Tindak Pidana Kekerasan Dalam Proses Belajar Mengajar Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana dan Perlindungan Terhadap Guru dan UU No 14 Tahun 2005 (Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)
TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN UU
NO 14 TAHUN 2005
(Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
ADVEND ARYHON M NIM 100200140
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN UU
NO 14 TAHUN 2005
(Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
ADVEND ARYHON M NIM 100200140
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh
Ketua Departemen Pidana
Dr.M Hamdan, SH.,M.H NIP : 195703261986011001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Liza Erwina, S.H, M.Hum Rafiqoh Lubis, S.H, M.Hum
NIP. 196110241989032002 NIP. 197407252002122002 FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
KATA PENGANTAR
Pujian Syukur dan sembah hanya kepada Tuhan Yesus, yang menganugerahkan keselamatan dan memimpin Penulis dalam mengerjakan skripsi yang berjudul “Tindak Pidana Kekerasan Dalam Proses Belajar Mengajar Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana Dan Perlindungan Terhadap Guru Dan UU No 14 Tahun 2005 (Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No
274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)”.
Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi dan memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/mahasiswi yang akan menyelesaikan perkuliahannya. Dalam pengerjaan skripsi ini penulis tidak sendirian, ada banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., MH, DFM, selaku Wakil Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr.O.K. Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas
(4)
5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., MH, selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Liza Erwina, SH.,M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I Penulis, yang telah membimbing dan mengarahkan dalam penulisan skripsi ini.
7. Ibu Rafiqoh Lubis, SH.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah
membimbing dan mengarahkan dan mendukung penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
8. Untuk orang tua penulis, Bapak Derita Manurung dan , Ibu Dortiarma
Hutagaol. Terima kasih untuk doa dan pengertiannya selama ini kepada penulis. Terima kasih untuk dukungannya serta kesabarannya kepada penulis. Semoga kasih dari Kristus Yesus menyertai dan memberikan keselamatan kepada kalian.
9. Untuk saudara–saudara penulis, Evan Frizhard Manurung (abang Penulis),
Josi Jeremia Manurung, Jonathan Milkyway Manurung (adik–adik
penulis), terima kasih untuk dukungan dan semangatnya serta semua keluarga, terkhusus Tulang Anggiat dan Tulang Donal, serta Uda Paul dan Uda Swanto, yang telah memberikan masukan, saran, dukungan dan semangat kepada Penulis.
10. Untuk PKK ku, Kak Lusiana terima kasih untuk setiap doa-doanya, terima
kasih mengajariku mengenal Yesus Sang Juruselamat dan tempat berbagi untuk Penulis, untuk KK Gloria (Kastro, Novika, Togi, Yuni, Fiona),
(5)
terima kasih untuk semuanya saudara–saudariku kita boleh dapat
berkumpul untuk bersama–sama bertumbuh, saling belajar, dan
menguatkan.
11. Untuk adekku KK Theolighty, Fitty, Amanda, Sothya, dan Dedi bersyukur
boleh menggembalakan kalian, keluarga rohani ku, terima kasih untuk doa dan dukungan semangat kalian dek. Tetaplah melayani Tuhan dengan semangat. Aku mengasihi kalian dan rindu melihat kalian menjadi orang yang takut akan Tuhan dan selalu merindukan persekutuan dengan Tuhan.
12. Untuk wadah pelayanan KMK UP FH, yang menjadi tempat Penulis
bertumbuh dan orang-orang yang ada di dalamnya, terpujilah Tuhan yang
memilih kita untuk menjadi pelayanNya. Terima kasih untuk teman–teman
Koordinasi tahun 2012, Teman–teman koordinasi 2013, dan teman-teman
Koordinasi tahun 2014 serta adik–adik Koordinasi 2015.
13. Untuk teman-teman segerakan di GMKI, terima kasih boleh menjadi
bagian dalam gerakan ini. Semoga boleh tetap bertumbuh seperti Kristus yang menjadi Sang Kepala Gerakan.
14. Untuk teman–teman Penulis, Juliani, Antony, Merty, Christoper, Oris,
Reynaldo, dan seluruh rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang tidak dapat Penulis sebutkan satu–persatu.
Penulis,
(6)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI ...iv
ABSTRAK...vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penulisan ... 9
D. Manfaat Penulisan………9
E. Keaslian Penulisan ... 9
F. Tinjauan Pustaka………10
1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana………. .. 10
2. Pengertian dan Jenis-Jenis Kekerasan... 16
3. Peran dan Fungsi Guru ... 22
G. Metode Penelitian ... 25
H. Sistematika Penulisan ... 27
BAB II TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN UU NO 14 TAHUN 2005 A. Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Fisik dalam Hukum Pidana…….29
(7)
B. Perlindungan Terhadap Hak-Hak Anak dalam UU No 23 Tahun 2002 dikaitkan dengan kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak dalam
proses belajar mengajar………. 31
C. Perlindungan Terhadap Guru dalam Kegiatan Belajar Mengajar di Beberapa Peraturan ... 37
C.1. Perlindungan Terhadap Guru dalam UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional ... 37
C.2. Perlindungan Terhadap Guru dalam UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen……….. 38
C.3. Pengaturan Tentang Perlindungan Profesi Guru dalam MoU PGRI dengan POLRI No.B/53/XII/2012 dan No. 1003/UM/PB/XX/2012……….39
BAB III PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU KEKERASAN KEPADA ANAK DIDIK DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR (ANALISIS YURIDIS Putusan PT Medan No. 247/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009) A. Kekerasan yang Dilakukan Oleh Guru dalam Proses Belajar Mengajar Ditinjau Dari Hukum Pidana ... 51
B. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kekerasan yang Dilakukan Guru Kepada Anak dalam Proses Belajar Mengajar ... 57
B.1. Putusan PT Medan No. 274/PID/2012/PT-MDN……… ... 57
B.1.1. Kronologi……… ... 57
B.1.2. Dakwaan……….. .... 59
(8)
B.1.4. Pertimbangan Hakim……… ... 60
B.1.5. Putusan………... 61
B.2. Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009………...62
B.2.1. Kronologi………. 63
B.2.2. Dakwaan……….. 64
B.2.3. Tuntutan………. .. 64
B.2.4. Pertimbangan Hakim………... .... 65
B.2.5. Putusan………... 67
B.3. Analisa Yuridis Kasus……… .... 68
B.3.1 Analisis Yuridis Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT- MDN……… ... 69
B.3.2 Analisis Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009………….. . 70
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 74
B. Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA
(9)
ABSTRAK Advend A M * Liza Erwina** Rafiqoh Lubis ***
Pendidikan merupakan suatu hal yang dijamin oleh Negara Republik Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam pasal 31 UUD 1945, dimana seluruh rakyat Indonesia untuk boleh dapat memilih dan menikmati pendidikan dan pengajaran. Kekerasan merupakan satu istilah yang tidak asing ditelinga kita. Fenomena kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik politik , budaya, bahkan hingga dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan kekerasan tersebut dapat dilakukan baik oleh sesama siswa, maupun dari guru oleh siswa. Sejak UU Perlindungan anak (UU No. 23 Tahun 2002) diundangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, praktis sejak saat itu adanya pemberian hukuman terhadap anak di sekolah menjadi sensasi berita yang hangat. Sehingga guru diperhadapkan dalam situasi yang dilematis dalam menjalankan tugas keprofesiannya
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah pengaturan tindak pidana kekerasan dalam proses belajar mengajar dari perspektif hukum pidana dan UU No 14 Tahun 2005 dan Bagaimanakah penerapan hukum pidana terhadap pelaku kekerasan kepada anak didik dalam kegitan belajar mengajar (Studi/Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009).
Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian hukum normatif atau yang disebut juga studi kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakan hukum yang berkaitan dengan guru, perlindungan guru dan perlindungan anak. Data sekunder yang berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah, pendapat sarjana, artikel-artikel dan bahan lainnya. Bahan-bahan inilah kemudian diolah secara kualitatif.
