Kedudukan Bukti Surat Elektronik (Email) Dari Prespektif Hukum Acara Pidana Indonesia

(1)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KEDUDUKAN BUKTI SURAT ELEKTRONIK (EMAIL) DARI PRESPEKTIF HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA HUKUM

OLEH :

SARA YOSEPHINA BANGUN NIM : 070200008

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KEDUDUKAN BUKTI SURAT ELEKTRONIK (EMAIL) DARI PRESPEKTIF HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA HUKUM

OLEH :

SARA YOSEPHINA BANGUN NIM : 070200008

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui,

Ketua Departemenn Hukum Pidana

(MUHAMMAD HAMDAN, SH. M.Hum) NIP.195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(H. ABUL KHAIR, SH. M.Hum) (RAFIQOH LUBIS, SH. M.Hum) NIP. 196107021989031001 NIP. 197407252002122002


(3)

KATA PENGANTAR

Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertiannmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu maka Ia akan meluruskan jalanmu (Ams 3:5-6)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Bapa di Sorga yang selalu memberkati, melindungi, dan yang tidak pernah meninggalkan penulis, dalam sepanjang perjalanan hidup penulis. Khususnya, rancangan Allah Bapa, melalui Yesus Kristus, dan penyertaan Roh Kudus, senantiasa memberi kekuatan dan semangat bagi penulis. Sehingga penulis mampu berdiri teguh dan penuh pengharapan meraih masa depan, dan menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Trimakasih Bapa, terpujilah nama-Mu dalam hidupku kekal untuk selama-lamanya.

Penulisan skripsi ini, merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara dalam rangka memenuhi tugas dan persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum. Oleh sebab itu, penulis sebagai mahasiswi fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara membuat sebuah skripsi dengan judul: “KEDUDUKAN BUKTI SURAT ELEKTRONIK (EMAIL) DARI PRESPEKTIF HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA” .


(4)

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan trimakasih yang setulusnya kepada:

1. Prof. DR. Runtung, SH, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara.

2. Prof. DR. Budiman Ginting, SH. M.Hum, selaku pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara.

3. Bapak Syafrudin, S.H, MH. DFM, selaku pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara.

4. Bapak M. Husni, S.H. MH, selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara.

5. DR. Muhammad Hamdan, SH. M. Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara.

6. Ibu Liza Herwina, SH, M. Hum, selaku sekertaris departemen hukum pidana fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara yang telah memberi masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak H. Abul Khair, SH, M.Hum, selaku dosen pembimbing I, yang telah bersedia meluangkan waktunya bagi penulis untuk membimbing, mengarahkan, serta memberikan masukan yang berguna dalam proses penyelesaian skripsi ini.


(5)

8. Ibu Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum, selaku dosen pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya, dan selalu sabar dalam membimbing dan mengarahkan, serta memberi banyak motivasi dan masukan yang sangat berharga bagi penulis, sehingga penulis dengan penuh semangat dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Bapak Azwar Mahyuzar, SH, selaku dosen Penasehat Akademik penulis yang telah memberi bimbingan dan perhatian selama masa perkuliahan penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Seluruh dosen dan staff pengajar yang pernah mengajar penulis selama penulis menjalani pendidikan akademis di Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara.

11. Seluruh staff dibagian pendidikan yang telah membantu penulis dalam urusan administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Seluruh staff perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan penulis dalam penyusunan skripsi ini,

13. Kedua orangtua penulis, Setia Utama Bangun, SE (Ayah) dan Anna Murni Br Tarigan, S.Pd (ibu), yang menjadi motivator yang hebat dalam sepanjang kehidupan penulis. Setiap doa, serta tetesan keringat dan air matamu adalah kekuatan bagi penulis untuk selalu berusaha menjadi yang terbaik untukmu. Semoga Tuhan Yesus senantiasa memberikan berkat, kesehatan, dan umur yang panjang kepada mamak dan bapak.


(6)

14. Kedua adik penulis yang sangat penulis sayangi Amenda Br Bangun dan Piniel Peres Bangun, terimakasih untuk doa, motivasi, dan kasih sayang untuk penulis, semoga Tuhan Yesus melimpahkan berkat-Nya dan juga menyertai kalian senantiasa.

15. Kedua nenek penulis yang sangat penulis sayangi, nenek Biring: Raga Br Sembiring, terimakasih untuk doa yang Biring panjatkan setiap hari untuk penulis, terimakasih juga sudah merawat penulis selama 12 tahun, bukan hanya sekedar menjadi nenek yang sangat baik tetapi juga menjadi ibu yang baik bagi penulis. Buat nenek Iting, Kombar Br Ginting. Terimakasih untuk doa, motivasi, dan kasih sayangmu. Semoga Tuhan Yesus selalu menyertai dan memberkati serta memberi umur yang panjang dan kesehatan selalu untuk Biring dan Iting.

16. Bapak Tua: Darma Bangun, dan keluarga. Terimakasih untuk kemurahan hatinya dan motivasinya, terimakasih untuk uang saku tambahan dan bantuan dana yang selalu diberikan kepada penulis disaat kebutuhan yang mendesak. Semoga Tuhan Yesus selalu melimpahkan berkat dan rezeki yang melimpah untuk Pak Tua dan keluarga

17. Kedua belah pihak keluarga penulis: keluarga marga Bangun dan keluarga marga Tarigan. Semua bibik, kila, bapak, mamak, mami, mama, serta semua abang, kakak, dan adik-adik sepupu penulis. Terimakasih untuk doa, motivasi dan kasih sayang yang penulis terima sampai saat ini, semoga Tuhan Yesus selalu melimpahkan berkat-Nya bagi kalian semua.


(7)

18. Seseorang yang selalu ada disamping penulis, Albert Edwin Tarigan (bang

Ibeth). Trimakasih karena sudah berkenan berbagi suka dan duka dengan

penulis, mendengarkan keluh kesah penulis, selalu memotivasi, menghibur, dan sabar dalam menghadapi sikap penulis, khususnya selama proses penyelesaian skripsi ini. Terimakasih untuk setiap perhatian abang, semoga Tuhan Yesus selalu menyertai.

19. Sahabat-sahabat penulis: Selly Herwina (ai), terimakasih sudah menerima penulis apa adanya, perjuangan dan kebersamaan kita mulai dari semester II sampai dengan saat ini; Intan Bulandari Nasution (adek); Siti Uthari

(tari), dan Dewi, walaupun kebersamaan kita begitu singkat dan terjalin

disaat-saat terakhir masa perkuliahan kita, tetapi semua yang kita lewati merupakan hal-hal yang sangat berkesan dan tidak mungkin dapat dilupakan oleh penulis. Terimakasih untuk kebersamaan, motivasi, dan canda tawa yang kita jalin dan lewati bersama.

20. Seluruh teman-teman penulis, khususnya stambuk 07 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

21. Sahabat-sahabat sepelayanan sebagai guru KA-KR di Gereja GBKP Tj. Sari: bibik Nande Ray, kak Lesti, bang Jun, kak Lia, kak Siska, kak Helen, kak Cika, kak Lit, kak Intan, kak Ita, Jimmy, Siwan, dan kakak Nande Angel. Terimakasih untuk setiap doa yang diberikan buat penulis sepulang sermon Gurdak, dan terimakasih untuk setiap motivasinya. Tuhan Yesus memberkati pelayanan kita!


(8)

22. Teman-teman sepelayanan di PERMATA GBKP runggun Tj. Sari: kak Rani, Ita, Cristy, Nomi, Ricky, dan semua teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih untuk doa dan motivasinya buat penulis. Tuhan Yesus memberkati!

23. Kepada seluruh pihak yang telah mendoakan dan membantu serta memberi semangat pada penulis, dan tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih atas segalanya. Tuhan Yesus memberkati!

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Keterbatasan penulis dalam pengumpulan pustaka dan wawasan penulis sendiri, menyebabkan masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari pihak-pihak yang telah membaca skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi kita semua. Terimakasih.

Medan, Juni 2011 Penulis,

SARA YOSEPHINA BANGUN NIM 070200008


(9)

ABSTRAKSI

Sara Yosephina Bangun* Abul Khair** Rafiqoh Lubis***

Teknologi merupakan suatu komponen penting yang tidak dapat di lepaskan dari kehidupan manusia. Mengapa disebut penting?, hal ini dikarenakan teknologi mempunyai pengaruh yang penting dalam perkembangan peradaban manusia baik dalam hal positif maupun negatif. Dampak negatif yang timbul dari perkembangan teknologi tersebut adalah munculnya suatu kejahatan atau perbuatan melawan hukum yang bersifat teknologi di dunia siber. Salah satu perkembangan teknologi yang mempengaruhi sistem pembuktian dalam perkara pidana adalah keberadaan Surat Elektronik atau yang lebih dikenal dengan sebutan e-mail. Hal inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat “Kedudukan Bukti Surat Elektronik (email) Dari Presfektif Hukum Acara Pidana Indonesia” sebagai judul skripsi penulis.

Kedudukan surat elektronik sebagai alat bukti memang tidak ada diatur di dalam KUHAP, akan tetapi beberapa Undang-undang khusus di luar KUHAP sudah mulai memperhitungkan kedudukan surat elektronik (email) sebagai alat bukti. Berdasarkan latar belakang di atas diangkatlah beberapa permasalahan yaitu: Bagaimanakah sebenarnya pembuktian tindak pidana menurut KUHAP, serta Bagaimanakah pengaturan mengenai bukti surat elektronik dalam hukum pidana di Indonesia dikaitkan dengan beberapa Undang-undang.

Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap Perundang-undangan dan kepustakaan hukum yang berhubungan dengan skripsi. Data skunder yang berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, artikel-artikel, dan sebagainya. Kemudian data dioleh secara kualitatif.

Dari penulisan skripsi ini dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut sistem pembuktian Undang-undang secara negatif, yang juga perlu diketahui adalah alat bukti yang digunakan merupakan hal penting dalam proses pembuktian perkara pidana, dimana mengenai hal tersebut diatur dalam pasal 184 KUHAP. Surat elektronik (email) merupakan suatu hal yang baru dalam peradilan di Indonesia. Email merupakan bagian dari dokumen elektronik yang saat ini mulai dipergunakan sebagai alat bukti dalam perkara pidana pidana. Keberadaan

email sebagai alat bukti memang tidak ada sama sekali diatur dalam KUHAP.

Tetapi dalam beberapa undang khusus di luar KUHAP, seperti: Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-udang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Keberdaan email sebagai alat bukti yang termasuk dalam dokumen elektronik sudah diakui.


(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAKSI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

1. Pengertian Hukum Acara Pidana ... 8

2. Pengertian Pembuktian ... 10

3. Pengertian Surat Elektronik ... 13

F. Metode Penelitian... 18

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) A. Teori atau Sistem Pembuktian Pidana Dalam Hukum Acara Pidana ... 22


(11)

C. Alat-alat Bukti Yang Diatur Dalam KUHAP ... 37 BAB III BUKTI SURAT ELEKTRONIK (EMAIL) DALAM

PEMBUKTIAN PIDANA MENURUT BEBERAPA UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

A. Perluasan Alat Bukti Dalam Pembuktian Tindak Pidana ... 58

1. Perkembangan Teknologi dan Kaitannya Dengan Kejahatan Menggunakan Teknologi ... 60 2. Bukti Elektonik Sebagai Bukti Dalam Pembuktian

Tindak Pidana diluar KUHAP ... 71 B. Bukti Surat Elektronik (Email) Sebagai Bukti Elektronik

Dalam Pembuktian Pidana dalam Beberapa Undang-undang ... 75

a. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi ... 82 b. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 83 c. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang

Tindak Pidana Terorisme ... 85 d. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang

Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 86 e. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang ... 87 f. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang


(12)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 91 B. Saran ... 93 DAFTAR PUSTAKA


(13)

ABSTRAKSI

Sara Yosephina Bangun* Abul Khair** Rafiqoh Lubis***

Teknologi merupakan suatu komponen penting yang tidak dapat di lepaskan dari kehidupan manusia. Mengapa disebut penting?, hal ini dikarenakan teknologi mempunyai pengaruh yang penting dalam perkembangan peradaban manusia baik dalam hal positif maupun negatif. Dampak negatif yang timbul dari perkembangan teknologi tersebut adalah munculnya suatu kejahatan atau perbuatan melawan hukum yang bersifat teknologi di dunia siber. Salah satu perkembangan teknologi yang mempengaruhi sistem pembuktian dalam perkara pidana adalah keberadaan Surat Elektronik atau yang lebih dikenal dengan sebutan e-mail. Hal inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat “Kedudukan Bukti Surat Elektronik (email) Dari Presfektif Hukum Acara Pidana Indonesia” sebagai judul skripsi penulis.

Kedudukan surat elektronik sebagai alat bukti memang tidak ada diatur di dalam KUHAP, akan tetapi beberapa Undang-undang khusus di luar KUHAP sudah mulai memperhitungkan kedudukan surat elektronik (email) sebagai alat bukti. Berdasarkan latar belakang di atas diangkatlah beberapa permasalahan yaitu: Bagaimanakah sebenarnya pembuktian tindak pidana menurut KUHAP, serta Bagaimanakah pengaturan mengenai bukti surat elektronik dalam hukum pidana di Indonesia dikaitkan dengan beberapa Undang-undang.

Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap Perundang-undangan dan kepustakaan hukum yang berhubungan dengan skripsi. Data skunder yang berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, artikel-artikel, dan sebagainya. Kemudian data dioleh secara kualitatif.

Dari penulisan skripsi ini dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut sistem pembuktian Undang-undang secara negatif, yang juga perlu diketahui adalah alat bukti yang digunakan merupakan hal penting dalam proses pembuktian perkara pidana, dimana mengenai hal tersebut diatur dalam pasal 184 KUHAP. Surat elektronik (email) merupakan suatu hal yang baru dalam peradilan di Indonesia. Email merupakan bagian dari dokumen elektronik yang saat ini mulai dipergunakan sebagai alat bukti dalam perkara pidana pidana. Keberadaan

email sebagai alat bukti memang tidak ada sama sekali diatur dalam KUHAP.

Tetapi dalam beberapa undang khusus di luar KUHAP, seperti: Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-udang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Keberdaan email sebagai alat bukti yang termasuk dalam dokumen elektronik sudah diakui.


(14)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Teknologi informasi dan media elektronik dinilai sebagai pelopor yang mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi, dan keuangan. Teknologi informasi merupakan bagian dari telematika yang berasal dari istilah Prancis “telematique” yang kemudian menjadi istilah umum di Eropa untuk memperlihatkan bertemunya sistem jaringan komunikasi dengan teknologi informasi itu sendiri hanyalah merujuk kepada perkembangan teknologi perangkat-perangkat pengolahan informasi.

Perkembangan arus informasi pada era sekarang sangat cepat, sejarah dari sebuah arus informasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh Negara-negara maju seperti Inggris, Amerika, Rusia, German, Italy, dan Jepang. Negara-negara benua Eropa dan Amerika terlebih dahulu menemukan sebuah teknologi untuk memudahkan kehidupan manusia. Perubahan teknologi secara besar-besaran dipengaruhi oleh revolusi industri yang terjadi di Inggris, semua jenis pekerjaan yang menggunakan tenaga manusia beralih menjadi tenaga mesin. Dari revolusi industri itu banyak para ahli menemukan alat untuk memudahkan proses pekerjaan manusia mulai dari mesin cetak, elektronik, otomotif, telekomunikasi, dan transportasi dan lain sebagainya. Kemudian muncul media massa elektronik seperti radio, film, dan televisi. Perkembangan teknologi terus berkembang,


(15)

ditandai dengan munculnya teknologi baru berupa teknologi informasi yang menghasilkan sistem-sistem ataupun perangkat yang canggih.1

Teknologi informasi kini berkembang dengan sangat baik dalam peradaban manusia. Kemajuan teknologi itu pun semakin menjalar. Perangkat teknologi saat ini tidak hanya dipakai oleh kalangan tertentu tetapi sudah sangat meluas dari lingkungan kota hingga lingkungan pedesaan.2 Disamping itu yang perlu untuk diketahui adalah bahwa teknologi dan informasi itu telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.3 Saat ini media teknologi yang cenderung menjadi sarana kejahatan adalah teknologi komputer. Dampak negatif dapat timbul apabila terjadi kesalahan yang ditimbulkan oleh peralatan komputer yang akan menghasilkan kerugian besar bagi pemakai (user) atau pihak-pihak yang berkepentingan. Kesalahan yang disengaja mengarah pada penyalahgunaan komputer. 4

Merasuknya teknologi komputer kedalam jaringan kehidupan manusia membangkitkan kebutuhan baru bagi pemakai-pemakai komputer yaitu kebutuhan

Internet” diakses pada 4 Maret 2011 2

http://xlvalezlx.blogspt.com/2009/10/dampak-fositif-dan-negatif-perkembangan.html diakses pada 5 Maret 2011

3

Ahmad M. Ramli, 2004, cyber Law dan Haki, Refika Aditama, Bandung, hal. 1

4

Andi Hamzah, 1990, Aspek-aspek Pidana Dibidang Komputer, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 23-24


(16)

untuk bertukar informasi antar komputer. Penukaran informasi antar komputer dilakukan dengan menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lain melalui suatu jaringan komputer (computer Network) dan hubungan antar jaringan komputer (Internet working atau disingkat Internet).

Perkembangan komputer ditandai juga dengan Perkembangan penggunaan internet yang juga ditandai oleh pertumbuhan perusahaan-perusahaan penyedia jasa internet dan meningkatnya jumlah pengguna jasa, ini tidak disertai dengan perkembangan hukum dibidang ini.5 Demikian pula dengan perkembangan zaman, banyak kejahatan konvensional dilakukan dengan modus oprandi yang canggih, dalam proses beracara diperlukan teknik dan prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan.6

Perbuatan melawan hukum di dunia siber ini bukanlah merupakan suatu hal yang mudah untuk diatasi, untuk itu saat ini sudah lahir suatu rezim baru yang dikenal dengan hukum cyber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan telekomunikasi. Sebagai cabang ilmu hukum, hukum siber termasuk sangat baru. Hukum siber bertumpu pada disiplin-disiplin ilmu hukum yang telah lebih dulu ada. Beberapa cabang ilmu hukum yang menjadi pilar hukum siber adalah hak atas kekayaan intelektual, hukum Kejahatan yang juga saat ini marak terjadi yakni kejahatan di dunia maya (cyber).

5

Arsil Sitompul, 2001, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di

Cyberspace, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 2 6

Krisnawati, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, hal. 3


(17)

perdata internasional, hukum perdata, hukum internasional, hukum telekomunikasi, dan lain-lain.7

Perlu diketahui adalah bahwa saat ini banyak fakta hukum yang muncul di dalam masyarakat dimana sarana informasi dan transaksi yang bersifat elektronik tersebut dijadikan sebagai sarana untuk melakukan kejahatan, kemudian masalah yang timbul berikutnya adalah bagaimana mengenai kebijakan hukum yang dapat dilakukan, sehingga pada saat terjadi kejahatan tersebut dapat dilakukan upaya penanggulangan, termasuk dalam hal ini adalah mengenai sistem pembuktiannya karena tentu saja pada saat tejadinya kejahatan yang bersifat teknologi dan transaksi elektronik akan membutuhkan alat-alat bukti yang bersifat elektronik juga. Salah satu contoh kejahatan yang timbul dan marak terjadi saat ini adalah kejahatan dengan menggunakan surat elektonik (email) yang dalam penggunaannya dilakukan melalui media teknologi komputer, ini merupakan salah satu media yang sangat popular saat ini sejalan dengan perkembangan teknologi saat ini, hal ini terbukti karena sampai saat ini diperkirakan ada sekitar 1,3 milyar pengguna surat elektonik (email) diseluruh dunia. Penggunanya pun bervariasi mulai dari anak sekolahan, mahasiswa, professor, pembantu rumah tangga, tukang jual sayur dipasar, pengusaha, menteri, sampai presiden.8

7

Ahmad M. Ramli, Op.Cit. , hal. 5

8

http://xlvalezlx.blogspt.com/2009/10/dampak-fositif-dan-negatif-perkembangan.html diakses pada 5 Maret 2011

Perkembangan surat elektronik (email) bermula pada tahun 1968 disebuah perusahaan yang bernama

Olt Break and Newman (BBN). Perusahaan ini dikontrak oleh departemen

pertahanaan Amerika Serikat untuk menciptakan sesuatu yang disebut ARPANET yang kemudian berubah menjadi INTERNET. ARPANET merupakan singkatan


(18)

dari Advance Research Projects Agency Network, dan bertujuan untuk menciptakan sebuah metode komunikasi antara institusi militer dan pendidikan satu sama lain.9

9 Ibid

Dimana kemudian dalam perkembangannya email ini ditemukan oleh seorang insinyur bernama Ray Tomlinson. Beliaulah yang kemudian berjasa dalam perkembangan surat elektronik (email) tersebut sehingga dapat dipergunakan oleh semua orang sampai dengan saat ini. Pada awal kemunculaanya email memang dipergunakan sebagai sarana komunikasi untuk mempermudah komunikasi dalam jarak jauh sekalipun dibandingkan dengan surat biasa yang dipergunakan sebagai alat komunikasi pada zaman dahulu. Tapi sejalan dengan perkembangan zaman penggunaan surat elektronik pun mengalami pergeseran, kini surat elektronik (email) juga dapat dijadikan sebagai media kejahatan. Disamping itu juga dapat dijadikan sebagai alat bukti jika terjadi suatu kejahatan yang berkaitan dengan media elektronik khususnya komputer.

Berbicara mengenai sistem pembuktian dalam hukum acara pidana (KUHAP) alat-alat bukti yang adalah sangatlah terbatas dan tidak ada pengaturan mengenai alat bukti elektronik, kalaupun ada sifatnya terbatas dan belum dapat berdiri sendiri. Padahal pada kenyataannya saat ini banyak sekali kasus-kasus yang muncul baik itu yang menyangkut kejahatan yang ada pengaturannya dalam hukum pidana secara umum maupun kejahatan-kejahatan yang menyangkut dunia maya (cyber) secara khusus yang mempergunakan alat bukti elektronik sebagai salah satu alat bukti.


(19)

Inilah yang kemudian menjadi ketertarikan untuk mengangkat masalah surat elektronik (email) ini sebagai bahan dalam skripsi ini, untuk melihat secara lebih rinci bagaimana sebenarnya kedudukan surat elektronik (email) sebagai alat bukti elektronik baik itu yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Maupun yang diatur dalam berbagai Undang-undang khusus diluar KUHAP.

B.Permasalahan

Dari uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas maka dapat dirumuskan apa yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pembuktian tindak pidana menurut Kitab Undang-undang Acara Pidana (KUHAP)?

2. Bagaimanakah pengaturan mengenai kedudukan bukti surat elektronik (email) dalam hukum pidana di Indonesia?

C.Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dari skripsi ini dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pembuktian pidana menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b. Untuk mengetahui pengaturan mengenai kedudukan bukti surat elektronik (email) dalam hukum pidana di Indonesia.


(20)

Hasil penulisan dari skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi lingkungan akademis (teoritis), lingkungan peradilan dan lingkungan kehidupan secara praktis, yaitu:

a. Manfaat Teoritis

Dengan adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi konstribusi pemikiran dan dapat memberikan manfaat untuk memperkaya khazanah ilmu hukum, terkhusus hukum pidana, menambah perbendaharaan karya-karya ilmiah yang membahas tentang kedudukan surat elektronik (email) sebagai bukti dalam presfektif Hukum Acara Pidana Indonesia.

b. Manfaat Praktis

Diharapkan pula dengan adanya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat nantinya bagi aparat penegak hukum dalam upaya membuktikan kejahatan yang menjadikan surat elektronik (email) sebagai alat bukti, sehingga aparat penegak hukum dapat menciptakan suatu kebenaran materiil dalam upaya suatu pembaharuan Hukum Acara Pidana di Indonesia.

D.Keaslian Penulisan

Skripsi dengan judul “Kedudukan Bukti Surat Elektronik (email) Dari Presfektif Hukum Acara Pidana Indonesia”. Sepanjang pengetahuan penulis belum ada tulisan yang mengangkat mengenai kedudukan Bukti Surat Elektronik (email) Dari Presfektif Hukum Pidana Indonesia di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terbukti setelah diperiksa dibagian Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan Skripsi ini disusun berdasarkan literatur-literatur yang ada, baik melalui literatur-literatur yang


(21)

penulis peroleh dari perpustakaan dan media massa, media cetak, ataupun elektronik. Oleh karena itu penulisan ini adalah karya asli penulis. Apabila dikemudian hari ditemukan skripsi dengan judul skripsi yang sama dengan judul skripsi penulis maka penulis akan mempertanggung jawaban sepenuhnya skripsi penulis ini.

