ini tidak jarang berjalan bersisian, meskipun salah satu lebih dominan ketimbang yang lain. Sindrom kwasiorkor terjelma manakala defisiensi lebih menampakkan
dominasi protein, dan marasmus termanifestasi jika terjadi kekurangan energi yang parah. Kombinasi kedua bentuk ini, marasmik-kwasiorkor. juga tidak
sedikit, meskipun sulit menentukan kekurangan apa yang lebih dominan. Arisman, 2009
Kurang energi protein dikelompokkan menjadi KKP primer dan sekunder. Ketiadaan pangan melatarbelakangi KKP primer yang mengakibatkan
berkurangnya asupan, Penyakit yang mengakibatkan pengurangan asupan, gangguan serapan dan utilisasi pangan, serta peningkatan kebutuhan dan atau
kehilangan akan zat gizi dikategorikan sebagai KKP sekunder. Keparahan KKP berkisar dari hanya penyusutan berat badan, atau terlambat tumbuh, sampai ke
sindrom klinis yang nyata. dan tidak jarang berkaitan dengan defisiensi vitamin, serta mineral.
Arisman, 2009 Setidaknya, ada 4 faktor yang melatarbelakangi KKP, yaitu: masalah
sosial, ekonomi, biologi, dan lingkungan. Kemiskinan, salah satu determinan sosial-ekonomi, merupakan akar dari ketiadaan pangan, tempat mukim yang
berjejalan, kumuh, dan tidak sehat serta ketidak mampuan mengakses fasilitas kesehatan. Ketidaktahuan, baik yang berdiri sendiri maupun yang berkaitan
dengan kemiskinan. Menimbulkan salah paham tentang cara merawat bayi dan anak yang benar, juga salah mengerti mengenai penggunaan bahan pangan
tertentu dan cara memberi makan anggota keluarga yang sedang sakit. Hal lain yang juga berpotensi menumbuhsuburkan KKP di kalangan bayi dan anak adalah
penurunan minat dalam memberi ASI yang kemudian diperparah pula dengan salah persepsi tentang cara menyapih. Selain itu, distribusi pangan dalam keluarga
terkesan masih timpang. Arisman, 2009
Tempat tinggal yang berjejalan dan tidak bersih menyebabkan infeksi sering terjadi. Prosedur penyimpanan hasil produksi pascapanen yang buruk
mengakibatkan bahan pangan cepat rusak. Bencana alam, perang, atau migrasi paksa telah terbukti mengganggu distribusi pangan.
Penyalahgunaan anak, ketidakberdayaan kaum ibu, penelantaran lansia, kecanduan alkohol dan obat. pada akhirnya berujung pula sebagai KKP. Selain itu
budaya yang menabukan makanan tertentu terutama terhadap balita serta ibu hamil dan menyusui dan mengonsumsi bahan bukan pangan akan memicu
sekaligus melestarikan KKP. Arisman, 2009
Komponen biologi yang menjadi latar belakang KKP, antara lain, malnutrisi ibu, baik sebelum maupun selama hamil, penyakit infeksi, serta diet
rendah energi dan protein. Seorang ibu yang mengalami KKP selama kurun waktu tersebut pada gilirannya akan melahirkan bayi berberat badan rendah. Tanpa
ketersediaan pangan yang cukup, bayi KKP tersebut tidak akan mampu mengejar ketertinggalannya, baik kekurangan berat semasa dalam kandungan maupun
setelah lahir. Arisman, 2009
Penyakit infeksi berpotensi sebagai penyokong atau pembangkit KKP. Penyakit diare, campak, dan infeksi saluran napas kerap menghilangkan napsu
makan. Penyakit saluran pencernaan yang sebagian muncul dalam bentuk muntah dan gangguan penyerapan, menyebabkan kehilangan zat gizi dalam jumlah besar.
Percepatan proses katabolisme meningkatkan kebutuhan sekaligus menambah kehilangan zat-zat gizi.
