Alasan membangun repositori Internal Repository pada Perguruan Tinggi

Jonner Hasugian, Internal Repository pada Perguruan Tinggi – Oktober 2012 ‐ 3 pemanfaatan TIK adalah kunci utama dari keberhasilan perpustakaan untuk menyediakan pelayanan digital. Boleh dikatakan bahwa perpustakaan perguruan tinggi pada umumnya memiliki koleksi karya ilmiah berupa disertasi, tesis, skripsi, tugas akhir, danatau kertas karya yang dihasilkan oleh mahasiswa, dan karya ilmiah yang dihasilkan dosen berupa artikel ilmiah dan laporan penelitian. Koleksi ini sifatnya adalah un-published sehingga pemanfaatannya terbatas karena tidak dapat dipinjam ke luar dari perpustakaan dan jumlahnya hanya satu eksemplar per judul. Koleksi sejenis inilah yang sering disebut sebagai repositori pada perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia. Pengelolaan koleksi ini memunculkan berbagai masalah. Selain membutuhkan space ruangan yang luas, pemeliharaan terhadap koleksi ini juga memerlukan tenaga dan biaya yang besar. Digitalisasi terhadap koleksi ini menjadi salah satu solusi untuk meminimalkan masalah dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Digitalisasi terhadap dokumen ini akan menghasilkan dokumen elekronik yang dapat dipastikan akan menambah kuantitas dan kualitas sumberdaya informasi elektronik yang dimiliki oleh Perpustakaan. Digitaliasi terhadap koleksi inilah awal dari berdirinya repositori pada sejumlah perpustakaan perguruan tinggi.

2. Alasan membangun repositori

Terdapat berbagai alasan untuk membangung repositori. Pfister 2008 mengemukakan sedikitnya ada tiga alasan membangun respositori, pertama adalah peningkatan visibilitas dan dampak dari output penelitian. Para peneliti dan lembaga mendapatkan manfaat dari repositori dalam cara yang sama yaitu mengetahui kejelasan dan dampak dari hasil penelitian. Membangun dan mempertahankan reputasi dalam komunitas ilmiah sangat penting bagi kegiatan akademik dan insitusi dan hal itu dapat dicapai dengan repositori. Untuk mengukur dampak penelitian misalnya, metode bibliometrik seperti analisis sitiran terhadap jurnal akademik yang dikelola oleh suatu institusi sering digunakan untuk mengukur atau mengetahui tingkat penggunaan jurnal tersebut. Sehingga melalui repositori akan lebih mudah diukur seberapa sering sebuah jurnal digunakan, seberapa sering sebuah artikel dalam jurnal ilmiah dibaca atau di-download, seberapa sering suatu laporan penelitian dibaca atau di-download dan sebagainya. Kedua, yaitu berkaitan dengan perubahan dalam paradigma publikasi ilmiah. Munculnya gerakan untuk menyediakan akses gratis terhadap publikasi ilmiah. Content ilmiah dihasilkan dan dipublikasikan sendiri dan penyediaan akses gratis terhadap bahan-bahan tersebut adalah Jonner Hasugian, Internal Repository pada Perguruan Tinggi – Oktober 2012 ‐ 4 merupakan aktivitas utama dalam gerakan akses terbuka open access movement. Salah satu pernyataan dalam deklarasi Budapest Open Access Initiative 2001 dan Berlin Declaration on Open Access to Knowledge in the Sciences and Hunamities 2003 adalah memberi akses terbuka terhadap publikasi ilmiah yang dihasilkan oleh berbagai institusi pendidikan dan lembaga penelitian kepada masyarakat luas. Untuk mengapresiasi deklarasi ini, maka pendirian repositori merupakan jawaban yang tepat. Sebuah perguruan tinggi akan lebih leluasa memberikan akses terbuka terhadap bahan-bahan yang mencerminkan kekayaan intelektual dari perguruan tinggi itu sendiri adalah melalui pendirian repositori. Khusus mengenai paradigma open access ini, ratusan organisasi pada tingkat internasional telah menandatangani deklarasi bersama yaitu mendukung gagasan akses terbuka dan menentang penyebarluasan informasi ilmiah yang semata-mata berorientasi kepada publikasi komersial karena dipandang menghambat penyebaran dan pertumbuhan informasi ilmiah. Oleh karena itu, dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini, beberapa lembaga penyandang dana terlibat dalam menebitkan hasil penelitian dan ada yang memberikan dukungan keuangan untuk membiayai penyediaan akses terbuka, seperti halnya yang dilakukan oleh Swiss National Fonds Crow, 2002. Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan terhadap masyarakat perguruan tinggi dan peneliti, menekankan pentingnya publikasi ilmiah yang dapat diakses gratis secara online; hal ini merupakan bukti bahwa para penelitia atau penulis mengutip berbagai literatur yang sulit untuk diakses karena alasan biaya. Alasan ketiga membangun repositori adalah didasarkan atas kemungkinan perbaikan komunikasi internal. Dengan menyediakan penyimpanan bahan-bahan digital secara terpusat akan mendapatkan manfaat dari bahan yang telah dipublikasikan pada satu sisi, dan pada sisi yang lain menjadi dasar untuk mengetahui bahan-bahan yang belum dipublikasikan secara digital. Sehinggan repositori menjadi salah satu upaya untuk mendorong agar bahan-bahan lain yang bukan kategori ilmiah seperti laporan kegiatan, panduan dan sebagainya untuk dipulikasikan dalam format digital, karena bahan-bahan tersebut juga merupakan bagian dari pengetahuan organisasi dan sebaiknya dapat diakses oleh setiap orang dalam suatu organisasi. Repositori mendorong upaya digitalisasi terhadap dokumen-dokumen perguruan tinggi yang bukan kategori ilmiah, sehingga akses terhadap dokumen tersebut lebih mudah. Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa salah satu alasan untuk membangun repositori adalah untuk penyediaan akses terbuka. Ada beberapa keuntungan dari akses terbuka, pertama Jonner Hasugian, Internal Repository pada Perguruan Tinggi – Oktober 2012 ‐ 5 adalah bahwa output penelitian ilmiah dapat dipublikasikan lebih cepat tanpa intermediasi seperti penerbit. Alasan kedua adalah bahwa penilaian terhadap output penelitian akademis lebih efektif dari segi biaya. Secara khusus, ketika menyangkut jumlah biaya berlangganan jurnal yang sangat mahal sehingga mengarah pada krisis jurnal, maka akses terbuka terlihat menjadi opsi yang menarik. Walaupun tersedia akses gratis, bukan berarti penerbitan terhadap output karya ilmiah gratis seluruhnya. Biaya untuk menjalankan repositori harus diperhitungkan.

3. Keuntungan Repositori