E.Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Hukum Acara Pidana

Dikaji dari persfektif dan praktik sistem peradilan pidana Indonesia, hukum acara pidana (hukum Pidana formal) yang lazim disebut dengan terminologi bahasa Belanda formeel strafrecht atau strafprocesrecht sangat penting eksistensinya guna menjamin, menegakkan dan mempertahankan hukum pidana material10

Menurut Simon, .

Ada beberapa pengertian dari hukum acara pidana yang dikemukakan oleh para ahli hukum, yakni diantaranya adalah:

11

10

Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik Dan

Permasalahannya , PT. Alumni, Bandung, hal. 1 11

Ibid

hukum acara pidana disebut juga hukum pidana formal, untuk membedakan dengan hukum pidana material. Hukum pidana material adalah hukum pidana berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana suatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang pemidanaan. Mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formal


(22)

mengatur bagaimana Negara dapat melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana.

Van Bemmelen mengatakan ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh Negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran Undang-undang pidana :12

a. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.

b. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap sipelaku kalau perlu menahannya.

c. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut.

d. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib.

e. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.

f. Akhirnya, melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu.

Wirjono Prodjodikoro memberikan batasan hukum acara pidana sebagai berikut;13

Jika suatu perbuatan dari seorang tertentu menurut peraturan hukum pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana, jika ternyata ada hak badan pemerintah yang bersangkutan untuk menuntut seorang guna mendapatkan hukuman pidana, timbullah cara, soal cara bagaimana hak

12

Mohammad Taufik Makarao, Suharsil, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan

Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 1-2 13


(23)

menuntut itu dapat dilaksanakan, cara bagaimana akan didapat suatu putusan pengadilan, cara bagaimana dan oleh siapa suatu putusan pengadilan, yang menjatuhkan suatu hukuman pidana harus dijalankan. S.M. Amin juga memberikan batasan mengenai hukum acara pidana sebagai berikut:14

De Bos Kemper menyebutkan bahwa hukum acara pidana adalah : Kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas sesuatu ketentuan hukum dalam hukum materiil, berarti memberikan kepada hukum acara ini, suatu hubungan yang mengabdi terhadap hukum materiil.

15

2. Pengertian Pembuktian

Sejumlah asas dan Peraturan undang yang mengatur bilamana Undang-undang pidana dilanggar, negara menggunakan haknya untuk memidana, menurut seminar hukum nasional ke-1 Tahun 1963, hukum acara pidana adalah norma hukum berwujud wewenang yang diberikan kepada Negara untuk bertindak apabila ada prasangka bahwasanya hukum pidana dilanggar.

Sudah menjadi pendapat umum bahwa membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim karena pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan cara-cara yang dibenarkan Undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat yang dibenarkan Undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang

14

S.M.Amin, 1971, Hukum Acara Pengadilan Negeri , Pradya Paramita, Jakarta, hal. 5

15


(24)

didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa. Dari Uraian Singkat diatas pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana antara lain: 16

1. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari data dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, dan penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan Undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan cara sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang. Terutama bagi majelis hakim harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan sidang. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan dalam keputusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Kalau tidak demikian, bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang yang tak bersalah mendapat ganjaran hukum. 2. Sehubungan dengan pengertian diatas, majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang diatur dalam Undang-undang secara limintatif sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.

16

Edmon Makarim, 2005, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 452


(25)

Menurut Pitlo, pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingan.17

Membuktikan menurut Van Bemmelen adalah kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang apakah hak itu sungguh-sungguh terjadi, apa sebabnya. Demikian halnya senada dengan hal tersebut Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan, membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.

Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu.

18

Sedangkan R.Subekti menyebutkan bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.19

Khusus untuk pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, bahwa seseorang yang melanggar hukum ketentuan pidana (KUHAP) atau Undang-undang Pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa, berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorang pun yang

17

Edmon Makarim, 2003, Kompilasi Hukum Telematika, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 417

18

Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang Money Laundering, Jakarta timur, cv.ayyccs group, hal. 119

19


(26)

tidak bersalah mendapat hukuman yang terlalu berat. Tetapi hukuman itu harus seimbang dengan kesalahannya.20

a. Keterangan saksi;

Dalam Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, mengenai alat bukti yang sah ditentukan meliputi:

b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa

Berdasarkan syarat diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu pembuktian haruslah dianggap tidak lengkap, jika keyakinan hakim didasarkan atas alat-alat bukti yang tidak dikenal dalam Undang-undang, atau atas alat bukti yang tidak mencukupi, umpamanya dengan keterangan hanya dari seorang saksi saja, ataupun karena keyakinan alat-alat bukti yang ada tidak ada. Hakim tidak boleh memperoleh keyakinan tersebut dari macam-macam keadaan yang diketahui di luar persidangan, tapi haruslah dari dalam persidangan.

3. Surat Elektronik (email)

Sur-el atau email, sudah diperkenalkan pertama kali pada Tahun 1960-an. Pada saat itu internet belum terbentuk sebagai jaringan. Mulai Tahun 1980-an, Surat elektronik (email) sudah biasa dinikmati oleh khalayak umum. Sekarang ini banyak perusahaan pos diberbagai Negara menurun penghasilannya disebabkan

20

Darwan prints, 1989, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta, hal. 105


(27)

masyarakat sudah tidak memakai jasa pos lagi dan beralih menggunakan surat elektronik (email).21 Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apa sebenarnya

email atau surat elektronik tersebut. Surat elektronik atau email didefinisikan

sebagai:22

“surat elektronik (disingkat ratel atau surel atau surat-e) atau pos elektronik (disingkat pos-e) atau nama umumnya dalam bahasa Inggris “e-mail

atau email” (ejaan Indonesia: imel) adalah sarana kirim menggirim surat melalui

jalur internet.

Electronic mail, E-mail: (computer science) a system of word-wide electronic communication in which a computer user can compuse a message at one terminal that can be regenerated at the recipient’s terminal when the recipient logs in) “ you can not send packages by electronic mail”

Dari defenisi diatas dapat dijelaskan bahwa e-mail atau surat elektronik dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah sistem komunikasi elektronik dimana penggunaan komputer dimanapun berada dapat menulis dan mengirimkan sebuah pesan pada satu terminal dengan penggunaan lain pada sistem terminal dengan sebuah jaringan global. Hanya memang syarat untuk dapat membaca email, maka penerima harus login dulu kedalam sebuah server email.

Dari definisi singkat Wikipedia mengatakan bahwa:

23

21

Atau dalam kamus istilah internet menyebutkan:

22

23


(28)

“e-mail atau electronic mail atau surat menyurat elektronik adalah sistem korespondensi secara elektronis antara satu komputer dengan komputer lain dengan memanfaatkan sistem jaringan komputer”

jadi secara sederhana surat elektronik merupakan penggantian surat biasa, hanya prasarana pengirimannya secara elektronik melalui internet.

Dalam hal ini yang menjadi kelebihan dari penggunaan email adalah sebagai berikut:24

1. Nyaman untuk mengirim surat tidak perlu ke kantor pos, cukup duduk didepan komputer yang terhubung internet dan diketik pesan lalu dikirim, pesan lalu dikirim ke alamat tujuan. Bahkan sekarang ini

e-mail bisa dikirim melalui media komunikasi, mobile seperti pusat dan

PDA (personal assistant data).

2. Cepat, hanya dengan hitungan detik e-mail dapat dikirim kebelahan dunia manapun.

3. Murah, biaya pengiriman relatif sangat murah dibandingkan personal telepon atau surat. Terutama jika mengirim surat atau interlokal ke luar daerah atau luar negri.

4. Hemat sumber daya, kita tidak perlu membeli kertas, pulpen, atau memboroskan tinta printer untuk digandakan lalu dikirimkan ke beberapa orang sekaligus yang tidak sedikit mengeluarkan biaya.

diakses pada 25 Maret 2011

24


(29)

Email adalah sarana kirim melalui jaringan internet. Email merupakan

salah satu proses pengiriman surat melalui internet dengan menggunakan waktu yang sangat singkat dan cepat (+-1 menit).

