Kultur yang Membentuk Embrio Somatik

21 Berat basah kultur yang berbeda-beda diduga karena disebabkan oleh kemampuan jaringan dalam menyimpan air dan unsur hara, dalam hal ini meliputi kemampuan mengadakan difusi, osmosis, dan pengaturan tekanan turgor sel Sriyanti, 2000. Tekanan turgor menyebabkan pemanjangan dan pembesaran sel. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan peningkatan berat basah kalus, sebab respon setiap sel berupa tekanan turgor terhadap kondisi cairan di sekitar sel berbeda-beda Meilvana, 2014.

4.4 Kultur yang Membentuk Embrio Somatik

Kultur diamati secara visual setiap hari hingga akhir kultur untuk mengamati ada atau tidaknya terbentuk kalus embrio somatik dari salak Salacca sumatrana Becc.. Jumlah embrio somatik yang diperoleh dalam penelitian kultur salak hanya ditemukan 8 kalus embriogenik Lampiran 5, hlm. 30. Data kalus embriogenik dari salak dengan beberapa tingkat konsentrasi lisin dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Data Kalus Embriogenik No. Konsentrasi Lisin Jumlah Kalus Embriogenik 1. L – 2. L 1 1 3. L 2 1 4. L 3 2 5. L 4 3 6. L 5 1 Keterangan: L = 0 mgL L 2 = 20 mgL L 4 = 40 mgL L 1 = 10 mgL L 3 = 30 mgL L 5 = 50 mgL Tabel 4.4 menjelaskan bahwa penggunaan lisin memberikan pengaruh terhadap pembentukan kalus embriogenik pada kultur salak. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi dengan rentang 10 – 50 mgL merupakan konsentrasi yang mampu meningkatkan pembentukan kalus embriogenik dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan L 4 konsentrasi 40 mgL menghasilkan 3 kalus embriogenik, pada perlakuan L 3 konsentrasi 30 mgL berjumlah 2 kalus dan masing-masing 1 kalus pada perlakuan L 1 , L 2 , dan L 5 konsentrasi 10, 20 dan 50 mgL. Hal ini sejalan dengan penelitian El-Shiaty et al. 2004 melaporkan bahwa penambahan asam amino berperan penting pada tanaman palem Phoenix dactylifera L. dalam pembentukan kalus embriogenik menjadi embrio somatik. Universitas Sumatera Utara 22 Kalus embriogenik yang diperoleh diamati tahapan perkembangan embrionya dengan menggunakan uji histologi metode Johansen 1940, yang terdiri atas: fiksasi, dehidrasi, embedding dengan menggunakan parafin hingga pewarnaan menggunakan Safranin dan Fast-Green. Tahapan perkembangan embrio somatik yang diperoleh dari kultur salak mencakup fase globular dan fase berbentuk hati Gambar 4.4. Gambar 4.4. Perkembangan Embrio. Keterangan: A. Fase Globular, B. Fase Hati dan C. Fase Torpedo. Gambar 4.4 menjelaskan bahwa tahapan perkembangan embrio somatik yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri atas: fase globular, fase hati dan fase torpedo tetapi fase kotiledon tidak dapat dicapai. Pada fase globular terlihat sel yang berbentuk bulat dengan bidang polarisasi yang jelas. Sel globular masing- masing terpisah satu dengan lainnya dan memiliki sel meristematik yang menyebar Gambar 4.4.A. Tahap selanjutnya terdapat daerah penonjolan disusun oleh sel yang memiliki sifat meristematik. Sel globular berkembang membentuk dua sudut dimana bagian atas melekuk seperti hati Gambar 4.4.B. Sisi kanan dan kiri terdapat penonjolan yang terjadi akibat pembelahan sel yang lebih cepat pada daerah tersebut. Kedua sisi embrio akan membelah lebih cepat dibandingkan bagian tengah sehingga membentuk embrio tahap torpedo Gambar 4.4.C. Tahap perkembangan embrio somatik pada penelitian Purnamaningsih 2002, dari tahap globular, hati, torpedo, kotiledon, kecambah hingga terbentuk planlet. Penggunaan media yang tepat dapat menginduksi terjadinya seluruh tahap perkembangan embrio, sebaliknya pada media yang kurang sesuai tidak terlihat perkembangan embrio. Menurut Widiyanto 2010, regenerasi tanaman melalui jalur embriogenesis dengan penggunaan zat pengatur tumbuh pada beberapa taraf B C 30,69 µm 68,1 µm 146,92 µm A Universitas Sumatera Utara 23 konsentrasi dan dikombinasikan dengan lisin dapat menginduksi pembentukan kalus embriogenik dan perkembangan embrio somatik. Universitas Sumatera Utara 24 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan