Komposisi Komunitas Cacing Tanah Pada Areal Kebun Kelapa Sawit Ptpn Iii Sei Mangkei Yang Diberi Pupuk Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun Sumatera Utara

(1)

KOMPOSISI KOMUNITAS CACING TANAH PADA AREAL KEBUN KELAPA SAWIT PTPN III SEI MANGKEI YANG DIBERI PUPUK LIMBAH

CAIR PABRIK KELAPA SAWIT DI KABUPATEN SIMALUNGUN SUMATERA UTARA

SKRIPSI

NIKMAH ELPARIDA 060805007

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

KOMPOSISI KOMUNITAS CACING TANAH PADA AREAL KEBUN KELAPA SAWIT PTPN III SEI MANGKEI YANG DIBERI PUPUK LIMBAH

CAIR PABRIK KELAPA SAWIT DI KABUPATEN SIMALUNGUN SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains di Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Sumatera Utara

NIKMAH ELPARIDA 060805007

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

PERSETUJUAN

Judul

:

KOMPOSISI KOMUNITAS CACING TANAH

PADA AREAL KEBUN KELAPA SAWIT PTPN III SEI MANGKEI YANG DIBERI PUPUK LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT DIKABUPATEN SIMALUNGUN SUMATERA UTARA

Kategori

:

SKRIPSI

Nama

:

NIKMAH ELPARIDA

Nomor Induk Mahasiswa

:

060805007

Program Studi

:

SARJANA (S1) BIOLOGI Departemen

:

BIOLOGI

Fakultas

:

MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di Medan, 2011

Komisi Pembimbing :

Pembimbing II Pembimbing I

Masitta Tanjung, M. Si Drs.Arlen H.J. M. Si NIP.197109102000122001 NIP. 19581018199031001

Diketahui/Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP. 196301231990032001


(4)

PERNYATAAN

KOMPOSISI KOMUNITAS CACING TANAH PADA AREAL KEBUN KELAPA SAWIT PTPN III SEI MANGKEI YANG DIBERI PUPUK LIMBAH

CAIR PABRIK KELAPA SAWIT DI KABUPATEN SIMALUNGUN SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Maret 2011

NIKMAH ELPARIDA 060805007


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul ”Komposisi Komunitas Cacing Tanah Pada Areal Kebun Kelapa Sawit PTPN III Sei Mangkei Yang Di beri Pupuk Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun Sumatera Utara”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Universitas Sumatera Utara.

Pada Kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Arlen Hanel John M.Si. selaku pembimbing I dan Ibu Masitta Tanjung, S.Si. M.Si selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, motivasi, serta dukungan selama penulisan hasil penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis kepada Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.Si dan Ibu Mayang Sari Yeany, S.Si. M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan arahan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Bapak Prof. Dr. Erman munir, Ms selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan bimbingan selama masa perkuliahan. Kepada Ibu Dr Nursahara Pasaribu M.Sc, selaku Ketua Departemen Biologi dan Bapak Kiki Nurtjahja M.Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi serta seluruh Dosen Departemen Biologi FMIPA USU, serta seluruh pegawai administrasi Program Studi Biologi FMIPA USU atas kebaikan yang diberikan selama ini kepada penulis.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta (Ramlan Nasution dan Masroh Batubara) yang telah memberikan doa, perhatian, materi serta cinta dan kasih sayangnya kepada penulis, serta Kakak dan Adikku tersayang (Rani, Siti, Adek, Ridwan, Habibi) dan keluarga yang membantu penulis dalam menyiapkan skripsi ini. Dan tidak lupa pula ucapan terima kasih kepada teman hati penulis Putra Henditan yang telah banyak menemani dalam suka duka penulis dan terus memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis ucapkan banyak terima kasih kepada pihak PTPN III Sei Mangkei terutama Bapak Jhon Polman Sitindaun. B.A sebagai manager Pabrik Kelapa Sawit, Bapak Suhada sebagai kepala Laboratorium, Bapak Amir, Ibu Roslaini, Bapak Agus beserta istirinya serta pagawai PTPN III lainnya yang telah memberikan izin dan membantu penulis untuk kelancaran penelitian sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian ini hingga selesai di PTPN III Sei Mangkei.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Sahabat penulis khususnya buat sahabat terbaik seperjuangan penulis yang selalu menemani baik suka maupun duka Lenni Maria, teman-teman penulis di bidang Ekologi Hewan yang telah memberikan banyak dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan hasil penelitian ini. (Abang Sidahin Bangun, Abang Junaedi Siregar, Kakak Fifi Wilyanti, Kakak


(6)

Diana Sihombing dan Kakak Nurzaidah Putri). Teman-temanku Stambuk 2006 (Diah, Yanti, Indah, Umri, Kazbi, Zulfan, Sutrisno, Lena, Mami Iwa, Helen, Deni, Zulfa, Frida, Grisa, Dian). Buat Adik-adikku stambuk 2007 dan 2008 (Ncai, Astri, Aini, Juju, Gilang, dan Surya) Serta teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis ucapkan satu persatu, serta dukungannya semua pihak yang telah terlibat langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala bantuan dan dukungannya selama ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Demikianlah skripsi ini penulis sampaikan semoga bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin Ya Robbal ‘Alamin.


(7)

ABSTRAK

Penelitian tentang Komposisi Komunitas Cacing Tanah pada Areal Kebun Kelapa Sawit PTPN III Sei Mangkei Yang Diberi Pupuk Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun dilakukan pada bulan September sampai bulan Oktober 2010. Metoda penentuan titik sampel dilakukan dengan cara

Purpossive Random Sampling dan pengambilan sampel menggunakan metode Kuadrat dan Hand sortir dengan ukuran plot 30 x 30 cm x 20 cm dengan 15 plot pada

masing-masing lokasi penelitian. Lokasi I Areal kebun yang tidak dialiri limbah cair pabrik kelapa sawit (Kontrol), Lokasi II ( Areal kebun kelapa sawit yang telah mulai kering (lembab), Lokasi III (Areal kebun kelapa sawit dengan kondisi air limbah yang masih basah).

Dari hasil Penelitian ditemukan 4 spesies cacing tanah antara lain Pontoscolex

corethrurus, Megascolex sp1 dan Pheretima posthuma, dan Fridericia sp yang

terdapat pada ketiga lokasi penelitian, dan spesies Fridericia sp hanya ditemukan pada lokasi III. Kepadatan populasi cacing tanah yang paling tinggi adalah Megascolex sp1). dengan nilai kepadatan 22,96 individu/m2 dan Kepadatan Relatif 55,37 % yang didapatkan pada lokasi III, sedangkan Frekuensi Kehadiran 73,33 % yang didapatkan pada lokasi II. Pontoscolex corethrurus, Megascolex sp1 dan Pheretima posthuma termasuk spesies indikator dengan nilai KR ≥ 10% dan FK ≥ 25% yang berarti hewan tersebut dapat hidup dengan baik.

