TINJAUAN KRITIS TERHADAP PEMERINTAH DALA

TUGAS HUKUM LINGKUNGAN

TINJAUAN KRITIS TERHADAP PEMERINTAH DALAM PENANGANAN

KASUS LUMPUR LAPINDO

(Dasar Keppres 13/2006, Perpres 14/2007, Perpres 48/2008, Perpres 40/2009)

Dosen Pengampu : Harry Supriyono, SH., M. Si.

Oleh : La Ode Muhammad Erif (10/307009/PMU/6714) Fenky Wirada (10/307116/PMU/6752) PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASAJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA 2011

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena tulisan ilmiah mengenai “Tinjauan Kritis Terhadap Pemerintah dalam Penanganan Kasus Lumpur Lapindo” ini telah kami selesaikan sebagai syarat tugas mata kuliah Hukum Lingkungan yang diampu oleh Dosen Harry Supriyono, SH., M.Si.

Dalam pembuatan karya ini kami mengumpulkan berbagai referensi dari buku teks, jurnal ilmiah, peraturan pemerintah terkait, maupun berbagai laporan ilmiah penelitian yang berhubungan dengan kasus Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam berbagai pemikiran yang menghasilkan karya ini tidak akan bisa sempurna tanpa adanya data dari berbagai penelitian, kemudahan akses dan informasi terkait peraturan merupakan sarana bagi kami untuk mengkritisi upaya penanganan oleh pemerintah terkait bencana lumpur yang terjadi. Topik terkait kritisi terhadap penanganan pemerintah lewat kebijakan perundangan merupakan hal bagi penilaian kinerja pemerintah. Diharapkan hasil dari tulisan ini selain juga untuk memenuhi syarat mata kuliah Hukum Lingkungan juga dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan mengenai perbaikan kebijakan ketika ada hal yang dianggap tidak tepat guna terkait peraturan pemerintah.

Kami mengucapkan terimakasih banyak kepada Bapak Harry Supriyono yang telah memberikan kami pengetahuan terkait isu dan peraturan hukum lingkungan. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada orang-orang yang telah membantu dalam pengumpulan data dan kepada para penulis karya yang dapat dijadikan sebagai bahan telaah tulisan ini. Semoga bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan.

Januari 2011

Penulis

INTISARI

Lumpur Lapindo merupakan salah satu kejadian alam karena ada kesalahan faktor manusia. PT Lapindo Brantas yang dalam hal ini adalah pemrakarsa usaha seharusnya wajib menjadi penanggung jawab atas kejadian yang merugikan banyak umat manusia ini. Dalam perkembangannya Pemeritah melalui beberapa peraturan yaitu Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2006, Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007, Peraturan Presiden No. 48 Tahun 2008 hingga Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2008 menjadikan beban tanggung Jawab mengenai kerusakan alam berupa biaya akan dimasukankan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Berbagai kegiatan dilakukan oleh Tim Nasional dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang ditunjuk Presiden lewat keputusan untuk menangani masalah lingkungan dan Sosial. Di satu sisi PT Lapindo Brantas hanya mempuyai tanggungan untuk menyelesaikan masalah sosial di wilayah yang terkena dampak per 22 Maret 2007. Rakyat Indonesia disengsarakan dengan banyak Kebijakan Pemerintah yaitu kerugian masalah lingkungan dan sosial yang harus ditanggung oleh PT Lapindo Brantas diperingan dengan kebijakan pemerintah tersebut. Peran Pemerintah untuk menjamin warganya mendapat hak untuk lingkungan yang sehat dan baik serta penegakan hukum untuk tanggung jawab dari pihak pemrakarsa tidak terlaksana. Alhasil dengan banyak peraturan yang harusnnya menjamin kesehjateraan masyarakat hanya menghasilkan kerugian lebih besar kepada negara dan rakyatnya. Analisis dan kebijakan harusnya melihat studi terkait tentang sebab-aakibat dari kejadian lumpur tersebut agar keputusan mengenai kebijakan pemerintah menghasilkan putusan yang adil dan objektif.

Sampai saat ini dari hasil keputusan Kebijakan Pemerintah tersebut masih menuai bencana kerugian besar kepada warga yang terkena dampak dan seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya. Keadilan tentang perumusan kebijakan pemerintah dalam berbagai kasus lingkungan harus mendapat evaluasi dan kontrol dari banyak pihak akademisi dan masyarakat luas, agar peran dan fungsi kebijakan saat disahkan dapat menjamin kehidupan masyarakat Indonesia dalam lingkungan yang berkualitas dan eksis.

Kata kunci : lumpur lapindo, kebijakan pemerintah, lingkungan hidup

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kasus lumpur lapindo yang 5 tahun lalu terjadi masih memberikan efek kerusakan lingkungan yang tidak ternilai bagi dunia lingkungan termasuk aspek sosial masyarakat yang pasti merasakan kerugian akan harta benda dan lingkungan yang mengalami degradasi. Belum selesai akan penanganan masalah ganti rugi oleh PT. Lapindo Brantas, Inc. sebagai pelaku usaha yang harusnya bertanggung jawab akan bencana yang terjadi, pemerintah dalam hal ini presiden mengeluarkan beberapa keputusan yang dinilai meringankan pihak PT. Lapindo Brantas.

