Aspek Gaya Bahasa dalam Geguritan Karya Nur Indah

D. Aspek Gaya Bahasa dalam Geguritan Karya Nur Indah

Gaya bahasa berkaitan dengan aspek keindahan. Pada dasarnya dalam karya sastra, gaya bahasa memegang peranan penting. Menurut Nyoman Kutha Ratna (2009: 22) gaya bahasa adalah ekspresi linguistis, baik di dalam puisi maupun prosa (cerpen, novel, dan drama). Gaya bahasalah yang menjadi unsur pokok untuk mencapai berbagai bentuk keindahan.

Metode yang digunakan untuk meneliti gaya bahasa menggunakan metode padan. Teknik yang digunakan adalah teknik dasar pilah unsur penentu (PUP) yang bertumpu pada kompetensi peneliti tentang gaya bahasa terhadap ciri penentu yang berupa referen yang berada di luar kalimat gaya bahasa itu.

1. Anafora

Anafora merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata atau frase yang sama di depan larik-larik atau kalimat-kalimat sebelumnya secara berulang. (230) Endi srimpiku

Endi bedayaku Endi sabukwalaku Endi pinjung kencongku ‘Mana tari serimpiku’ ‘Mana tari bedayaku’ ‘Mana sabukwalaku’ ‘Mana pinjung kencongku’

(231) Kadya prajurit kang siyaga, gagah mrabawani Kadya priya agung kang angemban dhawuh mukti Kadya ratu sinatriya kang sugih gegaman praja ‘Seperti prajurit yang siaga, gagah berwibawa’ ‘Seperti pria agung yang mengemban amanah luhur’ ‘Seperti raja satriya yang kaya senjata negara’

(232) Pasare wus ilang kumandhange Pasar gedhe, cilik bakule Pasar cilik bakule lungguh dhingklik Pasar menthik bakule mung thoklak-thaklik Pasar klithik trima anyenthik sentik ‘Pasarnya sudah hilang kumandangnya’ ‘Pasar besar, kecil penjualnya’ ‘Paasar kecil penjualnya duduk dingklik’ ‘Pasar kecil penjualnya hanya mangguk-mangguk’ ‘Pasar kecil terima berkutik-kutik’

(233) Ora ana godhong jati Ora ana godhong gedhang Ora ana jiting Ora ana krenjang ‘Tidak ada daun jati’ ‘Tidak ada daun pisang’ ‘Tidak ada lidi’ ‘Tidak ada keranjang’

Data (233) sampai (236) merupakan satu kesatuan penggunaan gaya bahasa anafora. Pada data (233) ditemukan pengulangan kata endi ‘mana’ sebanyak empat kali perulangan yang terjadi pada setiap permulaan baris geguritan. Pada data (234) terdapat pengulangan kata kadya Data (233) sampai (236) merupakan satu kesatuan penggunaan gaya bahasa anafora. Pada data (233) ditemukan pengulangan kata endi ‘mana’ sebanyak empat kali perulangan yang terjadi pada setiap permulaan baris geguritan. Pada data (234) terdapat pengulangan kata kadya

2. Personifikasi

Gaya bahasa pesonifikasi adalah gaya bahasa perbandingan yang membandingkan benda mati atau tidak bergerak seolah-olah bernyawa dan dapat berperilaku seperti manusia

(234) Tumiuping angin kemrisik nyapa godhong-godhong garing ‘Bertiupnya kemerisik angin menyapa daun-daun kering’

(235) Katon pucuking candhi Borobudhur njenggereng meneng (P2/APM/1)

‘Terlihat ujung candi Borobudur hanya diam’ (236) Dhusun kepuh ngawe-awe (P2/APM/1)

‘Desa kepuh melambai-lambai’ (237) Ing kadohan pucuking menoreh ngenteni tekaku (P2/APM/1)

