Makna Semiotik Kumpulan Cerpen Samin Berdasarkan Identifikasi dan
2. Makna Semiotik Kumpulan Cerpen Samin Berdasarkan Identifikasi dan
Analisis Ikon, Indeks, dan Simbol
a. Makna Semiotik Cerpen Biru
Warna b iru sebagai judul cerpen merupakan pelambangan dari warna kuning yang merupakan warna seb uah partai pada masa Orde Baru, yaitu partai Golkar. Gerakan birunisasi merupakan pengkonotasian dari penyeragaman yang dilakukan pemerintah pada masa Orde Baru. Kuningisasi semp at diberlakukan selama masa pemerintahan Orde Baru. John Sutar (http://bataviase.co.id/nod e/259265, d iakses pada 12 Oktober 2011) menyatakan b ahwa pada masa itu , Lurah, Camat, Gubernur, bahkan tingkat kementerian pun tunduk pada p enguasa. Mereka merasa takut bila tak mampu Warna b iru sebagai judul cerpen merupakan pelambangan dari warna kuning yang merupakan warna seb uah partai pada masa Orde Baru, yaitu partai Golkar. Gerakan birunisasi merupakan pengkonotasian dari penyeragaman yang dilakukan pemerintah pada masa Orde Baru. Kuningisasi semp at diberlakukan selama masa pemerintahan Orde Baru. John Sutar (http://bataviase.co.id/nod e/259265, d iakses pada 12 Oktober 2011) menyatakan b ahwa pada masa itu , Lurah, Camat, Gubernur, bahkan tingkat kementerian pun tunduk pada p enguasa. Mereka merasa takut bila tak mampu
Pengarang melakukan kritik sosial terhadap adanya kuningisasi melalui cerpen Biru. Ia menu angkann ya dalam lingkup regional yang lebih semp it, yaitu hanya berkisar d alam tingkat Kelurahan d an Kecamatan. Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak Bupati merupakan penggambaran dari sosok pemerintah masa Orde Baru. M ereka p atuh terhad ap atasan d an membuat peraturan yang memaksakan kehendak p ad a masyarakat, yang mau tak mau harus dipatuhi. Pak Camat menggamb arkan sosok pemerintah yang diktator yang mengharuskan instruksinya u ntuk dilaksanakan secara paksa. Pak Lurah merupakan tokoh yang kurang tegas. Walaupun merasa instruksi dari atasan tid ak benar, Pak Lurah tetap saja memaksakan peraturan kepada masyarakat karena takut kehilangan jabatan. Mereka menggu nakan keku asaan yan g mereka miliki untuk menekan mas yarakat agar mau menuruti dan menja lankan peraturan pemerintah.
Hal terseb ut juga merupakan seb uah penggambaran dari keadaan sosial pad a masa Orde Baru . Pengarang bermaksud menu nju kkan bahwa p ada masa itu terjad i bentuk pemerintahan yang sangat represif, d i mana terjadi pembungkaman terhad ap su ara masyarakat. Orang yang berani mengkritik secara terang-terangan akan dibungkam atau dipenjara. Hal ini menyebab kan masyarakat b anyak yang tidak berani membantah. M ereka seakan-aka n menjadi robot p emerintah yang selalu patuh terhadap instruksi pemerintah tanpa memberikan p erlawanan.
Pengarang menampilkan toko h “P ak Samin” di d alam cerpen Biru sebagai sosok yang berani melawan kekuasaan pemerintah. Nama Samin pengarang ambil dari suku Samin yang merupakan sekumpu lan masyarakat yang berani melawan kolonialisme Belanda dengan tid ak mau mematuhi peraturan yang d ibuat Beland a dan tidak mau membayar p ajak. Masyarakat ini Pengarang menampilkan toko h “P ak Samin” di d alam cerpen Biru sebagai sosok yang berani melawan kekuasaan pemerintah. Nama Samin pengarang ambil dari suku Samin yang merupakan sekumpu lan masyarakat yang berani melawan kolonialisme Belanda dengan tid ak mau mematuhi peraturan yang d ibuat Beland a dan tidak mau membayar p ajak. Masyarakat ini
“Daripada dibisukan, Pak Samin memilih bisu. Katanya, itu lebih terhormat!” jelas aktivis hukum. (hal. 10)
“Begitu dibirukan pagar rumahnya, Pak Samin memilih mati. Katanya, itu lebih terhormat daripada d imatikan!” kata aktivis hukum yang menyambu t kedatangan Pa k Lurah. (hal. 11)
Kutipan tersebu t menunjukkan bahwa pada masa itu masyarakat yang berani bersuara benar-benar akan dib ungkam. P embero ntakan sa ngat ditentang pad a masa orde baru. Tokoh “Pak Samin” memilih untuk tidak bersuara darip ada ia d ibungkam d an memilih mati darip ad a dibunuh karena pembangkangannya. M elalui penggambaran tokoh yang sep erti inilah pengarang berusaha menunjukkan keadaan sosial politik pada masa Ord e Baru.
b. Makna Semiotik Cerpen Mun
Melalui cerpen Mun, pengarang mengungkapkan kesenjangan so sial yang terjad i dalam masyarakat Indo nesia. Pengarang mengungkapkannya melalui seped a, yang m erupakan simbol kendaraan yang lemah d an biasa digunaka n oleh orang yang kurang mampu. Pada zaman modern ini, keberad aan sep eda mulai tersingkirkan. Sepeda dianggap kuno dan tidak praktis. Apalagi dengan kemajuan teknologi yang menghadirkan kendaraan la in yang leb ih canggih seperti kendaraan b ermotor, mobil, kereta api, dan sebagain ya, kendaraan seperti seped a sangat jarang ditemukan.
Pengarang menghadirkan tokoh ”Mun” yang memiliki pemikiran lugu dan tradisionaln ya dalam cerpen Mun ini sebagai korban kemajuan teknologi.
To koh Mun memiliki impian memiliki sep eda sejak ia masih muda, namun baru terkabulkan saat ia sudah sep aruh b aya. Walaupun zaman sudah semakin maju, ia tidak tergiur untuk memiliki barang yang lebih modern. Ia masih saja teguh d engan impian masa mud anya, yaitu memiliki sepeda. Melalui toko h ”Mu n” inilah pengarang bermaksud menyampaikan sosok yang tidak tergiur dengan modernisasi. Ia tetap mempertahankan pandangan dan id ealismenya walaupun dianggap ku no dan dicemooh oleh orang lain.
Kepergia n Mun ke kota dengan sepedanya merupakan inti dari cerita dalam Cerpen Mun. Ad anya pembedaan jalan untu k pengend ara sepeda dan rambu-rambu lalu-lintas yang kurang adil terhad ap pengendara seped a merupakan bentuk kritik pengarang terhadap kesenjangan so sial. Sepeda dalam cerp en Mun merupakan simbol kaum pinggiran atau rakyat kecil. Sep erti layaknya sepeda yang mend apat jalan sendiri yang kecil dan jelek, dalam kehidupan sekarang ini o rang-orang miskin juga mendapat ketidakadilan. Dalam kehidupan sehari-hari sering ditemui tindak pilih kasih yang dilakukan oleh masyarakat. Orang yang memiliki banyak harta akan dijunjung d an didahulu kan darip ada orang miskin. Hal ini nampak dalam kutipan b eriku t:
”Ngo mong-ngomong temp at ap a ini, ko k mesti ada aturan naik sep eda harap turun segala. Padahal, yang naik mob il d an sep eda motor tidak diharuskan turun d ari kend araannya. Kenapa yang naik sepeda harus turun? Ap a bedanya? Apa karena harga sep eda murah?” cerocos Mun tanpa rasa bersalah sedikitpun. (hal. 16)
Sep eda juga merupakan simbol untuk kaum yang lemah. Kau m yang lemah selalu menjad i kamb ing hitam dan kalah oleh orang-orang yang kuat atau kaya. Kaitannya dalam dunia politik dan hukum, orang yang ka ya dapat dengan mud ah lolo s dari hukuman, sedangkan orang yang kurang mamp u, meskipun melaku kan kejahatan sekecil apapun akan mendap at hu kuman. Hal inini namp ak ketika Mun d ihajar oleh massa karena ia melanggar peraturan la lu-lintas tanpa ada seorang pun yang membelanya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan ahli sastra, ”kota” yang dimaksud dalam cerpen Mun merupakan simbol untuk kebudayaan Barat.
Sep erti layaknya penggambaran ko ta yang diceritakan dalam cerpen Mu n, bud aya Barat meskip un mewah, namun penuh dengan aturan dan tid ak lagi mengenal toleransi. Tokoh ”Mu n” yang mewakili so sok orang d esa tidak cocok dengan gaya hid up o rang kota. Hal tersebut yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pengarang melalui cerpen Mu n. Masyarakat Indonesia yang menju njung budaya ketimu ran tidak sepatutnya mengagungkan bud aya Barat. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan o leh pengarang (Kusprihyanto Namma) dalam pengantar kumpulan cerpen Samin (2007: 4) bahwa: ”Sa ya tak pernah memand ang Barat sebagai suatu yang p erkasa. Bagi saya Barat adalah penghancur tatanan moral ketimuran. Jadi, tak perlu d ikagumi. Ap alagi dianut konsep estetikanya. Sebagai bagian keberagaman Indonesia, harus kita p egang bud aya ketimuran yang adiluhung.”
c. Makna Semiotik Cerpen Kembang Tebu
Kembang tebu b ercerita tentang kebijakan pemerintah yang mengharuskan rak yat untuk menanam i ladang mereka dengan tebu. Padahal tebu memiliki jangka waktu yang lama untu k dapat dipanen. Ini membu at toko h “Pak Kromo” yang terpaksa harus menanami ladangnya dengan tebu terpaksa menyuruh Agung, anaknya untuk berhenti kuliah karena ia tid ak lagi mampu memb iayai kuliah anaknya dengan bertanam tebu.
Melalui cerpen Kembang Tebu, pengarang bermaksud menyampaikan kesewenang-wenangan pemerintahan p ad a masa itu, yaitu masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat kebijakan yang mengharuskan rak yat untu k menanami ladangnya dengan tebu . Hal ini sesuai dengan yang disampaika n oleh Tjahjo no Edi (http://apchr.murdoch. edu .au/minihub/siarlist/maillist. html, d iakses p ada 12 Oktober 2011) bahwa di bawah tekanan aparat rezim Orde Baru, tak ad a pilihan bagi p ara petani selain menanam tebu untu k memenuhi pro gram Tebu Intensifikasi Rakyat (TRI). M ereka yang berani meno lak menanam tebu akan selalu b erhadapan dengan aparat keamanan dan intimid asi perangkat pemerintahan desa. Bu kan han ya itu, mereka yang menolak pro gram TRI akan dituduh membangkan g atau d interograsi di kanto r Koramil.