Lumpur Lapindo adalah kasus nasional yang belum terselesaikan hingga sekarang. Hampir 5 tahun lebih semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur itu belum teratasi bahkan semakin meluas. Semburan yang terjadi sejak 29 Mei 2006 hingga sekarang itu telah banyak meninggalkan penderitaan bagi rakyat Sidoarjo. Belasan desa terendam, puluhan pabrik tutup, ratusan hektar sawah musnah. Bahkan lebih dari 27 ribu jiwa meninggalkan tanah kelahirannya. Mereka kehilangan segala sumber penghidupan. Nyaris tak ada yang tersisa. Tragedi lumpur Lapindo telah menimbulkan dampak yang luar biasa, yakni kerugian material dan non-material yang dialami masyarakat di sekitar lokasi semburan lumpur tersebut. Selain itu semburan lumpur juga berdampak pada faktor ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya. Dalam Banyak opini yang bermunculan terhadap kasus ini sebelum adanya keputusan Presiden semenjak tahun 2007, ada opini yang mengatakan bahwa pihak Bakrie yang harus bertanggung jawab karena semburan lumpur berawal dari kegagalan pengeboran gas di Blok Brantas, Jawa Timur, oleh Lapindo Brantas Inc, perusahaan di bawah kelompok usaha Bakrie (Tempo, 27 Agustus 2006). Opini yang lain, yaitu pemerintah menganggap bahwa tragedi ini adalah bencana. Hal ini sesuai dengan pernyataan Menteri ESDM Poernomo Yosgiantoro mengutip ucapan SBY, usai sidang kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (23/11/2006), bahwa lumpur Lapindo adalah sebuah disaster (Hertanto, 23 November2006). Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan saat itu dan berkembang menjadi opini, adakah kemungkinan pemerintah akan mengambil alih tanggung jawab penanggulangan dan penanganan Lumpur Lapindo adalah kasus nasional yang belum terselesaikan hingga sekarang. Hampir 5 tahun lebih semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur itu belum teratasi bahkan semakin meluas. Semburan yang terjadi sejak 29 Mei 2006 hingga sekarang itu telah banyak meninggalkan penderitaan bagi rakyat Sidoarjo. Belasan desa terendam, puluhan pabrik tutup, ratusan hektar sawah musnah. Bahkan lebih dari 27 ribu jiwa meninggalkan tanah kelahirannya. Mereka kehilangan segala sumber penghidupan. Nyaris tak ada yang tersisa. Tragedi lumpur Lapindo telah menimbulkan dampak yang luar biasa, yakni kerugian material dan non-material yang dialami masyarakat di sekitar lokasi semburan lumpur tersebut. Selain itu semburan lumpur juga berdampak pada faktor ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya. Dalam Banyak opini yang bermunculan terhadap kasus ini sebelum adanya keputusan Presiden semenjak tahun 2007, ada opini yang mengatakan bahwa pihak Bakrie yang harus bertanggung jawab karena semburan lumpur berawal dari kegagalan pengeboran gas di Blok Brantas, Jawa Timur, oleh Lapindo Brantas Inc, perusahaan di bawah kelompok usaha Bakrie (Tempo, 27 Agustus 2006). Opini yang lain, yaitu pemerintah menganggap bahwa tragedi ini adalah bencana. Hal ini sesuai dengan pernyataan Menteri ESDM Poernomo Yosgiantoro mengutip ucapan SBY, usai sidang kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (23/11/2006), bahwa lumpur Lapindo adalah sebuah disaster (Hertanto, 23 November2006). Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan saat itu dan berkembang menjadi opini, adakah kemungkinan pemerintah akan mengambil alih tanggung jawab penanggulangan dan penanganan

Melalui keputusan presiden mengenai Kasus Lumpur Lapindo yang termuat dalam Keppres 13/2006, Perpres 14/2007, Perpres 48/2008, hingga Perpres 40/2009 dapat dinilai dan dikritisi apakah memang sebuah kebijakan melihat kerusakan lingkungan Lumpur Lapindo yang kemudian membuat keputusan tersebut muncul sebagai suatu kebijakan pemikiran pada pemerintahannya. Seperti diketahui disatu sisi pemegang saham dari perusahaan tersebut adalah Bakrie & Brother yang termasuk sebagai salah satu pengusaha dan penguasa yang masih duduk aktif sebagai pemegang keputusan di partai besar dalam dunia politik di Indonesia. Sampai sekarang walaupun Peraturan sdah disahkan dan pemerintah menyatakan bahwa bencana Lumpur Lapindo sebagai bencana nasional, disatu sisi banyak pihak juga yang kontra dengan melihat keputusan dan peraturan tersebut adalah sebuah pembenaran terhadap sebuah kesalahan dari kongsi perusahaan tersebut. Melalui tulisan ini akan coba dikritisi apakah segala kebijakan pemerintah terkait penanganan kerusakan akibat lumpur lapindo memang sesuatu yang sewajarnya ataukah memang titipan pesan dari para penguasa.

B. Masalah

Dari banyak telaah ilmiah mengenai sebab-akibat kejadian Lumpur Lapindo, secara ilmiah memang banyak pihak yang menyatakan kejadian tersebut adalah akibat kesalahan prosedur dalam proses eksploitasi. Tetapi dari sisi politis ternyata peran seorang sosok pengusaha sekaligus pejabat dari PT. Lapindo Brantas, Inc. mampu membuat sesuatu yang berbeda dalam putusan kebijakan jika dilihat dari kerangka ilmiah penyebab kejadian tersebut, yaitu dengan diputuskannya aturan dari Presiden yang dinilai kontroversial sebagai penyelamat aset usaha para penguasa.

Dalam kasus bencana semburan lumpur panas Sidoarjo, pemerintah SBY-Kalla berhadapan dengan dua masalah sekaligus. Pertama, menghentikan semburan lumpur panas dan menyalurkan atau membuang genangan lumpur. Kedua, menangani dampak sosial dan ekonomi, baik dalam memulihkan atau membangun kembali infrastruktur dan sarana umum yang rusak akibat luberan lumpur maupun dalam menangani masalah- masalah sosial yang didalamnya terdapat keharusan untuk memberikan kompensasi yang sepadan bagi warga yang terkena genangan.

Hal-hal mengenai pro-kontra bisa terlihat dalam keputusan presiden yang bersifat administratif. Dari banyak keputusan tersebut ternyata PT. Lapindo Brantas, Inc. tidak menanggung semua kerusakan akibat eksploitasi tersebut. Sampai saat ini kejadian penanganan masalah sosial dan infrastruktur dimasukan dalam realisasi anggaran APBN seolah-olah yang menjadi pelaku adalah seluruh umat bangsa Indonesia, memang sebuah kebijakan yang ironi.

C. Metode Penulisan

Metode penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu jenis penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder. Bahan pustaka atau data sekunder yang dimaksud diantaranya adalah peraturan perundang- undangan, penggunaan pendekatan yuridis, asas-asas dan perbandingan hukum. Penelitian hukum normatif ini merupakan penelitian perpustakaan berdasarkan data sekunder dan bersifat kualitatif (tidak berbentuk angka ).