Dalam melakukan pengiriman email (mengirim surat melalui internet) juga harus ada syarat-syarat yang dipenuhi, Dimana diantaranya yakni:25

1. Membuat alamat email, contoh:

2. Mengetahui user dan password dari email; “Account dan kata sandi”. 3. Mengetahui e-mail yang dituju.

Dalam hal ini terdapat perbedaan antara email dengan surat biasa (surat yang menggunakan perangko), yakni:

Email

a. Hanya membutuhkan waktu yang sangat singkat (+- 1 menit). b. Alamat email (alamat email bukanlah seperti alamat rumah). c. Cukup adanya jaringan internet.

d. Keamanan data/surat terjamin (asalkan password tidak diketahui oleh orang lain).

Surat Biasa (Berperangko)

a. Dengan surat biasa umumnya pengiriman perlu membayar biaya perpengiriman (dengan membeli perangko).

b. Pengalamatan rumah atau kantor.

25


(30)

c. Membutuhkan waktu lama. d. Keamanan surat kurang terjamin.

Perbedaan lain antara email dengan surat biasa umumnya pengirim perlu membayar perpengiriman (dengan membeli perangko), tetapi surat elektronik umumnya biaya yang dikeluarkan adalah biaya untuk membayar sambungan internet. Tapi ada pengecualian, misalnya surat elektronik ke telepon genggam, kadang membayarnya ditagih perpengiriman.

Etika dalam surat elektronik sama dengan etika dalam menulis surat biasa. Ada surat elektronik yang isinya formal dan ada yang informal. Beberapa point penting dalam beremail, adalah:26

1. Jangan mengirim surat elektronik dengan lampiran (attatchment) yang terlalu besar (lebih dari 512 KB) tidak semua orang mempertanyakan akses internet yang cepat. Dan ada kemungkinan lampiran tersebut melebihi kapasitas surat elektronik menerima, sehingga akan ditolak

mailserver penerima.

2. Selain itu, perhatikan juga bahwa beberapa penyedia surat elektronik juga menerapkan batasan tentang jumlah, jenis, dan ukuran surat elektronik yang dapat diterima (dan dikirim) pengguna.

3. Jangan mengirim lanjut (forward) surat elektronik tanpa berfikir kegunaan bagi orang yang dituju.

4. Dalam mengutip tulisan orang lain, selalu usahakan mengutip seluruhnya tulisan orang itu.

26


(31)

a. Dalam menjawab surat elektronik orang lain, kutip bagian yang kita tanggapi saja, selain lebih jelas juga tidak memakan waktu/jalan akses penerima.

b. Dalam mengutip tulisan orang ketiga, ingat hak cipta: kutip sesedikit mungkin dan rujuk ketulisan aslinya.

5. Jangan menggunakan huruf kapital karena dapat menimbulkan kesan anda BERTERIAK.

6. Gunakan kata-kata dengan santun. Adakalnya sesuatu yang kita tulis akan terkesan berbeda dengan apa yang sebetulnya kita.

F. Metode Penelitian

Dalam pembahasan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan meliputi:

1. Spesifikasi Penelitian.

Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif. penelitian dilakukan terhadap Peraturan Perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang berhubungan untuk menyusun skripsi ini.

2. Data dan Sumber Data

Sebagaimana umumnya, penelitian normatif dilakukan dengan penelitian pustaka, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mempelajari bahan pustaka atau data skunder. Data skunder diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tertier.


(32)

a. Bahan hukum primer yakni bahan yang telah ada dan yang berhubungan dengan skripsi terdiri dari UUD’45 serta peraturan Perundang–undangan yang terkait dengan skripsi ini.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang diperoleh untuk mendukung dan berkaitan dengan bahan hukum primer yang berupa Rancangan Undang-undang, buku-buku, artikel, Koran, majalah dan pendapat para sarjana.

c. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus dan ensiklopedia yang relevan dengan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah penelitian kepustakaan (library research). Dalam hal penelitian dilakukan terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data sekunder yang meliputi Peraturan Perundang-undangan, buku, majalah, surat kabar, situs internet maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaann (library research) dan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif artinya semaksimal mungkin


(33)

memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.

G. Sistematika Penulisan.

Sistem penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bagian yang tersebut dengan bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri, namun masih ada konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Secara sistematis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 4 (empat) bab yang terperinci sebagai berikut;

BAB I. Pendahuluan

Bagian ini menggambarkan hal-hal yang bersifat umum tentang latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan skripsi, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang mengemukakan berbagai definisi, rumusan dan pengertian istilah yang terdapat dalam judul untuk memberi batasan dalam pemahaman mengenai istilah-istilah tersebut, metode penulisan dan terakhir diuraikan sistematika penulisan skripsi.

BAB II. Pembuktian Tindak Pidana Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Bagian ini menguraikan bagaimana teori atau sistem dari pembuktian suatu tindak pidana menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, apa saja alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana.

BAB III. Bukti Surat Elektronik (EMAIL) Dalam Pembuktian Pidana Menurut Beberapa Undang-undang di Indonesia


(34)

Bagian ini menguraikan perkembangan teknologi dan kaitannya dengan kejahatan menggunakan teknologi, bukti elektronik sebagai bukti dalam pembuktian tindak pidana keluar, dan bukti surat elektronik (email) sebagai bukti elektronik dalam pembuktian perkara pidana yang dikaitkan dengan beberapa Undang-undang.

BAB IV. Kesimpulan & Saran

Bagian ini menguraikan suatu kesimpulan dari pembahasan permasalahan yang dilanjutkan dengan memberi beberapa saran yang diharapkan akan berguna di dalam praktek.


(35)

BAB II

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

A.Teori atau Sistem Pembuktian Tindak Pidana Dalam Hukum Acara Pidana

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting dalam hukum acara pidana dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai dengan keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk itu maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal. Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem dan teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (Negara). Indonesia sama dengan Belanda dan Negara-negara Eropa Continental yang lain, menganut bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang diajukan dengan keyakinan sendiri dan bukan jury seperti Amerika Serikat dan Negara-negara Anglo Saxon.27

Pembuktian bersalah tidaknya seseorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dalam hal pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana

27


(36)

(KUHAP) atau Undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa, berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa sehingga tidak ada seseorang yang tidak bersalah mendapat hukuman, atau kalau memang ia bersalah jangan sampai mendapat hukuman yang terlalu berat, tetapi hukuman itu harus seimbang dengan kesalahannya.28

Dikaji secara umum “pembuktian” berasal dari kata “bukti” yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan membuktikan.29

a. Apakah hal yang tertentu itu sungguh-sungguh terjadi.

Menurut Van Bemmelen, membuktikan adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang :

b. Apa sebabnya demikian hal.

Senada dengan hal tersebut, Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.30

Menurut Pitlo, pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingan.31

28

Darwan Prints, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta, Djambatan, hal. 133

29

Lilik Mulyadi, Op.Cit. , hal. 159

30

Hari Sasangka, Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana Untuk

Mahasiswa dan Praktisi, Madar Maju, Bandung, hal. 11 31

Edmon Makarim, 2005, Op.cit, hal. 417

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang


(37)

keberadaan dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan.32

M.Yahya Harahap berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pembuktian ialah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat yang dibenarkan Undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.33 Sedangkan yang dimaksud dengan sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinan.34

32

R. Subekti, Op.Cit. , hal. 1

33

M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Hukum Edisi

Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 273 34

Hari Sasangka, Lili Rosita, Op.Cit. , hal. 12

Begitu pula dalam cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan Undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhkan, majelis hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus dibenarkan, jangan sampai kebenaran yang diwujudkan dalam putusan berdasar hasil perolehan dan penjabaran yang keluar dari garis yang dibenarkan sistem pembuktian, tidak berbau dan diwarnai oleh perasaan dan pendapat subjektif hakim.


(38)

Ada enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian dapat diuraikan sebagai berikut:35

1. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgonden); 2. Alat-alat bukti yang digunakan oleh hakim untuk mendapatkan

gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau

(bewijsmiddelen);

3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering);

4. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht);

5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh Undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast) dan;

6. Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum).

