Geguritan Karya Nur Indah Dalam Pagupon 2 (Suatu Kajian Stilistika)

GEGURITAN KARYA NUR INDAH DALAM PAGUPON 2 (SUATU KAJIAN STILISTIKA)

Diajukan Untuk Melengkapi sebagian Persyaratan guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun Oleh: Febrianto Hanggoro Putro C0108030

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

MOTTO

Kekuatan tidak berasal dari kapasitas fisik. Kekuatan berasal dari kemauan yang gigih.

“Mahatma Gandhi”

Tenang dalam pikiran, tenang dalam ucapan, tenang dalam perbuatan, ia yang berpengertian benar, telah bebas, damai, dan seimbang “Buddha Gotama (Dhammapada: 96)”

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Bapak, Ibu, Adik, Teman-teman, serta Almamaterku.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi berjudul “Kajian Stilistika Geguritan Karya Nur Indah”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Segala hambatan dalam proses penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bimbingan, petunjuk serta bantuan dari pelbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Drs. Supardjo, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah berkenan memberikan izin penulisan skripsi ini.

3. Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Pembimbing Akademik yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Drs. Sri Supiyarno, M.A., selaku pembimbing I dengan penuh kesabarannya telah memberikan bimbingan, saran, dan nasihat demi terselesaikannya skripsi ini.

5. Drs. Yohanes Suwanto, M.Hum., selaku pembimbing II atas bimbingannya telah memberi masukan demi penyempurnaan skripsi ini.

6. Bapak Ibu Dosen beserta staf Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas

Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya. 7. Kepada UPT Perpustakaan UNS dan FSSR, terima kasih atas pelayanannya

selama penulis membutuhkan referensi. 8. Bapak, Ibu, dan adikku tersayang, yang telah memberikan doa, dukungan,

semangat, motivasi, dan kepercayaan sehingga dapat menempuh kuliah sampai akhir.

9. Teman-teman Sastra Daerah angkatan 2008, terima kasih atas bantuan, dukungan dan motivasinya, semoga sukses. 10. Teman-teman LPM Kalpadruma, terimakasih atas dukungan dan motivasinya. 11. Semua pihak yang membantu hingga terselesaikannya skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam berbagai hal karena terbatasnya kemampuan penulis. Maka penulis mengharap kritik dan saran guna menyempurnakan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi diri penulis dan orang lain.

Surakarta, Desember 2012

Penulis

B. Saran ................................................................................................. 123 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 125

DAFTAR TANDA, LAMBANG, DAN SINGKATAN 1. Daftar Tanda

: Ada bagian yang dihilangkan

: Pengapit terjemahan

: Pengapit ejaan fonetis

: Untuk mengapit proses pembentukan kata

: Tanda opsional atau pelengkap

: Garis miring menyatakan atau

>< : Tanda sudut menandakan lawan kata/antonim -

: Tanda hubung maksudnya bergabung dengan =

: Menjadi

2. Lambang

E : Melambangkan bunyi vokal /ê/, seperti pintêr ’pandai’ O

: Melambangkan bunyi vokal /o/ belakang bulat, seperti

[klOpO] ’kelapa’

3. Daftar Singkatan

BUL

: Bagi Unsur Langsung

RWP

: Rahayu kang Wus Purna

MWA

: Manggul Warisan Agung

SWS

: Sabukwalaku SBCmu

APM I

: Ana Keluk ing Pucuking Menoreh I

APM II

: Ana Keluk ing Pucuking Menoreh II

BDI

: Bedhahe Dhodhotira

PIK

: Pasare Wus Ilang Kumandhange

TS

: Tumbas Suwarga

KSL

: Kang Sumare Wus Lerem

: Kasetyan Langgeng

PUP

: Pilah Unsur Penentu

DAFTAR BAGAN

Bagan Kerangka Pikir.......................................................................33

ABSTRAK

Febrianto Hanggro Putro. C0108030. 2012. Geguritan Karya Nur Indah dalam Pagupon 2 (Suatu Kajian Stilistika) . Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimanakah pemanfaatan dan pemilihan aspek-aspek bunyi bahasa geguritan karya Nur Indah dalam buku Pagupon 2?; (2) bagaimanakah diksi dalam geguritan karya Nur Indah dalam buku Pagupon 2?; (3) Gaya bahasa apa sajakah yang terdapat dalam geguritan karya Nur Indah dalam Pagupon 2?; (4) bagaimanakah aspek pencitraan dalam geguritan Nur Indah dalam buku Pagupon 2?

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah data tulis yang berupa geguritan karya Nur Indah tahun 2012 yang di dalamnya terdapat aspek bunyi, diksi, gaya bahasa, dan pencitraan. Sumber data penelitian ini adalah buku Pagupon 2 tahun 2012. Jumlah geguritan yang diteliti adalah 11 geguritan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh geguritan karya Nur Indah yang terdapat dalam buku Pagupon 2 tahun 2012. Sampel data penelitian ini adalah satuan lingual yang mengandung unsur-unsur stilistika (aspek bunyi, diksi, gaya bahasa, dan pencitraan) dalam 11 geguritan karya Nur Indah tahun 2012 yang memenuhi syarat representatif untuk dianalisis. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak, kemudian ditindaklanjuti dengan teknik catat. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode distribusional dan metode padan. Metode distribusional digunakan untuk menganalisis aspek bunyi dan diksi atau pilihan kata dengan teknik dasar BUL (Bagi Unsur Langsung) dan teknik lanjutan berupa teknik interpretasi. Sedangkan metode padan digunakan untuk menganalisis gaya bahasa dan pencitraan dengan teknik dasar PUP (Pilah Unsur Penentu). Daya pilah yang digunakan adalah daya pilah referensial. Adapun metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode informal.

