the Economic Development 1994, The Future of Economics; an Islamic Perspective 2000
2. Pembangunan Ekonomi
Pembangunan Ekonomi dalam Islam harus selaras dengan tujuan-tujuan syari’ah, yakni komitmen Islam yang mendalam terhadap persaudaraan dan
keadilan menyebabkan konsep kesejahteraan falah bagi semua umat manusia sebagai suatu tujuan pokok Islam. Kesejahteraan ini meliputi kepuasan fisik sebab
kedamaian mental dan kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui realisasi yang seimbang antara kebutuhan materi dan rohani dari personalitas manusia. Karena
itu, memaksimumkan output total semata-mata tidak menjadi tujuan dari sebuah masyarakat muslim. Memaksimumkan output, harus dibarengi dengan menjamin
usaha-usaha yang ditujukan kepada kesehatan rohani yang terletak pada batin manusia, keadilan, serta permainan yang fair pada semua peringkat interaksi
manusia. Hanya pembangunan semacam inilah yang akan selaras dengan tujuan- tujuan syari’ah maqasid asy-syari’ah.
97
Pengaktifan zakat dan sistem warisan Islam adalah tindakan-tindakan untuk mereduksi kesenjangan pendapatan dan kekayaan akan lebih berhasil jika
diperkuat dengan pengaktifan sistem Islam tentang zakat dan warisan. Islam memerintahkan setiap muslim yang mempunyai kelebihan tertentu untuk
membayar zakat sebagai proposi tertentu dari nilai bersih kekayaan atau hasil
97
M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Pembangunan Ekonomi Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Institute, 2000, h. 7.
pertanian yang dibagikan kepada fakir miskin. Sistem swasembada sosial ini, disamping berbagai upaya pembiayaan sendiri yang lain, dibentuk dimasyarakat
modern untuk menyediakan perlindungan jaminan sosial bagi penganggur, kecelakaan, tunjangan hari tua, dan kesehatan.
Zakat yang arti literalnya adalah penyucian thaharah, pertumbuhan nama’, keberkatan, barokah, pujian madh, secara teknik pada hakikatnya adalah
kewajiban finansial seorang muslim untuk membayar sebagian kekayaan bersihnya atau hasil-hasil pertanian, jika kekayaan tersebut melebihi batas nisbah suatu kadar
tertetu sebagai dari kewajiban keagamaan yang harus ditunaikan. Ia merupakan salah satu rukun Islam dan merefleksikan tekad untuk menyucikan masyarakat dari
penyakit kemiskinan, harta benda orang-orang kaya, dan pelanggaran terhadap aaran-ajaran Islam yang terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
pokok bagi setiap orang.
98
Program bantu diri sosial yang diwakili zakat tidak seperti kewajiban sipil membayar pajak. Ia merupakan kewajiban agama yang secara mutlak mengikat
dan diwajibkan oleh pencipta itu sendiri dan harus dibayarkan dari kekayaan yang telah Allah berikan karena keutamaan-Nya sebagai amanah yang harus dinikmati
bersama-sama dengan mereka yang kurang beruntung.
99
Pembagian harta warisan menurut syariat Islam, juga membantu mengurangi kemencengan distribusi kekayaan. Jika perlu, pemberlakuan undang-undang
98
M. Umer Chapra, Islam and The Economic Challange, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Tantangan Ekonomi, Gema Insani Press dan Tazkia Institute, 2000, hal. 271.
99
Ibid, h,. 271
warisan dapat ditegakkan dalam suatu cara yang tidak menyebabkan peningkatan konsumsi yang tidak penting, tetapi meningkatkan investasi dan pengembangan
kepemilikan sarana-sarana produksi.
