asam amino, dan beberapa jenis pigmen yang sangat bermanfaat. Pada beberapa negara tertentu seperti Spanyol, Switzerland, Australia, Jepang, dan Amerika, mikroalga ini telah dimanfaatkan
sebagai obat-obatan dan bubuk keringnya dijadikan sebagai makanan kesehatan yang dipasarkan Henrikson, 1989; Weil, 2000 di dalam Arlyza, 2003.
S. platensis berkembang biak secara aseksual dengan cara membelah diri. Menurut Cifferi 1983 di dalam Diharmi 2001, siklus reproduksi mikroalga ini berlangsung melalui pembentukan
hormogonium yang dimulai ketika salah satu atau beberapa sel yang terdapat di tengah-tengah trichoma mengalami kematian dan membentuk badan yang disebut cakram pemisah berbentuk
bikonkaf. Sel-sel mati yang disebut nikrida tersebut akan putus dengan segera, kemudian trichoma terfragmentasi menjadi koloni sel yang terdiri atas 2-4 sel yang disebut hormogonium dan
memisahkan diri dari filamen induk untuk menjadi trichoma baru. Hormogonium memperbanyak sel dengan pembelahan pada sel terminal. Tahap akhir proses pendewasaan sel ditandai terbentuknya
granula pada sitoplasma dan perubahan warna sel menjadi hijau kebiruan. S. platensis mengalami berbagai fase dalam pertumbuhannya yang terdiri dari fase lag, dimana
pada fase ini populasi yang baru ditransfer mengalami penurunan tingkat metabolisme karena inokulum berasal dari fase stasioner dan fase-fase kematian. Fase lag ini berlangsung tergantung pada
umur inokulum. Jika inokulum berasal dari fase logaritma maka tidak akan terjadi fase lag Fogg Thake, 1987 di dalam Diharmi, 2001. Supaya tidak terjadi penurunan kurva karena proses adaptasi
sel pada fase lag, maka dalam perubahan kultur baru inokulum harus berasal dari starter pada kondisi fase logaritma Vonshak,1985 di dalam Diharmi, 2001.
Percepatan pertumbuhan dan perbandingan konsentrasi komponen biokimia pada fase logaritma menjadi konstan. Hal ini disebabkan terjadinya doubling time atau generation time yang disebut waktu
G, sehingga terjadi peningkatan jumlah sel sebanyak dua kali lipat dari waktu sebelumnya. Waktu G adalah pedoman waktu untuk pengambilan sampel sehingga dalam pengambilan sampel dilakukan
pada waktu yang telah diketahui Fogg Thake, 1987 di dalam Diharmi, 2001. Fase deklanasi terjadi dengan berakhirnya fase logaritma dengan tidak ada pertumbuhan. Hal
ini terjadi karena kekurangan nutrisi nitrogen dan fosfat, menurunnya konsentrasi CO
2
, atau O
2
dan kenaikan pH medium. Berkurangnya intensitas cahaya disebabkan karena terjadinya pembentukan
bayangan dari sel itu sendiri self-shading atau autoinhibitation, yaitu kemampuan menghasilkan senyawa penghambat pertumbuhan sel itu sendiri Richmond, 1987. Kemampuan ini tidak terdapat
pada S. platensis, hanya pada mikroalga jenis Nostoc punctiforme, dan Chorella vulgaris Fogg Thake, 1987 di dalam Diharmi, 2001.
Fase stasioner merupakan akhir dari produksi biomassa menjadi konstan. Pada fase ini konsentrasi maksimum biomassa tercapai sedangkan konsentrasi parameter lain menjadi menurun atau
meningkat. Fase yang terakhir adalah fase kematian yang ditandai dengan terjadinya penurunan produksi biomassa karena kematian dan sel lisis Vonshak,1985 di dalam Diharmi, 2001.
Menurut Richmond 1987, faktor pembatas dalam mengkultivasi S. platensis karena komposisi nutrisi yang bervariasi dalam medium tumbuhnya. Faktor utama dalam medium tersebut sangat
tergantung dari hara nitrogen dan fosfat serta faktor eksternal pertumbuhan seperti cahaya dan temperatur. Pengocokan dan pengadukan diperlukan agar penyebaran ketiga faktor tersebut merata.
Aerasi juga sangat berguna untuk mentransfer CO
2
+ udara ke dalam medium.
2.2. Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit LCPKS
Proses pengolahan Tandan Buah Segar TBS menjadi Crude Palm Oil CPO menghasilkan biomassa produk samping yang jumlahnya sangat besar. Tahun 2004 volume produk samping sawit
sebesar 12.365 juta ton Tandan Kosong Kelapa Sawit TKKS, 10.215 juta ton cangkang dan serat,
dan 32.257 – 37.633 juta ton limbah cair Palm Oil Mill Effluent POME. Jumlah ini akan terus meningkat dengan meningkatnya produksi TBS Indonesia. Produksi TBS Indonesia di tahun 2004
mencapai 53.762 juta ton dan pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 64.000 juta ton. Mahajoeno, 2007
Limbah dari industri kelapa sawit meliputi limbah padat, cair dan gas. Tandan Kosong Kelapa Sawit TKKS, ampas, batokcangkang serta lumpur dari kolam pengolah limbah cair merupakan
bentuk limbah padat. Limbah cair berasal dari pemisahan antara air dan minyak yang terkandung dalam mesokarp buah melalui proses sentrifugasi, sedangkan limbah gas dihasilkan dari penguraian
bahan organik yang terkandung dalam buangan cair, serta dari gas hasil pembakaran bahan bakar pada ketel uap boiler dan incinerator. Sebagian limbah padat dibakar pada incinerator yang menghasilkan
panas, dimanfaatkan sebagai energi pembangkit uap, abu yang dihasilkan dijadikan pupuk dan dicampur dengan buangan cair di dalam kolam.
