriologi

Diagnosis yang paling baik adalah dengan cara mengisolasi kuman. Untuk membedakan spesies mikobakterium satu dari yang lain harus dilihat sifat –sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media dan perbedaan kepekaan terhadap OAT. Bahan pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari sputum, cairan pleura, liquor


(36)

biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologi yang menggunakan sputum, cara pengambilannya terdiri dari 3 kali yaitu sewaktu (pada saat kunjungan), pagi (keesokan harinya), sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi).1,2,3,6,12

Ada beberapa tipe interpretasi pemeriksaan mikroskopis. WHO merekomendasikan pembacaan dengan skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease):

a.Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif. b. Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah

kuman yang ditemukan.

c. Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapan pandang, disebut + (1+). d. Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+). e. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+) Interpretasi dengan Skala Bronkhost jumlah kuman tahan asam dihitung sebagai berikut :

a. 40 Kuman setelah pemeriksaan 15 menit, disebut +1.

b. Sampai 20 kuman dalam 10 lapangan penglihatan, disebut +2. c. Sampai 60 kuman dalam 10 lapangan penglihatan, disebut +3. d. Sampai 120 kuman dalam 10 lapangan penglihatan, disebut +4. e. Lebih dari 120 kuman dalam 10 lapangan penglihatan, disebut +5.


(37)

Hasil negatif : untuk klinik kemungkinan TB belum dapat disingkirkan.

Hasil positif : hasil positif kuman tahan asam (Bronkhost +1 sampai +5), untuk klinik berarti umumnya disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis, tetapi sebanyak 3 – 4% disebabkan

oleh saprofit tahan asam. 12,13,15,19

2.6.2. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan standard adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pada foto toraks TB memberikan gambaran yang multiform. Dapat dicurigai sebagai lesi TB aktif bila ditemukan bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. Kavitas terutama bila lebih dari satu, bayangan bercak milier ataupun efusi pleura unilateral. Sedangkan lesi yang inaktif bila adanya fibrosis, kalsifikasi, fibrotoraks atau penebalan pleura. Luluh paru apabila terjadi kerusakan jaringan paru yang berat, sulit untuk menilai lesi hanya berdasarkan gambaran radiologis sehingga perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktivitas penyakit.1,2,20

National Tuberculosis Association dan American Thoracic Society


(38)

1. Lesi Minimal:

Bila proses TB mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak melebihi volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosessus

spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra

torakalis V dan tidak dijumpai kavitas. 2. Lesi Sedang:

Bila proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang, tetapi luas tidak boleh lebih luas dari satu paru,atau jumlah dari seluruh proses yang ada paling banyak seluas satu paru atau proses TB tadi memiliki densitas yang lebih padat,lebih, tebal,tetapi tidak boleh melebihi sepertiga dari satu paru dan proses ini dapat disertai atau tidak disertai kavitas .Bila disertai kavitas, tdak boleh melebihi 4 cm.

3. Lesi Luas:

Kelainan lebih luas dari lesi sedang.

2.6.3. Pemeriksaan Khusus

Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mendeteksi kuman TB seperti :


(39)

a. BACTEC: dengan metode radiometrik , dimana CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak M.tuberculosis dideteksi

growth indexnya.

b. Polymerase chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA dari M.tuberculosis, hanya saja masalah tehnik dalam pemeriksaan ini adalah kemungkinan kontaminasi.

c. Pemeriksaan serologi : seperti ELISA, ICT, Mycodot, Uji peroksidase anti peroksidase (PAP).1,21

2.6.4. Pemeriksaan Penunjang Lain

Seperti analisa cairan pleura dan pemeriksaan histopatologi jaringan, pemeriksaan darah dimana LED biasanya meningkat, tetapi tidak dapat sebagai indikator yang spesifik pada TB. Uji tuberkulin, di Indonesia dengan prevalensi yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau kepositifan yang didapat besar sekali.1

2.7 PENGOBATAN TB PARU

Sejarah pengobatan pada TB dimulai pada tahun 1943, dimana Wacksman dan Schatz di New Jersey menemukan Streptomyces griseus yang dikenal sebagai streptomisin, merupakan OAT pertama yang digunakan. Penggunaan streptomisin sebagai obat tunggal terjadi sampai


(40)

tahun 1949. Kemudian ditemukan Para Amino Salisilat ( PAS), sehingga mulai dilakukan kombinasi antara keduanya, tetapi pada akhir 1946 pemakaian PAS sudah jarang dipublikasikan. Pada tahun 1952 ditemukan isoniazid (INH) yang kemudian menjadi komponen penting dalam pengobatan TB, sejak saat itu durasi pengobatan dapat diturunkan. Pada tahun 1972 mulai digunakan rifampisin (R) sebagai paduan obat dikombinasi dengan etambutol (E) dan pirazinamid. 4,19,21,22

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB. Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioritas utama WHO. Broadly menyatakan pengobatan TB bertujuan untuk 3 hal yaitu :

a. Untuk mengurangi secara cepat jumlah dari basil mikobakterium, sehingga dapat mengurangi durasi dari pengobatan.

b. Mencegah resistensi obat. Pengobatan yang tidak adekuat dapat menyebabkan resitensi obat dengan segera, sehingga dapat meningkatkan kegagalan pengobatan dan kekambuhan. Resistensi tidak hanya pada pasien yang bersangkutan, tetapi juga dapat menular pada seseorang yang sebelumnya belum pernah terinfeksi.

c. Sterilisasi untuk mencegah kekambuhan dan mengurangi jumlah dan kelangsungan hidup kuman.19


(41)

Tabel 2.7.1 Jenis dan Dosis Obat 5 DOSIS yang

dianjurkan Dosis (mg)/BB (kg)

OBAT DOSIS (mg/Kg BB/hari ) Harian (mg/Kg BB/ hari) intermitten (mg/Kg BB/kali) Dosis maks

(mg) <40 40-60 >60

R 8 - 12 10 10 600 300 450 600

H 4 – 6 5 10 300 150 300 450

Z 20 -30 25 35 750 1000 1500

E 15 -20 15 30 750 1000 1500

S 15-18 15 15 1000 Sesuai

BB

750 1000

Tabel 2.7.2. Ringkasan Paduan Obat 6,10,11

Kategori Kasus Paduan obat yang dianjurkan Keterangan

I TB paru BTA (+) 2 RHZE / 4 RH ATAU BTA (-), Lesi luas 2 RHZE / 6 HE

*2 RHZE / 4 R3H3

II Kambuh RHZE / 1 RHZE/ sesuai hasil uji resistensi atau 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE

Gagal pengobatan

3 – 6 kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin / 15 – 18 ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES/IRHZE/5RHE II TB paru putus

berobat

Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama berhenti minum obat dan keadaan klinis, bakteriologi dan radiologi saat ini (lihat uraiannya) atau 2RHZES/IRHZE/5R3H3E3 III BTA neg, lesi

minimal

2 RHZE/4RH atau 6 RHE atau 2RHZE/4R3H3

IV Kronik RHZES/ sesuai hasil uji resistensi (minal OAT yang sensitif) + obat lini 2

(pengobatan minimal 18 bulan) IV MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT lini 2

atau H seumur hidup.

Bila streptomisin alergi, dapat

diganti kanamisin


(42)

ekstraselular.

Rifampisin Bakterisidal melawan basil intraseluler dan ekstraselular, dan sterilisasi terutama dengan memetabolisme organisme secara perlahan – lahan.