Kata Kunci: Spesies Fridericia sp, Pontoscolex corethrurus, Megascolex sp1, Pheretima posthuma, Limbah Cair pabrik kelapa Sawit.


(8)

THE COMPOSITION OR EARTHWORM COMMUNITIES IN PALM PLANTATION AREA PTPN III SEI MANGKEI THE FED FERTILIZER

PALM OIL MILL WASTE IN COUNTRY SIMALUNGUN

ABSTRACT

Research on the Composition of Earthworm Communities in Palm Plantation Area PTPN III Sei Mangkei The Fed Fertilizer Palm Oil Mill Waste in County Simalungun conducted in September to October 2010. Method of determining sample points is done by purpossive Random Sampling and sampling methods and Hand sorting Square with plot size 30 x 30 cm x 20 cm with 15 plots at each study site. Location I garden area which is not fed palm oil mill effluent (control), Location II (Area of oil palm plantations have begun to dry (moist), Location III (Area of oil palm plantation with waste water conditions are still wet).

From the results of research found in 4 species of earthworms include

Pontoscolex corethrurus, Megascolex sp1 and Pheretima Posthuma, and Fridericia sp

contained in all three study sites, and Fridericia sp species found only in locations III. Earthworm population densities are highest are Megascolex sp1). 22.96 individu/m2 density value and 55.37% Relative Density obtained at location III, while the frequency of presence of 73.33% which is obtained at location II. Pontoscolex

corethrurus, Megascolex sp1 and Pheretima Posthuma including indicator species

with KR values ≥ 10% and FK ≥ 25%, which means the animals can live well. Keyword : Species of Fridericia sp, Pontoscolex corethrurus, Megascolex sp1,


(9)

DAFTAR ISI halaman Persetujuan Pernyataan Penghargaan Abstrak Abstract Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran i ii iii v vi vii ix x xi BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Hipotesis

1.5 Manfaat Penelitian

1 4 4 4 5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Cacing Tanah 2.2 Ekologi Cacing Tanah 2.3 Tanaman Kelapa Sawit

2.3.1 Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit 2.3.2 Morfologi Tanaman Kelapa Sawit 2.4 Limbah Cair Kelapa Sawit

2.5 Pemanfaatan Limbah Cair

2.6 Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

6 7 9 9 9 10 11 12 BAB III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Deskripsi Area 3.3 Metode Penelitian 3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Pengambilan Sampel Cacing Tanah 3.4.2 Identifikasi Spesies Cacing Tanah 3.5 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Tanah 3.6 Analisis Data

14 14 16 16 16 17 17 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Spesies Cacing Tanah Yang Ditemukan 4.2 Faktor Fisik Kimia Tanah Pada Masing-

20 25


(10)

masing Lokasi PTPN III Sei Mangkei 4.3 Kepadatan (Individu/m2) Kepadatan Relatif (%) Populasi Cacing Tanah

4.4 Frekuensi Kehadiran (FK) Masing-masing Spesies Cacing Tanah pada Tiga lokasi Penelitian

4.5 Cacing Tanah yang Dapat Hidup dan Berkembangbiak dengan baik

4.6 Analisis Korelasi Pearson (r) Antara Faktor Fisik Kimia Dengan Kepadatan relatif

26 28

29 30

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

5.2 Saran

32 33 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

34 35


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul halaman

4.1 Cacing Tanah yang Ditemukan pada Tiga Lokasi Penelitian 20 4.2 Nilai Faktor Fisik-Kimia Tanah Pada Masing-Masing

Lokasi di Perkebunan Kelapa Sawit PTPN III Sei Mangkei

25 4.3 Kepadatan (Individu/m2) dan Kepadatan Relatif (%)

Populasi Cacing Tanah pada masing-masing lokasi penelitian

27

4.4 Nilai Frekuensi Kehadiran Masing-Masing Cacing Tanah Pada Ketiga Lokasi Penelitian

28

4.5 Cacing tanah yang Kepadatan Relatifnya (KR) ≥ 10% dan Frekuensi Kehadiran (FK) ≥ 25% pada 3 Lokasi Penelitian

29 4.6 Nilai analisis Korelasi Pearson (r) Antara Beberapa Faktor

Fisik Kimia Dengan Kepadatan Relatif (KR) Cacing Tanah


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul halaman

2.1 Morfologi Tanaman Kelapa Sawit 10

3.1 Foto Lokasi I 15

3.2 Foto Lokasi II 15

3.3 Foto Lokasi III 16

4.1 Gambar Fridericia sp 22

4.2 Gambar Megascolex sp1 23

4.3 Gambar Pheretima posthuma 24


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul halaman

A Peta Lokasi Penelitian di PTPN III Sei Mangkei 37

B Diagram Kerja Pengambilan Sampel 38

C Data Jumlah dan Jenis Cacing Tanah yang Didapatkan pada Tiga Lokasi Penelitian

39

D Contoh Cara Perhitungan Analisis Data 40


(14)

ABSTRAK

Penelitian tentang Komposisi Komunitas Cacing Tanah pada Areal Kebun Kelapa Sawit PTPN III Sei Mangkei Yang Diberi Pupuk Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit di Kabupaten Simalungun dilakukan pada bulan September sampai bulan Oktober 2010. Metoda penentuan titik sampel dilakukan dengan cara

Purpossive Random Sampling dan pengambilan sampel menggunakan metode Kuadrat dan Hand sortir dengan ukuran plot 30 x 30 cm x 20 cm dengan 15 plot pada

masing-masing lokasi penelitian. Lokasi I Areal kebun yang tidak dialiri limbah cair pabrik kelapa sawit (Kontrol), Lokasi II ( Areal kebun kelapa sawit yang telah mulai kering (lembab), Lokasi III (Areal kebun kelapa sawit dengan kondisi air limbah yang masih basah).

Dari hasil Penelitian ditemukan 4 spesies cacing tanah antara lain Pontoscolex

corethrurus, Megascolex sp1 dan Pheretima posthuma, dan Fridericia sp yang

terdapat pada ketiga lokasi penelitian, dan spesies Fridericia sp hanya ditemukan pada lokasi III. Kepadatan populasi cacing tanah yang paling tinggi adalah Megascolex sp1). dengan nilai kepadatan 22,96 individu/m2 dan Kepadatan Relatif 55,37 % yang didapatkan pada lokasi III, sedangkan Frekuensi Kehadiran 73,33 % yang didapatkan pada lokasi II. Pontoscolex corethrurus, Megascolex sp1 dan Pheretima posthuma termasuk spesies indikator dengan nilai KR ≥ 10% dan FK ≥ 25% yang berarti hewan tersebut dapat hidup dengan baik.

Kata Kunci: Spesies Fridericia sp, Pontoscolex corethrurus, Megascolex sp1, Pheretima posthuma, Limbah Cair pabrik kelapa Sawit.


(15)

THE COMPOSITION OR EARTHWORM COMMUNITIES IN PALM PLANTATION AREA PTPN III SEI MANGKEI THE FED FERTILIZER

PALM OIL MILL WASTE IN COUNTRY SIMALUNGUN

ABSTRACT

Research on the Composition of Earthworm Communities in Palm Plantation Area PTPN III Sei Mangkei The Fed Fertilizer Palm Oil Mill Waste in County Simalungun conducted in September to October 2010. Method of determining sample points is done by purpossive Random Sampling and sampling methods and Hand sorting Square with plot size 30 x 30 cm x 20 cm with 15 plots at each study site. Location I garden area which is not fed palm oil mill effluent (control), Location II (Area of oil palm plantations have begun to dry (moist), Location III (Area of oil palm plantation with waste water conditions are still wet).

From the results of research found in 4 species of earthworms include

Pontoscolex corethrurus, Megascolex sp1 and Pheretima Posthuma, and Fridericia sp

contained in all three study sites, and Fridericia sp species found only in locations III. Earthworm population densities are highest are Megascolex sp1). 22.96 individu/m2 density value and 55.37% Relative Density obtained at location III, while the frequency of presence of 73.33% which is obtained at location II. Pontoscolex

corethrurus, Megascolex sp1 and Pheretima Posthuma including indicator species

with KR values ≥ 10% and FK ≥ 25%, which means the animals can live well. Keyword : Species of Fridericia sp, Pontoscolex corethrurus, Megascolex sp1,


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumatera Utara merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang mengandalkan sektor perkebunan dan industri sebagai penghasil devisa terbesar. Diantaranya adalah Perkebunan Kelapa Sawit, baik yang dikelola oleh Negara, Swasta maupun Rakyat. Sampai saat ini perkembangan produksi pertanian, khususnya di bidang perkebunan masih tetap dikembangkan oleh Pemerintah, karena merupakan sasaran penting untuk menunjang pembangunan industri dalam upaya peningkatan ekspor, disamping itu juga diarahkan kepada perluasan lapangan kerja (Loebis & Tobing, 1989).

Sektor minyak kelapa sawit Indonesia mengalami perkembangan yang berarti, hal ini terlihat dari total luas areal perkebunan kelapa sawit yang terus bertambah yaitu menjadi 7,55 juta hektar pada tahun 2010 dari 7,20 juta hektar pada tahun 2009. Sedangkan produksi minyak sawit (crude palm oil) CPO terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dari 2,5 juta ton pada tahun 2009 meningkat menjadi 3,62 juta ton pada tahun 2010. Sampai saat ini Indonesia masih menempati posisi terbesar sebagai negara produsen minyak kelapa sawit (CPO) di dunia. Dari total produksi tersebut diperkirakan hanya sekitar 25% sekitar 4,8 juta ton yang dikonsumsi oleh pasar domestik. Sehingga sebagai penghasil CPO terbesar di dunia, Indonesia terus mengembangkan pasar ekspor baru untuk memasarkan produksinya (Bisnis Indonesia, 2010).

Menurut Loebis & Tobing (1989) setiap pabrik pada umumnya mampu mengolah antara 30-60 ton tandan buah segar (TBS) per jam. Dalam proses pengolahan TBS menjadi minyak sawit mentah (MSM) dihasilkan sisa produksi berupa limbah padat dan cair. Untuk setiap ton minyak sawit mentah dihasilkan limbah cair sebanyak 5 ton dengan BOD (Biochemical Oxygen Demand) berkisar


(17)

antara 20.000-60.000 mg/l. Bertambahnya jumlah pabrik kelapa sawit jelas akan meningkatkan jumlah limbah yang dihasilkan baik dalam bentuk cair, padat, maupun gas.

Pabrik kelapa sawit Sei Mangkei adalah salah satu unit kerja PT. Perkebunan Nusantara-III yang terletak di Sei Mangkei Kecamatan Bosar maligas Kabupaten Simalungun, Propinsi sumatera Utara sekitar ± 165 km arah Tenggara Kota Medan. Pabrik kelapa sawit Sei Mangkei dibangun pada tahun 1997 dengan kapasitas olah ± 40 ton / jam dari TBS yang diolah, diatas areal ± 12.50 Ha termasuk Areal Effluent Treatment, dimana sumber bahan baku (TBS) berasal dari Kebun seinduk dan pihak PTPN III yang berasal dari daerah simalungun sekitarnya (Profil Singkat Pabrik Kelapa Sawit Sei Mangkei)

Untuk menanggulangi limbah cair pabrik kelapa sawit yang begitu banyak, pihak perkebunan dan pabrik kelapa sawit PTPN III Sei Mangkei telah mencoba memanfaatkan limbah tersebut ke areal perkebunan untuk pupuk pada areal seluas ± 6 ha, dimulai pada tahun 2000. Pihak perkebuanan PTPN III Sei Mangkei selain memanfaatkan limbah cair pabrik kelapa sawit sebagai pupuk, PTPN III juga menggunakan pupuk yang lain yaitu NPK dan pupuk urea. Dimana tahun tanam dari kebun yang diaplikasikan ini adalah tahun 1993, 1994 dan tahun 1995. Limbah yang diaplikasikan ini terlebih dahulu diolah secara ponding system, setelah terjadi penurunan nilai BOD sekitar 1.166 mg/l, selanjutnya limbah ini dialirkan ke lahan perkebunan (System Aplikasi Lahan) yang bertujuan untuk menambah unsur hara dalam tanah (Profil Singkat Pabrik Kelapa Sawit PTPN III Sei Mangkei)

Teknik aplikasi ke areal tanaman kebun kelapa sawit berasal dari kolam-kolam distribusi dengan teknik flat beds dengan cara memompakan limbah cair dari final

pond (kolam terakhir) di areal kebun melalui pipa- pipa menuju flat beds yang telah

ada. Flat beds ini dibuat dengan ukuran panjang 1,5 m, lebar 2,5 m, dan dalam ± 30 cm (PTPN III, 1997). Fungsi kolam ini untuk pihak PTPN itu sendiri diantaranya adalah untuk menampung limbah, dan untuk proses mengurangi serat minyak kelapa sawit dalam limbah, karena limbah dari pabrik kelapa sawit itu mengandung serat.


(18)

Dengan adanya kegiatan pemanfaatan limbah cair ke areal kebun sebagai pupuk akan berpengaruh terhadap fauna tanah, terutama pada cacing tanah

Wallwork (1970) menyatakan bahwa keberadaan dan kepadatan cacing tanah sangat ditentukan oleh faktor abiotik dan biotik. Disamping itu faktor lingkungan lain dan sumber bahan makanan, cara pengolahan tanah, seperti di daerah perkebunan dan pertanian juga turut mempengaruhi keberadaan cacing tanah tersebut.

Menurut Wallwork (1970) dalam Russel (1988) cacing tanah dan organisme tanah lainnya merupakan variabel biotis penyusun suatu komunitas yang memiliki beberapa peranan, diantaranya adalah sebagai pengurai dalam rantai makanan, jembatan transfer energi kepada organisme yang memiliki tingkatan tropik yang lebih tinggi, membantu kegiatan metabolisme tumbuhan dengan menguraikan serasah daun-daunan dan ranting. Disamping itu cacing tanah dapat juga digunakan untuk mengestimasikan kondisi ekologis suatu ekosistem tanah. Selanjutnya Suin (1994) menjelaskan bahwa cacing tanah disamping membantu mendekomposisi sampah organik (vermikomposing) secara langsung maupun secara tidak langsung, juga ada jenis cacing tanah yang dapat digunakan untuk membantu mempercepat proses reklamasi tanah, serta sebagai alat untuk memonitor pencemaran di tanah.

Hanafiah (2005) menjelaskan bahwa secara umum peranan cacing tanah seperti bioamelioran (jasad hayati penyubur dan penyehat) tanah terutama melalui kemampuannya dalam memperbaiki sifat-sifat tanah, seperti ketersediaan hara, dekomposisi bahan organik, pelapukan mineral, dan lain-lain, sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah. Sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukanlah penelitian tentang “ Komposisi Komunitas Cacing Tanah Pada Areal Kebun Kelapa Sawit PTPN III Sei Mangkei Yang Diberi Pupuk Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun”.


(19)

1.2 Permasalahan

Adanya upaya pemanfaatan limbah cair pabrik kelapa sawit sebagai pupuk yang dilakukan oleh pihak perkebunan PTPN III ke areal kebun kelapa sawit akan memberikan pengaruh terhadap keberadaan cacing tanah, namun demikian sampai saat ini belum diketahui bagaimanakah pengaruhnya terhadap kepadatan dan keanekaragaman cacing tanah

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh percobaan pemupukan dengan limbah cair pabrik kelapa sawit ke areal kebun terhadap:

a. Sifat fisik kimia tanah seperti : temperatur, kelembaban, pH, kadar air, dan kandungan bahan organik yang sangat menentukan kehidupan cacing tanah

b. Keberadaan jenis dan jumlah individu masing-masing jenis cacing tanah dapat digunakan untuk mengetahui komposisi komunitas cacing tanah, serta hubungannya dengan faktor fisik kimia tanah di areal kebun kelapa sawit yang dialiri limbah cair pabrik kelapa sawit dengan yang tidak dialiri limbah cair pabrik kelapa sawit sebagai pupuk

1.4 Hipotesis

Berdasarkan uraian-uraian diatas maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

a. Terdapat perbedaan komposisi komunitas cacing tanah pada areal kebun kelapa sawit yang diberi dan yang tidak diberi perlakuan pemupukan dengan limbah cair pabrik kelapa sawit

b. Perlakuan pemupukan limbah pabrik kelapa sawit ke areal kebun berkorelasi terhadap sifat fisik kimia tanah seperti (Temperatur, Kelembaban, Kadar air, Kandungan Bahan Organik, dan pH)


(20)

1.5 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan teknologi, yang meliputi:

a. Dari penelitian diharapkan dapat diketahui komposisi komunitas cacing tanah di perkebunan kelapa sawit

b. Dari penelitian diharapkan dapat diketahui pemanfataan limbah cair terhadap areal kebun kelapa sawit


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Cacing Tanah

Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah yang tidak memiliki tulang belakang (invertebrata) dan digolongkan ke dalam ordo Oligochaeta, kelas Chaetopoda, dan filum Annelida. Penggolongan ini didasarkan pada bentuk morfologi, karena tubuhnya tersusun atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (annulus), setiap segmen memiliki beberapa pasang setae, yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak, tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior, pada bagian anteriornya terdapat mulut, prostomium dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelium (Edward & Lofty, 1997).

Cacing tanah dalam berbagai hal mempunyai arti penting, misalnya bagi lahan pertanian. Lahan yang banyak mengandung cacing tanah akan menjadi subur, sebab kotoran cacing tanah yang bercampur dengan tanah telah siap untuk diserap akar tumbuh-tumbuhan. Cacing tanah juga dapat meningkatkan daya serap air permukaan. Lubang-lubang yang dibuat oleh cacing tanah meningkatkan konsentrasi udara dalam tanah. Disamping itu pada saat musim hujan lubang tersebut akan melipat gandakan kemampuan tanah menyerap air. Secara singkat dapat dikatakan cacing tanah berperan memperbaiki dan mempertahankan struktur tanah agar tetap gembur.

Cacing tanah umumnya memakan serasah daun dan juga materi tumbuhan lainnya, yang kemudian dicerna dan dikeluarkan berupa kotoran. Kemampuan hewan ini dalam mengkonsumsi serasah sebagai makanannya bergantung kepada ketersediaan jenis serasah yang disukainya, dan juga ditentukan oleh kandungan karbon dan nitrogen serasah. Pada umumnya cacing tanah lebih menyukai serasah daun yang lunak, yang biasanya mengandung rasio yang rendah, dan kurang


(22)

menyenangi serasah daun yang keras yang sering mengandung C/N tinggi (Edwards & Lofty, 1997).

2.2. Ekologi Cacing Tanah

Pengelompokan makhluk hidup yang didasarkan pada karakteristik ekologinya kadang-kadang memberikan keuntungan praktis seperti kemampuan untuk menilai perbedaan lingkungan. Hasil penelitian Paoletti (1999); dan Jimenez et al. (1998) menunjukkan:

a. Lahan peternakan dan padang rumput memiliki kepadatan dan biomas cacing tanah yang lebih tinggi

b. Hutan berdaun gugur lebih tinggi biomas dan kepadatan cacing tanahnya dibandingkan hutan berdaun jarum

c. Lahan pertanian yang diolah intensif lebih rendah populasi cacingnya dibandingkan kebun buah-buahan.

Cacing tanah secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan tempat hidupnya, kotorannya, kenampakan warna, dan makanan kesukaannya (Edwards, 1998; Paoletti, 1999) dalam Ansyori (2004) sebagai berikut:

a. Epigaesis; cacing yang aktif dipermukaan, warna gelap, penyamaran efektif, tidak membuat lubang, kotoran tidak nampak jelas, pemakan serasah di permukaan tanah dan tidak mencerna tanah. Contohnya Lumbricus rubellus dan

Lumbricus castaneus.

b. Anazesis; berukuran besar, membuat lubang terbuka permanen ke permukaan tanah, pemakan sersah di permukaan tanah dan membawanya ke dalam tanah, mencerna sebagian tanah, kotoran di permukaan tanah atau terselip di antara tanah. Contohnya Eophila tellinii, Lumbricus terrestris, dan

Allolobophora longa.

c. Endogaesis; hidup di dalam tanah dekat permukaan tanah, sering dalam dan meluas, kotoran di dalam lubang, tidak berwarna, tanpa penyamaran, pemakan tanah dan bahan organik, serta akar-akar mati. Contohnya Allolobophora


(23)

d. Coprophagic; hidup pada pupuk kandang, contohnya Eisenia foetida,Dendrobaena veneta dan Metaphire schmardae.

e. Arboricolous; hidup di dalam suspensi tanah pada hutan tropik basah, contohnya Androrrhinus spp.