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pengumpulan dokumen- dokumen yang dianggap penting yang berkaitan dengan penelitian. Dokumen merupakan metode pelengkap untuk mencari data yang tidak mungkin diperoleh melalui observasi dan wawancara. Lincoln dan Guba (1985: 113) mengatakan bahwa penggunaan dokumen dalam pengumpulan data didasarkan atas beberapa alasan yaitu merupakan sumber informasi yang stabil dan kaya, bermanfaat untuk membuktikan suatu peristiwa, sifatnya alamiah sesuai dengan konteks dan hasil pengkajian akan diperluas sesuai degan pengetahuan terhadap sesuatu yang diteliti. Penulis menggunakan dokumen-dokumen berupa teks-teks yang dapat dipahami lebih lanjut. Atau berupa teks-teks arsip, statistik, hasil laporan Timnas PSLS/ BPLS, buku-buku, koran, majalah atau buku catatan organisasi yang bisa diambil sebagai pelengkap data dan informasi dalam penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

1. Bahan/materi hukum primer, yaitu diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) berupa data analisis dan dokumen-dokumen hukum serta buku-buku hukum.

2. Bahan/materi hukum sekunder, yaitu pendapat hukum para ahli hukum, buku- buku penelitian (litbang) hukum, hasil-hasil karya ilimiah dan hasil penelitian para sarjana hukum, dan badan kepustakaan bidang hukum lainnya.

3. Bahan/materi hukum tersier, yakni berbagai bahan pendukung seperti surat kabar, cyber media atau internet, majalah, tabloid, jurnal hukum bisnis, kamus, dan lain sebagainya. Data yang diperlukan untuk Kajian Kritis Penanganan Lumpur Lapindo yaitu :

1. Data kronologis kejadian Lumpur Lapindo

2. Riwayat PT. Lapindo Brantas, Inc. sebagai investor usaha

3. Keputusan Presiden no. 13 tahun 2006

4. Peraturan Presiden no. 14 tahun 2007

5. Peraturan Presiden no. 48 tahun 2008

6. Peraturan Presiden no. 40 tahun 2009

7. Peta wilayah bencana Lumpur Lapindo Data penelitian ini dianalisis secara secara kualitatif dan kemudian dipaparkan

berdasarkan analisis deskriptif .

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. PT Lapindo Brantas Inc.

Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu dari berbagai anak perusahaan PT. Energi Mega Persada Tbk. Lapindo Brantas didirikan khusus untuk mengekploitasi sumur- sumur yang ada di Blok Brantas atau dengan kata lain Lapindo Brantas/EMP hanya sebagai pelaksana teknis (operator), sementara saham blok tersebut dimiliki bersama oleh PT. Energi Mega Persada sebesar 50 persen, PT. Medco E&P Brantas, anak perusahaan Medco Energy sebesar 32 persen, dan Santos Brantas Indonesia Tbk. menguasai saham sebesar 18 persen. Jika dilihat secara seksama, perusahaan- perusahaan yang menguasai saham di Lapindo Brantas/EMP adalah juga merupakanperusahaan yang memiliki berbagai kilang minyak dan gas yang tersebar di wilayah Indonesia. Menurut Aswan Siregar116 tahun 2004 merupakan tahun yang sukses bagi usaha Lapindo Brantas. Sejak 1999, Lapindo Brantas telah berkembang untuk menjadi pemasok utama gas bagi perusahaan distribusi gas pemerintah, yaitu PT Perusahaan Gas Negara Tbk. Yang disuplay dari lapangan gas Wunut. Rata-rata suplai

65 mmcf gas per hari di tahun 2004, yang merupakan kenaikan sebesar 48,1% dari tahun sebelumnya. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Menguak Pelanggaran HAM dan Kejahatan Lingkungan PT. Lapindo Brantas/Energi Mega Persada (EMP), Laporan WALHI kepada komnas HAM, 31 Agustus 2007.

Lebih lanjut dikatakan bahwa pada tahun 2004 juga telah melakukan pengeboran dan menyelesaikan empat sumur gas yang kami sebut sebagai Wunut 6, 7, 11 dan 13. Seluruh sumur telah berhasil disatukan ke dalam pengolahan gas Wunut. Disamping itu, saluran pipa gas Wunut 12 juga telah selesai dikerjakan. Seperti diumumkan pada bulan September 2004, perusahaan juga telah melakukan penemuan-penemuan cadangan minyak yang terbukti dan cadangan minyak terukur di Tanggulangin 3 yang telah menambah 14 juta barrels. Penemuan ini telah memberikan kesempatan yang besar bagi perusahaan untuk memulai memproduksi minyak di lapangan pada tahun 2005. Tonggak bersejarah lainnya di tahun ini adalah pemasangan unit dehidrasi gas kedua dan dua unit compressor di ladang pengolahan gas Wunut. Kami senantiasa berupaya untuk meraih sukses berikutnya di tahun 2005 sebagaimana kami terus mengembangkan Lebih lanjut dikatakan bahwa pada tahun 2004 juga telah melakukan pengeboran dan menyelesaikan empat sumur gas yang kami sebut sebagai Wunut 6, 7, 11 dan 13. Seluruh sumur telah berhasil disatukan ke dalam pengolahan gas Wunut. Disamping itu, saluran pipa gas Wunut 12 juga telah selesai dikerjakan. Seperti diumumkan pada bulan September 2004, perusahaan juga telah melakukan penemuan-penemuan cadangan minyak yang terbukti dan cadangan minyak terukur di Tanggulangin 3 yang telah menambah 14 juta barrels. Penemuan ini telah memberikan kesempatan yang besar bagi perusahaan untuk memulai memproduksi minyak di lapangan pada tahun 2005. Tonggak bersejarah lainnya di tahun ini adalah pemasangan unit dehidrasi gas kedua dan dua unit compressor di ladang pengolahan gas Wunut. Kami senantiasa berupaya untuk meraih sukses berikutnya di tahun 2005 sebagaimana kami terus mengembangkan

Blok dari Brantas PSC yang terletak di tempat eksplorasi yang paling diperbincangkan di Indonesia, jalur eksplorasi Kujung di Jawa Timur. Kami telah mengidentifikasi bahwa blok tersebut memiliki sekurangkurangnya 7 cadangan minyak dan gas yang prospektif dengan sumber daya hingga 677 Bcf dan 121.5 mmbbl. Lapindo Brantas terletak di tempat yang sangat baik dalam ukuran luas eksplorasi di Jawa Timur. Area Kujung di Jawa Timur teridentifikasi sebagai salah satu daerah cadangan minyak dan gas terbaik di Indonesia dengan jumlah keseluruhan penemuan sumber daya sebesar 2,417 mmboe (55% Minyak). Tingkat kesuksesan eksplorasi diukur dari luas cekungan (basin) adalah sebesar 40% dan dalam sepuluh (10) tahun terakhir tercatat 80% kesuksesan. Statistik menyarankan untuk melakukan eksplorasi yang belum terlaksana.