Berdasarkan asil analisis data dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan aspek-aspek stilistika dalam geguritan karya Nur Indah dalam buku Pagupon 2 tahun 2012, ditemukan adanya asonansi (purwakanthi suwara), aliterasi (purwakanthi sastra), dan lumaksita (purwakanthi basa). Diksi dalam geguritan karya Nur Indah dalam buku Pagupon 2 tahun 2012, yaitu pemakaian (1) sinonim, (2) antonim, (3) tembung saroja, (4) tembung plutan, (5) kata bahasa Kawi, (6) struktur morfologi, yang mencakup bentuk-bentuk literer yang berafiks dan reduplikasi yang mencakup dwilingga dan dwipurwa, (7) idiom. Pemakaian gaya bahasa dalam geguritan karya Nur Indah tahun 2012 yaitu (1) anafora, (2) personifikasi, (3) klimaks, (4) repetisi, (5) ironi, (6) antitesis, (7) simile, (8) retoris, (9) hiperbol, (10) metafora. Pemakaian pencitraan yang terdapat dalam geguritan karya Nur Indah tahun 2012 yaitu (1) citra penglihatan, (2) citra gerak, (3) citra pendengaran, (4) citra perabaan, (5) citra penciuman.

SARI PATHI

Febrianto Hanggro Putro. C0108030. 2012. Geguritan Karya Nur Indah dalam Pagupon 2 (Suatu Kajian Stilistika). Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra lan Seni Rupa Pawiyatan Luhur Sebelas Maret Surakarta.

Pêrkawis ingkang dipuntaliti salêbêting panalitèn, inggih punika: (1) kadospundi mumpangatipun lan pamilihing perangan suwantên wontên gêguritan anggitanipun Nur Indah ing buku Pagupon 2?; (2) kadospundi pamilihing têmbung wontên gêguritan anggitanipun Nur Indah ing buku Pagupon 2?; (3) lêlewaning basa menapa kemawon ingkang wontên ing gêguritan anggitanipun Nur Indah ing buku Pagupon 2?; (4) punapa pigunanipun citra wontên gêguritan anggitanipun Nur Indah ing buku Pagupon 2?

Jinising panalitèn inggih mênika deskriptif kualitatif. Data wontên panalitèn punika data tulis ingkang arupi gêguritan anggitanipun Nur Indah tahun 2012 ingkang ing lêbêtipun wontên perangan suwantên, pamilihipun têmbung, lêlewaning basa, lan citra. Sumber data panalitèn punika buku Pagupon 2 tahun 2012. Gunggungipun gêguritan ingkang dipuntaliti wontên 11 gêguritan. Populasi wontên panalitèn punika inggih mênika sêdaya gêguritan anggitanipun Nur Indah wontên ing buku Pagupon 2 tahun 2012. Sampel data panalitèn punika inggih mênika satuan lingual ingkang ngandhut unsur-unsur stilistika (perangan suwantên, diksi, lêlewaning basa, lan citra) ing 11 gêguritan anggitanipun Nur Indah tahun 2012. Pangêmpalanipun data katindakakên kanthi metode simak, salajêngipun dipunlajêngakên kanthi teknik catat. Metode ingkang dipun- ginakakên kangge ngandharakên data inggih mênika metode distribusional lan metode padan . Metode distribusional dipun-ginakakên kangge ngandharakên perangan suwantên lan pamilihing têmbung kanthi teknik dasar BUL (Bagi Unsur Langsung) lan teknik lanjutan arupi teknik interpretasi. Dene metode padan dipun-ginakakên kangge ngandharakên lêlewaning basa lan perangan-perangan citra kanthi teknik dasar PUP (Pilah Unsur Penentu). Daya pilah ingkang dipun- ginakakên inggih mênika daya pilah referensial. Wondene metode penyajian hasil analisis data migunakakên metode informal.

Asiling panalitèn mênika inggih mênika dipin-panggihake peranganipun purwakanthi suwara, purwakanthi sastra, lan purwakanthi basa. Pamilihing têmbung ing gêguritan anggitanipun Nur Indah ing buku Pagupon 2 tahun 2012, dipunpanggihakên wontênipun (1) sinonim, (2) antonim, (3) tembung saroja, (4) tembung plutan, (5) tembung saking basa Kawi, (6) struktur morfologi, ingkang nyakup cak-cakan tembung endah ingkang mawa panambang lan tembung rangkep ingkang nyakup dwilingga lan dwipurwa, (7) idiom. Lêlewaning basa wontên ing gêguritan anggitanipun Nur Indah tahun 2012 inggih mênika (1) anafora , (2) personifikasi, (3) klimaks, (4) repetisi, (5) ironi, (6) antitesis, (7) simile , (8) retoris, (9) hiperbol, (10) metafora. Peranganipun citra wontên ing gêguritan anggitanipun Nur Indah tahun 2012 inggih mênika (1) citra penglihatan , (2) citra gerak, (3) citra pendengaran, (4) citra perabaan, (5) citra penciuman .

ABSTRACT

Febrianto Hanggro Putro. C0108030. 2012. Geguritan (Javanese poem)of Nur Indah’s Work in Pagupon 2 (A Stylistic Study) . Degree: Javanese Letters Department, Faculty of Letters and Fine Arts, Sebelas Maret University Surakarta.

Some problems discussed in this study are: (1) How are the utilization and the selection of language sound aspects of Geguritan of Nur Indah’s Work in Pagupon 2 ? (2) How is the diction or the words selection in Geguritan of Nur Indah’s Work in Pagupon 2? (3) What types of figure of speech found in Geguritan of Nur Indah’s Work in Pagupon 2? (4) How is the imaging aspects in Geguritan of Nur Indah’s Work in Pagupon 2?

This study is qualitative descriptive. Data in this study is written data in the form of geguritan of Nur Indah’s work 2012, where presents sound aspects, diction, figure of speech, and imaging. Data source of this study is Pagupon 2 2012. The number of geguritans studied are 11 geguritans. Population of this study is all geguritan of Nur Indah’s work in the Pagupon 2 2012. Data sampling of this study are lingual units, which contain stylistic elements (sound aspects, diction, figure of speech, and imaging) in the eleven geguritans of Nur Indah’s works in 2012 that fulfill representative requirements to be analyzed. Data collecting is done by observation method, then followed up by documentation technique. Methods used in analyzing the data are distributional and matching methods. Distributional method is used in analyzing the sound aspects and diction or the words selection by a base technique BUL (Bagi Unsur Langsung/ Direct Elements Division) and an advanced technique, that is interpretation. Whereas matching method is used in analyzing figure of speech and imaging by a base technique PUP (Pilah Unsur Penentu/ Determinant Element Sorting). The sorting effort used in this study is referential shorting efforts. Whereas the presentation method of the result of the data analysis uses informal method.

