Pembahasan Analisis Kasus

B. Pembahasan Analisis Kasus

Melalui berbagai analisis mengenai Lumpur Lapindo dan sebab-akibat maka Pemerintah mengeluarkan kebijakan pada tahun 2006 yaitu berupa Keputusan Presiden no. 13 tahun 2006 yaitu tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo. Keputusan ini dibuat dalam rangka penanggulangan semburan lumpur di sekitar Sumur Banjar Panji-1, Sidoarjo, Jawa Timur, yaitu perlu dilaksanakan langkah- langkah penyelamatan penduduk di sekitar daerah bencana, menjaga infrastruktur dasar dan penyelesaian masalah semburan lumpur dengan memperhitungkan resiko lingkungan yang paling kecil. Susunan keanggotaan Tim Nasional ini dipimpin oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral yang ditunjuk oleh Presiden. Dalam keputusan tersebut dikatakan bahwa tindakan penanggulangan yaitu dengan penutupan semburan, penanganan luapan lumpur dan penanganan masalah sosial.

Menurut Keppres No. 13 Tahun 2006 menyatakan PT. Lapindo Brantas bertanggung jawab atas pembiayaan operasional Tim Nasional Penangulangan lumpur serta disebutkan bahwa dengan terbentuknya Tim Nasional dimaksudkan tidak mengurangi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya. Keputusan ini berusaha menegaskan bahwa harus ada tanggung jawab dari PT. Lapindo Brantas sebagai pelaku kerusakan struktural yang menyebabkan luapan lumpur lapindo. Tetapi dalam keputusan tersebut tidak ditegaskan bagaimana cara pembayaran dalam hal penanganan operasional Tim Nasional serta ganti rugi masalah sosial. Ini merupakan celah bagi PT. Lapindo Brantas untuk tidak melakukan ganti rugi karena tidak tercantum batas akhir atau tata cara pembayaran kepada warga yang terkena musibah.

Sementara luapan lumpur dari hari kehari semakin memperbesar area yang tergenang, dan juga masyarakat sekitar harus segera beranjak dari tempat tinggal mereka terkait bahaya dari ledakan maupun ke kesehatan masyarakat. Penderitaan masyarakat akibat tidak bisa menerima hak untuk memperoleh lingkungan yang sehat dan baik semakin menjadi karena mereka hanya bisa menunggu peran serta pemerintah menjamin kehidupan mereka. Dikatakan bahwa pemerintah belum mempunyai anggaran untuk membantu pihak PT. Lapindo Brantas menalangi sementara kerugian yang diderita warga.

Kebijakan Pemerintah mengenai lumpur Lapindo yang ke II yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 yang diterbitkan untuk pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo. Hal ini menimbang dampak luapan lumpur yang semakin luas; langkah penyelamatan penduduk, penanganan masalah sosial dan infrastruktur akibat bencana; dan pembentukan Badan Penanganan Lumpur Lapindo dengan berakhirnya masa tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur. Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo ini dipimpin oleh Menteri Pekerjaan Umum (PU) yang bertindak sebagai dewan pengarah.

Pada Perpres ini semua biaya Administrasi Badan Penanggulangan didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang berarti seluruh rakyat Indonesia berpartispasi dan bertanggung jawab terhadap bencana ini. Hal ini seharusnya tidak terjadi jika Pemerintah memang teliti dan melihat kronologis kejadian penyebab luapan lumpur di kawasan ini, yaitu PT. Lapindo Brantas adalah pelaku dari kejadian bencana ini. Seperti disebutkan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) bahwa “3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung gempa yogya sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan pemboran sebagai penyebab,

13 (tiga belas) suara ahli menyatakan kombinasi gempa dan pemboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini.” Fakta yang didapat dari data terhadap penyebab terjadinya luapan lumpur di Sidoarjo menurut beberapa ahli geologi di beberapa media massa nasional dan yang dapat dibaca juga dalam Bab III ini adalah pada tanggal 27 Mei 2006, telah terjadi “ underground blowout ” di dalam sumur Banjar Panji I dan pada tanggal 29 Mei 2006 untuk pertama kalinya diberitakan oleh media massa bahwa lumpur panas menyembur ke permukaan. Semburan lumpur yang berasal dari bawah permukaan tanah (subsurface mud) 13 (tiga belas) suara ahli menyatakan kombinasi gempa dan pemboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini.” Fakta yang didapat dari data terhadap penyebab terjadinya luapan lumpur di Sidoarjo menurut beberapa ahli geologi di beberapa media massa nasional dan yang dapat dibaca juga dalam Bab III ini adalah pada tanggal 27 Mei 2006, telah terjadi “ underground blowout ” di dalam sumur Banjar Panji I dan pada tanggal 29 Mei 2006 untuk pertama kalinya diberitakan oleh media massa bahwa lumpur panas menyembur ke permukaan. Semburan lumpur yang berasal dari bawah permukaan tanah (subsurface mud)