1. Area Kujung di Jawa Timur teridentifikasi sebagai salah satu lokasi cadangan minyak dan gas terbaik di Indonesia.

2. Penemuan sumber daya kumulatif sebesar 2,417 mmboe (55% minyak)

3. Tingkat kesuksesan eksplorasi diukur dari luas cekungan adalah sebesar 40%

a. Sepuluh tahun terakhir tercatat 80%.

b. Statistik (Creaming Curve) menyarankan untuk melakukan eksplorasi yang belum terlaksana.

c. Blok Brantas dan Blok Kangean berada di area Kujung. Lapindo Brantas Inc. adalah perusahaan eksplorasi dan produksi migas berdasarkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau Production Sharing Contract (PSC) dengan BP Migas hingga tahun 2020. Sejak membeli Blok Brantas tahun 1996 dari HUFFCO, ada indikasi kuat bahwa Lapindo Brantas/EMP hanya mengejar proyek lisensi. Pada tahun itu posisi Aburizal Bakrie menjabat Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Tahun 1997, Lapindo Brantas/EMP menanda-tangani MoU dengan Perusahaan Gas Negara (PGN) untuk supply gas sampai tahun 2010. MoU tersebut baru terealisasi pada tahun 1999, dimana pada waktu tersebut Lapindo Brantas/EMP baru memproduksi gas untuk pertama kalinya. Kontrak dengan

PGN kemudian diperpanjang hingga tahun 2020 dengan pertimbangan yang kurang jelas. Lokasi rencana kontrak meliputi Wunut, Carat, Ketingan, dan Tanggulangin (Kab. Sidoarjo, Kab. Mojokerto, dan Kab. Pasuruan). Khusus lapangan Wunut Amdal-nya telah disetujui oleh Dept. Pertambangan dan Energi No 3129/0115/SJ.T/1997.

Lapindo Brantas melakukan pengeboran gas melalui perusahaan kontraktor pengeboran PT. Medici Citra Nusantara yang merupakan perusahaan afiliasi Bakrie Group. Subkontrak itu diperoleh Medici melalui tender dari Lapindo Brantas senilai US$ 24 juta pada 20 Januari 2006 atas nama Alton International Indonesia. Alton International Indonesia merupakan perusahaan patungan antara Alton International Singapore dengan PT Medici Citra Nusa, yang didirikan pada 2004.

Sementara Medici sendiri tercatat sebagai perusahaan yang beroperasi di bidang perdagangan dan distribusi. Keterikatan antara Lapindo Brantas dan Medici dengan keluarga Bakrie dimulai pada tanggal 9 Januari 2006 saat Federal International Ltd., sebuah perusahaan pertambangan minyak dan gas yang berkedudukan di Singapura melepas 42 juta lembar sahamnya ke publik dan dibeli oleh dua investor strategis dari Indonesia yaitu Syailendra Surmansyah Bakrie dan Nancy Uraina Rachman Latief. Dua orang disebutsebut sebagai kerabat dekat pemilik usaha Bakrie group dan mempunyai hubungan keluarga dengan salah satu komisaris PT Energi Mega Persada yaitu Rennier Abdul Rachman Latief. Dua pekan setelah transaksi jual beli tersebut, tanggal 20 Januari 2006, kontrak senilai 24 juta dolar didapatkan Alton Internasional Indonesia dari Energi Mega Persada menjadi subkontraktor dalam mengelola lapangan gas di Blok Brantas. Disinilah titik terang bagaimana PT. Medici menjadi subkontraktor Lapindo Brantas. Kepemilikan saham dua investor atas perusahaan Singapura tersebut semakin kuat dengan dikukuhkannya sebagai pemegang saham mayoritas pada Februari 2006, melalui pembelian saham di perdagangan terbuka. Syailendra menguasai 26,9 juta lembar saham (12,29 persen), sementara 27 juta lembar dimiliki oleh Nancy (12,22 persen). Satu bulan setelah terjadinya semburan, tepatnya tanggal 26 Juni 2006, Syailendra Bakrie menjual seluruh saham Federal miliknya kepada Unichem Asset Mgt Ltd. dan Excel Key Investments Corp. Tanggal 5 Juli 2006, Nancy melepas 19 juta lembar kepemilikan saham atas Federal dari jumlah total kepemilikannya yang berjumlah 27 juta kepada Fabules Commercial Inc. Langkah penjualan ini diduga akan dipergunakan untuk menutupi kerugian yang terjadi pada PT Lapindo Brantas.

Pada tahun 1990, blok Brantas pernah dikuasai oleh HUFFCO melalui Production Sharing Contract (PSC) dengan PT. Pertamina sampai 2020, akan tetapi baru berjalan satu periode eksploitasi, tepatnya pada tahun 1996, dengan tanpa sebab, HUFFCO kemudian menjual blok Brantas kepada PT. Lapindo Brantas/EMP Inc. Rencana lokasi yang akan di eksploitasi lapangan gas bumi blok Brantas meliputi 3 kabupaten, yaitu Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan. Terdiri dari lapangan gas bumi Wunut, Carat, Ketingan, dan Tanggulangin dan semua lapangan gas ini akan di kuasakan pengelolaannya kepada Lapindo Brantas/EMP. Sedangkan titik sumur Banjar Panji I merupakan salah satu sumur yang terletak di blok Wunut dan baru di eksplorasi pada bulan January 2006. Blok Brantas sendiri adalah salah satu dari 5 Blok yang terletak di cekungan Jawa Timur, cekungan ini di perkirakan memiliki cadangan : minyak sebesar 900 juta barel sedangkan Gas 700 milyar kaki kubik. Dari jumlah cadangan yang begitu besar di cekungan Jawa Timur, Blok Brantas sendiri juga di perkirakan memiliki cadangan minyak dan gas yang cukup besar diantara dari 4 blok Lainnya.