Arisman, 2009 Kurang kalori protein sesungguhnya berpeluang menyerang siapa saja.
terutama bayi dan anak yang tengah bertumbuh-kembang. Marasmus sering menjangkiti bayi yang baru berusia kurang dari 1 tahun. Sementara kwasiorkor
cenderung menyerang setelah mereka berusia 18 bulan. Jika dialami oleh anak yang berumur lebih tua, kondisi tersebut biasanya ringan karena mereka pada
umumnya telah pandai mencari makan sendiri. Remaja, dewasa muda utamanya pria, wanita tidak hamil dan tidakmenyusui, memiliki angka
prevalensi paling rendah. Arisman, 2009
2.1.5 Pengaruh KKP Terhadap Beberapa Organ
a. Saluran Pencernaan
Malnutrisi berat menurunkan sekresi asam dan melambatkan gerak lambung. Mukosa usus halus mengalami atrofi. Vili pada mukosa usus lenyap,
permukaannya berubah menjadi datar dan diinfiltrasi oleh sel-sel limfosit. Pembaruan sel-sel epitel, indeks mitosis, kegiatan disakarida berkurang. Pada
hewan percobaan, kemampuan untuk mempertahankan kandungan normal mucin dalam mukosa terganggu dan laju penyerapan asam amino serta lemak berkurang.
Arisman, 2009
b. pankreas
Malnutrisi menyebabkan atrofi dan fibrosis sel-sel asinar yang akan mengganggu fungsi pankreas sebagai kelenjar eksokrin. Gangguan fungsi
pankreas bersama dengan intoleransi disakarida akan menimbulkan sindrom malabsorpsi, yang selanjutnya berlanjut sebagai diare.
Arisman, 2009
c. Hati
Pengaruh malnutrisi pada hati bergantung pada lama, serta jenis zat gizi yang berkurang. Glikogen pada penderita marasmus cepat sekali terkuras
sehingga zat lemak kemudian tertumpuk dalam sel-sel hati. Manakala kelaparan terus berlanjut, hati mengerut sementara kandungan lemak menyusut dan protein
habis meskipun jumlah hepatosit relatif tidak berubah. Ukuran hati penderita kwasiorkor membesar serta banyak mengandung g1ikogen. Infiltrasi lemak
merupakan gambaran menonjol yang terutama disebabkan oleh penumpukan trigliserida. Dengan mikroskop elektron akan terlihat proliferasi “retikulum
endoplasma halus”, sementara jumlah retikulum endoplasma kasar menurun.
Mekanisme bagaimana kedua hal ini terjadi belum diketahui. Arisman, 2009
d. Ginjal
Meskipun fungsi agak normal ginjal masih dapat dipertahankan. GFR glomerular filtration rate dan RPF renal plasma flow telah terbukti menurun.
Penelitian di Minnesota membuktikan bahwa keadaan semikelaparan dapat mengakibatkan poliuri tampak jelas setelah 6 minggu kelaparan dan nokturia.
Gangguan kemampuan untuk pemekatan urine diperkirakan sebagai akibat dari penurunan jumlah urea dalam medula yang disertai penyusutan medullary
osmolar gradient. Pemeriksaan laboratorium urine berupa: berat jenis BJ rendah, ada sedikit sedimen, RBC, WBC, dan toraks sementara protein tidak ada.
Secara histologis, tidak ada perubahan yang bermakna. Arisman, 2009
e. Sistem Hematologik
Perubahan pada sistem hematologik meliputi anemia, leukopenia, trombositopenia, pembentukan akantosit, serta hipoplasia sel-sel sumsum tulang
yang berkaitan dengan transformasi substansi dasar, tempat nekrosis sering terlihat. Derajat kelainan ini bergantung pada berat serta lamanya kekurangan
kalori berlangsung. Anemia
pada kasus
demikian biasanya
bersifat normokromik dan tidak disertai oleh retikulositosis meskipun cadangan zat besi
cukup adekuat. Penyebab anemia pasien yang asupan proteinnya tidak adekuat ialah menurunnya sintesis eritropoietin, sementara anemia pada mereka yang
sama sekali tidak makan protein timbul karena stem cell dalam sumsum tulang tidak berkembang. di samping sintesis eritropoietin juga menurun.
Arisman, 2009
Malnutrisi berat berkaitan dengan leukopenia dan hitung jenis yang normal. Morfologi neutrofil juga kelihatan normal. Namun, jika infeksi terjadi,
jumlah neutrofil biasanya namun tidak selalu meningkat. Simpanan neutrofil yang dinyatakan sebagai hitung neutrofil tertinggi setelah 3-5 jam pemberian
hidrokortison pada malnutrisi juga berkurang; dan fungsinya tidak normal. Sebagai tambahan, jumlah trombosit turut pula menurun.
