Beberapa inhibitor protease dapat stabil setelah perlakuan panas pada suhu 95
o
C selama 15 menit, seperti TIMPs dan sistatin Nagase dan Salvesen 2001. Inhibitor sistein proteinase dari hewan dan mamalia berupa sistatin dibagi
dalam tiga kelompok yaitu stefin, sistatin dan kininogen, pada umumnya mempunyai stabilitas yang besar terhadap suhu tinggi sampai 100
o
C Otto dan Schirmeister 1997.
Hasil penelitian awal dari proses optimasi ekstraksi inhibitor terbaik digunakan sebagai acuan untuk tahap penelitian selanjutnya, yaitu produksi
inhibitor protease katepsin dengan ekstraksi dari bagian daging ikan pada suhu ekstraksi 80
o
C. Penelitian An et al. 1995 menemukan adanya inhibitor yang berikatan kompleks dengan katepsin L pada daging ikan pacific whitening dan
berhasil melakukan pemisahan katepsin dengan inhibitor melalui perlakuan asam, sedangkan penelitian Ustadi et al. 2005 berhasil melakukan pemurnian inhibitor
dari telur ikan glassfish pada perlakuan suhu 80
o
C pada saat ekstraksi.
4.2 Produksi dan Pemurnian Inhibitor Katepsin
Proses pemurnian yang dilakukan dalam penelitian ini ada beberapa tahapan yang meliputi ekstraksi daging ikan patin sebagai ekstrak kasar inhibitor,
presipitasi inhibitor protease menggunakan ammonium sulfat, dilakukan proses dialisis kemudian dilanjutkan dengan pemurnian inhibitor menggunakan
kromatografi penukar ion dan gel filtrasi.
4.2.1 Ekstraksi Inhibitor Katepsin
Inhibitor katepsin diekstrak dari daging ikan bandeng dan ikan patin dengan perlakuan ekstraksi 80
o
C. Setelah diperoleh ekstrak kasar kemudian dilakukan pengendapan dengan ammonium sulfat dengan persen kejenuhan 30
sampai 80 pada suhu dibawah 4
o
C. Tujuannya adalah untuk memisahkan dan memurnikan inhibitor protease dari protein-protein lain yang terdapat pada ekstrak
kasar inhibitor, sehingga diharapkan inhibitor tersebut akan mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak kasar. Aktivitas penghambatan inhibitor
dari ekstrak ikan patin dan ikan bandeng terhadap protease katepsin dan konsentrasi protein setelah mengalami pengendapan dengan ammonium sulfat
disajikan pada Gambar 9 dan Gambar 10. Hasil pengendapan dengan aktivitas penghambatan tertinggi digunakan untuk tahap dialisis.
0.0 0.5
1.0 1.5
2.0 2.5
3.0 3.5
30 40
50 60
70 80
konsentrasi ammonium sulfat k
ons e
nt ra
s i pr
ot e
in m
g m
l
20 40
60 80
100 120
30 40
50 60
70 80
konsentras
20 30
40 50
60 70
80 90
30 40
50 60
70 80
konsentrasi ammonium sulfat pe
ng h
a m
b a
ta n
0.0 0.2
0.4 0.6
0.8 1.0
1.2 1.4
30 40
50 60
70 80
konsentrasi ammonium sulfat k
ons e
nt ra
s i pr
ot e
in m
g m
1.6
l i amm
A B
onium sulfat pe
ngha m
ba ta
n
Gambar 9 Persentase aktivitas penghambatan inhibitor katepsin ikan bandeng setelah pengendapan ammonium sulfat A ; konsentrasi protein
setelah pengendapan dangan ammonium sulfat B. — ■— endapan,
—
▲
— supernatan Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat adanya peningkatan aktivitas
penghambatan inhibitor hasil endapan pelet pada beberapa tingkat konsentrasi ammonium sulfat. Aktivitas persen penghambatan optimum terdapat pada hasil
endapan dengan konsentrasi ammonium sulfat 70. Hasil supernatan menunjukkan penurunan aktivitas persen penghambatan. Ekstrak dari ikan
Patin yang dipresipitasi dengan ammonium sulfat Gambar 10 menunjukkan peningkatan aktivitas penghambatan pada hasil endapan 70, dan mengalami
penurunan aktivitas pada bagian supernatan.