Masyarakat tidak ada yang berani melawan karena jika ada yang melawan pemerinta h p ada masa itu akan dianggap sebagai PKI dan keberlangsungan hidupnya terancam. M asyarakat akan mengucilkannya dan ia tid ak akan mendapat pekerjaan di manapun. Akhirn ya mas yarakat mau tak mau menjalankan peraturan yang ditetapkan pemerintah. Hal ini nampak dalam kutipan b eriku t:
“Mengapa Bapak tidak berontak?” “Setiap orang yang dip ecu ndangi hidupnya, d alam hati p asti menyimpan bara p emb erontakan, Le. Tapi mana mungkin b isa melakukannya, baru hend ak menyampaikan keberatan saja, kita sudah dituduh terlibat organisasi terlarang. Kamu tahu kan, orang-orang yan g di cap terlibat organisasi terlarang itu hidupnya selalu terancam. Bukan cuma atas dirin ya sendiri, tap i juga atas anak-anak dan sau dara- saudaranya yang tak tahu apa-apa. Bapak tak sanggup d icap seperti itu, Le. Jadi ya pasrah saja. Gusti Allah tidak sare, Le!” (hal. 21)
Hal tersebu t sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ridwan Su bagja (http://ridwansubagja.blo gspot.com/, diakses pada tanggal 12 Oktober 2011)
bahwa di masa rezim Orde Baru, TRI dinyatakan sebagai "p rogram nasional". Sebutan tersebut menjadi sesuatu yang "dikeramatkan", TRI wajib diamalkan dan dilaksanakan. Apabila terd ap at petani yang memiliki pola pemikiran yang berseberangan, maka mereka disebut sebagai penghambat pembangunan, atau biasa d isebut sub versif.
Pengarang juga berusaha menyamp aikan p entingnya hidup berorganisasi. Kegiatan kemahasiswaan dapat memberikan pengalaman dan membuat seseo rang dapat menentukan sikap dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Hal ini nampak dalam kutip an berikut:
Kini Agung berhad apan dengan seb uah situasi yang dulu tak pernah ia pedulikan itu. Dulu ia malah mencibir orang-orang yang turun ke jalan menuntut hak-haknya. Orang-orang itu d inilainya hanya cari perhatian. Agung mulai menyadari, b ahwa mahasiswa tak seharusnya hanya melahap buku. Belajar tidak pada buku saja, tapi juga pada sejarah dan peristiwa-peristiwa yang ada di sekelilingn ya. (hal. 21)
To koh “Agung” dalam cerpen Kembang Tebu merupakan mahasiswa yang hanya mementingkan stud in ya saja. Ia hanya terpusat pada belajar dan To koh “Agung” dalam cerpen Kembang Tebu merupakan mahasiswa yang hanya mementingkan stud in ya saja. Ia hanya terpusat pada belajar dan
Selain ketegangan dan konflik yang timbul dari cerpen Kembang Tebu, pengarang juga menggambarkan keindahan keb u tebu yang ia lukiskan lewat kata-kata. Ia seakan mengaja k pembaca untuk merasakan dan melihat b etap a indahnya hamparan kebun tebu dalam setting cerita yang dialami toko h. Pengarang bermaksud menunjukkan di dalam kepahitan penanaman tebu, terdapat keind ahan kebu n tebu yang menghampar. Begitupun sebaliknya, di dalam keindahan hamparan kebun tebu, terdapat kepahitan. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan b erikut:
Di samping suka bermain d i areal tebu dan mengisap air-manisn ya, Agung juga suka memandang kembang-kembang tebu yang menyembu l laksana mata tombak. Kembang-kembang yang keperak- perakkan itu , di mata Agu ng tampak sangat ind ah. Apalagi bila angin berhembus sepo i, kemb ang-kembang itu seperti menari, tak henti- henti. Agung selalu berdecak kagum. (hal. 22)
d. Makna Semiotik Cerpen Pundhen
Melalui cerp en Pundh en, pengarang bermaksud menampilkan keluguan mas yarakat Jawa dengan keperca yaannya terhadap hal-hal yang bersifat gaib. Pundhen merupakan benda yang dikeramatkan oleh masyarakat, terutama d i kawasan pedesaan yang masih besifat tradisional. Keberadaan Pund hen menjadi sesu atu yang diagungkan dan dianggap suci oleh masyarakat. Tidak ada yang berani b erbuat macam-macam di Pu ndhen atau sekitarn ya, karena takut d iku tuk oleh penunggun ya. Namu n seiring kemajuan zaman, kepedu lian masyarakat terhadap kekeramatan Pundhen semakin meluntur. Bahkan sering ditemui p erbuatan tercela yang dilakukan di Pund hen, seperti mabuk-mabukkan atau berbuat mesum. Mereka menganggap tempat itu sepi sehingga d ap at dengan nyaman melakukannya.
