Psikologi dari Perspektif Islam: Kontribusi Para Ilmuwan Muslim di Masa Awal dan Tantangan Ilmuwan Psikologi Muslim Saat Ini
Fakhr Al-Din Muhammad Umar Al Razi (1149/50 –1209)
Al-Razi berasal dari Persia. Menurutnya, jiwa manusia berbeda dalam sifat dasarnya; sebagian bersifat mulia, sebagian hina dan rendah. Sebagian baik dan lembut, sebagian lalim dan mendominasi; beberapa tidak menyukai tubuh, dan beberapa berhasrat untuk menguasai dan mencapai jabatan. Mereka tidak pernah menyimpang dari sifat dasar mereka, tetapi dengan latihan dan kewaspadaan, mereka dapat mengubah perilaku dan kebiasaan mereka. Al- Razi dalam bukunya Kitab al Nafs Wa’l Ruh menganalisis jenis-jenis kesenangan sebagai indrawi/ sensuous dan akali/ intellectual dan menjelaskan hubungan komparatifnya antara satu sama lain. Sifat dasar kesenangan inderawi baik bagi manusia maupun hewan tidak membentuk tujuan yang istimewa atas kebahagiaan manusia akan kesempurnaan. Kenyataannya, Al-Razi menegaskan bahwa pengawasan yang hati-hati atas kesenangan akan menunjukkan bahwa ia secara esensial merupakan unsur utama dalam penghilangan kepedihan. Contohnya, semakin lapar seseorang, semakin besar kenikmatan yang dirasakannya dari makan. Lebih dari itu, pemuasan kesenangan sepadan dengan kebutuhan dan nafsu hewan. Ketika kebutuhan ini terpenuhi dan nafsu terpuaskan, kesenangan Al-Razi berasal dari Persia. Menurutnya, jiwa manusia berbeda dalam sifat dasarnya; sebagian bersifat mulia, sebagian hina dan rendah. Sebagian baik dan lembut, sebagian lalim dan mendominasi; beberapa tidak menyukai tubuh, dan beberapa berhasrat untuk menguasai dan mencapai jabatan. Mereka tidak pernah menyimpang dari sifat dasar mereka, tetapi dengan latihan dan kewaspadaan, mereka dapat mengubah perilaku dan kebiasaan mereka. Al- Razi dalam bukunya Kitab al Nafs Wa’l Ruh menganalisis jenis-jenis kesenangan sebagai indrawi/ sensuous dan akali/ intellectual dan menjelaskan hubungan komparatifnya antara satu sama lain. Sifat dasar kesenangan inderawi baik bagi manusia maupun hewan tidak membentuk tujuan yang istimewa atas kebahagiaan manusia akan kesempurnaan. Kenyataannya, Al-Razi menegaskan bahwa pengawasan yang hati-hati atas kesenangan akan menunjukkan bahwa ia secara esensial merupakan unsur utama dalam penghilangan kepedihan. Contohnya, semakin lapar seseorang, semakin besar kenikmatan yang dirasakannya dari makan. Lebih dari itu, pemuasan kesenangan sepadan dengan kebutuhan dan nafsu hewan. Ketika kebutuhan ini terpenuhi dan nafsu terpuaskan, kesenangan
Muhyid-Din Muhammad Ibn Ali (Ibn Arabi) (1164 –1240)
Ibn Arabi dilahirkan di Murcia (Spanyol), belajar di Lisbob dan kemudian pindah ke Seville di mana di situ ia bertemu guru-guru spiritual pertamanya. Ia menulis banyak, tetapi hanya 150 karya yang bertahan. Tampaknya tidak ada angka pasti berapa jumlah risalah yang ditulisnya. Diyakini bahwa kebanyakan karya yang ditulisnya ditulis ketika ia berada di Mekah dan di Damaskus –gayanya dikenal sulit dan ambigu. Di bidang psikologi, Ibn Arabi menulis teori tentang jiwa, persepsi, hakikat kehendak/ keinginan, imajinasi, dan mimpi. Interpretasi sufinya atas hati adalah bahwa hati adalah instrumen di mana pengetahuan
esoteris terungkapkan. Hati bukan lah organ yang ada dalam dada, melainkan “terkoneksi secara fisik juga spiritual, tetapi juga berbeda dari itu”. Hati adalah simbol aspek rasional manusia, tetapi tidak sama dengan akal –itu merupakan bagian dari “Akal Universal”. Hati memiliki “mata batin” yang dapat menangkap Realita. Bagaimanapun, pikiran-pikiran jahat dan jiwa hewani dan kebutuhan dunia material dapat secara mudah membutakan “mata batin”