100
Tak seorangpun dapat menjauhkan pewaris syar’i, kecuali bila ia murtad atau bersalah membunuh yang diwarisi. Disamping itu tak seorangpun dapat menerima
warisan lebih dari sepertiga kekayaan. Sepertiga kekayaan ini harus diperuntukkan bagi tujuan-tujuan kebajikan atau untuk orang-orang yang tidak memiliki saham
warisan. Kedua orang tua yang masuh hidup mendapatkan saham yang ditentukan. Hal ini tidak saja menjamin kesejahteraan mereka, melainkan juga memungkinkan
terciptanya ditribusi saham orang tua kepada saudara dan saudari setelah kematian orang tua sehingga menimbulkan kekayaan yang lebih merata.
101
Pengembangan industri kecil dan mikro dipedesaan dan perkotaan akan memilki banyak keuntungan, disamping mengurangi konsentrasi kekayaan dan
kekuasaan. Keadaan akan lebih kondusif karena kepemilikan disini cenderung menambah rasa kebebasan, juga mendorong pemilik bisnis untuk melakukan
inovasi dan bekerja lebih keras meraih keberhasilan bisnisnya. Juga akan menciptakan suatu iklim yang lebih besar dan memperluas kesempatan kerja
dengan laju yang lebih cepat.
102
100
M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Pembangunan Ekonomi,h. 109
101
M. Umer Chapra, Islam and The Economic Challange, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Tantangan Ekonomi,h. 275
102
M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Pembangunan Ekonomi,h. 107.
Bagaimana manggalakkan pengembangan industri kecil mikro di seluruh negeri? Pertama, harus ada suatu perubahan gaya hidup yang jauh dari simbol-
simbol status yang diimpor dan menggantikannya dengan gaya sederhana dengan memanfaatkan produk-produk dalam negeri yang memenuhi keperluan pokok dan
yang memanfaatkan tenaga kerja lebih banyak. Kedua, harus ada perubahan dalam siakp resmi dan kebijakan terhadap industri kecil mikro sedemikian rupa sehingga
mereka tidak dipinggirkan, tetapi harus digalakkan dan dibantu untuk merealisasikan sepenuhnya potensi mereka yang kaya. Ketiga, mereka harus
diberdayakan, dengan memberikan bantuan yang diperlukan seperti input yang baik, teknologi tepat guna dan pemasaran efektif. Keempat, diberdayakan untuk
meningkatkan keterampilan dengan memberikan fasilitas pelatihan.
103
Melaksanakan konsep ekonomi yang bersifat kekeluargaan seperti muyarakah, mudharabah dengan mendorong gerakan finansial Islam seperti
pendirian bank-bank Islam yang anti riba. Konsep persaudaraan brotherhood yang kehadirannya di muka bumi secara keseluruhan hanyalah untuk mengabdi
kepada Allah, bahwa antara manusia itu terjalin persamaan dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi saling membantu dan bekerja-sama dalam ekonomi.
Memang yang bisa memahami asas kekeluargaan adalah mereka yang bisa memahami cita-cita perjuangan dalam konteks budaya Indonesia, yang mampu
merasakan sesamanya sebagai “saudara”, “sederek”, “sedulur”, “sawargi”,
103
M. Umer Chapra, Islam and The Economic Challange, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Tantangan Ekonomi,h. 317.
“kisanak”, “sanak”, “sameton” dan seterusnya, sebagaimana Islam menanggap sesama ummat bahkan manusia sebagai “saudara”, dalam konteks rahmatan lil
alamin. M. Umer Chapra bahkan menegaskan bahwa memperkukuh brotherhood merupakan salah satu tujuan
dalam pembangunan ekonomi,. Brotherhood menjadi sinergi kekuatan ekonomi utnuk saling bekerjasama, tolong-menolong dan
bergotong-royong. “Kebersamaan” adalah suatu “mutuality” dan “asas kekeluargaan” adalah “brotherhood” atau “broederschap” bukan kinship atau
kekerabatan, bahasa agamanya adalah ukhuwah, yang mengemban semangat kekolektivan dan solidaritas sosial. perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan” ayat 1 Pasal 33.