Pirazinamid Bakterisidal, terutama dengan metabolisme organisme secara

perlahan-lahan organisme intraseluler.

Aktif pada pH asam, sinergi dengan baik terhadap INH maupun

obat lain.

Etambutol Bakterisidal melawan basil intraseluler dan ekstraselular pada

dosis 25 mg/kg, bakteriostatik pada dosis 15 mg/ kg

2.7.1. Isoniazid (INH) :

Gambar 2.2 Struktur Kimia Isoniazid 24

Awalnya sekitar 40 tahun yang lalu, INH digunakan sebagai obat tunggal untuk melawan basil TB. Mekanisme kerja INH dengan minimal

inhibitory concentrations ( MICs) dan minimal bactericidal concentrations

( MBCs) yang sangat rendah berkisar 0.025 – 0.050 μg/mL. INH mudah diserap, kadar di serum 3 sampai 5 μg/mL. Konsentrasinya lebih dari MICs dan MBCs. Makanan yang mengandung karbohidrat dan lemak dapat memperlambat absorbsi dan dan dapat mengurangi konsentrasi maksimal antara 9 % – 50%. INH dimetabolisme di hati dan diekskresi di ginjal, tergantung genetik fenotip asetilasi masing - masing individu. Pada asetilasi yang lambat, waktu paruh berkisar 120 -270 menit, asetilasi yang


(43)

cepat waktu paruh berkisar 45-110 menit. Rasio INH terasetilisasi dengan INH bebas tergantung kecepatan asetilasi. Distribusi dari genotip asetilasi ditentukan dari ras, 80%-90% bangsa Cina dan Jepang memiliki asetilasi yang cepat. Meskipun adanya variasi dari konsentrasi serum dan kinetik dari INH status asetilasi, tidak berpengaruh terhadap hasil pengobatan dengan pemberian INH setiap hari. Tetapi tipe dari asetilisasi dapat berpengaruh terhadap hasil pengobatan pada penyakit yang luas dimana kurangnya penetrasi obat di jaringan, malabsorbsi dan gangguan imunitas. Bersifat bakterisid, toksisitasnya dihubungkan dengan status nutrisi pasien dan dosis. Toksisitas jarang terjadi bila dengan dosis standar 300 mg / hari. Sedikit kenaikan risiko neuropati pada pasien dengan asetilisasi lambat. Dosis yang rendah dari piridoksin ( 6 mg / hari ) dapat mencegah terjadinya neuropati. Penggunaan piridoksin sebaiknya tidak melebihi 10 mg / hari. Meskipun INH dapat ditoleransi, tetapi reaksi toksik dapat terjadi terutama berupa hepatitis. Peningkatan dosis INH dapat meningkatkan potensial untuk hepatitis.19,21.24,25,26,27

Di beberapa pusat penelitian di USA, dari 13.838 orang yang menerima INH sebagai terapi pencegahan, terdapat 82 orang yang menderita hepatitis. Insiden hepatitis terutama pada pasien diatas usia 65 tahun, rata – rata terjadi peningkatan dari transaminase Pada beberapa pasien diikuti dengan kenaikan glutamic- oxaloacetic transaminase (SGOT) dan serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT) diatas normal. Terdapat variabilitas dari kenaikan risiko hepatitis, Steele dkk.


(44)

membandingkan insiden kerusakan hati pada 1000 orang pasien dewasa yang menerima OAT . Kategori dan frekuensi hepatitis ditunjukkan sebagai berikut :

a. Kenaikan risiko hepatitis pada pasien yang mendapatkan INH dan rifampisin dibandingkan yang hanya mendapatkan INH tanpa rifampisin (P= 0.048) relatif – rasio adalah 1,6 dengan confidence

interval ( CI ) 1,1 - 2,6.

b. Insiden hepatitis pada pasien yang menerima INH dan rifampisin secara signifikan lebih tinggi dibanding rifampisin tanpa INH.

c. Tidak ada perbedaan yang signifikan insiden hepatitis antara pemakaian INH atau rifampisin saja. Efek non terapi dapat terjadi berupa neurotoksisitas, terutama neuritis perifer. 19,24,25,27

2.7.2 Rifampisin:

Gambar 2.3. Struktur Kimia Rifampin 21

Sintesis Rifampisin pertama kali pada tahun 1957 di Itali dari

StreptomycesMediterranei. Rifampisin adalah komponen mayor dari OAT.

Aktivitas antimikroba ikatan antara DNA – dependent RNA polimerase dari mikobakterium, kemudian menghambat sintesis awal RNA. Pada awalnya


(45)

rifampisin digunakan pada tahun 1966 untuk pengobatan ulangan pada kasus pengobatan resisten. Penelitian BMRC menunjukkan kapasitas regimen yang mengandung INH dan rifampisin untuk memperpendek durasi pengobatan. Aktivitas invitro rifampisin sangat besar variasinya pada 7H – 12 medium cair pada sistem BACTEC. MICs dari strain yang diperkirakan antara 0,006 – 0,25 μg/ml. Serum level yang dapat dicapai dengan pemakaian 600 mg dosis oral yang diberikan.19,23,24,25,27

Selama beberapa minggu pengobatan, rifampisin menginduksi desatilisasi pada hati dan diekskresi melalui empedu dan sebagian kecil diekskresi melalui urin. Rifampisin lebih diabsorbsi pada lingkungan asam, makanan dan antasida dapat mengurangi absorbsi, sehingga waktu pemberian rifampisin perlu dipertimbangkan. Rifampisin terdistribusi secara luas di jaringan. Secara in vitro terbukti rifampisin lebih bakterisidal dibanding INH dalam hal melawan Mycobacterium tuberculosis. Penting diperhatikan sitokrom P- 450 khususnya type 3 A (CYP 3A ), oleh karena obat berinteraksi dengan sitokrom P- 450 melalui 2 jalur. Pertama adalah jalur inhibisi dan yang kedua adalah jalur induksi. Induksi sitokrom P- 450 menghasilkan kenaikan sintesis enzim yang berperan terhadap kenaikan metabolisme dari target obat dan kemudian menurunkan konsentrasinya. Rifampisin berperan menginduksi CYP 3A, sehingga berpotensial besar untuk interaksi obat.19,22,24,28

Inhibisi dari sitokrom P- 450 dapat menghambat metabolisme target obat, karena meningkatnya konsentrasi akan berpotensial untuk


(46)

menyebabkan toksisitas. Efek non terapi seperti ikterus sering terjadi. Terapi intermiten atau ireguler sering menimbulkan sindrom demam, malaise dan influenza –like syndrome.15,25,29,30

2.7.3 Pirazinamid

Gambar 2.4. Struktur Kimia Pirazinamid 31

Pirazinamid digunakan mulai awal tahun 1950. Pada saat itu dosis yang digunakan 40 -70 mg/kg pada kasus- kasus yang gagal maupun yang resisten, namun menimbulkan efek samping hepatitis yang berat. Pirazinamid menunjukkan potensi untuk mengurangi jumlah basil pada sputum pasien di hari ke 14, pada pemakaian tunggal. Pirazinamid merupakan derivat amide dari pyrazine 2- acid carboxyclic dan analog dari

nicotinamide. Dosis 1 gram dapat mencapai konsentrasi puncak di

plasma sampai 50 μg/mL dan dengan waktu paruh 10 jam setelah 2 jam pemberian. Dimetabolisme dan diekskresi di ginjal. Pirazinamid hanya dapat untuk melawan M.tuberculosis dan M. africanum tetapi kurang efektif untuk M.bovis dan Mycobacteria non tuberculous. Pada lingkungan yang asam ( pH 5,5 ) MICs dari pirazinamid hingga 16 μg/mL pada medium yang mengandung Tween 80. Pirazinamid juga menunjukkan aktivitas sterilisasi pada kuman semi dorman. Sedangkan pada pH 7.0 –


(47)

7.4, pirazinamid dalam keadaan tidak aktif. MBC dari pirazinamid tidak dapat dideterminasi oleh karena pada konsentrasi pirazinamid lebih tinggi dari 1,000 μg/mL, proporsi populasi kuman yang mati tidak lebih dari 74 %.