ini. Seperti Aristoteles, Ibn Arabi mengakui tiga elemen manusia –tubuh, jiwa dan ruh, dan mengklasifikasikan jiwa manusia ke dalam tiga aspek, vegetatif, hewani, dan rasional. Tapi, ia tidak menyamakan jiwa rasional dengan akal. Jiwa manusia baginya adalah wahana Jiwa Universal dan ruh wahana Penalaran Universal. Ruh juga merupakan prinsip rasional yang dimaksudkan untuk mencari pengetahuan sejati. Sementara jiwa vegetatif mencari makanan bagi organisme, jiwa hewani adalah uap halus dari hati fisik. Jiwa rasional yang eternal adalah ruh yang murni, yang dilahirkan bebas dosa tetapi dosa-dosa berakumulasi sebagai hasil dari konflik antara jiwa rasional dan jiwa hewani. Akal adalah salah satu kekuatan jiwa rasional yang berfungsi selama asosiasinya dengan tubuh. Jiwa rasional secara absolut independen dari tubuh dan dapat eksis secara independen sebagaimana ketika ia bergabung dan akan tetap ada setelah meninggalkan tubuh, ketika mati. Dia menjelaskan bahwa Khayal atau imajinasi selalu aktif, bahkan ketika tidur menghasilkan mimpi yang diasosiasikan dengan gambaran yang diinginkan oleh seseorang. Tetapi, jiwa individual juga dapat mengungkapkan dirinya dalam mimpi, walaupun simbol-simbolnya harus diinterpretasikan dengan benar.
Psikologi Barat Kontemporer dan Dilema Ilmuwan Psikologi Muslim
Setiap mahasiswa psikologi modern tahu bahwa psikologi adalah cabang dari filsafat pada akhir abad ke-19. Istilah psikol ogi itu sendiri diambil dari akar kata bahasa Yunani “psych” atau jiwa dan “logos” yang berarti cinta. Jadi, psikologi awalnya mempelajari jiwa sebagai materi pokoknya. Sebelumnya, di abad ke-14, psikologia berkenaan pada cabang pneumatologi, ilmu tentang wujud-wujud dan substansi-substansi spiritual dan di abad ke-16, istilah antropologia dibuat menjadi cabang dari psikologia, ilmu tentang pikiran manusia dan somatologia, ilmu tentang tubuh manusia. Di abad ke-18, pengaruh empirisme dan rasionalisme membuka jalan bagi saintifikasi psikologi, tapi barulah di tahun 1879
laboratorium pertama psikologi didirikan di Jerman. Pendiri lab tersebut, Wilhelm Wundt meneliti tentang kesadaran, yaitu apa yang terjadi di dalam pikiran kita. Segera setelah itu, pandangan tentang psikologi ditantang oleh ilmuwan psikologi Amerika, John Watson, yang menyataan bahwa psikologi dapat menjadi ilmiah hanya jika ia menelaah perilaku yang dapat diobservasi. Pengaruh dari behaviorisme Watson tetap sangat kuat sampai tahun 1960, terutama karena dukungan Skinner lewat prosedur-prosedur pengkondisian operannya. Selama tahun 1960an dan 70an, revolusi kognitif terjadi, yang mengarahkan pengukuran teknologis atas peristiwa-peristiwa kognitif seperti persepsi, mimpi, memori, dan sebagainya. Kemajuan saintifik lainnya mengarahkan pada pengukuran yang akurat atas proses-proses tubuh seperti denyut jantung dan tekanan darah, termasuk aktivitas neurologis dalam otak, juga mempengaruhi psikologi. Singkatnya, psikologi menjadi disiplin ilmu yang independen sebagai hasil dari pengaruh-pengaruh ilmu seperti fisiologi, psikiatri (contoh, perspektif psikodinamika Freud), dan di atas itu semua, pengaruh para positivistis yang berhasil mengeliminasi elemen-elemen metafisikal dari ilmu-ilmu alam dan humaniora.