Nama lumpur Lapindo sendiri diambil dari nama perusahaan PT Lapindo Brantas Inc. (PT LBI) yang menjadi operator di Blok Brantas pada saat terjadinya bencana. Saham perusahaan ini dimilik secara bersama-sama oleh tiga perusahaan, yaitu PT Energi Mega Persada Tbk (PT EMP), Medco Energy (ME), dan Santos. PT EMP adalah salah satu anak usaha dalam group Bakrie & Brothers. Pada saat terjadinya semburan lumpur pertama kali, PT EMP memegang saham PT LBI sebesar 50%. Aburizal Bakrie, menteri kesejahteraan rakyat di Kabinet Indonesia Bersatu 1, adalah figur sentral dalam kelompok Bakrie&Brothers. ME, milik konglomerat Arifin Panigoro, hadir di PT LBI dengan kepemilikan saham sebesar 32%. Santos yang merupakan singkatan dari South Australia Noerthen Territoy Oil Search adalah perusahan minyak yang berbasis di Australia. Pada saat terjadinya bencana memegang kepemilikan saham di PT LBI sebesar 18%. Lebih jauh soal anatomi PT LBI dan afiliasinya dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1: Kelompok bisnis di belakang PT LBI (diolah dari berbagai sumber)

Akan tetapi belakangan publik hanya mengenal bahwa PT LBI adalah milik kelompok usaha Bakrie&Brothers yang terhubungkan ke Aburizal Bakrie. Hal ini dapat terjadi karena setelah terjadinya bencana, ME dan Santos "menjual" sahamnya kepada satu perusahaan yang masih berafiliasi dengan group Bakrie&Brothers. Meskipun disebut "menjual" pada dasarnya penjualan tersebut adalah penjualan yang aneh. Karena transaksi yang terjadi tidak lazim.

ME melepaskan dirinya dari belitan kasus lumpur Lapindo dengan jalan menjual 32% sahamnya di PT LBI kepada sebuah nama baru, Group Prakarsa, sebuah perusahaan yang penjamin keuangannya adalah Minarak, salah satu anak perusahaan dalam group Bakrie&Brothers. Pada tanggal 16 Maret 2007, ke-32% saham milik Medco beserta seluruh kewajiban, tanggungjawab, klaim yang termasuk di dalamnya kompensasi terhadap dampak ekonomi dan sosial sehubungan dengan operasi migas di blok Brantas yang dikenakan terhadap Medco Brantas, baik di masa yang lalu, kini dan di masa mendatang dilego kepada Group Prakarsa dengan harga 100 Dolar AS (tidak sampai 1 juta, dengan kurs Dolar AS versus rupiah pada kisaran angka 9 ribu).

Santos melepaskan 18% sahamnya kepada Minarak Labuan Co. Akan tetapi dalam kasus ini, sebagai penjual, Santos bukannya mendapatkan uang, akan tetapi Santos melepaskan 18% sahamnya kepada Minarak Labuan Co. Akan tetapi dalam kasus ini, sebagai penjual, Santos bukannya mendapatkan uang, akan tetapi

B. Kronologi Kejadian Lumpur Lapindo

Korporasi yang saat ini sedang mendapat sorotan atas dugaan pelanggaran terhadap lingkungan yang sedang terjadi adalah Lapindo Brantas Inc. yang terkait dengan luapan lumpur dan gas di Porong Sidoarjo Jawa Timur. Telah 200 hari sejak pertama kali lumpur itu menyembur dari sumur galian milik Lapindo Brantas Inc., salah satu dari berbagai anak perusahaan milik PT. Energi Mega Persada Tbk (EMP). Lapindo Brantas didirikan khusus untuk mengeksploitasi sumur-sumur yang ada di Blok Brantas, dalam hal ini, Lapindo Brantas/EMP ibaratnya hanya sebagai operator, sedangkan saham Blok Brantas tersebut dimiliki bersama oleh PT. Energi Mega Persada Tbk, PT. Medco Energi Tbk, dan Santoz LTD-Australia. Perusahaan-perusahaan yang menguasai saham di Lapindo Brantas/EMP merupakan perusahaan yang juga memiliki berbagai kilang minyak dan gas yang tersebar seantero Nusantara.

Lapindo Brantas/EMP bukan warga baru di Sidoarjo, perusahaan ini muncul di Sidoarjo 1(satu) dasawarsa lalu setelah ditunjuk oleh BP Migas sebagai pemegang hak kuasa dari pemerintah di bidang pertambangan migas. Yang berada dalam top manajeman yang mengeksplorasi Blok Brantas adalah, pada skema kepemilikan saham eksplorasi dan eksploitasi blok Brantas, PT. Energi Mega Persada Tbk yang dimiliki Bakrie Group menguasai 50% saham, sedangkan PT. Medco Energi Tbk menguasai 32% dan Santoz Brantas Indonesia Tbk yang dimilki perusahaan asing dari Australia komposisi sahamnya adalah 18%. PT. Energi Mega Persada sebagai pemegang saham terbesar dominan dalam penguasaan dan bekerja sebagai operator di Sumur Banjar Panji

I, sumur yang sampai saat ini masih menyemburkan lumpur. Pada minggu pertama kejadian, pihak Lapindo Brantas/EMP berkelit bahwa tiga titik semburan lumpur ganas itu diakibatkan oleh faktor alam atau di pengaruhi oleh gempa yang terjadi di Yogyakarta 27 Mei 2006. Spekulasi Lapindo/EMP ternyata mendapat kecaman dari berbagai pihak, karena diperoleh keterangan bahwa, sebelum terjadi semburan lumpur, posisi drilling pada kedalaman 9297 feet atau setara dengan 3000 meter, mengalami mud logging hilang tiba-tiba (lost circulation), dan sempat

terjadi kick atau muncul gas dibawah permukaan secara mendadak dan periodik, akhirnya terhenti Situasi ini terjadi sebelum gempa Yogyakarta, 27 Mei 2006, sehingga ada perkiraan baru bahwa terjadinya semburan karena underground blow out atau semburan gas dibawah permukaan yang memicu meningkatnya tekanan shale 121 (over pressure shale) dari formasi kalibeng naik melalui rekahan-rekahan, volume semburan lumpur telah melebihi volume mud yang lose dilubang pemboran, sehingga yang tersembur keluar adalah shale dan air formasi; dari sinilah di ketahui bahwa pada kedalaman 9000 kaki, Lapindo Brantas/EMP tidak melakukan pemasangan casing 9 5/8 inchi yang merupakan rambu keselamatan dalam setiap pengeboran. Disamping itu, Lapindo tidak mengantisipasi adanya zona patahan yang ada dalam kawasan eksplorasinya. Patahan itu kini meretakkan struktur geologi sehingga mengakibatkan semburan lumpur. Zona patahan-lemah itu berupa garis membentang sepanjang Porong (Sidoarjo) hingga Purwodadi (Pasuruan). Posisi patahan miring terhadap utara mata angin dengan sudut N30E (30 derajat dari utara ke timur). Teori yang dikembangkan komunitas geologi diantaranya dugaan bahwa lumpur berasal dari deposit minyak dalam bentuk kubah dengan ujung kubah paling dekat dengan permukaan. Struktur ini disebut diapir. Pengeboran Lapindo kemungkinan telah memicu retakan di zona lemah di atas kubah dan menimbulkan blow out jebakan lumpur dan gas di dalam kubah. Dengan tekanan tinggi, lumpur dan gas akan mencari lokasi yang paling lemah dalam rekahan perut bumi .