Based on the results of data analysis, it can be concluded that the utilization of stylistic aspects in geguritan of Nur Indah’s work in Pagupon 2 2012, it is found that there are done assonance (purwakanthi suwara), alliteration (purwakanthi sastra), and purwakanthi basa. The words selection or diction in geguritan of Nur Indah’s work in Pagupon 2 2012, that is the use of (1) synonyms, (2) antonyms, (3) tembung saroja, (4) tembung plutan, (5) Kawi language words, (5) morphologic structures, which includes some forms of litterer having affixes and reduplication that covering dwilingga and dwipurwa, (7) idioms. The use of figure of speech in geguritan of Nur Indah’s work 2012 are (1) anaphora, (2) personification, (3) climax, (4) repetition, (5) irony, (6) antithesis, (7) simile, (8) rhetoric, (9) Hyperbole, (10) metaphor. The use of imaging in geguritan of Nur Indah’s work 2012 are (1) sight imaging, (2) motion imaging, (4) hearing imaging, (4) feeling imaging, and (5) smelling imaging.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa yang dimiliki oleh setiap manusia tidak dapat dipisahkan dengan segala aktivitasnya. Bahasa menjadi sarana yang penting dan efektif untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain. Dalam KBBI (2007:88), bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Dalam Harimurti Kridalaksana (2008:24) bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.

Penggunaan bahasa dalam suatu karya sastra merupakan perwujudan seni. Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra, dihasilkan dari imajinasi serta ide kreatif pengarang (sastrawan) dengan realitas. Realitas menjadi ladang luas bagi sastrawan untuk mendapatkan ispirasi. Sastrawan selalu berupaya melakukan penggalian ide, proses berpikir, pengendapan pengalaman, dan penghayatan terhadap kehidupan untuk kemudian menghasilkan karya- karya dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bermutu dan bermanfaat bagi kehidupan. Kemudian diungkapkan menjadi rangkaian tuturan secara khas, kaya kiasan dan kata-kata indah.

Puisi dapat diungkapkan dalam berbagai bahasa antara lain dalam bahasa Inggris disebut poetry, dalam bahasa Indonesia disebut ‘puisi’, dan dalam bahasa Jawa disebut

‘geguritan’. Geguritan adalah jenis puisi Jawa modern. Karya sastra Jawa ini tidak terikat oleh aturan-aturan yang ketat seperti aturan jumlah baris pada tiap bait (guru gatra), aturan jumlah suku kata setiap baris (guru wilangan), aturan bunyi vokal di akhir baris (guru lagu), persajakan (purwakanthi), dan sifat atau watak. Seperti dalam penulisan kesusastraan Indonesia penulisan geguritan bersifat bebas. Pengungkapan dalam geguritan cenderung menggunakan bahasa sederhana. Isinya mudah dipahami dan mengadung suatu amanat. Amanat tersebut disampaikan oleh pengarang melalui kata-kata yang ritmis.

Geguritan merupakan perwujudan kreativitas berbahasa. Bahasa dalam geguritan mengandung imajinasi tinggi. Geguritan mampu membuat pembaca tertarik untuk memahami kata demi kata, baris demi baris, bait demi bait, bahkan dari antologi geguritan satu ke antologi geguritan lainnya. Dasar penggunaan bahasa dalam geguritan bukan hanya sekadar paham. Sebab, keberdayaan pemilihan kata merupakan faktor yang lebih penting. Keberdayaan pemilihan kata akan dapat menyajikan efek keindahan dan dapat meningkatkan sensitivitas pembaca. Pengarang memilih kata-kata yang dapat dipahami dengan berbagai pengertian. Seperti kata sekar ‘bunga’, kusuma ‘bunga’, dan puspa ‘bunga’ memiliki kesamaan makna akan tetapi kata-kata tersebut masing-masing memiliki daya pikat untuk menimbulkan respon yang berbeda pada setiap pembaca. Efek keindahan hasil elaborasi bahasa dari pengarang dalam setiap kata dan atau kalimat dalam geguritan pada umumnya dilakukan dengan kesadaran.

Cara pengungkapan bahasa atau pemanfaatan potensi bahasa dalam karya sastra untuk tujuan tertentu dikaji melalui pendekatan stilistika. Stilistika merupakan ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra. Menurut Kridalaksana (2001 : 202) stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; Cara pengungkapan bahasa atau pemanfaatan potensi bahasa dalam karya sastra untuk tujuan tertentu dikaji melalui pendekatan stilistika. Stilistika merupakan ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra. Menurut Kridalaksana (2001 : 202) stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra;

D. Parera, 1993:144) Dalam penelitian ini objek yang dikaji adalah geguritan karya Nur Indah dalam buku Pagupon 2 tahun 2012 terbitan Taman Budaya Jawa Tengah. Peneliti tertarik memilih kajian stilistika geguritan karena kajian ini lebih dapat mengembangkan pemahaman kaidah kebahasaan dan kesusastraan. Geguritan dapat dianalisis secara stilistika karena bahasa yang digunakan memerlukan bunyi bahasa, pemilihan kata dan gaya bahasa yang merupakan unsur pembentuk keindahan bahasa. Alasan mengenai penelitian ini di antaranya: Pertama, geguritan karya Nur Indah merupakan bentuk kesusastraan Jawa berbentuk puisi yang menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Kedua, memiliki nilai-nilai estetik dan ajaran moral serta menggunakan bahasa yang khas. Ketiga, dalam geguritan ditemukan banyak aspek bunyi, pilihan kata dan gaya bahasa.

