Pengaruh budidaya Sistem of Rice Intensification (S.R.I.) terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah di Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor

(1)

PENGARUH BUDIDAYA

SYSTEM OF RICE

INTENSIFICATION

(S.R.I.)

TERHADAP PERTUMBUHAN

DAN PRODUKSI PADI SAWAH DI KECAMATAN TANJUNG

SARI, KABUPATEN BOGOR

WINDI AGUSMIATI

A14050293

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ii

RINGKASAN

WINDI AGUSMIATI. Pengaruh Budidaya System of Rice Intensification (S.R.I.) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah di Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Dibawah bimbingan RAHAYU WIDYASTUTI dan ISWANDI ANAS.

Pangan merupakan penentu kesejahteraan bagi sebagian besar penduduk pedesaan yang bermatapencaharian di sektor pertanian. Di Indonesia ketahanan pangan dicerminkan antara lain oleh ketahanan komoditi beras yang merupakan komoditas pangan paling strategis di Indonesia. Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat, namun dilain pihak upaya peningkatan produksi beras saat ini terganjal oleh berbagai kendala yang berdampak terhadap penurunan produktivitas. Saat ini telah dikembangkan budidaya pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran, yang dikenal dengan System of Rice Intensification (S.R.I.). Adapun prinsip dasar S.R.I. adalah tanam benih muda umur 8-15 hari, tanam dangkal tunggal dengan posisi akar horisontal, jarak tanam lebar (30 cm x 30 cm), kondisi macak-macak, dan pemberian air terputus. Pupuk dalam budidaya S.R.I. dapat diberikan baik anorganik, organik atau kombinasi dari keduanya. Hasil penelitian budidaya S.R.I. di beberapa wilayah menunjukan produktivitas tanaman padi mencapai 7-10 ton per/ha, lebih tinggi dari sistem konvensional yang hanya 4.6 ton/ha. S.R.I. efisien dalam penggunaan benih sehingga dapat mengurangi biaya produksi dan meningkatkan pendapatan petani karena produktivitas padi meningkat.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh budidaya padi dengan menerapkan prinsip dasar S.R.I. baik yang menggunakan pupuk anorganik, organik maupun kombinasi keduanya terhadap pertumbuhan dan produksi padi Ciherang di Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dirancang berdasarkan rancangan acak kelompok dengan empat ulangan dan empat perlakuan dengan ukuran masing-masing petak sebesar 4 m x 5 m. Empat perlakuan yang dilakukan adalah sebagai berikut: budidaya padi konvensional, S.R.I. anorganik, S.R.I. organik, dan S.R.I. semi-organik.

Budidaya S.R.I. secara nyata dapat meningkatkan tinggi tanaman, panjang malai dan jumlah gabah per malai daripada budidaya konvensional. Budidaya S.R.I. juga meningkatkan jumlah gabah bernas, Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling meskipun perbedaannya tidak nyata. S.R.I. anorganik meningkatkan GKP sebesar 21.17% yaitu dari 3.59 ton/ha dengan budidaya konvensional menjadi 4.35 ton/ha, sedangkan untuk GKG, S.R.I. anorganik meningkatkan GKG sebesar 29.79% yaitu dari 2.35 ton/ha menjadi 3.05 ton/ha. Kata kunci: S.R.I. (System of Rice Intensification), Produksi padi, Pertumbuhan padi.


(3)

SUMMARY

WINDI AGUSMIATI. The Effect of System of Rice Intensification (S.R.I.) Cultivation on Growth and Production of Rice in the District of Tanjung Sari, Bogor Regency. Departement of Soil Science and Land Resource, Bogor Agricultural University. Under supervisor of RAHAYU WIDYASTUTI and

ISWANDI ANAS.

Food is a determinant of welfare for most of the rural population that make a living in agricultural sector. Food security in Indonesia is reflected by among others the resilience of rice commodity that is the most strategic food commodities in Indonesia. The need for food, especially rice will continously increase, but on the other hand, the efforts to increase rice production are currently hampered by various constraints that affect the decline of productivity. Recently, it has been developed rice cultivation that concern to better management of plant growth, especially in the root zone, which is known as System of Rice Intensification (S.R.I.). The basic principles of S.R.I. are planting young seedlings with age of 8-15 day olds, single seedling that is planted shallow with horizontal-root position, the wider spacing (30 cm x 30 cm), moist conditions, and intermittent irrigation. Fertilizer in S.R.I. cultivation can be given as inorganic, organic or in a combination of both. The results of some S.R.I researches in some areas showed that rice plant productivity could reach 7-10 tons per/ha, higher than conventional system that only reached about 4.6 tons/ha. S.R.I. was more efficient in the use of seeds that could reduce production costs and increase farmers' income because the increase in rice productivity.

This research aimed to study the effect of rice cultivation by applying the basic principles of S.R.I. with the application of inorganic, organic fertilizers or in a combination of both on the rice growth and production of Ciherang variety in the District of Tanjung Sari, Bogor Regency. This study was designed based on randomized block design with four replications and four treatments with the size of plot is of 4 m x 5 m. Four treatments were carried out as follows: conventional rice cultivation, S.R.I. inorganic, S.R.I. organic, and S.R.I. semi-organic.

The S.R.I.cultivation could significantly increase the plant height, panicle length, and number of grains per panicle than the conventional system. The S.R.I. cultivation also increased number of filled grain, harvested-dried grain and milled-dried grain although the different was not significant. S.R.I. harvested-dried grain for inorganic S.R.I. increased about 21.17%, i.e. from 3.59 tons/ha with conventional methods to 4.35 tons/ha, as for milled-dried grain, S.R.I. milled-dried grain for inorganic increased 29.79% from 2.35 tons/ha to 3.05 tons/ha.

Keywords: S.R.I. (System of Rice Intensification), Rice production, and Rice growth.


(4)

iv

PENGARUH BUDIDAYA

SYSTEM OF RICE

INTENSIFICATION

(S.R.I.) TERHADAP PERTUMBUHAN

DAN PRODUKSI PADI SAWAH DI KECAMATAN TANJUNG

SARI, KABUPATEN BOGOR

Oleh:

WINDI AGUSMIATI

A14050293

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

Judul Skripsi : Pengaruh Budidaya System of Rice Intensification (S.R.I) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah di Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor

Nama : Windi Agusmiati NIM : A14050293

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc.) (Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc.) NIP: 19610607 199002 2 001 NIP: 19500509 197703 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

(Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.) NIP: 19621113 198703 1 003


(6)

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Agustus 1987 di Jakarta. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Tumiyo dan Ibu Supartinah. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SD Negeri 08 pagi Kebayoran Lama Jakarta (tahun 1993-1999), selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 66 Jakarta (tahun 1999-2002). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 29 Jakarta (tahun 2002-2005). Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2006 penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah bergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Gentra Kaheman pada tahun 2005-2007, dan aktif bergabung dalam keanggotaan Himpunan Mahasiwa Ilmu Tanah (HMIT) sebagai anggota Divisi Penelitian dan Pengembangan periode kepengurusan 2008-2009. Penulis juga pernah menjadi asisten matakuliah Bioteknologi Tanah pada tahun 2008. Selain itu, penulis juga aktif dalam kepanitiaan berbagai kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor.


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Budidaya System Of Rice Intensification (S.R.I.) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah di Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor” ini dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat kelulusan untuk menjadi Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc. selaku dosen pembimbing skripsi, atas segala bimbingan, pengarahan, motivasi, biaya dan waktu yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Iswandi Anas, M.Sc. selaku dosen pembimbing skripsi, atas segala bimbingan, pengarahan, motivasi, biaya dan waktu yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Ir. Fahrizal Hazra, M.Sc. selaku dosen penguji tamu atas saran dan masukkan yang telah diberikan.

4. Kedua orang tua serta kedua kakak penulis tercinta yang tak pernah lelah memberikan kasih sayang, dukungan baik moril dan materil serta kepercayaan dan do’a yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan penulis.

5. Staf Laboratorium Bioteknologi Tanah (Bapak Sarjito, Ibu Asih Karyati, Ibu Julaeha, Mba Dian Nareswari, SP dan Ka Fitri Ardi, SP) terima kasih atas arahan dan bantuannya dalam melaksanakan penelitian ini.

6. Keluarga Bapak Asep yang telah menyediakan tempat tinggal serta membantu kegiatan penelitian di lapang.


(8)

viii

7. Rekan-rekan penelitian Estasia Paretta, Tri Bakti Oktavianti, Irsyad Abdul Hakim, Ayu Ningtyas, Maria Ulfah, Eka Nurwita Sari dan Shanty Kusumawardhany, atas bantuan dan kerjasamanya selama ini. 8. Seluruh pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Mei 2010


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xiii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Hipotesis ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1. System of Rice Intensification (S.R.I.) ... 3

2.1.1. Pengertian dan Asal Mula S.R.I... 3

2.1.2. Prinsip S.R.I ... 4

2.1.3. Keunggulan S.R.I... 6

2.1.4. Tantangan Penerapan S.R.I... 7

2.2. Tanah Sawah ... 8

2.3. Tanaman Padi... 10

2.4. Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia ... 11

III. METODE PENELITIAN... 13

3.1. Waktu dan Tempat ... 13

3.2. Bahan dan Alat ... 13

3.3. Metode Penelitian ... 13

3.3.1. Rancangan Penelitian... 13

3.3.2. Analisis Tanah Pendahuluan... 14

3.3.3. Pelaksanaan Penelitian di Lapang... 14

3.3.3.1. Persiapan Lahan ... 14

3.3.3.2. Persiapan Benih... 15

3.3.3.3. Penanaman... 15

3.3.3.4. Pemupukan ... 16

3.3.3.5. Pengaturan Air... 16


(10)

x

3.3.4. Pengambilan Data pH dan Eh ... 17

3.3.5. Pengambilan Data Vegetatif Tanaman ... 17

3.3.6. Pengamatan Pasca Panen ... 18

3.3.7. Analisis Data ... 19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 20

4.1. Pertumbuhan Tanaman ... 20

4.1.1. Tinggi Tanaman ... 20

4.1.2. Jumlah Batang per 100 m2... 21

4.2. Komponen Hasil ... 23

4.3. pH dan Eh... 31

4.4. Hama ... 33

4.5. Waktu Tanam... 35

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 36

5.1. Kesimpulan... 36

5.2. Saran... 36

DAFTAR PUSTAKA... 37


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1. Analisis usaha tani cara konvensional dan metode S.R.I. setelah musim ke-2 dalam 1 ha (Mutakin, 2008) ... 7 2. Pengaruh budidaya konvensional dan S.R.I. terhadap jumlah

batang produktif ... 23 3. Pengaruh budidaya padi terhadap panjang malai, jumlah gabah per

malai, jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa. ... 25 4. Produksi gabah kering dengan budidaya konvensional dan S.R.I ... 27

Lampiran

1. Deskripsi karakteristik varietas Ciherang (Suprihatno et al., 2007) ... 42 2. Analisis sifat kimia dan fisik tanah yang digunakan dalam penelitian . 43 3. Analisis sifat kimia kompos dan pupuk anorganik ... 43 4. Analisis sifat biologi pupuk organik hayati ... 43 5. Kadar air tanah ... 44 6. Analisis statistik tinggi tanaman padi pada budidaya padi

secara konvensional dan S.R.I. ... 44 7. Analisis statistik jumlah batang per 100 m2 pada budidaya padi

secara konvensional dan S.R.I. ... 44 8. Analisis statistik jumlah batang per rumpun pada budidaya padi

secara konvensional dan S.R.I. ... 45 9. Analisis statistik jumlah batang produktif per rumpun pada

budidaya padi secara konvensioal dan S.R.I. ... 45 10. Analisis statistik tingkat kemasaman tanah dengan budidaya

konvensional dan S.R.I. ... 45 11. Analisis statistik petensial redoks dengan budidaya konvensional

dan S.R.I... 46 12. Takaran pupuk tanaman padi ... 46 13. Takaran benih padi ... 46