Hukum acara pidana sendiri menganggap pembuktian merupakan bagian yang sangat esenssial untuk menentukan nasib seorang terdakwa. Bersalah atau tidaknya seorang terdakwa sebagaimana yang didakwakan dalam surat dakwaan ditentukan pada proses pembuktiannya.36

35

Bambang Purnomo, 2004, Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, Liberti, Jogjakarta, hal. 39

36

Edmon Makarim, Op.cit. , hal. 457


(39)

Dalam hukum pembuktian dikenal istilah notoire feiten notorious

(generally knows) yang berarti setiap hal yang “sudah umum diketahui” tidak lagi

perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan.37 Hal ini tercantum dalam Pasal 184 ayat (2) yang berbunyi “hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan”. Menurut Yahya Harahap, mengenai pengertian hal yang secara umum sudah diketahui” ditinjau dari segi hukum, tiada lain daripada “perihal” atau “keadaan tertentu” atau omstandigheiden atau circumstances, yang sudah sedemikian mestinya atau kesimpulan atau resultan yang menimbulkan akibat yang pasti demikian.38

Pada dasarnya, aspek “pembuktian” ini sudah dimulai sebenarnya pada tahap penyelidikan perkara pidana. Dalam tahap penyidikan yakni tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, sehingga disini sudah ada tahap pembuktian. Begitu pula halnya dengan penyidikan yakni ditentukan adanya tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Oleh Karena itu dengan tolak ukur ketentuan Pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP, untuk dapat dilakukanya tindakan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, bermula dilakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga sejak tahap awal diperlukan adanya pembuktian dan alat-alat bukti. Kongkretnya “pembuktian” berawal dari penyelidikan dan berakhir di depan sidang pengadilan baik ditingkat Pengadilan

37

M. Yahya Harahap, Op.cit. , hal. 255

38


(40)

Negeri atau Pengadilan Tinggi jikalau perkara tersebut dilakukan dengan upaya banding39

Proses “pembuktian” hakikatnya memang lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiel akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. Pada proses pembuktian ini, ada kolerasi dan interaksi mengenai apa yang akan diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran materiel melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian terhadap aspek-aspek sebagai berikut :

40

1. Perbuatan-perbuatan manakah yang dianggap terbukti menurut pemeriksaan persidangan?

2. Apakah telah terbukti bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya?

3. Tindak pidana apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu?

4. Hukuman apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa bukan pekerjaan mudah?

Dalam persidangan hal-hal tersebut diatas dapat menimbulkan tiga (3) kemungkinan putusan hakim atau majelis hakim, yaitu sebagai berikut :

1. Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan tidak meyakinkan, terdakwa diputus bebas; 39

Lilik Muyladi, Op.cit. , hal. 160

40 Ibid.


(41)

2. Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum; 3. Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang

bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti secara sah dan meyakinkan, terdakwa diputus pidana.

Dalam perkembangannya ilmu pengetahuan hukum mengenal ada empat (4) sistem pembuktian yang secara lebih lanjut akan dibahas pada sub bab ini, yakni :

1. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka (conviction in time) Sistem pembuktian conviction in time ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini mengandung kelemahan, karena hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukanya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap,


(42)

selama hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa. Sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim.

Menurut Andi Hamzah, sistem ini dianut oleh peradilan jury di Prancis. Praktek peradilan jury di Prancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan bebas yang sangat aneh, sedang menurut Wirjono Prodjodikoro mengatakan, pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada Pengadilan distrik dan Pengadilan kabupaten, Sistem ini memungkinkan hakim menyebutkan apa saja yang menjadi dasar keyakinanya, misalnya keterangan medium atau dukun.41

2. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan logis (conviction raisonnee/convictim-raisonnee)

Dalam sistem ini pun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim ”dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian convictim in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem convictim-raisonnee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal. Tidak semata-mata dasar keyakinan tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.42

41

Mohammad Taufik Makarao, Suhasril, Op.cit. , hal. 103-104

42 Ibid

Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas menyebutkan alasan-alasan keyakinanya (vrije


(43)

keyakinan hakim sampai batas tertentu ini pecah kedua jurusan. Yang

pertama yang tersebut diatas yaitu pembuktian berdasarkan keyakinan hakim

atas alasan yang logis (conviction raisonee) dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif (negatief wettelijk

bewijstheorie).

Persamaan antara keduannya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaanya bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada Undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan. Sedangkan kedua berpangkal pada tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limintatif oleh Undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perbedaannya ada dua, yaitu yang pertama pangkal tolaknya pada keyakiinan hakim, sedangkan yang kedua pada ketentuan Undang-undang. Kemudian pada yang pertama dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak didasarkan Undang-undang, sedangkan pada yang kedua didasarkan kepada Undang-undang yang disebut secara limintatif.43 3. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif

43


(44)

Pembuktian menurut Undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau

conviction in time.44

44

Edmon Makarim, Op.cit. , hal. 454

Disebut demikian karena hanya didasarkan kepada Undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie).

Menurut D.Simons, sebagaimana dikutip Andi Hamzah, sistem atau teori berdasarkan pembuktian Undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut Peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitoir (inquisitoir) dalam acara pidana.

M.Yahya Harahap mengatakan, sistem pembuktian Undang-undang secara positif lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut Undang-undang lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum, artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan Undang-undang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasarkan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-undang.


(45)

Menurut Wirjono Prodjodikoro, teori ini tidak mendapat penganut lagi. Beliau juga menolak teori pembuktian ini, karena bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinanya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali sesuai dengan keyakinan masyarakat.45

4. Sistem pembuktian Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk

stelsel)

Pada prinsipnya, sistem pembuktian menurut Undang-undang negatif (negatief

wettlijke bewijs theorie) menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan

pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limintatif ditentukan oleh Undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensi alat-alat bukti tersebut. Dari aspek historis ternyata sistem pembuktian menurut Undang-undang secara negatif, hakikatnya merupakan “peramuan” antara sistem pembuktian menurut Undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie) dan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (conviction intim/conviction raisonce). Dengan peramuan ini, substansi sistem pembuktian menurut Undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie) tentulah melekat adanya anasir prosedural dan tata pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti sebagaimana limintatif ditentukan Undang-undang dan terhadap alat-alat bukti tersebut hakim baik secara materiel maupun secara prosedural.46

45

Mohammad Taufik Makarao, Surhasril, Op.cit. , hal. 104-105

46


(46)

D. Simon mengemukakan, dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan Undang-undang secara negatif (negatief wettlijke bewijs theorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en

grondslag), yaitu pada peraturan Perundang-undangan dan pada keyakinan

hakim, dan menurut Undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan Undang-undang

Wirjono Prodjodikoro berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif (negatief wettlijke bewijs theorie) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua adalah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan.

M.Yahya Harahap berpendapat lain, sistem pembuktian ini dalam praktek penegakan hukum akan lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut Undang-undang secara positif. Sedangkan mengenai keyakinan hakim, hanya bersifat unsure pelengkap dan lebih berwarna sebagai unsure

formil dalam model putusan. Unsur keyakinan hakim dalam praktek dapat saja

dikesampingkan apabila keyakinan itu tidak dilandasi oleh pembuktian yang cukup. Sekalipun hakim yakin dengan seyakin-yakinnya akan kesalahan terdakwa, keyakinan itu dapat saja dianggap tidak mempunyai nilai jika tidak


(47)

dibarengi dengan pembuktian yang cukup. Sebaliknya, seandainya kesalahan terdakwa telah terbukti dengan cukup, dan hakim lalai mencantumkan keyakinanya, kealpaan itu tidak mengakibatkan batalnya putusan.