‘Dari kejauhan ujung menoreh menanti datangku’ (238) Trimah digeguyu sesuketan (P2/BDI/7)

‘Menerima ditertawakan rumput’ (239) Godhong-godhong garing sutik anyapa (P2/BDI/7)

‘Daun-daun kering sungkan menyapa’ (240) Rembulan rina kirim esem sendhu (P2/KSL/1)

‘Bulan siang mengirim senyum sendu’ (241) Gegondhelan playuning ayang-ayang (P2/KL/1)

‘Berpegangan larinya baying-bayang’ (242) Tembang kangen kang kasaput jeriting sekar pegatsih (P2/KL/1)

‘Lagu rindu yang terhapus teriakan lagu pegatsih’

Data (237) sampai data (245) merupakan penggunaan gaya bahasa personifikasi. Seperti dalam data (237) yang menggambarkan adanya perbandingan antara hembusan angin yang

pada data (237) referennya adalah suatu aktivitas yang dilakukan manusia. Pada data (237) aktivitas nyapa ‘menyapa’ digambarkan dilakukan oleh angin sehingga terjadi gaya penginsanan atau personifikasi. Pada data (238) gaya bahasa personifikasi disuratkan berupa penyamaan candi Borobudur yang sedang diam seperti manusia. Kata meneng ‘diam’ pada data (238) referennya adalah aktivitas manusia yang tak bergerak. Pada data (238) aktivitas meneng ‘diam’ digambarkan dilakukan oleh candi Borobudur sehingga terjadi gaya bahasa personifikasi. Pada data (239) gaya personifikasi digambarkan oleh pengarang berupa penggambaran desa Kepuh yang ngawe-awe ‘melambai-lambai’ seolah-olah punya tangan seperti manusia. Pada data (239) terdapat kata ngawe-awe ‘melambai-lambai’ yang referennya adalah suatu pekerjaan yang dilakukan manusia. Pada data (239) digambarkan pekerjaan ngawe-awe ‘melambai-lambai’ dilakukan oleh dhusun Kepuh sehingga terjadi penginsanan atau gaya bahasa personikasi. Pada data (240) pengungkapan gaya personifikasi diwujudkan berupa penggambaran pucuk menoreh yang menunggu kedatangan seorang manusia. Pada data (240) terdapat kata ngenteni ‘menunggu’ yang referennya adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh manusia. Kata ngenteni ‘menunggu’ pada data (240) digambarkan sedang dilakukan oleh pucuking menoreh ‘ujungnya menoreh’ sehinga terjadi suatu gaya penginsanan atau personifikasi. Pada data (241) menggambarkan rerumputan bisa tertawa seperti manusia. Pada data (241) terdapat kata digeguyu ‘ditertawai’ yang referennya adalah suatu ekspresi yang dilakukan manusia. Kata digeguyu ‘ditertawai’ pada data (241) digambarkan diperbuat oleh sesuketan ‘rerumputan’ sehingga terjadi suatu bentuk penginsanan atau gaya bahasa personifikasi. Data (242) adanya gaya personifikasi terwujud dengan penggambaran dedaunan yang sungkan dalam menyapa. Pada data (242) terdapat kata sutik ‘sungkan’ yang referennya adalah sikap yang dimiliki oleh manusia. Kata sutik ‘sungkan’ pada data (242) digambarkan sikap sutik ‘sungkan’ dimiliki oleh