Dari kasus perpres ini kita bisa melihat bahwa ada suatu pembenaran dari kesalahan PT. Lapindo Brantas, bisa dilihat dari banyak hal. Salah satunya mengenai tanggungan biaya pemulihan yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan yang dibentuk oleh Presiden sepenuhnya lewat APBN yang tercantum dalam Pasal 14 ayat 1 Perpres tersebut. Dalam hal ini berarti rakyat juga ditekan dengan kontribusi biaya lewat anggaran tersebut. Pada Pasal 15 ayat 1 yang berbunyi “Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT. Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarkat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh pemerintah.” Hal ini sangat merugikan masyarakat yang terkena dampak semburan lumpur, yaitu pemukiman tempat tinggal yang sudah terendam air akan dibeli ganti rugi sepihak tanpa ada proses tawar-menawar. Hal ini akan menguntungkan PT Lapindo Brantas karena masyarakat harus tunduk pada aturan tersebut. Disatu sisi masyarakat terkena dampak akan dipersulit dengan alasan sertifikat, yaitu harus ada surat akta jual beli tanah yang diakui pemerintah. Hal ini merupakan jalan mempersulit proses karena tidak semua warga yang terkena dampak dan mempunyai rumah tinggal mempunyai akta jual beli tanah yang diakui pemerintah, selain itu lewat keputusan tersebut tidak menilai bahwa warga sudah kehilangan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih. Pembayaran ganti rugi hanya memperhitungkan petak-petak tanah dan rumah tinggal, padahal kehilangan dan degradasi lingkungan menghasilkan kerugian tak Dari kasus perpres ini kita bisa melihat bahwa ada suatu pembenaran dari kesalahan PT. Lapindo Brantas, bisa dilihat dari banyak hal. Salah satunya mengenai tanggungan biaya pemulihan yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan yang dibentuk oleh Presiden sepenuhnya lewat APBN yang tercantum dalam Pasal 14 ayat 1 Perpres tersebut. Dalam hal ini berarti rakyat juga ditekan dengan kontribusi biaya lewat anggaran tersebut. Pada Pasal 15 ayat 1 yang berbunyi “Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT. Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarkat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh pemerintah.” Hal ini sangat merugikan masyarakat yang terkena dampak semburan lumpur, yaitu pemukiman tempat tinggal yang sudah terendam air akan dibeli ganti rugi sepihak tanpa ada proses tawar-menawar. Hal ini akan menguntungkan PT Lapindo Brantas karena masyarakat harus tunduk pada aturan tersebut. Disatu sisi masyarakat terkena dampak akan dipersulit dengan alasan sertifikat, yaitu harus ada surat akta jual beli tanah yang diakui pemerintah. Hal ini merupakan jalan mempersulit proses karena tidak semua warga yang terkena dampak dan mempunyai rumah tinggal mempunyai akta jual beli tanah yang diakui pemerintah, selain itu lewat keputusan tersebut tidak menilai bahwa warga sudah kehilangan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih. Pembayaran ganti rugi hanya memperhitungkan petak-petak tanah dan rumah tinggal, padahal kehilangan dan degradasi lingkungan menghasilkan kerugian tak

Perpres No. 14 Tahun 2007 juga menyebutkan dalam Pasalnya yang ke 15 ayat

3 bahwa “biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak tanggal 22 maret 2007, setelah ditandatangai Peraturan Presiden ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.”. dan “Biaya untuk upaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya. Dari keputusan tersebut dapat dikritisi bahwa keputusan tersebut sangat menguntungkan pihak yang mestinya bertanggung jawab dalam hal ini PT Lapindo Brantas, yaitu penggantian rugi oleh pihak tersebut hanya meliputi area terdampak yang sifatnya tetap, tetapi kerugian lebih besar akan ditanggung oleh masyarakat Indonesia yang harus menanggung daerah di luar area terdampak yang terus mengalami pertambahan luasan karena lumpur tersebut semburannya bersifat kontinyu. Secara spasial luasan yang di luar area terdampak akan selau bertambah dan berarti biaya penanggulangan sosial kemasyarakatan yang ditanggung oleh APBN akan semakin membesar. Hal ini merupakan suatu ironi bagi masyarakat Indonesia lewat peraturan yang dikeluarkan Presiden, yaitu masyarakat yang terkena dampak adalah orang-orang yang ikut andil dalam mengisi APBN dan bukan yang memicu terjadinya bencana harus menanggung biaya kerusakan tersebut, sementara PT Lapindo Brantas diperingan kerjanya oleh Peraturan Presiden tersebut. Area terdampak adalah daerah yang secara hukum dinyatakan menjadi lokasi yang terkena dampak bencana lumpur Lapindo. Ada tiga generasi keputusan hukum yang dilampiri dengan peta area terdampak. Mereka adalah, pertama, Perpres 14/2007 yang menetapkan Desa Jatirejo, Siring, Kedungbendo dan Renokenongo masuk ke dalam peta area terdampak 22 Maret 2007.