Akibat kesalahan pemboran tersebut, lumpur ganas yang menyembur dari perut ke permukaan bumi Porong di perkirakan mencapai 150.000 meter kubik perhari. Bahkan lumpur tersebut tidak hanya panas, ganas akan tetapi juga mengandung bahan beracun yaitu fenol 123 . Hingga per 16 agustus 2006, luas areal genangan lumpur panas sudah mencapai luas 300 ha dan menenggelamkan 5 desa di kecamatan Porong dan Tangulangin, dengan luasan volume luberan mencapai 7 juta meter kubik. Hingga kini, menurut pemberitaan di media, kurang lebih sudah 6 bulan bencana tersebut telah terjadi, korban diperkirakan sudah mencapai. Segala kemungkinan telah dilakukan oleh Lapindo untuk menanggulangi atau mengurangi dampak dari tragedi ini, termasuk hal Lapindo telah mencoba berkali-kali untuk menjual saham kepemilikan Lapindo kepada perusahaan asing, entah apa motif yang tersembunyi di dalam rencana pengalihan kepemilikan saham Lapindo ini. Karena konon, biaya penanggulangan bencana ini bila Akibat kesalahan pemboran tersebut, lumpur ganas yang menyembur dari perut ke permukaan bumi Porong di perkirakan mencapai 150.000 meter kubik perhari. Bahkan lumpur tersebut tidak hanya panas, ganas akan tetapi juga mengandung bahan beracun yaitu fenol 123 . Hingga per 16 agustus 2006, luas areal genangan lumpur panas sudah mencapai luas 300 ha dan menenggelamkan 5 desa di kecamatan Porong dan Tangulangin, dengan luasan volume luberan mencapai 7 juta meter kubik. Hingga kini, menurut pemberitaan di media, kurang lebih sudah 6 bulan bencana tersebut telah terjadi, korban diperkirakan sudah mencapai. Segala kemungkinan telah dilakukan oleh Lapindo untuk menanggulangi atau mengurangi dampak dari tragedi ini, termasuk hal Lapindo telah mencoba berkali-kali untuk menjual saham kepemilikan Lapindo kepada perusahaan asing, entah apa motif yang tersembunyi di dalam rencana pengalihan kepemilikan saham Lapindo ini. Karena konon, biaya penanggulangan bencana ini bila

Kasus Lumpur Sidoarjo dimulai pada tanggal 29 Mei 2006 ketika terjadi semburan pertama lumpur panas di sekitar 200 meter sebelah barat daya sumur BJP I. Sumur pengeboran Banjar Panji I (BJP I) merupakan daerah eksplorasi Brantas Production Sharing Contract (PSC) di Kabupaten Sidoarjo yang dioperasikan oleh Lapindo Brantas, Inc. Erupsi pertama tersebut diikuti beberapa titik semburan lagi dalam radius 500 m di sekitar sumur BJP 1.

Gambar 2. : Lokasi semburan Lumpur Sidoarjo.

Sumber: IAGI, Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur Banjar Panji-1, 2006.

Kronologi erupsi lumpur panas :

1. Tanggal 5 Juni 2006, semburan lumpur panas meluas hingga menutupi hamparan sawah seluas lebih 12 hektar yang masuk dalam wilayah Desa Renokenongo dan Jatirejo. Akibat dari peristiwa ini dilaporkan pohon dan tumbuhan di sekitar lokasi yang tergenang seperti pohon sengon, pisang, dan bambu serta rumput alang-alang mulai mengering. Besarnya semburan lumpur yang keluar dari perut bumi juga menyebabkan ketinggian lumpur sedikit lebih tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38. Dari peristiwa ini, 1. Tanggal 5 Juni 2006, semburan lumpur panas meluas hingga menutupi hamparan sawah seluas lebih 12 hektar yang masuk dalam wilayah Desa Renokenongo dan Jatirejo. Akibat dari peristiwa ini dilaporkan pohon dan tumbuhan di sekitar lokasi yang tergenang seperti pohon sengon, pisang, dan bambu serta rumput alang-alang mulai mengering. Besarnya semburan lumpur yang keluar dari perut bumi juga menyebabkan ketinggian lumpur sedikit lebih tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38. Dari peristiwa ini,

2. Pada tanggal 7 Juni 2006, semburan lumpur panas semakin membesar dan mulai mendekati pinggir bagian Timur di Desa Siring sehingga mengancam pemukiman penduduk di desa tersebut. Kondisi ini terus memprihatinkan karena semakin hari debit lumpur yang keluar dari perut bumi semakin membesar hingga akhirnya pada 7 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal pemukiman penduduk dusun Renomencil Desa Renokenongo dan Dusun Siring Tangungan, Desa Siring. Akibat dari peristiwa ini 993 KK atau 3815 Jiwa terpaksa mengungsi ke Pasar Baru Porong, atau ke rumah-rumah sanak famili yang tersebar di sejumlah tempat.

3. 10 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal persawahan bagian Selatan lokasi semburan yang berbatasan dengan Desa Jatirejo, di kawasan itu juga terdapat sejumlah pabrik.

4. 12 Juli 2006 lumpur panas mulai menggenangi areal pemukiman Desa Jatirejo dan Kedungbendo akibat tanggul-tanggul penahan lumpur di Desa Renokenongo dan Siring tidak mampu menahan debit lumpur yang semakin membesar.

5. Pada bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak kurang 25.000 jiwa mengungsi. Tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur. Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur adalah lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring, lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon, serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang. Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini. Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan 5. Pada bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak kurang 25.000 jiwa mengungsi. Tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur. Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur adalah lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring, lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon, serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang. Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini. Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan

6. Memasuki akhir September 2006, Desa Jatirejo Wetan termasuk di sini dusun Jatianom, Siring Tangunan dan Kedungbendo, tenggelam akibat tanggul penahan lumpur di desa Siring dan Renokenongo kembali jebol.

