IV .HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Tanah 4.1.1. Sifat Kimia dan Fisik Tanah
Berdasarkan analisis pendahuluan tanah Tabel Lampiran 1, sebelum penelitian diketahui bahwa nilai pH adalah 6.28 atau termasuk agak masam,
kandungan C-organik tergolong sedang yaitu 2.23, N total tergolong sedang yaitu 0.32, kandungan P tergolong sangat rendah yaitu 7.18 ppm, K tergolong
sangat tinggi yaitu 2.45 me100g,dan kejenuhan basa tergolong sangat rendah yaitu 17.06. Tekstur tanah pada plot percobaan mengandung 8.36 pasir,
34.4 debu dan 57.20 liat, sehingga dikelaskan kedalam kelas tekstur liat.
4.1.2. Nilai pH dan Eh
Nilai pH tanah selama masa pertanaman terlihat pada Gambar 1. Nilai pH terlihat cukup stabil berkisar 6.20-6.77 selama masa pertanaman. Pengaruh
perlakuan tidak menyebabkan perbedaan yang nyata pada nilai pH, karena pH tanah yang disawahkan akan mendekati netral.
Pada pengukuran Eh pada Gambar 2, terlihat pada 0 HST perlakuan S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik memiliki nilai Eh yang paling rendah yaitu
-135 mV dan -129 mV, lebih rendah dibanding dengan perlakuan konvensional yang memiliki nilai -128 mV, hal ini dikarenakan adanya penambahan bahan
organik sebanyak 5 tonha pada perlakuan S.R.I. organik dan penambahan bio- organik fertilizer
Fertismart . Penambahan bahan-bahan tersebut dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme tanah yang akan mengakibatkan
pemakaian oksigen tanah yang tinggi, sehingga mengakibatkan terjadinya
penurunan nilai Eh pada tanah. Namun pada 55 HST kenaikan nilai Eh pada perlakuan S.R.I. organik dan semi-organik cukup tinggi, tetapi tidak pada
perlakuan konvensional yang hanya naik sedikit, hal ini di karenakan perlakuan konvensional lahan selalu digenangi, sehingga oksigen sulit masuk kedalam pori
tanah. Pada 108 HST nilai pH dan Eh pada tiap-tiap perlakuan hampir seragam, hal ini dikarenakan pada 108 HST merupakan masa pemasakan bulir padi, sehinga
baik lahan konvensional maupun S.R.I. dikondisikan kering.
Gambar 1. Nilai pH Tanah Selama Masa Pertanaman
Gambar 2. Nilai EhTanah Selama Masa Pertanaman 4.1.3. Fe dan Mn
Nilai Fe dan Mn dalam tanah yang diekstrak dengan HCl 0.1 N dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. Nilai ini merupakan kadar Fe dan Mn total pada
tanah yang termasuk Fe dan Mn tersedia, Fe dan Mn terlarut, dapat dipertukarkan,
dan mudah tereduksi. Pada pengukuran 0 HST kadar Fe total pada lahan konvensional mencapai 3743 ppm, tanaman padi belum muncul gejala keracunan
Fe, hal ini dimungkinkan karena kadar Fe tersedia dalam tanah kurang dari kadar yang meracuni tananaman Pada pengukuran 55 HST Fe total pada konvensional
mencapai 4582 ppm, dimana pada budidaya konvensional timbul gejala keracunan besi
yang ditandai
dengan daun
berwarna coklat
kemerahan Gambar 1 Lampiran. Hal ini di karenakan pada budidaya konvensional lahan
digenangi secara terus–menerus sehingga tanah lebih bersifat reduktif Gambar2 dibandingkan dengan sistem budidaya S.R.I. yang sistem pengairannya tidak
tergenang, yang memungkinkan adanya oksigen masuk kedalam tanah, kondisi ini membuat tanah lebih bersifat oksidatif dibanding dengan sistem budidaya
konvensional. Pada Gambar 4 grafik nilai Mn pada tanah, pada awal pertanaman nilai
Mn pada tiap-tiap perlakuan hampir seragam, namun pada 55 HST nilai Mn pada tiap-tiap perlakuan secara umum meningkat. Peningkatan nilai Mn yang tinggi
terjadi pada lahan dengan budidaya konvensional akibat dari sistem budidaya padi yang selalu tergenang. Pengukuran Mn pada 108 HST, secara umum terjadi
penurunan kadar Mn pada lahan konvensional maupun S.R.I.. Hal ini dikarenakan pada 108 HST merupakan masa pemasakan bulir padi, sehingga lahan
konvensional maupun S.R.I. dikondisikan kering. Pada 55 HST dan 108 HST kadar Mn pada tanah 300 ppm, nilai ini dapat berpotensi meracuni tanaman,
tetapi selama masa tersebut tanaman tidak menampakkan adanya gejala keracunan Mn. Hal ini mungkin dikarenakan Mn yang diekstrak dengan HCl 0.1 N
merupakan Mn total pada tanah dan dimungkinkan kadar Mn tersedia dalam tanah
mungkin lebih rendah dari 300 ppm, disamping itu tingginya kadar Fe dalam tanah. Menurut Ponnamperuma 1978, tingginya kadar Fe dalam tanah dapat
menekan keracunan Mn.