B B
Gambar 10 Persentase aktivitas penghambatan inhibitor katepsin ikan patin setelah pengendapan ammonium sulfat A ; konsentrasi protein
setelah pengendapan dangan ammonium sulfat B. — ■— endapan,
—
▲
— supernatan
Hasil presipitasi pada kedua ekstrak inhibitor menyebabkan penurunan kadar protein dalam supernatan, sedangkan pada hasil endapan pelet terjadi
peningkatan konsentrasi protein. Hasil presipitasi yang mempunyai aktivitas persen penghambatan paling tinggi, digunakan untuk pemurnian tahap
selanjutnya. Hasil pengendapan dengan konsentrasi ammonium sulfat 70
bagian pelet merupakan ekstrak terpilih untuk dilakukan proses dialisis.
4.2.2 Pemurnian Inhibitor Katepsin dengan Kolom Kromatografi Hasil pengendapan kemudian didialisis dengan tujuan untuk
menghilangkan sisa-sisa garam yang digunakan saat pemekatan. Proses dialisis juga dapat memisahkan molekul besar dari molekul kecil berdasarkan sifat semi
permeabel untuk meloloskan molekul-molekul kecil dan menahan molekul- molekul yang berukuran besar. Inhibitor katepsin setelah melalui tahap dialisis
kemudian dimurnikan dengan 2 tahap. Tahap pertama dilakukan dengan penukar ion menggunakan matriks sephadex A-50. Tahap kedua kromatografi filtrasi gel
menggunakan matrik sephadex G-100. Tahap pertama pemurnian dilakukan dengan kromatografi penukar ion.
kromatografi ini mempunyai matrik sephadex dengan gugus fungsionalnya DEAE dietilaminoetil yang merupakan penukar anion dengan kisaran pH 2- 9. Teknik
kromatografi penukar ion sangat baik dipergunakan pada tahap awal kromatografi Rossenberg 1996.
Hasil pengujian aktivitas inhibitor dan pengukuran protein dari kromatografi penukar ion dibuat dalam suatu grafik sigma plot v10. Hasil
pemurnian tersebut kemudian disajikan pada Gambar 11. Berdasarkan Gambar 11, dapat dilihat bahwa terdapat beberapa puncak aktivitas inhibitor katepsin dimana
yang tertinggi terdapat pada fraksi no. 10 dengan aktivitas 1,98 Uml. Pada fraksi tersebut mempunyai konsentrasi protein sebesar 0,1059 mgml. Fraksi aktif
dengan aktivitas tertinggi fraksi 10 selanjutnya dimurnikan lebih lanjut dengan kromatografi filtrasi gel.
No. Fraksi
10 20
30 40
50
Ab so
rba ns
i 28 0 nm
0.04 0.06
0.08 0.10
0.12 0.14
0.16 0.18
0.20
Aktivi ta
s i
nhi bitor
U m
l
0.0 0.5
1.0 1.5
2.0 2.5
Gradien NaCl M
0.0 0.2
0.4 0.6
0.8
Gambar 11 Pemurnian inhibitor katepsin menggunakan kromatografi penukar ion
DEAE sephadex A-50. – ●– konsentrasi protein, –×– aktivitas
inhibitor, — gradien NaCl M. Prinsip pemurnian dengan filtrasi gel adalah pemisahan protein
berdasarkan ukuran partikel dan sangat baik digunakan pada tahap akhir pemurnian enzim Rosenberg 1996. Pada tahapan ini digunakan fase bergerak
yaitu buffer B yang dibuat dari 20 mM buffer Tris pH 7,5 yang mengandung 10 mM sodium azida dan 10 mM 2-Merkaptoetanol, dan fase diamnya adalah
sephadex G-100 1,5 x 40,0 cm. Hasil pemurnian inhibitor protease katepsin dengan kromatografi filtrasi gel disajikan pada gambar 12.
No. Fraksi
10 20
30 40
5
Absorbansi 28
0.02 0.03
0.04 0.05
0.06 0.07
0.08
aktivitas inhibitor Uml
0.0 0.5
1.0 1.5
2.0 2.5
Gambar 12 Pemurnian inhibitor katepsin menggunakan filtrasi gel sephadex G-100. –
●– konsentrasi protein, –×– aktivitas inhibitor.
Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat adanya puncak aktivitas inhibitor pada fraksi ke 8 dengan aktivitas sebesar 1,8281 Uml dengan konsentrasi protein
sebesar 0,0268 mgml. Fraksi tersebut merupakan ekstrak murni inhibitor protease katepsin yang selanjutnya ditentukan bobot molekulnya dengan SDS-PAGE.
4.2.3 Produksi Inhibitor Katepsin