godhong-godhong ‘daun-daun’. Sehingga data (242) terjadi suatu bentuk penggunaan gaya bahasa personifikasi. Pada data (243) penggunaan gaya personifikasi dipaparkan dalam baris geguritan yang menggambarkan bulan yang bisa tersenyum sendu seperti manusia. Pada data (243) terjadapat frase kirim esem ‘mengirim senyum’ yang memiliki referen berupa perbuatan manusia. Pada data (243) digambarkan rembulan kirim esem ‘mengirim senyum’ sehingga terjadi suatu bentuk gaya bahasa personifikasi. Pada data (244) mengungkapkan bayang-bayang yang bisa berlari seakan-akan seperti makhluk hidup yang berlari. Data (244) terdapat kata playuning ‘larinya’ yang referennya adalah salah satu tindakan yang bisa dilakukan manusia. Dalam data (244) digambarkan ayang-ayang ‘bayang-bayang’ sedang berlari sehingga merupakan suatu bentuk penginsanan atau gaya bahasa personifikasi. Penggunaan gaya personifikasi dalam data (245) tergambarkan oleh sebuah lagu bernama pegatsih yang bisa berteriak. Dalam data (245) terdapat kata jeriting ‘teriaknya’ yang referennya adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh manusia. Pada data (245) digambarkan sekar pegatsih bisa teriak sehingga hal ini merupakan suatu bentuk penginsanan atau gaya bahasa personifikasi.

3. Klimaks

Klimaks termasuk dalam gaya bahasa penegasan dan menyatakan beberapa hal berturut- turut, makin lama makin memuncak intensitasnya.

(243) Direwangi tombok bandha donya. Bahu pikir Sakpecahing dhadha Wutahing ludira Tumekeng pecating nyawa (P2/RWP/5) ‘Direlakan berkorban harta benda’ ‘Tenaga dan pikiran’ ‘Pecahnya dada’ ‘Tertumpahnya darah’ ‘Sampai pisahnya nyawa’

Pada data (248) secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang mengungkapkan gaya bahasa klimaks. Hal ini dapat diidentifikasi pada pengungkapan pengarang pada tiap baris. Mulai dari mengorbankan bandha donya ‘harta benda’, bahu pikir ‘tenaga dan pikiran’, sakpecahing dhadha ‘pecahnya dada’, wutahing ludira ‘tertumpahnya darah’, hingga pecating nyawa ‘mati’ dilakukan oleh seorang tokoh dalam geguritan tersebut.

4. Repetisi

Gaya bahasa repetisi adalah gaya bahasa penegasan dengan jalan mengulang sepatah kata berkali-kali dalam kalimat yang lain. Gaya bahasa retoris biasanya digunakan oleh orator yaitu orang yang ahli retorika

(244) Wilujeng tidak kangmas Rahayu, rahayu, rahayu (P2/RWP/12) ‘Selamat jalan kakak’ ‘Selamat, selamat, selamat’

(245) Endi srimpiku, endi bedayaku Endi wironku, endi nyamping samparanku (P2/MWA/4) ‘Mana tari serimpiku, mana tari bedayaku’ ‘Mana wironku, mana nyamping samparanku’

(246) Beda beksan beda rasa Beda ageman beda rupa (P2/MWA/5) ‘Beda tarian beda rasa’ ‘Beda busana beda wujud’

(247) Mandheka … mandhek … mandhek, aja mbokbacutne lakumu wis kliru (P2/BDI/7) ‘Berhentilah, berhenti, berhenti, jangan kamu lanjutkan jalanmu yang keliru’

(248) Pasar cilik wus ilang gumrengenge Pasar gedhe wus ilang kumandhange (P2/PIK/4) ‘Pasar kecil sudah hilang gaungnya’ ‘Pasar besar sudah hilang kumandangnya’

(249) Kapan bakaling sumusul Ing papan sumare Kang tebih ing mosiking jagad Ing papan sumare Kang nuwuhake rasa ayem tentrem Ing papan sumare Ing swarga kapti

‘Kapan bakal bisa menyusul’ ‘Di liang lahat ‘Yang jauh dari pergerakan dunia’ ‘Di liang lahat’ ‘Yang menimbulkan rasa tenteram’ ‘Di liang lahat’ ‘Di surga harapan’

(250) Panganggon dudu sandhangane Jogetan dudu beksane Asma dudu jenenge (P2/SK/2) ‘Pakaian bukan busananya’ ‘Perjoget bukan tariannya’ ‘Nama bukan namanya’