Gambar 7: Peta lokasi dan fakta bencana lumpur Lapindo (2006-2010) Peraturan Presiden No 48 Tahun 2008 yang memasukkan 3 Desa di sebelah selatan tanggul ke dalam peta area terdampak. Ketiga desa tersebut adalah Desa Besuki di Sebelah barat tol Surabaya-Gempol, Desa Kedungcangkring dan Desa Pejarakan. Pembayaran aset warga yang masuk ke dalam peta area terdampak berdasarkan Perpres 48/2008 ini merupakan tanggungjawab Negara atau didebankan ke APBN. Peraturan Presiden ini memicu konflik antar warga karena di satu desa ada bagian yang terdampak Gambar 7: Peta lokasi dan fakta bencana lumpur Lapindo (2006-2010) Peraturan Presiden No 48 Tahun 2008 yang memasukkan 3 Desa di sebelah selatan tanggul ke dalam peta area terdampak. Ketiga desa tersebut adalah Desa Besuki di Sebelah barat tol Surabaya-Gempol, Desa Kedungcangkring dan Desa Pejarakan. Pembayaran aset warga yang masuk ke dalam peta area terdampak berdasarkan Perpres 48/2008 ini merupakan tanggungjawab Negara atau didebankan ke APBN. Peraturan Presiden ini memicu konflik antar warga karena di satu desa ada bagian yang terdampak

Desa besuki adalah salah satu dari tiga desa yang dimasukkan dalam area peta terdampak lewat Perppres no. 48/2008, yang akan mendapat ganti rugi dari APBN-P. Beberapa hal yang membuat ambigu dan tidak membawa suasana lega pada warga desa tersebut yaitu hal pertama adalah hanya desa Besuki Barat yang dimasukkan dalam peta area terdampak—sementara desa Besuki Timur yang dipisahkan oleh eks-jalan tol Gempol dengan Besuki Barat, tidak termasuk di dalamnya.Hal kedua adala belum adanya kepastian waktu ganti rugiu ntuk proses jual beli tersebut dibayarkan, dan hal ketiga yaitu harga jual beli tanah dan bangunan pun belum ditetapkan oleh pemerintah.

Kejadian di mana sebuah desa tidak seluruhnya dimasukkan ke dalam peta area terdampak bukan sekali ini saja terjadi. Dalam kejadian tersebut selalu saja menimbulkan dampak langsung yang jelas memecah belah dan merugikan kehidupan masyarakat. Desa-desa lain yang terpecah antara di dalam peta dan bukan di dalam peta antara lain: Glagah Arum, Gempol Sari, Jatirejo, dan Siring. beberapa desa yang terpecah ini tidak selalu jelas alasan pembagiannya kenapa sebagian wilayahnya dimasukkan ke dalam peta dan yang lain tidak. Ketidakjelasan inilah yang memicu kecemburuan di antara warga dan menjadi biang kehancuran kohesi sosial di masyarakat.

Permasalahan lain yaitu, secara yuridis pengaturan pasal 15 dalam Perpres No.

14 Tahun 2007 dan Perpres No 48 Tahun 2008 di atas memiliki kecacatan karena ketentuan yang mengatur jual-beli tanah antara warga korban dengan pihak Lapindo Brantas yang diklaim sebagai mekanisme penanganan permasalahan sosial kemasyarakatan akibat semburan lumpur tersebut jelas-jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yaitu dalam hal ini ketentuan pasal 26 ayat 2 Undang- Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang melarang jual- beli tanah antara individu pemilik hak atas tanah dengan suatu badan hukum, dimana jika terjadi maka jual beli tersebut batal demi hukum (tidak memiliki kekuatan hukum) dan tanah individu yang dijual akan jatuh menjadi tanah negara. Jelas tergambar bahwa Perpres No. 14 Tahun 2007 yang kemudian diperbarui dengan Perpres No. 48 Tahun 2008 yang diklaim sebagai suatu upaya perlindungan hukum dari pemerintah kepada korban lumpur justru tidak memberikan perlindungan hukum apapun.

