Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat Tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara Tahun 2011
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN MASYARAKAT TENTANG FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH TERHADAP
KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKARAME KECAMATAN KUALUH HULU
KABUPATEN LABUHANBATU UTARA TAHUN 2011
SKRIPSI
Oleh :
SABAR MANULLANG NIM : 091000261
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN MASYARAKAT TENTANG FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH TERHADAP
KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKARAME KECAMATAN KUALUH HULU
KABUPATEN LABUHANBATU UTARA TAHUN 2011
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh :
SABAR MANULLANG NIM : 091000261
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(3)
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN MASYARAKAT TENTANG FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH TERHADAP
KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKARAME KECAMATAN KUALUH HULU
KABUPATEN LABUHANBATU UTARA TAHUN 2011 Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh:
SABAR MANULLANG NIM. 091000261
Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 16 Agustus 2011
Dan Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji
Ketua Penguji Penguji I
dr. Devi Nuraini Santi, M. Kes Ir. Indra Chahaya S, M. Si NIP. 197002191998022001 NIP. 196811011993032005
Penguji II Penguji III
Ir. Evi Naria, M. Kes dr. Taufik Ashar, MKM NIP. 196803201993032001 NIP. 197803312003121001
Medan, September 2011
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Dekan,
Dr. Drs. Surya Utama, MS
(4)
ABSTRAK
Tuberkulosis Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis Paru batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas. Faktor pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat tentang faktor lingkungan fisik rumah mempunyai pengaruh terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis. Lingkungan yang kurang baik sebagai salah satu reservoir atau tempat baik dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit Tuberkulosis.
Penelitian ini merupakan survei cross sectional bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan tentang faktor lingkungan fisik rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru dengan observasi serta pengukuran kondisi lingkungan fisik rumah. Populasi berjumlah 3268 keluarga, sampel 93 orang diambil secara simple random sampling dan objek penelitian adalah kondisi lingkungan fisik rumah responden. Pengumpulan data meliputi data primer terdiri dari data observasi, pengukuran kondisi lingkungan fisik rumah dan wawancara langsung dengan penderita Tuberkulosis Paru dan tetangga yang bertempat tinggal disekitarnya untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan tindakan tentang kondisi lingkungan fisik rumah serta data sekunder melalui studi dokumentasi.
Penelitian menunjukkan responden memiliki pengetahuan baik 49,4%, sikap baik 60,2% dan tindakan baik 68,8%. Pemeriksaan kondisi fisik rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah sebanyak 71 rumah (76,3%). Analisis data dengan uji chi square pada taraf kepercayaan 95%, pengetahuan memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p=0,007), sikap memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p=0,002), dan tindakan memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p=0,004) serta kondisi faktor lingkungan fisik rumah memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p=0,001) .
Ventilasi ruangan rumah, sirkulasi udara dan cahaya matahari yang masuk kedalam rumah yang buruk dipengaruhi tindakan dan sikap masyarakat akibat pengetahuan yang kurang akibat pendidikan yang rendah juga dipengaruhi oleh pendapatan yang rendah. Penyuluhan kepada masyarakat dan advokasi kepada pemerintah mengenai perbaikkan lingkungan untuk mencegah penularan penyakit menular.
Kata Kunci : Pengetahuan, Sikap, Tindakan, Kondisi Lingkungan Fisik Rumah, Tuberkulosis Paru
(5)
ABSTRACT
Pulmonary Tuberculosis disease is an infectius disease directly by Tuberkulosis germ (Mycobacterium Tuberculosis) are transmitted through the air (droplet infection) when Pulmonary Tuberculosis patient coughs and the saliva spray containing bacterial are inhaled by others during breathing. Factor of knowledge, attitudes and actions ofthe public about and the physical environmental factors have a large influence on the incidence of Tuberculosis disease. the bad environments as a reservoir or a good place in transmitting infectious diseases such as Tuberkulosis disease.
This study is a cross-sectional survey that aims to determinethe relationship of knowledge, attitudes and actions on the physical environmental factors with the incidence of Tuberkulosis Pulmonary and observations and measurement of the physical condition of house environment. Total population is 3268 families, total sample taken 93 people was taken with stratified random sampling and the object of research is physical condition of house environment of respondents. Collecting data includes the primary data that consists of observation and measurement data of physical environmental conditions of the house and direct interviews to those patient with pulmonary tuberculosis, and neighbors who live around it to find out the knowledge, attitudes and actions regarding the physical condition of the house environment as well as secondary data through the study documentation.
The result of study showed that respondents have 49,4% of goog knowledge, 60,2% good attitude, and good actions both 68,8%. The result on physical condition of the house that meets the health requirements are as many as 71 houses (76.3%). Analysis of the data with chi square test at 95% confidence level, suggesting that
knowledge has a relationship with the incident of pulmonary tuberculosis (p = 0.007), attitude has a relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis
(p = 0.002), and the action has a relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis (p = 0.004) as well as physical condition of the house environmental factors have relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis (p = 0.001).
Ventilation room of the house, air circulation and sunligh into the poor house influenced by their action and attitude of society because of the poor knowledge and because a lack of education is also affected by low income. Improve counseling to the villagers and advocacy to the goverment about environment improvements to prevent transmission transmitted diseases.
Keywords : knowledge, attitude, act, physical condition of the house environment, pulmonary tuberculosis.
(6)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : SABAR MANULLANG
Tempat/Tanggal Lahir : Dolok Sinumbah, 18 Agustus 1971
Agama : Kristen Protestan
Status Perkawinan : Kawin
Anak ke : 1 dari 5 bersaudara
Alamat Rumah : Desa Sukarame Baru Kecamatan Kualuh Hulu
Kabupaten Labuhanbatu Utara
Riwayat Pendidikan :
1. SD Negeri 112279 Aekkanopan : 1978-1984
2. SMP Negeri 1 Aekkanopan : 1984-1987
3. SMA Negeri Aekkanopan : 1987-1990
4. AKPER Glugur Medan : 1990-1994
5. Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) USU : 2009-2011
Riwayat Pekerjaan :
RSU Glugur Medan : 1994-1996
Poliklinik Perkebunan PT Tunggal Mitra Plantations : 1996-2006
(7)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
berkat rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat
Tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru Di
Wilayah Kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten
Labuhanbatu Utara Tahun 2011”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Dalam menyusun skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan, dorongan dan
bimbingan dari berbagi pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada : dr. Devi N Santi, M.Kes selaku pembimbing I (satu) dan
Ir. Indra Chahaya S,M.Si selaku pembimbing II (dua) yang telah banyak membantu
dan meluangkan waktu dan pikiran serta dengan penuh kesabaran membimbing
penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
2. Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas
(8)
3. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademis yang telah
memberi bimbingan dan arahan kepada penulis selama mengikuti pendidikan di
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Siti Roilan Siregar SKM, M.Ap selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Labuhanbatu Utara yang telah memberi izin penulis mengikuti pendidikan di
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
5. dr. Mimi Andayani Nasution selaku Kepala Puskesmas Sukarame Kecamatan
Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara yang telah memberi izin penelitian
dan masukan untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini.
6. Seluruh keluarga tercinta istri, orang tua, adik dan keponakan yang telah
memberi motivasi serta dukungan doa kepada penulis untuk melanjutkan
pendidikan dan menyelesaikan skripsi ini.
7. Rekan-rekan mahasiswa dan staf Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu
yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini dan semua pihak
yang telah membantu proses penyusunan skripsi ini hingga selesai.
Kiranya Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan kasih karuniaNya kepada semua
pihak yang telah membantu penulis.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan sehinggga
membutuhkan banyak masukan dan kritikan dari berbagai pihak yang sifatnya
membangun dalam memperkaya materi skripsi ini..
Medan, Agustus 2011
(9)
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Pengesahan...