To koh “Mbah Joyo” merupakan to koh sentral dalam cerpen Pundhen ini. Ia adalah penu nggu Pund hen yang sangat menjunjung dan menjaga Pund hen dengan sepenuh hati bahkan hingga mati. Keteguhannya dalam To koh “Mbah Joyo” merupakan to koh sentral dalam cerpen Pundhen ini. Ia adalah penu nggu Pund hen yang sangat menjunjung dan menjaga Pund hen dengan sepenuh hati bahkan hingga mati. Keteguhannya dalam
Hal lain yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam cerpen Pundhen ini adalah perselingkuhan yang terjadi antara Pak Carik dan Bu Lurah. Mereka sebenarnya adalah pasangan laki-la ki dan perempuan yang kepergok oleh Mbah Jo yo sedang melakukan perbuatan mesum d i Pundhen. Hal terseb ut tampak d alam kutipan beriku t ini:
Belum sempat mereka memb enahi pakaiannya yang awu t-awu tan, Mbah Jo yo sudah datang melancarkan serangan tongkat. Bertubi-tubi ia memukul ngawu r. Mengenai dada, punggu ng, kepala, paha, tangan, dan anggota tubuh lainnya. (hal. 24)
Keeso kan harinya Mbah Joyo bergegas ke kantor kelurahan. Ia hendak mengadukan kejadian mesum semalam. Namun, Pak Lurah sedang tid ak ada d i temp at. Di kelurahan ia Cuma ketemu Kamituwo Penthuk dan Pak Carik. Ketika berhad ap an dengan Pak Carik, sebagai wakil lu rah, Mbah Jo yo sempat terp eranjat. Sebab tangan Pak Carik diperban, dan kepalan ya d itambal tenso plast. (hal. 24)
Mbah Jo yo terpana. Dipandanginya tubu h Bu Lurah yang memar- memar bekas gebu kan. Bahkan kepalanya mesti diobat-merah segala. Mungkinkah Pak Lurah tega mengania ya istrinya sampai sebegitu parah. Bukankah ia panutan o rang sekampu ng. Tak mungkin hal itu ia la kukan, Mbah Joyo membatin. Dan lagi, luka itu masih terlihat baru bukankah Pa k Lurah sed ang b erada di Kabupaten? (hal. 25)
Hal la in yang nampak dalam cerpen ini ad alah pemanfaatan kekuasaan untu k hal p ribadi. Hal ini dilakukan oleh Pak Lurah. Ia seakan mengetahui perbuatan selingkuh istrin ya, namun bukan mem berikan hukuman, ia ju stru menyuruh M bah Jo yo untuk bungkam. Hal tersebut tentu saja ia laku kan untu k menjaga martabatnya sebagai seorang Lurah. Hal terseb ut dapat d ilihat pad a kutipan berikut ini:
Sementara itu Pak Lurah yang mendapat p engaduan Mbah Jo yo, seperti tak peduli. Bahkan sempat menggertak Mb ah Jo yo agar tutup mulu t. (hal. 25)
Klimaks dari cerpen Pundhen adalah ketika peristiwa penebangan Klimaks dari cerpen Pundhen adalah ketika peristiwa penebangan
Hal terakhir yang ingin disampaikan pengarang melalui cerpen Pundhen adalah perubahan zaman dan kemajuan teknologi justru membuat moral masyarakat semakin menurun. Kejujuran d an kelu guan masyarakat desa terhap us oleh keglamoran saat ini. Hal ini pengarang tunjukkan dalam kutipan berikut:
Pad a hakekatnya tak ada yang berub ah. Kecuali orang-orang kampung kami yang tak lagi bertani atau berkebu n. Tapi ada yang jadi maling, gali, makelar, sop ir, kuli b angunan, pedagang bakso, pelacur, dan aneka ragam p ekerjaan untuk mengisi perutnya. (hal. 27 )
e. Makna Semiotik Cerpen Samin
Cerpen Samin juga merupakan salah satu bentuk kritik pengarang terhad ap sistem pemerintahan Orde Baru. Melalui cerpen Samin, pengarang menyoroti sistem pemilihan pada masa itu. Pemilihan u mum pada masa pemerintahan Orde Baru pengarang anggap ku rang demokratis. Banyak tindak kecurangan yang terjadi selama masa pemilihan umum. Pengarang menuangkan kritik terhad ap sistem pemilihan Presiden ke dalam regional yang leb ih sempit, yaitu pemilihan Lurah.
Pad a masa Ord e Baru, terjad i p engharusan pegawai negeri u ntuk memilih partai Golkar. Partai lawan yang d itawarkan pada masa itu juga tidak banyak, karena kekuasaan Golkar pada masa itu dinilai sangat kuat. Hal ini menyebab kan tidak b anyak yang berani menjadi lawan partai tersebut. Sehingga pad a masa itu, partai Golkar beb erap a kali mengalami kemenangan telak. Selama 3 2 tahu n Ind onesia dipimpin oleh Presid en Soeharto. Karena waktu itu tidak ada pembatasan masa kepemimpinan seorang Presiden. Hal tersebut tampak dalam kutipan di b awah ini
Waktu itu jabatan Lurah belum dibatasi. Hingga mungkin seseorang, bisa menjadi Lurah seumur hidup. (hal. 28).
Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Raditya
1971, diakses pada 12 Oktober 2011) pada Pemilu 1971, p ara pejabat pemerintah berp ihak kepada salah satu p eserta Pemilu, yaitu Golkar. Pemerintah mengeluarkan Permen (Peratu ran M enteri) No. 12 /1969 yang melarang pegawai negeri masuk partai po litik, tap i boleh ikut Go lkar. Ketentuan monolo yalitas itu b erlaku bagi pegawai negeri pada semu a tingkat. Jadi sesungguhnya p emerintah merekayasa ketentuan – ketentuan yan g menguntungkan Golkar, salah satun ya menetapkan selu ruh pegawai negeri sipil haru s menyalurkan aspirasin ya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
oleh Chinty
(http://www.syarikat.org/article/p emilu-indonesia-masa-orde-baru ,
d iakses pad a 12 Oktober 2011) bahwa satu hal yang nyata p erbedaannya d engan pemilu-pemilu sebelumnya adalah b ahwa sejak p emilu 1977 pesertanya jau h lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai denga n membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai selain partai Golkar adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya han ya tiga tadi. Hasilnya pu n sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar o rnamen. Golkar bahkan su dah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara langsu ng dan tidak la ngsung membuat kekuasaan ekseku tif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung u tama Golkar adalah biro krasi sipil d an militer.
Selain pemilihan yang dinila i ku rang demokratis, pengarang juga beru saha membuka keburukan calon-calon yang dip ilih pada masa itu dengan sistem penyogo kan yang mereka lakukan. Calon-calo n tersebut memberikan uang d an hasutan kep ada rakyat untuk memilih mereka. Rak yat justru menjadikan itu sebagai sumber rejeki.
Pengarang menampilkan to koh ”Pak Rekso” yang kemudian mendapatkan julukan ”Pak Samin” seb agai to koh yang berani melawan ketidakjuju ran d alam sistem pemilihan u mum. Julukan itu diberikan oleh Pengarang menampilkan to koh ”Pak Rekso” yang kemudian mendapatkan julukan ”Pak Samin” seb agai to koh yang berani melawan ketidakjuju ran d alam sistem pemilihan u mum. Julukan itu diberikan oleh
Waktu terjad i pemilihan Lurah dengan peraturan baru, seb enarnya Mbah Lu rah menjagokan anak mbarepnya. Namun warga sudah jenuh. Anak Mb ah Lurah kalah dalam pemilihan. (hal. 30).
Melalui kutipan tersebut p emb aca diajak untuk menilik realita yang terjadi pada masa p emerintahan Orde Baru. Pada akhir masa kepemimpinan
Soeharto, ia menjadikan anak mba repnya (anak sulung), yaitu Siti Hardiyanti Indra Rukmana untuk menjabat seb agai menteri. Inilah yang membuat rakyat mulai meragukan kepemimpinan Soeharto dan terjadi perseteruan yang mengakibatkan ia harus turun dari jabatannya. (Yusril Ihza Mahendra, http://id.bu ck1.com/politik-hukum/kebijakan-orde-baru-terhadap-masyum i- dan-islam -politik-537)
Pad a tahun 1998 , era reformasi, Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Waktu itu ia benar-benar mengalami banyak hal buruk. Jatuh dari jabatan, tuduhan KKN, dan reputasi yang hancur membuat rakyat tak lagi bersimpati pada Presid en yang te lah menjabat selama 32 tahu n ini. Hal tersebut berusaha pengarang samp aikan melalui ku tipan berikut:
Mbah Lu rah, kini memang jatuh miskin. Dia tid ak lagi b isa mencari pulihan. Orang-orang di kampu ngku menyebu tnya; kalah main. (hal. 30)
Selain menyampaikan keburukan p emilihan umu m pada masa Ord e Baru, pengarang ju ga melakukan kritik terhad ap sistem Pemilu di masa-masa Selain menyampaikan keburukan p emilihan umu m pada masa Ord e Baru, pengarang ju ga melakukan kritik terhad ap sistem Pemilu di masa-masa
Saat ini, sejak Mb ah Lurah lengser, kampu ngku telah ganti lurah tiga kali. Sepanja ng pergantian itu Pak Samin tetap pada pendiriannya. Menolak memilih. Selama tata-cara pemilihan, tak berubah, berarti tak pernah ada perubahan. Yang b erubah Cuma wayang-wayangnya. (hal. 31)
Berdasarkan kutip an di atas, pengarang bermaksud menunjukkan bahwa sampai saat ini pun sistem p emiliha n p emimpin yang dianu t Indonesia masih tidak demokratis dan terjadi berb agai kecurangan. Upaya p enyo go kan masih ju ga dilaku kan, pemilihan calon yang kurang tep at, dan sebagainya.
f. Makna Semiotik Cerpen Jawa
Melalui cerpen Ja wa , pengarang men yu guhkan suatu pandangan baru kepad a pembaca. Untuk mengawali kisah dalam cerpen Ja wa, pengarang menampilkan ungkap an Sab en-saben ganti raja, tanah Jawa banjir nyawa. Melalui ungkap an tersebut, pembaca diajak untuk menilik sejarah kerajaan- kerajaan Jawa. Sejak zaman d ahulu, tanah Jawa memang memiliki ban yak sejarah kerajaan yang menguasain ya. Kerajaan Jawa diawali oleh berdirinya kerajaan Mataram kuna kemudian beralih ke kekuasaan kerajaan Kediri, Singosari, Majap ahit, Demak, hingga kerajaan Mataram. Setiap pergantia n raja atau penguasa kerajaan, terjad i perang yang menimb ulkan b anyaknya korban jiwa.