Gambar3. Nilai Fe Tanah Selama Masa Pertanaman
Gambar 4. Nilai Mn Tanah Selama Masa Pertanaman 4.2 Pertumbuhan Tanaman
4.2.1 Tinggi dan Jumlah Batang per Rumpun
Pertumbuhan tanaman diamati melalui tinggi tanaman Tabel 1 dan jumlah batang per rumpun Tabel 2. Pada 14 dan 28 HST tinggi tanaman pada
budidaya konvensional lebih tinggi dibanding dengan budidaya S.R.I. Tabel 1. Hal tersebut dikarenakan umur bibit pada budidaya konvensional lebih tua
dibanding dengan budidaya S.R.I.. Namun 42 HST tinggi tanaman pada S.R.I. anorganik mulai menyamai tinggi tanaman pada budidaya konvensional dan pada
56 HST tinggi tanaman pada S.R.I. anorganik menunjukkan nilai yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan budidaya konvensional, hal tersebut menunjukkan
bahwa tanaman pada budidaya S.R.I. dapat tumbuh dengan lebih baik dan menyaingi pertumbuhan tanaman pada budidaya konvensional.
Tabel 1. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Tinggi Tanaman cm
PERLAKUAN UMUR TANAMAN HST
14 28
42 56
70
KONVENSIONAL
37.67 b 59.32 c
70.72bc 87.37 c
90.00 c
S.R.I. ANORGANIK
36.37 b 52.49 b
74.05 c 91.50 d
92.95 c
S.R.I. ORGANIK
30.24 a 44.08 a
59.22 a 66.78 a
68.95 a
S.R.I. SEMI ORGANIK
35.48 b 50.95 b
67.95 b 76.82 b
78.85 b Keterangan:
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji duncan
Pada Tabel 2 dapat dilihat budidaya konvensional memiliki jumlah batang per rumpun yang lebih banyak dibandingkan dengan S.R.I. anorganik, S.R.I.
organik dan S.R.I. semi-organik pada 14 HST. Hal tersebut dikarenakan prinsip dasar S.R.I., yaitu bibit yang ditanam adalah 1 bibit per lubang tanam, sedangkan
budidaya konvensional menerapkan 8 bibit per lubang. Pada 28 HST jumlah batang per rumpun pada S.R.I. anorganik mulai dapat menyamai jumlah batang
per rumpun pada budidaya konvensial, dan pada 56 dan 70 HST, S.R.I. anorganik mulai menunjukkan perbedaaan yang nyata dengan konvensional, hal ini
dikarenakan pada budidaya S.R.I. tanaman dapat tumbuh dengan optimal, karena pengaruh jarak tanam, dimana jarak tanam lebih lebar dan jumlah bibit yang
ditanam per lubang tanam dibanding dengan konvensional, sehingga tanaman mendapatkan sinar matahari dan penyerapan hara yang optimal.
Pembentukan batang dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti jarak tanam, radiasi matahari, hara mineral, dan berbagai cara budidaya termasuk
pengaturan sistem irigasi Manurung dan Ismunadji, 1988. Menurut Surowinoto 1983 penggenangan tanaman lebih tinggi dari 5 cm akan menekan pertumbuhan
mata tunas menjadi anakan. Penggenangan dan jarak tanam yang sempit pada sistem budidaya konvensional meyebabkan pertumbuhan dan perkembangan mata
tunasnya terhambat, sehingga jumlah batang yang dihasilkan sistem budidaya konvensional lebih rendah dibandingkan sistem budidaya S.R.I..
Pada 70 HST dapat kita lihat, jumlah batang per rumpun dari semua perlakuan baik konvensionak maupun S.R.I. mengalami penurunan. Menurut
Hanum 2008, Setelah mencapai jumlah batang maksimum, pada fase berikutnya beberapa batang akan mati dan jumlah batang keseluruhan akan berkurang
Hanum, 2008.