Abstrak... i
Abstact... ii
Riwayat Hidup Penulis ... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi ... vi
Daftar Bagan dan Tabel ... ix
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1.Latar Belakang... 1
1.2.Perumusan Masalah... 6
1.3.Tujuan Penelitian... 7
1.3.1. Tujuan Umum ... 7
1.3.2. Tujuan Khusus... 7
1.4. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………... 9
2.1. Tuberkulosis Paru ... 9
2.1.1. Definisi ... 9
2.1.2. Penyebab Tuberkulosis... 9
2.1.3. Gejala-gejala Tuberkulosis ... 10
2.1.4. Penemuan Pasien Tuberkulosis ... 11
2.1.5. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien Tuberkulosis Paru ... 12
2.1.6. Cara Penularan Tuberkulosis... 14
2.1.7. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tuberkulosis Paru ... 17
2.2. Pengertian Lingkungan... 18
2.2.1. Lingkungan Fisik... 18
2.2.2. Lingkungan Biologi... 19
2.2.3. Lingkungan Sosial ... 19
2.2.4. Lingkungan Rumah ... 19
2.3. Perumahan Sehat ... 19
2.3.1. Persyaratan Rumah Sehat ... 20
2.3.2. Sanitasi Perumahan dan Hubungannya dengan Tuberkulosis Paru. 22 2.3.3. Luas Ruangan ... 24
2.3.4. Ventilasi... 25
2.3.5. Lantai ... 29
2.3.6. Pencahayaan Sinar Matahari ... 30
2.4. Perilaku ... 31
2.4.1. Pengetahuan (Knowledge)... 33
2.4.2. Sikap (Attitude) ... 36
(10)
2.5. Kerangka Konsep ... 38
2.6. Hipotesa Penelitian ... 39
BAB III METODE PENELITIAN ... 40
3.1. Jenis Penelitian ... 40
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 40
3.2.1. Lokasi Penelitian ... 40
3.2.2. Waktu Penelitian... 40
3.3. Populasi dan Sampel... 40
3.3.1. Populasi ... 40
3.3.2. Sampel ... 41
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 41
3.4.1. Data Primer... 41
3.4.2. Data Skunder ... 42
3.5. Variabel dan Definisi Operasional... 42
3.5.1. Variabel Penelitian ... 42
3.5.2. Definisi Operasional... 42
3.6. Metode Pengukuran ... 44
3.6.1. Pengukuran Pengetahuan ... 45
3.6.2. Pengukuran Sikap... 45
3.6.3. Pengukuran Tindakan... 46
3.6.4. Lingkungan Fisik Rumah ... 46
3.7. Metode Pengolahan Data dan Analisa Data ... 47
3.7.1. Pengolahan Data... 47
3.7.2. Analisa Data ... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 48
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 48
4.2. Analisis Univariat ... 49
4.2.1. Karakteristik Responden ... 49
4.2.2. Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 49
4.2.1.1. Gambaran Pengetahuan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 50
4.2.1.2. Gambaran Sikap Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Tuberkulosis Paru ... 53
4.2.1.3. Gambaran Tindakan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru... 55
4.2.2. Gambaran Kondisi Fisik Rumah ... 58
4.2.3. Observasi terhadap Sanitasi Perumahan ... 59
4.3. Analisis Bivariat ... 62
4.3.1. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 62
(11)
BAB V PEMBAHASAN ... 64
5.1. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan tentang Faktor lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 64
5.1.1. Hubungan Pengetahuan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru... 64
5.1.2. Hubungan Sikap Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru... 67
5.1.3. Hubungan Tindakan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru... 68
5.1.3. Hubungan Sanitasi Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru... 70
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 73
6.1. Kesimpulan ... 73
6.2. Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian
Lampiran 2. Hasil Pengolahan Data Penelitian Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian
Lampiran 4. Master Data Penelitian
Lampiran 4. Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 5. Surat Keterangan Telah Selesai Melaksanakan Penelitan dari Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu
(12)
DAFTAR BAGAN DAN TABEL
Nomor Judul Halaman
Bagan 2.1 Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru ... 16
Bagan 2.2 Skema Hubungan Status Kesehatan, Perilaku dan Pendidikan Kesehatan... 32
Tabel 2.1 Persyaratan Temperatur dan Kelembaban Perumahan ... 28
Tabel 4.1 Distribusi Pengetahuan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 51
Tabel 4.2 Kategori Pengetahuan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru i ... 53
Tabel 4.3 Distribusi Sikap Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 54
Tabel 4.4 Kategori Sikap Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 55
Tabel 4.5 Distribusi Tindakan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 56
Tabel 4.6 Kategori Tindakan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru ... 57
Tabel 4.7 Gambaran Kondisi Fisik Rumah... 58
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Observasi Sanitasi Perumahan ... 59
Tabel 4.9 Gambaran Keadaan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah ... 61
Tabel 4.10 Kategori Kejadian Tuberkulosis Paru pada Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Sukarame ... 61
Tabel 4.11 Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tinadakan Masyarakat tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Sukarame ... 62
Tabel 4.12 Hubungan Sanitasi Faktor Lingkungan Fisik Rumah Masyarakat Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskemas Sukarame ... 63
(13)
ABSTRAK
Tuberkulosis Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis Paru batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas. Faktor pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat tentang faktor lingkungan fisik rumah mempunyai pengaruh terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis. Lingkungan yang kurang baik sebagai salah satu reservoir atau tempat baik dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit Tuberkulosis.
Penelitian ini merupakan survei cross sectional bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan tentang faktor lingkungan fisik rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru dengan observasi serta pengukuran kondisi lingkungan fisik rumah. Populasi berjumlah 3268 keluarga, sampel 93 orang diambil secara simple random sampling dan objek penelitian adalah kondisi lingkungan fisik rumah responden. Pengumpulan data meliputi data primer terdiri dari data observasi, pengukuran kondisi lingkungan fisik rumah dan wawancara langsung dengan penderita Tuberkulosis Paru dan tetangga yang bertempat tinggal disekitarnya untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan tindakan tentang kondisi lingkungan fisik rumah serta data sekunder melalui studi dokumentasi.
Penelitian menunjukkan responden memiliki pengetahuan baik 49,4%, sikap baik 60,2% dan tindakan baik 68,8%. Pemeriksaan kondisi fisik rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah sebanyak 71 rumah (76,3%). Analisis data dengan uji chi square pada taraf kepercayaan 95%, pengetahuan memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p=0,007), sikap memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p=0,002), dan tindakan memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p=0,004) serta kondisi faktor lingkungan fisik rumah memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p=0,001) .
Ventilasi ruangan rumah, sirkulasi udara dan cahaya matahari yang masuk kedalam rumah yang buruk dipengaruhi tindakan dan sikap masyarakat akibat pengetahuan yang kurang akibat pendidikan yang rendah juga dipengaruhi oleh pendapatan yang rendah. Penyuluhan kepada masyarakat dan advokasi kepada pemerintah mengenai perbaikkan lingkungan untuk mencegah penularan penyakit menular.
Kata Kunci : Pengetahuan, Sikap, Tindakan, Kondisi Lingkungan Fisik Rumah, Tuberkulosis Paru
(14)
ABSTRACT
Pulmonary Tuberculosis disease is an infectius disease directly by Tuberkulosis germ (Mycobacterium Tuberculosis) are transmitted through the air (droplet infection) when Pulmonary Tuberculosis patient coughs and the saliva spray containing bacterial are inhaled by others during breathing. Factor of knowledge, attitudes and actions ofthe public about and the physical environmental factors have a large influence on the incidence of Tuberculosis disease. the bad environments as a reservoir or a good place in transmitting infectious diseases such as Tuberkulosis disease.
This study is a cross-sectional survey that aims to determinethe relationship of knowledge, attitudes and actions on the physical environmental factors with the incidence of Tuberkulosis Pulmonary and observations and measurement of the physical condition of house environment. Total population is 3268 families, total sample taken 93 people was taken with stratified random sampling and the object of research is physical condition of house environment of respondents. Collecting data includes the primary data that consists of observation and measurement data of physical environmental conditions of the house and direct interviews to those patient with pulmonary tuberculosis, and neighbors who live around it to find out the knowledge, attitudes and actions regarding the physical condition of the house environment as well as secondary data through the study documentation.
The result of study showed that respondents have 49,4% of goog knowledge, 60,2% good attitude, and good actions both 68,8%. The result on physical condition of the house that meets the health requirements are as many as 71 houses (76.3%). Analysis of the data with chi square test at 95% confidence level, suggesting that
knowledge has a relationship with the incident of pulmonary tuberculosis (p = 0.007), attitude has a relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis
(p = 0.002), and the action has a relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis (p = 0.004) as well as physical condition of the house environmental factors have relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis (p = 0.001).
Ventilation room of the house, air circulation and sunligh into the poor house influenced by their action and attitude of society because of the poor knowledge and because a lack of education is also affected by low income. Improve counseling to the villagers and advocacy to the goverment about environment improvements to prevent transmission transmitted diseases.
Keywords : knowledge, attitude, act, physical condition of the house environment, pulmonary tuberculosis.
(15)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam UU Kesehatan no 23/1992, pembangunan bidang kesehatan sebagai
salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat setiap orang sehingga terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang optimal.( Depkes, 1999 ).
Menurut Hendrik L Blum derajat kesehatan dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu
lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Disamping berpengaruh
langsung pada kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status
kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara
bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula.(Notoatmodjo, 1993).
Permasalahan yang dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia
umumnya adalah kondisi sanitasi lingkungan yang jauh dari memenuhi syarat
kesehatan, perilaku masyarakat yang kurang mendukung upaya kesehatan dan juga
akses terhadap pelayanan kesehatan yang kurang.
Salah satu aspek dari sanitasi lingkungan yaitu keadaan perumahan
masyarakat yang tidak layak huni sehingga merupakan faktor resiko terhadap
timbulnya berbagai masalah kesehatan khususnya penyakit menular, walaupun
sampai sekarang masih belum dapat dibuktikan adanya penyakit-penyakit yang secara
(16)
Penyakit Tuberkulosis ( TB ) adalah salah satu penyakit menular langsung
yang disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis. Menurut WHO pada tahun
1995, di dunia setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru Tuberkulosis dengan
kematian 3 juta orang. Di negara-negara berkembang kematian penderita
Tuberkulosis merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah.
Diperkirakan 95% penderita Tuberkulosis dan 98% kematian akibat Tuberkulosis di
dunia berada di negara berkembang, 75% penderita Tuberkulosis adalah kelompok
usia produktif (15-50 tahun). (Depkes RI,2008).
Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak
zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang
kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Badan Pengobatan Penyakit Paru-paru
(BP4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui
Puskesmas. Pada tahun 1995, program penanggulangan TB mulai menerapkan
strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy) yang
difokuskan kepada penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada
pasien TB menular sehingga akan memutuskan penularan TB dan demikian akan
menurunkan insidens TB di masyarakat dan dilaksanakan di Puskesmas secara
bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara nasional di seluruh
UPK terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan
dasar.(Depkes RI, 2008)
Menurut data Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, di
(17)
setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan, dan merupakan
nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi. Hasil Survey Prevalensi TB di
Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa prevalensi TB BTA positif 110 per
100.000 penduduk. Wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000
penduduk.( Depkes RI,2008 ).
Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2009), di
Sumatera Utara jumlah kasus TB Paru tahun 2008 BTA Positif sebanyak 14.158
orang, dengan cakupan kesembuhan 93,5 %. Tahun 2009 jumlah kasus TB Paru BTA
Positif sebanyak 10.219 orang dengan cakupan 92,9 %.
Dari data register Tuberkulosis Paru Dinas Kesehatan Kabupaten
Labuhanbatu Utara tahun 2010, jumlah penderita baru Tuberkulosis Paru 296 kasus
meningkat 11 kasus dari jumlah penderita Tuberkulosis Paru tahun 2009 sebanyak
285 kasus.( Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Utara, 2010).
Di wilayah kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu pada tahun
2009-2010 dari 15.226 penduduk, penderita Tuberkulosis Paru 20 kasus ( Profil
Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu, 2010 ).
Meski jumlah penderitanya terus berkurang, Tuberkulosis (TBC) di
Indonesia masih tetap dianggap sebagai ancaman serius. Ada banyak tantangan dalam
penanggulangannya, termasuk resistensi atau kekebalan kuman TBC terhadap obat.
Kuman yang kebal terhadap minimal 2 obat TBC yakni Isoniazid (INH) dan
Rifampicin disebut sebagai Multiple Drug Resistance (MDR) TBC. Kadang-kadang MDR-TBC disertai juga dengan resistensi obat TBC lini pertama lainnya termasuk
(18)
sudah kebal terhadap obat lini kedua, maka istilahnya menjadi Extensive Drug Resistance (XDR) TBC. XDR TBC ditandai dengan kekebalan kuman TBC terhadap
obat TBC lini kedua yakni golongan Floroquinolon. Kekebalan terhadap
Floroquinolon juga disertai kekebalan terhadap salah satu obat suntik lini kedua seperti Kanamycin, Amikasin dan Capreomycin. Salah satu faktor penyebab kuman menjadi resisten adalah pengobatan yang tidak tuntas, sehingga kuman yang belum
benar-benar mati akan membentuk sistem kekebalan baru. Akibatnya ketika diberi
obat yang sama, kuman itu sudah tidak mempan lagi.
Kebijakan yang telah dilaksanakan Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh
Hulu dalam rangka mencegah penularan penyakit Tuberkulosis Paru selain pencarian
kasus, pemeriksaan kontak, pemeriksaan suspek penderita TB Paru dengan
pemeriksaan laboratorium untuk penegakan diagnosa, penyuluhan, kampanye TB
Paru dan pengobatan penderita TB Paru juga penyuluhan tentang sanitasi perumahan
telah dilaksanakan melalui program promosi kesehatan.
Dilihat dari kondisi faktor lingkungan fisik rumah, pada tahun 2010 di
wilayah kerja Puskesmas terdapat 37,1 % rumah yang tidak memenuhi persyaratan
dari rumah yang diperiksa. Hal ini juga terlihat pada survey awal yang dilakukan
penulis masih ditemukan bangunan perumahan terbuat dari kayu dan anyaman
bambu dengan lantai tanah. Sistem pencahayaan berasal dari jendela yang ukuran
luasnya tidak sesuai dengan luas ruangan dan tertutupi oleh pohon di sekitar rumah
dan sirkulasi udara juga tidak berjalan baik dikarenakan sering jendela tertutup ketika
penghuninya pergi bekerja.
(19)
Faktor perilaku penderita terhadap lingkungan juga mempunyai pengaruh
besar terhadap penularan penyakit Tuberkulosis Paru selain faktor lingkungan.
Sumber penularan penyakit Tuberkulosis Paru adalah penderita dengan BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.(Depkes RI, 2006).
Penderita penyakit Tuberkulosis Paru perlu dibekali pengetahuan agar tidak
menjadi sumber penularan terhadap orang lain yang sehat, karena setiap satu BTA
positif menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak
untuk tertular TBC adalah 17%.( Widoyono, 2005 ).
Penelitian Lumbantobing (2009), menunjukkan bahwa makin rendah
pengetahuan masyarakat tentang bahaya penyakit Tuberkulosis Paru makin besar pula
bahaya yang ditimbulkan bagi keluarga maupun orang-orang disekitarnya baik
dirumah maupun di tempat pekerjaannya. Sehingga permasalahan Tuberkulosis Paru
menjadi lebih besar dan luas.
Determinan penyakit TB Paru adalah kependudukan dan faktor lingkungan.
kependudukan meliputi jenis kelamin, umur, status gizi, kondisi sosial ekonomi.
Sedangkan faktor lingkungan meliputi kepadatan, lantai rumah, ventilasi,
(20)
Penelitian Siregar (2006), menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara kondisi fisik perumahan yang meliputi kelembaban, lantai, ventilasi,
dan kepadatan hunian dalam rumah dengan kejadian penyakit TB Paru.
Melihat latar belakang dan kondisi diatas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “ Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan
Masyarakat Tentang Faktor Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian
Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu
Kabupaten Labuhanbatu Utara Tahun 2011”.
1.2. Perumusan Masalah
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Utara dan
Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu bahwa kegiatan pencegahan
Tuberkulosis Paru telah dilaksanakan, akan tetapi kasus baru penderita Tuberkulosis
Paru, default ( putus obat ) maupun gagal masih ada juga kondisi faktor lingkungan
fisik rumah pada tahun 2010 di wilayah kerja Puskesmas terdapat 37,1 % rumah yang
tidak memenuhi persyaratan dari rumah yang diperiksa maka perlu diketahui
pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat tentang faktor lingkungan fisik rumah
terhadap Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Sukarame Kecamatan
Kualuh Hulu sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengobatan
(21)
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat
tentang faktor lingkungan fisik rumah terhadap Tuberkulosis paru di wilayah kerja
Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik responden meliputi : umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan.
2. Mengetahui kondisi fisik rumah yang memenuhi syarat meliputi kelembaban,
suhu, ventilasi, lantai, pencahayaan, serta kepadatan hunian dalam rumah dan
kamar tidur.
3. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan masyarakat tentang faktor
lingkungan fisik rumah terhadap Tuberkulosis paru di wilayah kerja
Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu
Utara.
4. Untuk mengetahui gambaran sikap masyarakat tentang faktor lingkungan fisik
rumah terhadap Tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Sukarame
Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara.
5. Untuk mengetahui gambaran tindakan masyarakat tentang faktor lingkungan
fisik rumah terhadap Tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Sukarame
(22)
6. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat
tentang faktor lingkungan fisik rumah terhadap Tuberkulosis Paru dan
penularannya yang dipengaruhi lingkungan fisik rumah di wilayah kerja
Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu
Utara.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun program pemberantasan
penyakit menular dan promosi kesehatan di Puskesmas Sukarame
Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara.
2. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan penulis dalam melaksanakan
tugas.
3. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat dalam rangka menambah
pengetahuan masyarakat untuk mencegah penularan penyakit Tuberkulosis
(23)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis Paru 2.1.1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas.(Widoyono,
2008)
2.1.2. Penyebab Tuberkulosis
Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosa. Ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di
Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati
sebagai hari Tuberkulosis.
Karakteristik kuman Mycobacterium Tuberculosa adalah mempunyai ukuran
0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok,
bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal
yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Dapat bertahan terhadap pencucian
warna dengan asam dan alkohol, sehingga disebut basil tahan asam (BTA), tahan
terhadap zat kimia dan fisik, serta tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat
(24)
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100ºC selama 5-10 menit atau
pada pemanasan 60ºC selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30
detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap
bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara.
Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari
kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam (Widoyono, 2008)
2.1.3. Gejala-gejala Tuberkulosis
Gejala klinis pasien Tuberkulosis Paru menurut Depkes RI (2008), adalah :
- Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
- Dahak bercampur darah.
- Batuk berdarah.
- Sesak napas.
- Badan lemas.
- Nafsu makan menurun.
- Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik.
- Demam meriang lebih dari satu bulan.
Dengan strategi yang baru (DOTS, directly observed treatment shortcourse) gejala utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terus-menerus selama tiga minggu
atau lebih. Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai
tersangka. Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa
(25)
2.1.4. Penemuan Pasien Tuberkulosis
1. Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Orang Dewasa
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program
penanggulangan Tuberkulosis. Penemuan dan penyembuhan pasien Tuberkulosis
menular secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat
Tuberkulosis, penularan Tuberkulosis di masyarakat dan sekaligus merupakan
kegiatan pencegahan penularan Tuberkulosis yang paling efektif di masyarakat.
Strategi penemuan pasien Tuberkulosis dilakukan secara pasif dengan
promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan,
didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun
masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien Tuberkulosis.
Pemeriksaan terhadap kontak pasien Tuberkulosis, terutama mereka yang BTA
positif dan pada keluarga anak yang menunjukan gejala sama, harus diperiksa
dahaknya. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.
2. Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Anak
Diagnosis Tuberkulosis pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis
baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis
Tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor yang
dilakukan dokter dengan parameter : kontak Tuberkulosis, uji tuberkulin, berat
(26)
aksila, inguinal, pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang, foto thoraks.
(Depkes RI, 2008).
2.1.5. Klasifikasi Penyakit dan Tipe PasienTuberkulosis Paru
1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru
Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak
menurut Depkes RI (2008), dibagi dalam :
1. Tuberkulosis paru BTA positif.
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tuberkulosis
positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasinya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif.
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA positif.
Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus meliputi :
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negative.
(27)
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
2. Tipe Pasien Tuberkulosis Paru
Klasifikasi pasien Tuberkulosis Paru berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu :
a. Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kambuh (Relaps)
Adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c. Pengobatan setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
(28)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register
Tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f. Lain-lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.
2.1.6. Cara Penularan Tuberkulosis
Penularan penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacteriun tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang
lain saat bernapas. Sumber penularan adalah pasien Tuberkulosis paru BTA positif,
bila penderita batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil
Tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat dan bisa menyebar ke
bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe atau langsung ke organ
terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Masa
(29)
Lingkungan yang kurang baik sebagai salah satu reservoir atau tempat baik
dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit tuberkulosis. Menurut Azwar
(1990), peranan faktor lingkungan sebagai predisposing artinya berperan dalam
menunjang terjadinya penyakit pada manusia, misalnya sebuah keluarga yang
berdiam dalam suatu rumah yang berhawa lembab dalam daerah yang endemis
terhadap penyakit Tuberkulosis.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara
sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
Menurut Depkes RI (2008), risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan
dengan percikan dahak. Pasien Tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan
risiko penularan lebih besar dari pasien Tuberkulosis Paru dengan BTA negatif.
Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya,
sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular Tubekulosis adalah 17%. Hasil
studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan
dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah).(Widoyono, 2008)
Angka risiko penularan infeksi Tuberkulosis setiap ditunjukan dengan
Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi Tuberkulosis selama satu tahun. ARTI di Indonesia sebesar 1-3% yang
berarti di antara 100 penduduk terdapat 1-3 warga yang terinfeksi Tuberkulosis.
Setengah dari mereka BTAnya akan positif (0,5%). (Depkes RI, 2008)
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien
(30)
dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang
terinfeksi Tuberkulosis menjadi sakit Tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan
kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunity), seperti Tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian.(Depkes RI, 2008)
Menurut Amin, Alsagaf dan Saleh yang dikutip Rajagukguk (2008),
faktor-faktor yang erat hubungannya dengan infeksi basil Tuberkulosis adalah :
a. Harus ada sumber penularan
b. Jumlah basil yang mempunyai kemampuan mengadakan terjadinya infeksi, cukup
banyak dan terus menurus.
c. Virulensi (keganasan) basil.
d. Daya tahan tubuh yang menurun sehingga memungkinkan basil Tuberkulosis
berkembang biak.
Menurut Depkes RI (2008) Faktor risiko kejadian Tuberkulosis, secara
ringkas digambarkan pada gambar berikut:
Bagan 2.1
Faktor Risiko Kejadian Tuberkolosis Paru
transmisi
●Diagnosis tepat Jumlah kasus TB BTA+ dan cepat Faktor lingkungan: Risiko menjadi TB bila ●Pengobatan tepat
■Ventilasi dengan HIV : dan lengkap
■Kepadatan ● 5-10% setiap tahun ●Kondisi kesehatan
■Dalam ruangan ● >30% lifetime mendukung Faktor Perilaku
10%
HIV (+)
TERPAJAN
INFEK
SI
TB
SEMBUH MATI
(31)
Kosentrasi Kuman ■Keterlambatan diagnosis Lama Kontak dan pengobatan
■Malnutrisi ■Tatalaksana tak memadai
■Penyakit DM, ■Kondisi kesehatan
Immuno-supresan
Sumber: Depkes RI, (2008). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
● Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati menurut Depkes RI, (2008) Pasien yang tidak diobati, setelah 5 tahun akan :
50% meninggal
25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular
2.1.7. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tuberkulosis Paru
Upaya pencegahan adalah upaya kesehatan yang dimaksudkan agar setiap
orang terhindar dari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya
penyebaran penyakit.
Tujuannya adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya penyakit yaitu penyebab penyakit (agent), manusia atau tuan rumah (host) dan faktor lingkungan (environment).
Pencegahan Tuberkulosis yang utama bertujuan memutus rantai penularan
yaitu menemukan pasien Tuberkulosis paru dan kemudian mengobatinya sampai
benar-benar sembuh.
Cara pencegahan dan pemberantasan Tuberkulosis secara efektif diuraikan
sebagai berikut :
1. Melenyapkan sumber infeksi, dengan :
a. Penemuan penderita sedini mungkin.
b. Isolasi penderita sedemikian rupa selama masih dapat menularkan.
(32)
2. Memutuskan mata rantai penularan.
3. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit Tuberkulosis paru.
Untuk memberantas penyakit Tuberkulosis paru kita harus mampu
mempengaruhi unsur-unsur seperti manusia, perilaku dan lingkungan serta
memperhitungkan interaksi dari ketiga unsur tersebut.
Menurut Rajagukguk (2008), yang mengutip penelitian Entjang keberhasilan
usaha pemberantasan Tuberkulosis paru juga tergantung pada :
a. Keadaan sosial ekonomi rakyat.
Makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, sehingga nilai gizi dan
sanitasi lingkungan jelek, yang mengakibatkan rendahnya daya tahan tubuh
mereka sehingga mudah menjadi sakit bila tertular Tuberkulosis.
b. Kesadaran berobat si penderita
Kadang-kadang walaupun penyakitnya agak berat si penderita tidak merasa
sakit, sehingga tidak mau mencari pengobatan.
c. Pengetahuan penderita, keluarga dan masyarakat pada umumnya tentang penyakit
Tuberkulosis.
Makin rendah pengetahuan penderita tentang bahaya penyakit Tuberkulosis
untuk dirinya, keluarga dan masyarakat sekitarnya makin besar pula bahaya si
penderita sebagai sumber penularan penyakit, baik dirumah maupun tempat
pekerjaannya untuk keluarga dan orang disekitarnya.
(33)
Lingkungan adalah segala sesuatu baik fisik, biologis, maupun sosial yang
berada disekitar manusia serta pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruhi
kehidupan dan perkembangan manusia.
Unsur-unsur lingkungan sebagai berikut :
2.2.1. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia yang
bersifat tidak bernyawa misalnya air, tanah, kelembaban udara, suhu, angin, rumah
dan benda mati lainnya.
2.2.2. Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi adalah segala sesuatu yang bersifat hidup seperti
tumbuh-tumbuhan, hewan, termasuk mikroorganisme.
2.2.3. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial adalah segala sesuatu tindakan yang mengatur kehidupan
manusia dan usaha-usahanya untuk mempertahankan kehidupan seperti pendidikan
pada tiap individu, rasa tanggung jawab, pengetahuan keluarga, jenis pekerjaan,
jumlah penghuni dan keadaan ekonomi.
2.2.4. Lingkungan Rumah
Menurut Nurhidayah (2007) yang mengutip pendapat Walton, lingkungan
rumah adalah segala sesuatu yang ada di dalam rumah. Lingkungan rumah terdiri dari
lingkungan fisik yaitu ventilasi, suhu, kelembaban, lantai, dinding serta lingkungan
(34)
2.3. Perumahan Sehat
Menurut Winslow dan APHA yang dikutip oleh Suyono dan Budiman
(2011), perumahan yang sehat harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain
memenuhi kebutuhan fisiologis, memenuhi kebutuhan psikologis, mencegah
penularan penyakit, dan mencegah terjadinya kecelakaan.
2.3.1. Persyaratan Rumah Sehat
Rumah sehat menurut Winslow dan APHA yang dikutip oleh Suyono dan
Budiman (2011), menetapkan fungsi pokok pembangunan rumah sebagai tempat
tinggal yang sehat, sebagai berikut :
a. Perumahan yang sehat harus memenuhi kebutuhan fisiologis :
1. Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam (sinar matahari) maupun cahaya
buatan (lampu).
2. Penghawaan (ventilasi) yang cukup untuk proses penggantian udara dalam
ruangan.
3. Tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari luar maupun dalam rumah
(termasuk radiasi).
4. Cukup tempat bermain bagi anak-anak dan untuk belajar.
(35)
1. Setiap anggota keluarga terjamin ketenangannya dan kebebasannya (privacy), tidak terganggu oleh anggota keluarga dalam rumah maupun oleh tetangga
atau orang lewat.
2. Mempunyai ruang untuk berkumpulnya anggota keluarga.
3. Lingkungan yang sesuai, homogen, tidak terlalu ada perbedaan tingkat yang
ekstrem di lingkungannya. Misalnya tingkat ekonomi.
4. Mempunyai fasilitas kamar mandi dan WC sendiri.
5. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya harus disesuaikan dengan umur dan
jenis kelaminnya. Orangtua dan anak dibawah 2 tahun boleh satu kamar. Anak
di atas 10 tahun dipisahkan antara laki-laki dan perempuan. Anak umur 17
tahun ke atas diberi kamar sendiri.
6. Jarak antara tempat tidur minimal 90 cm untuk terjaminnya keleluasaan
bergerak, bernapas dan untuk memudahkan membersihkan lantai.
7. Ukuran ruang tidur anak yang berumur ≤ 5 tahun sebesar 4,5 m³, dan yang umurnya 5 tahun adalah 9 m³. Artinya dalam satu ruangan anak yang
berumur 5 tahun kebawah diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 1,5
x 1 x 3 m³, dan diatas 5 tahun menggunakan ruangan 3 x 1 x 3 m³.
8. Mempunyai halaman yang dapat ditanami pepohonan.
9. Hewan/ternak yang akan mengotori ruangan dan ribut/bising hendaknya
dipindahkan dari rumah dan dibuat kandang tersendiri dan mudah dibersihkan.
c. Perumahan juga harus mampu mencegah penularan penyakit :
(36)
2. Tidak memberi kesempatan serangga (nyamuk dan lalat), tikus dan binatang
lainnya bersarang di dalam atau di sekitar rumah.
3. Pembuangan kotoran (tinja) dan air limbah memenuhi syarat kesehatan.
4. Pembuangan sampah pada tempat yang baik, kuat dan higienis.
5. Luas kamar tidur maksimal 3,5 m² per orang dan tinggi langit-langit maksimal
2,7 m. Ruangan yang terlalu luas akan menyebabkan mudah masuk angin,
tidak nyaman secara psikologis (gamang), sedang apabila terlalu sempit akan
menyebabkan sesak napas dan memudahkan penularan penyakit karena terlalu
dekat kontak.
6. Tempat masak dan menyimpan makanan harus bersih dan bebas dari
pencemaran atau gangguan serangga (lalat, semut, lipas dll) dan tikus serta
debu.
d. Perumahan harus memenuhi keamanan untuk terjadinya kecelakaan.
2.3.2. Sanitasi Perumahan dan Hubungannya dengan Tuberkulosis Paru
Menurut Departemen Kesehatan RI (1997), sanitasi adalah usaha
pencegahan penyakit untuk melenyapkan, mengendalikan faktor-faktor lingkungan
yang merupakan mata rantai penularan penyakit.
Menurut Ehlers dan Steel yang dikutip oleh Rajagukguk (2008) adalah
usaha-usaha pengawasan yang ditujukan terhadap faktor-faktor lingkungan yang
(37)
Jadi berdasarkan kedua definisi diatas, disimpulkan inti dari sanitasi adalah
pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan untuk menghindari penularan penyakit
dari satu orang kepada orang lain.
Bila dihubungkan dengan perumahan sebagai faktor lingkungan, sanitasi
tersebut meliputi kegiatan usaha yang sasarannya adalah segala aspek yang berkaitan
dengan rumah sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan
penghuninya.
Penyehatan perumahan dan lingkungan perlu dilakukan karena erat
kaitannya dengan masalah kesehatan masyarakat. Untuk menunjukkan bahwa kondisi
perumahan yang tidak sehat sangat berpengaruh dalam penularan penyakit dilihat dari
data-data penelitian yang sudah ada.
Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun
1980 didapatkan hasil sebagai berikut :
1. 35,8% rumah tidak mempunyai kamar tidur terpisah.
2. 34% rumah mempunyai lubang penghawaan, pencahayaan, lantai, dinding dan
atap yang buruk.
Menurut berbagai penelitian, penyakit saluran pernafasan dan tuberkulosis
dapat dicegah dengan terpenuhinya suatu rumah dari pencahayaan, ventilasi, tidak
lembab, tidak padat penghuni (minimal 10 m³ per orang), mempunyai kamar lebih
dari satu, asap dapur tidak dapat masuk ke kamar tidur/ruang tamu (Kerjasama MUI,
(38)
Hal diatas menunjukkan betapa besar pengaruh sanitasi perumahan terhadap
kejadian penularan penyakit Tuberkulosis, begitu juga untuk penyakit menular
lainnya apabila rumah tersebut tidak memenuhi syarat sanitasi.
Di daerah-daerah pedesaan, masalah perumahan masih banyak yang belum
memenuhi syarat kesehatan sedangkan di kota-kota sudah ada kemajuan, tetapi di
berbagai tempat masih terdapat perumahan yang sama sekali tidak memenuhi
persyaratan kesehatan, yang sering disebut dengan daerah kumuh (slum area).
Menurut Reksosoebroto (1978) yang dikutip oleh Rajagukguk (2008),
perumahan yang tidak sehat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
a. Taraf sosial ekonomi yang masih rendah
b. Kurangnya pengertian tentang kesehatan
c. Sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat
d. Kepadatan penghuni (over crowding)
e. Konstruksi bangunan yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan
Perumahan yang tidak memenuhi persyaratan fisik akan menimbulkan
gangguan kesehatan antara lain yang erat kaitannya dengan penyebaran penyakit
Tuberkulosis paru adalah luas ruangan, ventilasi, konstruksi lantai dan pencahayaan
sinar matahari yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi.
2.3.3. Luas Ruangan
Rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan psikologis meliputi privacy
(kebebasan), security (keamanan), safety (perlindungan), comfort (kebahagiaan dan kesenangan) dan relax (ketenangan), disamping itu juga harus memenuhi fisik yang
(39)
meliputi konstruksi yang baik dan memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi yang baik
(Reksosoebroto, 1978).
Salah satu syarat konstruksi yang harus diperhatikan sehubungan dengan
penyakit Tuberkulosis Paru adalah luas ruangan rumah. Ada dua pendapat yang
representatif yang dikutip oleh James and Parkinson (1976) yaitu yang pertama
ukuran luas ruangan suatu perumahan erat kaiatannya dengan terjadinya Tuberkulosis
Paru.
Pendapat kedua dikemukakan oleh Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis Paru
Brandbury yang membuat kesimpulan secara statistik bahwa kejadian Tuberkulosis
Paru paling besar diakibatkan keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat pada luas
ruangannya.
Ruangan suatu rumah juga berperan dalam meningkatkan jumlah bakteri, hal
ini terjadi apabila terdapat sumbernya misalnya adanya penderita Tuberkulosis Paru,
sehingga kondisi ruangan yang memang mendukung perkembangan bakteri dan
mikroorganisme lain akan menyebabkan jumlah bakteri juga mengalami peningkatan
jumlahnya yang membawa resiko bagi orang lain.
Menurut “ Regional Housing Centre “ seperti yang dikutip oleh
Reksosoebroto (1978), suatu bangunan harus memenuhi ukuran luas yang layak
(dengan perhitungan untuk setiap keluarga yang terdiri dari 5 anggota rata-rata).
Di berbagai negara persyaratan luas ruangan perumahan biasanya ditentukan
berdasarkan banyaknya penghuni. Over crowing (kepenuh sesakan) dapat
(40)
Penyebaran penyakit menular seperti Tuberkulosis Paru cepat sekali terjadi pada
rumah yang padat penghuninya.
Luas bangunan yang optimum menurut Notoatmodjo (1997) adalah apabila
dapat menyediakan 2,5 – 3 m² untuk tiap orang anggota keluarga. Menurut Lubis
(1985) over crowing suatu perumahan apabila kondisi rumah terhadap jumlah
penghuni sebagai berikut :
a. Dua individu dari jenis kelamin berbeda dan usia diatas 10 tahun yang bukan
suami isteri, tidur dalam satu kamar.
b. Jumlah penghuni dibandingkan dengan luas lantai melebihi ketentuan yang
ditetapkan.
Di Indonesia ketentuan mengenai kepadatan hunian ruang tidur oleh
keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999, yaitu luas ruang
tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam
satu ruang tidur, kecuali anak dibawah 5 tahun.
2.3.4. Ventilasi
Menurut Suyono dan Budiman (2011), hawa segar diperlukan untuk
mengganti udara ruangan yang sudah terpakai. Udara bebas mempunyai susunan
unsur :
1. Oksigen (zat asam) 20,7%
2. Nitrogen (zat lemas) 78,8%
3. Karbon dioksida (gas asam arang) 0,04%
(41)
5. Ozon (O ), amoniak (NH ), hidrogen (H2) dan lain-lain.
Suatu ruangan yang terlalu padat penghuninya dapat memberikan dampak
yang buruk terhadap kesehatan para penghuni rumah tersebut, untuk itu pengaturan
sirkulasi udara sangat diperlukan.
Pengadaan ventilasi menurut Salvato yang dikutip oleh Lubis (1985) dalam
Rajagukguk (2008) adalah untuk menyediakan udara segar dan melenyapkan udara
jenuh, tapi tidak ada sangkut pautnya dengan komposisi kimia, namun ia tetap
menghubungan dengan pencegahan terjadinya akumulasi gas-gas beracun dan
mikroorganisme di ruangan.
Rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan mengakibatkan
perasaan sesak, pengap, cepat lelah dan keaktifan menurun. Hal ini disebabkan oleh
peningkatan suhu udara yang dikeluarkan oleh tubuh dan tertahan di dalam ruangan,
tidak adanya pergerakan udara serta kelembaban yang tinggi akibat uap air yang
dilepaskan oleh paru-paru.
Keadaan ini dapat diatasi dengan menggerakkan udara dalam ruangan,
misalnya dengan kipas angin atau dengan membuat ventilasi. Tidak adanya ventilasi
yang baik di suatu ruangan akan semakin membahayakan kesehatan jika didalam
ruangan tersebut terdapat penderita Tuberkulosis Paru.
Menurut Suyono dan Budiman (2011), udara segar sangat diperlukan untuk
penggantian hawa dan menjaga temperatur udara dan kelembaban dalam ruangan.
Idealnya temperatur udara dalam ruangan harus lebih rendah dari temperatur luar
(42)
C sudah cukup segar. Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33
m³/orang/jam, kelembaban udara sekitar 60% optimum.
Ventilasi udara dalam ruangan harus memenuhi syarat lain di antaranya :
1. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan, selain itu luas
ventilasi insidentil (buka dan tutup) minimum 5% luas lantai. Jumlah keduanya
menjadi 10% dari luas lantai. Ukuran luas ini diatur sedemikian rupa agar udara
yang masuk tidak terlalu deras dan tidak terlalu sedikit.
2. Udara yang masuk harus udara bersih, tidak tercemar gas atau asap dari
pembakaran sampah, pabrik, knalpot kendaraan, asap rokok, debu, dll.
3. Aliran udara jangan membuat orang masuk angin, untuk ini jangan menempatkan
tempat tidur atau tempat duduk persis pada aliran udara, misalnya di depan jendela
atau pintu.
4. Aliran udara mengikuti aturan cross ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan/berseberangan antara 2 dinding ruangan. Aliran udara ini
jangan terhalang oleh barang-barang besar seperti lemari, dinding sekat dan
lain-lain.
5. Kelembaban udara jangan sampai terlalu tinggi (menyebabkan orang berkeringat)
dan jangan terlalu rendah (menyebabkan kulit kering, bibir pecah-pecah dan
hidung sampai berdarah).
Udara dalam ruangan setelah terpakai susunannya menjadi, oksigen 15,4%,
(43)
Beberapa pendapat para ahli yang dikutip oleh Lubis (1985) dalam
Rajagukguk (2008), tentang kondisi paling baik terhadap temperatur kelembaban
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.1. Persyaratan Temperatur dan Kelembaban Perumahan
Pendapat dari : Temperatur (ºC) Kelembaban (%)
Mac Nall Joseph Lubart ASHRAE
22,7 – 25 20 – 24,4
25,5 dengan ventilasi ± 17,1 ºC
20 - 60 10 – 50
70 Sumber : Lubis (1985), Perumahan Sehat
Macam ventilasi adalah ventilasi alami dan ventilasi buatan. Ventilasi alami misalnya
dengan memasang jendela dan lobang-lobang angin serta menggunakan bahan-bahan
untuk dinding, lantai yang berpori-pori.
Ventilasi buatan diperlukan untuk membantu fungsi dari ventilasi alami
yang kadang-kadang tidak berfungsi dengan baik, sehingga kebersihan udara,
kelembaban, temperatur, kecepatan angin dan pergantian udara tidak dapat diatasi.
Ventilasi buatan yang kita kenal di antaranya sebagai berikut :
1. Fan (kipas angin), perputaran baling-baling menghasilkan pergerakan udara ke depan. Semakin cepat baling-baling diputar, semakin deras angin yang dihasilkan.
Penggunaan kipas angin dapat menimbulkan masuk angin bagi yang tidak tahan.
2. Exhauster/exhaust fan, prinsip kerjanya hampir sama dengan fan, namun
exhauster ditempatkan pada dinding yang fungsinya mengisap udara dalam ruangan keluar dan sekaligus menarik udara segar dari luar masuk kedalam
(44)
ruangan melalui lubang udara lain di seberang exhauster tersebut. Exhauster dapat juga menyedot udara dari luar dan menekan udara kotor keluar ruangan melalui
lubang udara di seberangnya. Ada jenis lain dari exhauster fan ini dipasang pada lanit-langit atau plafon disebut ceiling fan.
3. Air conditioned (AC). Prinsip kerja AC adalah mengisap udara dalam ruangan, disaring dan didinginkan kemudian disemprotkan kembali ke dalam ruangan
dengan temperatur yang dapat disesuaikan melalui tombol mekanik atau melalui
remote control.
2.3.5. Lantai
Perkembangbiakan mikroorganisme pada ruangan rumah juga dipengaruhi
oleh kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Lantai rumah juga
dipengaruhi oleh kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Lantai rumah
biasanya hanya berupa tanah atau batu bata yang langsung diletakkan diatas tanah,
sehingga kelembabannya sangat tinggi dan pada musim panas dapat menyebabkan
udara berdebu.
Umumnya masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di daerah pedesaan
belum memperhatikan kondisi perumahan khususnya kondisi lantai yang biasanya
hanya berupa tanah saja.
Lantai dari tanah atau batu bata biasanya langsung diletakkan di atas tanah,
sehingga menjadi lembab. Oleh karena itu perlu suatu lapisan yang kedap air, seperti
semen, susunan tegel dan lain-lain. Sedangkan papan sudah jarang digunakan lagi,
(45)
Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat mengundang berbagai serangga
dan tikus untuk bersarang, demikian juga kotoran yang melekat padanya. Biasanya
tanah dan debu banyak mengandung mikroorganisme berbahaya antara lain kuman
Tuberkulosis.