Jika dikaitkan dengan masa pemerintahan Ord e Baru, dap at dilihat pad a masa jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto. Pengarang menganggap Soeharto sud ah menyeru pai Raja bagi tanah Jawa (Indo nesia), karena ia berkuasa sangat lama sekitar 32 tahun. Selain itu ia juga memiliki wibawa yang sangat kuat dan d itakuti oleh rakyat maupun oleh negara lain. Seperti pergantian kekuasaan raja di tanah Jawa, masa berakhirnya kepemimpinan Soeharto pun diwarnai dengan pertump ahan d arah, yaitu peristiwa Reformasi pad a tahun 1998.
Krisis finansial Asia yang menyebab kan ekonomi Indo nesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap Krisis finansial Asia yang menyebab kan ekonomi Indo nesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap
Melalui tokoh “Guru ”, pengarang berusaha memberikan pandangan- pandangan baru kepada pembaca. Pembaca d iajak untuk lebih p eka dan responsif terhadap keadaan sekitar. Hal tersebut dapat d ilihat pada kutipan berikut:
“Sudah terlampau lama engkau tidur, sekarang bangunlah!” “Aku tid ur hanya dua sampai empat jam sehari, Guru!” “Itu tidur bad an. Jiwamu tertidur b ertahun-tahun, sekarang bangunlah. Jangan biarkan d irimu terpasu ng!” Aku tersentak. Mungkin memang benar jiwaku tidur bertahun-tahun. Karena setiap hal telah menjadi hamb ar. Ketika ada kejahatan, bukannya ingin menegakkan keb enaran, atau kead ilan. Namun malah menghindar. Atau ketika melihat penindasan, kesewenang-wenangan, pemerkosaan, bukannya berp ikir bagaimana cara mengatasinya. Namun malah menutup mata. Aku hanya ingin mencari selamat sendiri. sementara orang lain; mau mati, mau sengsara, menindas; itu urusan mereka send iri. aku telah menjad i sosok yang kehilangan kemanu siaan. (ha l. 34)
Selain itu, melalu i tokoh “Guru” pula, pengara ng membuka pandangan pembaca dengan menjadikan sejarah sebagai su atu pelajaran untu k menentukan langkah ke depannya. Pembaca diajak untuk me ngubah sejarah yaitu setiap p ergantian raja terjadi pertumpahan darah. Pengarang bermaksu d mengajak p embaca untuk bersikap hati-hati dan arif dalam menyikapi hidup, apalagi yang berkaitan dengan du nia politik. Usaha pergantian kep emimpinan hendaknya tidak dengan jalan kekerasan, namun dengan u saha lain yang lebih bermakna. Hal ini dapat ditangkap dari kutipan berikut ini:
“Benar. Generasi yang sed ang tumbuh ini jangan sampai terjeb ak p ada sejarah yang itu -itu saja. Sejarah lain harus dibuat. Sebagai bukti bahwa Jawa bukan tanah kutukan!” kata Guru yang tern yata tahu isi hatiku . (hal. 36) “Benar. Generasi yang sed ang tumbuh ini jangan sampai terjeb ak p ada sejarah yang itu -itu saja. Sejarah lain harus dibuat. Sebagai bukti bahwa Jawa bukan tanah kutukan!” kata Guru yang tern yata tahu isi hatiku . (hal. 36)
Melalui cerpen Bedil , pengarang bermaksud menyampaikan penyalahgunaan kekuasaan pemerintah dan aparatnya. Bedil atau pistol adalah senjata yang d igu nakan ole h aparat p emerintah seperti polisi dan ABRI u ntuk menja ga keamanan negara. Pada dasarnya bed il digu nakan untuk menyerang orang yang melanggar huku m. Pada cerpen Bedil ini, pengarang menyampaikan penyimpanga n penggunaan pistol yang justru digunakan u ntuk membungkam masyarakat agar tid ak b erani menyuarakan hati nuraninya. Sep erti pada beb erapa judul cerp en yang lain dalam ku mpulan cerpen Samin, pengarang memfokuskan pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa itu, orang-orang yang berani menentang pemerintahan dianggap seb agai PKI dan dijatuhi hukuman.
Pengarang menampilkan tokoh ”Kuncung kecil” yang sangat mendambakan memiliki bed il maina n untuk bermain perang-perangan dengan
temannya, untuk menunjukkan bahwa sebenarnya bedil atau p isto l itu merupakan senjata yang digunakan untuk membela kebenaran. Sosok Kuncung dewasa yang merasa miris karena b edil justru digunakan untu k membungkam suara rak yat merupakan hal poko k yang ingin disampaikan pengarang.
To koh ”anak-anak” yang datang ke rumah Kuncung dalam keadaan berlu muran darah merupakan penyamp aian tidak langsung pengarang untu k menunjukkan suatu peristiwa pada pemerintahan Orde Baru, yaitu reformasi. Pad a saat itu, terjadi demo nstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa karena ketidaksetu juan mereka terhadap sistem pemerintahan Orde Baru. Peristiwa
refo rmasi
menimbulkan
kerusuhan
besar-besaran dan
mengakibatkan banyak orang tewas, terutama di kalangan mahasiswa.
