Pertanian padi sawah metode sri (System of Rice Intensification) dan konvensional serta peranannya dalam perekonomian Kabupaten Indramayu

(1)

PERTANIAN PADI SAWAH METODE SRI (

System of Rice

Intensification

) DAN KONVENSIONAL SERTA PERANANNYA

DALAM PEREKONOMIAN KABUPATEN INDRAMAYU

SUPHENDI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pertanian Padi Sawah Metode SRI (System of Rice Intensification) dan Konvensional serta Peranannya dalam Perekonomian Kabupaten Indramayu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Suphendi

NIM H152100081

*

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.


(3)

SUPHENDI. Pertanian Padi Sawah Metode SRI (System of Rice Intensification) dan Konvensional serta Peranannya dalam Perekonomian Kabupaten Indramayu. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan BAMBANG JUANDA.

Sektor pertanian merupakan sumber pendapatan penting bagi 35.09% penduduk Indonesia. Sebagian besar rumah tangga petani berlahan sempit mengandalkan usaha tani sebagai sumber utama pendapatannya. Padi selain sebagai bahan makanan pokok bagi lebih dari 95% penduduk Indonesia, juga menjadi sumber mata pencaharian bagi 25 juta rumah tangga petani dan pendapatan negara/daerah, sehingga tidak mengherankan bila fluktuasi produksi dan distribusi beras mempengaruhi stabilitas nasional. Sistem usaha tani padi konvensional cenderung belum efisien serta tidak ramah lingkungan dengan tingkat produktivitas yang belum optimal, sehingga pendapatan yang diperoleh petani masih belum maksimal. Metode SRI sejak diperkenalkan di Indonesia tahun 1999 masih menghadapi kendala teknis dan sosial budaya dalam pengembangannya, padahal penerapan metode SRI diharapkan mampu meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan petani serta dapat meningkatkan perekonomian wilayah.

Penelitian ini bertujuan: (1) melakukan analisis usaha tani padi sawah metode SRI dan konvensional dalam skala rumah tangga petani; (2) membandingkan besaran pendapatan usaha tani dengan penerapan metode SRI dan konvensional dalam skala wilayah/kawasan; (3) melakukan analisis pendapatan rumah tangga petani dan distribusinya; dan (4) melakukan analisis peran padi terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Indramayu.

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Indramayu yang merupakan daerah sentra produksi padi di Propinsi Jawa Barat. Metode penelitian yang digunakan meliputi: analisis R/C rasio, linear programming, perhitungan Indeks Gini, analisis tabel input-output dan regresi berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha tani padi sawah di Kabupaten Indramayu dalam skala usaha tani yang dinilai layak dan menguntungkan. Nilai R/C rasio usaha tani padi sawah metode konvensional sebesar 1.83 sedangkan metode SRI sebesar 1.96. Penerapan metode SRI skala rumah tangga belum mampu meningkatkan pendapatan petani sedangkan pada skala wilayah berpotensi meningkatkan pendapatan sebesar 87.59% pada musim hujan, 86.16% pada musim kering pertama dan 228.68% pada musim kering kedua. Rata-rata pendapatan petani SRI sebesar Rp 947 449/kapita/bulan dengan nilai Indeks Gini sebesar 0.62. Rata-rata pendapatan petani konvensional sebesar Rp 822 541/kapita/bulan dengan nilai Indeks Gini sebesar 0.48. Kontribusi usaha tani padi sebesar 68.09% terhadap total pendapatan rumah tangga petani. Setiap peningkatan produktivitas padi sebesar 1% akan meningkatkan PDRB Kabupaten Indramayu sebesar 1.23%. Penerapan metode SRI pada budidaya padi sawah berpotensi meningkatkan PDRB sebesar 4.49%. Pemanfaatan jerami padi dapat meningkatkan PDRB Kabupaten Indramayu sebesar 420 miliar rupiah.


(4)

SUPHENDI. System of Rice Intensification (SRI) and Conventional Rice Farming and its Role in the Indramayu Regency Economy. Supervised by ERNAN RUSTIADI and BAMBANG JUANDA

Agricultural sector is an important income source for 35.09 % of the population of Indonesia. Most the farmer households with small area depend themselves on the farming business as their major source of income. Rice is the staple food for more than 95 % of the Indonesian population, and the rice farming business becomes the livelihood of 25 million farmer households and regional income so that it is not a surprise that fluctuation in rice production and its distribution may affect the national stability. The conventional method of rice cultivation tends to be inefficient, and it is not environmentally friendly with less optimum productivity; as a result, the farmers’ income is not maximum. The SRI method has been known in Indonesia since 1999; however, it has faced technical and social constraints in its development. In fact, the application of this method is

expected to increase the rice productivity and farmers’ income as well as to improve

the regional economy.

The research was aiming at (1) conducting farming business of field rice using SRI method and conventional method in the farmer household scale; (2) comparing the amount of income obtained by the application of SRI method and by the conventional method in the scale of region; (3) conducting analysis on the income of the farmers and its distribution; and (4) conducting analysis on the role of rice on the regional gross domestic products of Indramayu Regency.

The research was conducted at Indramayu Regency which is the center for rice production in West Java Province. The research method used consisted of ratio R/C analysis, linear programming, Gini Index Calculation, analysis on input-output table, and multiple regression.

The results have shown that the field rice farming business in Indramayu Regency in the scale of farming business is feasible and profitable. The R/C ratio values of field rice farming business using the conventional method and SRI method are 1.83 and 1.96 respectively. The application of SRI method in the household scale has not increased the income of the farmers; however, it has

increased the farmers’ income in the regional scale as much as 87.59 % on the rainy

season, 86.16 % on the first period of dry season, and 228.68 % on the second period of dry season. The average income of the farmers using the SRI method is Rp 947,449/capita/month with the Gini Index value of 0.62 whereas the average income of the farmers using the conventional method is Rp 822,541/capita/month with the Gini Index value of 0.48. The contribution of rice farming business is

68.09 % toward the total of the farmers’ income, and as much as 1 % increase in the

rice production will increase the regional gross domestic products of Indramayu Regency by 1.23 %. The application of SRI method on the field rice cultivation has potentially increased the RGDP by 4.49%; also, the utilization of rice straws can increase the RGDP of Indramayu Regency by 420 billion rupiahs.


(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

PERTANIAN PADI SAWAH METODE SRI (

System of Rice

Intensification

) DAN KONVENSIONAL SERTA PERANANNYA

DALAM PEREKONOMIAN KABUPATEN INDRAMAYU

SUPHENDI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(7)

(8)

Intensification) dan Konvensional serta Peranannya dalam Perekonomian Kabupaten Indramayu

Nama Mahasiswa : Suphendi

NIM : H152100081

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Diketahui oleh

Tanggal Ujian: 30 November 2013 Tanggal Lulus: Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr

Ketua

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS Anggota


(9)

PRAKATA

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari sampai dengan Maret 2013 ini ialah usaha tani padi sawah, dengan judul Pertanian Padi Sawah Metode SRI (System of Rice Intensification) dan Konvensional serta Peranannya dalam Perekonomian Kabupaten Indramayu.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr dan Bapak Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS selaku pembimbing, Bapak Dr Ir Setia Hadi, MS sebagai dosen penguji luar komisi, Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MS selaku Sekretaris Program Studi PWD, Mba Nisa, Mba Puput Sekretariat PWD serta Mba Dian Sekretariat PWL. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Darsono, SP. PPL Kecamatan Cikedung yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian. Ungkapan terima kasih yang tulus juga disampaikan kepada ayah, ibu, keluarga tercinta (Renny Purwati, Rasendriya Galuh Saputra dan Rayyan Dwi Prayatna) atas do’a dan kasih sayangnya serta Badan Litbang Pertanian atas beasiswa pendidikannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014


(10)

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 6

1.3 Tujuan Penelitian 8

1.4 Kegunaan Penelitian 8

2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Sistem Agribisnis Pertanian Padi Sawah 9

2.2 Budidaya Padi Sawah Metode SRI (System of Rice Intensification) 12

2.3 Optimasi Pendapatan Petani 14

2.4 Pendapatan Rumah Tangga Petani dan Distribusinya 16 2.5 Peran Sektor-Sektor Perekonomian dalam Perekonomian Suatu

Wilayah 18

2.6 Kontribusi Usaha Tani Padi terhadap Struktur Pendapatan

Rumah Tangga Petani 20

2.7 Kerangka Pemikiran 22

2.8 Hipotesis Penelitian 25

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 26

3.2 Jenis dan Sumber Data 26

3.3 Metode Pengambilan Contoh (Sampel) 26

3.4 Metode Analisis Data 27

3.5 Matrik Kegiatan Penelitian 31

4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Kondisi Geografis dan Topografis 32

4.2 Keadaan Curah Hujan dan Musim 33

4.3 Penggunaan Tanah dan Kesesuaian Tanah untuk Pertanian 36

4.4 Sumber Daya Air dan Irigasi 39

4.5 Keadaan Penduduk dan Sosial Ekonomi 41

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Petani Responden 43

5.2 Analisis Usaha Tani Padi Sawah Skala Rumah Tangga 45 5.3 Optimasi Pendapatan Petani Skala Kewilayahan 49 5.4 Peluang dan Kendala Pengembangan Metode SRI di Kabupaten

Indramayu 60

5.5 Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Petani 62

5.6 Peran Padi dalam Perekonomian Indonesia 66

5.7 Peran Padi dalam Perekonomian Jawa Barat 71 5.8 Peran Padi dalam Perekonomian Kabupaten Indramayu 76


(11)

Simpulan 88

Saran 88

DAFTAR PUSTAKA 90

LAMPIRAN 93

DAFTAR TABEL

1.1 Tingkat kemiskinan dan IPM beberapa kabupaten di Propinsi Jawa Barat 5 2.1 Perbandingan metode konvensional dengan metode SRI di Indonesia 13 2.2 Struktur pendapatan rumah tangga petani di beberapa kabupaten

di Indonesia, tahun 2002 21

2.3 Ketersediaan dan kebutuhan beras di Indonesia 22 3.1 Lokasi penelitian dan sampling frame dalam pengambilan contoh 27