7. 22 November 2006, pipa gas milik Pertamina meledak, yang menyebabkan 14 orang tewas (pekerja dan petugas keamanan) dan 14 orang luka-luka . Peristiwa meledaknya pipa Pertamina diceritakan oleh penduduk seperti kiamat karena ledakan yang sangat keras dan api ledakan yang membumbung sampai ketinggian 1 kilo meter. Penduduk panik dan berlarian tak tentu arah. Suasana sangat mencekam dan kacau balau . Sebelumnya telah ada peringatan bahwa akibat amblesnya tanggul yang tidak kuat menahan beban menyebabkan pipa tertekan sehingga dikhawatirkan akan meledak. Namun peringatan ini tidak diindahkan oleh pihak Pertamina. Peristiwa ini juga mengakibatkan tanggul utama penahan lumpur di desa Kedungbendo rusak parah dan tidak mampu menahan laju luapan lumpur. Dari peristiwa tersebut sejumlah desa di wilayah utara desa tersebut seperti, Desa Kali Tengah dan Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera Kecamatan Tanggulangin, mulai terancam akan tergenang lumpur.

8. 6 Desember 2006, Perumtas I dan II tergenang lumpur dengan ketinggian yang beragam. Di laporkan lebih dari 2000 jiwa harus mengungsi ke Pasar Baru Porong.

9. Memasuki Januari 2007, Perumtas I dan II sudah terendam seluruhnya.

10. Memasuki April 2007, lumpur dan air mulai merendam Desa Ketapang bagian Timur akibat luapan lumpur yang bergerak ke arah Barat menuju jalan raya Surabaya Malang gagal ditahan oleh tanggul-tanggul darurat di perbatasan antara desa Kedungbendo dan Desa Ketapang. Dilaporkan lebih dari 500 orang harus mengungsi ke Balai Desa Ketapang.

11. 10 Januari 2008, Desa Ketapang Barat dan Siring Barat terendam air dan lumpur akibat tanggul di sebelah Barat yang berdekatan dengan jalan raya Malang- Surabaya jebol karena tidak mampu menahan lumpur yang bercampur dengan air hujan. Dilaporkan sekitar lebih dari 500 orang mengungsi ke Pasar Porong atau ke sanak keluarga mereka yang terdekat.

12. Dengan demikian sampai November 2008, terdapat 18 desa yang tenggelam dan/ atau terendam dan/ atau tergenang lumpur, yang meliputi: Desa Renokenongo, Jatirejo, Siring, Kedung Bendo, Sentul, Besuki, Glagah Arum, Kedung Cangkring, Mindi, Ketapang, Pajarakan, Permisan, Ketapang, Pamotan, Keboguyang, Gempolsari, Kesambi, dan Kalitengah. (sumber: Wakil Kepala Bidang Eksternal Komnas HAM Nur Kholis)

C. Prakiraan Penyebab Kejadian

Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.

Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.

Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).

Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan

Gambar 3. Underground Blowout (semburan liar bawah tanah) Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.

Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga

Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan pemboran MIGAS di Indonesia setiap tindakan harus seijin BP MIGAS, semua dokumen terutama tentang pemasangan casing sudah disetujui oleh BP MIGAS.

Dalam AAPG 2008 International Conference & Exhibition dilaksanakan di Cape Town International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008, merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung gempa yogya sebagai penyebab,

42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan pemboran sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara ahli menyatakan kombinasi gempa dan pemboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses pemboran.

D. Mud Volcano

Sejak terjadinya bencana lumpur Lapindo, terma mud volcano tiba-tiba saja menjadi sangat populer di Indonesia, bersanding dengan gunungapi yang sebelumnya memang sudah populer karena banyaknya gunungapi di Indonesia. Beberapa kalangan menerjemahkannya menjadi gununglumpur. Fenomena mud volcano sendiri bukanlah fenomena yang baru. Sejak lama ia telah menjadi fokus studi pakar geologi di seluruh Sejak terjadinya bencana lumpur Lapindo, terma mud volcano tiba-tiba saja menjadi sangat populer di Indonesia, bersanding dengan gunungapi yang sebelumnya memang sudah populer karena banyaknya gunungapi di Indonesia. Beberapa kalangan menerjemahkannya menjadi gununglumpur. Fenomena mud volcano sendiri bukanlah fenomena yang baru. Sejak lama ia telah menjadi fokus studi pakar geologi di seluruh

Karena itu, vulkanisme lumpur dapat diartikan sebagai "proses yang terjadi dalam rangka pembentukan fenomena geologi tersebut". Dalam variasinya, mud vulkanisme itu sendiri bukanlah sebuah proses yang sama dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu masa ke masa lain, tetapi sangat bervariasi, tergantung tipe lokalitas kondisi geologi yang dapat menyangkut setting, kekuatan dominan yang mengendalikan sebuah proses mud vulkanisme, material batuan yang ada, serta tak lupa pula morfologi muka Bumi. Sistem konduit internal dari sebuah mud volcano masih sangat sedikit diketahui. Studi yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan tingkat variasi yang sangat tinggi. Pada umumnya mereka terdiri dari satu konduit utama, yang kemudian semakin ke atas bisa jadi pecah dan membentuk beberapa konduit yang lebih kecil. Hal seperti inilah yang diduga terjadi di Porong, dimana konduit utama pecah dan kemudian menghasilkan konduit lain yang lebih kecil seperti yang terdapat di Desa Siring Barat. Untuk lebih detailnya mengenai sistem konduit internal sebuah mud volcano, dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 4: Struktur dasar dan elemen utama sebuah mud volcano yang berbentuk kerucut. Diolah dari Dimitrov, 2002.

E. Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup no. 32 tahun 2009 menetapkan mengenai hak, kewajiban dan wewenang, yaitu hak dan kewajiban yang ada pada setiap orang serta kewajiban yang ada pada Pemerintah, demikian pula wewenang pengaturan yang ada pada pemerintah serta hak masyarakat untuk berperan serta. Salah satu dari hak tersebut yaitu hak atas lingkungan hidup yang baik yang tercantum dalam pasal 65 ayat 1 UUPLH berbunyi : “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.”