Surat Kuncung kepad a b apaknya merupakan sindiran secara langsung yang dilakukan pengarang untu k pemerintahan Ord e Baru. Pengarang bermaksud
menyampaikan keprihatinannya terhad ap pen yimpangan pemerintah dan aparatnya yang menggu nakan kekuasaan mereka u ntuk menyampaikan keprihatinannya terhad ap pen yimpangan pemerintah dan aparatnya yang menggu nakan kekuasaan mereka u ntuk
”Bapak, apakah di d esa anak-anak kecilnya masih suka main perang- perangan? Mungkin anak-anak kecil sekarang su dah tidak tertarik lagi ya, karena te levisi nyaris setiap hari mena yangkan orang baku tembak. Baik d alam perang sungguhan maupun han ya film khayalan. Di sini terlihat sekali, bedil memang d iperuntukkan menghadap i pep erangan. Alangkah naif, apabila bedil d irahkan kepada mereka yang sedang mencari keadilan. Orang-orang kalah itu bergerak atau diam saja kenapa selalu dihad apkan dengan bedil? Apakah karena tidak ad a perang, lalu mengobarkan perang d engan rak yatn ya sendiri?” (hal. 42)
h. Makna Semiotik Cerpen Patrem
Cerpen Patrem merupakan bentuk kritik pengarang terhadap sistem pelayanan masyrakat. Penulis mengamb il salah satu co ntoh melalu i fungsi dan pembuatan Surat Keterangan Kelaku an Baik (SKKB) yang menjadi syarat melamar pekerjaan. Cerp en ini tidak mengkhususkan pada masa pemerintahan tertentu seperti b eberapa cerpen lainnya.
To koh ”Patrem” merupakan salah satu gambaran korban PHK dengan berb agai kesulitan kehidupan yang harus dihadap i. Ia harus memenu hi kebutuhan keluarga, sed angkan ia tidak memiliki p enghasilan. Saat ia melamar pekerjaan, ia harus mencantumkan SKKB. Melalui tokoh ”Patrem” inilah penulis bermaksud menunjukkan ketidakefektifan fu ngsi SKKB dan sistem pembuatan SKKB yang tidak benar. Pembu atan SKKB dibuat d engan mengikuti b eb erap a p rosedur yang ru mit dari RT hingga kantor kepolisian. Di tiap pos haru s mengeluarkan b iaya yang tidak jelas kemana masuknya atau digunaka n untuk apa. Hal tersebut p enulis tu njukkan dalam kutipan b erikut:
Sep erti di Kelu rahan ataupu n kecamatan, tanp a dikorek, tanpa ditanya ini itu , kebutuhan Patrem akan SKKB segera dibuatkan. Tak ada satu jam, surat yang amat vital bagi para p encari kerja tersebut jadi. Biayanya dua kali lipat b iaya kelurahan. Patrem tercekat. Bagaimana tid ak? Semua p embiayaan itu tanpa kuitansi. (hal. 46)
Selain prosedur pembu atan SKKB yang ru mit dan mahal, pengarang ju ga menu njukkan ketidakefektifan fungsi SKKB. SKKB memang Selain prosedur pembu atan SKKB yang ru mit dan mahal, pengarang ju ga menu njukkan ketidakefektifan fungsi SKKB. SKKB memang
”Tid ak, Mas. SKKB tidak punya pengaruh ap apu n. Bahkan ia hanya mempersulit pencari kerja. Bagaimana tidak, nyaris semua perusahaan selalu mencantu mkan SKKB itu sebagai syarat melamar. Mau tak mau, semua pencari kerja mesti susah-susah berusaha memilikinya. Pad ahal kalau sudah memiliki, belum tentu diterima kerja. Lalu apa gunanya SKKB? Jangan-jangan hanya merupakan alat penindasan!” (hal. 47)
i. Makna Semiotik Cerpen Dom
DOM yang menjadi judul dan inti cerita dalam cerpen Dom ini sebenarnya bukan sesederhana dom jarum yang digunakan untuk menjahit, namun merupakan b entuk sindiran pengarang terhad ap Daerah Operasi Militer (DOM ). Daerah Operasi M iliter (DOM ) dib entu k sejak tahun 1989 yang p ada bertu ju an untuk mengamankan situ asi dari tindakan su atu gerakan, yang diseb ut pemerintah sebagai GAM (Gerakan Aceh M erdeka). Namun seja k operasi tersebu t diberlakukan, ternyata telah terjadi bukan han ya p elanggaran hukum dan hak asasi manusia yang begitu nyata, seperti tindak kekerasan atau penyiksaan yang langsung maupun tidak langsung dirasakan send iri oleh masyarakat, namun juga suatu pembantaian peradaban religius yang su dah berabad-abad dibangun o leh masyarakat Aceh. (http://jaringankomunikasi. blogspo t.com/2008 /10/dom-aceh-1989-1998.html, 13 Agustus 2011)
Kekacauan yang telah dilakukan to koh Emak dengan mengobrak-abrik ru mah dan sekitarnya merupakan penggambaran dari aksi DOM yang diberlakukan pemerintah. Keberadaan DOM pada saat itu justru menimbulkan kerusuhan dimana-mana, terutama di Aceh dan menghancurkan tatanan yang telah dib uat sebelumnya. Kengerian yang dirasakan oleh anak-anak Emak menunjukkan kengerian dan ketakutan yang dialami rak yat p ada masa itu. Jika ada yang memberontak akan ditembak, diculik, d ip erkosa, d an sebagain ya.