3.2 Matrik kegiatan penelitian 31

4.1 Jenis penggunaan lahan di Kabupaten Indramayu 36

4.2 Jenis tanah dan kesesuaian penggunaan 37

4.3 Kelas kesesuaian tanah untuk padi 37

4.4 Ketersediaan air permukaan dari sungai utama 40 4.5 Iktisar kondisi daerah irigasi di Kabupaten Indramayu 40 5.1 Analisis usaha tani padi sawah metode konvensional di Kabupaten

Indramayu, musim tanam 2011/2012 46

5.2 Analisis usaha tani padi sawah metode SRI di Kabupaten Indramayu,

musim tanam 2011/2012 47

5.3 Uji beda rata-rata data pengamatan 48

5.4 Variasi penerapan budidaya padi di Kabupaten Indramayu 50 5.5 Ketersediaan air irigasi di Daerah Irigasi Rentang 51 5.6 Hasil optimasi pendapatan petani padi sawah metode SRI pada

musim hujan (MH) 54

5.7 Hasil optimasi pendapatan petani padi sawah metode konvensional

pada musim hujan (MH) 55

5.8 Hasil optimasi pendapatan petani padi sawah metode SRI pada

Musim kering I (MKI) 56

5.9 Hasil optimasi budidaya padi sawah metode konvensional pada

musim kering I (MKI) 57

5.10 Hasil optimasi pendapatan petani padi sawah metode SRI pada

musim kering II (MKII) 58

5.11 Hasil optimasi pendapatan padi sawah metode konvensional pada

musim kering II (MKII) 58

5.12 Hasil optimasi penerapan metode SRI dan konvensional 59 5.13 Sepuluh sektor terbesar berdasarkan nilai pengganda output (output

multiplier) di Indonesia tahun 2008 68

5.14 Sepuluh sektor terbesar berdasarkan nilai pengganda pendapatan


(12)

tahun 2008 (sektor padi dan industri penggilingan padi digabung) 70 5.16 Sepuluh sektor terbesar berdasarkan nilai (income multiplier di

Indonesia tahun 2008 (sektor padi dan industri penggilingan padi

digabung) 71

5.17 Sepuluh sektor terbesar berdasarkan nilai pengganda output (output

multiplier) di Jawa Barat tahun 2003 73

5.18 Sepuluh sektor terbesar berdasarkan nilai pengganda pendapatan

(income multiplier) di Jawa Barat tahun 2003 74

5.19 Sepuluh sektor terbesar berdasarkan nilai output multiplier di Jawa Barat

tahun 2003 (sektor padi dan beras digabung) 75

5.20 Sepuluh sektor terbesar berdasarkan nilai income multiplier di

Jawa Barat tahun 2003 (sektor padi dan beras digabung) 76 5.21 Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Indramayu 77 5.22 Indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan sektor-sektor

perekonomian di Kabupaten Indramayu tahun 2004 78 5.23 Kontribusi padi terhadap PDRB Kabupaten Indramayu 80

5.24 Ketersediaan beras di Kabupaten Indramayu 81

5.25 Sumbangan Kabupaten Indramayu terhadap ketersediaan beras nasional 82 5.26 Pengaruh produktivitas padi terhadap PDRB Kabupaten Indramayu 82 5.27 Nilai elastisitas masing-masing peubah bebas 83 5.28 Nilai ekonomis hasil ikutan tanaman padi di Kabupaten Indramayu 87

DAFTAR GAMBAR

1.1 Nilai tukar petani tanaman pangan (NTPP) 3

1.2 Produksi padi di beberapa Kabupaten di Jawa Barat 4 1.3 Produktivitas padi di beberapa Kabupaten di Jawa Barat, tingkat

Provinsi Jawa Barat dan Indonesia 4

2.1 Rantai pemasaran padi di Kabupaten Indramayu 12

2.2 Kurva distribusi pendapatan (kurva Lorenz) 17

2.3 Kerangka pemikiran penelitian 24

4.1 Peta wilayah administrasi Kabupaten Indramayu 32

4.2 Sket topografi Kabupaten Indramayu 33

4.3 Perkembangan rata-rata curah hujan (mm) di Kabupaten Indramayu 34 4.4 Perkembangan rata-rata hari hujan (hr) di Kabupaten Indramayu 34 4.5 Zonasi prakiraan iklim (ZPI) di Kabupaten Indramayu 35 4.6 Peta penggunaan lahan dan zonasi pengembangan pertanian 38 4.7 Struktur pekerjaan utama penduduk Kabupaten Indramayu 42

5.1 Distribusi petani responden menurut usia 43

5.2 Distribusi petani responden menurut tingkat pendidikan 44 5.3 Distribusi petani responden menurut luas lahan 44 5.4 Distribusi petani responden menurut pengalaman usaha tani 45

5.5 Skema jaringan irigasi DI Rentang 51


(13)

5.8 Dotplot pendapatan rumah tangga petani padi konvensional dan SRI 64 5.9 Boxplot pendapatan rumah tangga petani padi konvensional dan SRI 64 5.10 Kurva Lorenzs pendapatan petani padi di Kabupaten Indramayu 65 5.11 Sebaran sektor-sektor perekonomian di Indonesia tahun 2008 68 5.12 Sebaran sektor-sektor perekonomian di Indonesia tahun 2008 (sektor

padi dan industri penggilingan padi digabung) 70 5.13 Sebaran sektor-sektor perekonomian di Jawa Barat tahun 2003 72 5.14 Sebaran sektor-sektor perekonomian di Jawa Barat tahun 2003 (sektor

padi dan beras digabung) 75

5.15 Kontribusi beberapa sektor perekonomian Kabupaten Indramayu 77 5.16 Sebaran sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Indramayu

tahun 2004 79

5.17 Kontribusi padi terhadap subsektor tanaman bahan makanan

di Kabupaten Indramayu 81

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji Beda Rata-Rata Data Pengamatan (Metode SRI dan Konvensional) 95 2 Hasil Produksi dan Input Produksi dalam Usaha Tani Padi Sawah di

Kabupaten Indramayu 103

3 Uji Beda Rata-Rata Total Pendapatan Petani dalam 1 Tahun

(konvensional dan SRI) 104

4 Kuintil, Desil dan Indeks Gini Pendapatan Rumah Tangga Petani

Padi di Kabupaten Indramayu 105

5 Indeks Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan Sektor-Sektor

Perekonomian di Indonesia Tahun 2008 109

6 Indeks Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan Sektor-Sektor Perekonomian di Indonesia Tahun 2008 (sektor padi dan industri

penggilingan padi digabung) 111

7 Indeks Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan Sektor-Sektor

Perekonomian di Jawa Barat Tahun 2003 113

8 Indeks Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan Sektor-Sektor Perekonomian di Jawa Barat Tahun 2003 (sektor padi dan beras

digabung) 116

9 Pengaruh Komoditas Padi Terhadap Perekonomian Kabupaten


(14)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Indonesia yang merupakan negara berkembang dimana sektor pertanian masih diberikan prioritas yang utama. Hal ini mengingat bahwa sektor pertanian berperan dalam penyediaan bahan pangan bagi 237.64 juta penduduk Indonesia, penyerapan tenaga kerja dan penyediaan bahan baku pada sektor lain, sehingga pertanian merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian nasional. Selain itu pada tahun 2011, sektor pertanian merupakan penyumbang produk domestik bruto (PDB) nasional terbesar ketiga yaitu sebesar 13.56% setelah sektor industri pengolahan (27.29%) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (18.82%) (BPS 2012).

Sektor pertanian merupakan sumber pendapatan penting bagi 35.09% penduduk Indonesia (BPS 2012). Sebagian besar rumah tangga petani berlahan sempit mengandalkan usaha tani sebagai sumber utama pendapatannya. Oleh karena itu sangat beralasan bila ketidakmerataan pendapatan rumah tangga di perdesaan yang berbasis pertanian berkaitan erat dengan ketidakmerataan struktur penguasaan lahan pertanian (Nurmanaf 2002).

Padi selain sebagai bahan makanan pokok bagi lebih dari 95% penduduk Indonesia, juga menjadi sumber mata pencaharian bagi 25 juta rumah tangga petani, sehingga tidak mengherankan bila fluktuasi produksi dan distribusi beras mempengaruhi stabilitas nasional. Besar kecilnya kontribusi usaha tani padi terhadap pendapatan rumah tangga petani ditentukan oleh luas penguasaan lahan, Implikasinya, kebijakan di bidang usaha tani padi lebih banyak dinikmati oleh petani dengan skala usaha yang luas.

Masalah utama yang dihadapi oleh petani padi di Indonesia ditentukan oleh implikasi dua faktor pengendali berikut: Pertama, implikasi dari globalisasi khususnya liberalisasi perdagangan internasional yang akan meningkatkan tekanan pesaing dari negara lain. Kecenderugan yang terjadi adalah: (a) di pasar produk pertanian, harga akan cenderung tertekan ke bawah karena petani dari sejumlah negara eksportir mampu menekan biaya pokok produksi sehingga dapat memasarkan produksinya dengan harga yang lebih rendah, (b) di pasar sarana produksi, harga riil cenderung meningkat karena berbagai bentuk subsidi bagi industri sarana produksi pertanian semakin dikurangi atau bahkan dihilangkan.

Kedua, implikasi dari kelangkaan dan degradasi sumber daya, terutama lahan dan

air. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan perekonomian maka kebutuhan akan lahan dan air akan semakin meningkat. Di sisi lain, praktek-praktek pendayagunaan sumber daya yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelestarian umumnya tidak menghasilkan keuntungan jangka pendek yang memadai (disinsentif), sehingga laju degradasi lahan dan air sulit ditekan. Akibatnya, persaingan pemanfaatan lahan semakin meningkat, padahal ketersediaan lahan dan air semakin langka dan kualitasnya menurun.


(15)

Kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut dapat ditempuh dengan acuan prinsip efisiensi. Artinya, untuk sejumlah sumber daya tertentu yang dapat dijangkau, petani dituntut mampu memproduksi lebih banyak keluaran (output), atau untuk menghasilkan sejumlah keluaran tertentu, petani harus mampu memanfaatkan sumber daya yang lebih sedikit. Dengan kata lain, kunci pemecahan masalah ini adalah peningkatan produktivitas sumber daya. Penelitian Dhungana et al. (2004) menyatakan di negara berkembang, inovasi teknologi dan atau introduksi teknologi baru yang lebih efisien dibutuhkan untuk meningkatkan produksi, akan tetapi terdapat masalah seperti cultural constrains yang menyebabkan teknologi tersebut tidak dapat diterapkan. Karena itu peningkatan atau perbaikan efisiensi usaha tani menjadi alternatif untuk meningkatkan produksi padi.

Upaya peningkatan efisiensi usaha tani bukan persoalan yang sederhana. Gugus variabel yang harus dipertimbangkan petani sangat banyak, bukan hanya yang berdimensi teknis dan ekonomis, tetapi juga sosial budaya. Dalam dimensi teknis, penguasaan budidaya pertanian yang produktif menjadi syarat utama yang harus dipenuhi. Dalam dimensi ekonomi, kemampuan petani menjangkau dan mengolah informasi yang berkaitan dengan tingkat kelayakan finansial dan prospek pemasaran tiap jenis komoditas yang secara teknis dapat diusahakan harus semakin tinggi. Dalam dimensi sosial budaya, petani dihadapkan pada kenyataan bahwa setiap keputusan dan tindakan dalam usaha taninya harus selalu berada dalam bingkai norma setempat, sehingga berbagai perubahan yang perlu dilakukan harus selaras dengan dinamika sosial budaya setempat. Secara simultan, ketiga dimensi itu harus dipertimbangkan ketika petani akan mengambil keputusan tentang apa, kapan, seberapa banyak, dengan cara bagaimana, dan kemana akan memasarkan produksi yang akan dihasilkannya.

Lahan sawah di Indonesia pada umumnya telah mengalami degradasi kesuburan tanah (fisik, kimia dan biologi) sebagai akibat dari pemupukan kimia pada sistem Bimas dan Inmas dalam era pembangunan orde baru yang diindikasikan oleh rendahnya kandungan bahan organik. Dampaknya antara lain, tanah menjadi keras dan liat sehingga sulit diolah, respon terhadapan pemupukan rendah, tidak responsif terhadap unsur hara tertentu, tanah menjadi masam, penggunaan air irigasi menjadi tidak efisien serta produktivitas tanaman cenderung stagnan dan semakin susah untuk ditingkatkan. Hal ini disebabkan oleh kesuburan tanah yang semakin menurun karena cara-cara pengelolaan lahan sawah yang kurang tepat. Kebiasaan petani menggunakan pupuk kimia yang terus menerus sedangkan bahan organik yang berupa jerami padi tidak dikembalikan ke lahan tetapi dibuang atau dibakar, sehingga mengakibatkan lahan sawah menjadi miskin unsur hara yang dibutuhkan tanaman serta memburuknya sifat fisik lahan.

Peran kemantapan produksi pangan mempunyai saham yang cukup besar dalam hubungannya dengan kemantapan pembangunan nasional bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana diketahui pula bahwa mayoritas penduduk Indonesia masih tinggal di wilayah perdesaan dengan mata pencaharian pokok pada sektor pertanian khususnya pertanian tanaman pangan, upaya untuk mempertahankan swasembada pangan akan berpengaruh pula pada kestabilan sosial politik yang diperlukan dalam pembangunan nasional.

Berdasarkan nilai tukar petani, tingkat daya beli petani tanaman pangan baik tingkat nasional maupun regional Jawa Barat dari tahun 2008 sampai 2010 terjadi penurunan dibandingkan dengan tahun dasar (tahun 2007), hal ini ditunjukkan


(16)

denga nilai NTP yang kurang dari 100. Baru dari tahun 2011 hingga 2012 nilai NTP tanaman pangan lebih dari 100, hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan daya beli petani (Gambar 1.1). Nilai NTP kurang dari 100 (NTP < 100) dapat diartikan bahwa kemampuan daya beli petani periode tersebut relatif lebih buruk dibandingkan dengan periode tahun dasar, sebaliknya jika nilai NTP > 100 berarti terjadi kenaikan daya beli petani. NTP merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani, karena mengukur kemampuan tukar produk yang dihasilkan petani dibandingkan dengan produk yang dibutuhkan petani baik untuk proses produksi maupun untuk konsumsi rumah tangga petani.

90.00 92.00 94.00 96.00 98.00 100.00 102.00 104.00 106.00

2008 2009 2010 2011 2012

N

T

P

P

e

ta

n

i

T

a

n

.

P

a

n

g

a

n

NTPP Nasional NTPP Jabar

Sumber: BPS Pusat (berbagai tahun)

Gambar 1.1 Nilai tukar petani tanaman pangan (NTPP)

Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat dengan kondisi sumber daya alam terutama sumber daya lahan dan sumber daya irigasi yang cukup baik dalam mendukung budidaya tanaman, sehingga merupakan daerah sentra produksi pertanian. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Indramayu, Kabupaten Indramayu memiliki luas wilayah 204 011 hektar yang terdiri atas 119 043 hektar (58.35%) merupakan lahan sawah beririgasi dengan irigasi teknis sebesar 71 343 hektar dan 23 737 hektar irigasi setengah teknis, sedang 23 963 hektar di antaranya adalah lahan sawah tadah hujan. Adapun luas lahan kering di Kabupaten Indramayu tercatat seluas 84 968 hektar atau sebesar 41.65% dari luas wilayah seluruhnya.

Sebagai lumbung beras di Jawa Barat, Kabupaten Indramayu masih tertinggi dalam produksi padi se-Propinsi Jawa Barat (Gambar 1.2), dalam periode sebelas tahun terakhir (dari tahun 2001 sampai 2011), Kabupaten Indramayu masih nomor satu dalam produksi padi se-Propinsi Jawa Barat. Produksi padi selama kurun waktu tersebut rata mencapai 1.14 juta ton/tahun dengan rata-rata produktivitas sebesar 56.07 kuintal/hektar. Oleh karena itu, sektor pertanian merupakan sektor basis (unggulan) di Kabupaten Indramayu di samping sektor pertambangan dan sektor industri pengolahan. Sektor pertanian pada tahun 2011 menyumbang 19.93% terhadap total Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan (tahun 2000) Kabupaten Indramayu, penyumbang terbesar kedua setelah sektor pertambangan dan penggalian (29.41%). Selain itu data penduduk Kabupaten Indramayu berdasarkan sektor usaha utama menunjukkan sebanyak


(17)

56.36% penduduk yang berusia di atas 15 tahun bekerja di sektor pertanian baik sebagai petani pemilik, petani penggarap, maupun sebagai buruh tani (BPS Indramayu 2011). 400,000 500,000 600,000 700,000 800,000 900,000 1,000,000 1,100,000 1,200,000 1,300,000 1,400,000 1,500,000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

P ro d u k si P a d i (t o n )

Indramayu Subang Karawang Sukabumi Cianjur

Sumber: BPS Jabar (2012); Kementan (2012)

Gambar 1.2 Produksi padi di beberapa kabupaten di Jawa Barat

Produktivitas tanaman padi di Kabupaten Indramayu cukup tinggi, produktivitas tertinggi terjadi pada tahun 2011, dimana produktivitasnya mencapai 61.26 kuintal/hektar dengan total produksi 1.42 juta ton. Jika dibandingkan dengan produktivitas padi di beberapa kabupaten di Jawa Barat dan tingkat Propinsi Jawa Barat serta tingkat nasional, produktivitas padi Kabupaten Indramayu masih lebih tinggi (Gambar 1.3)

42.00 44.00 46.00 48.00 50.00 52.00 54.00 56.00 58.00 60.00 62.00

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

P ro d u k ti v it a s P a d i (k u/ h a)

Indramayu Subang Karawang Sukabumi

Cianjur Jawa Barat Indonesia Sumber: BPS Jabar (2012); Kementan (2012)

Gambar 1.3 Produktivitas padi di beberapa kabupaten di Jawa Barat, tingkat Propinsi Jawa Barat dan Indonesia

Namun demikian, tingginya produktivitas tersebut tidak berbanding lurus dengan besarnya tingkat pendapatan (baik di tingkat petani maupun di tingkat wilayah) dan kesejahteraan petani. Di tingkat wilayah, besarnya pendapatan


(18)

produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita Kabupaten Indramayu masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan PDRB per kapita Propinsi Jawa Barat dan di tingkat nasional. Dari tahun 2007 sampai 2011, rata-rata PDRB per kapita atas dasar harga konstan (tahun 2000) tanpa migas Kabupaten Indramayu mencapai 4.85 juta rupiah per tahun, sedangkan tingkat Propinsi Jawa Barat 7.64 juta rupiah per tahun dan tingkat nasional 9.77 juta rupiah per tahun (BPS 2012).

Produktivitas usaha tani padi yang telah dicapai oleh petani di Kabupaten Indramayu belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Kondisi riil di lapangan menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin di Kabupaten Indramayu tergolong cukup tinggi. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa dampak dari tingginya produktivitas padi secara langsung diduga belum dapat dinikmati oleh kalangan petani. Jika dibandingkan dengan beberapa kabupaten di Jawa Barat tingkat persentase penduduk miskin di Kabupaten Indramayu menempati posisi tertinggi ke dua setelah Kota Tasikmalaya, dan jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat maupun di tingkat nasional, tingkat prosentase kemiskinan di Kabupaten Indramayu masih lebih tinggi. Pada tahun 2010 persentase penduduk miskin di Kabupaten Indramayu mencapai 16.58%, sedangkan Jawa Barat 11.27% dan tingkat nasional 13.33% (BPS Jabar 2012). Begitu juga dengan tingkat indeks pembangunan manusia (IPM), IPM Kabupaten Indramayu pada tahun 2010 yaitu 67.75, paling rendah jika dibandingkan dengan IPM beberapa kabupaten di Propinsi Jawa Barat (Tabel 1.1) Oleh karena itu, sejauh mana pengaruh dari perkembangan sektor pertanian terutama komoditas padi terhadap pertumbuhan perekonomian di Kabupaten Indramayu perlu dilakukan kajian yang komprehensif.

Tabel 1.1 Tingkat kemiskinan dan IPM beberapa kabupaten di Propinsi Jawa Barat

Kabupaen/ Kota

Garis kemiskinan Jumlah penduduk miskin

Persentase penduduk

miskin

IPM

2009 2010 2009 2010 2009 2010 2009 2010

Indramayu 242 931 264 576 319 530 276 000 17.99 16.58 67.39 67.75 Subang 219 956 234 803 201 780 198 300 14.13 13.54 70.86 71.14 Karawang 239 832 266 597 264 830 260 200 12.90 12.21 69.47 69.79 Sukabumi 174 793 184 127 265 480 249 500 11.78 10.65 70.17 70.66 Cianjur 192 176 202 438 311 120 310 900 14.14 14.32 68.66 69.14 Cirebon 211 501 230 346 390 540 333 300 18.22 16.12 68.37 68.89 Kota

Tasikmalaya 243 897 263 177 140 110 131 500 23.55 20.71 75.17 74.40 Jawa Barat 220 068 230 445 4 983 600 4 716 000 11.96 11.27 71.64 72.29 Indonesia 200 979 212 672 32 530 000 31 020 000 14.15 13.33 71.76 72.27 Sumber: BPS Jabar 2012

Sistem usaha tani padi yang dilakukan oleh petani Kabupaten Indramayu dikategorikan masih sederhana (konvensional), karena masih mengandalkan pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh para pendahulunya. Tingkat efisiensi usaha tani padi yang rendah dan metode usaha tani yang belum optimal menjadi penyebab rendahnya pendapatan yang diterima oleh petani. Tingginya tingkat produktivitas padi ternyata disertai dengan kecenderungan


(19)

penggunaan faktor-faktor produksi yang masih berlebihan (in-efisien). Hal ini menyebabkan tingginya biaya produksi, sehingga keuntungan bersih yang diterima oleh petani menjadi tergolong rendah. Kenaikan harga-harga faktor produksi seperti pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja telah memperburuk tingkat pendapatan petani.

Upaya dalam meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan produksi pertanian tanaman pangan khususnya padi, sejak tahun 1999 di Indonesia telah dikenalkan suatu sistem usaha tani padi yang hemat penggunaan input produksi dan tingkat produktivitasnya yang tinggi jika dibandingkan dengan sistem usaha tani konvensional, yaitu metode SRI (System of Rice Intensification). Metode SRI merupakan sistem teknik budidaya tanaman padi yang mengubah cara petani ke arah bagaimana mengelola tanaman padi, air dan zat hara tanaman (nutrient) agar mampu meningkatkan pertumbuhan akar serta mendorong peningkatan dan keragaman jenis-jenis organisme tanah yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode SRI dapat meningkatkan pendapatan petani jika dibandingkan dengan metode konvensional (Wardhana 2009; Juanda et al. 2011). Anugerah et al. (2008) melaporkan bahwa penerapan metode SRI mampu (1) meningkatkan hasil produksi jika dibandingkan dengan budidaya padi kovensional; (2) meningkatkan pendapatan; (3) meningkatkan efisiensi produksi dan efisiensi usaha tani secara finansial; serta (4) pangsa harga pasar lebih tinggi sebagai beras organik.

Konsep pertanian yang efisien dan ramah lingkungan, ke depan menjadi keharusan yang mesti diterapkan dalam usaha tani padi di Indonesia, untuk mencapai kondisi tersebut perlu adanya masukan berbagai kebijakan yang dapat mengarahkan pada pemanfaatan yang optimal dari segala sumber daya potensial yang dapat dikembangkan di lokasi tertentu (spesifik lokasi). Oleh karena itu, kajian mengenai analisis sistem pertanian padi sawah metode konvensional dan SRI perlu dilakukan kaitannya dengan tingkat pendapatan rumah tangga petani dan tingkat pendapatan wilayah, serta bagaimana peranan komoditas padi terhadap kinerja perekonomian Kabupaten Indramayu menjadi topik yang menarik untuk dilakukan penelitian.

1.2 Perumusan Masalah

Pemberdayaan ekonomi rakyat melalui pengembangan suatu sistem usaha tani pada dasarnya ditujukkan untuk meningkatkan pendapatan petani. Hal ini sejalan dengan salah satu sasaran pembangunan nasional yaitu meningkatkan taraf hidup penduduk melalui peningkatan pendapatan. Sektor pertanian memegang peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian di Kabupaten Indramayu, yang merupakan sektor unggulan dalam menyumbang produk domestik regional bruto (PDRB), tetapi sejauh mana pengaruhnya perlu dilakukan suatu kajian yang komprehensif. Kabupaten Indramayu merupakan daerah sentra produksi padi terbesar di Jawa Barat dimana lebih dari setengah jumlah penduduknya bekerja di sektor pertanian, tetapi tingkat pendapatan per kapitanya masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita di


(20)

tingkat Jawa Barat maupun di tingkat nasional. Selain itu persentase penduduk miskin di Kabupaten Indramayu masih cukup tinggi.

Sistem usaha tani yang dikelola oleh petani seringkali menghadapi berbagai kendala pengembangan. Keterbatasan sumber daya yang dikuasai merupakan karakteristik yang seringkali melekat pada usaha tani di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Keterbatasan dalam penguasaan lahan, modal dan input produksi lainnya serta rendahnya kemampuan dalam aspek pengelolaan, merupakan kondisi yang akan membawa implikasi pada pola pengusahaan yang tidak efisien.

Penggunaan input-input produksi terutama pupuk anorganik dan pestisida yang berlebihan banyak dilakukan oleh petani, padahal cara tersebut tidak hanya mengurangi keuntungan yang diperoleh petani, tetapi juga membuang energi serta merusak lingkungan dan keseimbangan unsur hara di tanah. Beberapa hasil penelitian (Moehar 1987; Mentodihardjo 1990; Widayat 1992) menunjukkan bahwa penggunaan input-input produksi yang dilakukan oleh petani di Indonesia dikategorikan tidak efisien dan terlalu berlebihan sehingga dapat menyebabkan degradasi sumber daya alam dan turunnya daya dukung lingkungan dalam proses budidaya tanaman.

Sistem usaha tani padi dengan metode SRI, sejak diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1999 sampai saat ini perkembangannya masih terasa lambat, petani belum sepenuhnya mengadopsi metode tersebut. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa petani padi di Indramayu melaksanakan metode SRI sebatas berpartisipasi dalam demplot dan pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah, hanya sebagain kecil petani yang masih menerapkan sampai saat ini. Rendahnya minat petani diduga disebabkan karena metode SRI tergolong masih baru dengan tingkat kesulitan budidaya yang tinggi di mata petani serta biaya usaha tani yang lebih besar jika dibandingkan dengan metode konvensional yang biasa petani lakukan.

Keterbatasan sumber daya dan kemampuan dalam mengelola usaha taninya, menyebabkan pemilihan metode budidaya seringkali didasarkan atas pertimbangan faktor kebiasaan dan apa yang dapat dilakukan oleh petani serta bukan didasarkan atas pertimbangan efisiensi. Dengan kondisi demikian maka alokasi sumber daya yang dikuasai oleh petani sering belum optimal dan pengelolaan usaha menjadi tidak efisien dengan tingkat produktivitas relatif rendah. Implikasinya adalah tingkat pendapatan yang dicapai petani belum maksimal. Demikian pula dengan sumbangan sektor pertanian terhadap pendapatan daerah.

Ditinjau dari segi pendapatan wilayah, produk dari komoditas padi belum sepenuhnya dimanfaatakan dengan baik, salah satunya adalah produk ikutan dari tanaman padi yang berupa jerami, sekam dan dedak belum bernilai ekonomis. Khususnya jerami belum tersentuh sedikitpun oleh petani maupun pemerintah daerah. Kebiasaan petani membakar jerami di pematang sawah bukan hanya menghilangkan potensi ekonomi jerami tapi juga mencemari udara lingkungan sekitarnya, padahal jika dimanfaatkan dengan baik akan bernilai ekonomis tinggi dan merupakan sumber pendapatan petani dan daerah.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu;


(21)

1. Apakah penerapan teknik budidaya padi sawah dengan metode SRI dapat meningkatkan pendapatan petani baik dalam skala rumah tangga petani maupun skala wilayah/kawasan jika dibandingkan dengan metode konvensional?

2. Seberapa besar kontribusi pendapatan usaha tani padi sawah terhadap total pendapatan rumah tangga petani dan distribusinya.

3. Bagaimana peran komoditas padi terhadap kinerja perekonomian Kabupaten Indramayu terutama kontribusinya dalam produk domestik regional bruto.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan di atas maka tujuan penelitian adalah:

1. Melakukan analisis usaha tani padi sawah metode konvensional dan SRI dalam skala rumah tangga petani.

2. Membandingkan besaran pendapatan usaha tani dengan penerapan metode konvensional dan SRI dalam skala wilayah/kawasan

3. Melakukan analisis pendapatan rumah tangga petani dan distribusinya. 4. Melakukan analisis peran komoditas padi terhadap nilai tambah bruto serta

potensi peningkatan PDRB dengan penerapan metode SRI dan pemanfaatan produk ikutan tanaman padi.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada petani padi mengenai penerapan sistem pertanian padi sawah yang efisien dan optimal yang mampu memberikan pendapatan yang maksimal baik dalam skala rumah tangga maupun dalam skala wilayah/kawasan. Serta sebagai bahan pertimbangan bagi pejabat pemangku kebijakan (Pemda dan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu) terutama dalam merencanakan pembangunan pertanian yang maju, efisien dan berkelanjutan guna mendukung program ketahanan pangan nasional.


(22)

2

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Sistem Agribisnis Pertanian Padi Sawah

Kabupaten Indramayu merupakan penyangga kebutuhan beras di Jawa Barat, yang juga merupakan salah satu produsen terbesar, sehingga sampai saat ini Kabupaten Indramayu dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya bahkan terjadi surplus yang dapat didistribusikan ke kabupaten lain. Nilai produksi padi yang diusahakan di Indramayu sebesar 82.96% dari seluruh nilai total produksi komoditas tanaman pangan, dimana dari 31 kecamatan yang ada, 29 diantaranya menempatkan padi sawah sebagai komoditas utamanya (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu 2011).

Berdasarkan data BPS Kabupaten Indramayu, pada tahun 2011, produksi padi Kabupaten Indramayu sebesar 1 415 050 ton dengan produktivitas rata-rata 6.13 ton/ha. Tingkat produktivitas tersebut relatif cukup tinggi atau di atas rata-rata produktivitas nasional. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari program intensifikasi padi yang dicanangkan pemerintah dengan berbagai lembaga yang terkait di dalamnya. Perbaikan sistem pertanian menjadi syarat mutlak untuk mencapai swasembada dan kemandirian pangan. Untuk itu, subsistem-subsistem yang mendukung sistem pertanian harus segera dibenahi dan diperbaiki, diantaranya yaitu:

2.1.1 Subsistem Pengadaan Saprodi

Ketersediaan saprodi dalam agribisnis padi sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil produksi usaha tani. Sarana produksi usaha tani padi meliputi benih, pupuk, pestisida dan tenaga kerja manusia. Benih yang digunakan bervariasi, seperti varietas IR 64, Muncul, Ciherang dan Cisadane, digunakan sebagai selingan. Benih padi diperoleh dari toko/kios, balai benih dan perusahaan swasta. Jenis pupuk yang harus selalu tersedia pada komoditas tanaman pangan adalah urea, TSP, KCL dan ZA. Pupuk bisa diperoleh dari toko/kios yang menjual saprodi di lokasi kecamatan ataupun kabupaten. Penggunaan urea berkisar antara 200-250 kg/ha, SP 36 sebanyak 100-150kg/ha, KCl sebanyak 50 sampai 100kg/ha (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu 2011).

Kebutuhan tenaga kerja relatif terpenuhi dari tenaga kerja dalam dan luar keluarga yang tersedia di Kabupaten Indramayu. Kebutuhan tenaga kerja per hektar dipengaruhi oleh musim tanam. Pada musim rendeng (musim hujan), tenaga kerja berkisar antara 50-65 HOK, sedangkan pada musim tanam gadu (musim kering), berkisar antara 80 sampai 100 HOK per hektar per musim tanam.

2.1.2 Subsistem Produksi

Tanaman padi dapat hidup baik di daerah yang temperatur panas dan banyak mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki per tahun sekitar 1 500 sampai 2 000 mm. Suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi 23 °C. Tinggi tempat yang cocok untuk tanaman padi berkisar antara 0 sampai 1 500 m dari permukan laut (dpl).


(23)

Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi adalah tanah sawah yang kandungan fraksi pasir debu dan lempung dalam perbandingan tertentu dengan diperlukan air dalam jumlah yang cukup. Padi dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang ketebalan lapisan atasnya antara 18 sampai 22 cm dengan pH antara 4 sampai 7.

Teknik bercocok tanam yang baik sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan. Hal ini harus dimulai dari awal, yaitu sejak dilakukan persemaian sampai tanaman itu bisa dipanen. Dalam proses pertumbuhan tanaman hingga berbuah ini harus dipelihara yang baik terutama harus diusahakan agar tanaman terhindar dari serangan hama dan penyakit yang sering kali menurunkan produksi. Tahapan dalam budidaya padi sawah secara konvensional dapat dijelaskan sebagai berkut:

Persemaian

Membuat persemaian merupakan langkah awal bertanam padi. Pembuatan persemaian memerlukan suatu persiapan yang sebaik-baiknya, sebab benih di persemaian ini akan menentukan pertumbuhan padi di sawah. Oleh karena itu, persemian harus benar-benar mendapat perhatian agar harapan untuk mendapatkan bibit padi yang sehat dan subur dapat tercapai. Benih yang digunakan sebaiknya benih unggul yang telah disebarluaskan kepada petani dan bersertifikat, sehingga kualitas benih dapat dijamin. Kebutuhan benih padi per hektar sekitar 20 sampai 25 kilogram.

Persiapan dan Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah bertujuan mengubah keadaan tanah pertanian dengan alat tertentu hingga memperoleh susunan tanah (struktur tanah) yang dikehendaki oleh tanaman. Secara umum pengolahan tanah pada tanaman padi memiliki beberapa tujuan yaitu pengendalian gulma, keseragaman pemupukan, menaikan porositas tanah, pelumpuran tanah dan menaikan daya serap tanah terhadap unsur hara. Pengolahan tanah sawah terdiri dari beberapa tahap yaitu: i) pembersihan, ii) pencangkulan, iii) pembajakan, dan iv) penggaruan.

Penanaman

Penanaman merupakan kegiatan memindahkan bibit dari persemaian ke lahan sawah. Jarak tanam yang dianjurkan adalah 25 cm x 25 cm atau 30 cm x 15 cm atau jarak tanam jajar legowo 40 cm x 20 cm x 12.5 cm (2:1). Penanaman sebaiknya dilakukan dalam keadaan lahan tidak tergenang (macak-macak). Bibit yang ditanam sekitar 2 sampai 3 batang per lubang (Herawati 2012). Pemindahan bibit padi biasanya dilakukan pada bibit berumur 25 sampai 30 hari setelah semai (HSS).

Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan bertujuan untuk menjaga tanaman agar tumbuh dan berkembang dengan baik. Tanaman padi yang dipelihara dengan baik dapat membuahkan hasil yang memuaskan, sesuai dengan yang diharapkan. Dalam rangka pemeliharaan tanaman padi ini, yang perlu diperhatikan yaitu: i) penyulaman dan penyiangan, ii) pengairan, iii) pemupukan dan iv) pengendalian hama dan penyakit.


(24)

Kegiatan penyulaman merupakan kegiatan mengganti tanaman padi yang mati atau rusak akibat proses penanaman dengan jenis dan varietas yang sama supaya pertumbuhan tanaman sama dan serempak. Penyulaman tidak boleh melampaui 10 hari setelah tanam (HST). Guna melindungi tanaman padi dari gulma maka perlu dilakukan penyiangan. Gulma berkompetisi dengan tanaman padi dalam zat makanan, ruang dan potensi sebagai tanaman inang (host) bagi hama dan penyakit tertentu. Pengendalian gulma dapat dilakukan secara manual dengan mencabut tanaman pengganggu (gulma) yang ada pada pertanaman atau secara semi mekanis dengan alat bantu seperti landak, kiskis atau rotary weeder

dan pemberian herbisida. Penyiangan umumnya dilakukan 2 sampai 3 kali selama tanam, biasanya pada umur 14 HST, 35 HST dan 55 HST.

Air sangat diperlukan tanaman padi sawah untuk pertumbuhan. Menurut cara pemberian, pengairan padi sawah dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: pengairan secara terus-menerus (continuous flow) dan pengairan secara periodik/terputus-putus (intermitten). Pengairan secara intermitten lebih hemat dalam penggunaan air, karena air tidak diberikan secara terus-menerus pada fase-fase tertentu dilakukan pengeringan. Teknik budidaya padi secara konvensional bisanya menggunakan teknik irigasi secara terus menerus (countinuous flow).

Tanaman padi membutuhan zat hara makro dan mikro untuk pertumbuhan dan perkembangan. Zat hara makro terutama nitrogen (N), pospor (P) dan kalium (Aak 1992). Ketiga unsur tersebut diperoleh dari pupuk buatan pabrik (anorganik) seperti urea, SP36 dan KCl. Pupuk ini menjadi penopang utama selama proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi secara konvensional. Jika kondisi kesuburan lahan tidak dapat menopang pertumbuhan optimal maka perlu dilakukan pemupukan. Pemupukan dapat dilakukan 2 sampai 3 kali selama musim tanam, yaitu pada umur 14 HST, 30 HST dan 50 HST (Herawati 2012).

Serangan hama dan penyakit pada tanaman padi dapat menurunkan hasil produksi bahkan dapat menyebabkan gagal panen. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang serius terhadap kemungkinan muncul dan berkembangnya organisme penggangu tanaman (OPT). Pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan melalui cara mekanis seperti gropyokan untuk tikus, pemberian pestisida (alami atau manufaktur), musuh alami dan kultur teknis atau budidaya. Pengaturan tinggi genangan dapat juga mengendalikan serangan tikus. Pengelolaan ikan dalam petakan sawah terutama jenis predator seperti ikan mas atau gabus juga dapat mengendalikan serangan hama tertentu.

2.1.3 Subsistem Panen dan Penanganan Pasca Panen

Panen merupakan tahap akhir penanaman padi sawah. Pemanenan harus dilakukan pada waktu yang tepat, sebab ketepatan waktu memanen berpengaruh terhadap jumlah dan mutu gabah dan berasnya (Aak 1992). Panen biasanya dilakukan oleh tenaga upahan dengan sistem borongan. Cara menghitungnya adalah 5 (lima) bagian ke pemilik sawah satu bagian ke penderep/buruh.

Pada umumnya petani di desa tidak melakukan semua tahap yang ada pada proses pascapanen. Mereka hanya melakukan satu hal yaitu setelah padi diangkat dari sawah dengan cara disabit mereka merontokan hasil panen dari batangnya dengan cara memukulkan hasil panen pada kayu dan untuk mengurangi kehilangan produksi perlu diberi alas, misalnya plastik dan sebelum dikeringkan hasil panen langsung dijual ke bandar-bandar/tengkulak yang sudah ada di tempat


(25)

dan siap membeli apabila harga sudah disepakati. Ada juga sebagian petani yang terlebih dahulu menjemur gabah hasil panen, kemudian menjualnya ke penggilingan dalam bentuk gabah kering giling (GKG). Pada umumnya petani menyimpan sebagian hasil panennya untuk konsumsi sehari-hari.

2.1.4 Subsistem Pemasaran

Pemasaran hasil produksi dilakukan pada saat panen berlangsung. Petani biasanya menjual hasil produksinya ke tengkulak atau pedagang lokal di daerahnya masing-masing. Ada beberapa bentuk hasil produksi yang dijual oleh petani kepada pedagang pengumpul, yaitu mereka menjual dalam bentuk gabah kering panen (GKP), gabah kering giling (GKG) dan dalam bentuk beras. Namun pada umumnya petani di wilayah sentra produksi lebih suka menjual hasil produksi dalam bentuk gabah kering giling (GKG). Adapun rantai pemasaran yang terjadi pada komoditas beras secara umum adalah:

Gambar 2.1 Rantai pemasaran padi di Kabupaten Indramayu

2.1.5 Subsistem Kelembagaan Penunjang

Masih terdapatnya campur tangan pemerintah terutama pada mekanisme penentuan harga dasar dan harga atap, yang bertujuan untuk melindungi kepentingan petani dan konsumen. Namun pada kenyataannya ketetapan harga dasar kering giling sering dilanggar oleh pedagang pengumpul atau tengkulak yang memanfaatkan situasi dan kondisi petani pada saat panen raya terjadi. Hal ini disebabkan oleh kurang kuatnya posisi tawar petani serta kurang berfungsinya lembaga pemasaran yang ada, dalam hal ini KUD, untuk membeli dan mendistribusikan hasil panen petani.

Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk kelembagaan pemasaran baru yang diharapkan dapat memperkecil gap pasar atau keterpisahan petani dengan pasar dan mempersingkat rantai pemasaran yang ada pada saat sekarang ini.

2.2 Budidaya Padi Sawah Metode SRI (System of Rice Intensification)

Metode budidaya padi sawah dengan sistem SRI dikembangkan di Madagaskar pada awal tahun 1980 oleh Fr. Henri de Laulanie, S.J, kemudian pada tahun 1990 dibentuk Association Tefy Sains (ATS), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Di Indonesia, uji coba metode SRI pertama kali dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6.2 ton per hektar dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8.20 ton per hektar (Uphoff 2002; Sato 2007 dalam Anugrah 2008).

Petani Pedagang

Pengumpul

Bandar


(26)

Meode SRI lebih merupakan sebuah sistem ketimbang suatu teknologi. SRI didasari pemahaman bahwa padi mempunyai potensi untuk menghasilkan lebih banyak batang dan biji daripada yang diamati sekarang. SRI juga didasari pengetahuan bahwa potensi tersebut dapat diwujudkan dengan pemindahan awal dan menciptakan kondisi untuk pertumbuhan terbaik (jarak tanam, kelembaban, tanah yang aktif dan sehat dari segi biologis, serta keadaan tanah aerobik selama masa pertumbuhan). Prinsip-prinsip ini telah diterjemahkan ke dalam seperangkat kebiasaan dasar (1) pemindahan bibit yang muda secara hati-hati satu per satu dengan jarak tanam agak jauh; (2) selama masa pertumbuhan vegetatif tanah tidak digenangkan; pemakaian kompos, dan (3); penyiangan dini serta berkali-kali. Petani yang mempraktekkan SRI didorong untuk bereksperimen dengan cara memperbaiki pinsip-prinsip ini, agar dapat diketahui bagaimana penerapan prinsip dasar SRI yang terbaik dalam kondisi khusus setempat.

Penerapan metode SRI pada budidaya padi sawah dilaporkan dapat menghemat penggunaan air irigasi sekitar 50% (irigasi intermitten selama fase vegetatif). Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Padi Internasional (IRRI) pada tahun 1991 mennunjukkan bahwa dari rata-rata produksi padi sebesar 3.40 ton gabah per hektar, air memberikan kontribusi sebesar 26%, pupuk sebesar 21% dan faktor lainnya seperti bibit, pestisida dan tenaga kerja memberikan kontribusi sebesar 53% (Wardhana 2009).

Kelebihan dari penerapan metode SRI pada budidaya padi sawah yaitu jumlah anakan yang dihasilkan lebih banyak daripada metode konvensional. Sampai umur tanam sekitar 30 hari setelah tanam, taman padi akan tampak kecil, kurus dan jarang. Selama bulan ke dua, pertumbuhan batang mulai terlihat nyata. Perbedaan mencolok akan terlihat pada bulan ke tiga, petakan sawah tampak padat dengan pertumbuhan batang yang sangat cepat. Perbandingan antara metode konvensional dan metode SRI dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perbandingan metode konvensional dengan metode SRI di Indonesia (Sato S 2005 dalam Juanda et al. 2011)

Deskripsi Konvensional SRI

Pembenihan

a. Umur semai (hari) 25-30 8-14

b. Tinggi bibit 25-30 10

Jumlah tanaman per lubang 4-5 1

Jarak tanam (cm) 20 x 20 30 x30

Metode tanam Manual Manual

Pengaturan air Terus menerus Berselang

Sejak dikenalkan pada tahun 1999, aplikasi metode SRI di Indonesia telah mengalami modifikasi terutama dalam hal pengelolaan air dan penambahan bahan organik. Hal lain yang menjadi perhatian dalam penerapan metode SRI umumnya adalah peluang pemanfaatan bahan organik sebagai tambahan atau pengganti pupuk buatan pabrik (pupuk kimia/anorganik). Walaupun pada metode SRI internasional tidak dipersyaratkan penggunaan bahan organik/pupuk kandang, tetapi untuk kasus penerapan di Indonesia pemanfaatan bahan organik diharapkan menjadi salah satu keunggulan. Hal ini disesuaikan dengan keadaan lahan dan iklim di daerah tersebut.


(27)

Menurut Juanda et al. (2011), penerapan budidaya padi dengan metode SRI mempunyai banyak keuntungan jika dibandingkan dengan metode konvensional yang biasa dilakukan oleh petani pada umumnya, diantaranya yaitu :

1) Tanaman hemat air, selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai panen memberikan air maksimum 2 cm, paling baik macak-macak sekitar 5 mm dan ada periode pengeringan sampai tanah retak (irigasi terputus).

2) Hemat biaya, hanya butuh benih 5 kg per hektar, menggunakan pupuk dan pestisida organik buatan sendiri.

3) Hemat waktu, bibit ditanam lebih muda 5 sampai 12 hari setelah tanam sehingga waktu panen akan lebih awal.

4) Produksi meningkat, di beberapa tempat mencapai 11 ton per hektar.

5) Ramah lingkungan, tidak menggunakan bahan kimia sehingga tidak menyebabkan kerusakan pada tanah dan lingkungan.

2.3 Optimasi Pendapatan Petani

Perencanaan pengembangan sistem usaha tani pada dasarnya adalah suatu proses memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah mengenai pembangunan pertanian melalui kebijaksanaan dan kegiatan yang dapat mempengaruhi pembangunan pertanian selama jangka waktu tertentu. Bahwa merencanakan sistem usaha tani jauh lebih sukar daripada merencanakan pembangunan industri, karena kegiatan usaha tani dilakukan oleh jutaan petani dengan skala usaha tani yang kecil-kecil dan berbeda-beda. Petani sebagai pelaksana produksi akan selalu berusaha menaikkan produksinya agar memperoleh keuntungan. Usaha peningkatan produksi pertanian tanaman pangan menurut Norse (1976) yang dikutip oleh Mentodihardjo (1990) dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu: (1) memperluas, memperbaiki, rehabilitasi tanah pertanian, (2) modifikasi metode (teknik) budidaya dan sistem pertanian yang hemat input (efisien), (3) meningkatkan produksi per satuan luas (produktivitas) dengan menggunakan benih jenis unggul, pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit, (4) mengubah sistem pertanian dari ekstensif ke arah intensif dengan cara memperluas usaha, sehingga lahan tidak saja untuk tanaman tetapi untuk jenis yang lainnya, seperti minapadi.

Pemilihan metode tanam (teknik budidaya) yang dapat memaksimumkan pendapatan petani, perlu analisis dan perhitungan ekonomi dari setiap alternatif yang ada. Dengan analisis, petani dapat mempertimbangkan berbagi kesempatan usaha yang ada sesuai dengan kemampuan sumber daya yang dimilikinya. Apabila kemampuan sumber daya tersebut telah tertentu, maka untuk mendapatkan hasil yang diharapkan dalam hal ini pendapatan yang maksimum perlu pengelolaan yang baik.

Teori ekonomi produksi klasik menyatakan bahwa suatu usaha individu dianggap sebagai suatu satuan ekonomi yang diorganisir untuk memperoleh keuntungan yang maksimum, demikian juga pada usaha tani. Namun dalam usaha sektor pertanian tradisional (konvensional) dimana usaha tani diselenggarakan sebagai usaha dengan skala kecil, usaha keluarga yang menampung tenaga kerja yang cukup besar dan sedikit menggunakan input modern yang dibeli, maka alokasi sumber daya yang dimiliki petani pada berbagai cabang usaha tani tersebut belum


(28)

digunakan secara optimal. Dengan demikian perlu dilakukan pemilihan alternatif metode budidaya guna mencapai produk tertentu dengan menggunakan faktor-faktor produksi terbatas yang dikuasai oleh petani, maupun faktor-faktor-faktor-faktor lain yang tidak dikuasai oleh petani seperti harga produk, kondisi alam maupun teknologi. Perbaikan alokasi sumber daya dan penyempurnaan dalam proses produksi dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani.

Kriteria umum yang digunakan dalam melakukan pemilihan berbagai alternatif di dalam ilmu ekonomi adalah memaksimumkan keuntungan (profit

maximization), pendapatan, utilitas (kepuasan) atau meminimumkan biaya (cost

minimization). Pilihan yang mampu memberikan hasil yang paling baik adalah

yang berkaitan dengan masalah optimalisasi. Perbaikan teknologi produksi dalam usaha tani dengan perbaikan penggunaan faktor-faktor produksi maupun proses produksi diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petani secara maksimal.

Analisis optimalisasi yang sering digunakan dalam penelitian adalah menggunakan metode pemrograman linear (linear programming). Pemrograman linear merupakan model umum yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah pengalokasian sumber-sumber yang terbatas secara optimal. Penggunaan pemrograman linear dapat memberikan (Dillon et al. 1980): (a) pemecahan optimal yang lebih teliti; (b) alokasi sumber daya dan pemilihan proses produksi yang terbaik; (c) informasi ekonomi yang berguna bagi sumber daya yang langka; dan (d) berbagai keadaan dari hubungan-hubungan ekonomi yang dapat diperbandingkan. Sedangkan menurut Soekartawi (1992) kelebihan lain menggunakan pemrograman linear yaitu: a) mudah dilaksanakan, apalagi menggunakan alat bantu komputer; b) dapat menggunakan banyak variabel, sehingga berbagai kemungkinan untuk memperoleh pemanfaatan sumber daya yang optimum dapat dicapai; dan c) fungsi tujuan (objective function) dapat difleksibelkan sesuai dengan tujuan penelitian atau berdasarkan data yang tersedia.

Beberapa kelemahan penggunaan pemrograman linear menurut Soekartawi (1992) yaitu: a) bila alat bantu komputer tidak tersedia, maka cara pemrograman linear dengan menggunakan banyak variabel akan menyulitkan analisisnya dan bahkan tidak mungkin dikerjakan dengan cara manual saja; dan b) penggunaan asumsi linearitas, karena di dalam kenyataan yang sebenarnya kadang-kadang asumsi tersebut tidak sesuai.