Aktivitas hidup cacing tanah dalam suatu ekosistem tanah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : iklim (curah hujan, intensitas cahaya dan lain sebagainya), sifat fisik dan kimia tanah (temperatur, kelembaban, kadar air tanah, pH dan kadar organik tanah), nutrien (unsur hara) dan biota (vegetasi dasar dan fauna tanah lainnya) serta pemanfaatan dan pengolahan tanah (Hanafiah, 2005). Selanjutnya Populasi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan, dimana cacing itu beraksi cepat terhadap perubahan lingkungan, baik yang datang dari tanah, faktor iklim dan pengolahan tanah sesuai kemampuan mempertahankan dirinya (Adianto, 1993). Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap populasi cacing tanah adalah :

a. Kelembaban Tanah

Kelembaban tanah sangat erat hubungan dengan popul asi cacing tanah, karena tubuh hewan tanah mengandung air, oleh karena itu kondisi tanah yang kering dapat menyebabkan tubuh cacing tanah kehilangan air dan hal ini merupakan masalah yang besar bagi kelulusan hidupnya (Anas, 1990)

b. Suhu Tanah

Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat erat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah dengan demikian suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara, dan suhu tanah sangat tergantung dari suhu udara, suhu tanah lapisan tanah mengalami fluktuasi dalam satu hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung kondisi cuaca, topografi daerah dan keadaan tanah (Suin, 1997).

c. pH Tanah

Keasaman pH tanah sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan kegiatan cacing tanah, karena cacing tanah sangat sensitif terhadap pH tanah, sehingga pH tanah


(24)

merupakan salah satu faktor pembatas, namun demikian toleransi cacing tanah terhadap pH pada umumnya bervariasi untuk masing-masing spesies (Edward & Lofty, 1997).

d. Bahan Organik

bahan organik tanah sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan populasi cacing tanah, karena bahan organik yang terdapat di tanah sangat diperlukan untuk melanjutkan kehidupannya (Buckman dan Brady, 1982). Selanjutnya dijelaskan bahwa sumber utama materi organik tanah adalah yang berasal dari serasah tumbuhan dan tubuh hewan tanah yang telah mati. Pada umumnya bahan organik ini banyak terdapat di tanah yang kelembabannya cukup tinggi, oleh sebab itu cacing tanah lebih banyak jumlahya pada tanah yang kelembaban tinggi dibandingkan dengan yang rendah

2.3 Tanaman Kelapa Sawit

2.3.1 Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit diklasifikasikan oleh Jacquin (1763) sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Kelas : Monocotyledone Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis

2.3.2 Morfologi Tanaman Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit dibedakan atas 2 bagian, yakni: bagian vegetatif dan bagian generatif. Bagian vegetatif tanaman kelapa sawit terdiri dari akar berupa akar serabut, batang dan daun. Batang tidak bercabang dan tidak memiliki kambium. Pada ujung


(25)

batang terdapat titik tumbuh yang terus berkembang membentuk daun. Batang berfungsi sebagai penyimpan dan pengangkut bahan makanan untuk tanaman serta sebagai penyangga mahkota daun. Daun kelapa sawit membentuk suatu pelepah bersirip genap dan bertulang sejajar. Panjang pelepah dapat mencapai 9 meter. Pelepah daun sejak mulai terbentuk sampai tua mencapai waktu ± 7 tahun; jumlah pelepah dalam 1 pohon dapat mencapai 60 pelepah. Jumlah anak daun tiap pelepah dapat mencapai 380 helai. Panjang anak daun dapat mencapai 120 cm (Risza, 1994).

Bagian generatif tanaman kelapa sawit terdiri dari bunga dan buah. Kelapa sawit mulai berbunga pada umur 12 bulan. Pembungaan kelapa sawit termasuk monoceus artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon tetapi tidak pada satu tandan yang sama. Namun terkadang dijumpai juga dalam 1 tandan terdapat bunga jantan dan bunga betina. Bunga seperti itu disebut bunga banci (hermaprodit). Buah kelapa sawit termasuk buah batu yang terdiri dari 3 bagian yakni; lapisan luar (epicarpium) yang disebut kulit luar, lapisan tengah (mesocarpium) yang disebut daging buah, mengandung minyak sawit dan lapisan dalam (endocarpium) yang disebut inti, mengandung minyak inti. Diantara inti dan daging buah terdapat lapisan tempurung (cangkang) yang keras. Biji kelapa sawit terdiri dari 3 bagian yaitu; kulit biji (spermodermis), tali pusat (funiculus) dan inti biji atau nucleus seminis (Risza, 1994).


(26)

2.4 Limbah Cair Kelapa Sawit

Pamin, dkk. (1996) menjelaskan bahwa pengolahan limbah cair bertujuan untuk membuang atau mengurangi kandungan limbah serta tidak mengganggu terhadap lingkungan hidup ditempat sekitar pembuangannya, limbah cair yang mengandung bahan organik majemuk mengalami biodegradasi dalam suasana anaerobik menjadi suasana-suasana asam sederhana, terutama asam asetat dan gas-gas.

Naibaho (1996) menyatakan bahwa limbah cair yang dihasilkan pabrik pengelola kelapa sawit berasal dari air crab (Sludge water), air kondensat (sterilizer

condensate), air Hydrocylone (claybath) atau bak pemisah Lumpur, air cucian pabrik

dan lain sebagainya. Banyaknya jumlah air buangan ini tergantung pada sistem pengolahan, kapasitas olah dan keadaan peralatan klarifikasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa air buangan sludge separatot umumnya 60 % dari TBS yang diolah, akan tetapi keadaan ini sering dipengaruhi oleh :

a. jumlah air pengencer yang digunakan pada vibrating screen atau pada screw press b. Sistem dan instalasi yang digunakan dalam stasiun klarifikasi, yaitu klarifikasi

yang menggunakan decanter menghasilkan air limbah yang kecil

c. Efisiensi pengutipan minyak dari air limbah yang rendah akan mempengaruhi karakteristik limbah cair yang dihasilkan

Untuk menanggulangi limbah PKS yang begitu banyak, beberapa pihak perkebunan dan pabrik kelapa sawit telah mencoba memanfaatkan limbah tersebut ke areal kebun, seperti janjang kosong, solid decanter dan abu ketel telah dimanfaatkan untuk memperbaiki struktur dan pH tanah serta mengurangi penguapan tanah. Sedangkan limbah cair yang didapatkan dari (Sistem Land Application) bertujuan untuk menambah unsur hara dalam tanah (Loebis & Tobing, 1989). Selanjutnya dijelaskan bahwa limbah cair PKS merupakan bahan organik yang mengandung unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman, seperti Nitrogen (N), Phospor (P), Calsium (Ca), dan Magnesium (Mg) pabrik terlebih dahulu diolah secara system ponding. Setelah terjadi penurunan tingkat pencemaran limbah ini dialirkan kelahan perkebunan


(27)

2.5 Pemanfaatan limbah cair

Menurut Loebis dan Tobing (1989) limbah cair pabrik pengolahan kelapa sawit mengandung unsur hara yang tinggi seperti N, P, K, Mg, dan Ca, sehingga limbah cair tersebut berpeluang untuk digunakan sebagai sumber hara bagi tanaman kelapa sawit, di samping memberikan kelembaban tanah, juga dapat meningkatkan sifat fisik–kimia tanah, serta dapat meningkatkan unsur hara tanah.