104
Produksi yang didasarkan pada kebutuhan dengan melaksanakan langkah- langkah untuk menjamin bahwa peningkatan investasi ini tidak diarahkan kepada
produksi barang-barang mewah dan jasa saja, tetapi lebih kepada produksi barang- barang dan jasa-jasa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan ekspor,
barang-barang modal dan bahan-bahan baku yang diperlukan untuk tujuan ini. Strategi yang efektif adalah dengan mengubah prefensi individual,
menghapuskan segala hambatan, dan memberikan insentif dan fasilitas bagi komitmen jangka panjang terhadap dana-dana. Segala hak-hak istimewa dan
subsidi, baik eksplisit maupun implicit yang memberikan keuntungan produksi dan impor barang-barang mewah harus ditarik. Penekanan fiskal pemerintah,
104
Sri Edi Swasono, Sistem Ekonomi Indonesia artikel di akses pada 17 Desember 2010, http:www.ekonomirakyat.orgedisi_2_April _2002artikel_1
kebijakan-kebijakan moneter dan komersial harus diarahkan kepada upaya pemenuhan kebutuhan, ekspor dan formasi modal.
105
3. Moral dan Keadilan
Pandangan hidup Islam didasarkan pada tiga konsep fundamental tauhid, khilafah, dan keadilan. Tauhid adalah konsep yang paling penting dari
ketiganya, sebab konsep kedua lainnya merupakan turunan logika. Tauhid mengandung implikasi bahwa alam semesta secara sadar dibentuk dan diciptakan
oleh Tuhan Yang Esa, karena tidak mungkin jagat raya ini muncul secara kebetulan Ali-Imran:191, Shad: 29 dan Al-Mu’minun: 15. Segala sesuatu yang
Dia ciptakan mempunyai satu tujuan. Tujuan inilah yang memberikan makna dari arti bagi eksistensi alam semesta di mana manusia merupakan salah satu di
dalamnya. Konsep tauhid bukanlah sekadar pengakuan realitas, tetapi juga suatu respons aktif terhadapnya.
106
Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi Q.S Al-Baqarah: 30 dan Al- An’am: 165 dan semua sumber daya sumber daya yang ada di tangannya adalah
suatu amanah Q.S Al-Hadid: 7. Sebagai khalifah Allah, manusia bertanggung jawab kepada-Nya, dan mereka akan diberi pahala atau disiksa di hari akhirat
kelak berdasarkan apakah kehidupan mereka akan diberi pahala atau disiksa di hari akhirat kelak berdasarkan apakah kehidupan mereka di dunia ini, sesuai atau
bertentangan dengan petunjuk yang telah diberikan Allah. Setiap orang dan bukan
105
M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Pembangunan Ekonomi,h. 135
106
Ibid, h,. 6
seseorang tertentu, adalah seorang khalifah, dan khalifah pada dasarnya mengandung makna persatuan fundamental dan persaudaraan umat manusia.
Konsep persaudaraan ini akan tetap menjadi konsep yang kosong dari subtansi apabila tidak dibarengi dengan konsep keadilan. Oleh karena itu pula, menegakkan
keadilan dinyatakan oleh Al-Qur’an sebagai salah satu tujuan utama yang akan dicapai oleh para rasul Allah Q.S Al-Hadid: 25.
Pembangunan dengan keadilan menghendaki adanya penggunaan sumber daya-sumber daya yang adil dan efisien dan keduanya, tidak mungkin
didefinisikan atau diaktualisasikan tanpa adanya injeksi dimensi moral ke dalam dunia perekonomian. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam rahmatan lil alamin,
menuju kehidupan sejahtera. Q.S. Ali-Imran: 107
107
Efisien dan pemerataan telah didefinisikan dalam banyak cara. Dari sudut syariah, definisi yang paling memadai adalah yang membantu merealisasikan visi
Islam tentang pembangunan. Efisiensi optimum dapat dikatakan telah dicapai dalam alokasi sumber-sumber daya manakala kuantitas barang dan jasa yang dapat
memenuhi kebutuhan telah dapat diproduksi dengan tingkat stabilitas ekonomi yang masuk akal dan dengan suatu lau pertumbuhan yang berkesinambungan.