Tabel 2. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Jumlah Batang Per Rumpun
PERLAKUAN UMUR TANAMAN HST
14 28
42 56
70
KONVENSIONAL
20.20 c 23.30 c
24.80 bc 24.80 a
16.50 a
S.R.I. ANORGANIK
8.35 b 20.60 c
35.50 c 37.50 b
29.35 c
S.R.I. ORGANIK
5.00 a 11.05 a
21.85 a 25.05 a
16.70 a
S.R.I. SEMI ORGANIK
7.95 ab 15.70 b
28.30 b 29.00 a
24.45 b Keterangan:
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan
4.1.5. Hasil Panen
Hasil panen diamati melalui jumlah anakan produktif, panjang malai, bulir per malai, gabah kering panen GPK, dan gabah kering giling GKG. Pada
petakan konvensional jumlah anakan produktif per rumpun sebanyak 14. Jumlah ini lebih sedikit dibanding dengan S.R.I. anorganik maupun S.R.I. semi-organik
masing-masing 22 dan 18. Panjang malai pada S.R.I. anorganik dan S.R.I. semi- organik lebih panjang dibanding dengan konvensional. Umur bibit yang ditanam
juga dapat mempengaruhi jumlah batang produktif per rumpun. Menurut Masdar et al.,
2006 transplantasi yang dilakukan pada umur antara 7-14 hari akan menghasilkan batang produktif per rumpun lebih banyak. Hal ini diduga karena
kondisi awal bibit umur 7-14 hari tidak mengalami stress saat pindah lapang yang akan berlajut selama pertumbuhan vegetatif dan reproduktif.
Tabel 3. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Jumlah Anakan Produktif , Panjang Malai, Gabah Per Malai, Gabah Hampa, dan Gabah
Bernas
Sistem Budidaya Σ Anakan
Produktif Panjang
Malai cm Σ
GabahMalai Σ Gabah
Hampa Σ Gabah
Bernas Konvensional
14.85a 22.21a
109.28a 19.30a
89.98a
S.R.I. Aorganik
22.50b 23.95a
147.00b 24.25b
122.25b
S.R.I. Organik
14.00a 22.39a
114.78a 12.72a
102.07a
S.R.I. Semi-Organik
18.40a 24.50a
158.70b 26.92b
131.78b Keterangan:
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan
Pada S.R.I. organik jumlah anakan produktif dan panjang malai sama dengan konvensional. Hal ini dikarenakan pada budidaya S.R.I. organik hanya
mengandalkan asupan unsur hara dari bahan organic berupa kompos, sehingga terjadi defisiensi unsur hara terutama unsur N. Nitrogen merupakan unsur hara
yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman Tisdale et al., 1990 dan De Datta,
1981, dan menurut Sanchez 1993 penyediaan cukup N yang dapat diserap selama awal pertunasan menghasilkan lebih banyak anakan. Jumlah gabah per
malai dan gabah bernas pada budidaya S.R.I. lebih banyak dibanding dengan budidaya konvensional. Hal ini mungkin dikarenakan tingginya kadar besi total
dalam tanah mencapai 4500 ppm Gambar 3 pada budidaya konvensional yang menyebabkan keracunan pada tanaman. Gejala keracunan Fe ditandai dengan
gejala daun yang berwarna coklat kemerahan Gambar Lampiran 1. Hasil panen menunjukkan bahwa budidaya S.R.I. anorganik dengan
konvensional tidak berbeda nyata, namun hasil GKP S.R.I. anorganik lebih tinggi dibandingkan dengan konvensional. Hal ini dikarenakan S.R.I. memiliki
keunggulan seperti transplantasi bibit yang lebih muda dan secara hati-hati yang akan mengurangi stres pada akar. Sehingga tanaman dapat menyerap unsur hara
dengan optimal. Pada Tabel 4 terlihat bahwa S.R.I. organik memiliki nilai GKP dan GKG paling rendah, hal ini dikarenakan pada perlakuan ini unsur hara yang
ditambahkan hanya bahan organik sebanyak 5 ton per hektar dan tanpa adanya input pupuk lain, sehingga pada perlakuan ini terjadi kekurangan unsur hara yang
menyebabkan rendahnya hasil panen.
Tabel 4. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Produksi Gabah Sistem Budidaya
GKP tonha GKG tonha
Konvensional
5.95c 4.27c
S.R.I. Anorganik 6.09c
4.60c
S.R.I. Organik 2.16a
1.49a
S.R.I. Semi-Organik
4.75b 4.30b
Keterangan:
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan