Teori Fungsionalisme Landasan teori

2.2.1 Teori Fungsionalisme

Teori Fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling antara institusi-institusi pranata-pranata dan kebiasaan- kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud. Fungsionalisme adalah sebuah studi tentang operasi mental, mempelajari fungsi- fungsi dalam menjembatani antara kebutuhan manusia dan lingkungannya. Fungsionalisme menekankan pada totalitas dalam hubungan pikiran dan perilaku. Dengan demikian, hubungan antara manusia dengan lingkungannya merupakan etnik manisfestasi dari pikiran dan perilaku Lydia dan Maratus, 2009. Teori Fungsionalisme dalam Ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski 1884-1942. Secara garis besar Malinowski merintis bentuk kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan “a funitional theory of culture”. Menurut Malinowski 1984: 216 : “… Pada dasarnya kebutuhan manusia sama, baik itu kebutuhan yang bersifat biologis maupun yang bersifat psikologis dan kebudayaan pada pokoknya memenuhi kebutuhan tersebut. Kondisi pemenuhan kebutuhan yang tak terlepas dari sebuah proses dinamika perubahan ke arah konstruksi nilai-nilai yang disepakati bersama dalam sebuah masyarakat dan bahkan proses yang dimaksud akan terus bereproduksi dan dampak dari nilai tersebut pada akhirnya membentuk tindakan-tindakan yang terlembagakan dan dimaknai sendiri oleh masyarakat bersangkutan yang pada akhirnya memunculkan tradisi upacara perkawinan, tata cara dan lain sebagainya yang terlembaga untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia tersebut”. Universitas Sumatera Utara Hal inilah yang kemudian menguatkan tese dari Malinowski yang sangat menekankan konsep fungsi dalam melihat kebudayaan. Ada tiga tingkatan oleh Malinowski yang harus terekayasa dalam kebudayaan sebagai berikut : “… 1 Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan bilogis, seperti kebutuhan akan pangan dan prokreasi, 2 Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan akan hukum dan pendidikan, 3 Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan kesenian ”. Selain itu, hal yang patut ada pada para peneliti menurut Malinowki adalah kemampuan keterampilan analitik agar dapat memahami latar dan fungsi dari aspek yang diteliti, adat dan pranata sosial dalam masyarakat. Konsep tersebut dirumuskan ke dalam tingkatan abstraksi mengenai fungsi aspek kebudayaan, sebagai berikut : “… 1 saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya terhadap aspek lainnya, 2 konsep oleh masyarakat yang bersangkutan, 3 unsur-unsur dalam kehidupan sosial masyarakat yang terintegrasi secara fungsional, 4 esensi atau inti dari kegiatanaktivitas tersebut tak lain adalah berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan dasar biologis manusia.” Malinowski Ihroni 2006, mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsure kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat dimana unsure itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan memepertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut Malinowski Ihroni 2006, fungsi dari satu unsure budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Universitas Sumatera Utara Landasan Teori dapat memperkuat suatu penelitian, hal ini menunjukkan bahwa penelitian yang dibuat bukan sekedar coba-coba, tetapi merupakan kegiatan ilmiah dalam mengumpulkan data, mengolah dan menyimpulkan data. Budaya yaitu mekanisme, struktur, dan sarana kolektif di luar diri manusia itu oleh antrop olog. Di sini ungkapan “di luar diri manusia” digunakan dalam pengertian analitis, bukan metafisik. Kroeber dan Kluckhohn.

2.3 Tinjauan Pustaka