108
Pemerataan optimum dikatakan telah tercapai dalam distribusi sumber- sumber daya manakala kebutuhan individu telah berhasil dipenuhi secara memadai
dan telah terwujud pembagian pendapatan dan kekayaan merata tanpa
107
M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Pembangunan Ekonomi, h. 9
108
Ibid, h,. 10
mengakibatkan efek samping yang buruk pada motivasi untuk bekerja menabung, investasi, dan berusaha.
109
Manusia merupakan elemen hidup dan pokok dari setiap program pembangunan. Mereka adalah tujuan sekaligus sasaran pembangunan, dan apabila
mereka tidak dipersiapkan secara tepat untuk dapat memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan, dan kepentingan dirinya tidak dilindungi dalam batas-
batas kesejahteraan sosial, tidak mungkin akan berhasil mengaktualisasikan tujuan-tujuan pokok Islam dalam pembangunan.
110
Problem pertama
yang dihadapi
setiap masyarakat
dalam mengaktualisasikan sasaran-sasaran egaliteriannya adalah bagaimana menyaring
klaim-klaim yang tidak terbatas terhadap sumber-sumber daya dalam suatu cara tertentu di mana hanya klaim-klaim yang lolos tes efisiensi dan pemerataan saja
yang boleh diakui. Mekanisme harga memang dapat bertindak sebagai filter, namun tidak beroperasi dalam pola yang merata, Islam melengkapinya dengan satu
filter lagi yang akan menjamin pemerataan yaitu moral. Saringan moral ini akan menyebrang langsung jantung permasalahan
kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas yaitu kesadaran individu yang paling dalam, dengan mengubah skala prefensi mereka supaya mengikuti prioritas-
109
M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Pembangunan Ekonomi, h 10
110
Ibid, h,. 85
prioritas sosial dan membuat klaim-klaim mereka terhadap sumber-sumber daya suatu fungsi bagi kesejahteraan manusia.
111
Masalah yang dihadapi oleh setiap masyarakat adalah bagaimana memotivasi individu untuk melayani kepentingan sosial seiring dengan filter moral
meskipun ketika berbuat demikian merugikan kepentingannya sendiri. Ini disebabkan oleh semua individu selalu ingin melayani kepentingannya sendiri, dan
bila mereka tidak berbuat demikian, perilaku mereka tidak kondusif bagi realisasi efisiensi yang optimal dalam penggunaan sumber-sumber daya.
112
Restrukturisasi sosioekonomi, dilakukan dengan memperkuat nilai-nilai moral dengan melakukan restrukturisasi sosioekonomi dalam suatu cara yang
memungkinkan individu memenuhi kepentingan diri mereka hanya dalam batas- batas kesejahteraan sosial dan stabilitas ekonomi. Restrukturisasi bertujuan,
mentransformasi faktor manusia dalam pembangunan untuk menjadikannya mampu berperan aktif dan konstruktif dalam alokasi sumber daya yang efisien dan
merata.
113
Mengurangi konsentrasi
kepemilikan masyarakat
agar tercipta
pembangunan yang merata. Hambatan yang paling serius bagi pembangunan yang berkeadilan adalah konsentrasi kepemilikan sarana-sarana produksi di negara-
negara muslim, seperti halnya juga diseluruh perekonomian yang merugikan pasar.
111
M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Pembangunan Ekonomi,h. 80
112
Ibid, h,. 81
113
Ibid, h,. 83
Perluasan kepemilikan dan desentarlisasi pembuatan keputusan tampak lebih seirama dengan martabat dan kebebasan yang dihubungkan dengan status khalifah,
yang dikarunai oleh Allah kepada manusia. Perluasan ini harus mampu dilakukan, baik pada tingkat-tingkat wilayah-wilayah pedesaan maupun perkotaan dan baik di
sektor pertanian maupun industri.