Tindakan pemberian hukuman atau sanksi oleh guru kepada anak didik yang diindikasikan sebagai tindak pidana kekerasan dapat didakwakan dengan pasal 351 KUHP atau pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002. Pengaturan Perlindungan hukum bagi guru telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta adanya MoU antara PGRI dengan POLRI tentang mekanisme Pengaturan Perlindungan Profesi Guru dan tentang Perlindungan Anak di atur dalam UU No. 23 Tahun 2002. Dalam penerapannya didalam memberikan putusan, hakim telah menerapkan sesuai dengan unsur-unsur terhadap pasal yang didakwakan dan juga telah melihat alasan dari terdakwa serta melihat keadaan atau kondisi pada saat kejadian sebagai bahan pertimbangan terhadap penjatuhan
hukuman atau sanksi pidana.
Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara
** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(10)
ABSTRAK Advend A M * Liza Erwina** Rafiqoh Lubis ***
Pendidikan merupakan suatu hal yang dijamin oleh Negara Republik Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam pasal 31 UUD 1945, dimana seluruh rakyat Indonesia untuk boleh dapat memilih dan menikmati pendidikan dan pengajaran. Kekerasan merupakan satu istilah yang tidak asing ditelinga kita. Fenomena kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik politik , budaya, bahkan hingga dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan kekerasan tersebut dapat dilakukan baik oleh sesama siswa, maupun dari guru oleh siswa. Sejak UU Perlindungan anak (UU No. 23 Tahun 2002) diundangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, praktis sejak saat itu adanya pemberian hukuman terhadap anak di sekolah menjadi sensasi berita yang hangat. Sehingga guru diperhadapkan dalam situasi yang dilematis dalam menjalankan tugas keprofesiannya
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah pengaturan tindak pidana kekerasan dalam proses belajar mengajar dari perspektif hukum pidana dan UU No 14 Tahun 2005 dan Bagaimanakah penerapan hukum pidana terhadap pelaku kekerasan kepada anak didik dalam kegitan belajar mengajar (Studi/Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009).
Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian hukum normatif atau yang disebut juga studi kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakan hukum yang berkaitan dengan guru, perlindungan guru dan perlindungan anak. Data sekunder yang berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah, pendapat sarjana, artikel-artikel dan bahan lainnya. Bahan-bahan inilah kemudian diolah secara kualitatif.
Tindakan pemberian hukuman atau sanksi oleh guru kepada anak didik yang diindikasikan sebagai tindak pidana kekerasan dapat didakwakan dengan pasal 351 KUHP atau pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002. Pengaturan Perlindungan hukum bagi guru telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta adanya MoU antara PGRI dengan POLRI tentang mekanisme Pengaturan Perlindungan Profesi Guru dan tentang Perlindungan Anak di atur dalam UU No. 23 Tahun 2002. Dalam penerapannya didalam memberikan putusan, hakim telah menerapkan sesuai dengan unsur-unsur terhadap pasal yang didakwakan dan juga telah melihat alasan dari terdakwa serta melihat keadaan atau kondisi pada saat kejadian sebagai bahan pertimbangan terhadap penjatuhan
hukuman atau sanksi pidana.
Penulis, Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara
** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(11)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlindungan merupakan sesuatu hal yang menjadi aspek terpenting di dalam kehidupan manusia dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari. Dikatakan sebagai aspek terpenting karena perlindungan memberi suatu jaminan untuk keselamatan, kesehatan, dan keamanan dalam hidup manusia. Republik Indonesia yang merupakan negara yang berlandaskan hukum masalah perlindungan diatur
dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi “melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Oleh karena itu tujuan tersebut harus diwujudkan demi terwujudkan tujuan negara yang sesungguhnya.
Juga berdasarkan alinea keempat tersebut, salah satu bentuk perlindungan yang diberikan adalah dalam hal Pendidikan, dimana Negara Indonesia memberikan jaminan kepada seluruh rakyat untuk dapat memilih dan menikmati pendidikan dan pengajaran, sebagaimana juga yang tertuang didalam pasal 31 UUD 1945.
Pendidikan pertama–tama dapat dilihat sebagai aktivitas untuk mengubah
posibilitas, yaitu kemungkinan–kemungkinan yang didasarkan atas keterbukaan
*** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(12)
manusia itu menjadi aktualitas. Implikasi kedua ialah bahwa perilaku manusia tidak ditentukan sebelumnya. Perilaku manusia diperoleh melalui proses belajar. Pendidikan adalah bagian dari proses manusia membangun dunianya atau kebudayaanya. Karena itu, dapat dikatakan, pendidikan adalah suatu “keharusan”
dalam hidup manusia.1
Dalam dunia pendidikan, guru dan murid merupakan elemen dalam mendukung terciptanya kegiatan belajar dan mengajar. Baik dalam pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas. Guru memang menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat. Guru dapat dihormati oleh masyarakat karena kewibawaannya, sehingga masyarakat tidak meragukan figur guru. Masyarakat percaya bahwa dengan adanya guru, maka dapat mendidik dan membentuk kepribadian anak didik mereka dengan baik agar mempunyai intelektualitas yang tinggi serta jiwa kepemimpinan yang bertanggungjawab. Jadi dalam pengertian yang sederhana, guru dapat diartikan sebagai orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik.
Seorang guru mempunyai kepribadian yang khas. Disatu pihak guru harus ramah, sabar, menunjukkan pengertian, memberikan kepercayaan dan menciptakan suasana aman. Akan tetapi di lain pihak, guru harus memberikan tugas, mendorong siswa untuk mencapai tujuan, menegur, menilai, dan mengadakan koreksi. Dengan demikian, kepribadian seorang guru seolah-olah terbagi menjadi 2 bagian. Di satu pihak bersifat empati, di pihak lain bersifat kritis. Di satu pihak menerima, di lain pihak menolak. Maka seorang guru yang
1
Tony D. Widiastono,Pendidikan Manusia Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2004, hal. 6
(13)
tidak bisa memerankan pribadinya sebagai guru, ia akan berpihak kepada salah satu pribadi saja. Dan berdasarkan hal-hal tersebut, seorang guru harus bisa memilah serta memilih kapan saatnya berempati kepada siswa, kapan saatnya kritis, kapan saatnya menerima dan kapan saatnya menolak. Dengan perkatan lain, seorang guru harus mampu berperan ganda. Peran ganda ini dapat di wujudkan secara berlainan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
Tugas guru sebagai suatu profesi, menuntut kepada guru untuk mengembangkan profesionalitas diri sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mendidik, mengajar, dan melatih anak didik adalah tugas guru sebagai suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik, meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik.
Dunia pendidikan mengenal adanya pemberian penghargaan (reward) dan
hukuman (punishment), sebagai salah satu alat pendidikan pemberian hukuman
(punishment) kepada siswa yang melanggar bertujuan untuk mendidik siswa tersebut. Hukuman yang diberikan bisa dalam bentuk teguran lisan ataupun tertulis, bisa juga dalam bentuk hukuman lain yang bersifat mendidik, memberikan efek jera untuk tidak mengulanginya. Tujuannya adalah agar siswa
tahu akan norma dan aturan yang berlaku.2
Pemberian hukuman yang dilakukan oleh guru ini yang sering diartikan sama dengan tindakan kekerasan, penganiayaan, penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi oleh orang tua murid. Kekerasan merupakan satu istilah yang tidak asing ditelinga kita dan ketika kita mendengar kata “kekerasan”. Fenomena
2
http://admelia.blogspot.com/2013/12/ p o l e m ik-pemberian-hukuman-punishment.html Judul Artikel : Polemik Pemberian Hukuman (Punishment) Problematika Pendidikan, diakses pada Senin, 7 Mei 2015, pukul 12.54 WIB
(14)
kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik
politik, budaya, bahkan hingga dunia pendidikan.3 Dalam dunia pendidikan
kekerasan tersebut dapat dilakukan baik oleh sesama siswa, maupun dari guru kepada siswa.