Arisman, 2009
f. Sistem Kardiovaskular
Kondisi semikelaparan akan menyusutkan berat badan sebanyak 24. mengerutkan volume jantung hingga 17 di samping menyebabkan bradikardia.
hipotensi arterial ringan, penurunan tekanan vena, konsumsi oksigen, stroke volume, dan penurunan curah jantung. Dampaknya adalah kerja jantung menurun,
penjenuhan saturasi oksigen vena dan kandungan oksigen arterial berkurang. Arisman, 2009
g. Sistem Pernapasan
Hasil otopsi penderita malnutrisi menunjukkan tanda-tanda yang menyiratkan bahwa selama hidup mereka pernah terserang bronkitis, tuberkulosis,
serta pneumonia. Kematian akibat malnutrisi biasanya terjadi berkaitan dengan pneumonia. Penyulit ini terutama disebabkan oleh lenyapnya kekuatan otot perut,
sela iga, bahu, dan diafragma. Akibatnya. fungsi ventilasi terganggu, kemampuan untuk mengeluarkan dahak menjadi rusak sehingga eksudat menumpuk dalam
bronkus. Keberadaan hipoproteinemia secara bersamaan mengakibatkan edema interstitial dan sekresi bronkus. Kondisi demikian memperberat fungsi ventilasi
yang telah terganggu. Arisman, 2009
h. Penyembuhan luka
Irvin 1975 telah meneliti proses penyembuhan luka pada tikus yang menjalani operasi kolon dan diberi makanan yang tidak mengandung protein.
Gangguan penyembuhan luka baru akan timbul manakala berat badan menyusut lebih dari sepertiga berat badan normal karena kekuatan mekanis otot serta kulit
perut telah berkurang. Pada kolon, pengurangan kekuatan seperti ini tidak terjadi. Kesimpulan Irvin ialah bahwa penyusutan jaringan kolagen viseral jauh lebih
sedikit ketimbang jaringan parietal. Namun, pengaruh buruk ini masih dapat diatasi jika nutrisi pascaoperasi terselenggara dengan baik. Arisman, 2009
2.1.6 Klasifikasi Kurang Kalori Protein KKP
Gomez 1956 merupakan orang pertama yang mempublikasikan cara pengelompokan kasus kurang kalori protein. Klasifikasi KKP menurut Gomez
didasarkan pada berat badan terhadap usia BBU. Berat anak yang diperiksa dinyatakan sebagai persentase dari berat anak seusia yang diharapkan pada baku
acuan dengan menggunakan persentil ke-50 baku acuan Harvard. Berdasarkan sistem ini. KKP diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan, yaitu derajat I, II, dan III
lihat Tabel 2.4: KIasifikasi KKP menurut Gomez. Sayang sekali, dengan cara
ini marasmus tidak dapat dibedakan dengan kwasiorkor. Akibatnya, anak yang rasio berat badan terhadap usia sangat rendah tidak termasuk sebagai penderita
KKP karena anak yang kurus ini memiliki ukuran tinggi badan yang rendah pula.
Arisman, 2009
Tabel 2.4 Klasifikasi KKP Menurut Gomez
Derajat KKP Berat Badanusia
I Ringan 90-76
II Sedang 75-61
III Berat 60
Sumber: Arisman, 2009
Penggunaan nilai defisit berdasarkan berat terhadap usia tidak membedakan anak yang memang mempunyai berat badan kurang KKP kini
dengan mereka yang berat dan tingginya seimbang KKP lampau. Di samping data tentang kronologis usia tidak selalu tersedia dan, kalaupun ada, data tersebut
biasanya tidak valid terandal. Namun demikian, pengelompokkan KKP sebagai derajat I 75-90 dari acuan berat terhadap usia, II 60- 75, dan III 60
sangat berfaedah dalam penelitian epidemiologis dan kesehatan masyarakat karena proporsi anak di masyarakat yang pada suatu ketika dalam hidupnya
pernah mengalami KKP dapat ditentukan. Arisman, 2009
Sama seperti Gomez, Jellife 1966 juga menyusun klasifikasi berdasarkan berat terhadap usia, termasuk penggunaan baku acuan Harvard dengan persentil
ke-50. Bedanya, Jellife membagi KKP menjadi 4 tingkatan: I sampai dengan IV . Arisman, 2009