Secara matematis pemrograman linear dapat dinyatakan sebagai berikut (Raymond et al. 1973; Siswanto 2007):

Fungsi tujuan: Maksimumkan/minimumkan Z = Σ Cj Xj Terhadap kendala-kendala:

a11X1 + a12X2 + a13X3 ... + a1nXn ≤, ≥ b1

a21X1 + a22X2 + a23X3 ... + a2nXn ≤, ≥ b2

am1X1 + am2X2 + am3X3 ... + amnXn ≤, ≥ bm

Xj≥ 0 Dimana:

Xj = variabel keputusan ke-j

Cj = parameter fungsi tujuan ke-j

bi = kapasitas kendala ke-i

aij = parameter fungsi kendala ke-i untuk variabel keputusan ke-j

i = 1, 2, 3, ..., m


(29)

Variabel keputusan adalah variabel persoalan yang akan mempengaruhi nilai tujuan yang hendak dicapai. Di dalam proses pemodelan, penemuan variabel keputusan tersebut harus dilakukan terlebih dahulu sebelum merumuskan fungsi tujuan dan kendala-kendalanya. Fungsi tujuan adalah fungsi yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, memaksimumkan pendapatan (profit

maximization) atau meminimumkan biaya (cost minimization), sedangkan kendala

adalah batasan-batasan kapasitas yang tersedia yang akan dialokasikan secara optimal ke berbagai kegiatan.

Asumsi-asumsi yang diperlukan dalam pemrograman linear (Juanda 2009) yaitu:

a) Kondisinya pasti (certainty), semua parameter model dapat diperkirakan dan nilainya tidak berubah selama periode pengkajian.

b) Proporsionality, yaitu jika input ditingkatkan maka output akan meningkat

secara proporsional.

c) Additivity, artinya total semua aktivitas sama dengan jumlah

aktivitas-aktivitas individu.

d) Divisibility, artinya solusi dapat berupa bilangan pecahan.

e) Nonnegativity, besarnya aktivitas keputusan tidak mungkin bernilai negatif.

Menurut Prawirokusumo (1990), di dalam mengerjakan pemrograman linear tahapan yang harus dilakukan yaitu: 1) inventaris sumber daya, 2) kemungkinan-kemungkinan usaha, 3) harga output (komoditas), 4) biaya produksi, 5) kendala atau persyaratan sumber daya, dan 6) koefisien produksi atau kegiatan per satuan usaha.

2.4 Pendapatan Rumah Tangga Petani dan Distribusinya

Meningkatnya pendapatan penduduk sebagai salah satu indikator kesejahteraan seringkali dijadikan sebagai sasaran akhir pembangunan nasional suatu negara. Oleh karena itu pemahaman mengenai struktur, besaran dan distribusi pendapatan masyarakat merupakan kajian yang akan bermanfaat bagi pengambil kebijakan di semua sektor pembangunan. Dalam kajian struktur pendapatan, pemilahan sumber pendapatan rumah tangga menurut sektor dan sub-sektor bermanfaat untuk memahami potensi dan arah kebijakan pengembangan bagi sektor dan sub-sektor yang perlu prioritas penanganan kaitannya dengan peningkatan pendapatan dan perluasan kesempatan kerja di suatu wilayah. Selain itu, analisis tentang distribusi pendapatan penduduk berguna untuk memahami tingkat ketidakmerataan atau ketimpangan pendapatan yang ada diantara berbagai golongan pendapatan.

Kecenderungan bahwa pendapatan rumah tangga di daerah-daerah non-rice

base farming lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan rumah tangga pada

daerah tradisional rice base farming, memberi petunjuk bahwa masyarakat petani sebenarnya responsif dan berusaha memanfaatkan bekerjanya mekanisme harga sebagai indikator ekonomi yang mengatur mereka dalam mengalokasikan sumber daya mereka seoptimum mungkin (Rasahan 1988). Fenomena tersebut mempunyai implikasi penting bagi pemerintah dalam rangka mengevaluasi konsekuensi ekonomis dari upaya-upaya mempertahankan swasembada beras dan


(30)

penggalakan program diversifikasi pertanian guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Pendapatan total rumah tangga merupakan penjumlahan pendapatan dari pertanian dan pendapatan non pertanian. Pendapatan dari pertanian dibedakan menurut sumbernya yaitu: (a) usaha tani padi; (b) usaha tani palawija; (c) usaha tani hortikultura; (d) usaha tani tebu dan tembakau; (e) usaha tani di lahan tegalan; (f) usaha tani di lahan kebun; (g) hasil usaha kolam; (h) hasil usaha ternak; (i) berburuh di lahan sawah; dan (j) berburuh di lahan non sawah. Sementara itu pendapatan non pertanian dibedakan menurut sumber jenis usaha yaitu: (a) industri; (b) perdagangan; (c) jasa, angkutan; (d) PNS/TNI-POLRI/pensiunan/ karyawan; (e) berburuh non pertanian; (f) penyewaan aset; (g) transfer pendapatan; dan (h) sumber lainnya (Handewi et al. 2002).

Pendapatan rumah tangga petani masih didominasi oleh pendapatan dari sektor pertanian dibanding sektor non pertanian. Pendapatan di sektor pertanian yang terbesar pada umumnya dari usaha pertanian padi sawah, ternak dan usaha tani lainnya. Sedangkan pendapatan dari sektor non pertanian, utamanya dari usaha berdagang kemudian usaha lainnya (Sugiarto 2008).

Guna mengetahui tingkat pemerataan (distribusi) pendapatan petani perlu dilakukan analisis distribusi pendapatan. Metode yang biasa digunakan dalam menganalisis distribusi pendapatan yaitu metode Indeks Gini (Gini Index). Penghitungan Indeks Gini diturunkan dari Kurva Lorenz (Gambar 2.2), yaitu selisih antara luas segitiga BCD dikurangi luas wilayah A (wilayah yang diarsir), maka semakin luas wilayah A maka semakin terjadi ketidakmerataan pendapatan dan semakin sempit wilayah A maka pendapatan semakin merata (Todaro et al.

2006). Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut (Rustiadi et al. 2011):

Sumber: Todaro et al. (2006)


(31)

Namun secara operasional mengingat survey pendapatan biasanya dilakukan dengan survey berdasarkan kelompok pendapatan, maka formula Indeks Gini yang operasional adalah sebagai berikut (Rustiadi et al. 2011):

Dimana:

fPi = frekuensi penduduk dalam kelas ke-i

Fci = frekuensi kumulatif total pendapatan pada kelas ke-i

Fci-1 = frekuensi kumulatif total pendapatan pada kelas ke-(i-t)

Nilai Indeks Gini berkisar antara 0 dan 1. Jika nilainya mendekati 0 berarti distribusi pendapatan merata dan jika nilanya mendekati 1 berarti distribusi pendapatan tidak merata atau terjadi ketimpangan pendapatan

2.5 Peran Sektor-Sektor Perekonomian dalam Perekonomian Suatu Wilayah

Kegiatan ekonomi dalam suatu sistem perekonomian, pada dasarnya dapat dikelompokan dalam tiga bagian masing-masing: kegiatan memproduksi barang dan jasa, kegiatan mengkonsumsi barang dan jasa, dan kegiatan investasi. Dalam kegiatan ekonomi yang memproduksi barang dan jasa ini, selanjutnya akan menimbulkan suatu pendapatan sebagai nilai produksi yang dihasilkan, dan pendapatan tersebut diterima oleh faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh berbagai golongan masyarakat. Apabila pendapatan ini dikaitkan dengn suatu negara tertentu, maka pendapatan tersebut adalah merupakan penjumlahan pendapatan yang diterima dari seluruh sektor perekonomian sebagai balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di dalam negara yang bersangkutan.

Pendapatan suatu negara digambarkan dalam produk domestik bruto (PDB) dan sektor-sektor perekonomian. Sektor-sektor perekonomian merupakan satu kesatuan yang memberikan indikator tentang keadaan perekonomian suatu negara, baik dilihat dari sumbangan sektor terhadap pendapatan maupun struktur perekonomian negara itu. Besarnya pendapatan suatu negara tergantung dari besar kecilnya kemampuan sektor-sektor dalam meningkatkan produksinya Apabila sektor-sektor tersebut dapat meningkatkan produksinya, berarti balas jasa yang diterima akan meningkat pula, dan peningkatan ini akan mendorong meningkatnya pendapatan.

Perubahan struktur ekonomi sebagai akibat perkembangan perekonomian ini telah berlangsung dan telah dialami oleh berbagai negara, baik negara berkembang maupun negara yang telah maju. Hal ini dapat dilihat pada perubahan yang terjadi dalam peranan sektor ekonominya terhadap pendapatan nasionalnya. Pada negara-negara yang telah maju sektor industri dan jasa telah memberikan peranan yang lebih besar terhadap pendapatan nasionalnya, demikian terhadap penyediaan pekerjaan penduduknya. Sementara itu, negara-negara yang sedang berkembang, sektor pertanian telah memberikan peranan yang terbesar, baik terhadap pendapatan nasionalnya maupun terhadap penyediaan pekerjaan penduduknya (Mattola 1985).


(32)

Struktur ekonomi dan tingkat kemajuan yang dicapai oleh suatu negara maupun daerah, sangat erat kaitannya dengan sumbangan dan peranan sektor ekonomi. Oleh karena itu perkembangan peranan sektor-sektor tersebut akan menentukan perkembangan perekonomian suatu negara ataupun daerah. Sehubungan sengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan daerah, Sadono (1976) yang dikutip oleh Mattola (1985) melihat pentingnya analisis peran sektor dalam pembangunan daerah, khususnya dalam efisiensi kegiatan ekonomi dan pemilihan prioritas proyek-proyek pembangunan daerah. Untuk itu pula, maka dalam rangka penetapan kebijakaan pembangunan, khususnya pembangunan daerah pada negara yang sedang berkembang dirasa perlu untuk melihat perkembangan sektor perekonomiannya terutama sektor yang dominan, baik terhadap pendapatan daerah maupun terhadap pemberian kesempatan kerja penduduknya.

Aspek ekonomi adalah salah satu aspek terpenting dalam menentukan indikator pembangunan wilayah di antara berbagai indikator ekonomi lainnya. Indikator mengenai pendapatan masyarakat di suatu wilayah merupakan indikator yang terpenting. Untuk itu diperlukan pemahaman mengenai konsep-konsep dan cara mengukur pendapatan masyarakat di suatu wilayah.

Pendapatan daerah mencerminkan pendapatan yang diperoleh oleh pemerintah daerah, yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan Pembangunan, Pinjaman Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah lainnya, Hibah, Dana Darurat, dan lain-lain. PAD merupakan penerimaan yang diperoleh Pemerintah Daerah dari sumber-sumber di dalam wilayahnya sendiri yang dapat dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PAD yang tinggi belum merupakan jaminan tingginya pendapatan masyarakat di suatu daerah (regional income). Namun bisa menjadi sumber daya yang sangat penting bagi pemerintah daerah di dalam pegembangan wilayah termasuk dalam peningkatan pendapatan masyarakatnya.

Menurut Rustiadi et al. (2011), pengeluaran anggaran pembangunan daerah (APBD) pada dasarnya sebagian besar merupakan kegiatan-kegiatan investasi pembangunan, maka secara logis pengaruh PAD terhadap peningkatan pendapatan wilayah memiliki lag waktu, sebagaimana fungsi berikut:

RIt = f(PADt-n)

Dimana:

RIt : pendapatan wilayah pada tahun ke-t

PADt-n : besarnya PAD pada tahun (beberapa tahun) sebelumnya.

Total nilai barang dan jasa yang dihasilkan di suatu wilayah yang telah dihilangkan unsur-unsur intermediate cost-nya dikenal sebagai produk domestik regional bruto (PDRB) atau produk domestik bruto (PDB). PDRB dapat dikatakan sebagai ukuran produktivitas wilayah paling umum dan paling diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah dan negara. PDRB pada dasarnya merupakan total produksi kotor dari suatu wilayah, yakni total nilai tambah dari semua barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah atau negara dalam periode satu tahun.


(1)

Lampiran 8 Indeks Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan Sektor-Sektor

Perekonomian di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003 (sektor padi dan

beras digabung)

No

Sektor

DP αj

DK βi

1 Padi & Beras

1.228365

1.487767

2 Jagung

0.736284

0.702176

3 Ketela Pohon

0.698085

0.710132

4 Ubi Jalar

0.713982

0.694904

5 Kacang Tanah

0.722413

0.711552

6 Kedele

0.689999

0.715941

7 Buah-buahan

0.708206

0.808105

8 Sayur-sayuran

0.702968

0.757881

9 Bahan Makanan Lainnya

0.687038

0.701182

10 Karet

0.768005

1.023249

11 Kelapa

0.733543

0.715782

12 Kelapa Sawit

0.676641

0.679974

13 T e h

0.822735

0.808211

14 Cengkeh

0.810631

0.682080

15 Tebu

0.916549

0.766528

16 Tembakau

1.115698

0.683284

17 Pertanian Tanaman Perkebunan Lainnya

0.728715

0.767676

18 Ternak dan hasil-hasilnya

0.812508

0.777358

19 Susu segar

0.963210

0.703632

20 Unggas dan hasil-hasilnya

0.971022

0.867128

21 Kayu dan hasil-hasilnya

0.689405

0.970336

22 Ikan laut dan hasil laut lainnya termasuk udang

0.834611

0.835711

23 Ikan darat dan hasil perairan darat lainnya

0.774163

0.692180

24 Minyak bumi

0.964668

3.043662

25 Gas bumi dan panas bumi

0.769725

1.917363

26 Bijih emas dan bijih perak

0.804812

1.034861

27 Barang tambang dan hasil galian lainnya

0.759996

1.069773

28 Garam kasar

0.750265

0.671892

29 Gula

0.737267

0.782800

30 Teh olahan

1.212611

0.699360

31 Industri makanan lainnya

1.014985

2.005786

32 Industri pengolahan tembakau, bumbu rokok dan rokok

0.765152

0.699376

33 Industri tekstil

1.284407

1.468717

34 Industri pakaian jadi, kecuali untuk alas kaki

1.418197

0.708093

35 Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki

1.232233

0.926526

36 Industri alas kaki

1.420120

0.755001

37 Industri Kayu, bamboo, rotan dan ayaman

0.993469

1.036430

38 Industri furniture (termasuk berbahan plastik, besi dan baja)

1.135224

0.680694

39 Industri Kertas, barang dari kertas dan sejenisnya

1.496024

1.715218

40 Industri Penerbitan dan percetakan

0.950242

0.779401

41 Industri Kimia Dasar, kecuali pupuk

1.115033

1.501262

42 Industri Pupuk

0.984193

1.097754

43 Industri Kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya

1.082043

1.951061

44 Industri pengilangan minyak bumi

0.992767

2.373106

45 Industri karet dan barang-barang dari karet

1.280803

1.097386

46 Industri barang-barang dari plastik (kecuali furniture)

1.295215

1.089044

47 Industri gelas dan barang dari gelas

0.998710

0.791949

48 Industri semen

1.220966

0.790734

49 Industri pengolahan tanah liat dan keramik

1.078675

0.677097

50 Industri barang galian lainnya dari bahan baku bukan logam

0.991022

0.757455


(2)

No

Sektor

DP αj

DK βi

51

Industri logam dasar dari besi dan baja (kecuali furniture)

1.291273

1.300966

52

Industri logam dasar bukan besi dan baja

0.859627

0.792619

53

Industri barang dari logam, kecuali mesin dan peralatannya d

1.268264

1.011213

54

Industri mesin dan peralatan termasuk perlengkapannya

1.683565

1.545905

55

Industri mesin lainnya dan perlengkapannya

1.320067

1.152348

56

Industri kendaraan bermotor, karoseri dan perlengkapannya

1.475127

1.518544

57

Industri alat angkutan lainnya dan jasa perbaikannya

1.363268

1.051149

58

Industri peralatan professional, ilmu pengetahuan, pengukur d

1.336889

0.817481

59

Industri pengolahan lainnya

1.164845

0.730773

60

Listrik

1.173717

1.633307

61

Gas Kota

1.123711

0.716499

62

Air Bersih

0.914919

0.694820

63

Bangunan

1.381086

0.934409

64

Perdagangan

0.951160

2.712628

65

Hotel

0.993579

0.729833

66

Restoran

0.873474

0.911807

67

Jasa Angkutan Rel

1.181455

0.687997

68

Jasa Angkutan Jalan

1.107937

1.134235

69

Jasa Angkutan Laut

1.017964

0.757636

70

Jasa Angkutan Sungai dan Danau

0.991687

0.677110

71

Jasa Angkutan Udara

0.889624

0.875372

72

Jasa Penunjang Angkutan

0.882105

0.832073

73

Jasa Komunikasi

0.911187

0.941663

74

Bank dan Lembaga Keuangan lainnya

0.795904

1.621211

75

Real estate dan usaha persewaan bangunan

0.796673

0.910581

76

Jasa Perusahaan.

0.948895

1.222866

77

Jasa Pemerintahan Umum

1.036295

0.718254

78

Jasa Pendidikan Pemerintah

1.045619

0.686239

79

Jasa Kesehatan Pemerintah

0.987743

0.681308

80

Jasa Pendidikan Swasta

0.888354

0.705497

81

Jasa Kesehatan Swasta

0.980927

0.696948

82

Jasa kemasyarakatan Lainnya

0.811587

0.757028

83

Jasa Rekreasi, Kebudayaan dan Olah Raga

0.974442

0.721354

84

Jasa Perorangan dan Rumah Tangga

1.104446

1.040418


(3)

Sumber: BPS Jabar 2003 (diolah)

Sebaran sektor-sektor perekonomian di Jawa Barat tahun 2003

(sektor padi dan beras digabung)

1

2

3 4

5

6

8

7

9

10

11

12

17

14

18

13

15

19

16

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

33

34

35

36

37

38

39

40

41

42

43

44

45

46

47

48

49

50

51

52

53

54

55

56

57

58

59

60

61

62

63

64

65

66

66

67

68

69

70

71

72

73

74

75

76

77

78

79

80

81

82

83

84

85

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

1.1

1.2

1.3

1.4

1.5

1.6

1.7

In

d

e

ks

De

ra

ja

t

Ke

p

e

ka

an


(4)

Lampiran 9 Pengaruh Komoditas Padi Terhadap Perekonomian Kabupaten

Indramayu

Regression Analysis: PDRB versus Produktivitas; Harga konstan; ...

The regression equation is

PDRB = - 8925222 + 2971317 Produktivitas + 14339 Harga konstan

+ 84943 Share Prtmbgn

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant -8925222 7947191 -1,12 0,312

Produktivitas 2971317 1246290 2,38 0,063 1,105

Harga konstan 14339 6114 2,35 0,066 6,243

Share Prtmbgn 84943 88372 0,96 0,381 6,115

S = 514692 R-Sq = 84,2% R-Sq(adj) = 74,7%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 3 7,03696E+12 2,34565E+12 8,85 0,019

Residual Error 5 1,32454E+12 2,64908E+11

Total 8 8,36150E+12

Source DF Seq SS

Produktivitas 1 3,54387E+12

Harga konstan 1 3,24833E+12

Share Prtmbgn 1 2,44753E+11

Normplot of Residuals for PDRB

1000000 500000

0 -500000

-1000000 99

95 90

80 70 60 50 40 30 20

10 5

1

Residual

P

e

rc

e

n

t

Normal Probability Plot


(5)

Elastisitas dari peubah bebas dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Hasil penghitungan elastisitas

Koefisien

Nilai Rata-rata

Elastisitas

PDRB (Juta rupiah)

13,509,666

Produktivitas (ton/ha)

2,971,317

5.57

1.23

Indek Harga Gabah (%)

14,339

202.46

0.21

Share Pertambangan (%)

84,943

35.02

0.22


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Indramayu pada tanggal 5 Mei 1977, sebagai anak

pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Rasba dan Rusti. Pendidikan sarjana

ditempuh di Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian UNPAD Bandung, lulus pada

tahun 2003. Pada tahun 2010 penulis diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan

Pembangunan Wilayah dan Perdesaan pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa

pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Pertanian Indonesia.

Penulis bekerja sebagai fungsional umum di Balai Besar Pengembangan

Mekanisasi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,

Kementerian Pertanian sejak tahun 2005, dan ditempatkan di Serpong, Tangerang

Banten.