Sejak UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002) diundangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, praktis sejak saat itu adanya pemberian hukuman
terhadap anak di sekolah menjadi sensasi berita yang hangat.4 Salah satu contoh
kasus yaitu Guru SMK Gajah Mungkur (GM) 1 Wuryantoro berinisial M yang dilaporkan menganiaya muridnya dikarenakan murid tersebut melanggar disiplin
saat upacara bendera5
Beberapa contoh kasus lainnya adalah Ahmad Guntur, guru SMPN 20 Kota Jambi, terdakwa kasus menampar siswanya, M. Tandriadi yang tertangkap menonton film porno di telepon genggamnya saat jam pelajaran, dituntut
hukuman tiga bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan.6 Kemudian Sari
Asih Sosiawati binti Rohmatan, guru SDN Tiuhbalak, Kecamatan Baradatu dilaporkan Erwan, orang tua Diko, murid yang dicubitnya pada September 2012 lalu di Polsek Baradatu karena tidak mengerjakan ulangan serta terhitung sudah
3
Nanang Martono, Kekerasan Simbolik di Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu, Penerbit PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 1
4
http://www.kompasiana.com/post/read/501624/1/uu-perlindungan-anak-derita-guru.html Judul Artikel : UU Perlindungan Anak : Derita Guru, Diakses pada Minggu1 Februari 2015, pukul 21.00 WIB
5
http://www.solopos.com/2011/02/09/aniaya-murid-guru-smk-gm-1-terancam-hukuman-35-tahun-85302 Judul Artikel : Aniaya Murid, Guru SMK GM 1 Terancam Hukuman 3,5 Tahun, Diakses pada Jumat, 24 April 2015, Pukul 00.48 WIB
6
http://www.antaranews.com/berita/175346/guru-tampar-siswa-dituntut-tiga-bulan-percobaan Judul artikel : Guru Tampar Siswa Dituntut 3 bulan Percobaan, diakses pada Senin, 7 Mei 2015, Pukul 13.13 WIB
(15)
dua kali, sehingga dia mendapatkan nilai nol,7 serta kasus Rizali Hadi (RH). Terdakwa kasus guru cubit murid itu, dinyatakan bersalah melakukan tindak
penganiayaan terhadap anak di bawah umur dalam persidangan.8
Dari beberapa contoh kasus diatas, dapat dilihat bagaimana perbuatan pemberian hukuman yang dilakukan oleh guru berujung pada dilaporkannya guru tersebut kepada pihak yang berwajib, padahal apa yang dilakukan oleh guru tersebut bertujuan untuk menegakkan disiplin kepada anak didik. Hal ini menyebabkan eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah dalam melaksanakan tugas keprofesiannya, dikarenakan takut dilaporkan kepada pihak yang berwajib apabila guru tersebut memberikan hukuman guna memberikan didikan tegas kepada anak murid. Sehingga guru apabila seorang murid melakukan beberapa pelanggaran terhadap peraturan disekolah cenderung melakukan pembiaran terhadap anak didik tersebut.
Pada saat ini guru seperti kehilangan kewenangannya di sekolah dalam melakukan pengajaran dan seperti acuh terhadap tingkah laku siswa di sekolah. Efeknya sangat jelas ketika hal tersebut berimbas kepada sikap, perilaku dan moral siswa dalam kesehariannya seperti siswa akhirnya berani melawan guru,
7
http://sp.beritasatu.com/home/berlebihan-guru-cubit-murid-dipidanakan/33611 Judul artikel : Berlebihan, Guru Cubit Murid Dipidanakan, diakses pada Senin 7 Mei 2015, Pukul 13.17 WIB
8
http://www.jpnn.com/read/2013/10/04/194167/Cubit-Murid,-Guru-Didenda-Rp20-Juta- Judul artikel : Cubit Murid, Guru Didenda 20 juta, diakses pada Senin 7 Mei 2015, Pukul 13.42 WIB
(16)
siswa melakukan aksi ugal-ugalan dijalanan, bahkan siswa seperti tidak takut pada
apapun dalam kesehariannya.9
Penulis sepakat, guru bukan malaikat, bisa saja melakukan pelanggaran hukum. Jika memang benar melakukan tindakan kriminal harus dihukum. Tetapi dalam konteks kasus tersebut di atas, baik guru maupun keluarga anak didik tidak menghendaki adanya peristiwa tersebut.
Peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh guru ini terjadi diakibatkan oleh akumulasi beberapa faktor, baik dari guru ataupun murid itu sendiri, misalnya tekanan beban kerja oleh guru, keadaan keluarga dari si guru, pola pengajaran yang masih terpaku pada budaya lama, yaitu sistem pengajaran satu arah yang masih menekankan pola otoritas dari guru tersebut, serta kurangnya komunikasi antara guru dengan orang tua murid terhadap perilaku atau tindakan anak didik selama proses belajar mengajar. Namun juga tindakan ini tidak terlepas dari sikap murid dan kualitas murid dimana terjadi degradasi kualitas etika, tata krama, dan sopan santun di kalangan pelajar di negeri ini yang sewaktu-waktu bisa memicu tindakan spontanitas yang dinilai sebagai kekerasan oleh guru, seperti menampar, mencubit, dan sejenisnya.
Di Indonesia, Perlindungan hukum terhadap guru telah diatur didalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.Pasal 7 ayat (1) huruf h mengamanatkan bahwa guru harus memiliki jaminan perlindungan hukum dalam
9
http://w.analisadaily.com/opini/news/perlunya-perlindungan-hukum guru /129680/2015/ 05/02 Judul artikel : Perlunya Perlindungan Hukum Guru, diakses pada Senin 18 Mei 2015, Pukul 13.05 WIB
(17)
melaksanakan tugas keprofesionalan. Selanjutnya pada Pasal 39 secara rinci dinyatakan:
1. Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau
satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan
hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
3. Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup
perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
4. Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup
perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
5. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.
Ketika guru terkena masalah hukum khususnya yang
berkaitan dengan tugasnya, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tersebut seharusnya dapat menjadi dasar payung hukum bagi guru dalam hal perlindungan hukum profesi keguruan. Namun dalam prakteknya perlindungan guru tersebut masih belum memberikan upaya yang optimal bagi profesi guru. Sehingga guru seolah-olah berjuang sendiri dalam penyelesaian masalahnya khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum.
Anak yang merupakan tunas generasi bangsa perlu diberikan suatu usaha perlindungan dalam tumbuh dan berkembangnya dan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini,
(18)
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam melaksanakan tugasnya guru mendapat perlindungan. Perlindungan guru yang dimaksud sebagaimana dimaksud pada UU Guru dan Dosen adalah perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Tujuannya agar guru tenang dalam melaksanakan tugas dan mampu bekerja dengan baik.Sejauh mana perlindungan tersebut sudah dilaksanakan? Sampai sejauh ini memang belum ada evaluasi yang menyeluruh. Tetapi secara umum, memang perlindungan bagi guru dinilai masih rendah.
Maka dari itu penulis membuat judul skripsi tentang Tindak Pidana Kekerasan dalam Proses Belajar Mengajar Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana dan UU No 14 Tahun 2005 (Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)
B. Rumusan Masalah
Berbicara mengenai guru cakupan sangat luas, maka dari itu penulis membatasi permasalahan pada :
1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana kekerasan dalam proses belajar
mengajar dari perspektif hukum pidana dan UU No 14 Tahun 2005 ?
2. Bagaimanakah penerapan hukum pidana terhadap pelaku kekerasan
kepada anak didik dalam kegitan belajar mengajar ? (Studi/Analisis Juridis Terhadap Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)
(19)
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana kekerasan yang dilakukan
oleh guru dalam proses belajar mengajar dikaitkan dengan perlindungan terhadap anak dan guru.
2. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana terhadap guru pelaku
kekerasan kepada anak didik dalam kegiatan belajar mengajar.
D. Manfaat Penulisan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dari segi :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dan
pengkajian dalam melaksanakan perlindungan guru dan anak.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi kepada
masyarakat terutama kalangan guru dan orang tua murid, dalam menghadapi masalah guru melakukan kekerasan dalam kegiatan belajar mengajar.