Limbah agroindustri dapat dimanfaatkan bagi bidang pertanian secara luas. Berbagai penelitian menunjukka n bahwa land application untuk berbagai jenis komoditas memberikan hasil yang memuaskan, seperti pada tanaman ubi kayu, padi sawah, jagung dan kedelai (Soelaeman et al., 2004). Di samping itu kerusakan dapat dihindari, karena limbah agroindustri tersebut dimanfaatkan dalam bidang pertanian. Dalam hal ini tanah berfungsi sebagai penampung limbah (landfill disposal of waste) sehingga limbah tidak terbuang langsung ke sungai.

Dari aspek kimia tanah, limbah agroindustri secara langsung dapat menyumba-ngkan unsur hara makro dan mikro ke dalam tanah. Secara tidak langsung bahan organik yang berasal dari limbah setelah termineralisasi juga akan menyumbangkan unsur hara ke dalam tanah. Selain itu limbah ini juga berpengaruh terhadap reaksi kimia tanah. Kondisi fisik dan kimia tersebut juga didukung oleh akibat aktivitas mikroorganisme tanah atau sebaliknya. Bahan organik dari limbah tersebut dapat dijadikan sumber energi oleh mikroorganisme (Banuwa, et al., 2001).

2.6 Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

Limbah cair pabrik kelapa sawit (PKS) dihasilkan dari 3 tahap proses yaitu:

a. Proses sterilisasi (pengukusan) untuk mempermudah perontokan buah dari tandannya, mengurangi kadar air, dan untuk inaktifasi enzim lipase dan oksidase b. Proses ekstraksi minyak untuk memisahkan minyak daging buah dari bagian


(28)

c. Proses pemurnian (klarifikasi) untuk membersihkan minyak dari kotoran lain (Anonim, 2001)

Teknik pengolahan limbah cair yang biasanya diterapkan di PKS adalah: a. Kolam pengumpul (fatfit)

Kolam ini berguna untuk menampung cairan-cairan yang masih mengandung minyak yang berasal dari air kondensat dan stasiun klarifikasi

b. Kemudian dimasukkan ke unit deoling pond untuk dikutip minyaknya dan diturunkan suhunya dari 70-80 C menjadi 40-45 C melalui bak pendingin

c. Kolam pengasaman

Pada proses ini digunakan mikroba untuk menetralisir keasaman cairan limbah. Pengasaman bertujuan agar limbah yang mengandung bahan organik lebih mudah mengalami biodegradasi dalam suasana anaerobik. Limbah cair dalam kolam ini mengalami asidifikasi yaitu terjadinya kenaikan konsentrasi asam yang mudah menguap. Waktu penahanan hidrolisis (WPH) limbah cair dari kolam pengasaman ini. Selama 5 hari. Kemudian sebelum diolah diunit pengolaha n limbah kolam anaerobik, limbah dinetralk terlebih dahulu dengan menambahkan kapur tohor hingga mencapai pH antara 7,0-7,5

d. Kolam Anaerobik Primer

Pada proses ini memanfaatkan mikroba dalam suasana anaerobik atau aerobik untuk merombak BOD dan biodegradasi bahan organik menjadi senyawa asam dan gas. WPH dalam kolam ini mencapai 40 hari

e. Kolam Anaerobik Sekunder

Adapun WPH limbah dalam kolam ini mencapai 20 hari. Kebutuhan lahan untuk kolam anaerobik primer dan sekunder mencapai 7 hektar untuk PKS dengan kapasitas 30 ton TBS/jam

f. Kolam Pengendapan

Kolam pengendapan ini bertujuan untuk mengendapkan Lumpur-lumpur yang terdapat dalam limbah cair. WPH limbah dalam kolam ini berkisar 2 hari

Biasanya ini merupakan pengolahan terakhir sebelum limbah dialirkan ke badan air dan diharapkan pada kolam ini limbah sudah memenuhi standar baku mutu air sungai (Pedoman Pengolahan Limbah Industri Kelapa Sawit, 2006)


(29)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai bulan Oktober 2010 pada areal kebun kelapa sawit PTPN III, Desa Sei Mangkei, Kecamatan Bosar Maligas, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara yaitu areal kebun yang diberi perlakuan dengan limbah cair pabrik kelapa sawit pada Blok II dan Blok III, dan areal kebun yang tidak dialiri limbah cair kelapa sawit pada Blok I sebagai Kontrol. Identifikasi sampel di Laboratorium Taksonomi Hewan Departemen Biologi FMIPA USU Medan.

3.2 Deskripsi Area

Secara administratif PTPN III Sei Mangkei terletak di Desa Sei Mangkei, Kecamatan Bosar Maligas, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara, memiliki luas ± 12.50 Ha yaitu perkebunan kelapa sawit yang limbah pabrik kelapa sawit di aplikasikan ke areal kebun (Land application) pada tahun 2000 sampai sekarang

A. Lokasi I

Merupakan lokasi pertama (kontrol), areal kebun kelapa sawit yang tidak dialiri limbah cair pabrik kelapa sawit (Land Application) pada tahun tanam 1994, (Gambar 3.1) yang terletak pada titik kordinat 30 02’ 31,2’’ LU, 990 12’ 44,64’’ BT.


(30)

Gambar 3.1 Lokasi 1 (Kontrol) Tanpa dialiri Limbah

B. Lokasi II

Merupakan lokasi kedua areal kebun yang dialiri limbah cair pabrik kelapa sawit (Land Application) dengan kondisi air limbah yang telah mulai kering (lembab), pada tahun aplikasi 1994 (Gambar 3.2) lokasi ini terletak pada titik kordinat 30 03’ 46,96’’ LU, 990 14’ 2,4’’ BT.

Gambar 3.2 Lokasi II areal kebun yang dialiri limbah yang telah mulai kering (lembab)


(31)

C. Lokasi III

Merupakan lokasi ketiga areal kebun yang di aliran limbah cair pabrik kelapa sawit (Land Application) dengan kondisi air limbah yang masih basah pada tahun aplikasi 1994 (Gambar 3.3) lokasi ini terletak pada titik kordinat 30 03’ 23,04’’ LU, 990 13’ 10,56’’ BT.