Bahasa dalam geguritan memiliki style tersendiri, yakni berupa pemilihan kata (diksi) yang terwujud dalam larik-larik geguritan, yang sesuai dengan intrepretasi pengarang dalam memandang hal-hal yang ada di dalam dan di luar dirinya. Misalnya pada setiap larik geguritan mengandung purwakanthi swara ‘asonansi’, purwakanthi sastra ‘aliterasi’, dan purwakanthi basa ‘lumaksita’. Adapun penggunaan style kebahasaan yang digunakan dalam geguritan karya Nur Indah ini menggunakan diksi yang kaya akan pilihan kata seperti adanya tembung saroja , tembung plutan, sinonim, antonim, dan kata dari bahasa Kawi. Selain itu diksi yang digunakan dalam geguritan karya Nur Indah ini juga memiliki kekayaan makna yang penuh sugestif, imajinatif yang mencakup pesan moral yang tersampaikan dengan aspek Bahasa dalam geguritan memiliki style tersendiri, yakni berupa pemilihan kata (diksi) yang terwujud dalam larik-larik geguritan, yang sesuai dengan intrepretasi pengarang dalam memandang hal-hal yang ada di dalam dan di luar dirinya. Misalnya pada setiap larik geguritan mengandung purwakanthi swara ‘asonansi’, purwakanthi sastra ‘aliterasi’, dan purwakanthi basa ‘lumaksita’. Adapun penggunaan style kebahasaan yang digunakan dalam geguritan karya Nur Indah ini menggunakan diksi yang kaya akan pilihan kata seperti adanya tembung saroja , tembung plutan, sinonim, antonim, dan kata dari bahasa Kawi. Selain itu diksi yang digunakan dalam geguritan karya Nur Indah ini juga memiliki kekayaan makna yang penuh sugestif, imajinatif yang mencakup pesan moral yang tersampaikan dengan aspek

Bentuk kreativitas berbahasa dalam geguritan karya Nur Indah menggunakan aspek- aspek bahasa yang bertujuan untuk kepentingan tertentu misalnya sindiran, informasi, nasihat, hiburan dan sebagainya. Contoh:

(1) Kembang madu kang rinonce sakdawaning uripmu Wus kasuntak sat saksuwening wektu Pinangkas ngabdi marang nusa lan bangsa Lelados ing sakambaning jagad budaya (P2/RWP/1)

‘Bunga madu yang terangkai sepanjang hidupmu’ ‘Sudah tertuang habis sepanjang lamanya waktu’ ‘Terpotong untuk mengabdi pada nusa dan bangsa’ ‘Berbakti di seluasnya jagad budaya’

Bentuk geguritan pada data (1) di atas memiliki nilai estetik dengan pola persajakan a-a-b-b, yaitu bunyi akhir [u] pada kata uripmu ‘hidupmu’ dan wektu ‘waktu’, dan bunyi akhir [a] pada kata bangsa ‘bangsa’ dan budaya ‘budaya’. Kemudian juga persamaan bunyi pada baris geguritan yang menghasilkan bunyi geguritan lebih indah. Dalam data (1) juga terdapat bentuk kata berafiks yang menimbulkan kesan indah pada kata sakdawaning ‘sepanjang’, saksuwening ‘sepanjang lamanya’, pinangkas ‘dipangkas’, dan sakambaning ‘seluasnya’. Data (1) merupakan contoh dari potongan geguritan karya Nur Indah berjudul “Rahayu kang Wus Purna” pada bait pertama.

Setiap pengarang memiliki kekhasan masing-masing dalam penciptaan karya sastranya. Penggunaan dan pemanfaatan bahasa dalam karya sastra dioptimalkan oleh pengarang agar karya sastra tersebut dapat dikemas secara khas dan unik. Kekhasan dan Setiap pengarang memiliki kekhasan masing-masing dalam penciptaan karya sastranya. Penggunaan dan pemanfaatan bahasa dalam karya sastra dioptimalkan oleh pengarang agar karya sastra tersebut dapat dikemas secara khas dan unik. Kekhasan dan

Geguritan karya Nur Indah dalam buku Pagupon 2 tahun 2012 terbitan Taman Budaya Jawa Tengah yang terbit pada 29 Februari 2012 menjadi objek yang dikaji dalam penelitian ini. Peneliti terdorong memilih kajian stilistika karena masih sedikit penelitian yang menggunakan kajian ini, khususnya pada geguritan. Geguritan dapat dianalisis secara stilistika mengingat bahasa kaidah kebahasaannya menggunakan karakter sastra tertentu.

Penelitian dengan kajian stlistika yang sudah dilaksanakan oleh peneliti terdahulu adalah sebagai berikut.

1. “Penggunaan Stilistika dalam Puisi Jawa Dialek Using” oleh Setya Yuwana tahun 2000, adalah pengkajian puisi secara stilistika meliputi aspek penggunaan gaya bahasa yang khas, pola bunyi bahasa, rima, majas, serta diksi dan didapatkan perbedaan morfologis sintaksis dan ketaksaan leksikal serta gramatikal atas 77 buah syair dari 17 penyair Using.

2. Tesis, Sundari, 2002 yang berjudul, “Kajian Stilistika Novel Berbahasa Jawa Tahun 1960-an”, mengkaji tentang pemakaian kosakata, segi struktur morfosintaksis, penggunaan gaya bahasa dan menelaah segi sosial kultural novel berbahasa Jawa Tahun 1960-an.

3. Naskah Lakon “Ronggolawe” Karya S.T. Wiyono: Sebuah Analisis Stilistika oleh Asep Yudha Wirajaya tahun 2004. Makalah ini memberikan pembahasan stilistika secara umum dan khusus. Secara umum menganalisis gaya bahasa yang tersirat dalam keseluruhan cerita, meliputi tema, penokohan, seting, sedangkan secara khusus menganalisis gaya bahasa pada bahasa yang digunakan pengarang dalam naskah tersebut.

4. “Bahasa Pedalangan Gaya Surakarta (Suatu Pendekatan Stilistika)”. Laporan penelitian oleh Imam Sutarjo tahun 2003. Analisis dengan pendekatan stilistika dalam bahasa pedalangan dan didapat bahwa potensi bahasa yang digunakan adalah untuk membangun artifisial dan keartistikan adalah purwakanthi atau persajakan bunyi (vokal, konsonan, perulangan).

Berdasarkan penelitian yang sudah ada penelitian mengenai kajian stilistika dalam geguritan Nur Indah tahun 2012 belum diteliti. Penelitian ini membahas masalah yang ada hubungannya dengan pengkajian stilistika dengan mengambil judul “Geguritan Karya Nur Indah dalam Pagupon 2 (Suatu Kajian Stilistika).

B. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada kajian Stilistika geguritan karya Nur Indah. Analisisnya akan dibatasi pada kajian aspek bunyi (purwakanthi swara, purwakanthi

sastra, dan purwakanthi basa), diksi (sinonim, antonim, tembung saroja, tembung

plutan, kata dari bahasa Kawi, dan idiom) penanda morfologis dalam ragam literer, pencitraan serta pemakaian gaya bahasa dalam geguritan karya Nur Indah yang akan dibahas dengan kajian stilistika.

C. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini dirumuskan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah penggunaan aspek bunyi (purwakanthi swara, purwakanthi sastra,

dan purwakanthi basa) geguritan karya Nur Indah dalam Pagupon 2?

2. Bagaimanakah pilihan kata (diksi) yang terkandung geguritan karya Nur Indah dalam Pagupon 2?

3. Bagaimanakah aspek pencitraan geguritan karya Nur Indah dalam Pagupon 2?

4. Gaya bahasa apa sajakah yang terdapat dalam geguritan karya Nur Indah dalam Pagupon?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di depan secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan segi-segi kestilistikaan dalam geguritan karya Nur Indah tahun 2012. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. mendeskripsikan aspek bunyi (purwakanthi swara, purwakanthi sastra, dan purwakanthi basa) geguritan karya Nur Indah dalam Pagupon 2;

2. menjelaskan pilihan kata (diksi) yang terkandung dalam geguritan karya Nur Indah dalam Pagupon 2;

3. menjelaskan aspek pencitraan geguritan karya Nur Indah dalam Pagupon 2; dan

4. mendeskripsikan gaya bahasa geguritan karya Nur Indah dalam Pagupon 2.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai geguritan karya Nur Indah dengan kajian stilistika ini diharapkan memberikan manfaat teoretis dan praktis

1. Manfaat Teoretis Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi perkembangan teori linguistik Jawa, khususnya bidang stilistika.

2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Memberikan informasi kepada pembaca tentang kaidah bahasa dalam karya sastra pada geguritan karya Nur Indah.

b. Membantu masyarakat pembaca dan pecinta karya sastra dalam memahami geguritan .

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran secara keseluruhan dari penelitian ini, maka diperlukan sistematika penulisan. Berikut adalah sistematika penulisan pada penelitian ini.

BAB I Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Landasan Teori, meliputi pengertian tentang teori stilistika, puisi, pengulangan bunyi, diksi atau pilihan kata, pencitraan, dan gaya bahasa.

BAB III Metode Penelitian, meliputi jenis penelitian, data dan sumber data, populasi dan sampel, alat penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode hasil penyajian analisis data.

BAB IV Analisis Data, merupakan hasil analisis mengenai kajian stilistika yang mendeskripsikan tentang bunyi bahasa, pilihan kata, pencitraan, serta gaya bahasa dalam Geguritan Pagupon 2.

BAB V Penutup, berisi simpulan dan saran mengenai penelitian yang telah dilakukan.

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Landasan Teori

1. Pengertian Stilistika

Stilistika lebih banyak dibicarakan dalam ilmu bahasa pada umumya, yang khusus mengkaji mengenai deskripsi berbagai gaya bahasa. Gaya bahasa memiliki kaitan erat dengan aspek keindahan. Kepekaan dan kekreativitasan pengarang menjadi aspek penting dalam penciptaan aspek keindahan tersebut. Gaya bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu karya sastra, begitu pun stilistika dalam karya sastra geguritan. Pesan dalam geguritan dapat diketahui dengan analisis stilistika.

Menurut Shipley dalam Nyoman Kutha Ratna (2009: 8-9) stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya (style), sedangkan style itu sendiri berasal dari akar kata stilus (Latin), semula berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang berlapis lilin. Benda runcing sebagai alat untuk menulis dapat diartikan bermacam-macam. Salah satu di antaranya adalah menggores, melukai, menembus, menusuk bidang datar sebagai alas tulisan. Konotasi lain adalah 'menggores', 'menusuk' perasaan pembaca, bahkan juga penulis itu sendiri, sehingga menimbulkan efek tertentu. Jadi dengan kata lain bisa dijelaskan bahwa dalam bidang bahasa stilistika berarti cara-cara penggunaan bahasa yang khas sehingga menimbulkan efek tertentu.

'Sty'le ’stail’ atau ‘gaya’ yaitu cara yang khas dipergunakan oleh seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan diri; gaya pribadi (Soediro Satoto, 1995:36).

Aminuddin (1995:13) menyatakan bahwa style dapat diartikan sebagai bentuk pengungkapan ekspresi kebahasaan sesuai dengan kedalaman emosi dan sesuatu yang ingin direfleksikan pengarang secara tidak langsung.

P. Suparman Natawidjaja (1986:1) menyatakan bahwa ekspresi individual melahirkan stilistika. Yang dimaksud ekspresi individual adalah cara tersendiri dari seorang penulis dalam menyatakan atau menggambarkan sesuatu hal. Suparman juga menambahkan bahwa lisensi merupakan penyimpangan tata kalimat untuk mencapai retorik, tetapi hasilnya menimbulkan keganjalan, malahan menimbulkan efek artistik. Pemakaian bahasa dalam karya sastra yang runtut dan sesuai gramatikal memang baik, tetapi terdapat juga pemakaian yang memperlihatkan keunikan bahasa atau yang meyimpang dari pola umum. Penyimpangan tersebut merupakan daya tarik karya sastra yang merupakan cerminan dari gaya bahasa seorang pengarang.

Stilistika sangat penting bagi studi linguistik maupun studi kesusastraan. Stilistika dapat memberikan sumbangan penelitian gaya bahasa sebagai unsur pokok untuk mencapai berbagai bentuk pemaknaan karya sastra, dikarenakan karya sastra tidak lepas dari penggunaan gaya bahasa untuk keindahan. Penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra berlawanan dengan penggunaan bahasa pada karya ilmiah. Penggunaan bahasa pada karya ilmiah menggunakan bahasa yang baik dan benar, pemilihan kata yang tepat, kalimatnya jelas, ini harus diperhatikan sekali agar tidak menimbulkan makna ambigu. Sedangkan pemakaian bahasa dalam karya sastra lebih memiliki kebebasan yang berasal dari kreativitas pengarang, karena dimaksudkan agar dapat memiliki kekayan makna.