Data (247) ditemukan perulangan kata rahayu ‘selamat’ yang menegaskan maksud pengarang mendoakan keselamat dengan kesungguhan hati. Pada data (248) ditemukan adanya pengulangan kata endi ‘mana’ sebanyak dua kali pada baris pertama dan dua kali pada baris dibawahnya. Pada data (249) ditemukan adanya pengulangan kata beda ‘berbeda’ sebanyak dua kali pada baris pertama dan dua kali pada baris dibawahnya. Data (250) ditemukan perulangan kata mandhek ‘berhenti’ yang menegaskan maksud seorang tokoh yang meminta sungguh- sungguh supaya berhenti. Pada data (251) terdapat kata pasar ‘pasar’ dan frase wus ilang ‘sudah hilang’ yang diulang pada baris berikutnya. Pada data (252) terdapat pengulangan frase ing papan sumare ‘di tempat penguburan’ yang menegaskan bahwa papan sumare ‘tempat penguburan’ adalah benar-benar tempat yang didambakan. Pada data (253) ditemukan adanya perulangan kata dudu ‘bukan’ sebanyak tiga kali perulangan. Memberikan sebuah penegasan bahwa semuanya bukan hal yang asli.

5. Ironi

Ironi adalah gaya bahasa sindiran yang menyatakan sebaliknya dengan maksud menyindir.

(251) Kula tumbas bebener Jare salah bener iku bisa tinuku adol (P2/TS/3) ‘Saya beli kebenaran’ ‘Katanya salah benar bisa dibeli dan dijual’

(252) Jare suwarga bisa tinuku nganggo donya arta Mbok bakule blanjan (P2/TS/5) ‘Katanya surga bisa dibeli dengan harta benda’ ‘Ibu penjualnya gajian’

Data (254) merupakan bentuk gaya bahasa atau majas ironi. Data (254) menggambarkan sindiran karena kebenaran yang sebenarnya tidak bisa dibeli, diungkapkan katanya kebenaran itu bisa dibeli dan dijual. Sindiran ini menandakan bahwa kebenaran sudah dijadikan oleh objek dagangan sekelompok orang. Baris jare salah bener iku bisa tinuku adol ‘katanya benar salah itu bisa diperjualbelikan’ mengungkapkan sindiran pengarang yang menggambarkan bahwa nilai kebenaran dan kesalahan sudah bisa diperdagangkan, yang kaya yang berkuasa atas nilai tersebut. Data (255) merupakan sindiran pengarang yang menggambarkan bahwa surga bisa dibeli dengan harta benda. Dalam hal ini surga seakan-akan ada dibawah kekuasaan orang yang kaya. Padahal sejatinya surga tidak bisa dibeli, pengungkapan kata jare adalah sindiran bahwa sekaya apapun seseorang tak akan bisa membeli surga dan surga tidak bisa diperjualbelikan.

6. Antitesis

Antitesis adalah gaya bahasa pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan

(253) Pasar gedhe, cilik bakule (P2/PIK/1) ‘Pasar besar, kecil penjualnya’

Pada data (256) bentuk gaya bahasa antitesis teridentifikasi dengan ditemukannya bentuk kata yang bertentangan yaitu gedhe ‘besar’ dan cilik ‘kecil’

7. Simile

Simile merupakan gaya bahasa perbandingan, menyamakan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding. Gaya bahasa simile merupakan gaya bahasa perbandingan yang bersifat eksplisit.

(254) Seket taun kiprah ing tlatah Sala Akeh pait getir, abang biru, asem manise lelakon Kadya amuke segara kidul Sakkala peteng ndhedhet, nyenyet, kadya alas Krendhawahana (P2/RWP/2) ‘Lima puluh tahun berkiprah di wilayah Solo ‘Banyak pahit getir, merah biru, asam manisnya lelakon’ ‘Seperti amarahnya laut selatan’ ‘Seketika gelap gulita sekali, seperti hutan Krendhawahan

(255) Kadya prajurit kang siyaga, gagah mrabawani (P2/APM I/1) Kadya priya agung kang angemban dhawuh mukti Kadya ratu sinatriya kang sugih gegaman praja ‘Seperti prajurit yang siaga, gagah berwibawa’ ‘Seperti pria agung yang mengemban amanah luhur’ ‘Seperti raja satriya yang kaya senjata negara’

(256) Bilih ati kang suci iki datan nate owah Pindha karang ing saktengahing samodra (P2/KL/1) ‘Hati yang suci ini tidak pernah berubah’ ‘Seperti karang di tengah samudra’

(257) Pindha lintang wengi kang tansah anganthi-anthi Lungaku iki Mung sakdremi Ngetutake lampahing suku kedheping netra (P2/KL/1) ‘Seperti bintang malam’ ‘Pergiku ini’ ‘Hanya sekedar’ ‘Mengikuti jalannya kaki dan berkedipnya mata’

Pada data (257) sampai dengan data (260) merupakan data penggunaan gaya bahasa simile. Gaya ini digunakan untuk menggambarkan situasi dan atau kondisi yang terjadi dalam geguritan karya Nur Indah. Data (257) menggambarkan bahwa berjuang di kota Solo banyak hal yang menyulitkan dalam kehidupan. Digambarkan kehidupan lima puluh tahun di Kota Solo seperti amarah laut selatan dan terkadang juga seperti di hutan Krendhawahana. Data (258) merupakan bentuk penggunaan gaya bahasa simile. Gaya simile ini dapat dilihat dengan adanya penanda berupa kata bebasan ‘ibarat’. Kemudian pada data (258) juga terdapat penanda gaya simile berupa kata kadya ‘seperti’ sebanyak tiga kali perulangan. Data (258) menggambarkan bahwa dari kejauhan pucuk menoreh seperti prajurit yang siaga gagah dan berwibawa, seperti raja agung, dan seperti satriya. Pada data (259) merupakan bentuk penggunaan gaya bahasa simile yang menggambarkan hati yang suci tak pernah berubah seperti batu karang di tengah samudera. Pada data (260) terdapat kata pindha ‘seperti’ sebagai bentuk penanda penggunaan gaya bahasa simile. Diibaratkan bahwa kepergian seseorang seperti bintang malam yang terkadang beralih dari tempat satu ke tempat lain.

8. Retoris

Retoris merupakan gaya bahasa yang mempergunakan kalimat tanya, akan tetapi pertanyaan itu tidak memerlukan jawaban karena sudah diketahui

Geneya isih padha grejegan Dudon padudon (P2/BDI/2) ‘Lima puluh tahun lagi sudah tidak tahu apa-apa’ ‘Kenapa masih berselisih’ ‘Bertengkar-tengkaran’

(259) Rungokna Kae sangkalane wus jumlerit Geneya isih padha rebut panggon Pamer anggon (P2/BDI/3) ‘Dengarkan’ ‘Itu sengkalanya sudah berteriak-teriak’ ‘Kenapa masih berebut tempat’ ‘Pamer kedudukan’

(260) Bedhahing dhodhotira Geneya ora gawe lingseme manahira (P2/BDI/8) ‘Bedahnya pakaianmu’ ‘Kenapa tidak membuat malunya hatimu’

(261) Bayar susuk permen apa bata (P2/PIK/2) ‘Bayar kembali permen atau batu bata’

(262) Kula tumbas bebener Regine pinten (P2/TS/4) ‘Saya beli kebenaran’ ‘Harganya berapa’

(263) Yen donga wae ora bisa Banjur kapan bisane mungah suwarga (P2/TS/4) ‘Kalau doa saja tidak bisa’ ‘Lalu kapan bisanya naik surga’

(264) Endi Soloku endi jawaku (P2/SK/2) ‘Mana Soloku mana Jawaku’

Data (261) sampai dengan data (267) merupakan penggunaan gaya bahasa retoris dalam geguritan karya Nur Indah. Data (261) merupakan gaya bahasa retoris karena pertanyaan tersebut tanpa jawaban. Perkelahian pasti merugikan. Data (262) merupakan gaya bahasa retoris karena berebut posisi dan pamer kedudukan adalah hal yang pasti tidak baik. Data (263) merupakan gaya bahasa retoris. Orang yang memakai baju terbuka seharusnya merasa malu. Data (264) Data (261) sampai dengan data (267) merupakan penggunaan gaya bahasa retoris dalam geguritan karya Nur Indah. Data (261) merupakan gaya bahasa retoris karena pertanyaan tersebut tanpa jawaban. Perkelahian pasti merugikan. Data (262) merupakan gaya bahasa retoris karena berebut posisi dan pamer kedudukan adalah hal yang pasti tidak baik. Data (263) merupakan gaya bahasa retoris. Orang yang memakai baju terbuka seharusnya merasa malu. Data (264)

9. Hiperbol

Hiperbol adalah cara pengungkapan dengan melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan itu menjadi tidak masuk akal.

(265) Ya gene eluh iki Terus tumetes Tumetes Nelesi tepining Jalanidi (P2/RWP/10) ‘Kenapa air mata ini’ ‘Terus menetes’ ‘Menetes’ ‘Membasahi tepinya’ ‘Laut’

(266) Trisula ambedhah dhadha Susuk tukon ajining raga Banjir getih wutahing ludira (P2/APM I/1) ‘Trisula membedah dada’ ‘Susuk sebagai kesaktian raga’ ‘banjir darah tumpahnya darah’

(267) Amising getih mbanjir mili ing laladan (P2/APM II/1) ‘Anyirnya darah banjir mengalir di seluruh wilayah’

Data (268) sampai dengan data (270) merupakan gaya bahasa hiperbol. Data (268)

‘membahasahi tepi semudera’. Data (269) menggambarkan dada yang dibedah atau ditusuk trisula mengeluarkan darah hingga banjir getih ‘darahnya membanjir’. Pada data (270) juga menggambarkan anyirnya bau darah hingga mbanjir mili ‘banjir mengalir’ membanjiri medan perang.

10. Metafora

Metafora adalah gaya bahasa perbandingan tanpa menggunakan kata seperti atau bagaikan. Gaya bahasa ini mengungkapkan perbandingan secara implisit di antara dua hal yang berbeda.

(268) Kembang madu kang rinonce sakdawaning uripmu (P2/RWP/1) ‘Bunga madu yang terangkai disepanjang hidupmu’

(269) Mbacutne jangkahmu Kang nate kokgarisake Ing sakambaning jagad kabudayan (P2/RWP/3) ‘Melanjutkan langkahmu’ ‘Yang pernah kamu gariskan’ ‘Di luasnya jagad kebudayaan’

(270) Panggulen sungginen dadekna makutha Warisan agung budaya bangsa (P2/MWA/3) ‘Panggulah pikulah jadikanlah mahkota’ ‘Warisan agung budaya bangsa’

(271) Ndonyane wis kalungan wesi (P2/BDI/1) ‘Dunianya sudah berkalung besi’

(272) Yen wis ana iwak mabur ing awang-awang Yen wis ana ula kebat playune Yen iku wis titi wancine (P2/BDI/5) ‘Kalau sudah ada ikan terbang di angkasa’ ‘Kalau sudah ada ular cepat larinya’ ‘Kalau itu sudah tiba waktunya’

Data (271) sampai dengan data (275) adalah penggunaan gaya bahasa metafora. Pada Data (271) sampai dengan data (275) adalah penggunaan gaya bahasa metafora. Pada