Lantai perumahan yang dipersyaratkan di Indonesia seperti telah ditetapkan
oleh Departemen Pekerjaan Umun adalah : tidak mudah aus, kedap air, mudah
dibersihkan, tidak lentur, tidak mudah terbakar dan harus memenuhi normalisasi serta
peraturan yang berlaku.
2.3.6. Pencahayaan Sinar Matahari
Salah satu syarat rumah sehat adalah tersedianya cahaya yang cukup.
Karena suatu rumah atau ruangan yang tidak mempunyai cahaya yang cukup, selain
dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman, juga dapat mendatangkan penyakit.
Sinar matahari berperan secara langsung dalam mematikan bakteri dan
mikroorganisme lain yang terdapat di lingkungan rumah, dengan demikian sinar
matahari sangat diperlukan di dalam suatu ruangan rumah terutama ruangan tidur,
khususnya sinar matahari pagi yang dapat menghambat perkembang biakan kuman
tuberkulosis dan kuman penyakit lainnya.
Penerangan alami yang diperoleh dengan masuknya cahaya matahari yang
terang dan tidak silau sehingga dapat dipergunakan untuk membaca normal atau
sekitar 50-100 lux yang masuk kedalam ruangan melalui jendela, celah maupun
bagian lain dari rumah, selain berguna untuk penerangan juga mengurangi
(46)
penyakit tertentu, misalnya untuk membunuh bakteri adalah cahaya dengan panjang
gelombang di bawah 4000 A yakni sinar ultra violet (Azwar,1990).
Cahaya matahari ini berguna selain untuk penerangan, juga dapat mengurangi
kelembaban ruangan, mengusir nyamuk, membunuh kuman penyakit tertentu seperti
TBC, Influensa, penyakit mata dan lain-lain. (Sanropie, et.al, 1989).
Cara dalam mengupayakan masuknya sinar matahari ke ruangan rumah,
dapat dilakukan dengan membuat jendela kaca, pintu kaca, dinding kaca dan genteng
kaca. Pencahayaan yang baik adalah terang dan tidak silau sehingga dapat
dipergunakan untuk membaca dengan normal. (Depkes, 2002).
2.4. Perilaku
Lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan,
kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua,
pelayanan kesehatan, dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap
status kesehatan. (Notoatmodjo, 1993).
Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatar belakangi atau
dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni :
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat
terhadap hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut
masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pemungkin (enambling factors) mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.
(47)
c. Faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors) meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku
para petugas termasuk petugas kesehatan. Juga undang-undang dan peraturan.
Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi
perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor pokok tersebut.
Bagan 2.2 Skema
Hubungan Status Kesehatan, Perilaku dan Pendidikan Kesehatan
Keturunan
Pelayanan Status Lingkungan
Kesehatan Kesehatan
Perilaku
Proses Perubahan
Predisposting Enabling Factors Reinforcing Factor
Factors (ketersediaan sumber- (sikap dan perilaku
(pengetahuan,sikap Sumber/fasilitas) petugas)
kepercayaan, tradisi, nilai,dsb)
Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat Training
(48)
Pendidikan Kesehatan (Promosi Kesehatan)
Sumber : Notoatmodjo (2003), Pendidikan dan Perilaku Kesehatan
Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu
sendiri yang mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, bahkan kegiatan
internal seperti berpikir, persepsi dan emosi. (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang baik
bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang
nyata atau practice) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,
sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Menurut Becker (1979)
perilaku kesehatan berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk
mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi dan
sebagainya.
Benyamin Bloom (1908) membagi perilaku ke dalam tiga domain
pendidikan yang terdiri dari kognitif, afektif dan psikomotor. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, ketiga domain ini diukur dari
pengetahuan, sikap dan tindakan.
2.4.1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil tahu setelah adanya penginderaan terhadap
suatu objek dan sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang. Penelitian
Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di
(49)
a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik atau tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif
akan bersifat langgeng. Sebaliknya perilaku yang tidak didasari pengetahuan dan
kesadaran tidak akan berlangsung lama. Ada enam tingkatan pengetahuan yakni :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan
yang telah diterima. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara
lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan sebagainya.
(50)
Memahami diartikan sebagi suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi secara benar. Orang
yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap
objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat
diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen, tetapi masih didalam suatu stuktur organisasi tersebut dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata-kata kerja menggambarkan (membuat bagan), membedakan,
memisahkan dan sebagainya.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain
kemampuan menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
(51)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau kriteria yang telah ada.
2.4.2. Sikap (Attitude)
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup suatu
stimulus atau objek. Sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat
ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu.
Newcomb seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan
atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek.
Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave)
Ketiga komponen ini membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam
penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi
memegang peranan penting.
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni ;
1. Menerima (Receiving)
(52)
2. Merespons (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas
pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti menerima ide tersebut.
3. Menghargai
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain
terhadap suatu masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko adalah sikap yang paling tinggi.
2.4.3. Praktek atau Tindakan (Practise)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior) sehingga diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas dan dukungan berbagai pihak.
Tingkatan-tingkat tindakan :
1. Persepsi (Perception)
Mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil
adalah praktek tingkat pertama.
(53)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.
3. Mekanisme (Mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan dengan benar secara otomatis atau
sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat
tiga.
4. Adaptasi (Adaptation)
Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi
kebenaran tindakannya tersebut.
(54)
Variabel Independen Variabel Dependen
Faktor Lingkungan Fisik Rumah : - Luas ruangan - Ventilasi - Lantai
- Pencahayaan
Keterangan:
______ :Variabel diteliti ---: Variabel tidak diteliti
2.6.Hipotesis Penelitian
‐ Pengetahuan Kejadian Tuberkulosis
Paru
Karakteristik :
- Umur
- Jenis kelamin - Pendidikan - Pekerjaan - Penghasilan
‐ Sikap
‐ Tindakan
- Pengukuran kondisi
fisik rumah
- Observasi terhadap
(55)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesa penelitian
sebagai berikut:
Ha : Ada hubungan pengetahuan, sikap dan tidakan tentang lingkungan fisik
rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas
Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu.
Ho : Tidak ada hubungan pengetahuan, sikap dan tidakan tentang lingkungan
fisik rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas
Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu.
(56)
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian menggunakan metode survey yang bersifat analitik dengan
desain Cross sectional study yaitu untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat tentang faktor lingkungan fisik rumah terhadap kejadian
Tuberkulosis Paru serta pemeriksaan lingkungan fisik rumah di wilayah kerja
Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara.
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sukarame
Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara yang terdiri dari 4 Desa
tahun 2010 dan tahun 2011.
3.2.2. Waktu Penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah dimulai bulan Nopember 2010
sampai dengan bulan Juli 2011.
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi adalah seluruh masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Sukarame
Kecamatan Kualuh Hulu tahun 2010 sebanyak 3268 keluarga.
3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan cara simple random sampling
yakni sampel dipilih dengan pemeriksaan kontak yaitu penderita Tuberkulosis Paru
(57)
Paru dan diambil dengan menggunakan rumus yang dikemukakan Vicent (1991),
yaitu sebagai berikut :
N.Zc2.p.(1 – p) n =
NG2 + Zc2.p.(1 – p)
Keterangan :
Zc = Nilai derajat kepercayaan 95% = 1,96 P = Proporsi dari populasi ditetapkan p = 0,5 G = Galat pendugaan = 0,1
N = Besar populasi = 3268 keluarga n = Besar sampel
Dengan perhitungan
3268.(1,96)2.0,5.(1 – 0,5)
n =
3268.(0,1)2 + 1,962.0,5(1 – 0,5)
n= 3138,6/33,6 = 93,3 n= 93 keluarga
3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer
a. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara kepada responden yang
di rumah tersebut ada penderita Tuberkulosis Paru dan tetangga yang bertempat
tinggal disekitarnya dengan menggunakan kuesioner.
b. Melakukan observasi dan pengukuran terhadap lingkungan fisik rumah penderita
Tuberkulosis Paru dan tetangga yang bertempat tinggal di sekitarnya.
(58)
Data sekunder diperoleh dari register Tuberkulosis Paru Puskesmas
Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu di wilayah penelitian.
3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel Penelitian
Variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan, sikap dan
tindakan masyarakat tentang faktor lingkungan fisik rumah. Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah kejadian Tuberkulosis Paru. Pengukuran kondisi fisik rumah
dan observasi terhadap sanitasi perumahan merupakan variabel pendukung penyebab
kejadian Tuberkulosis Paru.