Nyoman Kutha Ratna (2009: 13-15) mengungkapkan bahwa dikaitkan dengan relevansinya, sebagai kekhasan itu sendiri, bahasa yang diciptakan dengan sengaja, bahkan Nyoman Kutha Ratna (2009: 13-15) mengungkapkan bahwa dikaitkan dengan relevansinya, sebagai kekhasan itu sendiri, bahasa yang diciptakan dengan sengaja, bahkan

1. Karya sastra mementingknn unsur keindahan.

2. Dalam menyampaikan pesan karya sastra menggunakan cara-cara tak langsung. seperti: refleksi, refraksi, proyeksi, manifestasi, dan representasi,

3. Karya sastra adalah curahan emosi, bukan intelektual. Aspek keindahan, pesan tak langsung, dan hakikat emosional mengarahkan bahasa sastra pada bentuk penyajian terselubung, terbungkus, bahkan dengan sengaja disembunyikan. Ada kesan bahwa untuk menemukan pesan yang dimaksudkan, maka proses pemahamannya justru harus diperpanjang, misalnya, dengan menciptakan jalan belok. Jadi, bahasa karya sastra berbeda dengan karya ilmiah yang justru menghindarkan unsur estetis, berbagai fungsi mediasi, dan emosionalitas. Bahasa ilmiah harus secara langsung diarahkan ke objek sasaran. Karya sastra juga berbeda dengan bahasa sehari-hari yang bersifat praktis dan cepat dimengerti. Ciri khas dan perbedaan diperoleh melalui proses pemilihan dan penyusunan kembali. Gaya bahasa adalah masalah cara pemakaian yang khas, bukan bahasa khas yang berbeda dengan bahasa dalam kamus. Akan tetapi, kekhasan yang dimaksudkan adalah kekhasan dalam proses seleksi, memanipulasi, dan mengombinasikan kata-kata.

Nyoman Kutha Ratna juga menyatakan bahwa kekuatan karya seni adalah kekuatan dalam menciptakan kombinasi baru, bukan objek baru. Oleh karena itulah, gaya bahasa disebutkan sebagai 'penyimpangan' dari bentuk-bentuk bahasa normatif. Ciri khas puisi khususnya lirik lagu adalah kepadatan pemakaian bahasa sehingga besar kemungkinannya Nyoman Kutha Ratna juga menyatakan bahwa kekuatan karya seni adalah kekuatan dalam menciptakan kombinasi baru, bukan objek baru. Oleh karena itulah, gaya bahasa disebutkan sebagai 'penyimpangan' dari bentuk-bentuk bahasa normatif. Ciri khas puisi khususnya lirik lagu adalah kepadatan pemakaian bahasa sehingga besar kemungkinannya

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stilistika adalah style atau 'gaya', yaitu cara yang khas dipergunakan oleh seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan diri yaitu gaya pribadi yang diungkapkan dengan cara tertentu, serta menimbulkan efek tertentu pula sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal.

Pemikiran-pemikiran di atas menunjukkan bahwa kajian stilistika memegang peranan penting dalam mengemukakan keindahan sastra dari aspek keindahan bahasanya. Untuk inilah maka, sebagai wujud konkret kajian stilistika dalam penelitian ini difokuskan pada geguritan karya Nur Indah.

2. Geguritan (Puisi Jawa Modern)

Menurut Hudson dalam Kasnadi Sutejo (2009:2), puisi adalah salah satu cabang karya sastra yang menggunakan kata-kata sebagai medium penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan baris dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya. Sehingga, sebenarnya puisi merupakan ungkapan batin dan pikiran penyair dalam menciptakan sebuah dunia berdasarkan pengalaman batin yang digelutinya.

Hakikat puisi menurut Herman J Waluyo adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya (1995:25).

3. Pencitraan

Setiap karya sastra memiliki kekhasan yang membedakan antara pengarang satu dengan pengarang lainnya. Menurut Rene Wellek dan Austin dalam Sutejo (2010:17) bahasa adalah bahan mentah sastrawan. Hubungan bahasa dan sastra sebagai lingkaran bahasa yang diterobos oleh lingkaran sastra di berbagai wilayah bahasa.

Teeuw (1984:12) mengatakan bahwa untuk memahami karya sastra pembaca harus memahami kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya. Bahasa sastra sering disinyalir banyak orang memiliki ciri tersendiri yang berbeda dengan istilah bahasa lain. Menurut Burhan Nurgiyantoro dalam Sutejo (2010:17) keberadaan karya sastra ini, hendaknya diakui sebagaimana fenomena bahasa yang lain seperti dalam konteks sosiolinguistik. Rene Wellek dan Austin Warren dalam Sutejo (2010:17) menyebut fenomena bahasa sastra sebagai bahasa yang mengandung unsur emotif yang bersifat konotatif. Bahasa sastra merupakan kebalikan dari bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah yang bersifat denotatif.

Secara substantif kemudian, Wellek dan Warren dalam Sutejo (2010:19) memperbincangkan penggunaan istilah citra, metafora, simbol, dan mitos yang seringkali dipergunakan secara tumpang tindih (karena secara semantis menyiratkan demikian). Citra kemudian diformulasikan lebih jauh sebagai reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat indearwi dan berdasarkan persepsi dan tidak selalu bersifat visual.

Pandangan lain mengenai citra, dikemukakan Burhan Nurgiyantoro dalam Sutejo (2010:19) yang mengelompokan citra didasarkan pada pengalaman kelima indera. Kelima indera itu meliputi (i) citra penglihatan (visual), (ii) citra pendengaran (auditoris), (iii) citra gerak (kinestetik), (iv) citra rabaan (taktil termal), dan (v) citra penciuman (olfaktori).