(12)

xii

14. Populasi dan keragaman fauna tanah pada budidaya padi

konvensional dan S.R.I. (Hakim, 2009)... 47 15. Analisis statistik populasi fauna tanah pada budidaya padi

konvensional dan S.R.I. (Hakim, 2009)... 48 16. Analisis statistik total mikrob, total fungi, Azotobacter dan Mikrob

Pelarut Fosfat (MPF) pada sistem budidaya padi konvensional dan S.R.I. (Hakim, 2009)... 48


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. Profil tanah sawah (Koenigs, 1950)... 9

2. Produktivitas padi di Indonesia tahun 1993-2009 (BPS, 2009) ... 12

3. Produksi padi di Indonesia tahun 1993-2009 (BPS, 2009)... 12

4. Tata letak satuan percobaan di lapang ... 15

5. Grafik pengaruh budidaya padi terhadap tinggi tanaman... 20

6. Grafik pengaruh budidaya padi terhadap jumlah batang ... 21

7. Grafik pengaruh budidaya padi terhadap tingkat kemasaman tanah ... 31

8. Grafik pengaruh budidaya padi secara konvensional dan S.R.I. terhadap potensial redoks pada kedalaman 10 cm dari permukaan tanah... 32

Lampiran 1. Persiapan lahan: (a) lahan siap tanam, (b) persiapan tanam, (c) bibit S.R.I. siap tanam, (d) bibit konvensional siap tanam ... 49

2. Hama dan akibatnya: (a) hama keong mas, (b) padi hampa terkena hama walang sangit, (c) tanaman terkena hama lalat bibit, (d) tanaman dimakan kambing... 50

3. Keadaan pertumbuhan tanaman pada 8 MST: (a) budidaya konvensional, (b) S.R.I. anorganik, (c) S.R.I. organik, (d) S.R.I. semi-organik ... 51

4. Perawatan tanaman dan panen: (a) penyemprotan hama, (b) penyiangan, (c) panen konvensional, (d) panen S.R.I., (e) padi siap giling, (f) penggilingan padi ... 52


(14)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ketahanan pangan di Indonesia dicerminkan antara lain oleh ketahanan komoditi beras yang merupakan komoditas pangan paling strategis di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1993-2009, produksi padi setiap tahunnya mengalami peningkatan, meskipun peningkatan produktivitasnya kurang signifikan. Menurut prediksi BPS angka sementara produktivitas rata-rata padi nasional di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 4.99 ton/ha, sedangkan produksi padi rata-rata nasional mencapai 64.33 juta ton GKG, yang meningkat 6.63% dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 60.33 juta ton GKG.

Kebutuhan bahan pangan beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi perkapita akibat peningkatan pendapatan, namun dilain pihak upaya peningkatan produksi beras saat ini mengalami berbagai kendala, seperti degradasi dan konversi lahan, infrastruktur pertanian, ketersediaan sarana produksi, adopsi teknologi tepat guna, luas kepemilikan lahan, kelembagaan pertanian, akses permodalan petani, jaminan harga hasil panen, dan perubahan iklim global (Puslitbang Tanaman Pangan, 2008). Kendala-kendala tersebut berdampak terhadap penurunan produktivitas padi.

Saat ini telah dikembangkan budidaya padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran, yaitu yang dikenal dengan System of Rice Intensification (S.R.I). Adapun prinsip dasar S.R.I. adalah tanam benih muda umur 8-15 hari, tanam dangkal tunggal dengan posisi akar horisontal, jarak tanam lebar (30 cm x 30 cm), kondisi macak-macak, dan pemberian air terputus (Uphoff, 2009). Sistem ini lebih baik dibandingkan dengan sistem konvensional karena dapat meningkatkan produksi padi sebesar 52% (kisaran: 21-105%) bahkan menurut Hasan dan Sato (2007), di Indonesia Timur peningkatannya mencapai 78%, menghemat air sebesar 44% (kisaran: 24-60%), mengurangi biaya produksi sebesar 25% (kisaran: 2.2-56%) dan meningkatkan pendapatan bersih sebesar 128% (kisaran: 59-412%) (Sato dan Uphoff, 2007).


(15)

Peningkatan produksi padi di Indonesia masih rendah sehingga diperlukan cara budidaya padi yang dapat meningkatkan produksi padi dan lebih bersahabat dengan lingkungan. Penerapan budidaya S.R.I. yang sangat memperhatikan pengelolaan tanah, tanaman dan air ini diharapkan dapat mengurangi penggunaan input dan meningkatkan produksi padi yang dihasilkan, sehingga jika sistem ini diterapkan di seluruh Indonesia diduga dapat meningkatkan produktivitas padi nasional di Indonesia.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh budidaya padi dengan menerapkan prinsip dasar S.R.I. baik yang menggunakan pupuk anorganik, organik maupun kombinasi keduanya terhadap pertumbuhan dan produksi padi Ciherang di Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor.

1.3.Hipotesis

1. Budidaya S.R.I. menghasilkan jumlah anakan lebih banyak serta tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan budidaya konvensional.

2. Produksi padi yang dibudidayakan dengan budidaya S.R.I. lebih tinggi dibanding padi yang dibudidayakan secara konvensional


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. System of Rice Intensification (S.R.I.) 2.1.1. Pengertian dan asal mula S.R.I.

S.R.I. merupakan suatu usahatani padi sawah irigasi yang dilakukan secara intensif dan efisien dalam pengelolaan tanah, tanaman, dan air melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal serta berbasis pada kaidah ramah lingkungan. Selain itu S.R.I. juga dapat dikatakan sebagai suatu model cara penanaman padi yang mengutamakan perakaran yang berbasis pada pengelolaan tanah, tanaman dan air dengan tetap menjaga produktivitas dan mengendepankan nilai ekonomis (Setiajie et al., 2008). Budidaya ini pertama kali ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara tahun 1983 atau 1984 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis. Kemudian oleh penemunya, metodologi ini dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive disingkat S.R.I., sedangkan dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification disingkat S.R.I.. Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan S.R.I.. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan S.R.I. di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development (Mutakin, 2008).

Di Indonesia S.R.I. telah diterapkan di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Kalimantan dan Papua (Setiajie et al., 2008). Di Indonesia uji coba budidaya S.R.I pertama kali dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi, Jawa Barat dengan hasil 6.2 ton/ha pada musim kemarau 1999, dan 8.2 ton/ha pada musim hujan 1999/2000. Tahun 2006, di Jawa Barat S.R.I. telah diterapkan di lahan seluas 749 ha oleh 3200 petani dengan hasil 7.85 ton/ha (Sato dan Uphoff, 2007). Sementara itu pada tahun 2006 kegiatan validasi pengaruh S.R.I. telah di ujicoba di 20 negara lain dengan hasil positif. Keduapuluh negara itu adalah Bangladesh, Benin, Cambodia, Cuba, Gambia, Guinea, India, Laos, Mali, Mozambique,


(17)

Myanmar, Nepal, Pakistan, Peru, Philippines, Senegal, Sierra Leone, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam (Setiajie et al., 2008).

2.1.2. Prinsip S.R.I.

Menurut Berkelaar (2001), terdapat beberapa komponen penting dalam penerapan S.R.I., yaitu:

a. Penggunaan bibit yang lebih muda

Bibit padi dipindahtanamkan saat dua daun telah muncul pada batang muda, biasanya saat berumur 8-15 hari. Penyemaian bibit dilakukan dalam petakan khusus dengan menjaga tanah tetap lembab dan tidak tergenang air. Pada saat pindah tanam dari petak semaian ke lahan persawahan dilakukan secara hati-hati serta dijaga kelembabannya. Sekam (sisa benih yang telah berkecambah) dibiarkan agar tetap menempel dengan akar tunas, karena sekam dapat memberikan energi yang penting bagi bibit muda. Pindah tanam bibit dilakukan secepat mungkin kurang lebih sekitar setengah jam. Saat penanaman bibit di lapangan, benih dibenamkan dalam posisi horisontal agar ujung-ujung akar tidak menghadap ke atas, karena ujung akar membutuhkan keleluasaan untuk tumbuh ke bawah. Pindah tanam saat bibit masih muda secara hati-hati dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama tahap pertumbuhan vegetatif, lebih banyak batang yang muncul dalam satu rumpun, dan dengan budidaya S.R.I. ini akan menghasilkan bulir padi yang lebih banyak pada setiap malainya.

b. Penanaman bibit tunggal

Pindah tanam bibit dilakukan satu bibit setiap lubang hal ini agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran. Tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya, atau nutrisi dalam tanah sehingga sistem perakaran menjadi sangat baik.


(18)

5

c. Jarak tanam lebar

Bibit yang ditanam dalam pola luasan yang cukup lebar dari segala arah akan lebih baik dibandingkan dengan bibit yang ditanam di baris yang sempit. Biasanya jarak minimal S.R.I. adalah 25 cm x 25 cm. Pada prinsipnya tanaman harus mendapat ruang cukup untuk tumbuh. Jarak tanam yang lebar akan memberi kemungkinan lebih besar kepada akar untuk tumbuh leluasa, tanaman juga akan menyerap lebih banyak sinar matahari, udara serta nutrisi. Hasilnya akar dan batang akan tumbuh lebih baik (juga penyerapan nutrisi) serta jumlah anakan akan lebih banyak dibanding sistem konvensional. Budidaya S.R.I. membutuhkan benih jauh lebih sedikit dibandingkan budidaya konvensional, salah satu

evaluasi S.R.I. menunjukkan bahwa kebutuhan benih hanya 7 kg/ha. d. Kondisi tanah lembab

Tanah dijaga agar tetap lembab selama tahap vegetatif, untuk memungkinkan lebih banyak oksigen bagi pertumbuhan akar. Sesekali (seminggu sekali) tanah harus dikeringkan sampai retak. Ini dimaksudkan agar oksigen dari udara mampu masuk kedalam tanah dan mendorong akar untuk “mencari” air. Kondisi tanah tidak tergenang hanya dipertahankan selama pertumbuhan vegetatif, selanjutnya setelah pembungaan, sawah digenangi air 1-3 cm. Petak sawah mulai dikeringkan mulai 25 hari sebelum panen.


(19)

2.1.3. Keunggulan S.R.I.

Menurut Uphoff dan Fernandes (2003), keuntungan penerapan budidaya S.R.I., antara lain:

1. Memiliki hasil panen yang lebih tinggi (peningkatannya mencapai 50-200% dengan hasil 4-8 ton/ha, tetapi hasil diatas 10 ton/ha juga seringkali dilaporkan).

2. Hasil tenaga kerja yang lebih tinggi (dengan produksi lebih tinggi per hari kerja).

3. Hemat air (penghematan air sampai dengan 50%).

4. Perbaikan mutu tanah dan pemakaian pupuk yang lebih efisien (baik organik maupun kimia).

5. Kebutuhan benih yang lebih sedikit hanya memerlukan benih sekitar 5-10 kg/ha atau 5-5-10 kali lipat lebih sedikit dari jumlah yang lazim dipakai. 6. Kebutuhan atas input yang digunakan lebih sedikit (biaya produksi atau

input yang lebih sedikit tentu menyumbang pendapatan yang lebih tinggi bagi para petani).

7. Mutu benih yang lebih bagus (ketersediaan benih unggul lebih cepat karena jauh lebih banyak benih yang dapat dihasilkan oleh satu tanaman saja).

8. Diversifikasi produksi (untuk menghasilkan jumlah padi yang sama lahan yang digunakan lebih sedikit, sehingga tanah sisa dapat dipakai untuk menghasilkan pupuk hijau atau tanaman lain yang nilainya lebih tinggi). 9. Keuntungan bagi lingkungan hidup (sebagai dampak berkurangnya

kebutuhan atas air dan berkurangnya pemakaian pupuk kimia atau pestisida).


(20)

7

Secara lengkap keuntungan S.R.I. dari segi ekonomi dapat dilihat di bawah ini (Tabel 1).