Seb enarnya istilah ”peran ganda Emak sebagai Ibu d an sebagai Ayah” adalah simb ol yang digunakan pengarang untuk mengu ngkapka n kondisi pemerintahan masa Orde Baru , berkaitan dengan DOM (Daerah Operasi
ABRI, yang memasukkan militer ke dalam pemerintahan. Ternyata kebijakan tersebut memberikan efek ku rang baik terhadap sistem pemerintahan. Terjadi penindakan yang keras terhadap pihak-pihak yang berani menentang pemerintahan. Hal ini mengakibatkan rakyat pada masa itu seakan dibungkam, tid ak berani bersuara. Begitu pula dengan masyarakat Aceh yang d ianggap membero ntak, mendap at ancaman dan serangan me lalui DOM yang pengarang nilai ku rang berperikemanusiaa n. Hal ini sesu ai dengan yang diungkapkan oleh Atang Setiawan (http://www.javanewsonline.com/index, diunduh pad a tanggal 1 2 Oktober 2011) bahwa militer mempunyai pelu ang untu k menerima tanggung jawab b aru dalam rangka ko nsep d wifungsi ABRI, yaitu menjadi kepala d aerah maupun anggota DPR/M PR yang dijabat bukan melalui prosedur pemilihan umum.
Sosok Ibu yang seharusn ya bersikap lembut dan merawat anak- anakn ya, dan sosok ayah yang perkasa dan melind ungi keluarga merupakan penggamb aran soso k p emerintah dan ABRI. Pemerintah seharusnya mampu menga yomi rakyat dan memberikan yang terbaik untuk kemaju an negara, sedangkan ABRI seharusnya mamp u melindungi masyarakat dan menjaga ketertib an. Dengan adanya penggabu ngan antara politik dan militer, terjadi kurang optimalnya fungsi masing-masing pihak, dan justru menimbulkan ketidaknyamanan pad a rakyat. Hal ini disebabkan karena tekanan yang diperoleh dari kedu anya secara bersamaan.
Akhir cerita yang berup a kesenangan Emak dan kembali tenangnya setelah DOM seakan tidak terjad i apa-ap a sebelu mnya menunjukkan b ahwa bagi pemerintah peristiwa DOM dianggap ringan dan tid ak berarti. Padahal bagi rakyat yang mengalami dan melihat kerusuhan itu menimbu lkan keru gian dan trau ma. Namu n tidak ada tindakan yang cu kup berarti dari pemerintah untu k mengatasi peristiwa DOM ini sebelu m, selama, dan sesudahnya.
j. Makna Semiotik Cerpen Tuyul
Cerpen Tuyul merupakan bentuk kritik pengarang terhadap sikap masyarakat dan hukum terhadap tindak ko rupsi yang dilakukan oleh aparat politik dan yang lain. Pengarang mengu ngkapkannya melalui keluguan Cerpen Tuyul merupakan bentuk kritik pengarang terhadap sikap masyarakat dan hukum terhadap tindak ko rupsi yang dilakukan oleh aparat politik dan yang lain. Pengarang mengu ngkapkannya melalui keluguan
To koh ”Tuyul” yang ditampilkan pengara ng merupakan upaya pengarang untuk mengungkapkan p enyimpangan yang terjadi dalam pemikiran masyarakat Ind onesia. Masyarakat mudah gempar jika ada peristiwa kehilangan di kampung mereka. Mereka langsung mencari tahu siapa pelakunya. Begitupun dengan piha k hukum, kasu s pencurian yang kecil akan mereka usut denga n segera d an memberi hukuman bagi pelakunya. Seb alikn ya, kasus pencurian yang besar, seperti korupsi yang menyebabkan kerugian negara secara besar-besaran ju stru masyarakat ku rang menanggapinya. Huku mpun tidak cepat tanggap untuk mengusutnya dan terkesan berbelit-belit. Ironisnya lagi, pihak yang melakukannya hanya mendapat hukuman yang ringan dan tidak sewajarn ya. Bahkan banyak koruptor yang lo los dan tidak terdeteksi. Hal inilah yang sebenarnya ingin disampaikan pengarang melalu i cerpen Tuyul. Hal ini tampak dalam dialog toko h ”Tu yu l” berikut:
”Kalau aku bekerja kurang baik, kau akan mencaciku habis-habisan. Pad ahal, jadi Tu yul sekarang sangatlah susah. Orang se karang pintar- pintar. Cenderung m nyimpan uangnya di bank. Tuyul pantangan masu k bank. Pantangan masuk laci-laci kantor. Kalau bank kebobolan, itu bukan pekerjaan Tu yu l. Kalau laci-laci kantor kosong melompong, itu pasti pekerjaan p egawai-pegawai kantor itu sendiri!” ”Karenan ya jangan hanya menyalakan Tuyul. M aling ada di mana- mana. Semua o rang berpeluang menjadi maling. Menyalahkan itu pekerjaan paling gamp ang. Yang sulit, bisakah kau membetu lkan banyak hal yang terlanjur salah. Atau kau nikmati setiap kesalahan dan memakluminya sebagai kebenaran. Terus terang, menyaksikan kemanusiaanmu aku menjadi sakit. Pu ra-pura suci, tap i semakin tipis rasa malumu!” ”Sesungguhnya kau manusia, leb ih Tuyul daripada kami yang Tu yu l!” (hal. 56)
Kalimat terakhir dalam cerpen Tuyul yang d isajikan pengarang yaitu ”Jangankan uang, hak-hak kami dicu ri atau d irampas sekalipu n, kami akan Kalimat terakhir dalam cerpen Tuyul yang d isajikan pengarang yaitu ”Jangankan uang, hak-hak kami dicu ri atau d irampas sekalipu n, kami akan