Berdasarkan kenyataan ini, maka tentu sangat dipahami jika korban lumpur merasakan bahwa tidak ada pilihan selain mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Perpres No. 14 Tahun 2007 yang kemudian diperbarui dengan Perpres No. 48 Tahun 2008 guna mendapatkan penyelesaian hukum atas terlanggarnya hak-hak mereka tersebut. Namun –lagi-lagi- ironisnya, persoalan penyelesian hak-hak korban lumpur tidak juga mendapatkan titik terang walaupun hampir keseluruhan korban telah melakukan pengikatan jual-beli dengan pihak Lapindo sebagaimana diamanatkan dalam Perpres, hal ini terbukti dengan masih belum tuntasnya pembayaran lahan dan bangunan milik warga korban oleh pihak Lapindo Brantas bahkan hingga melampaui jangka waktu pelunasan pembayaran sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat 2 Perpres No. 14 Tahun 2007 dan Perpres No. 48 Tahun 2008 yakni maksimal selama 23 bulan. Atas realita ini, maka pihak Lapindo Brantas jelas-jelas telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Perpres (walaupun Perpres itu sendiri juga melanggar hukum), dan Presiden selaku pihak yang mengeluarkan Perpres tidak melakukan upaya perlindungan hukum apapun bagi korban lumpur berkaitan dengan realita dilanggarnya ketentuan Perpres oleh pihak Lapindo ini. Hal ini tentu sangat jelas menggambarkan betapa nihilnya perlindungan hukum bagi korban lumpur, ribuan warga negara Indonesia yang telah terlanggar hak-hak konstitusionalnya selama 3 tahun ini.

Peta area terdampak ketiga adalah berdasarkan Perpres 40/2009 yang memasukkan Desa Siring dan Jatirejo di sebelah barat jalan raya Porong serta 3 RT di Desa Mindi yang terletak di sebelah selatan tanggul. Dana untuk pembayaran aset warga yang masuk ke dalam peta area terdampak berdasarkan Perpres 40/2009 ini dibebankan kepada PT LBI. Pada Peraturan Presiden yang terakhir disahkan ini yaitu kawasan terdampak tetap per tanggal 22 Maret 2007 sementara efek akibat semburan lumpur bisa berkembang menjadi seuah subsidence (penurunan muka tanah) akibat terjadi kekosongan pada bagian dalam tanah karena rutinitas semburan yang kontinyu. Hal ini hanya akan tetap merugikan negara dalam hal ini APBN yang menanggung perkembangan kerusakan akibat luapan lumpur yang mungkin saja terus berkembang. Selain itu jika dicermati ada perubahan pada Pasal 15 ayat 6 yang menyatakan “Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, pengaliran lumpur ke Kali Porong, penanganan infrastruktur, termasuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah”. Hal ini juga memberatkan dibanding

Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 15 ayat 6 yang masih menyatakan bahwa Pengaliran dan Penanggulangan Lumpur melalui Kali Porong dibebankan kepada PT Lapindo Brantas, termasuk biaya tindakan mitigasi yang dilakukan Badan Pelaksana BPLS dalam ayat 7 juga akan ditanggungkan ke dalam APBN. Dalam perkembangannya hal ini sangat merugikan pihak rakyat Indonesia sebagai penanggung beban dari biaya perbaikan dan rehabilitasi lumpur Lapindo. Berdasarkan perkembangan dari peraturan ke peraturan selalu mengalami kemunduran perlindungan hak bagi masyarakat Indonesia dan penegakan hukum yaitu dibuktikan dengan pihak PT Lapindo Brantas hanya mempunyai tanggung jawab sebatas penanganan masalah sosial kemasyarakatan dalam area terdampak per 22 Maret 2007.

Seharusnya Pemerintah lewat berbagai kebijakannya adalah memberi dan memastikan perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia mengenai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pemerintah Indonesia harus memastikan Pihak Pencemar mampu menerapkan konsep tanggung jawab mutlak seperti yang dikemukakan oleh James E. Krier mengenai tanggung jawab mutlak dapat merupakan bantuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan, karena banyak kegiatan-kegiatan yang menurut pengalaman menimbulkan kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan-tindakan yang berbahaya.