Efek samping berupa hepatotoksik, tetapi tergantung dosis dan durasi terapi. Pernah dilaporkan hiperuresimia dan artrralgia pada pasien yang menerima pirazinamid. 6, 27,31,32

2.7.4 Etambutol

Gambar 2.5. Struktur Kimia Etambutol 31

Etambutol merupakan senyawa tunggal. Pada penelitian di Afrika timur memperlihatkan adanya pengurangan jumlah basil pada sputum setelah 14 hari pengobatan dibanding dengan pemakaian INH saja. Etambutol oral diabsorbsi dengan baik pada level puncak 2 sampai 3 jam, makanan tidak mengganggu kerja etambutol. Level puncak tergantung dosis, 15 mg/kg menghasilkan level 3 – 4 μg/mL, 25 mg/kg menghasilkan level 4 – 6 μg/mL, dan 50 mg/kg menghasilkan level 8-12 μg/mL. Etambutol dibersihkan di ginjal. Dosis etambutol perlu diperhatikan pada


(48)

pasien dengan gangguan ginjal. Obat ini tetap menekan pertumbuhan kuman TB yang telah resisten terhadap INH dan Streptomisin. Etambutol ditemukan pada sebagian besar jaringan tubuh dan cairan tubuh, termasuk eritrosit, ginjal, paru dan saliva. Dimetabolisme secara parsial di hati, kira- kira 50% obat utuh, 8- 15 % obat diekskresi melalui urin 24 jam dan 20 % ditemukan dalam feses. Pada beberapa penelitian di India, didapatkan resistensi etambutol dan bersamaan dengan resistensi INH (1μg/ml). Diperkirakan adanya tingkat hubungan yang tinggi antara resistensi etambutol dan INH pada 4 dan 6 μg/ml berturut-turut.

Efek samping yang dapat timbul berupa neuritis optik terutama pada pemakaian dosis tinggi yang berkisar antara 30- 75 mg/kg/hari. Beberapa penelitian memperlihatkan pengurangan dosis antara 15- 25 mg/kg, efek toksisitas pada mata dapat dieliminir.27,28,29,30,32,34,35

2.7.5 Kombinasi Dosis Tetap ( KDT)

Di Indonesia OAT KDT pertama kali digunakan pada tahun 1999 di Sulawesi Selatan dengan hasil yang cukup memuaskan. Dari 172 penderita yang diobati dengan KDT di 16 puskesmas, tidak ada yang menolak dengan pengobatan KDT dan hanya 10 % dengan efek samping ringan tanpa harus menghentikan pengobatan dan hanya 0,6% yang mendapat efek samping berat 9

OAT KDT adalah tablet yang berisi kombinasi beberapa jenis obat anti TB dengan dosis tetap. Jenis tablet KDT untuk dewasa : 5,9


(49)

• Tablet yang mengandung 4 macam obat dikenal sebagai 4 KDT. Setiap tablet mengandung: 75 mg INH, 150 mg Rifampisin, 400 mg Pyrazinamid, 275 mg Etambutol. Tablet ini digunakan setiap hari untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif dan untuk sisipan. Jumlah tablet yang digunakan sesuai dengan berat badan penderita.

• Tablet yang mengandung 2 macam obat dikenal sebagai 2 KDT. Sertiap tablet mengandung 150 mg INH dan 150 mg Rifampisin. Tablet ini digunakan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu dalam tahap lanjutan. Jumlah tablet yang digunakan sesuai dengan berat badan penderita.


(50)

Dasar perhitungan pemberian OAT KDT adalah : • Dosis sesuai dengan berat badan penderita

• Lama dan jumlah dosis pemberian pada Kategori I adalah : Tahap intensif adalah: 2 bulan x 4 minggux7 hari = 56 dosis. Tahap lanjutan 4 bulan x 4 minggu x 3 kali = 48 dosis.

Tabel 2.7.5 Paduan OAT Kategori I ( KDT) 5,9

Fase Lanjutan Fase Inisial 2 bulan

4 bulan atau 6 bulan Setiap Hr Atau

setiap Hr

Atau 3 x Seminggu

Setiap Hr

Atau 3 x Seminggu Setiap Hr BB Pasien (Kg) RHZE 150/75 400/275 RHZ 150/75 400 RHZ 150/75 400 RH 150/75 RHZ 150/150 RHZ 400/150

30 – 39 2 2 2 2 2 1.5

40 – 54 3 3 3 3 3 2

55 – 70 4 4 4 4 4 3

71- lebih 5 5 5 5 5 3

Kombinasi 4 komponen aktif OAT atau KDT akan mampu mengurangi resistensi kuman TB terhadap obat TB karena penderita kecil kemungkinannya untuk memilih salah satu dari obat TB yang akan diminum. 8


(51)

Menurut WHO, ada beberapa hal yang dipertimbangkan mengapa sebaiknya menggunakan KDT, oleh karena FDC sangat berperan terhadap pengembangan dari DOTS melalui beberapa jalan:

1. Pasien tidak berlebihan atau kurang dalam meminum dosis obat, ini berperan dalam hal mencegah terjadinya Multi Drug Resistant TB.

2. Ke- empat jenis obat terdapat dalam KDT, sehingga menurunkan resiko kegagalan pengobatan dan kekambuhan.

3. Pasien merasa nyaman karena tablet yang dikonsumsi jumlahnya tidak terlalu banyak.

4. Petugas DOTS mudah untuk mendistribusikan kepada pasien dan menghitung obat yang akan diberikan ke pasien lebih cepat, sehingga waktu yang dipakai lebih efisien serta mengurangi kesalahan dalam administrasi di DOTS.

5. Penyimpanan obat di gudang lebih efisien.

6. Lebih mudah untuk menambahkan dosis berdasarkan berat badan.6

Efek samping dapat timbul pada penggunaan tablet KDT, apabila efek samping timbul, maka tablet FDC harus dirubah dalam bentuk OAT yang terpisah.Reaksi efek samping biasanya terjadi hanya pada 3 – 6 % pasien – pasien dalam pengobatan TB. Reaksi efek samping lebih sering terjadi pada pasien dengan ko- infeksi dengan HIV ( khususnya


(52)

Thioacetazone), bagaimanapun KDT tidak dikontra indikasikan absolut pada pasien- pasien ini. 6

KDT dapat digunakan pada beberapa kondisi khusus, misalnya pada gagal ginjal, dosis rifampisin, INH dan Pirazinamid dapat digunakan dosis normal. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal dosis etambutol harus dikurangi, oleh karena ekskresi primer dari obat tersebut adalah melalui ginjal.6

Tabel 2.7.6. Tabel Pengobatan Essensial KDT Dari WHO 6 ( Revisi April 2002)

Obat Dosis Dari Jumlah pemakaian perhari Jumlah Penggunaa n intermitent 3 kali perminggu Rifampisin + INH (RH) tablet 150 mg+75 mg

300 mg+150 mg

150 mg + 150 mg Etambutol + Isoniazid (EH) Table

t

400mg+150mg - Isoniazid + Thioacetazone*(HT) Table

t

100mg + 50 mg 300 mg + 150

mg - - Rifampisin+Isoniazid+Pyrazinami d (RHZ) Table t 150mg+75mg + 400 mg 150 mg+150 mg+500mg Rifampisin +isoniazid +

Pyrazinamid+ Etambutol (RHZE)

Table t

150mg+ 75 mg+ 400mg+

275 mg

* Meskipun pada beberapa program, WHO tidak merekomendasikan penggunaan Thioacetazone (T) karena resiko toksisitas yang luas, terutama pada pasien yang disertai dengan infeksi HIV. Penggunaan Thioacetazone dapat digantikan dengan etambutol.