3.5.2. Definisi Operasinal
Definisi operasional yang dibuat tentang batasan-batasan dari istilah yang
dipakai dalam penulisan, yaitu :
1. Penderita Tuberkulosis Paru adalah orang yang menderita penyakit
Tuberkulosis Paru yang terdaftar dalam register TB Paru di Puskesmas
Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu tahun 2010.
2. Responden adalah orang yang tinggal di sekitar rumah atau tetangga
penderita Tuberkulosis Paru dan orang yang tinggal di rumah tersebut ada
penderita Tuberkulosis Paru ataupun penderita itu sendiri di wilayah kerja
Puskesmas Sukarame Kecamatan Kualuh Hulu tahun 2010.
3. Umur adalah usia responden dari mulai lahir sampai ulang tahun terakhir.
4. Jenis kelamin adalah responden yang dinyatakan dengan jenis kelamin
(59)
5. Pendidikan adalah tingkat/jenjang pendidikan formal yang terakhir
ditamatkan oleh responden mulai dari SR/SD sampai dengan Perguruan
Tinggi.
6. Pekerjaan adalah sumber mata pencarian yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup responden.
7. Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan
utama maupun tambahan (dalam rupiah) yang dikategorikan berdasarkan
Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Labuhan Batu = Rp.
1.050.000,- yang dikategorikan :
1. Rendah (< Rp. 1.050.000,-)
2. Sedang (Rp. 1.050.000,- – Rp.2.000.000)
3. Tinggi (> Rp.2.000.000,-)
8. Lingkungan fisik rumah adalah keadaan bagian-bagian dari rumah
responden yang diperkirakan ikut berperan dalam penularan penyakit
Tuberkulosis Paru, yaitu luas ruangan, ventilasi, lantai, kelembaban dan
pencahayaan.
9. Kepadatan hunian ruangan tidur adalah luas ruangan minimal 8 meter, dan
tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur,
kecuali anak dibawah umur 5 tahun.
10. Ventilasi rumah yang saniter adalah rumah yang memiliki luas
(60)
dan 50% dari luas jendela atau lubang udara harus dapat dibuka, sehingga
ada aliran udara yang segar terus berlangsung.
11. Lantai rumah yang saniter adalah kondisi kedap air, terbuat dari bahan
yang cukup keras, kuat, rata dan mudah dibersihkan.
12. Kelembaban adalah keadaan lembab dalam ruangan yang berkisar
40%-70% diukur dengan alat Hygrometer. Pengukuran dilakukan bersamaan
dengan pengukuran suhu ruangan kamar sekitar 22-30º C. Cara
menggunakan alat yaitu dengan meletakkan alat pada ruang tidur dan ruang
kumpul keluarga.
13. Pencahayaan yang memenuhi syarat adalah masuknya sinar matahari
kedalam ruangan dan menyebar secara merata, terang dan tidak silau
sehingga dapat membaca secara normal.
14. Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh responden tentang penyakit
Tuberkulosis Paru dan lingkungan fisik rumah.
15. Sikap adalah cara responden memandang sesuatu hal yang telah
diketahuinya tentang penyakit Tuberkulosis Paru dan lingkungan fisik
rumah.
16. Tindakan adalah perlakuan atau kegiatan yang dilakukan responden
sebagai respon dari apa yang diketahuinya tentang penyakit Tuberkulosis
Paru dan lingkungan fisik rumah.
(61)
Untuk mengukur variabel pengetahuan, sikap dan tindakan pada penelitian
ini didasarkan pada jawaban responden dari semua pertanyaan yang diberikan
digunakan skala likert. ( Sugiono, 2007).
3.6.1. Pengukuran Pengetahuan
Dari pertanyaan pengetahuan 1-19 mempunyai nilai jawaban, jika menjawab
a diberi skor = 2, jika responden menjawab b diberi skor = 1 dan jika responden
menjawab c diberi skor = 0, sehingga didapat skor tertinggi adalah 38. Selanjutnya
akan dikategorikan baik, sedang dan kurang dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Pengetahuan baik jika jawaban responden nilainya > 75 % dari total
skor jawaban pada kuesioner atau skor >29.
b. Pengetahuan sedang jika jawaban responden nilainya 40% – 75 %
dari total skor jawaban pada kuesioner atau skor 15 – 29.
c. Pengetahuan kurang jika jawaban responden nilainya 40 % dari total
skor jawaban pada kuesioner atau skor < 15.
3.6.2. Pengukuran Sikap
Dari pertanyaan sikap 1 – 11 mempunyai nilai jawaban, jika responden
menjawab setuju (a) akan diberi skor = 2, jika responden menjawab kurang setuju (b)
akan diberi skor = 1 dan jika responden menjawab tidak setuju (c) maka diberi skor =
0, sehingga didapat skore tertinggi adalah 22. Selanjutnya akan dikategorikan baik,
sedang dan kurang, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Sikap baik jika jawaban responden nilainya > 75 % dari total skor
(62)
b. Sikap sedang jika jawaban responden nilainya 40 – 75 % dari total
skor jawaban pada kuesioner = skor 9 – 17.
c. Sikap kurang jika jawaban responden nilainya 40 % dari total skor
jawaban pada kuesioner = skor < 9.
3.6.3. Pengukuran Tindakan
Dari pertanyaan 1 – 10 mempunyai nilai jawaban, jika responden menjawab a
akan diberi skor = 2, jika responden menjawab b akan diberi skor = 1 dan jika
responden menjawab c maka diberi skor 0. Sehingga di dapat skor tertinggi adalah
20. Selanjutnya akan dikategorikan baik, sedang dan kurang. Dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. Tindakan baik jika jawaban responden nilainya > 75 % dari total
skor jawaban pada kuesioner atau skor >15.
b. Tindakan sedang jika jawaban responden nilainya 40 – 75 % dari
total skor jawaban pada kuesioner atau skor 8 – 15.
c. Tindakan kurang jika jawaban responden nilainya 40 % dari total
skor jawaban pada kuesioner atau skor < 8.
3.6.4. Lingkungan Fisik Rumah
Penilaian terhadap lingkungan fisik rumah dilakukan dengan melakukan
observasi, pengukuran dan kemudian menilai persyaratan untuk masing-masing objek
yang diteliti, dengan menggunakan Kepmenkes no. 829 tahun 1999 dan Pedoman
Teknis Penilaian Rumah Sehat.
(63)
3.7.1. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan bantuan komputer, untuk menggambarkan hasil
observasi, wawancara dan pengukuran yang dilakukan.
3.7.2. Analisa data
1. Analisa Univariat
Analisa data dengan mendistribusikan variabel penelitian yaitu variabel faktor
lingkungan fisik rumah yang diperkirakan ikut berperan dalam penularan penyakit
Tuberkulosis Paru dan variabel pengetahuan, sikap dan tindakan yang disajikan
dalam tabel distribusi frekuensi.
2. Analisa Bivariat
Variabel pengetahuan, sikap dan tindakan dengan faktor lingkungan fisik
rumah yang diperkirakan ikut berperan dalam penularan penyakit Tuberkulosis Paru
akan dianalisa dengan menggunakan uji chi-square atau Excat fisher pada taraf kepercayaan 95% sehingga diketahui hubungan antar variabel penelitian.
.
(64)
BAB IV
HASIL PENELITIAN 4.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Labuhanbatu Utara adalah Kabupaten yang baru dimekarkan dari
Kabupaten Labuhanbatu, sesuai dengan undang-undang nomor 23 tahun 2008 tentang
pembentukan Kabupaten Labuhanbatu Utara dengan ibukota Aekkanopan dengan
batas wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Asahan dan Selat Malaka.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten
Padang Lawas Utara dan Kabupaten Labuhanbatu.
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten
Tapanuli Utara.
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Labuhanbatu.
Kecamatan Kualuh Hulu merupakan salah satu dari 8 kecamatan yang ada di
Kabupaten Labuhanbatu Utara terdapat 4 Puskesmas. Puskesmas Sukarame termasuk
yang berada di wilayah Kecamatan Kualuh Hulu mempunyai wilayah kerja 4 desa
dengan luas seluruhnya ± 22.900 m². Keadaan daerah terdiri dari daratan dan
sebagian bertanah gambut dan rawa-rawa. Sebagian besar diusahakan untuk
(1)
Gambar. Keadaan rumah di wilayah kerja Puskesmas Sukarame yang menggunakan jendela kaca.
(2)
Gambar. Keadaan rumah di wilayah kerja Puskesmas Sukarame yang mempunyai ventilasi yang baik tidak memenuhi syarat.
(3)
Gambar. Keadaan rumah panggung di wilayah kerja Puskesmas yang menggunakan lantai papan.
(4)
(5)
(6)