Limbah cair industri kelapa sawit memiliki kadar air 95, dengan 4,5 padatan dalam bentuk terlarut tersuspensi, 0.5-1 sisa minyak dan lemak emulsi Tabel 1. Selama proses pengolahan
limbah akan terjadi pelepasan asam lemak bebas. Limbah cair industri kelapa sawit juga memiliki temperatur yang tinggi, 60-80
o
C, yang berasal dari proses kondensasi Harry, 1999. Nilai pH yang mencapai 4,3 menunjukkan bahwa limbah tersebut mengandung asam mineral atau asam organik.
Selain itu, mengingat gas CO
2
dihasilkan oleh penguraian zat organik oleh mikroorganisme, maka setelah berdifusi dengan air akan terbentuk asam karbonat yang bersifat asam.
Tabel 1. Karakteristik limbah cair dari kegiatan industri kelapa sawit Harry, 1999 Parameter
mgL, kecuali pH
Baku mutu maks mgL
Beban pencemaran maks ppm
pH 4.1
6-9 -
TS 46.185 TSS 21170
250 0.63
COD 34720 350
0.88 BOD 21280
100 0.25
Minyak dan lemak NH
4
- N 3100
13 25
50 0.0631
0,125
Kapasitas air buangan menurut Pusat Penelitian Kelapa Sawit 1992 - 1993 volume air berkisar 1.0-1.3 m
3
ton tandan buah segar atau 2-3 ton air buangan ton minyak Tobing et al., 2003. Dalam produksi, industri memproses 30 ton tandan buah segar per jam sehingga kapasitas air buangan
operasional maksimal 20jamhari dan menghasilkan limbah cair 600 – 700 m
3
hari Harry, 1999. Kandungan zat organik yang cukup tinggi di beberapa kolam air limbah berasal dari Harry,
1999 : 1.
Air limbah kondensasi tahap sterilisasi 15 jumlah limbah cair dan penjernihan 75 jumlah limbah cair. Hidrokson yang digunakan untuk memidahkan daging dalam batok
merupakan sumber utama air limbah 10 jumlah limbah cair.
2. Sterilisasi tandan buah menghasilkan kondensat kukus dan air cucian. Air cucian dihasilkan
dari pemerasan minyak bijiserat pada tahap pencucian daging buah. 3.
Air panas digunakan untuk mencuci ayakan getar, sebelum tangki penjernih minyak. Air yang dipisahkan dari minyak dan dari lumpur tangki penjernih merupakan sumber utama
minyak, padatan tersuspensi dan bahan organik lain. LCPKS bersifat nontoksik karena tidak menggunakan bahan kimia dalam proses ekstraksi
minyak Ahmad et al., 2004. Perbandingan BOD dan COD yang tinggi, yaitu 0.6 menunjukkan bahwa limbah industri kelapa sawit bersifat biodegrable dan cukup baik diolah secara biologi.
Phang 1990 melaporkan bahwa LCPKS dapat digunakan untuk budidaya mikroalga S. platensis. Dengan memanfaatkan LCPKS untuk budidaya mikroalga, maka akan terjadi penguraian
limbah reduce sekaligus pemanfaatan biomassa S. platensis yang dihasilkan untuk pakan ternak reuse. Air bersih yang diperoleh dapat digunakan kembali untuk proses produksi reuse
recycle. Mikroalga ini telah berhasil dibudidayakan pada beberapa jenis limbah lain, seperti limbah pengolahan singkong dan limbah lateks pekat Tri-Panji et al., 1994; 1995; 2007. Mikroalga yang
dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti suplemen pakan dan bahkan pangan setelah melalui uji keamanan pangan, serta sebagai sumber bahan aktif farmasetikal Tri-
Panji Achmadi, 2000. Di samping itu, kadar bahan organik limbah akan berkurang dan kelarutan oksigen akan meningkat. Produksi biomassa S. platensis dan laju penurunan cemaran LCPKS
mungkin dapat ditingkatkan melalui penggunaan fotobioreaktor yang akan diteliti pada percobaan ini.
Pemanfaatan LCPKS sebagai media tumbuh S. platensis akan memiliki manfaat ganda sebagai sarana untuk produksi S. platensis dan pengolahan LCPKS. Penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Siew-Moi 1987 menunjukkan bahwa S. platensis dapat tumbuh dalam LCPKS yang diolah secara anaerob. Biomassa mikroalga yang diperoleh mencapai 33,8 g berat kering m
2
per hari dengan waktu pertumbuhan lima hari. Limbah yang dihasilkan dari pengolahan ini menjadi lebih baik dan dapat digunakan kembali didaur ulang untuk keperluan di pabrik.
Penentuan tingkat penerimaan mikroalga S. platensis sebagai makanan atau bahan-bahan pangan diperlukan beberapa prosedur penentuan keberadaan racun. Menurut Wahyudin dan Indastri
1991, penggunaan protein sel tunggal seperti S. platensis sebagai makanan dan sumber protein pada hasil akhir perlu diperhatikan faktor-faktor berikut: 1 Daya larut, 2 Tidak berwarna atau
berbau, 3 Tidak beracun, 4 Kandungan asam nukleatnya rendah, 5 Kandungan bakteri sedikit, 6 Mempunyai nilai biologis tinggi, dan 7 Mempunyai manfaat yang baik.
2.3. Fotobioreaktor