3. Secara akademis, hasil penelitian ini di harahapkan dapat menjadi
sumbangan bagi almamater penulis. E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpusatakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, skripsi yang berjudul
“Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Guru Dalam Proses Belajar Mengajar
Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana Dan Perlindungan Terhadap Guru Dan Anak (Studi Putusan PT Medan No 274/PID/2012/PT-MDN dan Putusan
(20)
MA No 2024 K/Pid.Sus/2009)” belum pernah ditulis. Permasalahan yang diajukan belum pernah dibahas oleh permasalahan skripsi lainnya. Adapun judul skripsi tersebut diatas merupakan tulisan yang masih baru, belum pernah ada tulisan lain dalam bentuk skripsi mengenai masalah ini dan belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Maka penulisan skripsi ini masih orisinil, dengan demikian penulis dapat mempertanggungjawakan secara ilmiah.
F. Tinjauan Pustaka
1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu.10Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar, dan
feit. Secara literlijk kata straf artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh
dan feit adalah perbuatan.11
Berbagai istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian strafbaar feit antara lain :12
a. Peristiwa pidana, dipakai dalam UUDS 1950 Pasal 14 ayat (1);
b. Perbuatan pidana, dipakai misalnya oleh UU No.1 Tahun 1945 tentang
Tindakan Sementara dan Cara Pengadilan-pengadilan Sipil;
c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, dipakai oleh UU Darurat
No. 2 Tahun 1951 Tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke byzondere
bepaligen;
10
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 67
11
Ibid., hal 69
12
(21)
d. Hal yang diancam dengan hukum dan peraturan-peraturan yang dapat dikenakan hukuman, dipakai oleh UU Darurat No.16 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
e. Tindak Pidana, dipakai oleh UU Darurat No. 7 Tahun 1953 tentang
Pemilihan Umum, UU Darurat No.7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja Bahkti dalam rangka Pemasyarakatan Bagi Terpidana Karena Tindak Pidana Yang Berupa Kejahatan.
f. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latindelictum juga
digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.13
Pembentuk undang–undang kita telah menggunakan perkataan
strafbaarfeit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” didalam Kitab Undang–Undang Hukum pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan
perkataan strafbaarfeit tersebut. Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa
Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau een gedeelte van de werkelijkheid sedang strafbaar berarti “dapat dihukum” hingga secara
harafiah perkataan strafbaar feititu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian
dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak
tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,
perbuatan ataupun tindakan.14
Secara literlijk istilah perbuatan adalah lebih tepat sebagai
terjemahan feit, seperti yang telah lama kita kenal dalam perbendaharaan
ilmu hukum kita, misalnya istilah materieele feit atau formeele feit (feeiten
een formeele omschrijving, untuk rumusan perbuatan dalam tindak pidana
13
Adami Chazawi, Op.Cit., hal 68
14
P.A.F Lamintang, Dasar–Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 181
(22)
formil). Demikian juga istilah feitdalam banyak rumusan norma-norma
tertentu dalam WvS (Belanda) demikian juga WvS (Hindia Belanda)15
Terdapat perbedaan pandangan oleh para ahli dalam pemberian
pengertian dari strafbaar feit, yaitu pandangan dualistis, adalah
pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan dan pandangan monistis, yakni pandangan yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya.
Beberapa pengertian dari tindak pidana (strafbaar feit), menurut
para ahli yang dapat digolongkan menganut pandangan dualistis adalah :16
1. Menurut W.P.J Pompe, suatu strafbaar feit (definisi menurut hukum
positif) itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
2. Menurut H.B. Vos, strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang
diancam pidana oleh undang-undang.
3. Menurut R.Tresna, persitiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.
Menurut ajaran dualistis pertanggungjawaban pidana itu terpisah
dengan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana bukanlah unsur tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan syarat atau tidak dipidananya seorang pelaku yang terbukti telah melakukan tindak pidana
atau melanggar larangan berbuat dalam hukum pidana.17
15
Adami Chazawi, Op.Cit., hal 70
16
Mohammad Ekaputra, Dasar–Dasar Hukum Pidana Indonesia, USU Press, Medan, 2010, hal 81
17
(23)
Adapun pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli hukum
yang digolongkan menganut pandangan monistis, yaitu18 :
1. Simons dalam P.A.F. Lamintang, merumuskan strafbaar feit sebagai
suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum
2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan tindak pidana berarti suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
3. J.E. Jonkers dalam Bambang Poernomo, telah memberikan definisi
strafbaar feit menjadi dua pengertian :
a. Definisi pendek adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam
pidana oleh Undang-undang
b. Definisi panjang atau yang lebih mendalam, adalah suatu kelakuan
yang melawan hukum (wederrechttelijk) berhubung dilakukan
dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dapat dipertanggung jawabkan.
4. J.Bauman dalam Sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana
merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui, bahwa penganut aliran monistis tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku, syarat untuk dapatnya dipidananya itu masuk kedalam dan menjadi unsur tindak pidana, sedangkan bagi penganut aliran dualistis unsur mengenai diri (orang) yakni adanya pertanggungjawaban pidana bukan merupakan unsur tindak pidana
melainkan syarat untuk dapat dipidananya pelaku.19
Penjabaran suatu tindak pidana ke dalam unsur–unsurnya dan
kemahiran untuk menentukan keadaan–keadaan yang dapat dimasukkan
sebagai “essentialia dari delik” adalah sangat penting dalam hubungannya
18
Ibid., hal 85
19
(24)
dengan ajaran mengenai opzet dan culpa serta dalam hubungannya dengan
penerapan dari hukum acara pidana.20
Setiap tindak yang terdapat dalam Kitab Undang–Undang Hukum
Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan kedalam unsur–unsur yang
pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur–
unsur subjektif dan unsur–unsur objektif.21
Terhadap unsur-unsur tersebut dapat diutarakan sebagai berikut :
1. Unsur subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan” (An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri atas tiga bentuk, yakni :
1) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk);
2) Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als
zekerheidsbewustzijn);
3) Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus
evantualis)
20
P.A.F. Lamintang, Op. Cit., hal 190
21
(25)
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan. Kealpaan terdiri atas dua bentuk, yakni :
1) Tak berhati-hati;
2) Dapat menduga akibat perbuatan itu.22
2. Unsur Objektif
Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas :
a. Perbuatan manusia, berupa :
1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;
2) Onmission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan;
b. Akibat (result) perbuatan manusia
Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan
menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.
c. Keadaan-keadaan (circumstances)
Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain :
1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan;
2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan.
d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
22
Leden Marpaung, Asas–Teori–Praktik Hukum Pidana, (Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 2005) hal 9
(26)
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.
Semua unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, biasa menyebabkan terdakwa dibebaskan dari
pengadilan.23
4. Pengertian dan Jenis-Jenis Kekerasan
Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan sebuah
perilaku, baik terbuka (overt) atau tertutup (covert) dan baik yang bersifat
menyerang (offensive) atau bersifat bertahan (deffensive) yang disertai
penggunaan kekuatan kepada orang lain 24
Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan,
penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Dalam The Social Work
Dictionary, Barker mendefinisikan abuse sebagai “improper behavior intended to cause physcal, psychological, or fiancial harm to an individual or group” (Kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami
oleh individu atau kelompok)25.
Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran
(penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang akan
23
Ibid., hal 10 24
Thomas Santoso,Teori- Teori Kekerasan, Penerbit PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal . 11
25
(27)
menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah “kekerasan” juga mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kerusakan harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan dengan kekerasan terhadap orang.
Dalam kamus bahasa Indonesia kekerasan diartikan dengan perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang
orang lain, atau ada paksaan.26 Menurut penjelasan ini, kekerasan itu
merupakan wujud perbuatan yang bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang disakiti.
Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa kejahatan dengan kekerasan merupakan suatu kejahatan yang mempergunakan elemen kekerasan fisik, mencoba menggunakan, mengancam untuk menggunakan atau menimbulkan resiko yang penting dari penggunaan kekerasan fisik
pada seseorang atau harta benda lainnya (violent crime : a crime that has
an element the use, attempted use, threatened use, or substantial risk of use ouse of physical force against the person, or property of another-also termed crime of violence).27
26
Trisno Yuwono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Arkola, Surabaya, 1994, hal. 223
27
Bryan A. Garner (Ed), Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, Seventh Edition, 1999 hal 378
(28)
Asumsi yang muncul dan berlaku general, bahwa setiap modus kekerasan itu merupakan wujud pelanggaran hak asasi manusia, artinya berbagai bentuk kekerasan yang terjadi ditengah masyarakat misalnya berakibat bagi kerugian orang lain.
Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak seperti yang
terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.28
Kondisi perilaku kekerasan dewasa ini sangat mengganggu ketentraman hidup kita. Jika hal ini dibiarkan, dengan tidak ada upaya sistematik untuk mencegahnya, tidak mustahil hal ini menjadi faktor kerugian bagi kita sebagai bangsa yang besar .
Secara yuridis, apa yang dimaksud dengan kejahatan dengan kekerasan tidak secara otentik dijelaskan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), hanya saja dalam Bab IX Pasal 89 KUHP dinyatakan bahwa membuat orang pingsan atau membuat orang tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Dengan demikian kejahatan kekerasan merupakan kejahatan yang dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang mengakibatkan korban pingsan
atau tidak berdaya.29
28
Diakses dari www.wikipedia.com
29
R.Soesilo, Kitab Undang–Undang Hukum Pidana ( KUHP ) Serta Komentar – Komentar Lengkap dengan Pasal demi pasal Politea, Bogor, 1994, hlm 98
(29)
Pasal 89 ini hanya mengatur mengenai perbuatan yang disamakan dengan kekerasan. Melakukan kekerasan artinya menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil dan secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau segala macam senjata, menyepak, menendang dan lain-lain. Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya, umpamanya memberi minuman racun kecubung atau obat, sehingga orang tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai tenaga sama sekali sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun. Orang
yang tidak berdaya masih sadar apa yang terjadi pada dirinya.30
Dalam kehidupan nyata dalam masyarakat, kita dapat menjumpai
beberapa bentuk–bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota
masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat lainnya. Oleh karena
itu, ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi :31
1. Kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian;
2. Kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan
langsung, sperti perilaku mengancam;
3. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk
perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan;
4. Kekerasan defensif, kekerasan yang dilakukan sebagai perindungan
diri.
Baik kekerasan agresif maupun defensif biasa bersifat terbuka atau tertutup.
30
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy :Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam menanggulangi Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hal 34
31
(30)
Martin R. Haskel dan Lewis Yasblonski mengemukakan ada empat
kategori sebagai bentuk dari kekerasan, yaitu :32
a. Legal, sanctioned, rational violence, kategori ini merupakan kekerasan yang mendapat dukungan oleh hukum. Tindakan kekerasan ini misalnya Tentara atau polisi yang melakukan kekerasan di dalam melaksanakan tugasnya. Kekerasan ini juga terdapat pada olahrag-olahraga agresif tertentu, misalnya tinju, sepakbola, serta tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan diri.
b. Illegal, rational, socially sanctioned violence, yaitu kekerasan yang tergolong illegal yang juga mendapat sanksi social. Dalam hal ini, faktor yang penting untuk menganalisa kekerasan adalah tingkat dukungan atau sanksi sosial terhadap kekerasam tersebut.
c. Illegal, nonsacntioned, rational violence, yaitu kekerasan yang illegal, yang dipandang rasional dan tidak ada sanksi sosialnya. Kekerasan ini biasanya digunakan oleh pelaku kejahatan dan dianggap rasional dalam konteks melakukan kejahatan. Kekerasan dalam kategori ini misalnya kekerasan untuk memperoleh keuntungan financial, kejahatan perampokan atau tindakan pembunuhan dalam kejahatan terorganisir.
d. Illegal, nonsanctioned, irrational violence, merupakan kekerasan yang tidak rasional dan melawan hukum. Kekerasan ini juga dikenal sebagai “kekerasan tidak berperasaan” (senseless violence) yang terjadi tanpa didahului oleh adanya provokasi dan tidak adanya motivasi yang logis.
Sedangkan dalam Kitab Undang–Undang Hukum Pidana
mengemukakan jenis–jenis kejahatan yang disertai dengan kekerasan,
yaitu :
1. Kejahatan terhadap nyawa orang lain pasal 338 – 350.
2. Kejahatan penganiayaan pasal 351 – 358
3. Kejahatan seperti pencurian, penodongan, perampokan pasal 365
4. Kejahatan terhadap kesusilaan pasal 285, 289
5. Kejahatan yang menyebabkan kematian atau luka karena kealpaan
359-361
32
Martin R Haskel & Lewis Yablonski : Criminology, Crime, and Criminality, Harper & Row Publisher, New York, 1983, hal 207 dalam buku Mahmud Mulyadi, Op Cit., hal 30-31
(31)
The Federal Bureau of Investigation, dibawah Uniform Crime Reporting Program, telah mengembangkan jenis–jenis kejahatan dengan
kekerasan, yaitu:33
1. Kejahatan pembunuhan yang meliputi pembunuhan dan pembantaian
manusia yang bukan merupakan kelalaian, pembunuhan dengan sengaja (bukan kelalaian) yang dilakukan seseorang terhadap orang
lain (Criminal homicide, comprising murder and nonnegligent
manslaughter, the willfull (nonnegligent) killing of one human being by another).
2. Perkosaan dengan kekerasan, yaitu menguasai jasmani seorang wanita
dengan ancaman penggunaan kekerasan dan melawan kehendaknya (Forcible rape, the carnal knowledge of a female forcibly and against her will).
3. Perampokan : Pengambilan atau berusaha mengambil sesuatu yang
berharga dari perawatan, penjagaan atau pengawasan seseorang atau banyak orang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan dan/atau menyebabkan korban ketakutan (Robbery : taking
or attempting to take something of value from the care, custody, or control of a person or persons by force or threat of force or violence and/or by putting Victim in fear).
4. Penganiayaan berat, serangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap
orang lain secara melawan hukum, dengan tujuan mengakibatkan luka
parah atau luka berat (aggravated assault : an unlawfull attack by one
person upon anoter for the purpose of inflichting severe or aggravated bodily injury).
5. Serangan lainnya (yang sederhana), serangan atau usaha untuk
melakukan penyerangan dengan tidak menggunakan senjata dan tidak
mengakibatkan luka–luka yang serius atau luka berat pada korban
(Other Assault (simple) : assault and attempted assault where no weapon was used and which did not result in serious or aggravated injury to victim).
Berdasarkan pembagian diatas, maka secara garis besarnya, kejahatan kekerasan terdiri dari pembunuhan, perkosaan, perampokan,
dan penganiyaan berat.34
33
Ibid,.hal 6-7
34
(32)
5. Peran dan Fungsi Guru
Guru merupakan bagian dari tenaga kependidikan sebagaimana yang diatur dalam UU No 20 Tahun 2003, dimana Pendidik menurut UU No 20 Tahun
2003 Pasal 1 ayat (6) menyebutkan :“Pendidik adalah tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktor, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta
berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.”
Sedangkan pengertian guru menurut UU No 14 Tahun 2005 Pasal (1) menyebutkan : Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Oleh karena itu, guru yang profesional adalah guru yang mempunyai kompetensi. Hal ini juga disebutkan dalam UU No. 14 Tahun 2004 Pasal 10 ayat (1) yaitu bahwa guru dituntut untuk memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Definisi yang kita kenal sehari–hari adalah bahwa guru merupakan orang
yang harus digugu dan ditiru, dalam arti orang yang memiliki kharisma atau
wibawa. 35 Harus digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan olehnya
senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh semua murid.
Sedangkan ditiru artinya seorang guru harus menjadi suri teladan (panutan) bagi
35
H.Hamzah B.Uno, Profesi Kependidikan Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hal 15
(33)
semua muridnya. Untuk itulah guru harus dapat menjadi contoh bagi peserta didik, karena pada dasarnya guru adalah representasi dari sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat menjadi teladan, yang
dapat digugu dan ditiru.36
Secara tradisional atau oleh masyarakat awam guru adalah seorang yang berdiri didepan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Guru sebagai pendidik dan pengajar anak, guru diibaratkan seperti ibu kedua yang mengajarkan berbagai macam hal yang baru dan sebagai fasilitator anak supaya dapat belajar dan mengembangkan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal,hanya saja ruang lingkupnya guru berbeda, guru mendidik dan mengajar di sekolah negeri ataupun swasta.