Tabel 1. Analisa usaha tani budidaya konvensional dan S.R.I. setelah musim ke-2 dalam 1 ha (Mutakin, 2008)

No Uraian Konvensional Cara S.R.I

Organik

Peningkatan nilai budidaya S.R.I. 1 Komponen input/ha

Benih (Rp.5,000/kg) 250,000 25,000 -90% Pupuk:

1. Organik (jerami + 3 ton

kompos 0 1,200,000

2. Anorganik Urea, SP36,

KCl (2:1:1) 750,000 0 -100%

Pengolahan tanah 1,000,000 1,000,000 0 Pembuatan persemaian 105,000 30,000 -71%

Pencabutan benih 100,000 0 -100%

Penanaman 350,000 350,000 0

Penyulaman 20,000 50,000 150%

Penyiangan 750,000 1,050,000 40%

Pengendalian OPT dengan:

1. Pestisida kimia 500,000 0 -100%

2. Biopestisida 0 150,000

Panen 1,000,000 2,000,000 100%

Jumlah 4,825,000 5,855,000 21%

2 Komponen output

Produksi padi 5 ton 10 ton

Harga padi Rp. 2,000/kg

(diprediksi harga sama) 10,000,000 20,000,000 100%

3 Keuntungan 5,175,000 14,145,000 173%

2.1.4. Tantangan Penerapan S.R.I.

Selain memiliki banyak keuntungan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, S.R.I. juga memiliki beberapa tantangan, yaitu:

1. Perlu kontrol pengairan yang lebih baik daripada biasanya (untuk memungkinkan penambahan volum air yang telah berkurang apabila diperlukan demi mempertahankan kelembaban tanah tanpa mencapai titik jenuhnya, tidak perlu mengairi tanah secara terus menerus).

2. Petani yang tidak mempunyai kontrol atas pengairan atau tidak mempunyai akses terhadap air yang dapat diatur demikian akan kurang mendapatkan keuntungan atau untungnya sedikit sekali.


(21)

3. Keperluan atas tenaga kerja yang lebih banyak.

4. Perubahan kebiasaan-kebiasaan petani yang drastis, hal ini yang sering tidak diterima oleh para petani, peneliti, atau pemerintah.

5. Tuntutan pada para petani agar lebih terampil (petani diharapkan menerapkan prinsip S.R.I. pada kondisi mereka sendiri berdasarkan uji-coba dan evaluasi mereka sendiri). Sebenarnya hal ini tentu bisa menyumbang pada perkembangan sumber daya manusia, yang merupakan keuntungan juga dan bukan dilihat sebagai kerugian semata (Uphoff dan Fernandes, 2003).

2.2. Tanah Sawah

Tanah sawah bukan merupakan terminologi klasifikasi untuk suatu jenis tanah tertentu, melainkan istilah yang menunjukkan cara pengelolaan berbagai jenis tanah untuk budidaya padi sawah (Sudadi, 2002). Sawah adalah budidaya tanaman yang banyak menggunakan air. Air ini digunakan untuk melumpurkan tanah, untuk menggenangi petakan tanaman dan untuk dapat dialirkan dari petakan satu ke petakan lainnya. Oleh karena tanah sawah bersuasana reduktif (anaerob) maka tanah sawah menjadi salah satu penghasil gas metan yang utama. Gas metan merupakan salah satu gas pemanas atmosfer bumi disamping gas CO2

sehingga sawah berdampak luas dan kuat atas lingkungan hidup (Notohadiprawiro, 2006)

Menurut Notohadiprawiro (2006), pengelolaan tanah menjadi tanah sawah akan menimbulkan perubahan-perubahan, seperti:

1. Tubuh tanah terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian atas yang berubah dan bagian bawah yang tetap seperti semula.

2. Kedua bagian dibatasi secara tajam oleh suatu lapisan mampat yang terbentuk oleh tekanan bajak yang disebut lapisan bajak (plow pan). Kadang-kadang di bawah padas bajak terbentuk lapisan peralihan yang bertampakan bercak-bercak kuning-coklat-merah di dalam bahan dasar tanah berwarna kelabu.


(22)

9

3. Struktur bagian atas rusak menjadi lumpur karena pengolahan tanah sewaktu tanah jenuh atau kelewat jenuh air yang mendispersikan agregat-agregat tanah.

4. Bagian atas bersuasana oksidatif (aerob) dan bagian bawah bersuasana reduktif (anaerob).

5. Pada perbatasan antara bagian yang aerob dan anaerob atau pada lapisan peralihan sering terbentuk konkresi-konkresi Fe-Mn karena potensial redoks meningkat kearah bawah yang mengendapkan Fe dan Mn yang tereluviasi (tercuci) dari bagian atas yang bersuasana reduktif (potensial redoks rendah). Konkresi Fe-Mn dapat menyatu membentuk lapisan Fe dan Mn yang berkonsistensi keras tetapi rapuh.

Perubahan yang terjadi pada profil tanah akibat digunakannya lahan menjadi tanah sawah dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Profil tanah sawah (Koenigs, 1950)

Selain perubahan profil tanah penggunaan lahan menjadi tanah sawah juga menyebabkan beberapa perubahan kimia dan elektrokimia, seperti kehilangan oksigen, penurunan potensial redoks (reduksi), peningkatan pH tanah masam dan penurunan pH tanah alkalin, peningkatan daya hantar listrik, reduksi dari Fe3+ ke


(23)

Fe2+ dan Mn4+ ke Mn 2+, reduksi dari NO3- dan NO2- ke N2 dan N2O, reduksi

SO42- ke S2-, peningkatan sumber dan ketersediaan N, peningkatan ketersediaan

P, Si dan Mo, pengaruh konsentrasi Zn dan Cu larut dalam air dan pembentukan CO2, CH4 dan hasil-hasil dekomposisi bahan organik seperti asam organik dan

H2S (De Datta, 1981).

2.3. Tanaman Padi

Padi (Oryza sativa l.) yang termasuk golongan tumbuhan Gramineae tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di hampir semua bagian dunia yang memiliki cukup air dan suhu udara cukup hangat. Padi menyukai tanah yang lembab dan becek. Secara umum ciri-ciri padi adalah sebagai berikut: berakar serabut, daun berbentuk lanset (sempit memanjang), urat daun sejajar, memiliki pelepah daun, bunga tersusun sebagai bunga majemuk, serta buah dan biji sulit dibedakan karena merupakan bulir atau kariopsis (Anonim, 2007).

Menurut Yoshida (1981), keseluruhan organ tanaman padi terdiri dari dua kelompok, yaitu organ vegetatif yang meliputi akar, batang serta daun dan organ generatif (reproduktif) yang meliputi malai, gabah dan bunga. Pertumbuhan padi menjadi 3 bagian yakni fase vegetatif, reproduktif dan pemasakan. Fase vegetatif meliputi pertumbuhan tanaman mulai dari berkecambah sampai dengan inisiasi primodia malai, fase reproduktif dimulai dari inisiasi primodia malai sampai berbunga dan fase pemasakan dimulai dari berbunga sampai masak panen.

Fase reproduktif ditandai dengan memanjangnya ruas teratas pada batang, yang sebelumnya tertumpuk rapat dekat permukaan tanah. Di samping itu, fase reproduktif ditandai dengan berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting dan pembungaan. Fase pemasakan benih terdiri dari 4 stadia, yaitu stadia masak susu ditandai dengan tanaman padi yang masih berwarna hijau, malai yang sudah terkulai, ruas batang bawah terlihat kuning dan jika gabah tekan dengan jari keluar cairan seperti susu. Selanjutnya stadia masak kuning seluruh tanaman tampak kuning hanya buku-buku bagian atas yang masih hijau, isi gabah sudah mengeras tetapi mulai pecah dengan kuku. Selanjutnya stadia masak penuh yang ditandai dengan buku atas sudah menguning, batang mulai kering dan isi gabah sukar dipecahkan. Stadia terakhir dalam fase pemasakan benih adalah


(24)

11

stadia mati dimana isi gabah sudah mengeras dan kering, pada varietas yang nudah rontok pada stadia ini sudah mulai rontok (Yoshida, 1981).

Nitrogen, fosfor dan kalium merupakan unsur yang biasanya diberikan sebagai pupuk. Hal ini karena kandungan ketiga unsur tadi dalam tanah jumlahnya sedikit, sedangkan yang diangkut tanaman tiap tahunnya sangat banyak. Pengaruh nitrogen bagi tanaman antara lain merangsang pertumbuhan di atas tanah dan memberikan warna hijau pada daun. Pada serelia nitrogen dapat memperbesar butir-butir dan presentase protein (Soepardi, 1983). Umumnya nitrogen sangat diperlukan untuk pembentukan dan pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti daun, batang dan akar namun jika terlalu banyak dapat menghambat pembungan dan pembuahan tanaman (Sarief, 1985).

Fosfor merupakan bagian dari inti sel maka dari itu fosfor sangat penting dalam pembelahan sel dan juga perkembangan jaringan meristem dengan demikian fosfor dapat merangsang pertumbuhan akar dan tanaman muda, mempercepat pembungaan dan pemasakan buah, biji dan gabah, selain itu fosfor juga sebagai penyusun lemak dan protein (Sarief, 1985).

Kalium merupakan unsur yang sangat penting dalam sintetis dari asam amino dan protein dari asam-asam amonium. Adanya kalium tersedia yang cukup dalam tanah menjamin ketegaran tanaman, membuat tanaman lebih tahan terhadap penyakit dan merangsang pertumbuhan akar. Unsur ini diperlukan oleh serelia sewaktu pengisian butirnya. Kalium cenderung meniadakan pengaruh buruk nitrogen dan dapat mengurangi kematangan yang dipercepat oleh fosfor (Soepardi, 1983). Apabila tidak disertai dengan kalium yang cukup, efisiensi nitrogen dan fosfor akan rendah dan produksi yang tinggi tidak mungkin dicapai (Sarief,1985).

2.4. Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia

Produktivitas dapat diartikan sebagai suatu keluaran dari setiap produk per satuan (baik satuan total maupun tambahan) terhadap setiap masukan atau faktor produksi tertentu, misalnya sebagai hasil per satuan benih, tenaga kerja, atau air selain terhadap satuan luas lahan (Suwena, 2002), sedangkan produksi adalah hasil suatu produk dalam suatu satuan pada suatu wilayah per tahun. Menurut


(25)

prediksi Badan Pusat Statistik (BPS) angka sementara produktivitas rata-rata padi nasional di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 4.99 ton/ha/tahun, sedangkan produksi padi rata-rata nasional mencapai 64.33 juta ton GKG/tahun, yang meningkat 6.63% dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 60.33 juta ton GKG/tahun. Berdasarkan data produksi dan produktivitas padi di Indonesia pada tahun 1993-2009 yang diperoleh dari BPS, di Indonesia dari tahun ke tahun terjadi peningkatan produksi meskipun peningkatan produktivitasnya kurang signifikan (BPS,2009). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 2. Produktivitas padi di Indonesia tahun 1993-2009 (BPS, 2009)


(26)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dimulai dari April 2009 sampai Agustus 2009. Penelitian lapang dilakukan di lahan sawah Desa Tanjung Rasa, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis sifat kimia tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih padi varietas Ciherang, pupuk urea (40.55% N), pupuk SP-18 (22.6% P2O5), pupuk KCl

(54.45% K2O), pupuk kompos (Tabel Lampiran 2), dan bio-organic fertilizer

(fertismart) (Tabel Lampiran 3). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pH meter HM-20P merk TOA DKK, Eh meter RM-20P merk TOA DKK dan alat-alat lain yang diperlukan dalam penelitian.

3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian dirancang berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK) dengan empat ulangan dan empat perlakuan sehingga terbentuk 16 petakan percobaan dengan ukuran masing-masing petak sebesar 4 m x 5 m. Empat perlakuan yang diterapkan adalah sebagai berikut:

1. Budidaya padi konvensional (T0). Bibit padi ditanam pada umur 30 hari setelah semai, bibit ditanam sebanyak 8 bibit dalam satu lubang dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Penggenangan dilakukan secara kontinu dengan ketinggian sekitar 5 cm. Pemupukan dengan dosis 250 kg urea/ha, 200 kg SP-18/ha dan 100 kg KCl/ha atau setara dengan 0.5 kg urea/petak, 0.4 kg SP-18/petak, dan 0.2 kg KCl/petak.