Proses sekularisasi ini terlalu mengabaikan moral dan fenomena spiritual dalam diri manusia dan menyerahkan perkara tersebut pada individu untuk mempraktikkan agama. Sekularisasi ilmu-ilmu sosial mengarah pada perkembangan teori-teori yang deterministik dan meninggalkan sedikit atau bahwa tidak ada ruangan bagi kehendak manusia.17) Konsep ini bertentangan dengan teori Islami tentang hakikat manusia yang memiliki ruang substansial bagi kehendak bebas. Ilmuwan-ilmuwan sosial Muslim dididik dalam pendidikan yang sekular dan di bawah pengaruh cara berpikir ilmiah yang terpengaruhi psikologi Barat. Badri (1979) menunjukkan bahwa “ilmuwan psikologi Muskin memiliki kegairahan yang gelisah untuk diperkenalkan di bawah payung ilmu- ilmu bergengsi… yang menyebabkan mereka menerima secara buta teori-teori dan praktik-praktik yang tidak pas bagi penerapannya paling tidak di negara- negara Muslim” (h. 3). Badri juga menyatakan bahwa karena absennya aspek Proses sekularisasi ini terlalu mengabaikan moral dan fenomena spiritual dalam diri manusia dan menyerahkan perkara tersebut pada individu untuk mempraktikkan agama. Sekularisasi ilmu-ilmu sosial mengarah pada perkembangan teori-teori yang deterministik dan meninggalkan sedikit atau bahwa tidak ada ruangan bagi kehendak manusia.17) Konsep ini bertentangan dengan teori Islami tentang hakikat manusia yang memiliki ruang substansial bagi kehendak bebas. Ilmuwan-ilmuwan sosial Muslim dididik dalam pendidikan yang sekular dan di bawah pengaruh cara berpikir ilmiah yang terpengaruhi psikologi Barat. Badri (1979) menunjukkan bahwa “ilmuwan psikologi Muskin memiliki kegairahan yang gelisah untuk diperkenalkan di bawah payung ilmu- ilmu bergengsi… yang menyebabkan mereka menerima secara buta teori-teori dan praktik-praktik yang tidak pas bagi penerapannya paling tidak di negara- negara Muslim” (h. 3). Badri juga menyatakan bahwa karena absennya aspek
Hal tersebut sungguh benar, bahwa banyak konsep yang dibawa dalam psikologi Barat adalah ateistik dalam filsafat dan pendekatan mereka dan karena itu memberikan dilema terbesar bagi ilmuwan psikologi Muslim kecuali jika perilaku manusia dikaji dari kerangka berpikir yang Islami (Achoui, 1998; Ansari, 1992; Haque, 1998, 2002, 2004). Badri yakin bahwa ilmuwan psikologi Muslim sering menjadi pendukung dan pendakwah utama psikologi Barat di negara-negara Muslaim. Hal ini benar kendati fakta bahwa kebanyakan teori-teori Barat tentang sifat dasar manusia begitu kontradiktif, tidak lengkap dan membingungkan dalam psikologi Barat itu sendiri. Mari kita perhatikan beberapa komentar tentang psikologi kontemporer dari beberapa ilmuwan psikologi Barat. Merujuk pada identitas psikologi, Kimble (1984, h. 833) menulis bahwa: “Psychology has an identity problem. After more than a century of official existence…there is even debate of our subject matter… Staats and Koch agree that psychology’s splintered condition results, at least in part, and probably most importantly, from the existence of sharply polarized opinion about the epistemological underpinnings of psychology .” Serupa, Jordan (1995) mengkritik psikologi dengan menulis bahwa, “There can be no doubt about it; contemporary American scientific psychology is the sterilest of the sterile. Years of arduous labor and the assiduous enterprise of hundreds of professors and thousands of students has yielded precisely nothing…the canard that ‘‘psychology is a science’’ has long outlived its explanatory—away usefulness: the unpleasant and discouraging facts must be faced honestly ’’ (h. 3). Norager (1998) penunjukkan bahwa psikologi eksperimental dan behaviorisme telah menghidupkan standar- standar saintifik, tetapi segera setelah psikologi berkembang melampaui dua bidang positivistik ini, “filsafat dan metafisika masa lalu yang ditekan akan muncul kembali”.