Heinhard Steiger c.s menyatakan, bahwa apa yang dinamakan hak-hak subyektif (subjektif rights) adalah bentuk yang paling luas dari perlindungan seseorang. Hak tesebut memberikan kepada yang mempunyainya suatu tuntutan yang sah guna meminta kepentingannya akan sesuatu lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dihormati, suatu tuntutanyang dapat didukung oleh prosedur hukum kaitannya dengan lingkungan, dengan perlindungan hukum oleh pengadilan dan perangkat-perangkat lainnya.

Begitu pula yang terjadi dalam kasus Lumpur Lapindo. Tuntutan tersebut mempunyai 2 fungsi yang berbedan yaitu sebagai berikut :

a. The function of defense

b. The function of performance (Steiger c.s., 1980:3)

Fungsi yang pertama yaitu yang dikaitkan pada hak membela diri terhadap gangguan dari luar yang menimbulkan kerugianpada lingkungannya, dan fungsi kedua yaitu yang dikaitkan pada hak menuntut dilakukannyasesuatu tindakan agar lingkungannya dapat dilestarikan, dipulihkan atau diperbaiki. Hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik sebagaimana tertera dalam berbagai konstitusi dikaitkan dengan kewajiban untuk melindungi lingkungan hidup. Ini berarti bahwa lingkungan hidup dengan sumber- sumber dayanya adalah kekayaan bersama yang dapat digunakan setiap orang, yang harus dijaga untuk kepentingan masyarakat dan untuk generasi-generasi mendatang. Perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alamnya dengan demikian mempunyai tujuan ganda yaitu melayanai kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan melayani kepentingan individu.

Dengan mengacu pada pasal ini seharusnya kebijakan yang diambil pemerintah yaitu dengan memperhitungkan hak masyarakat atas lingkungan hidup. Yaitu menjamin penuh setiap kegiatan yang berhubungan dengan eksplorasi dan ekploitasi tidak akan menyebabkan degradasi lingkungan dan kerugian bagi masyarakat.

Adapun respon dari pemerintah yaitu berupa penetapan kebijakan berupa :

1. Keputusan Presiden no. 13 tahun 2006 (Lampiran)

2. Peraturan Presiden no. 14 tahun 2007 (Lampiran)

3. Peraturan Presiden no. 48 tahun 2008 (Lampiran)

4. Peraturan Presiden no. 40 tahun 2009 (Lampiran)

Berdasarkan hasil kebijakan tersebut maka akan dibuat suatu tinjauan kritis dengan mendasarkan kepada latar belakang perusahaan, penyebab kejadian serta hasil keputusan dalam Peraturan Presiden.

BAB III PENYAJIAN DATA

A. Peta Administrasi

Gambar 5: Peta administrasi Kabupaten Sidoarjo.

B. Dampak Lingkungan Luapan Lumpur

Eksternalitas merupakan kerugian atau manfaat pada transaksi pasar yangtidak dinyatakan dalam harga. Ketika suatu eksternalitas berlaku, pihak ketiga (selain daripada pembeli atau penjual barang) dipengaruhi oleh produksinya atau konsumsinya. Manfaat atau kerugian pihak ketiga tidak dipertimbangkan oleh pembeli atau penjual barang produksi atau akibat pemakaian dalam suatu eksternalitas. Harga pasar tidak secara akurat menggambarkan semua marginal social benefit atau marginal social cost pada barang yang diperdagangkan ketika eksternalitas dihadapi. Eksternalitas negatif adalah kerugian pihak ketiga selain pembeli dan penjual barang yang tidak dinyatakan dalam harga pasar. Contohnya adalah kerusakan yang disebabkan oleh pencemaran yang berasal dari industri pada manusia dan properti mereka. Pengaruh dari pencemaran ini adalah merusak kesehatan dan pengurangan nilai usaha dan properti serta sumber

daya. Eksternalitas positif adalah manfaat yang diperoleh pihak ketiga selain pembeli dan penjual yang tidak dinyatakan dalam harga. Contohnya adalah keberadaan untuk pencegahan api, karena pembelian alarm rokok dan bahan tahan api bermanfaat untuk mengurangi resiko kebakaran (Hyman, 2005: 97-98). Faktor eksternal memiliki pengaruh positif dan negatif terhadap nilai properti rumah tinggal. Hal tersebut terjadi karena rumah tinggal memiliki karakteristik immobile, sehingga menyebabkan pengaruh eksternal lebih kuat terhadap properti dibandingkan barang ekonomis, jasa atau komoditas lainnya. Eksternalitas dapat berupa penggunaan atau atribut fisik dari properti yang berlokasi dekat dengan properti lain atau kondisi ekonomi yang mempengaruhi pasar di mana properti berkompetisi. Eksternalitas negatif terjadi ketika pemilik properti merasa tidak nyaman akibat tindakan yang dilakukan oleh pihak lain seperti adanya limbah berbahaya di sekitar properti yang diketahui oleh masyarakat dan menyebabkan nilai properti menurun (Prawoto, 2003: 98-99). Menurut Simons dan Saginor (2006: 71) salah satu bentuk eksternalitas adalah kontaminasi lingkungan (environmental contamination) yang memiliki pengaruh negatif terhadap nilai properti perumahan. Sumber dari kontaminasi tersebut seperti kebocoran tangki pembuangan limbah, polusi air dan udara, saluran tegangan tinggi, tenaga nuklir, dan lain sebagainya.

Dampak atau efek dari semburan lumpur panas dari pengeboran pada Sumur Banjar Panji-1 secara umum dapat dilihat dari dua hal yaitu adanya tumpahan atau luberan material cair berupa lumpur dalam volume yang sangat besar maupun adanya dugaan kandungan yang terdapat dalam material cair tersebut.

a. Volume lumpur

Ketika semburan lumpur terjadi pertama kali di sekitar Sumur Banjar Panji 1 (BJP-1), volume lumpur yang dihasilkan masih pada tingkat 5.000 meter kubik per hari. Lubang semburan terjadi di beberapa tempat, sebelum akhirnya menjadi satu lubang yang dari waktu ke waktu menyemburkan lumpur panas dengan volume yang terus membesar hingga mencapai 50.000 m3 per hari. Permasalahan penanganan lumpur panas ini menjadi jauh lebih berat akibat semakin membesarnya volume lumpur panas yang disemburka dari yang semula antara 40,000 sampai 60,000 m3 (Mei-Agustus) menjadi 126,000 m3 per hari.

Gambar 6 : Lokasi Kolam Penampungan Lumpur. Sumber : United Nations, Environment Assessment Hot Mudflow East Java, Indonesia, Juli 2006

b. Karakteristik Lumpur