(53)

dengan metode peningkatan suhu 30,40,700C. Kadar INH yang dalam campuran INH + Etambutol tidak ada perubahan atau stabil dengan pengamatan 7 hari. Kadar Pyrazinamid yang diperoleh kembali dalam campuran Pyrazinamid + INH dan campuran Pyrazinamid + Ethambutol tidak ada perubahann atau stabil. Tetapi pada suhu 700C dengan pengamatan selam 14 hari terjadi penurunan kadar INH dalam campuran dengan Ethambutol. Bila ketiga macam obat anti Tuberkulosis yaitu: INH, Pyrazinamiddan ethambutol dicampurkan, tidak akan terjadi reaksi interaksi sehingga tidak mengurangi potensi pengobatan terhadap kuman TB. Sedangkan Rifampisin memiliki sifat yang labil, dari 6 sampel darah periode 8 jam dibandingkan dengan 13 sampel darah periode 24 jam pada uji coba bioavailabilitas Rifampisin yang ada dalam tablet Kombinasi Dosis Tetap (KDT) menunjukkan sedikit kehilangan ptensi terapinya dan saat ini masih dilakukan penelitian tentang bioavailabilitas Rifampisin dalam dalam tablet KDT.8


(54)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Penyakit Paru di RSUP H.Adam Malik Medan. Dilakukan selama 6 bulan (Januari 2007 - Juni 2007 ).

3.2 BAHAN DAN ALAT

Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini;

a. Paket KDT yang terdiri dari : 75 mg INH, 150 mg Rifampisin, 400 mg Pyrazinamid, 275 mg Etambutol ( dalam 1 tablet )

b. OAT generik (standarisasi pemerintah). c. Pemeriksaan radiologi foto toraks. d. Pemeriksaan sputum BTA 3 x DS.

3.3 RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol, paralel, tersamar tunggal.

3.4. SUBJEK PENELITIAN 3.4.1 Populasi

Semua penderita TB paru kategori I menurut WHO dengan sputum BTA (+).


(55)

3.4.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi terpilih yang memenuhi syarat penelitian.

3.5. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI a. Kriteria Inklusi :

1) Pasien TB paru kasus baru

2) Pasien dengan BTA sputum positif. 3) Umur antara 15 tahun sampai 65 tahun. 4) Tidak ada riwayat klinis gangguan hati dan DM

5) Pasien kooperatif dan bersedia untuk mengikuti penelitian dengan benar.

b. Kriteria Eksklusi :

1) Pasien dengan riwayat pemakaian OAT sebelumnya lebih dari 1 bulan

2) Pasien wanita hamil.

3) Pasien yang tidak patuh pada pengobatan

3.6 BESAR SAMPEL

Diambil secara kuota sebanyak 70 orang. Dibagi dalam 2 kelompok, masing –masing 35 orang dengan pengobatan KDT dan 35 orang lainnya dengan pengobatan OAT Generik.


(56)

3.7 PELAKSANAAN PENELITIAN

Dari semua pasien (70 orang) yang mengikuti penelitian dan memenuhi kriteria, tidak ada pasien yang drop out. Kemudian diambil data dasarnya. Data dasar berupa: nama, umur, jenis kelamin, gejala klinis, BTA sputum. Pasien yang memenuhi kriteria kemudian dilakukan foto toraks dan pemeriksaan sputum.

Pasien yang memenuhi kriteria kemudian dikelompokkan secara randomisasi sederhana untuk menentukan penempatan kelompok / grup penelitian. Kelompok I (35 orang) mendapatkan KDT sedangkan kelompok II

(35 orang) mendapatkan OAT generik dan pemberian dosis sesuai dengan berat badan pasien. Dilakukan pemeriksaan sputum BTA pasien dan perubahan sputum pasien dilihat pada minggu 4 dan minggu ke 8. Efek samping obat dilihat selama pengobatan.

3.8 KERANGKA KONSEP

Obat KDT

Konversi sputum BTA 3 x DS (setelah 8

i )

TB paru Kat. I - Sputum BTA + 3 x DS (awal Obat Generik


(57)

3.9. DEFINISI OPERASIONAL:

Kriteria pasien TB paru yang dimasukkan ke dalam penelitian :

1.TB paru (Kasus baru), BTA positif dengan foto toraks yang menggambarkan TB paru.

2. Pasien rawat jalan dan tidak disertai pemakaian antibiotika jenis lain.

3.10. VARIABEL PENELITIAN a. Variabel bebas :

• KDT : 75 mg INH, 150 mg Rifampisin, 400 mg, Pyrazinamid, 275 mg

Etambutol (dalam 1 kemasan tablet)

• OAT Generik (Rifampisin, INH, Etambutol, Pirazinamid dalam bentuk

terpisah)

b.Variabel tergantung : Sputum BTA

3.11. ANALISIS DATA 3.11.1. Sumber Data

Data diperoleh secara langsung melalui anamnesis, pemeriksaan fisis diagnostik, pemeriksaan sputum BTA dan foto toraks. Sebelum pemeriksaan dilaksanakan terlebih dahulu diminta inform consent secara tertulis dari responden.


(58)

3.11.2. Metode Pengambilan Data

Pasien- pasien dilakukan sputum BTA 3x DS dan foto toraks. Sampel yang diambil adalah dengan pemeriksaan sputum BTA positif dan foto toraks yang menunjukkan kelainan TB. Dilakukan pemberian KDT pada kelompok I dan OAT Generik pada kelompok II. Selama pemberian obat, pasien dimonitoring, meliputi berkurangnya keluhan utama, efek samping pengobatan, konversi sputum BTA pada minggu ke 4 dan minggu ke 8.

3.11.3. Pengolahan Data

Analisis data hasil penelitian ini diformulasikan dengan menempuh langkah – langkah berikut:

A. Editing : untuk mengevaluasi kelengkapan, konsistensi, dan kesesuaian

antara kriteria data yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.

B. Coding : untuk mengkuantifikasi data kualitatif atau membedakan

aneka karakter. Pemberian kode ini sangat diperlukan terutama dalam rangka pengolahan data. baik secara manual maupun dengan menggunakan komputer.

C.Entry : data yang telah terkumpul dan tersusun secara tepat sesuai

dengan

variabel penelitian kemudian dimasukan kedalam program komputer untuk diolah.


(59)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian

Dari penelitian yang dilakukan terhadap 70 orang penderita TB di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria, kemudian 70 orang penderita TB dibagi 2 kelompok, yaitu kelompok yang mendapatkan pengobatan TB dengan OAT jenis KDT sebanyak 35 orang dan yang mendapatkan OAT Generik sebanyak 35 orang. Pasien di evaluasi pada minggu ke 4 dan minggu ke 8, meliputi BTA sputum dengan pewarnaan Ziehl Nielsen, berkurangnya keluhan utama dan efek samping. Hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan uji Chi - Square (X2).

Karakteristik Responden

Tabel 4.1.1 Karakteristik Demografi Responden

KDT I OAT GENERIK

n % n %

p

Umur

< 20 tahun 21-30 tahun 31- 40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun > 60 tahun Total 12 13 3 5 2 0 35 34 37 9 14 6 0 100 12 7 8 3 5 0 35 34 20 23 9 14 0 100 .210 Sex Laki-laki Perempuan Total 22 13 35 63 46 100 20 15 35 57 43 100 .626


(60)

KDT I OAT GENERIK

n % n %

p Pendidikan SD SMP SMA D3 SI Total 3 10 13 8 1 35 9 29 37 23 3 100 4 3 14 10 4 35 11 9 40 29 11 100 .201 Pekerjaan Pelajar Petani Buruh PNS Lain-Lain Total 10 3 4 4 14 35 29 9 11 11 40 100 10 1 4 5 15 35 29 3 11 14 43 100 .887

Chi – Square (X2)

Pada tabel 4.1.1 karakteristik responden adalah sebagai berikut, umur

responden adalah 15 – 65 tahun. Umur terbanyak responden adalah 15- 40 tahun yaitu 13 orang ( 37%) pada kelompok KDT dan 12 orang (34%) pada kelompok OAT Generik.

Jenis kelamin terbanyak responden adalah laki-laki, 22 orang (63%) pada kelompok KDT dan 22 (57%) pada kelompok OAT Generik.

Status pendidikan terbanyak adalah SMA, 13 orang (37%) pada kelompok KDT dan 14 orang (40%) pada kelompok OAT Generik. Status pekerjaan terbanyak adalah lain – lain sebanyak 14 orang (40%) pada kelompok KDT dan 15 orang (43%) pada kelompok OAT Generik.

Tidak ada perbedaan bermakna demografi responden, dari segi umur, jenis kelamin, pekerjaan dan pendidikan pada kedua kelompok (p > 0.05).


(61)

KDT I OAT GENERIK

n % n % p

Batuk Berdahak Batuk darah Sesak Nafas

Total

25 6 4 35

71 17 11 100

24 7 4 35

69 20 11 100

.952

Chi – Square (X2)

Pada tabel 4.1.2 karakteristik keluhan utama pasien adalah umumnya batuk berdahak yaitu 25 orang (71%) pada kelompok KDT dan 24 (69%) orang pada kelompok OAT Generik. Keluhan utama batuk darah sebanyak 6 orang (17 %) pada kelompok KDT dan 7 orang (20%) pada kelompok OAT Generik.

Sedangkan keluhan utama sesak nafas didapat sebanyak 4 orang (11%) pada kedua kelompok.Tidak ada perbedaan bermakna pada karakteristik keluhan utama pada kedua kelompok (p >0.05)


(62)

Tabel 4.1.3 Karakteristik BTA Sputum

KDT I OAT GENERIK

n % n % p

+ 1 + 2 +3 Total 9 3 23 35 26 9 66 100 11 1 23 35 31 3 66 100 .549

Chi – Square (X2)

Pada tabel 4.1.3 karakteristik BTA sputum umumnya +3 dimana 23

orang (66%) pada kedua kelompok.BTA sputum +1 ditemukan 9 orang (26%) pada kelompok KDT dan 11 orang (31%) pada kelompok Generik. Tidak ada perbedaan bermakna pada karakteristik keluhan utama pada kedua kelompok, X2 = 1.200 , p = 0,549 (p >0.05)

Tabel 4.1.4 Karakteristik Konversi BTA sputum

KDT I OAT GENERIK

n % n % p

BTA sputum awal

• +1

• +2

• +3

• Total BTA sputum MG 4

• Tidak ada dahak • Konversi negatif • Konversi positif • Total

BTA sputum MG 8 • Tidak ada dahak • Konversi negatif • Konversi positf • Total

9 3 23 35 2 9 24 35 1 3 31 35 26 9 66 100 6 26 69 100 3 9 87 100 11 1 23 35 1 10 24 35 1 3 31 35 31 3 66 100 3 29 69 100 3 9 87 100 .549 .824 1.000

Chi – Square (X2)

Pada Tabel 4.1.4 karakteristik konversi BTA sputum pada minggu ke 4 antara kedua kelompok adalah sama sejumlah 24 orang (69%). Pada


(63)

beberapa orang responden tidak ada dahak pada minggu ke 4 sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan sputum,sebanyak 2 orang (6%) pada kelompok KDT dan 1 orang (3%) pada kelompok OAT generik. Sedangkan pada beberapa orang responden yang tidak mengalami konversi,sebanyak 9 orang (26%) pada kelompok KDT dan 10 orang (29%) pada kelompok OAT Generik.

Pada pemeriksaan BTA sputum minggu ke 8, responden yang mengalami konversi sama pada kedua kelompok sebanyak 31 orang (87%), sedangkan responden yang tidak ada dahak sebanyak 1 orang (3%) pada kedua kelompok, sedangkan responden yang tidak mengalami konversi sebanyak 3 orang (9%). Tidak ada perbedaan bermakna pada karakteristik konversi BTA sputum pada kedua kelompok (p >0.05)

Tabel 4.1.5 Gambaran Radiologi

KDT I OAT

GENERIK

n % n %

p

• Minimal • Sedang

• Luas 6 13 16 17 37 46 4 11 20 11 31 57 .603

Total 35 100 35 100

Chi – Square (X2)

Pada tabel 4.1.5. karakteristik gambaran radiologis responden dengan kelainan umumnya dengan lesi yang luas sebanyak 16 orang (46%) pada kelompok KDT dan 20 orang (57%) pada kelompok OAT Generik.Sedangkan dengan lesi yang sedang sebanyak 13 orang (37%) pada kelompok KDT dan 11 orang (31%) pada kelompok OAT Generik.


(64)

Tidak ada perbedaan bermakna pada karakteristik radiologis kedua kelompok, X2 = 1,011 ,p = 0,603 (p >0.05)

Tabel 4.1.6 Karakteristik Perbaikan Keluhan Utama

KDT I OAT

GENERIK

n % n %

p

• Ada Perbaikan

• Tidak ada Perbaikan

• Total 32 3 35 91 9 100 32 3 35 91 9 100 1.000

Chi – Square (X2)

Pada Tabel 4.1.6 Karakteristik perbaikan keluhan utama sebanyak 32 orang (91%) pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan bermakna pada karakteristik perbaikan keluhan utama pada kedua kelompok (p >0.05)

4.2 Pembahasan

Dari hasil penelitian terhadap 70 orang penderita TB kategori I dengan BTA positif, usia antara 15 – 65 tahun, umur terbanyak responden adalah 15- 40 tahun yaitu 13 orang ( 37%) pada kelompok KDT dan 12 orang (34%) pada kelompok OAT Generik.

Retno Gitawati, melaporkan pada 10 puskesmas yang ada di wilayah DKI Jakarta dari tahun 1996-1999 mendapatkan jumlah responden terbanyak adalah dari usia 13 – 40 tahun , Khariroh di RS Sutomo Surabaya juga mendapatkan 75 % TB paru pada usia 15 – 49


(65)

strategic Plan To Stop TB ( WHO 2006), hanya saja pada data WHO

menyatakan secara perlahan usia penderita TB juga mulai meningkat pada umur 55 -64 tahun.14,36,37

Jenis kelamin terbanyak responden adalah pria, 22 orang ( 63 %) pada kelompok KDT dan 22 ( 57%) pada kelompok OAT Generik. Long NH, melaporkan prevalensi TB paru di negara berkembang duapertiga pada laki-laki dan sepertiga pada perempuan. Retno Gitawati, juga mendapatkan responden laki- laki juga lebih banyak dari perempuan, sedangkan data dari WHO (2006) mengatakan bahwa kasus dengan BTA sputum yang positif sedikit lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki(1,2 : 1,3).14,36,38

Status pendidikan terbanyak adalah SMA, 13 orang (37%) pada kelompok KDT dan 14 orang (40%) pada kelompok OAT Generik. Status pendidikan juga menentukan keberhasilan konversi, Retno Gitawati di 10 puskesmas di DKI Jakarta mendapatkan kasus drop out yang tinggi pada responden dengan pendidikan SD – SMP (14 %).36

Status pekerjaan terbanyak adalah lain – lain sebanyak 14 orang (40%) pada kelompok KDT dan 15 orang (43%) pada kelompok OAT generik. Lain – lain termasuk didalamnya : mocok- mocok, pengangguran, ibu rumah tangga. Sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Khairoh di RS Sutomo Surabaya. Tingkat keberhasilan biasanya rendah pada kelompok ini oleh karena faktor ekonomi yang turut berperan terhadap


(66)

kepatuhan berobat.Retno, 41,7% responden di 10 puskesmas di DKI jakarta adalah : tidak kerja dan PHK.36,37

Karakteristik keluhan utama pasien adalah umumnya batuk berdahak yaitu 25 orang (71%) pada kelompok KDT dan 24 (69%) orang pada kelompok OAT Generik. Pardosi, Litbang Depkes menyatakan bahwa 58% responden mengetahui gejala utama TB.15

Salah satu komponen dalam keberhasilan DOTS adalah mengenai OAT, Pengobatan TB tanpa didukung oleh kualitas dan persediaan OAT yang baik akan menyebabkan kegagalan pengobatan dan terjadinya Multi

Drug Resistent.39

Karakteristik konversi BTA sputum pada minggu ke 4 antara kedua kelompok adalah sama sejumlah 24 orang (69%). Tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Di minggu ke 4 beberapa orang responden yang tidak mengalami konversi, sebanyak 9 orang (26%) pada kelompok KDT dan 10 orang (29%) pada kelompok OAT Generik. Pada pemeriksaan BTA sputum minggu ke 8, responden yang mengalami konversi sama pada kedua kelompok sebanyak 31 orang ( 87%), sedangkan responden yang tidak ada dahak sebanyak 1 orang (3%) pada kedua kelompok. Sembilan orang (26 %) responden pada kelompok KDT yang tidak mengalami konversi BTA sputum pada minggu ke 4 mengalami konversi BTA sputum pada minggu ke 8 sebanyak 6 orang (17%). Sedangkan pada kelompok OAT generik yang mengalami konversi sputum BTA pada minggu ke 8 ( minggu ke 4 belum konversi) sebanyak 7


(67)

orang (20%).Sedangkan responden yang tidak mengalami konversi BTA sputum sampai minggu ke 8, masing- masing 3 orang (9%) pada kedua kelompok KDT. Responden yang tidak mengalami konversi BTA sputum terdiri dari pasien dengan keadaan gizi yang buruk, ketidak teraturan berobat dan merasa sudah sembuh.

Khariroh di RS Sutomo, Surabaya mendapatkan bahwa pada fase intensif terjadi kegagalan konversi BTA sputum (p<0.05) terutama dengan pasien gizi buruk ( BMI: 17 -18,5) 37

Efek samping hanya terdapat pada satu orang (3%) responden yang menggunakan KDT, efek samping berupa mual, pening, gatal- gatal pada kulit. tetapi efek samping masih dapat ditoleransi, sehingga pengobatan tetap diteruskan. Karakteristik gambaran radiologis responden dengan kelainan umumnya dengan lesi yang luas sebanyak 16 orang (46%) pada kelompok KDT dan 20 orang (57%) pada kelompok OAT Generik. Yun Amril, di BP4 Surakarta mendapatkan gambaran radiologis yang luas (86,1%).40

KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan terhadap penggunaan OAT jenis KDT dan OAT Generik pada pasien - pasien TB paru, tidak dijumpai perbedaan dalam hal konversi sputum (p > 0.05).


(68)

SARAN

Pemakaian OAT jenis KDT sebaiknya digunakan pada pasien – pasien dengan tingkat kedisiplinan berobat yang rendah.


(69)

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, 2006

2. Aditama TY, Pengobatan. Tuberkulosis Diagnosis,Terapi dan Masalahnya. FKUI. Jakarta. 2002 :26 – 44.

3. Aditama TY, Soepandi PZ, Syafrizal, Yusuf A. Penilaian Keberhasilan Directly Observed Therapy (DOTS) pada pengobatan TB Paru di RS Persahabatan. J Respir Indo . 2004: 24 : 65 – 70.

4. WHO, Operational Guide For National Tuberculosis Control Programmes On The Introduction And Use Of Fixed Dose combination Drugs,Geneva 2002

5. WHO, Fixed- Dose Combination Tablets For The Treatment Of Tuberculosis, Report Of an Informal Meeting Held In Geneva, Geneva, 1999.

6. Departement Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta.2002

7. Mc llleron H, Wash P, Burger A, Norman J, Folb PI, Smith P. Determinants of Rifampin, Isoniazid, Pyrazinamide and Ethambutol pharmacokinetics. Cohort of Tuberculosis Patients. Antimicrob Agents and Chemother J 2006 :50 : 1170 – 1177.

8. Chuluq AC, Abijoso, Sidharta B. Pengembangan paket obat SOT (Sediaan Obat Tunggal) untuk pengobatan tuberkulosis. Bul.Penel.Kesehatan 2004:32: 127 – 134.

9. Departemen Kesehatan RI.Petunjuk Penggunaan Obat KDT Untuk Pengobatan Tuberkulosis Di Unit Pelayanan Kesehatan, Jakarta, 2004.

10. National Tuberculosis and Lung Diseases Research Institute, TB Manual National Tuberculocis Programme Guidelines, Warsaw, 2001.

11. WHO, Treatment Of Tuberculosis : Guidelines For National Programmes, Geneva, 2002.

12. Budiart LY. Mikrobiologi Tuberkulosis. In : Isa M, Soefyani A, Juwono, Budiart LY eds . Tuberkulosis Tinjauan Multidisipliner. Banjarmasin.2001: 40 -50.


(70)

13. Lulu M, Helmia.Tuberkulosis Paru, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya.2004 :10 – 35.

14. WHO, Indonesian Strategic Plan To Stop TB 20062010. 2006 :2 -11.

15. Pardosi JF. Tuberkulosis di Indonesia. Litbang DEPKES.2001

16. WHO, Indicators For Monitoring National Drug Policies. Geneva.1999:19 -20.

17. Fishman JA. Mycobacterial infections. In : Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM eds. Fishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. MC Graw Hill,Philadelphia.2002; 763 – 799.

18. Glassroth J. Tuberculosis. In : Niederman MS, Sarosi GA, Glassroth J eds. Respiratory Infections. Lippincott.Philadelphia.2001 : 475 – 486.

19. Iseman MD,. Tuberculosis chemotherapy, including directly observed therapy . In : Iseman MD, Girard, Beno M. A eds.Clinician’s Guide to Tuberculosis, Lippincott. Philadelphia 2000 : 271- 395. 20. Leitch G, Pulmonary Tuberculosis Clinical Features. In: Seaton A,

Seaton D, Leitch G,eds. Crofton and Doughlas’s Respiratory Diseases, Blackwell Science Ltd, 2000 : 395 -422.

21. Hopewell PC, Tuberculosis and other mycobacterial diseases In : Mason RJ, Broaddus C, Murray, Nadel JA, eds. Textbook of Respiratory Medicine. Elsivier, Philadelphia. 2005 : 979 – 1002.

22. Vernon AA. Rifamycin antibiotics, with a focus on newer agents. In : Rom W, Garray SM eds, Tuberculosis. Lippincott.2004 : 759 – 771. 23. Seaton D, The Treatment Of Tuberculosis. In: Seaton A, Seaton D,

Leitch G,eds. Crofton and Doughlas’s Respiratory Diseases, Blackwell Science Ltd, 2000 : 423 – 435.

24. Pai MP, Schriever CA, Pendlan SL. Antimicrobial Agents, in Rau JL ed. Respiratory Care Pharmacology. Mosby. USA. 2002 : 763 – 799.

25. Tom CM, Chan SL, Lam CW et al. Rifapentine and isoniazid in the continuation phase of treating pulmonary tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 1988 :157: 1726 – 1733.


(71)

26. WHO. Rifampicin Tablets Text for Addition to The International Pharmacopoeia. 2006.

27. Zhang Y, Isoniazid. In : Rom W, Garay SM, eds. Tuberculosis. Philadelphia. Lippincott ,2004: 739 – 756.

28. Burman WJ,. Pharmacokinetics consideration and drug . Drug interactions in tuberculosis treatment . In : Rom W, Garay SM, eds. Tuberculosis. Lippincott. 2004 : 809 -822.

29. Yasmina A. Farmakologi obat – obat tuberculosis. In : Isa M, Soefyani A, Juwono, Budiart LY, eds. Tuberkulosis Tinjauan Multidisipliner. Banjarmasin.2001: 250 – 264

30. Fourie B, Mwinga A. Prospect for New Tuberculosis Treatment In Africa, Jur Tropical medicine and International Health,2004:9; 827- 830

31. Chan ED, Iseman MD, Heifets LB. Pyrazinamide, ethambutol, ethionamide, and aminoglycosides In : Rom W, Garay SM, eds. Tuberculosis, Philadelphia. Lippincott, 2004: 773 – 788.

32. WHO. Rifampicin Tablets Text for Addition to The International Pharmacopoeia. 2006.

33. Conte JE, Golden JA, Duncan S, Mckenna E, Zurlindon E. Intrapulmonary concentrations of pyrazinamide. Antimicrob Agents and Chemother J 1999 43 : 1329 – 1333.

34. WHO, Ethambutol Efficacy and Toxicity .Geneva. 2006 : 1 – 4.

35. Gupta P, Jadaun GPS, DasRam et al. Simultaneous ethambutol and isoniazid resistant in clinical isolates of mycobacterium tuberculosis. Indian J Med Res 2006 : 125 -130.

36. Gitawati R, Sukasediati N, Studi Kasus Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru di 10 Puskesmas di DKI jakarta 1996-1999, dalam Cermin Dunia Kedokteran,2002:137:17 -21

37. Khariroh,Syamilatul.Faktor Resiko Gagal Konversi BTA Sputum Penderita TB Paru Setelah Program Pengobatan DOTS Fase Intensif Di RSU DR. Sutomo dan BP4 Karang Tembok Surabaya, Jurnal Airlangga,Surabaya,2004

38. Long NH,Gender Specific Epidemiology Of Tuberculosis in Vietnam,2000. available from http://diss.kib.ki.se/2000/91-628-4057-6/.


(72)

39. Tabrani Z. Keberhasilan DOTS ( Directly Observed Therapy ). J Respir Indo 2003: 23 : 64 – 66

40. Yun Amril,Eddy S, Suradi. Keberhasilan Directly Observed Therapy (DOT) pada pengobatan TB Paru Kasus Baru di BP4 Surakarta, J Respir Indo ,2003:23:67 – 73.


(1)

orang (20%).Sedangkan responden yang tidak mengalami konversi BTA sputum sampai minggu ke 8, masing- masing 3 orang (9%) pada kedua kelompok KDT. Responden yang tidak mengalami konversi BTA sputum terdiri dari pasien dengan keadaan gizi yang buruk, ketidak teraturan berobat dan merasa sudah sembuh.

Khariroh di RS Sutomo, Surabaya mendapatkan bahwa pada fase intensif terjadi kegagalan konversi BTA sputum (p<0.05) terutama dengan pasien gizi buruk ( BMI: 17 -18,5) 37

Efek samping hanya terdapat pada satu orang (3%) responden yang menggunakan KDT, efek samping berupa mual, pening, gatal- gatal pada kulit. tetapi efek samping masih dapat ditoleransi, sehingga pengobatan tetap diteruskan. Karakteristik gambaran radiologis responden dengan kelainan umumnya dengan lesi yang luas sebanyak 16 orang (46%) pada kelompok KDT dan 20 orang (57%) pada kelompok OAT Generik. Yun Amril, di BP4 Surakarta mendapatkan gambaran radiologis yang luas (86,1%).40

KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan terhadap penggunaan OAT jenis KDT dan OAT Generik pada pasien - pasien TB paru, tidak dijumpai perbedaan dalam hal konversi sputum (p > 0.05).


(2)

SARAN

Pemakaian OAT jenis KDT sebaiknya digunakan pada pasien – pasien dengan tingkat kedisiplinan berobat yang rendah.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, 2006

2. Aditama TY, Pengobatan. Tuberkulosis Diagnosis,Terapi dan Masalahnya. FKUI. Jakarta. 2002 :26 – 44.

3. Aditama TY, Soepandi PZ, Syafrizal, Yusuf A. Penilaian Keberhasilan Directly Observed Therapy (DOTS) pada pengobatan TB Paru di RS Persahabatan. J Respir Indo . 2004: 24 : 65 – 70.

4. WHO, Operational Guide For National Tuberculosis Control Programmes On The Introduction And Use Of Fixed Dose combination Drugs,Geneva 2002

5. WHO, Fixed- Dose Combination Tablets For The Treatment Of Tuberculosis, Report Of an Informal Meeting Held In Geneva, Geneva, 1999.

6. Departement Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta.2002

7. Mc llleron H, Wash P, Burger A, Norman J, Folb PI, Smith P. Determinants of Rifampin, Isoniazid, Pyrazinamide and Ethambutol pharmacokinetics. Cohort of Tuberculosis Patients. Antimicrob Agents and Chemother J 2006 :50 : 1170 – 1177.

8. Chuluq AC, Abijoso, Sidharta B. Pengembangan paket obat SOT (Sediaan Obat Tunggal) untuk pengobatan tuberkulosis. Bul.Penel.Kesehatan 2004:32: 127 – 134.

9. Departemen Kesehatan RI.Petunjuk Penggunaan Obat KDT Untuk Pengobatan Tuberkulosis Di Unit Pelayanan Kesehatan, Jakarta, 2004.

10. National Tuberculosis and Lung Diseases Research Institute, TB Manual National Tuberculocis Programme Guidelines, Warsaw, 2001.

11. WHO, Treatment Of Tuberculosis : Guidelines For National Programmes, Geneva, 2002.

12. Budiart LY. Mikrobiologi Tuberkulosis. In : Isa M, Soefyani A, Juwono, Budiart LY eds . Tuberkulosis Tinjauan Multidisipliner. Banjarmasin.2001: 40 -50.