Dalam memandang pernyataan-pernyataan ini, kita dapat melihat bahwa psikologi modern belum menghidupkan demi tujuan profesionalnya, yaitu membantu orang-orang memahami diri mereka, tujuan dan makna hidup mereka, dan bagaimana hidup dengan seimbang dan dengan perilaku yang konstruktif. Psikologi modern membuat asumsi-asumsi yang gawat bahwa perilaku manusia dapat diobservasi oleh indera dan karena itu kuantifikasi dan pengukurannya mengabaikan aspek transendental dari manusia. Kemanusiaan tidak dapat selalu diukur dengan cara yang mekanistis, materialistis, dan reduksionalistis. Tidak seperti ilmu-ilmu alam, psikologi mempelajari perilaku manusia dan proses-proses kognitifnya, yang itu melibatkan pengaruh keyakinan, sikap, norma, adat-istiadat, dan agama berdasarkan pengalaman-pengalaman transendental dan sistem nilai. Tidak dipelajarinya faktor-faktor ini hanya akan memberikan gambaran yang tidak lengkap atas diri manusia. Polkinghorne (1984) menulis bahwa alam manusia itu unik dalam hal:
1) karakter yang sistemik atau hubungan yang kontekstualnya,
2) kualitas yang belum selesainya (unfinished quality), contoh dunia manusia selalu berada dalam kondisi berfluktuasi dan memiliki sejarah yang terus berkembang,
3) maknanya yang tidak bisa diobservasi langsung, yang menunjukkan bahwa kita harus menerikma bukti adanya alam yang lain.
Karena sebab-sebab ini, psikologi kontemporer mengajukan tantangan yang serius pada ilmuwan psikologi Muslim. Karena dasarnya pada paradigma yang sekular, psikologi saat ini tidak dapat diterima bagi keseluruhan ilmuwan psikologi Muslaim. Upaya untuk memahami perilaku manusia akan mengarahkan ilmuwan psikologi Muslaim untuk mengikuti perspektif Islam tentang hakikat manusia dan ini akan berarti membawa mereka kembali pada sejarah pendahulu mereka yang karya-karyanya didasarkan pada paradigma yang Islami. Di level teoretis, ilmuwan psikologi Muslim perlu mengidentifikasi dan mengklarifikasi pandangan
mereka tentang ilmu pengetahuan secara umum dan membangun wawasan yang lebih dalam tentang hakikat dan tujuan ilmu. Ini akan memerlukan penjernihan keimanan Muslim dan pemahaman akan perbedaan antara sekularisme dan Islam. Mereka juga butuh meredefinisi subjek material psikologi dari perspektif Islam dengan menggunakan paradigma Tauhid –ini akan berarti mempelajari “Nafs” (jiwa), lagi, dari perspektif religius Muslim. Mereka juga butuh mengembangkan dan meluaskan kerangka berpikir teoretis tentang semua topik yang muncul dalam dunia psikologi Islami. Pada level yang lebih praktis, ini akan melibatkan pengumpulan materi-materi dari masa awal sampai modern milik ilmuwan Muslaim yang relevan dengan psikologi termasuk menerjemahkan karya-karya dari bahasa Arab, Perancis, Persia, Turki, dan Urdu ke bahasa Inggris agar dapat dibaca umum. Mungkin organisasi yang tertarik pada pekerjaan semacam ini perlu diidentifikasi. Hibah-hibah universitas, sumbangan, dan pendanaan pribadi lainnya perlu dicari untuk mendapatkan dukungan finansial bagi aktivitas-aktivitas ini. Mereka butuh untuk membentuk jaringan ilmuwan psikologi yang tertarik untuk bekerja sama dalam usaha ini. Ilmuwan psikologi Muslim perlu belajar, membangun dan kemudian mengajarkan psikologi Islami secara konprehensif. Mereka butuh mengembangkan skala yang terstandarisasi bagi populasi Muslaim, memulai studi-studi empiris dan cara-cara yang Islami untuk mengobati masalah-masalah psikologi berkenaan dengan (misalnya) konseling krisis, konseling keluarga, konseling sekolah, dan terapi pernikahan.