Hal lain berkaitan dengan keyakinan hakim ini adalah seperti apa disebutkan dalam Pasal 158 KUHAP, hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.47

B. Sistem Pembuktian Yang Dianut KUHAP

Setelah sebelumnya dijelaskan beberapa teori dan sistem pembuktian yang ada dalam hukum acara pidana, maka pada bagian ini coba dikaji sistem pembuktian mana yang sebenarnya diatur dan dianut oleh KUHAP. Sistem pembuktian manakah diantara salah satu sistem dan teori pembuktian yang ada diatas tersebut yang diatur didalam KUHAP?. Jawaban dari pernyataan tersebut dijabarkan dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya”

Jika dibandingkan bunyi Pasal 183 KUHAP dengan Pasal 294 HIR, hampir bersamaan bunyi dan maksud yang terkandung didalamnya yang berbunyi:

“tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorang pun jika hakim tidak yakin kesalahan terdakwa dengan upaya bukti menurut Undang-undang bahwa benar telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa tertuduhlah yang salah melakukan perbuatan itu”48

47

Mohammad Taufik Makarao, Suhasril, Op.cit. , hal. 106

48


(48)

Sebenarnya sebelum diberlakukanya KUHAP, ketentuan yang sama telah berlaku dalam Undang-undang Pokok Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUPKK) Pasal 6 yang berbunyi:

“Tiada seorang pun juga dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”

Kelemahan rumusan Undang-undang ini ialah disebutkan alat pembuktian, bukan alat-alat pembuktian, seperti dalam Pasal 183 KUHAP disebut dua alat bukti.49

Dari bunyi pasal tersebut, baik yang termuat pada Pasal 183 KUHAP maupun yang dirumuskan dalam Pasal 294 HIR, sama-sama menganut sistem “pembuktian menurut Undang-undang secara negatif” perbedaan antara keduanya, hanya terletak pada penekananya saja. Pada Pasal 183 KUHAP syarat, “Pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah”. Lebih ditekankan dalam perumusannya. Hal ini dapat dibaca dalam kalimat: ketentuan pembuktian yang memadai untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa “sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah”. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana pada seorang terdakwa, harus:50

a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”.

49 Andi Hamzah, Op.cit. , hal. 263

50


(49)

b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya.

Untuk menjajaki alasan pembuat Undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP, barangkali ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan kepastian hukum”. Pendapat ini dapat diambil dari makna penjelasan Pasal 183 KUHAP. Dari penjelasan Pasal 183 pembuat Undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia ialah sistem pembuktian menurut Undang-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum. Karena dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara sistem

conviction-in time dengan sistem pembuktian menurut Undang-undang secara

positif (positief wettenlijk stelse).51

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, bahwa sistem yang dipertahankan oleh Indonesia sampai sekarang dalam KUHAP adalah sistem pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif (negative

wettenlijk), oleh karena adanya dua alasan penting, yakni: pertama memang sudah

selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana. Janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada

51


(50)

patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.52

Jika direnungkan lebih jauh, sangat berbahaya dan sangat dekat dengan kesewenangan-wenangan seandainya penilaian kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan oleh keyakinan seperti yang dianut sistem pembuktian conviction-in

time, sebab keyakinan itu bersifat abstrak dan tersembunyi secara subjektif, dan

sulit mengujinya dengan cara dan ukuran objektif. Oleh karena itu, sistem pembuktian menurut keyakinan hakim semata-mata, mempunyai tendensi kecenderungan untuk menyerahkan sepenuhnya penentuan salah atau tidaknya terdakwa kepada penilaian subjektif hakim. Sedangkan masalah subjektif seorang manusia, sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan yang bersangkutan. Setiap manusia memiliki sikap keyakinan yang berbeda sehingga akan dikhawatirkan praktek penegakan hukum yang berbeda dan beragama dalam pemidanaan. Akan tetapi, sebaliknya jika pemidanaan terdakwa semata-mata digantungkan kepada ketentuan cara dan menurut alat-alat bukti yang sah tanpa didukung keyakinan hakim, kebenaran, dan keadilan yang diwujudkan dalam upaya penegakan hukum, sedikit banyak agak jauh dari kebenaran sejati, karena hanya mengejar dan mewujudkan kebenaran formal belaka, dan dapat menumbulkan tekanan batin kepada hakim karena menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa yang diyakininya tidak benar-benar bersalah.53

C. Alat-alat Bukti yang Diatur Dalam KUHAP

52

Andi Hamzah, Op.cit. , hal. 253

53


(51)

Setelah pada bagian sebelumya dijelaskan mengenai bagaimana tentang sistem atau teori dari suatu pembuktian dan apa saja sistem pembuktian yang diatur oleh KUHAP, maka pada bagian ini akan dipaparkan bagaimana pengaturan alat bukti yang diatur dalam KUHAP.

Sebagaimana yang diuraikan terdahulu, Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limintatif alat bukti yang sah menurut Undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum. Terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti yang ditentukan.54

Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.55

Pada dasarnya perihal alat-alat bukti diatur sebagaimana dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Oleh karena itu apabila ditelaah secara global proses mendapatkan kebenaran materiel (materieele waarheid) dalam perkara pidana alat-alat bukti memegang peranan sentral dan menentukan. Oleh, karena itu secara teoritis dan praktik suatu alat bukti haruslah dipergunakan dan diberi penilaian

54

Ibid, hal. 285

55


(52)

secara cermat, agar tercapai kebenaran sejati sekaligus tanpa mengabaikan hak asasi terdakwa. 56

a. Keterangan saksi

Dalam hal ini adapun yang menjadi alat-alat bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP , adalah sebagai berikut:

b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa57

Sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1), Undang-undang menentukan lima jenis alat bukti yang sah. Di luar ini, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Jika ketentuan Pasal 183 dihubungkan dengan jenis alat bukti itu terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman pidana, apabila kesalahan dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua (2) jenis alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1). Kalau begitu, minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa “sekurang-kurangnya” atau “paling sedikit” dibuktikan dengan “dua”alat bukti yang sah.

a. Keterangan Saksi

Perihal batasan keterangan saksi secara eksplisit Pasal 1 angka 27 KUHAP menentukan, bahwa:

“Keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

56

Lilik Mulyadi, Op.cit. , hal. 99

57 Ibid


(53)

dengar sendiri, ia liat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”

Sedangkan menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti, bahwa :

“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”

Berdasarkan pengertian diatas jelaslah bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh saksi.58

Melalui kajian teoritis dan praktik dapat dikonklusikan bahwa menjadi seorang saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang. Apabila seseorang dipanggil menjadi saksi akan tetapi menolak/tidak mau hadir di depan persidangan, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan (Pasal 159 ayat (2) KUHAP). Dengan demikian asasnya setiap orang yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri suatu peristiwa dapat di dengar sebagai saksi (Pasal 1 angka 26 KUHAP), akan tetapi dalam hal eksploitasi

58


(54)

sifatnya seseorang tidak dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi:

“Kecuali ketentuan lain dalam Undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang sama-sama sebagai terdakwa,

saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubugan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Terhadap ketentuan Pasal 168 huruf a KUHAP agar lebih jelas, mudah dimengerti dan terang tentang hubungan keluarga sedarah (bloeverwanschap) dan keluarga semenda (aanverwantschap) dalam garis lurus ketas atau kebawah sampai derajat ketiga dapat dikemukakan dalam bagan berikut:

Bagan Hubungan Keluarga Sedarah59 A♂ ♀B

C♂ ♀D E♂ F♀

G♂ H♀

Keterangan:

Jika A dan B, C dan D, E dan F adalah suami istri, maka : C dan E merupakan anak A dan B

D dan F adalah anak C dan D G adalah anak menantu C dan D H adalah anak E dan F

59


(55)

Sedangkan derajat kekeluargaannya adalah A dan B dengan C/E adalah derajat Kesatu

A dan B dengan D/F adalah derajat kesatu (semenda) A dan B dengan G/H adalah derajat kedua

C dengan E adalah derajat Kedua

C dengan F adalah derajat kedua (semenda) E dengan D adalah derajat kedua (semenda) C dengan H adalah derajat ketiga

E dan G adalah derajat ketiga

G dengan H adalah derajat keempat60

Bagan Menghitung Derajat Kekeluargaan

Jadi, cara mengitung derajat kekeluargaan haruslah dengan menarik garis sentral sesuai dengan bagan berikut:

61

A Bapak

2 3

C E Anak

1

G H Cucu

Namun, dalam bagan demikian dapat disimpulkan antara keponakan dengan paman/bibik tidak diperkenankan menjadi saksi, tetapi antara keponakan dengan anak paman atau bibik (sepupu sekali) sudah boleh menjadi saksi. Akan tetapi, ketentuan Pasal 168 KUHAP ternyata dapat disimpangi berdasarkan Pasal 169 KUHAP sehingga apabila mereka sebagaimana ketentuan Pasal 168 KUHAP mengendakinya dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas menyetujui dapat

60

Ibid, hal. 100 61


(56)

memberi keterangan di bawah sumpah (Pasal 169 ayat (1) KUHAP) dan tanpa persetujuan mereka diperbolehkan memberi keterangan tanpa sumpah (Pasal 169 ayat (2) KUHAP).62

Disamping karena hubungan keluarga atau semenda, juga ditentukan oleh pasal 170 KUHAP bahwa mereka karena pekerjaan, harkat, martabat atau jabatan diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan saksi. Contoh orang yang harus menyimpan rahasia jabatan misalnya seorang Dokter yang harus merahasiakan penyakit yang diderita pasiennya. Sedangkan yang dimaksud karena martabatnya dapat mengundurkan diri adalah mengenai hal yang dipercayakan kepada mereka, misalnya Pastor agama Khatolik Roma yang berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut. Menurut Pasal 170 KUHAP di atas mengatakan “dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi ..” maka berarti apabila mereka bersedia menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim “oleh karena itu, kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif.63

Dalam hal menjadi seorang saksi yang keteranganya diperlukan di muka Pengadilan maka ada syarat-syarat yang harus di penuhi oleh seorang saksi, yakni diantaranya :64

1. Syarat formal

62

Ibid, hal. 101 63

Andi Hamzah, Op.cit. , hal. 285

64


(57)

Bahwa dalam syarat formal ini keterangan saksi harus diberikan dengan di bawah sumpah/janji menurut cara agamanya masing-masing bahwa akan memberi keterangan sebenarnya dan tidak lain dari apa yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP).

Dalam hal mengucapkan sumpah atau janji menurut ketentuan Pasal 160 ayat 3, sebelum saksi memberi keterangan “wajib mengucapkan” sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji :65

a. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing.

b. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberi keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya.

Dalam Pasal 161 ayat (2) menunjukkan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak:

“keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim”

Ini tidak berarti merupakan kesaksian menurut Undang-undang, bahkan juga tidak merupakan petunjuk, karena hanya dapat memperkuat keyakinan hakim.

2. Syarat materiel

Mengenai syarat ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 27 Jo Pasal 85 ayat (1) KUHAP dimana ditentukan bahwa:

“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,

65


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Seperti yang diketahui pembuktian merupakan salah satu bagian yang penting dalam proses penyelesaian pekara tindak pidana karena hal inilah yang nantinya akan mempengaruhi putusan hakim dalam menjatuhkan vonis kepada seorang terdakwa, dalam hal pembuktian tindak pidana dikenal ada empat (4) sistem pembuktian tindak pidana, diantaranya adalah sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka (conviction in time), sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonnee/convictim-raisonnee), sistem pembuktian berdasarkan Undang-undang secara positif, dan sistem pembuktian Undang-Undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel). Dari keempat (4) sistem pembuktian tersebut, sistem pembuktian yang dianut dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut Undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel), dimana hal ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Selain itu hal yang juga perlu untuk diketahui dalam pembuktian suatu perkara tindak pidana adalah mengenai alat bukti yang digunakan karena ini juga merupakan suatu bagian yang penting, dalam KUHAP khususya Pasal 184 ayat 1 dijelaskan bahwa alat-alat bukti yang ada dan digunakan keberadaanya di Indonesia sebagai alat bukti adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa selain dari pada itu keberadaannya sebagai alat bukti belum diakui.


(2)

2. Surat elektronik (email) merupakan bagian dari dokumen elektronik. Email dalam penggunaannya dikirim, diterima, dan disimpan secara elektronik. Seiring dengan perkembangan zaman dan keberadaan teknologi yang semakin canggih, email sebagai bagian dari dokumen elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti elektronik. Kedudukan email sendiri sebagai alat bukti memang sama sekali tidak ada diatur dalam KUHAP, karena KUHAP hanya mengakui alat bukti yang diatur dalam pasal 184 saja. Tetapi saat ini email juga sudah mulai dapat dijadikan sebagai alat bukti, jika dilihat dari kelima (5) alat bukti yang diatur dalam pasal 184 email bisa dikatakan masuk dalam kategori alat bukti surat seperti dalam pasal 187 KUHAP yaitu surat lain. Selain itu keberadaan email sebagai alat bukti juga semakin diperhitungkan sebagai alat bukti yang sah. Dimana pengaturannya dimuat dibeberapa Undang-undang khusus di luar KUHAP, seperti dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dimana Undang-undang tersebut mengakui email sebagai bagian dari dokumen elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti. Akan tetapi adakalannya memang kedudukan email sebagai alat bukti tidak dapat berdiri


(3)

sendiri, artinnya bahwa untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti maka email tersebut harus berhubungan dengan isinnya atau dengan kata lain dalam prosesnya email tersebut harus didukung atau ditopang dengan keberadaan alat bukti lain, misalnya didukung dengan keterangan saksi.

B. Saran

Adapun saran-saran yang menjadi usulan dari penulis atas dasar pemikiran yang didapat selama mengerjakan skirpsi ini adalah sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan forum-forum pertukaran pengetahuan dan pengalaman antara pakar teknologi informasi, Aparat penegak hukum, dan para teknisi/professional yang bekerja di bidang teknologi informasi, yang tujuannya untuk mengetahui lebih mendalam perkembangan teknologi dan perkembangan kejahatan-kejahatan yang kemungkinan menggunakan email sebagai sarana melakukan kejahatan maupun menjadikan email sebagai alat bukti, untuk mengetahui secara semakin jelas bagaimana kedudukan email sebagai alat bukti dala hukum pidana khususnya.

2. Perkembangan zaman yang semakin maju dan teknologi yang semakin berkembang disegala bidang saat ini tidak dapat dibendung lagi. Dimana perkembangan-perkembangan itu tentunya mempengaruhi pola dan kegiatan manusia. Tidak terkecuali hukum, hukum juga memang harus semakin berkembang. Oleh sebab itu sudah saatnyalah bahwa diperlukan suatu perangkat hukum yang dapat mengikuti perkembangan zaman. Disinilah tugas dari eksekutif untuk segera mengesahkan RUU KUHAP


(4)

yang baru, sehingga hukum Indonesia tidak lagi berpatokan pada Hukum Belanda.

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku-buku

Amin S,M, 1971, Hukum Acara Pengadilan Negri, Pradya Paramita, Jakarta. Arsyad Sanusi, M, 2005, Hukum dan Teknologi Informasi, Tim kemas Buku,

Jakarta.

Ary Syam Indriadi, Ade, 2006, Carding Modus Operandi, Penyidikan, dan Penindakan, pensil-324, Jakarta.

Hamzah, Andi, 2005, Aspek-aspek Pidana Dibidang Komputer, Sinar Grafika, Jakarta.

---, 2005, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Harahap, M. Yahya, 2006, Pembahasan, Penerapan, dan Penerapan Hukum Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

---, 2002, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.

Irman TB, S, 2006, Hukum Pembuktian Pencucian Uang Money Laundering, CV.AYYCCS Group, Jakarta Timur.

Krisnawati, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta.

Makarao Taufik, Mohammad, 2004, Suharsil, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta.

M. Ramli, Ahmad, 2004, Cyber Law dan HAKI, Refika Aditama, Bandung.

Makarim, Edmon, 2003, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta.


(5)

---, 2005, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, PT. Rajagrafindopersada, Jakarta.

Mansur, Dikdik M Arief dan Elisatri Gultom, Cyber law: Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung: Refika Aditama, 2005.

Mulyadi, Lilik, 2007, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan Permasalahannya, PT. Alumni, Bandung.

Panjaitan IP, Hinca, 2005, membangun Cyber Law Indonesia Yang Demikratis, IMPLC, Jakarta.

Prints, Darwan, 1998, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, Penerbit Djambatan, Jakarta.

Purnomo, Bambang, 2004, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, Liberti, Jogjakarta.

Raharjo, Agus, 2002, Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Citra Aditya Bakti, Jakarta.

Sasangka, Hari dan Lili Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana Untuk Mahasiswa dan Praktisi, Madar Maju, Bandung.

Sitompul, Arsil, 2001, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalh Hukum diCyberspace, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Subekti, R, 2001, Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta.

B. Undang-undang

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik


(6)

C. Jurnal

Setiadi, “Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Internet Banking” Jurnal Hukum teknologi, Volume II, Nomor 1, 2005

D. Internet

Internet”

perkembangan.html

oleh ITC “alat bukti elektronik masih dipertanyakan”

http://www.menpan.go.id/index.php/artikel-index/136-e-mail-sebagai-alat-bukti persidangan