Salah satu usaha yang berjalan seiring dengan penerapan pilihan pengaliran lumpur ke Kali Porong adalah persiapan lokasi penampungan lumpur di tempat lain, misalnya di bekas lokasi galian tambang pasir di Ngoro atau di Kali Mati, sehingga terhitung sejak Januari 2007, sudah dapat diterapkan konsep pengelolaan lumpur yang berjangka waktu beberapa tahun. Sebuah kemajuan dari pengelolaan lumpur saat ini yang hanya merencanakan sejauh dua sampai tiga bulan ke. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari kebijakan pengaliran jutaan m3 lumpur yang menyerupai petis udang ini ke Selat Madura akan sangat luas, bila yang dilakukan adalah sekedar mengalirkan lumpur tersebut ke Kali Porong. Sekitar 16,000 hektar tambak di sepanjang dan di sekitar muara Kali Porong akan mengalami proses sedimentasi dalam skala yang besar dan sangat cepat. Kabupaten Sidoardjo akan menjadi daerah yang rawan banjir bila terjadi pendangkalan di Kali Porong. Selain itu perairan Selat Madura akan menjadi keruh, karena sebagian besar lumpur tersebut tidak bisa mengalir keluar dari Selat Madura.

Untuk mengurangi dampak negatif pendangkalan Kali Porong, akan dilakukan pengerukan dasar Kali Porong secara berkala sehingga dapat dicegah terjadinya pendangkalan sungai pada tingkat yang menyebabkan timbulnya banjir. Penimbunan dasar Kali Porong dengan lumpur panas Sidoardjo diperkirakan oleh para pakar dapat memperlancar arus air dan mengurangi proses sedimentasi, sampai batas tertentu. Bila batas pendangkalan tersebut terlampaui, akan terjadi kerusakan lingkungan. Pendangkalan tersebut akan meningkatkan intensitas banjir pada musim hujan dan pencemaran tambak ikan dan udang di sepanjang dan di muara Kali Porong. Untuk mengurangi dampak negatif pemanfaatan Kali Porong sebagai saluran pembuangan lumpur bagi masyarakat pemanfaat air Kali Porong, diusulkan agar sebagian aliran air di Kali Porong disalurkan lewat pipa atau saluran terbuka pada bagian hulu sebelum titik pembuangan lumpur untuk menjamin pasokan air bagi keperluan irigasi dan pertambakan masyarakat di bagian hilirnya. Studi beberapa pakar dari perguran tinggi di Jawa Timur menemukan bahwa air laut di Selat Madura hanya mengalir bolak-balik dari Barat ke Timur dan dari Timur ke Barat sesuai dengan pasang naik dan pasang surutnya perairan Selat Madura. Puluhan ribu masyarakat kabupaten Sidoarjo, kabupaten Pasuruan, kotamadya Surabaya dan mungkin kabupaten Probolinggo yang hidupnya bergantung pada tambak udang dan ikan akan terancam sumber kehidupannya. Berkurangnya pendapatan nelayan yang menangkap ikan lemuru, ikan layang dan ikan tongkol sejak belasan kilometer di timur muara Kali Porong sampai ke sebelah Timur Selat Madura, adalah dampak yang sangat mungkin dirasakan sejak pertengahan tahun 2007, apabila lumpur Sidoardjo dib uang ke Selat Madura.

Menurut Fredrik J. Pinakunary dalam tulisannya di Harian Koran Kompas, penerapan sistem tanggung jawab pidana mutlak dapat langsung menempatkan Lapindo sebagai pelaku kejahatan korporasi lingkungan. Berbeda dari sistem tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan dalam pembuktian sebuah perbuatan pidana, dalam sistem tanggung jawab pidana mutlak, hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa, yang artinya adalah dalam melakukan perbuatan tersebut, terdakwa telah mengetahui atau menyadari potensi hasil dari perbuatannya dapat merugikan pihak lain, makakeadaan ini telah cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana kepadanya. Hal ini tentu saja dapat dilakukan oleh hakim sebagai living interpretator yang dapat menangkap semangat keadilan yang Menurut Fredrik J. Pinakunary dalam tulisannya di Harian Koran Kompas, penerapan sistem tanggung jawab pidana mutlak dapat langsung menempatkan Lapindo sebagai pelaku kejahatan korporasi lingkungan. Berbeda dari sistem tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan dalam pembuktian sebuah perbuatan pidana, dalam sistem tanggung jawab pidana mutlak, hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa, yang artinya adalah dalam melakukan perbuatan tersebut, terdakwa telah mengetahui atau menyadari potensi hasil dari perbuatannya dapat merugikan pihak lain, makakeadaan ini telah cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana kepadanya. Hal ini tentu saja dapat dilakukan oleh hakim sebagai living interpretator yang dapat menangkap semangat keadilan yang