Kesimpulan
Dikarenakan meningkatnya multikulturalisme di Barat dan bergairahnya minat untuk memahami komunitas Muslim, adalah penting untuk mengeksplorasi perspektif Islam tentang hakikat manusia. Kontribusi ilmuwan-ilmuwan Muslim masa awal pada bidang psikologi diperkenalkan dalam tulisan ini. Dilema dan tantangan yang dihadapi para profesional dan Dikarenakan meningkatnya multikulturalisme di Barat dan bergairahnya minat untuk memahami komunitas Muslim, adalah penting untuk mengeksplorasi perspektif Islam tentang hakikat manusia. Kontribusi ilmuwan-ilmuwan Muslim masa awal pada bidang psikologi diperkenalkan dalam tulisan ini. Dilema dan tantangan yang dihadapi para profesional dan
Refrences Achoui, M. (1998). ‘‘Human Nature from a Comparative Psychological Perspective.’’
American Journal of Islamic Social Sciences, 15: 4, 71 –95. Ahmad, J. (1984). Hundred Great Muslims. Pakistan: Forezsons Limited. Ansari, Z. A. (1992). Quranic Concepts of Human Psyche. Islamabad, Pakistan: Islamic
Research Institute Press. Badri, M. B. (1979). The Dilemma of Muslim Psychologists. London: MWH Publishers. Faruqi, I. R. (1982). Al-Tawhid: Its meaning and Implications. VA, USA: International
Institute of Islamic Thought, Herndon. Haddad, Y. (1991). The Muslims of America. New York: Oxford University Press. Hamarneh, S. K. (1984). In M.A. Anees (Ed.), Health Sciences in Early Islam: collected
Papers, Vol. 2, Blanco, TX: Zahra Publications, 353. Haque, A. (1998). ‘‘Psychology and Religion: Their Relationship and Integration from
Islamic Perspective,’’ The American Journal of Islamic Social Sciences, 15, pp. 97– 116.
Haque, A. (2004). ‘‘Religion and Mental Health: The Case of American Muslims.’’ Journal of Religion and Health, 43:1, pp. 45 –58.
Haque, A. and Anuar, K. M. (2002). ‘‘Religious psychology in Malaysia.’’ International Journal for the Psychology of Religion, 12:4, pp. 277 –289.
Hofmann, M. (2000). Islam the Alternative. Lahore, Pakistan: Suhail Academy. Hussain, A. and Hussain, I. (1996). A brief history and demographics of Muslims in the
United States. In Asad Hussain, John Woods and Javed Akhtar (eds.) –Muslims in America: Opportunities and Challenges. Chicago: International Strategy and Policy Institute.
Jordan, N. (1995). Themes in speculative psychology. In David Cohen (Ed.), Psychologists on Psychology, New York: Routledge.
Kimble, G. (1984). ‘‘Psychology’s Two Cultures.’’ American Psychologist, 39, pp. 833–839. Mohamed, Y. (1998). Human Nature in Islam. A.S. Noordeen: Kuala Lumpur, Malaysia. Murken, S. and Shah, A. A (2002). ‘‘Naturalistic and Islamic Approaches to Psychology,
Psychotherapy, and Religion: Metaphysical Assumptions and Methodology —A
Discussion.’’ The International Journal for the Psychology of Religion, 12: 4, pp. 239 –254.
Nasr, S. H. (1988).
A Young Muslim’s Guide to the Modern World. Lahore, Pakistan: Suhail Academy.
Nasr, S. H. and Leaman, O. (1996). History of Islamic Philosophy. London, UK: Routledge. Norager, T. (1998). ‘‘Metapsychology and Discourse: A Note on some Neglected Issues in
the Psychology of Religion.’’ The International Journal for the Psychology of Religion, 6, pp. 139 –149.
Polkinghorne, D. (1984). ‘‘Further Extensions of Methodological Diversity for Counseling Psychology.’’ Journal of Counseling Psychology, 31, pp. 416–429.
Reich, K. H., and Paloutzian, R. F. (2001). Editors’ Note: From Conflict to Dialogue: ‘‘Examining Western and Islamic Approaches in Psychology of Religion.’’ The International Journal for the Psychology of Religion, 12: 4, pp. 215 –216.
Zuberi, M. H. (1986). Aristotle and Al Ghazali. Karachi, Pakistan: Royal Book Company.