Mengikuti pemahaman citra sebagaimana diformulasikan Wellek dan Warren sebagai reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat inderawi dan berdasarkan persepsi dan tidak selalu bersifat visual (Sutejo, 2010:20)

a. Citra penglihatan (Visual imagery) Citra pengelihatan ialah citraan yang sering menekankan pengalaman visual (pengelihatan) yang dialami pengarang kemudian diformulasikan ke dalam serangkaian kata yang seringkali metaforis dan simbolis. Suatu ciri pengelihatan yang memberi rangsangan kepada indera pengelihatan hingga hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat (Sutejo, 2010:21).

b. Citra Pendengaran (Audio Imagery) Citra pendengaran merupakan bagaimana pelukisan bahasa yang merupakan perwujudan dari pengalaman pendengaran (audio). Citra pendengaran memberi rangsangan kepada indera pendengaran sehingga mengusik imajinasi penikmat untuk memahami teks sastra lebih utuh (Sutejo, 2010:22).

c. Citra Penciuman Citra penciuman adalah penggambaran yang diperoleh melalui pengalaman indera penciuman (Sutejo, 2010:23). Citraan ini mampu membangkitkan emosi penciuman pembaca untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh atas pengalaman indera yang lain.

d. Citraan Perabaan (tactil imagery) Citraan perabaan adalah penggambaran atau pembayangan dalam cerita yang diperoleh melalui pengalaman indera perabaan (Sutejo, 2010:24). Citraan perabaan seringkali menggambarkan bagaimana sesuatu secara “erotic” dan “sensual” dapat memancing penikmat karya sastra.

e. Citra Gerak (movement imagery) Citraan ini menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya (Sutejo, 2010:24). Citraan demikian dapat menggambarkan sesuatu lebih dinamis dalam karya fiksi.

4. Pengulangan Bunyi ( Purwakanthi)

Pengulangan bunyi dalam puisi disebut rima. Keberadaan pengulangan bunyi dalam puisi dapat menimbulkan efek keindahan. Istilah Jawa yang semakna dengan rima adalah purwakanthi . Purwakanthi mempunyai pengertian sebagai pengulangan bunyi, baik konsonan, vokal, ataupun kata yang telah tersebut pada bagian depan (Padmosoekotjo, 1953 dalam Prasetya Wisnu, 2003:60). Purwakanthi ada tiga jenis sebagai berikut.

a. Asonansi (purwakanthi swara) merupakan perulangan bunyi vokal pada kata- kata tanpa selingan persamaan bunyi-bunyi konsonan (Herman. J. Waluyo, 1995:92). Konsep asonansi juga dinyatakan bahwa Repetition of the vowel hut with a different and consonant, and the same, oe different, or no provious consonant ‘perulangan bunyi vokal dengan adanya perbedaan pada konsonan a. Asonansi (purwakanthi swara) merupakan perulangan bunyi vokal pada kata- kata tanpa selingan persamaan bunyi-bunyi konsonan (Herman. J. Waluyo, 1995:92). Konsep asonansi juga dinyatakan bahwa Repetition of the vowel hut with a different and consonant, and the same, oe different, or no provious consonant ‘perulangan bunyi vokal dengan adanya perbedaan pada konsonan

b. Aliterasi (purwakanthi sastra) adalah repetisi bunyi awal pada kata-kata yang berbeda, biasanya berupa konsonan (Cumming dan Simmons dalam Sutarjo, 2002: 62) atau secara umum aliterasi adalah initial rhyme ‘rima awal’. Jadi tidak sekadar bunyi konsonan, tapi dapat pula bunyi vokal (Reaske, dalam Sutarjo, 2002: 62)

c. Lumaksita (purwakanthi basa) adalah bentuk perulangan berdasarkan persamaan kata, suku kata akhir dengan suku kata awal yang bertuturan atau persamaan huruf akhir dengan huruf awal yang berturut-turut dalam suatu bait/baris tembang. Purwakanthi basa adalah pengulangan, suku kata, kata atau frase yang letaknya di depan, tengah dan akhir satuan lingual yang kesemuanya itu untuk memberi suasana estetis/indah (Sutarjo, 2002:125)

5. Diksi

Diksi atau pilihan kata adalah kejelasan lafal untuk memperoleh efek tertentu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang mengarang (Harimurti Kridalaksana, 2001:440). Diksi di dalam karang mengarang sangat penting dan perlu diperhatikan, mengingat bahwa kata mcmiliki beberapa muatan antara lain bunyi, arti kias, tersurat atau tersirat dan nilai simbolik. Gorys Keraf (2006: 88) mengemukakan syarat-syarat ketepatan diksi yaitu; (1) membedakan secara cermat denotasi dan konotasi, (2) membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir sama, (3) membedakan kata-kata yang mirip ejaannya, (4) hindarilah kata-kata ciptaan sendiri, (5) waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, (6) kata kerja yang Diksi atau pilihan kata adalah kejelasan lafal untuk memperoleh efek tertentu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang mengarang (Harimurti Kridalaksana, 2001:440). Diksi di dalam karang mengarang sangat penting dan perlu diperhatikan, mengingat bahwa kata mcmiliki beberapa muatan antara lain bunyi, arti kias, tersurat atau tersirat dan nilai simbolik. Gorys Keraf (2006: 88) mengemukakan syarat-syarat ketepatan diksi yaitu; (1) membedakan secara cermat denotasi dan konotasi, (2) membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir sama, (3) membedakan kata-kata yang mirip ejaannya, (4) hindarilah kata-kata ciptaan sendiri, (5) waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, (6) kata kerja yang

Diksi atau pilihan kata dalam geguritan Karya Nur Indah terlihat adanya sinonim, antonim, tembung plutan, tembung saroja, kosa kata bahasa Indonesia, idiom dan kata dari bahasa Kawi. Adapun penjelasannya secara konsep sebagai berikut.

a. Sinonim

Sinonim yaiku rong tembung utawa luwih kang wujud lan panulise beda, nanging nduwe teges padha, utawa meh padha ‘sinonim yaitu dua kata atau lebih yang wujud dan penulisannya berbeda, tetapi memiliki makna yang sama, atau hampir sama’ (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2008: 223). Dalam Harimurti Kridalaksana (2008:222) sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain; kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja. Menurut Verhaar dalam Abdul Chaer (2002:82) sinonim adalah ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna yang lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang bersinonim.; bunga , kembang, dan puspa adalah tiga buah kata yang bersinonim.

b. Antonim

Antonim yaiku tembung, frase, utawa ukara kang duwe teges, walikan karo tembung, frase, utawa ukara liyane “antonim yaitu kata, frase, atau kalimat yang memiliki makna berlawanan dengan kata, frase, atau kalimat lainnya' (Sry Satnya Tjatur Wisnu Sasangka, 2008:225).