114
4. Peran Negara
Melaksanakan restrukturisasi sistem keuangan sebagai bentuk memperbaiki perekonomian secara komprehensif. Sistem keuangan yang berbasis bunga di
negara-negara muslim yang diambil dari Negara-negara kapitalis, juga merupakan salah satu sumber pokok dan adanya konsentrasi kekayaan dan kekuasaan. Karena
itu, negara-negara muslim merasa kesulitan untuk melakukan reduksi dalam kesenjangan dan pengembangan industri mikro dan kecil, kecuali keseluruhan
sistem keuangan tersebut ditata kembali sesuai dengan ajaran Islam.
115
Pembiayaan adalah senjata ekonomi, sosial dan politik yang perkasa dalam dunia modern. Ia berperan sangat penting, bukan hanya dalam alokasi dan
distribusi sumber-sumber daya langka, tetapi juga dalam stabilitas dan pertumbuhan sebuah perekonomian. Ia juga menentukan basis kekuasaan, status
sosial, dan kondisi ekonomi individu dalam perekonomian. Karena itu, tak akan ada reformasi sosioekonomi yang berarti kecuali jika sistem keuangan juga
direstrukturisasi sesuai dengan sasaran-sasaran sosioekonomi masyarakat.
114
M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Pembangunan Ekonomi,h. 97
115
Ibid, hal 110 dan 140
Restrukturisasi harus komprehensif sehingga memungkinkan lembaga-lembaga keuangan memberikan kontribusi maksimal bagi penghapusan ketidak
seimbangan, dan mengarah kepada distribusi sumber-sumber daya keuangan yang merata dan efisien.
116
Restrukturisasi ekonomi dilaksanakan melalui realokasi sumber-sumber daya yang diperlukan untuk pembangunan yang merata tidak akan berjalan, tanpa
adanya suatu penataan kembali perekonomian yang meliputi semua aspek ekonomi, termasuk konsumsi swasta, keuangan pemerintah, formasi kapital dan
produksi.
117
Upaya yang dilakukan adalah dengan mengubah preferensi konsumen melalui memperkenalkan filter moral, membedakan antara kebutuhan dan
kemewahan, kriteria untuk mengklasifikasi kedalam dua kategori tersebut adalah norma-norma Islam dalam konsumsi dengan ketersediaan sumber-sumber daya
dan dampaknya pada persaudaraan dan persamaan sosial.
118
Pemerintah harus berperan secara positif dan berorientasi pada sasaran di dalam ekonomi. Peran ini hanya bersifat komplementer yang dimainkan oleh
pemerintah lewat internalisasi nilai-nilai Islam dalam masyarakat, penciptaan iklim sosioekonomi yang sehat, dan pengembangan institusi yang tepat, dan bukannya
116
M. Umer Chapra, Islam and The Economic Challange, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Tantangan Ekonomi,h. 325
117
M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Pembangunan Ekonomi,h.112
118
Ibid, h,. 113
melalui kontrol-kontrol yang berlebihan, pelanggaran yang tidak perlu terhadap kebebasan individu serta peniadaan hak-hak untuk memiliki properti.
119
Reformasi pertanahan dan pembangunan pedesaan dilakukan untuk peningkatan kondisi sosial ekonomi penduduk pedesaan atau memperkuat akar
institusi demokrasi di negara-negara muslim sebab reformasi pertanahan merupakan jantung dari kebijakan ekonomi. Reformasi pertanahan ini berkisar
pada luasnya kepemilikan tanah dan syarat-syarat penyewaan. Bilamana dua hal ini tidak diselesaikan secara harmonis dengan tuntutan–tuntutan keadilan
sosialekonomi, maka adalah sukar untuk dapat melakukan terobosan dalam merealisasikan tujuan-tujuan syari’ah.
120
Untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi
pemerintah harus
melaksanakan restrukturisasi iklim invetasi dengan penerapan norma-norma Islam pada konsumsi dapat membantu meningkatkan tabungan. Namun, tabungan tidak
selalu dengan mudah dapat disulap menjadi formasi kapital, kalaupun bisa meningkatkan formasi kapital bukanlah puncak dari prestasi. Apa yang diperlukan
adalah formasi kapital yang dapat mengarah pada penurunan kebutuhan dasar, ekspansi ekspor, dan peningkatan yang cepat peluang-peluang wirausaha dan
lapangan kerja. Karena itu, tidak cukup hanya dengan mengurangi konsumsi, tetapi juga memperbaiki iklim investasi yang cocok dengan melaksanakan.
119
M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Pembangunan Ekonomi,h. 83
120
Ibid, h,. 98
1. Menghapuskan hambatan; 2. Ketidakpastian politik; 3.Tarif dan subtitusi impor; 4. Kontrol terhadap nilai tukar dan depresiasi mata uang; 5. Kontrol birokrasi.
Pemerintah di negara-negara muslim, seperti halnya di negara berkembang lainnya, kurang teliti terhadap sektor swasta, karena klaim-klaim mereka yang
berlebihan terhadap sumber-sumber daya. Hampir-hampir mereka kehilangan kontrol dalam mengelola keuangan pemerintah. Akibatnya, meskipun sudah
memberlakukan laju pajak langsung maupun tidak langsung yang tinggi, namun mereka tetap berlindung kepada defisit anggaran yang tidak sehat. Defisit
anggaran ini kemudian dibiayai dengan melakukan ekspansi moneter dan pinjaman domestik serta luar negeri yang berlebihan. Hal ini menyebabkan tingkat inflasi
secara relatif lebih tinggi dan beban cicilan utang tetap akan membelit untuk jangka waktu yang panjang.
121
121
M. Umer Chapra, Islam and Economic Development, terjemah Ikhwan Abidin Basri : Islam dan Pembangunan Ekonomi, h. 115
BAB III ANALISA ARTIFICIAL NEURON NETWORK ANN DAN HIMPUNAN
KONSEP PEMBANGUNAN EKONOMI MUBYARTO DAN UMAR CHAPRA A. Pemikiran Mubyarto
1. Urgensi Keindonesiaan
Penulis melihat, konsep nasionalisme yang ditawarkan Mubyarto, merupakan hasil refleksi dan observasi kritis Mubyarto terhadap sistem
ekonomi ekonomi yang telah mapan berjalan beserta akibat-akibat yang dihasilkannya. Karena pada kenyataannya, baik Amerika maupun Inggris
menerapkan semangat nasionalisme. Hal ini merupakan kehati-hatian Mubyarto dari pengaruh gelombang liberalisasi dan globalisasi. Apabila teori
barat diterapkan apa adanya, maka akibatnya bagi Indonesia sebagaimana yang dinyatakan Mubyarto adalah “ketergantungan kita atas negara-negara
yang sudah maju semakin lama semakin besar, dan di dalam negeri kelompok ekonomi kuat dan sektor modern akan berkembang jauh lebih cepat dari
kelompok ekonomi lemah, dengan demikian kesenjangan ekonomi kaya- miskin bertambah besar.”
122
Sistem ekonomi suatu negara hendaknya disesuaikan dengan ideologi dan konstitusi negara tersebut. Dalam konteks Indonesia, maka sistem ekonomi
Indonesia perlu mengacu pada Pancasila dan UUD 1945. Inilah yang
122
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan Jakarta: LP3ES, 1987, h. 105.
mendasari penggunaan konsep Sistem Ekonomi Pancasila.
123
Prioritas kebijakan ekonomi adalah pengembangan ekonomi nasional yang kuat dan
tangguh, yang berarti nasionalisme selalu menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi yang diambil.
124
Pemikiran Mubyarto dalam membangun sistem ekonomi nasional dan mengembangkan ilmu serta pendidikan ekonomi alternatif yang berpijak pada
sistem nilai, sosial-budaya, dan kehidupan ekonomi riil real-life economy masyarakat Indonesia.
125
Teori ekonomi harus bersifat nasionalistis, dan rasa nasionalisme tersebut harus menjiwai semua pelaku ekonomi, karena
nasionalisme berkaitan erat dengan ketahanan nasional, yaitu kemampuan dan ketangguhan bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya menuju
kejayaan bangsa dan negara.