Secara umum guru memiliki fungsi untuk menunjang terselenggaranya sistem pendidikan nasional dan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, serta memiliki peran sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pedidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Tugas guru sebagai suatu profesi meliputi mendidik dalam arti meneruskan dan mengembangkan nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan iptek, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan peserta didik. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan meliputi bahwa guru
36
(34)
disekolah harus dapat menjadi orang tua kedua, dapat memahami peserta didik dengan tugas perkembangannya mulai dari sebagai makhluk bermain
(homoludens), sebagai makhluk remaja/berkarya (Homopither), dan sebagai
makhluk berpikir/dewasa (Homosapiens).37
Terdapat beberapa peran guru dalam proses pembelajaran tatap muka, yaitu sebagai berikut :
a. Pemimpin belajar, dalam arti guru sebagai perencana, pengorganisasi,
pelaksana, dan pengontrol kegiatan belajar peserta didik.
b. Fasilitator belajar, dalam arti guru sebagai pemberi kemudahan kepada peserta
didik dalam melakukan kegiatan belajarnya melalui upaya dalam berbagai bentuk.
c. Moderator belajar, dalam arti guru sebagai pengatur arus kegiatan belajar
peserta didik. Guru sebagai moderator tidak hanya mengatur arus kegiatan belajar, tetapi juga bersama peserta didik harus menari kesimpulan atau jawaban masalah sebagai hasil belajar peserta didik, atas dasar semua pendapat yang telah dibahas dan diajukan peserta didik.
d. Motivator belajar, dalam arti guru sebagai pendorong peserta didik agar mau
melakukan kegiatan belajar kegiatan belajar. Sebagai motivator guru harus dapat menciptakan kondisi kelas yang merangsang peserta untuk mau melakukan kegiatan belajar, baik individual maupun kelompok.
e. Evaluator belajar, dalam arti guru sebagai penilai yang objektif dan
komprehensif. Sebagai evaluator, guru berkewajiban mengawasi, memantau proses pembelajaran peserta didik dan hasil belajar yang dicapainya. Guru juga berkewajiban untuk melakukan upaya perbaikan proses belajar peserta didik, menunjuk kelemahan dan cara memperbaikinya, baik secara individual,
kelompok, maupun secara klasikal.38
Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu. Serta mampu mentransferkan kebiasaan dan pengetahuan pada muridnya dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak didik.Begitu banyak peran yang harus diemban oleh seorang guru. Peran yang begitu berat dipikul di pundak guru hendaknya tidak menjadikan calon guru mundur dari tugas
37
Ibid, hal. 20
38
(35)
mulia tersebut. Peran-peran tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi calon guru. Dia harus menyadari bahwa di masyarakat harus ada yang menjalani peran guru. Bila tidak, maka suatu masyarakat tidak akan terbangun dengan utuh. Penuh ketimpangan dan akhirnya masyarakat tersebut bergerak menuju kehancuran.
G. Metode penelitian
Metode penelitian diperlukan sebagai suatu tipe pemikiran secara sistematis yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi, yang pada akhirnya bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi. Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang dipakai oleh penulis adalah sebagai berikut :
1. Jenis dan Sifat
Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ini disebut juga dengan studi kepustakaan atau studi dokumen.
Adapun sifat dari penulisan skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan yang menjadi objek penelitian sehingga akan mempertegas hipotesa dan dapat membantu memperkuat teori lama atau teori baru.
2. Jenis dan Sumber Data
Penelitian hukum Normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek
(36)
bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier guna memecahkan dan menjawab permasalahan pada objek penelitian.
Data sekunder yang penulis pakai adalah sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang–undangan yang terkait,
antara lain : UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU no 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No 23 tahun 2003, tentang Perlindungan Anak, MoU PGRI dengan POLRINo.B/53/XII/2012 dan No
1003/UM/PB/XX/2012, serta Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP).
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi,
artikel, artikel, hasil–hasil penelitian, laporan-laporan, dan sebagainya yang
diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,
jurnal ilmiah, dan bahan – bahan lainyang relevan dan dapat digunakan untuk
melengkapi data yag diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dari penulisan ini dilakukan melalui teknik studi
pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu
internet.Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan,
mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku–buku dan arti–arti yang
(37)
4. Analisis Data
Mengumpulkan bahan hukum sekunder, dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. Kemudian dilakukan pemilahan
terhadap bahan–bahan hukum relevan tersebut diatas agar sesuai dengan masing–
masing permasalahan yang dibahas. Kemudian mengolah dan
menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan. Dan memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dantulisan.
H. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini telah dibuat secara terperinci dan sistematis, hal ini bertujuan agar dapat memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan daripada sistematika tersebut adalah satu kesatuan yang saling berkesinambungan dan berhubungan antara satu sama lain yang dapat dilihat sebagai berikut :
BAB I : Bab pertama ini merupakan bab pendahuluan, pada bab ini dimuat
apa yang menjadi latar belakang penulis dalam menulis skripsi ini, kemu dian apa masalah yang dapat dirumuskan dalam rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan
BAB II : Bab kedua merupakan bab pembahasan, pada bab pembahasan ini
(38)
perlindungan guru dan tentang perlindungan anak dikaitkan dengan kekerasan yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar.
BAB III : Bab ketiga ini juga merupakan bab pembahasan, pada bab ini akan
membahas mengenai penerapan hukum pidana terhadap guru pelaku kekerasan kepada anak didik dalam kegiatan belajar mengajar serta analisa kasus dari putusan.
BAB IV : Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran yang berfungsi untuk
memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang.
(39)
BAB II
TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN UU NO 14
TAHUN 2005
A. Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Fisik Dalam Hukum Pidana
Kekerasan fisik adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh orang dewasa. Hal ini dapat melibatkan meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar, membuat memar, menarik telinga atau
rambut, menusuk, membuat tersedak atau menguncang seorang anak.39
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 89 dinyatakan bahwa
membuat orang pingsan atau membuat orang tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Dengan demikian kejahatan kekerasan merupakan kejahatan yang dilakukan dan disertai dengan menggunakan kekuatan fisik yang mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya.40 Selain itu kekerasan sering dilakukan bersama dengan salah satu bentuk tindak pidana, misalnya pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), perkosaan (Pasal 285 KUHP), dan seterusnya.41
Tindak pidana tersebut dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, sedangkan cara bagaimana kekerasan dilakukan atau alat apa yang dipakai, masing-masing tergantung pada kasus yang timbul. Jadi sifatnya
39
https://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak Judul Artikel : Kekerasan Terhadap Anak, diakses pada Senin 3 Agustus 2015, Pukul 13.40 WIB
40
R.Soesilo, Loc.cit
41
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal 1
(40)
kasuistis. Perbuatan tersebut dapat menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, dari anak-anak sampai dewasa.42
Dalam Undang-undang Perlindungan anak (UU No 23 Tahun 2002) mengenai kekerasan ini telah diatur dalam Pasal 4 yaitu salah satu hak anak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, juga dalam Pasal 13 dijelaskan tentang perlindungan anak selama dalam pengasuhan salah satunya pada huruf (d) dijelaskan perlindungan dari kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan. 43Adapun kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan yang ditujukan pada anak yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan baik fisik maupun psikis, baik yang terjadi didepan umum atau dalam kehidupan pribadi. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan itu bukan hanya tindakan secara fisik, tetapi juga dapat secara psikis. Tindakan fisik langsung bisa dirasakan akibatnya oleh korban serta dapat dilihat oleh siapa saja.
Kekerasan anak secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda–benda tertentu, yang menimbulkan luka–luka fisik atau kematian pada anak.44 Sedang dalam UU PKDRT sebagaimana yang disebutkan pada pasal 9, kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.45
Sehingga dapat dsimpulkan bahwa kekerasan fisik merupakan tindakan fisik yang ditujukan kepada anak dengan menggunakan kekuatan fisik baik dengan cara meninju, memukul, menendang, menampar dan sebagainya yang
42
Ibid.,
43
Ibid, hal 60
44
Abu Huraerah, Op.Cit, hal 37 45
Badriyah Khaleed, Penyelesaian hukum KDRT, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015, hal 18.
(41)
dapat menimbulkan penderitaan fisik baik luka-luka atau dapat berujung kematina pada anak. Kekerasan fisik ini dapat langsung dirasakan serta dapat dirasakan oleh siapa saja.