Aminuddin (1995:122) berpendapat bahwa antonim adalah kata-kata yang maknanya bertentangan. Antonim dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonim disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras maknanya saja. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam. yaitu (1) oposisi mutlak yaitu pertentangan makna secara mutlak, (2) oposisi kutub yaitu oposisi makna yang tidak bersifat mutlak tetapi bersifat gradasi, (3) oposisi hubungan yaitu oposisi makna yang bersifat melengkapi, (4) oposisi hirarkial yaitu oposisi makna yang menyatakan jenjang atau tingkatan, (5) oposisi majemuk yaitu oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata (Sumarlam, 2009: 40-44).

c. Tembung Plutan

Tembung plutan yaiku tembung sing diringkes cacahing wandane ‘tembung plutan adalah kata yang diringkas atau dikurangi jumlah suku katanya” (S Hadiwirodarsono, 2002:88). Dalam Sujono dan Endang Siti Saparinah (1988: 40-41) tembung plutan disebut dengan perubahan kata. Dalam ragam literer bahasa Jawa didapatkan perubahan-perubahan kata yang sebenarnya bukan proses morfologis. Perubahan kata tersebut ditemukan dalam bentuk pengurangan jumlah suku kata. Pengurangan tersebut dengan dua cara yaitu dengan Tembung plutan yaiku tembung sing diringkes cacahing wandane ‘tembung plutan adalah kata yang diringkas atau dikurangi jumlah suku katanya” (S Hadiwirodarsono, 2002:88). Dalam Sujono dan Endang Siti Saparinah (1988: 40-41) tembung plutan disebut dengan perubahan kata. Dalam ragam literer bahasa Jawa didapatkan perubahan-perubahan kata yang sebenarnya bukan proses morfologis. Perubahan kata tersebut ditemukan dalam bentuk pengurangan jumlah suku kata. Pengurangan tersebut dengan dua cara yaitu dengan

d. Tembung Saroja

Tembung saroja ateges tembung rangkep. maksude tembung loro kang padha tegese utawa meh padha tegese dianggo bebarengan ‘tembung saroja berarti kata rangkap, maksudnya dua kata yang hampir sama maknanya digunakan bersamaan’ (S.Padmosoekotjo, 1955:25). Sujono dan Endang Siti Saparinah (1988: 38-39) mengungkapkan bahwa kata majemuk dalam ragam literer bahasa Jawa banyak ditemukan yang pada umumnya unsur kesamaan bunyi menunjukkan ciri kelitererannya. Dapat disimpulkan pengertian dari tembung saroja yaitu dua kata yang sama atau hampir sama artinya digunakan secara bersama-sama.

e. Penanda morfologis ragam literer

Morfologi merupakan salah satu bidang linguistik yang mengkaji kata atau leksikon suatu bahasa. Dalam hal ini kata dipandang sebagai satuan-satuan padu antara bentuk dan makna. Dalam pembentukan sebuah kata dalalm karya susastra geguritan terdapat bentuk- bentuk kata yang literer. Kelitereran sebuah kata dalam karya susastra berupa geguritan dapat terjadi karena adanya proses morfologis, yakni melekatnya penanda morfologis ragam literer pada sebuah morfem bebas. Adanya penanda morfologis ragam literer pada sebuah kata dalam geguritan mampu menimbulkan efek keindahan karya susastra.

Sujono dan Endang Siti Saparinah (1988: 25-26) struktur ragam literer bahasa Jawa, sebagaimana halnya bahasa Jawa bukan literer dapat berupa morfem bebas dan terikat.

Morfem bebas seperti: tulis ‘tulis’, turu ‘tidur’, kampleng ‘pukul’, tepang ‘tendang’ dan sebagainya; sedangkan yang berupa morfem terikat seperti : (pa-+-an), (ka-+-an), (a-), (N-), (-in-), (-um), (-ing), (-ning), (-ira) dan sebagainya.

Penanda morfologis ragam literer tersebut, bentuk literer dapat dipilahkan menjadi bentuk literer yang berafiks dan bentuk literer yang reduplikasi. Hal itu dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Bentuk literer yang berafiks Afiksasi yaitu kata dibentuk dengan beberapa proses perubahan. Perubahan ini terjadi karena pengimbuhan prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks. Proses afiksasi dalam geguritan karya Nur Indah kebanyakan mengacu pada proses pembentukan kata yang mengandung afiks-aflks literer. Seperti halnya dalam lirik lagu, puisi juga dituntut adanya keindahan dengan mempergunakan kosa kata yang mengandung afiks literer.

Kata-kata yang mengandung afiks literer contohnya adalah tinetes ‘tertetes’ yang mendapat infiks (-in-), konfiks (pa-+-ing} pada kata panggrantesing 'sedihnya', dan infiks (-um-) pada kata gumludhug 'bergemuruh'. Nuansa keindahan terasa bila afiks yang fungsi dan maknanya sama, dibandingkan, misalnya konfiks (pa-+-ing) dengan (pa-+-e) pada kata grantes ‘sedih’. Adanya konfiks (pa-+-ing) pada kata grantes ‘sedih’ menjadi panggrantesing 'sedihnya' terasa lebih indah dibandingkan dengan kata grantes yang menggunakan konfiks {pa-e} menjadi panggrantese terkesan biasa saja.

2. Bentuk literer yang reduplikasi

Menurut Harimurti Kridalaksana (2008:208) reduplikasi adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal. Reduplikasi dalam bahasa Jawa disebut tembung rangkep dibedakan menjadi tiga macam: (1) tembung dwilingga, (2) tembung dwipurwa, dan (3) tembung dwiwasana (Aryo Bimo Setiyanto, 2007:81).

Berdasarkan cara mengulang bentuk dasarnya, proses pengulangan dapat dibedakan menjadi 3 yaitu sebagai berikut.

1. Pengulangan seluruh, meliputi:

a. Perulangan seluruh (dwilingga) bentuk dasarnya tanpa variasi fonem, seperti terdapat pada contoh berikut : Jroning rasaku kadya melathi-melathi lan mawar-mawar kang kongas

gandane krana sliramu nyirami mawa tirta tresna. ‘Dalam rasaku seperti melati-melati dan mawar-mawar yang harum baunya karena dirimu menyirami dengan air cinta’

Pada contoh di atas bentuk perulangan seluruh (dwilingga) terdapat pada kata ulang utuh melati-melati ‘melati-melati’, mawar-mawar ‘mawar-mawar’.