(4)

13. Lulu M, Helmia.Tuberkulosis Paru, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya.2004 :10 – 35.

14. WHO, Indonesian Strategic Plan To Stop TB 20062010. 2006 :2 -11.

15. Pardosi JF. Tuberkulosis di Indonesia. Litbang DEPKES.2001

16. WHO, Indicators For Monitoring National Drug Policies. Geneva.1999:19 -20.

17. Fishman JA. Mycobacterial infections. In : Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM eds. Fishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. MC Graw Hill,Philadelphia.2002; 763 – 799.

18. Glassroth J. Tuberculosis. In : Niederman MS, Sarosi GA, Glassroth J eds. Respiratory Infections. Lippincott.Philadelphia.2001 : 475 – 486.

19. Iseman MD,. Tuberculosis chemotherapy, including directly observed therapy . In : Iseman MD, Girard, Beno M. A eds.Clinician’s Guide to Tuberculosis, Lippincott. Philadelphia 2000 : 271- 395. 20. Leitch G, Pulmonary Tuberculosis Clinical Features. In: Seaton A,

Seaton D, Leitch G,eds. Crofton and Doughlas’s Respiratory Diseases, Blackwell Science Ltd, 2000 : 395 -422.

21. Hopewell PC, Tuberculosis and other mycobacterial diseases In : Mason RJ, Broaddus C, Murray, Nadel JA, eds. Textbook of Respiratory Medicine. Elsivier, Philadelphia. 2005 : 979 – 1002.

22. Vernon AA. Rifamycin antibiotics, with a focus on newer agents. In : Rom W, Garray SM eds, Tuberculosis. Lippincott.2004 : 759 – 771. 23. Seaton D, The Treatment Of Tuberculosis. In: Seaton A, Seaton D,

Leitch G,eds. Crofton and Doughlas’s Respiratory Diseases, Blackwell Science Ltd, 2000 : 423 – 435.

24. Pai MP, Schriever CA, Pendlan SL. Antimicrobial Agents, in Rau JL ed. Respiratory Care Pharmacology. Mosby. USA. 2002 : 763 – 799.

25. Tom CM, Chan SL, Lam CW et al. Rifapentine and isoniazid in the continuation phase of treating pulmonary tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 1988 :157: 1726 – 1733.


(5)

26. WHO. Rifampicin Tablets Text for Addition to The International Pharmacopoeia. 2006.

27. Zhang Y, Isoniazid. In : Rom W, Garay SM, eds. Tuberculosis. Philadelphia. Lippincott ,2004: 739 – 756.

28. Burman WJ,. Pharmacokinetics consideration and drug . Drug interactions in tuberculosis treatment . In : Rom W, Garay SM, eds. Tuberculosis. Lippincott. 2004 : 809 -822.

29. Yasmina A. Farmakologi obat – obat tuberculosis. In : Isa M, Soefyani A, Juwono, Budiart LY, eds. Tuberkulosis Tinjauan Multidisipliner. Banjarmasin.2001: 250 – 264

30. Fourie B, Mwinga A. Prospect for New Tuberculosis Treatment In Africa, Jur Tropical medicine and International Health,2004:9; 827- 830

31. Chan ED, Iseman MD, Heifets LB. Pyrazinamide, ethambutol, ethionamide, and aminoglycosides In : Rom W, Garay SM, eds. Tuberculosis, Philadelphia. Lippincott, 2004: 773 – 788.

32. WHO. Rifampicin Tablets Text for Addition to The International Pharmacopoeia. 2006.

33. Conte JE, Golden JA, Duncan S, Mckenna E, Zurlindon E. Intrapulmonary concentrations of pyrazinamide. Antimicrob Agents and Chemother J 1999 43 : 1329 – 1333.

34. WHO, Ethambutol Efficacy and Toxicity .Geneva. 2006 : 1 – 4.

35. Gupta P, Jadaun GPS, DasRam et al. Simultaneous ethambutol and isoniazid resistant in clinical isolates of mycobacterium tuberculosis. Indian J Med Res 2006 : 125 -130.

36. Gitawati R, Sukasediati N, Studi Kasus Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru di 10 Puskesmas di DKI jakarta 1996-1999, dalam Cermin Dunia Kedokteran,2002:137:17 -21

37. Khariroh,Syamilatul.Faktor Resiko Gagal Konversi BTA Sputum Penderita TB Paru Setelah Program Pengobatan DOTS Fase Intensif Di RSU DR. Sutomo dan BP4 Karang Tembok Surabaya, Jurnal Airlangga,Surabaya,2004

38. Long NH,Gender Specific Epidemiology Of Tuberculosis in Vietnam,2000. available from http://diss.kib.ki.se/2000/91-628-4057-6/.


(6)

39. Tabrani Z. Keberhasilan DOTS ( Directly Observed Therapy ). J Respir Indo 2003: 23 : 64 – 66

40. Yun Amril,Eddy S, Suradi. Keberhasilan Directly Observed Therapy (DOT) pada pengobatan TB Paru Kasus Baru di BP4 Surakarta, J Respir Indo ,2003:23:67 – 73.


Dokumen yang terkait

Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Anak Tahun 2012 Di RSUP. Haji Adam Malik Medan

1 67 51

PERBEDAAN EFEK OBAT ANTI TUBERKULOSIS KOMBINASI DOSIS TETAP DIBANDING LEPASAN TERHADAP KONVERSI SPUTUM Perbedaan Efek Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap Dibanding Lepasan Terhadap Konversi Sputum Basil Tahan Asam Saat Akhir Fase Intensif Pada P

0 1 15

PENDAHULUAN Perbedaan Efek Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap Dibanding Lepasan Terhadap Konversi Sputum Basil Tahan Asam Saat Akhir Fase Intensif Pada Pasien Tuberkulosis Dewasa Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.

0 0 4

PERBEDAAN EFEK OBAT ANTI TUBERKULOSIS KOMBINASI DOSIS TETAP DIBANDING LEPASAN TERHADAP KONVERSI SPUTUM Perbedaan Efek Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap Dibanding Lepasan Terhadap Konversi Sputum Basil Tahan Asam Saat Akhir Fase Intensif Pada P

0 1 14

Pengaruh Pemberian Zink Terhadap Konversi Bta Pada Pasien Tb Paru Bta (+) Dengan Pengobatan Obat Anti Tuberkulosis Kategori I Di Kecamatan Delitua

0 0 20

Pengaruh Pemberian Zink Terhadap Konversi Bta Pada Pasien Tb Paru Bta (+) Dengan Pengobatan Obat Anti Tuberkulosis Kategori I Di Kecamatan Delitua

0 0 2

Pengaruh Pemberian Zink Terhadap Konversi Bta Pada Pasien Tb Paru Bta (+) Dengan Pengobatan Obat Anti Tuberkulosis Kategori I Di Kecamatan Delitua

0 0 5

Pengaruh Pemberian Zink Terhadap Konversi Bta Pada Pasien Tb Paru Bta (+) Dengan Pengobatan Obat Anti Tuberkulosis Kategori I Di Kecamatan Delitua

0 1 19

Pengaruh Pemberian Zink Terhadap Konversi Bta Pada Pasien Tb Paru Bta (+) Dengan Pengobatan Obat Anti Tuberkulosis Kategori I Di Kecamatan Delitua

0 0 5

Pengaruh Pemberian Zink Terhadap Konversi Bta Pada Pasien Tb Paru Bta (+) Dengan Pengobatan Obat Anti Tuberkulosis Kategori I Di Kecamatan Delitua

0 0 17