126
Mubyarto berpendapat bahwa ilmu ekonomi tidak bersifat universal, yaitu tidak berlaku bagi segala macam masyarakat yang berbeda-beda sistem
nilainya.
127
Selanjutnya ia menganjurkan para pelaku ekonomi Indonesia, juga termasuk pembuat kebijakan didalamnya harus memiliki rasa nasionalisme
dan ia lebih memilih integrasi pada ekonomi nasional daripada ekonomi internasional. Di sini Mubyarto berbicara dalam konteks Indonesia yang
123
Edi Suandi Hamid, Jejak Pemikiran Mubyarto, Artikel diakses pada 20 desember 2010, http:mubyarto.org_artikel.php?parameter=312id=47
124
Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila, Jakarta: LP3ES, 1988, hal. 62.
125
Mubyarto, Dengan Ekonomi Pancasila Menyiasati Global artikel di akses pada 17 Desember 2010, http:www.ekonomirakyat.orgedisi_21artikel_1
126
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan, hal.49
127
Ibid, h,. 134
belum memiliki ketahanan nasional dan belum siap untuk mengintegrasikan diri ke ekonomi internasional.
128
Nasionalisme dalam Kamus Besar Indonesia
129
didefinisikan sebagai kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual
bersama-sama mencapai, mempertahankan dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa.
Mubyarto menolak pandapat bahwa ilmu ekonomi tidak mengenal nasionalisme, ia bersifat kosmopolitan. Baginya teori ekonomi harus bersifat
nasionalistis dan rasa nasionalime tersebut harus menjiwai semua pelaku ekonomi, karena nasionalime berkaitan erat dengan ketahanan nasional, yaitu
kemampuan dan ketangguhan bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara.
130
Dalam ekonomi Pancasila, terdapat batasan moral bukan hanya batasan teknis dalam hal subjek dan objek pelaku ekonomi. Batas moral bisa diadakan
apabila kita mau dan ikhlas. Inilah keadilan ekonomi yang definisinya adalah sebagai berikut: Keadilan ekonomi adalah aturan main tentang hubungan-
hubungan ekonomi yang didasarkan pada prinsip-prinsip etika, prinsip-prinsip
128
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan, h. 49.
129
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, h. 610.
130
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan, h. 49.
mana pada gilirannya bersumber pada hukum-hukum alam, petunjuk tuhan, dan sifat sosial manusia.
131
Keadilan sosial adalah suatu keadaan dimana seluruh rakyat merasa aman dan tentram karena aturan-aturan main dalam hubungan-hubungan ekonomi
yang berdasarkan prinsip-prinsip etik dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat. Kesejahteraan sosial adalah sarana materiil yang harus dipenuhi
untuk mencapai rasa aman dan tentram yang disebut keadilan sosial. Dua hal ini menyangkut pasal 33 dan 34 dalam UUD 1945.
132
Sistem kapitalisme yang telah melahirkan neoliberalisme sama sekali tidak mampu membantu bangsa Indonesia mengatasi masalah-masalah
ekonomi, sosial dan moral. Karena ajaran-ajarannya tidak realistik dan relevan dengan kehidupan nyata bangsa Indonesia real economic life. Bahkan, ilmu
ekonomi tersebut adalah ilmu ekonomi yang keliru, tidak bermoral, dan tidak mampu memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan pada bangsa Indonesia.
133
Selanjutnya, ia menegaskan kembali kepada ekonom Indonesia untuk tidak menerapkan begitu saja teori-teori ekonomi konvensional di Indonesia,
karena adanya perbedaan sistem, nilai dan budaya Indonesia dengan sistem, nilai dan budaya Amerika.
131
Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila. hal. 114
132
Ibid, hal,. 228
133
Mubyarto, Dengan Ekonomi Pancasila Menyiasati Global artikel di akses pada 17 Desember 2010, http:www.ekonomirakyat.orgedisi_21artikel_1