2. Budidaya padi S.R.I. anorganik (T1). Bibit padi ditanam pada umur 7 hari setelah semai, bibit ditanam sebanyak satu bibit per lubang dengan jarak 30 cm x 30 cm. pindah tanam bibit dari persemaian ke lahan yang


(27)

telah disiapkan dilakukan dengan hati-hati dan cepat (kurang dari 30 menit). Bibit ditanam pada kedalaman 2 cm dengan posisi akar horizontal. Pengairan diatur sampai tanah mencapai kondisi lembab tetapi tidak tergenang (macak-macak). Pupuk yang digunakan sama dengan budidaya padi konvensional (T0).

3. Budidaya padi S.R.I. Organik (T2), seperti T1 tetapi pupuk yang diberikan 100% pupuk organik/kompos dengan takaran 5 ton/ha setara dengan 10 kg/petak.

4. Budidaya padi S.R.I. Semi-organik (T3), dimana perlakuan sama dengan T1 tetapi takaran pupuk anorganiknya 50% dari dosis pupuk T1, yaitu sebanyak 125 kg urea/ha, 100 kg SP-18/ha dan 50 kg KCl/ha atau setara dengan 0.25 kg urea/petak, 0.2 kg SP-18/petak, serta 0.1 kg KCl/petak dan 50% sisanya diberi Bio-organic Fertilizer (Pupuk organik hayati) Fertismart sebanyak 300 kg/ha setara dengan 0.6 kg/petak.

3.3.2. Analisis Tanah Pendahuluan

Analisis tanah pendahuluan dilakukan pada hari ke-0. Pengambilan contoh tanah dilakukan secara komposit pada empat titik yang berbeda dari seluruh petakan pada kedalaman 0-10 cm. Hal ini dilakukan agar tanah yang didapatkan homogen. Analisis tanah meliputi sifat kimia dan fisik tanah. Sifat kimia tanah meliputi C-organik, pH-tanah, N-total, P, Ca, Mg, K, Na, KTK, KB, Al, H, Fe, Cu, Zn dan Mn serta pengukuran Eh dan pH di lapang. Sifat fisik tanah meliputi kadar air tanah dan tekstur tanah.

3.3.3. Pelaksanaan Penelitian di Lapang 3.3.3.1. Persiapan Lahan

Persiapan lahan yang dilakukan terdiri dari pengolahan tanah, pelumpuran dan pembuatan petakan percobaan. Hal yang dilakukan pada saat pengolahan tanah untuk budidaya S.R.I. dan konvensional sama yaitu dilakukan 2 minggu sebelum tanam dengan menggunakan bajak dan cangkul sampai terbentuk struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan untuk mempermudah mengontrol dan


(28)

15

mengendalikan air. Petakan percobaaan yang dibuat sebanyak 16 petakan dengan ukuran 4 m x 5 m. Pemilihan petak untuk setiap perlakuan dilakukan secara acak. Tata letak satuan petakan percobaan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Tata letak satuan percobaan di lapang

3.3.3.2. Persiapan Benih

Pengujian benih dilakukan terlebih dahulu sebelum penyemaian S.R.I. Pengujian benih dilakukan dengan cara merendam benih dalam larutan air garam. Benih yang baik adalah benih yang tenggelam dalam larutan tersebut, kemudian benih direndam air biasa selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diperam selama 2 hari sampai benih berkecambah setelah itu disemaikan pada media tanah dan pupuk organik (1:1) dalam baki selama 7 hari, sedangkan untuk penyemaian budidaya konvensional setelah direndam selama 24 jam benih langsung disebar di lahan sawah tempat penyemaian.

3.3.3.3. Penanaman

Bibit S.R.I ditanam pada umur 7 hari dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm, dan jumlah bibit sebanyak 1 bibit/lubang, bibit ditanam dangkal, posisi akar padi


(29)

sejajar dengan permukaan tanah, sehingga batang padi dan akarnya membentuk huruf “L”, sedangkan bibit yang ditanam pada budidaya konvensional ditanam pada umur 30 hari, dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm dan jumlah bibit sebanyak 8 bibit/lubang.

3.3.3.4. Pemupukan

Dosis pupuk yang diberikan berbeda-beda untuk setiap perlakuan, untuk perlakuan S.R.I. anorganik dan konvensional dosis pupuk yang diberikan sebanyak 250 kg urea/ha, 200 kg SP-18/ha dan 100 kg KCl/ha. Pada perlakuan S.R.I. semi-organik pupuk anorganik yang diberikan sebanyak 50% dari perlakuan S.R.I. anorganik dan 50% sisanya diberi Bio-organic Fertilizer (Pupuk organik hayati) Fertismart sebanyak 300 kg/ha, sedangkan untuk S.R.I. organik diberikan pupuk kompos dengan dosis 5 ton/ha.

Pemberian pupuk Urea, SP-18, KCl dan Fertismart pada S.R.I. anorganik, S.R.I. semi-organik, dan konvensional dilakukan saat penanaman dan khusus untuk pupuk urea diberikan dua kali yaitu saat penanaman dan saat minggu kelima setelah tanam yaitu saat tanaman berumur 35 HST, dengan dosis 50% setiap pemberian pupuk, sedangkan untuk S.R.I. organik kompos diberikan ke lahan seminggu sebelum tanam.

3.3.3.5. Pengaturan Air

Air pada budidaya S.R.I. diberikan secara macak-macak atau cukup dengan kondisi yang basah dan tidak tergenang, penggenangan diperlukan pada saat penyiangan yaitu pada usia 10, 20 dan 30 MST dan setelah dilakukan penyiangan tanah tidak perlu digenangi lagi, selain itu pada saat tanaman berbunga perlu dilakukan penggenangan namun setelah padi matang susu, tanah kembali tidak digenangi, sedangkan untuk budidaya konvensional tanah diberikan air secara tergenang kontinu dengan ketinggian 5 cm sampai pemasakan bulir.

Sekeliling dalam petakan percobaan dibuat parit kecil atau kemalir. Parit ini fungsinya untuk pengendalian air (drainase) dalam petak sawah. Lebar parit 20 cm dan kedalamannya 30 cm. Saluran inlet dan outlet antar petakan dibuat


(30)

17

terpisah (tidak saling berhubungan), hal ini dilakukan agar tidak terjadi pencampuran antara air dari petakan satu dengan petakan lainnya.

3.3.3.6. Panen

Pemanenan dilakukan saat bulir padi sekitar 90-95% telah menguning. Pemanenan dilakukan dengan cara memotong bagian bawah batang menggunakan sabit.

3.3.4. Pengambilan Data pH dan Eh

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan alat ukur pH meter HM-20P merk TOA DKK dan pengukuran Eh dengan ORP meter RM-HM-20P merk TOA DKK. Pengukuran ini dilakukan setiap dua minggu, yaitu pada minggu ke-2, 4, 6, 8 dan 10. Pengukuran pH dan Eh ini dilakukan pada lokasi yang sama pada tiap minggunya serta pada lokasi yang dianggap mewakili setiap petakan. Pengukuran ini diambil pada kedalaman 10 cm dari permukaan tanah. Cara pengambilannya adalah sebagai berikut: Kalibrasi pH dan Eh meter, masukan tongkat sebesar pH dan Eh meter dan dengan panjang 10 cm ke dalam tanah yang akan dimasukan pH atau Eh meter, masukan pH atau Eh meter, diamkan hingga stabil, dan catat nilai yang terlihat dalam layar pH atau Eh meter. Sebelum penggunaan pH dan Eh meter pada lokasi yang berbeda perlu dilakukan pembilasan alat tersebut dengan menggunakan aquades agar alat tersebut kembali pada nilai standar.

3.3.5. Pengamatan Data Vegetatif Tanaman

Parameter vegetatif tanaman yang diamati adalah

1. Tinggi tanaman. Pengukuran dilakukan dengan mengukur tanaman dari pangkal batang sampai daun terpanjang pada 5 tanaman contoh dengan meteran dalam satuan cm. Pengukuran ini dilakukan setiap dua minggu sekali, yaitu pada minggu ke-2, 4, 6, 8 dan 10.

2. Jumlah batang per 100 m2. Penghitungan dilakukan dengan membagi luasan 100 m2 dengan jarak tanam yang digunakan lalu dikalikan dengan rataan jumlah batang/anakan yang terdapat pada setiap rumpun pada tanaman contoh dengan satuan batang/rumpun. Penghitungan ini


(31)

dilakukan setiap dua minggu sekali yaitu pada minggu ke-2, 4, 6, 8 dan 10.

3.3.6. Pengamatan Pasca Panen

Pengamatan pasca panen yang dilakukan terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan rata-rata dari 5 tanaman contoh dari tiap petak percobaan, maupun berdasarkan hasil panen yang dilakukan dengan membuat ubinan seluas 2.5 m x 2.5 m tiap petak percobaan.

Parameter yang diamati berdasarkan rata-rata dari 5 tanaman contoh dari tiap petak percobaan adalah sebagai berikut :

1. Jumlah anakan produktif per 100 m2. Penghitungan dilakukan dengan membagi luasan 100 m2 dengan jarak tanam yang digunakan lalu dikalikan dengan jumlah batang yang menghasilkan malai pada setiap rumpun pada tanaman contoh.

2. Panjang malai. Pengukuran dilakukan dengan mengukur panjang malai dengan menggunakan penggaris dalam satuan cm dari buku malai hingga ujung malai pada 3 malai yang mewakili untuk setiap tanaman contoh.

3. Jumlah gabah per malai. Penghitungan dilakukan dengan menghitung jumlah gabah tiap malai pada 3 malai yang mewakili untuk setiap contoh tanaman dengan satuan bulir/malai.

4. Jumlah gabah isi dilakukan dengan menghitung jumlah gabah isi dari tiap malai dalam satuan bulir.

5. Jumlah gabah hampa dilakukan dengan menghitung jumlah gabah hampa dari tiap malai dalam satuan bulir.

6. Bobot 1000 butir. Bobot ini diperoleh dengan menimbang 1000 butir gabah dari per satuan percobaan dengan gravimetri dalam satuan gram. Adapun parameter yang diamati berdasarkan hasil panen yang dilakukan dengan membuat ubinan seluas 2.5 m x 2.5 m tiap petak percobaan adalah :

1. Gabah Kering Panen (GKP). Bobot ini diperoleh dari menghitung bobot padi saat panen pada petakan yang telah dibuat ubinan dengan ukuran 2.5 m x 2.5 m lalu dikonversi dalam satuan ton/ha.


(32)

19

2. Gabah Kering Giling (GKG) Bobot ini diperoleh dari menghitung bobot padi yang telah dijemur selama kurang lebih tiga hari, dilakukan pada petakan yang telah dibuat ubinan dengan ukuran 2.5 m x 2.5 m lalu dikonversi dalam satuan ton/ha.

3.3.7. Analisis Data

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang ditetapkan maka dilakukan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan selang kepercayaan 5%.


(33)

4.1.1. Tinggi Tanaman

Pengaruh budidaya padi secara konvensional dan S.R.I. terhadap tinggi tanaman dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Pengaruh budidaya padi secara konvensional dan S.R.I. terhadap tinggi tanaman

Berdasarkan Gambar 5, dapat dilihat bahwa pada minggu ke-2 sampai minggu ke-4 pengaruh perlakuan budidaya konvensional menghasilkan tinggi tanaman yang berbeda nyata dengan ketiga perlakuan lainnya, hal ini dikarenakan pada saat penanaman budidaya S.R.I anorganik, organik maupun semi-organik menggunakan bibit yang lebih muda yaitu berumur 7 hari yang ukurannya relatif lebih kecil dibanding dengan bibit yang digunakan pada budidaya konvensional yang menggunakan bibit berumur 30 hari.

Pada minggu ke-6 tinggi tanaman pada perlakuan budidaya S.R.I anorganik dan S.R.I. semi-organik tidak berbeda nyata dengan perlakuan budidaya konvensional, dan pada minggu ke-8 tinggi tanaman dengan budidaya S.R.I. anorganik sudah mulai dapat menyusul tinggi tanaman konvensional meskipun belum terlihat secara nyata perbedaannya. Tinggi tanaman antar perlakuan S.R.I. anorganik dengan konvensional terlihat nyata perbedaannya pada minggu ke-10. Tinggi tanaman S.R.I semi-organik dan S.R.I. organik juga dapat menyusul tinggi tanaman konvensional pada minggu ke-10 walaupun secara statistik tidak berbeda


(34)

21

nyata. Urutan tinggi tanaman dari semua perlakuan pada minggu ke-10 adalah sebagai berikut: S.R.I. anorganik (98.50 cm), S.R.I. semi-organik (95.8 cm), S.R.I. organik (93.50 cm), dan terakhir konvensional (91.25 cm). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sumardi et al. (2007), yang menyatakan bahwa pemberian air pada sekitar kapasitas lapang menghasilkan tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang diberikan air hingga tergenang karena pemberian air dalam kapasitas lapang menyebabkan kadar oksigen yang diperoleh akar lebih banyak sehingga tanaman padi lebih cepat berkembang. Hal tersebut secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap hasil tanaman.

Perlakuan S.R.I organik memiliki tinggi tanaman yang selalu lebih rendah dibanding dengan dua perlakuan S.R.I. lainnya yang diterapkan. Hal ini karena S.R.I organik menggunakan pupuk organik yang memiliki kandungan unsur N, P, dan K yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini menyebabkan pertumbuhan pada perlakuan S.R.I. organik selalu lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya karena unsur hara khususnya nitrogen sangat diperlukan untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti daun, batang, dan akar (Sarief, 1985).

4.1.2. Jumlah Batang per 100 m2

Pengaruh perlakuan budidaya padi secara konvensional dan S.R.I. terhadap jumlah batang per 100 m2 dapat dilihat dibawah ini (Gambar 6).

Gambar 6. Pengaruh budidaya padi secara konvensional dan S.R.I. terhadap jumlah batang per 100 m2


(35)

Perbedaan nyata pada jumlah batang per 100 m2 antara budidaya S.R.I. dengan budidaya konvensional sudah terlihat sejak 2 MST. Perbedaan itu dikarenakan jarak tanam antara budidaya S.R.I. dengan budidaya konvensional berbeda. Budidaya konvensional dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm akan menghasilkan jumlah rumpun per 100 m2 yang lebih banyak yaitu sebanyak 2,500 rumpun, sedangkan budidaya S.R.I. yang memiliki jarak tanam sebesar 30 cm x 30 cm hanya akan menghasilkan 1,111 rumpun per luasan 100 m2 sehingga walaupun jumlah batang per rumpun pada perlakuan budidaya S.R.I. anorganik, S.R.I semi-organik dan S.R.I organik telah melampaui jumlah batang per rumpun perlakuan budidaya konvensional sejak minggu ke-6 sampai minggu ke-10 (Tabel Lampiran 8), tetapi perlakuan budidaya S.R.I. memiliki jumlah batang per 100 m2 yang lebih rendah dibanding budidaya konvensional.

Menurut Sumardi et al. (2007), pemberian air secara intermitten menjamin ketersediaan O2 di zona perakaran dan secara konsisten memberikan hasil yang

lebih baik dibandingkan dengan budidaya sawah yang digenangi terus menerus, hal tersebut secara nyata dapat meningkatkan jumlah anakan produktif, biomasa, tinggi tanaman dan luas daun, hal tersebut yang menyebabkan jumlah batang per rumpun pada perlakuan budidaya S.R.I. dapat melampaui budidaya konvensional pada minggu ke-6 sampai minggu ke-10 (Tabel Lampiran 8).

Berdasarkan jumlah batang per 100 m2 antara S.R.I. anorganik, organik, dan semi-organik, S.R.I. anorganiklah yang memiliki jumlah batang tertinggi. Hal ini karena dosis pupuk urea yang diberikan pada S.R.I. anorganik lebih banyak dibanding dua perlakuan S.R.I. yang lain. Menurut Agustamar dan Zulfadly (2007), nitrogen sangat membantu pada awal pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Budidaya S.R.I. organik selalu memiliki jumlah batang terendah. Hal ini diduga karena S.R.I. organik menggunakan pupuk organik yang memiliki kadar N, P dan K rendah sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukkan anakan.

Jumlah batang per 100 m2 pada budidaya konvensional maksimal pada minggu ke-4, sedangkan pada budidaya S.R.I. pada minggu ke-6 dan pada minggu berikutnya jumlah batang per 100 m2 mulai menurun. Hal ini terjadi karena tanaman telah mencapai fase reproduktif sehingga batang mulai berkurang karena batang banyak yang mulai mati seperti yang dinyatakan Yoshida (1981), fase


(36)

23

reproduktif ditandai dengan berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting dan pembungaan

4.2. Komponen Hasil

Komponen hasil terdiri dari jumlah batang produktif per 100 m2, panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah hampa, jumlah gabah bernas, bobot 1000 butir, Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG). Pengaruh budidaya konvensional dan S.R.I. terhadap jumlah batang total per 100 m2 dan jumlah batang produktif per 100 m2 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh budidaya konvensional dan S.R.I. terhadap jumlah batang produktif per 100 m2

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%

Pada saat panen tidak semua batang pada setiap rumpun menghasilkan malai. Batang yang menghasilkan malai disebut batang produktif. Jumlah batang produktif dipengaruhi oleh jarak tanam, jumlah bibit, dan umur bibit tanam. Jarak tanam yang relatif sempit dapat menyebabkan stres pada tanaman, selain itu umur persemaian yang mencapai usia 30 hari (tua) menyebabkan sistem perakaran bersaing dengan banyak sistem perakaran disekitarnya sehingga tanaman kesulitan dalam mencukupi kebutuhan haranya. Hal tersebut yang menyebabkan jumlah batang produktif pada budidaya konvensional lebih rendah dibanding dengan budidaya S.R.I anorganik dan S.R.I. semi-organik (Tabel Lampiran 9), namun jika jumlah batang produktif dikonversikan ke dalam luasan 100 m2 maka berdasarkan analisis statistik maka akan diperoleh data bahwa jumlah batang produktif per 100 m2 konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan semua perlakuan S.R.I. (Tabel 2). Hal ini dikarenakan perlakuan budidaya konvensional

Sistem Budidaya

Jumlah Batang Total per 100 m2

(14 MST)

Jumlah Batang Produktif per 100 m2 (14 MST)

Konvensional 55,875b 50,625b

S.R.I Anorganik 34,107a 25,053a

S.R.I Organik 27,997a 22,386a


(37)

memiliki jumlah rumpun per 100 m2 yang lebih tinggi dibandingkan seluruh perlakuan budidaya S.R.I.

Perlakuan S.R.I. organik memiliki jumlah batang per 100 m2 terendah dibanding semua perlakuan budidaya S.R.I. Hal ini dikarenakan pupuk yang diberikan pada perlakuan tersebut adalah pupuk kompos yang memiliki kandungan nitrogen yang rendah sehingga pertumbuhan batang pada setiap rumpunnya menjadi terhambat atau kurang maksimal karena menurut Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian (2008), unsur N dan P mempunyai pengaruh yang jelas terhadap pembentukan anakan. Selain itu menurut Siregar (1981), pemberian nitrogen yang cukup akan meningkatkan jumlah batang produktif tanaman, karena nitrogen berperan penting sebagai penyusun protein yang akan digunakan oleh tanaman untuk meningkatkan jumlah malai/rumpun.

Metode tanam muda pada budidaya S.R.I. tidak menyebabkan tanaman stres karena ukuran perakaran saat akan dipindahlapangkan masih relatif pendek dan tanaman masih mempunyai cadangan makanan sehingga tidak akan mengalami kekurangan hara. Umur bibit yang ditanam juga dapat mempengaruhi jumlah batang produktif per rumpun. Menurut Masdar et al. (2006), pindah lapang yang dilakukan pada umur antara 7-14 hari akan menghasilkan batang produktif per rumpun lebih banyak. Hal ini diduga karena kondisi awal bibit umur 7-14 hari tidak mengalami stres saat pindah lapang yang akan berlanjut selama pertumbuhan vegetatif dan reproduktif.

Semakin banyak bibit yang ditanam menyebabkan semakin sedikitnya jumlah batang produktif per rumpun karena persaingan sejak awal antar daun diduga menurunkan kebugaran anakan. Petakan konvensional yang ditanam dengan bibit awal sebanyak 8 buah memperlihatkan jumlah batang produktif per rumpun lebih rendah dibanding dengan S.R.I. anorganik dan S.R.I. semi-organik, sedangkan jumlah batang produktif per rumpun S.R.I. organik tidak melebihi jumlah batang produktif per rumpun konvensional karena pupuk yang diberikan pada perlakuan S.R.I. organik menggunakan pupuk kompos yang memiliki kadar N-total yang lebih rendah dibanding perlakuan konvensional (Tabel Lampiran 9).


(38)

25

Tabel 3. Pengaruh budidaya padi terhadap panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%

Perlakuan budidaya S.R.I anorganik dan semi-oganik dapat meningkatkan panjang malai secara nyata dibanding perlakuan konvensional, perlakuan S.R.I. organik juga cenderung meningkatkan panjang malai. Hasil biji dipengaruhi pada jumlah pati yang terakumulasi dalam spikelet dan sangat ditentukan selama fase pengisian biji. Ada tiga faktor yang penting selama proses pengisian biji, yaitu produksi fotosintat yang dihasilkan oleh organ tanaman yang berperan sebagai source, sistem translokasi dari source ke sink dan akumulasi fotosintat pada sink. Hasil dari proses pengisian pada biji padi adalah keseimbangan dari ketiganya (Sumardi et al., 2007). Selain itu kandungan unsur N, P dan K tersedia juga mempengaruhi jumlah gabah per malai. Unsur nitrogen berperan meningkatkan jumlah bulir per rumpun (Rauf et al., 2000), unsur fosfor juga berperan memacu terbentuknya bunga dan bulir pada malai (Rauf et al., 2000) dan unsur kalium juga dapat meningkatkan jumlah bulir per malai (Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian, 2008).

Pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa perlakuan budidaya S.R.I. anorganik memiliki jumlah gabah bernas tertinggi walaupun secara statistik tidak terlihat secara nyata. Menurut Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian (2008), unsur kalium dapat meningkatkan persentase gabah isi. Jumlah gabah hampa pada seluruh perlakuan S.R.I. diduga sebagai akibat dari terlambatnya inisiasi biji menurut waktu yang semestinya karena pada minggu ke-2 tanaman terkena hama lalat bibit sehingga pertumbuhanya terganggu selain itu adanya hama walang sangit juga menyebabkan tingginya jumlah gabah hampa.

Berdasarkan hasil penelitian terbukti bahwa S.R.I. anorganik dan semi-organik dapat meningkatkan produksi padi dibandingkan dengan budidaya

Sistem Budidaya Panjang Malai Jumlah Gabah /Malai Jumlah Gabah Hampa per Malai

Jumlah Gabah Isi per Malai

Kenaikan Gabah Isi per Malai

(%)

Konvensional 21.50a 91.05a 33.43a 57.62a -

S.R.I Anorganik 23.42b 122.12c 50.29b 68.19a 18.34

S.R.I Organik 22.02a 105.75b 55.97b 55.25a -4.11


(39)

konvensional walau secara statistik perbedaannya tidak nyata. Hal ini karena S.R.I. memiliki beberapa keunggulan seperti tanam bibit saat masih muda dan secara hati-hati. Hal ini dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama tahap pertumbuhan vegetatif, sehingga lebih banyak batang yang muncul dalam satu rumpun, dan lebih banyak bulir padi yang dihasilkan oleh malai.

Budidaya S.R.I. menggunakan bibit yang ditanam tunggal yang dapat menyebabkan tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran. Tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya, atau nutrisi dalam tanah sehingga sistem perakaran menjadi sangat baik. Jarak tanam yang lebar memberi kemungkinan lebih besar kepada akar untuk tumbuh leluasa, tanaman juga akan menyerap lebih banyak sinar matahari, udara dan nutrisi. Hasilnya akar dan batang akan tumbuh lebih baik (juga penyerapan nutrisi) serta jumlah anakan akan lebih banyak dibanding sistem konvensional seperti pendapat Sumardi et al. (2007), yang mengatakan bahwa kondisi perakaran yang baik tidak hanya tampak pada morfologi akar saja akan tetapi juga terekspresi pada bagian atas tanaman, seperti jumlah anakan, tinggi tanaman dan persentase anakan produktif, ketiga parameter tersebut merupakan indikator yang paling kuat untuk melihat hasil gabah per rumpun.

Kondisi tanah yang lembab (kapasitas lapang) pada masa vegetatif memungkinkan lebih banyak oksigen yang masuk di zona perakaran. Perakaran yang teroksidasi akan meningkatkan kesuburan tanah dan mendapatkan akar tanaman yang panjang dan lebat (Berkelaar, 2001), selain itu menurut Sumardi et al. (2007), pemberian air pada kapasitas lapang juga dapat mempertahankan tanah pada kondisi aerobik. Pori-pori tanah khususnya pori makro tidak terjenuhi air sehingga memungkinkan lalu lintas CO2 dan O2 dapat berjalan tanpa hambatan.

Kondisi demikian juga menguntungkan untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme tanah aerobik yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik. Tingginya jumlah dan aktivitas mikroorganisme tanah berpengaruh positif terhadap sifat fisik (struktur tanah) dan kimia tanah. Pada akhirnya akan memberikan lingkungan tumbuh yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan akar. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Hakim (2009), pada


(40)

27

lokasi yang sama yang mengatakan bahwa budidaya S.R.I. memiliki populasi dan keragaman organisme yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan budidaya konvensional.

Tanah tergenang menyebabkan suasana tanah menjadi anaerob. Pada suasana anaerob akar padi membentuk jaringan aerenchym. Semakin lama digenangi jumlah aerenchym semakin banyak dan semakin besar, sehingga porsi sel yang dimanfaatkan untuk menyerap air dan unsur hara menjadi semakin terbatas. Akibatnya proses metabolisme menjadi tergangggu sehingga bahan kering yang dihasilkan tidak mampu mengisi spikelet yang telah terbentuk secara optimal (Sumardi et al., 2007).

Tabel 4. Produksi gabah kering dengan budidaya konvensional dan S.R.I.

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%

*: Bobot GKG pada kadar air gabah 14 %

Terlihat dari Tabel 4, bahwa Gabah Kering Panen (GKP) antara keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Gabah Kering Panen (GKP) yang dihasilkan S.R.I. anorganik sebesar 4.35 ton/ha sedangkan konvensional hanya 3.59 ton/ha, berarti terjadi peningkatan sebesar 21.17% akibat penerapan budidaya S.R.I. anorganik. Nilai Gabah Kering Giling (GKG) S.R.I. anorganik mencapai 3.05 ton/ha sedangkan konvensional hanya mencapai 2.35 ton/ha, yang berarti terjadi peningkatan sebesar 29.79%. Nilai Gabah Kering Giling (GKG) juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara keempat perlakuan. Jika antar perlakuan diurutkan berdasarkan produksi GKP, urutannya adalah sebagai berikut: S.R.I. anorganik 4.35 ton/ha, S.R.I semi-organik 3.96 ton/ha, konvensional 3.59 ton/ha dan terakhir S.R.I. organik dengan GKP 3.55 ton/ha, sedangkan berdasarkan bobot GKG dengan urutan: S.R.I. anorganik 3.05 ton/ha, S.R.I semi-organik 2.43 ton/ha, konvensional 2.35 ton/ha dan terakhir S.R.I. organik dengan GKG 2.33 ton/ha

Sistem Budidaya GKP (ton/ha) Kenaikan GKP (%) GKG* (ton/ha) Kenaikan

GKG (%) Bobot 1000 Butir

Konvensional 3.59a - 2.35a - 23.40a

S.R.I Anorganik 4.35a 21.17 3.05a 29.79 22.82a S.R.I Organik 3.55a -1.11 2.33a -1.58 23.03a S.R.I Semi-organik 3.96a 10.31 2.43a 3.40 23.29a


(41)

Bobot 1000 butir pada budidaya konvensional dan budidaya S.R.I. tidak menunjukan perbedaan yang nyata, bobot 1000 butir paling tinggi pada perlakuan konvensional, hal ini dikarenakan pada saat masa pengisian bulir padi S.R.I. hama seperti walang sangit muncul dan mengisap bulir yang masih matang susu sehingga pengisian bulir pada budidaya S.R.I. tidak optimal, sedangkan pada saat itu padi konvensional sudah mulai matang penuh sehingga hama-hama tadi tidak terlalu mempengaruhi bobot bulir tersebut (Tabel 4). Selain itu unsur hara yang tinggi juga mempengaruhi bobot 1000 butir. Menurut Rauf et al. (2000), unsur nitrogen berperan untk merangsang pertumbuhan vegetatif, meningkatkan jumlah anakan, dan meningkatkan jumlah bulir per rumpun; unsur fosfor berperan memacu terbentuknya bunga, bulir pada malai, menurunkan arborsitas, perkembangan akar halus dan akar rambut, memperkuat jerami sehingga tidak mudah rebah, dan memperbaiki kualitas gabah (meningkatkan ukuran berat gabah); sedangkan unsur kalium dapat meningkatkan jumlah bulir per malai, persentase gabah isi, dan bobot 1000 butir (Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian, 2008). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kusumawardhany (2009), yang menyatakan bahwa bobot 1000 butir pada perlakuan konvensional memiliki nilai tertinggi dibandingkan perlakuan yang lain karena dipengaruhi oleh suplai hara N, P dan K bagi tanaman. Dimana gabungan dari ketiga unsur tersebut jika tersedia secara berimbang pada tanaman akan menghasilkan bobot 1000 butir yang lebih tinggi.

Dari ketiga budidaya S.R.I. yang diterapkan, perlakuan S.R.I. semi-organiklah yang memiliki bobot 1000 butir tertinggi karena penambahan pupuk urea, SP-18 dan KCl yang disertai penambahan biofertilizer yang mengandung Mikrob Pelarut Fosfat (MPF) dan Azotobacter dapat mempercepat proses terjadinya unsur hara nitrogen dan fosfor bagi tanaman (Tabel 4). Menurut Suwena (2002), pemanfaatan biofertilizer yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dan organik memberikan prospek cukup baik untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas tanah, selain itu mikroba yang terkandung pada biofertilizer dapat mempercepat tersedianya unsur hara bagi tanaman. Hal tersebut sangat menguntungkan karena produktifitas tanah yang baik dan tersedianya unsur


(42)

29

hara seperti nitrogen dan fosfor bagi tanaman dapat meningkatkan hasil produksi tanaman.

Jumlah batang produktif per 100 m2 berbanding terbalik dengan jumlah gabah per malai dan jumlah gabah bernas. Walaupun jumlah batang produktif per 100 m2 lebih banyak pada budidaya konvensional, akan tetapi dengan tingginya komponen hasil yang lain seperti panjang malai, jumlah batang per rumpun, jumlah gabah per malai dan jumlah gabah bernas dapat meningkatkan hasil lebih besar dengan budidaya S.R.I. Hal ini sejalan dengan penelitian Kusumawardhany (2009), yang menyatakan bahwa budidaya S.R.I. memiliki kecenderungan dapat meningkatkan komponen hasil seperti jumlah gabah per malai dan jumlah gabah isi. Sehingga walaupun pada budidaya S.R.I. jumlah batang per 100 m2 dan jumlah batang produktif per 100 m2 memiliki hasil yang lebih rendah, tetapi pada GKP dan GKG budidaya S.R.I. memiliki hasil yang lebih tinggi dari konvensional. Selain itu menurut Masdar (2006), jarak tanam yang lebih lebar memberi hasil terbaik dibanding jarak tanam yang sempit. Walaupun jumlah rumpun per m2 pada jarak tanam lebar lebih sedikit, namun dua variabel, yaitu jumlah anakan produktif per rumpun dan jumlah bulir per malai berperan nyata pada harapan produksi.

Hasil dari semua perlakuan pada penelitian ini tidak melebihi produksi padi nasional yang mencapai 4.87 ton/ha. Hal ini disebabkan karena padi terserang beberapa hama, selain itu waktu tanam yang tidak serempak dengan daerah sekitarnya juga menjadi salah satu sebab tanaman diserang hama sehingga produksi padi menurun.

Selain kadar unsur hara yang rendah dibandingkan dengan perlakuan lain dan unsur hara tersedia secara perlahan-lahan (slow release), pertumbuhan dan hasil yang rendah pada perlakuan budidaya S.R.I. organik disebabkan pula oleh pemberian bahan organik berupa kompos yang belum terbiasa dilakukan pada lokasi ini. Produksi padi pada budidaya S.R.I. organik yang cukup rendah dibanding perlakuan S.R.I. organik yang pernah dilakukan, karena pada umumnya S.R.I. organik yang dilakukan ditambah dengan mikroorganisme lokal (MOL) yang dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan padi. Pemberian MOL yang tidak dilakukan karena dalam penelitian ini tidak hanya melihat pengaruh


(43)

terhadap pertumbuhan dan produksi padi semata namun juga dilakukan untuk melihat perbedaan jumlah dan keragaman mikroorganisme antara sistem budidaya S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik yang menggunakan biofertilizer.

Hasil ini serupa dengan penelitian di Kecamatan Kebon Pedes, Sukabumi. Kusumawardhany (2009), melaporkan hasil panen yang kurang baik dengan hasil GKP sebagai berikut S.R.I anorganik 5.32 ton/ha, S.R.I. semi-organik 4.97ton/ha, S.R.I. organik 4.72 ton/ha dan konvensional sebesar 4.58 ton/ha. Hasil yang rendah tersebut disebabkan oleh gangguan hama dan penyakit terutama hama walang sangit yang menyerang padi pada saat masa pengisian bulir sehingga bulir padi tidak terisi penuh.

Berdasarkan penelitian Nurwitasari (2009), di Kecamatan Limo, Depok, faktor lain yang dapat menyebabkan hasil panen S.R.I. rendah adalah akibat cekaman air yang terjadi pada saat fase pembentukan malai. Cekaman air pada penelitian tersebut menyerang padi S.R.I. pada usia 64 hari. Hasil GKP padi yang diperoleh pada perlakuan S.R.I. sebagai berikut S.R.I.anorganik 2.75 ton/ha, S.R.I. semi-organik 2.4 ton/ha dan S.R.I. organik sebesar 1.83 ton/ha, GKP padi pada perlakuan konvensional memiliki bobot yang lebih tinggi yaitu sebesar 3.38 ton/ha karena pada saat terjadi cekaman air perlakuan konvensional berumur lebih tua dan tanaman padi tersebut telah melewati tahap pembentukan malai sehinggga waktu cekaman air yang dialami sistem budidaya konvensional lebih pendek daripada sistem budidaya lainnya.


(44)

31

4.3. pH dan Eh

Gambar 7. Pengaruh budidaya padi secara konvensional dan S.R.I. terhadap tingkat kemasaman tanah

Nilai pH tanah pada perlakuan konvensional cenderung lebih mendekati suasana netral dibandingkan semua perlakuan S.R.I. (Gambar 7), walaupun pemberian air secara tergenang maupun macak-macak pada petakan percobaan tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Hal ini sesuai dengan pernyataan De Datta (1981), yang mengatakan bahwa penggenangan akan meningkatkan nilai pH tanah masam dan menurunkan pH tanah alkali sehingga pH tanah masam dan alkali akan bertemu pada pH antara 6 dan 7 atau mendekati netral.