B. Perlindungan Terhadap Hak-Hak Anak dalam UU No. 23 Tahun 2002
Dikaitkan Dengan Kekerasan yang Dilakukan Guru Terhadap Anak dalam Proses Belajar Mengajar
Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapun perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Perlindungan anak merupakan suatu bidang Pembangunan Nasional. Melindungi anak adalah melindungi manusia, adalah membangun manusia seutuhnya. Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan Pembangunan Nasional.46
Konsepsi perlindungan anak meliputi ruang lingkup yang luas, dalam arti bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas semua hak serta kepentingan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial, dan perlindungan anak juga menyangkut aspek pembinaan generasi muda. Terhadap anak dalam kasus apapun, kepentingan anak selalu diutamakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan :
46
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan :Kumpulan Karangan ,Penerbit Universitas Trisakti,Jakarta, 2009, hal, 312
(42)
a. Bahwa anak–anak harus dijunjung tinggi oleh setiap orang dengan tidak lupa menanamkan rasa tanggung jawab kepadanya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara, warga masyarakat, dan anggota keluarga dalam batas–batas tertentu yang menghimbau anak dalam melaksanakan kewajiban itu.
b. Bahwa perlindungan anak dalam arti hak–hak dan kebutuhannya secara optimal bertanggung jawab, merupakan usaha bagi kepentingan masa depan anak dan pembinaan generasi mendatang. 47
Oleh Aminah Aziz, mengutip pendapat Barda Nawawi Arief dengan menggunakan istilah perlindungan hukum anak dan diartikan sebagai perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental right and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.48
Masalah perlindungan hukum dan hak–haknya anak bagi anak–anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak–anak Indonesia. Agar perlindungan hak–hak anak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan UU Dasar 1945. Dalam kaitannya dengan persoalan perlindungan hukum bagi anak–anak, maka dalam UUD 1945 pada Pasal 34 telah ditegaskan bahwa “fakir miskin dan anak–anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Hal ini menunjukkan
47
Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak,USU Press,Medan, 1998, hal 26
48
(43)
adanya perhatian serius dari pemerintah terhadap hak–hak anak dan perlindungannya.
Pengaturan perlindungan anak diatur dalam UU No 23 Tahun 2002, dimana pada Pasal 1 ayat (2) menyebutkan : Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak–haknya agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang, dan berpastisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sehingga yang menjadi cakupan dari perlindungan anak adalah meliputi non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat anak. Perlindungan anak memiliki tujuan, sebagaimana yang diatur didalam Pasal 3 UU No 23 Tahun 2002 yaitu “untuk menjamin terpenuhinya hak–hak agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Undang–Undang Perlindungan Anak dibuat dan dirancang dalam rangka
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap–tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap anak yang merupakan hak asasi manusia, dimana bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Oleh karena itu, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas–
(44)
luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, dan perlu dilakukan perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Sebagaimana tertulis dalam Pasal 1 ayat (2), yang disebut dengan perlindungan anak adalah : Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak–haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Serta, pada Pasal 2, ayat 3 dan 4, Undang–Undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1979, Tentang Kesejahteraan Anak berbunyi sebagai berikut : Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semsa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perindungan–perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Kedua ayat ini dengan jelas menyatakan dan mendorong perlu adanya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak.49
Dan perlindungan anak ini memiliki tujuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 yaitu : Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak–hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat pelindungann dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak indonesia
49
(45)
yang berkualitas, berakhlak, dan sejahtera. Sehingga berdasarkan uraian diatas, anak yang merupakan tunas, potensi, dan generasi muda diberikan suatu jaminan dan perlindungan untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial, dan berakhlak mulia yang nantinya dapat berperan untuk menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Dalam konteks kegiatan belajar mengajar, anak ketika dalam proses pendidikan disebut dengan peserta didik, yang sehari–hari dapat disebut dengan murid atau anak didik. Anak didik pada dasarnya merupakan anak yang masih dibawah umur yang memerlukan didikan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 UU No 23 Tahun 2003 menyebutkan : Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Sehingga dalam mendukung pengembangan pribadi sebagaimana pada pasal diatas, diperlukan seorang guru yang merupakan sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pedidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Namun pada dasarnya anak didik memiliki karakteristik yang secara pribadi belum dewasa dan masih didalam tahap penyempurnaan suatu aspek kedewasaan tertentu dan memiliki sifat-sifat dasar manusia yang sedang berkembang secara terpadu yaitu kebutuhan biologis, rohani, sosial, inteligensi, emosi, kemampuan berbicara, anggota tubuh untuk bekerja (kaki, tangan, jari),
(46)
latar belakang sosial, latar belakang biologis (warna kulit, bentuk tubuh, dan lainnya), serta perbedaan individual. Yang pada tahap tersebut anak didik rentan untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak baik (nakal, bandel). Guru sebagai pendidik yang memiliki tanggungjawab dalam perkembangan pribadi anak didik, kadang kala memberikan suatu tindakan disiplin kepada anak didik yang nakal tersebut yaitu berupa hukuman, salah satunya berupa hukuman fisik, seperti mencubit, menjewer, memukul tangan, dan sebagainya.
Tindakan disiplin berupa pemberian hukuman fisik inilah yang dapat diindikasikan dengan tindak pidana kekerasan atau penganiayaan apabila kurangnya komunikasi antara guru dengan anak didik (murid). Hal ini tentu bertentangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU No 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan :
“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
a. Diskriminasi
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual c. Penelantaran
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan
e. Ketidakadlian
f. Perlakuan salah lainnya
Dan ditegaskan kembali dalam Pasal 16 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(47)
C. Perlindungan Terhadap Guru dalam Kegiatan Belajar Mengajar di Beberapa Peraturan
C.1. Perlindungan Terhadap Guru dalam UU No.23 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Didalam Undang–Undang ini tidak mengatur secara eksplisit mengenai masalah perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan secara umum dan guru secara khususnya. Didalam Undang–undang ini mengatur tentang apa yang menjadi hak dan kewajiban oleh seorang Pendidik dan tenaga kependidikan. Hal ini terdapat didalam pasal 40 UU No 20 Tahun 2003, yang menyebutkan :
(1) Pendidik dan Tenaga Kependidikan berhak memperoleh :
a. Penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;
b. Penghargaan yang sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
d. Perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil
kekayaan intelektual; dan
e. Kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran untuk melaksanakan tugas.
Berdasarkan uraian pasal 40 diatas, masalah perlindungan hukum bagi guru secara khusus hanya disebutkan didalam Ayat 1 huruf d, dan hanya secara ringkas disebutkan yaitu perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas. Perlindungan hukum disini meliputi perlindungan untuk rasa aman, perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja, dan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam melaksanakan tugas
(48)
keprofesionalannya yaitu didalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,baik didalam satuan pendidikan formal ataupun non formal. C.2. Perlindungan Terhadap Guru dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen
Didalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, masalah perlindungan guru telah diatur secara eksplisit dan khusus pada Pasal 39 Bagian Ketujuh. Dalam pasal 39 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan:
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakantugas.
(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.
Frasa perlindungan hukum yang dimaksudkan disini mencakup semua dimensi yang terkait dengan upaya mewujudkan kepastian hukum, kesehatan, keamanan, dan kenyamanan bagi guru dalam menjalankan tugas–tugas profesionalnya. Sehingga semua guru harus dilindungi secara
(1)
Penanganan Perkara dan Pengamanan Terhadap Profesi Guru. Dan perlindungan anak sendiri telah diatur didalam UU No. 23 Tahun 2003. 2. Berdasarkan kasus yang penulis teliti, Majelis Hakim dalam memberikan
putusan terkait dengan Guru yang melakukan kekerasan terhadap anak didik ini telah didasarkan pada pertimbangan–pertimbangan, baik dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, terpenuhi atau tidaknya unsur–unsur dari tindak pidana tersebut, dan alasan–alasan yang dapat dijadikan alasan pembenar dari tindakan pemberian sanksi yang dilakukan oleh guru tersebut. Pada Putusan Pertama yang sudah mencapai Tingkat Banding, Hakim menerapkan Pasal 80 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002, dan terdakwa memenuhi unsur dari pasal tersebut, dan hakim menilai tidak terdapat alasan yang dapat melemahkan putusan dari Hakim tingkat pertama. Sedang pada Putusan Kedua yang telah mencapai Tingkat Kasasi, Hakim juga menerapkan Pasal 80 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002, namun dalam hal ini Hakim MA menimbang, bahwa Hakim Tingkat Pertama tidak salah salah dalam menerapkan Hukum, yaitu apa yang dilakukan Terdakwa masih dalam batas-batas kewajaran seorang guru mendidik muridnya, dan Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan bahwa putusan tersebut adalah pembebasan yang tidak murni. Dalam hal ini penulis menyimpulkan Hakim dalam menerapkan putusan telah sesuai sebagaimana unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 80 ayat(1) UU No 23 Tahun 2002.
(2)
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, adapun saran yang dapat penulis berikan, adalah sebagai berikut :
1. Diperlukan adanya pengembangan didalam Undang–Undang tentang guru terkhusus dalam hal perlindungan hukum, dalam hal apabila seorang guru berhadapan dengan permasalahan hukum didalam melaksanakan tugas keprofesionalannya sehingga dapat memberikan suatu jaminan hukum bagi guru. Serta diperlukan adanya sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan tersebut, agar para guru dapat lebih memahami perannya didalam dunia pendidikan dan juga perlindungan anak. Dan didalam Undang–Undang perlindungan Anak, diperlukan adanya suatu peninjauan kembali, khususnya dalam hal tentang kewajiban anak, sehingga antara hak dan kewajiban anak dapat dimengerti oleh anak selaku generasi bangsa. Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman antara Guru, murid, serta Orang tua murid, diperlukan adanya suatu komunikasi yang baik antar pihak sekolah dengan orang tua murid dalam memberikan penjelasan tentang peraturan–peraturan disekolah serta peran orang tua didalam mendidik dan mengawasi anak diluar sekolah. Sehingga anak didik (murid) dapat terawasi dan dapat menghindari hal–hal yang tidak diinginkan.
2. Dalam memberikan putusan, hakim telah menerapkan sesuai dengan unsur-unsur terhadap pasal yang didakwakan dan juga telah melihat alasan dari terdakwa serta melihat keadaan atau kondisi pada saat kejadian sebagai pertimbangan terhadap penjatuhan hukuman atau sanksi pidana. Diharapkan
(3)
dengan adanya MoU antara Polri dan PGRI dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak penegak hukum dalam proses penyidikan serta dalam proses persidangan. Namun upaya penal diharapkan menjadi jalan terakhir atau upaya terakhir dan lebih mengedepankan upaya non penal, yaitu dengan tindakan mediasi. Dalam hal ini DKGI dapat bertindak sebgai mediator dalam penyelesaian antara orang tua murid dengan guru, sehingga dapat ditempuh penyelesaian proses perdamaian dengan tujuan untuk menjaga kehormatan guru dimata masyarakat serta perkembangan anak.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Buku
Aziz, Aminah. 1998, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Medan: USU Press. B.Uno, Hamzah. 2009, Profesi Kependidikan Problema, Solusi, dan Reformasi
Pendidikan di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara.
Chazawi, Adami. 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Ekaputra, Mohammad. 2010, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Medan : USU Press.
Gosita, Arief. 2009, Masalah Korban Kejahatan: Kumpulan Karangan, Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti.
Huraerah, Abu. 2008, Kekerasan Terhadap Anak, Bandung : Penerbit Nuansa.
Gamer, Bryan A. 1999, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co.
Khaleed, Badriyah. 2015, Penyelesaian Hukum KDRT, Yogyakarta : Penerbit Pustaka Yustisia.
Kansil, C.S.T & Christine S.T. Kansil. 2007, Pokok – Pokok Hukum Pidana : Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, Jakarta : PT Pradnya Paramita
Lamintang, P.A.F. 1997, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
Mansur, Dikdik M.Arief & Elisantris Gultom. 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Marpaung, Leden. 2005, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Jakarta : Penerbit Sinar Grafika.
Martono, Nanang. 2012, Kekerasan Simbolik di Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Mulyadi, Mahmud. 2008, Criminal Policy : Pendekatan Integral Penal Policy Dalam Menanggulangi Kejahatan Kekerasan, Medan : Pustaka Bangsa Press.
(5)
Santoso, Thomas. 2002, Teori–Teori Kekerasan, Jakarta : PT Ghalia Indonesia. Soeroso, Moerti Hadiati. 2011, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam
Perspektif Yuridis Viktimologis, Jakarta : Penerbit Sinar Grafika.
Soesilo, R. 1994, Kitab Undang–Undang Hukum Pidana Serta Komentar – Komentar Lengkap dengan Pasal demi Pasal, Bogor : Politea.
Usfa, Fuad & Tongat.2004 Pengantar Hukum Pidana, Malang : UMM Press. Widiastono, Tony D. 2004, Pendidikan Manusia Indonesia, Jakarta : Penerbit
Buku Kompas.
Yuwono, Trisno. 1994, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Surabaya : Arkola.
Daftar Peraturan Perundang - Undangan Kitab Undang - Undang Hukum Pidana
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
UU No. 4 Tahun 1979, Tentang Kesejahteraan Anak UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
MoU PGRI dengan POLRI No.B/53/XII/2012 dan No 1003/UM/PB/XX/2012 Tentang Mekanisme Penanganan Perkara dan Pengamanan Terhadap Profesi Guru
Daftar Internet
Adrian Susanto (2012). UU Perlindungan Anak : Derita Guru. dari http://www.kompasiana.com/post/read/501624/1/uu-perlindungan-anak-derita-guru.html , tanggal 1 Februari 2015
Fajar Imron Makalah Perlindungan Profesi Guru Makul Profesi Kependidikan. dari
http://www.academia.edu/7422463/Makalah_Perlindungan_Profesi_Guru_Makul _profesi_kependidikan_kel_5, tanggal 5 Februari 2014
Muhammad Faisal (2014) Haruskah Guru Dikriminalkan. dari www.waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=349
(6)
42:haruskah-guru-dikriminalkan&catid=59:opini&itemid=215, tanggal 5 Februari 2015
Idris Apandi (2013) Perlindungan Hukum Bagi Guru. Dari http://edukasi.kompasiana.com/2013/06/14/perlindungan-hukum-bagi-guru-564928.html
Admelia Adlu (2013 Polemik Pemberian Hukuman (Punishment) Problematika Pendidikan. Dari http://admelia.blogspot.com/2013/12/ p o l e m ik-pemberian-hukuman-punishment.html
http://www.solopos.com/2011/02/09/aniaya-murid-guru-smk-gm-1-terancam-hukuman-35-tahun-85302 Judul Artikel : Aniaya Murid, Guru SMK GM 1 Terancam Hukuman 3,5 Tahun, Diakses pada Jumat, 24 April 2015, Pukul 00.48 WIB
http://www.antaranews.com/berita/175346/guru-tampar-siswa-dituntut-tiga-bulan-percobaan Judul artikel : Guru Tampar Siswa Dituntut 3 bulan Percobaan, diakses pada Senin, 7 Mei 2015, Pukul 13.13 WIB
http://sp.beritasatu.com/home/berlebihan-guru-cubit-murid-dipidanakan/33611 Judul artikel : Berlebihan, Guru Cubit Murid Dipidanakan, diakses pada Senin 7 Mei 2015, Pukul 13.17 WIB
http://www.jpnn.com/read/2013/10/04/194167/Cubit-Murid,-Guru-Didenda-Rp20-Juta- Judul artikel : Cubit Murid, Guru Didenda 20 juta, diakses pada Senin 7 Mei 2015, Pukul 13.42 WIB
http://w.analisadaily.com/opini/news/perlunya-perlindungan-hukum guru /129680/2015/ 05/02 Judul artikel : Perlunya Perlindungan Hukum Guru, diakses pada Senin 18 Mei 2015, Pukul 13.05 WIB
https://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak Judul Artikel : Kekerasan Terhadap Anak diakses pada Senin 3 Agustus 2015, Pukul 13.40 WIB