dibarengi dengan pembuktian yang cukup. Sebaliknya, seandainya kesalahan terdakwa telah terbukti dengan cukup, dan hakim lalai mencantumkan
keyakinanya, kealpaan itu tidak mengakibatkan batalnya putusan. Hal lain berkaitan dengan keyakinan hakim ini adalah seperti apa disebutkan
dalam Pasal 158 KUHAP, hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau
tidaknya terdakwa.
47
B. Sistem Pembuktian Yang Dianut KUHAP
Setelah sebelumnya dijelaskan beberapa teori dan sistem pembuktian yang ada dalam hukum acara pidana, maka pada bagian ini coba dikaji sistem
pembuktian mana yang sebenarnya diatur dan dianut oleh KUHAP. Sistem pembuktian manakah diantara salah satu sistem dan teori pembuktian yang ada
diatas tersebut yang diatur didalam KUHAP?. Jawaban dari pernyataan tersebut
dijabarkan dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya”
Jika dibandingkan bunyi Pasal 183 KUHAP dengan Pasal 294 HIR,
hampir bersamaan bunyi dan maksud yang terkandung didalamnya yang berbunyi: “tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorang pun jika hakim tidak
yakin kesalahan terdakwa dengan upaya bukti menurut Undang-undang bahwa benar telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa tertuduhlah yang
salah melakukan perbuatan itu”
48
47
Mohammad Taufik Makarao, Suhasril, Op.cit. , hal. 106
48
M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 280
Universitas Sumatera Utara
Sebenarnya sebelum diberlakukanya KUHAP, ketentuan yang sama telah berlaku dalam Undang-undang Pokok Tentang Kekuasaan Kehakiman UUPKK
Pasal 6 yang berbunyi: “Tiada seorang pun juga dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan
karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah
bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya” Kelemahan rumusan Undang-undang ini ialah disebutkan alat pembuktian,
bukan alat-alat pembuktian, seperti dalam Pasal 183 KUHAP disebut dua alat bukti.
49
Dari bunyi pasal tersebut, baik yang termuat pada Pasal 183 KUHAP maupun yang dirumuskan dalam Pasal 294 HIR, sama-sama menganut sistem
“pembuktian menurut Undang-undang secara negatif” perbedaan antara keduanya, hanya terletak pada penekananya saja. Pada Pasal 183 KUHAP syarat,
“Pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah”. Lebih ditekankan dalam perumusannya. Hal ini dapat dibaca dalam kalimat: ketentuan pembuktian yang
memadai untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa “sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah”. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP
mengatur untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana pada seorang terdakwa, harus:
50
a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang
sah”.
49
Andi Hamzah, Op.cit. , hal. 263
50
M. Yahya Harahap, Loc. cit
Universitas Sumatera Utara
b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah, hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya.
Untuk menjajaki alasan pembuat Undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP, barangkali ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang
seminimal mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan kepastian hukum”. Pendapat ini dapat diambil dari makna penjelasan
Pasal 183 KUHAP. Dari penjelasan Pasal 183 pembuat Undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan
penegakan hukum di Indonesia ialah sistem pembuktian menurut Undang-undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum. Karena
dalam sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara sistem conviction-in time dengan sistem pembuktian menurut Undang-undang secara
positif positief wettenlijk stelse.
51
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, bahwa sistem yang dipertahankan oleh Indonesia sampai sekarang dalam KUHAP adalah
sistem pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif negative wettenlijk, oleh karena adanya dua alasan penting, yakni: pertama memang sudah
selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana. Janganlah hakim terpaksa memidana orang
sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada
51
Ibid
Universitas Sumatera Utara
patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.
52
Jika direnungkan lebih jauh, sangat berbahaya dan sangat dekat dengan kesewenangan-wenangan seandainya penilaian kesalahan terdakwa semata-mata
ditentukan oleh keyakinan seperti yang dianut sistem pembuktian conviction-in time, sebab keyakinan itu bersifat abstrak dan tersembunyi secara subjektif, dan
sulit mengujinya dengan cara dan ukuran objektif. Oleh karena itu, sistem pembuktian menurut keyakinan hakim semata-mata, mempunyai tendensi
kecenderungan untuk menyerahkan sepenuhnya penentuan salah atau tidaknya terdakwa kepada penilaian subjektif hakim. Sedangkan masalah subjektif seorang
manusia, sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan yang bersangkutan. Setiap manusia memiliki sikap keyakinan yang berbeda sehingga akan
dikhawatirkan praktek penegakan hukum yang berbeda dan beragama dalam pemidanaan. Akan tetapi, sebaliknya jika pemidanaan terdakwa semata-mata
digantungkan kepada ketentuan cara dan menurut alat-alat bukti yang sah tanpa didukung keyakinan hakim, kebenaran, dan keadilan yang diwujudkan dalam
upaya penegakan hukum, sedikit banyak agak jauh dari kebenaran sejati, karena hanya mengejar dan mewujudkan kebenaran formal belaka, dan dapat
menumbulkan tekanan batin kepada hakim karena menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa yang diyakininya tidak benar-benar bersalah.
53
C. Alat-alat Bukti yang Diatur Dalam KUHAP