Perubahan pH setelah penggenangan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perubahan besi ferri menjadi ferro, sulfat menjadi sulfida, karbon dioksida menjadi metan serta pemupukan amonium. Meningkatnya pH tanah sawah yang tergenangi terjadi karena reaksi reduksi-oksidasi. Menurunnya pH tanah sawah tergenangi yang bersifat alkalis terjadi karena perombakan bahan organik oleh mikroba tanah. Tercapainya tingkat pH setelah penggenangan tergantung pada nisbah H+/OH- dalam reaksi reduksi-oksidasi (Situmorang dan Sudadi, 2001).

Potensial redoks merupakan parameter yang berguna untuk mengukur intensitas reduksi pada tanah dan untuk mengidentifikasi reaksi utama yang terjadi (Situmorang dan Sudadi, 2001). Reduksi dapat terjadi jika ada bahan organik namun tidak ada pasokan oksigen serta adanya mikroorganisme anaerob dalam lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya (Wang dan Hagan, 1981). Pada


(45)

tanah yang tergenang, mikroorganisme anaerob atau anaerob fakultatif berkembang cepat dan mengambil alih proses dekomposisi bahan organik, menggunakan komponen-komponen tanah teroksidasi (bukan udara) sebagai akseptor elektron. Produk-produk tersebut tereduksi menurut urutan termodinamis, yaitu: nitrat, senyawa-senyawa Mn, senyawa-senyawa ferri, produk dari dekomposisi organik, sulfat dan sulfit (Sanchez, 1976).

Gambar 8. Pengaruh budidaya padi secara konvensional dan S.R.I.terhadap potensial redoks pada kedalaman 10 cm dari permukaan tanah

Menurut Suprihati (2007), perlakuan penggenangan terus menerus maupun macak-macak tidak berpangaruh terhadap Eh tanah namun dalam penelitian perlakuan budidaya konvensional memperlihatkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan budidaya S.R.I. Selama masa pertumbuhan nilai potensial redoks dari budidaya konvensional maupun S.R.I. selalu berada pada nilai negatif karena keadaan tanah dilapang yang lembab dan berlumpur menyebabkan kondisi reduktif yang dicirikan oleh nilai Eh negatif, namun perlakuan konvensional selalu memiliki nilai Eh yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan S.R.I. lainnya, hal ini menunjukan bahwa budidaya konvensional bersifat lebih reduktif karena tanah selalu digenangi (Gambar 8).

Menurut Wang dan Hagan (1981), laju reduksi dipengaruhi oleh sifat dan kandungan akseptor elektron serta dipengaruhi oleh pH, sedangkan menurut Sanchez (1976), intensitas proses reduksi tergantung pada jumlah bahan organik


(46)

33

yang mudah terurai dan suhu tanah. Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah, semakin besar intensitas reduksinya.

Hubungan secara langsung antara pH dan Eh pada tanah sawah yang tergenang yang dideroleh dari penelitian ini adalah Ph tanah semakin naik mendekati netral dan Eh tanah menjadi lebih rendah. Hal ini dikarenakan saat tanah sawah digenangi tidak ada oksigen yang masuk ke dalam tanah namun mikroorganisme anaerob yang dapat hidup di dalam tanah tetap ada dan tetap melakukan respirasi, proses respirasi tersebut akan menghasilkan gas CO2 dan

elektron. Elektron yang tersedia akan menyebabkan reaksi reduksi dalam tanah dan menyebabkan tanah memiliki Eh yang semakin rendah atau semakin negatif selain itu reaksi reduksi akan menghasilkan OH- yang menyebabkan pH tanah naik mendekati netral.

4.4. Hama

Hama merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan produktifitas padi. Adapun hama-hama yang menyerang petakan penelitian adalah keong mas, lalat bibit, walang sangit, tikus, belalang dan burung. Keong mas menyerang padi saat padi berumur 0–3 MST. Hal ini sesuai dengan pernyataan Badan Pengembangan dan Penelitian Pertanian (2007), yang mengatakan bahwa keong mas memakan tanaman muda serta dapat menghancurkan tanaman saat pertumbuhan awal. Keong mas lebih banyak terlihat dan memakan tanaman padi di petakan konvensional yang mendapat perlakuan air yang tergenang seperti pernyataan Syam et al. (2007), yang mengatakan bahwa keong mas menyenangi tempat-tempat yang digenangi air. Pengendalian hama yang dilakukan di lapang adalah mengambil keong mas serta telur keong mas dari petakan dan sekitarnya secara manual. Pengambilan telur keong mas dilakukan untuk mengurangi perkembangbiakan keong mas yang terus meningkat. Cara lain yang dapat di lakukan untuk mengatasi serangan keong mas adalah mengeringkan sawah (Syam et al., 2007)

Saat minggu ke-2 setelah tanam, tanaman padi menunjukkan gejala seperti tanaman kekurangan unsur hara. Tanaman menjadi tergulung sehingga daun terlihat menyerupai jarum, ternyata gejala tersebut merupakan gejala dari tanaman


(47)

yang terkena hama lalat bibit. Lalat bibit merupakan hama penting pada daerah yang kondisi airnya sulit diatur, dalam serangan yang tinggi hama ini dapat menyebabkan petani harus melakukan tanam ulang, karena lebih dari 50% tanaman baru mereka mati oleh lalat. Lalat bibit umumnya menyerang tanaman yang baru dipindahkan ke sawah yang tergenang, gejala serangan berupa bercak kuning di sepanjang tepi daun, daun yang terserang menjadi berubah bentuk dan daun menggulung. Hama ini dikendalikan dengan cara mengeringkan sawah (Syam et al., 2007). Pada minggu ke-4 tanaman tersebut kembali tumbuh seperti semula dan daun-daun mulai membuka kembali setelah tanaman di semprot dengan P2O yang merupakan obat organik. Digunakan obat organik dalam

pengendalian hama ini agar perlakuan S.R.I. organik tidak terkena pengaruh dari bahan-bahan kimia. Penyemprotan dilakukan dua kali pada minggu ke-3.

Walang sangit menyerang pada saat pemasakan bulir padi. Walang sangit menghisap bulir padi yang sudah matang susu sehingga pengisian bulir tidak optimal dan banyak bulir yang hampa terutama pada perlakuan budidaya S.R.I. Diwaktu yang bersamaan terdapat juga hama belalang yang memakan daun sehingga daun banyak yang rusak. Daun yang rusak tersebut dapat menggangu proses fotosintesis tanaman sehingga energi yang dihasilkan tidak maksimal.

Tikus menyerang padi pada saat malai mulai muncul sampai panen. Tikus menggigiti batang padi sehingga batang tersebut jatuh. Hal ini menyebabkan banyak bulir padi yang berjatuhan sehingga tidak dapat dipanen. Pengendalian tikus dapat dilakukan melalui pendekatan PHT (Pengendalian Hama Tikus Terpadu), yaitu pengendalian yang didasarkan pada biologi dan ekologi tikus, dilakukan secara bersama oleh petani, sejak dini, dan intensif (Syam et al., 2007).

Burung menyerang tanaman padi pada fase matang susu sampai pemasakan biji (sebelum panen). Cara pengendalian yang dilakukan yaitu membuat alat pengusir burung yang terbuat dari bentangan tali rafia yang diikat pada bambu serta diberi tambahan kaleng agar pada saat tali digerakan akan menimbulkan bunyi yang dapat mengusir burung. Hama-hama tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan produksi padi pada penelitian ini rendah.


(48)

35

4.6. Waktu Tanam

Waktu tanam dengan metode S.R.I. terbukti lebih cepat dibanding dengan padi yang ditanam dengan metode konvensional. Menurut Suprihatno (2007) umur tanam padi Ciherang berkisar antara 116–125 hari sedangkan dari hasil penelitian dengan menerapkan metode S.R.I. waktu tanam padi hanya mencapai 96 hari setelah semai sedangkan untuk konvensional mencapai 113 hari setelah semai, sehingga dengan metode S.R.I. dapat menghemat waktu sebanyak 17 hari. Selain itu intensitas matahari di lokasi yang cukup tinggi juga menyebabkan pematangan bulir padi lebih cepat. Berdasarkan laporan Nurwitasari (2009), di Kecamatan Limo, Depok, panen untuk sistem budidaya konvensional dilakukan pada saat umur tanaman 114 hari setelah semai, sedangkan untuk semua sistem budidaya S.R.I. dipanen pada usia 106 hari setelah semai. Hal ini menunjukkan S.R.I. menghemat waktu sebanyak 8 hari. Nurwitasari (2009). juga mengatakan bahwa kondisi lahan yang kering ikut mempengaruhi waktu panen yang lebih cepat.


(49)

1. Tinggi tanaman, jumlah batang per rumpun, panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi per malai, GKP dan GKG padi Budidaya S.R.I lebih tinggi dibanding budidaya konvensional.

2. Dibanding budidaya konvensional perlakuan pada budidaya S.R.I anorganik menunjukkan hasil yang lebih baik karena S.R.I. anorganik secara nyata dapat meningkatkan tinggi tanaman sebesar 7.95%, jumlah gabah per malai sebesar 34% dan panjang malai sebesar 8.93%.

3. S.R.I. anorganik mampu meningkatkan 21.17% GKP dan 29.79% GKG dari budidaya konvensional, meskipun nilai tersebut secara statistik tidak berbeda nyata.

4. Budidaya S.R.I lebih menghemat waktu selama 17 hari.

5.2. Saran

1. Hasil produksi dari budidaya S.R.I di daerah yang terbiasa menggunakan pupuk organik berbeda dengan daerah yang terbiasa menggunakan pupuk kimia, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penerapan S.R.I. organik di daerah yang terbiasa menggunakan pupuk kimia.

2. Penanaman sebaiknya dilakukkan serempak dengan lahan sekitar untuk mengurangi serangan hama yang terjadi.


(50)

VI. DAFTAR PUSTAKA

Agustamar, dan Z. Syarif. 2007. Perbandingan budidaya S.R.I. (System of Rice Intensification) dengan cara konvensional pada sawah lama dan pengaruhnya terhadap hasil padi. Jurnal Dinamika Pertanian 22(1):1-7.

Anonim. 2007. Padi. http://id.wikipedia.org/wiki/Padi. [diakses 13 Maret 2009].

Badan Pengembangan dan Penelitian Pertanian. 2007. Keong mas. http://www.leisa.info/index.php?url=article-details.tpl&p[id]=67233. [diakses 16 Januari 2010].

_____________________________________________. 2008. Kahat kalium. http://www.pustaka-deptan.go.id/bppi/lengkap/bpp08103.pdf. [diakses 9 Februari 2010].

Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. http://www.bps.go.id/tnmnpgn.php?eng=0. [diakses 4 Februari 2010].

Berkelaar, D. 2001. Sistem intensifikasi padi The System of Rice Intensification (S.R.I.) : sedikit dapat memberi lebih banyak. Indro, S. (Penerjemah). http://www.elsppat.or.id/download/file/S.R.I.-echo%20note.html.

[diakses 11 Februari 2009].

De Datta, S. K. 1981. Principles and Practice of Rice Production. John Wiley and Sons. New York.

Hakim, I. A. 2009. Populasi dan keragaman organisme tanah pada budidaya padi System of Rice Intensification (S.R.I.) di Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.

Hardjowigeno, S., dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hasan, M., and S. Sato. 2007. Water saving for paddy cultivation under the System of Rice Intensification (S.R.I.) in Eastern Indonesia. Jurnal Tanah dan Lingkungan 9(2):57-62.

Koenigs, F. R. R. 1950. A “sawah” profile near Bogor. Internasional Congr. Soil Sci 1:297-300.


(51)

Kusumawardhany, S. 2009. Pertumbuhan dan produksi padi (Oryza sativa l.) dengan budidaya system of rice intensification di Kecamatan Kebon Pedes, Kabupaten Sukabumi [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.

Masdar, B. Rusman, Helmi, N. Hakim dan M. Kasim. 2006. Tingkat hasil dan komponen hasil sistem intensifikasi padi (S.R.I.) tanpa pupuk organik di daerah curah hujan tinggi. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 8(2):126-131.

Mutakin, J. 2008. Budidaya dan keunggulan padi organik budidaya S.R.I.. http://www.garutkab.go.id/downloadfiles/article/artikel%20S.R.I..pdf. [diakses 11 Februari 2009].

Notohadiprawiro, T. 2006. Sawah dalam tata guna lahan. http://soil.faperta. ugm.ac.id. [diakses 13 maret 2009].

Nurwitasari, E. 2009. Pertumbuhan dan produksi padi yang ditanam dengan metode System of Rice Intensification (S.R.I.) di Desa Limo, Depok, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2008. Peningkatan produksi padi menuju 2020. http://www.puslittan.bogor.net/ indexphp?bawaan=download/downloaddetail&&id=35. [diakses 10 Februari 2009].

Rauf, A. W., Syamsuddin, dan S. R. Sihombing. 2000. Peranan pupuk NPK pada tanaman padi. http://www.pustaka-deptan.go.id/agritek/ppua0160.pdf. [diakses 9 Februari 2010]

Sanchez, P. A. 1993. Sifat dan pengelolaan tanah tropika jilid 2. Amir Hamzah (Penerjemah). ITB. Bandung.

Sarief, E. S. 1985. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung.

Sato, S., and N. Uphoff. 2007. A review of on-farm evaluations of system of rice intensification methods in Eastern Indonesia. Perspectives in Agriculture, Veterinary Science, Nutrition and Natural Resources 54:1-12.


(52)

39

Setiajie, S., dan I. P. Wardana. 2008. Gagasan dan implementasi System of Rice Intensification (S.R.I.) dalam kegiatan Budidaya Padi Ekologis (BPE). Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 6(1):75-99.

Siregar, H. 1981. Budidaya Tanah Padi di Indonesia. Sastra Hudaya. Jakarta.

Situmorang, R., dan U. Sudadi. 2001. Bahan Kuliah Tanah Sawah. IPB. Bogor.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. IPB. Bogor.

Sudadi, U. 2002. Produksi padi dan pemanasan global: tanah sawah bukan sumber utama emisi gas metan. http://[email protected]. [diakses pada 4 Februari 2010].

Sumardi, A. Syarif, Kasli, M. Kasim dan N. Akhir. 2007. Pengaruh pengelolaan air pada fase vegetatif dan generatif terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah. Jurnal Tanaman Tropika 10(1):1-10.

Suprihati. 2007. Populasi mikroba dan fluks metana (CH4) serta nitrous oksida

(N2O) pada tanah sawah : pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan

pupuk nitrogen [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Suprihatno, B., A. A. Daradjat, Satoto, S. E. Baehaki, I. N. Widiarta, A. Setyono, S. D. Indrasari, O. S. Lesmana, dan H. Sembiring. 2007. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Subang.

Suwena, M. 2002. Peningkatan produktivitas lahan dalam sistem pertanian akrab lingkungan. http://[email protected]. [diakses pada 4 Februari 2009]

Syam, M., D. Wuryandari, Hermanto dan Suparyono. 2007. Masalah lapang hama penyakit hara pada padi. http://www.scribd.com/doc/14382224/ Hama.dan.Penyakit.Tanaman.Padi. [diakses pada 18 Oktober 2009].

Uphoff, N., dan E. Fernandes. 2003. Sistem intensifikasi padi tersebar pesat. http://www.docjax.com/document/view.shtml?id=820406&title=sistem 20intensifikasi%20padi%20tersebar%20pesat%. [diakses pada 17 Oktober 2009].

Uphoff, N. 2009. The System of Rice Intensification (S.R.I.) as a system of agricultural innovation. http://www.future-agricultures.org/farmerfirst/fi les/T1cUphoff.pdf. [diakses pada 17 0ktober 2009].


(53)

Wang, J. K., and R. E. Hagan. 1981. Irrigated Rice Production System. Westview Press. Boulder.

Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. The International Rice Research Institute. Los Banos. Philippine.


(54)

41


(55)

Tabel Lampiran 1. Deskripsi karakteristik varietas Ciherang (Suprihatno et al., 2007) Deskripsi Penjelasan Nama varietas Nomor seleksi Asal persilangan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Rata-rata hasil Potensi hasil

Ketahanan terhadap hama Ketahanan terhadap penyakit Anjuran tanam

: Ciherang

: S3383-1D-PN-41-3-1

: IR18349-53-1-3-1-3/2*IR19661-131-3-1-3//4*IR64 Cere : 116-125 hari

: Tegak : 107-115 cm : 14-17 batang : Hijau : Hijau

: Tidak berwarna : Tidak berwarna : Hijau

: Kasar pada sebelah bawah : Tegak

: Tegak

: Panjang ramping : Kuning bersih : Sedang : Sedang : Pulen : 23% : 28 g

: 6,0 t/ha GKG : 8,5 t/ha GKG:

: Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan agak tahan biotipe 3

: Tahan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV

: Baik ditanam di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai 500 m dpl


(56)

43

Tabel Lampiran 2. Analisis sifat kimia dan fisik tanah yang digunakan dalam penelitian

Keterangan : Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah berdasarkan PPT, 1983 (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Tabel Lampiran 3. Analisis sifat kimia kompos dan pupuk anorganik

N-total P Ca Mg K Pupuk

%

Kompos 1.10 1.07 0.40 0.34 1.02 Urea 40.55% N

SP-18 22.6% P2O5

KCl 54.45% K2O

Tabel Lampiran 4. Analisis sifat biologi pupuk organik hayati

Jenis Analisis Metode Hasil Kriteria* pH H2O (1:1) 6.7 Netral C-org Walkley & Black 1.52% Rendah

N-total Kjeldahl 0.16% Rendah P Bray I 3.2 ppm Sangat Rendah Ca N NH4OAc pH 7.0 20.06 me/100 g Sangat Tinggi Mg N NH4OAc pH 7.0 4.82 me/100 g Tinggi K N NH4OAc pH 7.0 0.22 me/100 g Rendah Na N NH4OAc pH 7.0 0.26 me/100 g Rendah KTK N NH4OAc pH 7.0 23.87 me/100 g Sedang KB Jumlah basa-basa 100% Sangat Tinggi

Al N KCl tr

H N KCl 0.08 me/100 g

Fe 0.05 N HCl 0.96 ppm Cu 0.05 N HCl 0.32 ppm Zn 0.05 N HCl 0.96 ppm Mn 0.05 N HCl 113.6 ppm

Penyaringan Pasir 12.79% Pipet Debu 47.67% Tekstur

Pipet Liat 39.59%

Lempung Liat Berdebu

Mikrob Fertismart

Azotobacter 3.52x104


(57)

Tabel Lampiran 5. Kadar air tanah

Kadar Air (%)* Perlakuan

Awal tanam Pertengahan tanam Akhir Tanam

Konvensional 83.38 107.52 88.13 S.R.I. Anorganik 74.76 93.72 54.58

S.R.I. Organik 85.9 93.01 52.17 S.R.I. Semi-organik 87.57 91.41 59.9

Keterangan : *Nilai kadar air merupakan nilai rata-rata dari empat ulangan

Tabel Lampiran 6. Tinggi tanaman padi (cm) pada budidaya padi secara konvensional dan S.R.I.

Umur Tanaman (MST) Sistem Budidaya

2 4 6 8 10 Konvensional 45.863b 55.125c 71.750b 88.300bc 91.250a S.R.I Anorganik 30.525a 44.275b 70.350b 89.150c 98.500b S.R.I Organik 29.325a 38.500a 62.200a 77.550a 93.500ab S.R.I Semi-organik 29.900a 42.950b 67.750b 82.250ab 95.800ab

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%

Tabel Lampiran 7. Jumlah batang per 100 m2 (batang) pada budidaya padi secara konvensional dan S.R.I.

Umur Tanaman (MST) Sistem Budidaya

2 4 6 8 10 Konvensional 45,625b 81,375c 78,125c 64,125c 55,875b S.R.I Anorganik 5,860a 29,219ab 46,884b 41,551b 34,107a

S.R.I Organik 4,166a 20,386a 38,051a 32,718a 27,997a S.R.I Semi-organik 4,610a 23,053ab 43,217ab 36,607ab 30,385a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%


(1)

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%

Tabel Lampiran 16. Analisis statistik total mikrob, total fungi, Azotobacter dan Mikrob Pelarut Fosfat (MPF) pada budidaya padi konvensional dan S.R.I. (Hakim, 2009)

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%

Total Mikrob Total Fungi Azotobacter MPF Perlakuan

Log10 (SPK/g BKM)

Konvensional 5.57a 2.46a 3.38a 4.46a

S.R.I. Anorganik 5.89a 2.64a 3.42a 4.63a

S.R.I. Organik 5.99a 2.59a 3.59a 4.64a


(2)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar Lampiran 1. Persiapan lahan: (a) Lahan siap tanam, (b) Persiapan tanam (c) Bibit S.R.I. siap tanam, (d) Bibit konvensional siap tanam


(3)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar Lampiran 2. Hama dan akibatnya: (a) Hama keong mas, (b) Padi hampa terkena hama walang sangit, (c) Tanaman terkena hama lalat bibit, (d) Tanaman dimakan kambing


(4)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar Lampiran 3. Keadaan pertumbuhan tanaman pada 8 MST: (a) Budidaya konvensional, (b) S.R.I. anorganik, (c) S.R.I. organik, (d) S.R.I. semi-organik


(5)

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Gambar Lampiran 4. Perawatan tanam dan panen: (a) Penyemprotan hama, (b) Penyiangan, (c) Panen konvensional, (d) Panen S.R.I. (e), Padi siap giling, (f) Penggilingan padi


(6)

Gambar Lampiran 5. Sketsa jadwal penelitaian


Dokumen yang terkait

Analisis Perbandingan Usaha Tani Padi Sawah Sistem Sri (System Of Rice Intensification) Dengan Sistem Konvensional Di Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai

12 168 47

Perbaikan Sifat Tanah Dan Peningkatan Produksi Padi Sawah Dengan Pemberian Bahan Organik Dan Sistem Tanam Sri (System of Rice Intensification)

0 23 13

Potensial Redoks (Eh) dan Kelarutan Fe dan Mn serta Kaitannya dengan Pertumbuhan dan Produksi Padi pada Budidaya Padi Sistem Konvensional dan System of Rice Intensification (S.R.I.)

2 26 102

Peningkatan populasi dan keragaman fauna tanah melalui pengelolaan hayati tanah pada budidaya System of Rice Intensification (S.R.I.) di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor

0 13 127

Pengelolaan hayati tanah untuk meningkatkan peran fauna tanah dalam proses dekomposisi jerami padi pada budidaya System of Rice Intensification (SRI) di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor

1 40 111

Pupuk hayati terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah (Oryza stiva L.) pada teknik budidaya System of Rice Intensification (SRI)

0 10 50

Fisiologi, Anatomi Dan Sistem Perakaran Pada Budidaya Padi Dengan Metode System Of Rice Intensification (Sri) Dan Pengaruhnya Terhadap Produksi

0 4 54

Pertumbuhan Dan Produksi Ratun Padi Sawah (Oryza Sativa L.) Yang Ditanam Dengan Metode System Of Rice Intensification (Sri) Di Kelurahan Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat

1 8 48

PENGARUH PEMBERIAN BEBERAPA SUMBER PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH DENGAN METODE SRI (The System of Rice Intensification).

0 1 7

PENGARUH PEMBERIAN BEBERAPA DOSIS BAHAN ORGANIK TITONIA (Tithonia diversifolia) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH DENGAN METODE SRI (The System of Rice Intensification).

0 2 6