Gambar 3.3 Lokasi III areal kebun yang dialiri dengan limbah dengan kondisi yang (basah)

3.3 Metoda Penelitian

Penentuan lokasi plot sampling dilakukan dengan metoda Purposive Random

Sampling yaitu dipilih secara acak pada areal kebun, pengambilan sampel cacing

tanah dilakukan dengan menggunakan metoda, Kuadrat dan Hand sortir.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Pengambilan Sampel Cacing Tanah

Pada masing-masing titik sampel yang telah ditentukan dibuat plot berukuran 30 x 30 cm dengan kedalaman 20 cm sebanyak 15 plot dan diambil tanahnya dengan menggunakan cangkul pada masing-masing plot, kemudian ditempatkan dalam lembaran plastik. Pengambilan sampel dilakukan pada pukul 07.00 – 11.00 WIB.


(32)

Selanjutnya cacing tanah yang ada pada tanah tersebut disortir. Cacing tanah yang didapatkan dikumpulkan dan dibersihkan dengan air serta dihitung jumlahnya, kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah berisi formalin 4%, setelah itu diawetkan dengan alkohol 70% (Suin, 1997). Cacing tanah yang diawetkan ini dibawa ke Laboratorium Sistematika Hewan FMIPA USU untuk diidentifikasi.

3.4.2 Identifikasi Spesias Cacing Tanah

Sample cacing tanah yang dibawa dari lapangan dilakukan pengelompokan sesuai dengan kesamaan ciri-ciri morfologinya, kemudian diawetkan dalam alkohol 70 % selanjutnya dideterminasi dan diidentifikasi dengan memperhatikan bentuk luar (morfologi) dengan bantuan loop dan mikroskop Stereo Binokuler, serta buku acuan menurut Dindal (1990), Suin (1997), Jhon (1998).

3.5 Pengukuran faktor fisik kimia tanah

Tanah pada masing-masing kuadrat diukur kelembaban relatif, pH, suhu, kadar organik, dan kadar air. Pengukuran kelembaban relatif, pH dan suhu tanah dilakukan sebelum tanah diambil dari kuadrat tersebut. Kelembaban relatif dan pH diukur dengan menggunakan Soil Tester dan suhu tanah diukur pada bagian permukaan dan pada ke dalaman 10 cm dengan menggunakan Soil Thermometer

Pengukuran kadar air dan kadar organik tanah dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian USU. Tanah yang telah disortir hewan tanah dibersihkan dari sisa-sisa tumbuhan dan hewan tanah lainnya yang masih ada, kemudian diaduk-aduk sampai rata dan diambil sebanyak 20 gram tanah untuk dianalisis. Selanjutnya sampel tanah ini dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 2 jam sehingga beratnya konstan dan ditentukan kadar air tanahnya dengan rumus sebagai berikut :


(33)

A – B

Kadar air tanah x 100% A

Keterangan: A = Berat basah tanah B = Berat konstan tanah

Selanjutnya diambil sebanyak 5 gram dan dibakar di dalam tungku pembakar (Furnace Mufle) dengan suhu 600 0C selama tiga jam. Persentase kadar organik tanah dihitung dengan rumus: 0,5 gram tanah kering udara dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 cc, lalu ditambahkan 10 ml H2SO4 pekat, kemudian dikocok 3-4 menit, selanjutnya diamkan selama 30 menit. Tambahkan 100 ml air suling dan 5 ml H3PO4 85% dan 2,5 ml NaF 4%. Kemudian ditambahkan 5 tetes diphenilamine, dikocok larutan berwarna biru tua kehijauan kotor. Titrasi dengan Fe (NH4)2(SO4)2 0,5 N dari buret hingga warna berubah menjadi hijau terang. Lakukan kembali prosedur diatas dari no.2 s/d 5 (tanpa tanah) untuk mendapatkan volume titrasi Fe (NH4)2(SO4)2 0,5 N untuk Blanko (Muklis, 2007). Dengan menggunakan rumus berikut:

C org = 5 x [1-T/5] x 0,003 x 1/0,77 x 100/BCT x 0,72

dengan : T = Volume titrasi Fe (NH4)2(SO4)2 0,5 N dengan tanah

S = Volume titrasi Fe (NH4)2(SO4)2 0,5 N untuk Blanko (tanpa tanah)

0,003 = 1 ml K2Cr2O7 0,1N + H2SO4 mampu mengoksidasi 0,003 gr C.Organik

1/0,77 = Metode ini hanya 77 % C.Organik yang dapat dioksidasi BCT = Berat Contoh Tanah.

3.6Analisis Data

Jenis cacing tanah dan jumlah individu masing-masing jenis yang didapatkan dihitung nilai : kepadatan populasi, kepadatan relatif, Frekuensi kehadiran dengan tujuan agar diketahui keberadaan jenis dan komposisi komunitas makrofauna tanah dengan menggunakan rumus menurut Walwork (1976), dan Suin (2002) sebagai berikut : a. Kepadatan Populasi (K)

Jumlah individu suatu jenis K =


(34)

b. Kepadatan relatif (KR)

Kepadatan suatu jenis

KR = x 100 % Jumlah kepadatan semua jenis

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

Jumlah plot yang ditempati suatu jenis FK = Jumlah total plot

Dimana nilai FK :

0-25% : Aksidental (sangat jarang) 25%-50% : Assesori (jarang)

50%-75% : Konstan (sering) 75%-100% : Absolut (sangat sering)

d. Komposisi Komunitas: didasarkan pada nilai urut Kepadatan Relatif (KR) terbesar hingga terkecil dari masing-masing jenis yang didapatkan.

e. Analisis Korelasi: Dilakukan dengan menggunakan Analisis Korelasi Pearson (SPSS) versi 16.0 antara faktor fisik kimia terhadap indeks keanekaragaman Menurut Sugiyono (2005), Tingkat hubungan nilai Indeks Korelasi dinyatakan sebagai berikut:

Internal Koefisien Tingkat Hubungan

0,00 – 0,199 sangat rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0,799 Kuat


(35)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Spesies Cacing Tanah Yang Ditemukan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada areal kebun Kelapa Sawit PTPN III Sei Mangkei pada tahun tanam yang sama, yaitu tahun tanam 1994, baik pada areal yang diaplikasikan dengan limbah cair pabrik kelapa sawit, maupun yang tidak diaplikasikan didapatkan 4 (empat) spesies cacing tanah dari 3 Famili, yaitu Enchytraeidae, Glossocolecidae, dan Megascolecidae, seperti yang terlihat pada Tabel 4.1 dibawah ini:

Tabel 4.1 Cacing Tanah Yang Ditemukan Pada Areal Kebun Kelapa Sawit pada Tiga Lokasi Penelitian

No Famili Spesies/jenis Lokasi

I II III

1 2 3 Enchytraeidae Glossoscolecidae Megascolecidae Fridericia sp Pontoscolex corethrurus Megascolex sp1 Pheretima posthuma - + + + - + + + + + + + Jumlah Spesies 3 3 4 Keterangan : Lokasi I = Areal kebun yang tidak dialiri limbah cair (Kontrol) Lokasi II = Areal kebun

yang dialiri dengan limbah cair yang telah mulai kering (lembab) ; Lokasi III = Areal kebun yang dilairi dengan limbah cair dalam keadaan yang masih basah ; (+) ditemukan ; (-) Tidak ditemukan

Dari Tabel 4.1 terlihat bahwa jumlah jenis cacing tanah yang banyak ditemukan adalah pada lokasi III, yaitu sebanyak 4 jenis ( Fridericia sp, Pontoscolex

corethrurus sp, Megascolex sp1 dan Pheretima posthuma), sedangkan pada lokasi I

dan II masing-masing sebanyak 3 jenis, yaitu dari jenis Pontoscolex corethrurus,

Megascolex sp1, dan Pheretima posthuma. Jenis cacing tanah pada spesies Fridericia

sp tidak didapatkan pada lokasi I dan II, hanya didapatkan pada lokasi III hal ini disebabkan karena spesies Fridericia sp ini sangat menyukai tanah yang basah sampai berair, sedangkan pada lokasi I dan II merupakan habitat yang tidak cocok terhadap perkembangbiakan dan pertumbuhan spesies Fridericia sp.


(36)

Dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa cacing tanah yang paling banyak didapatkan pada lokasi penelitian yaitu pada lokasi III sebanyak 4 spesies seperti

Fridericia sp, Megascolex sp1, Pheretima posthuma dan Pontoscolex corethrurus.

Banyaknya spesies cacing tanah yang didapatkan dilokasi III diduga karena Kelembaban, Kadar air, Kadar organik, N-total, K-tukar, Mg-tukar dan P tersedia lebih tinggi bila dibandingkan pada lokasi I dan lokasi II, Hal ini sesuai dengan pernyataan Notohadiprawiro (1998) komunitas yang kaya akan nutrisi mempunyai banyak organisme. Sedikitnya jumlah spesies yang didapatkan di lokasi I disamping disebabkan rendahnya kandungan kadar organik tanah juga disebabkan oleh kadar air yang rendah pula. Suin (1997) menyatakan bahwa kadar air tanah sangat menentukan kehidupan hewan tanah. Umumnya pada tanah yang rendah kadar airnya keberadaan hewan tanahnya juga rendah..

Dari keempat spesies cacing tanah yang ditemukan tersebut mempunyai tanda-tanda khusus sebagai berikut :

1. Spesies Fridericia, family : Enchytraeidae

Panjang tubuh berkisar antara 10-15 mm, diameternya 0,8-1 mm dan jumlah segmen antara 71-134. Warna bagian dorsal coklat kemerahan, bagian ventral coklat pucat. Warna ujung anterior coklat kekuningan dan ujung posterior abu-abu cokelatan. Prostomium prolobus, segmen pertamanya tertarik ke dalam. Klitelium kurang jelas (Gambar 4.1) segmennya jelas serta mengkilap, dimulai pada segmen ke XIII-XIX . Mempunyai setae, warna coklat, memiliki papilla, bagian dorsal dan ventral tidak menebal. Lubang dorsal tidak ada. Setae mulai dari segmen I dengan tipe lumbricine, seta bagian posterior lebih besar dari pada bagian anterior sehingga terlihat jelas (Arlen, 1998)

Menurut Stephenson dalam Suin (1994) cacing dari spesies Fridericia sp tersebar cukup luas di Indonesia termasuk di pulau Sumatera, cacing tanah ini lebih menyukai hidup pada tanah yang berair. Cacing ini ditemukan pada areal kebun yang dialiri limbah cair dengan kondisi basah ( Lokasi III)


(37)

Gambar 4.1 Fridericia sp 2. Spesies Megascolex sp1, Family: Megascolecidae

Panjang tubuh berkisar antara 120-130 mm, diameter 3-4 mm, dan jumlah segmen antara 134-178. Warna bagian dorsal merah keunguan, bagian ventral pucat atau coklat keputihan. Warna ujung anterior coklat keputihan dan ujung posterior abu-abu coklat. Prostomium epilobus, segmen pertamanya jelas . Klitelium berbentuk cincin dan tidak membengkak (Gambar 4.2) segmennya jelas serta mengkilap, berwarna kemerahan, dimulai pada segmen ke XIV-XVI, mempunyai setae, bagian dorsal dan ventral tidak menebal. Lubang dorsal mulai pada septa 5/6. Setae mulai dari segmen II dengan tipe Perichaetin. Lubang kelamin jantan pada segmen XVIII, agak ke tengah dan mempunyai papilla. Lubang kelamin betina pada septa 7/8-8/9 (Arlen,1998)

Suin (1997) menyatakan bahwa cacing tanah jenis Megascolex sp1 ini memiliki sebaran yang sangat luas di Indonesia, dan banyak ditemukan pada semak belukar, padang rumput, dan tidak ditemukan pada hutan yang lebat, cacing tanah ini ditemukan pada setiap lokasi areal kebun kelapa sawit yang dialiri limbah maupun yang tidak dialiri limbah yaitu pada lokasi (I, II dan III).


(38)

Gambar 4.2 Megascolex sp1 3. Spesies Pheretima posthuma, Family: Megascolecidae

Panjang tubuh berkisar antara 150-160 mm, diameternya 3-4 mm, dan jumlah segmen antara 125-145. Warna bagian dorsal coklat keunguan, bagian ventral pucat atau abu-abu keputihan. Warna ujung anterior coklat kekuningan dan ujung posterior coklat pucat/kuning. Prostomium epilobus. Klitelium berbentuk cincin dan tidak membengkak, segmennya jelas (Gambar 4.3), Memiliki papilla, berwarna kekuningan, dimulai pada segmen ke XIV-XVI), mempunyai setae, bagian dorsal dan ventral tidak menebal. Lubang dorsal mulai pada septa 12/13. Setae mulai dari segmen II dengan tipe Perichaetin, setae bagian anterior dari ventral terlihat jelas atau lebih besar. Lubang kelamin betina terletak pada medioventral segmen XVII dan XIX. Lubang spermateka 4 pasang, terletak pada septa 5/6 kurang jelas (Arlen, 1998)

Cacing tanah ini umumnya ditemukan pada tanah yang banyak ditumbuhi oleh vegetasi dasar, berupa rumput dan semak, serta tumpukan bahan organik berupa serasah daun atau kompos. Penyebaran cacing ini di Indonesia telah dilaporkan, yaitu di pulau Sumba dan propinsi Jawa Barat Nurdin, (1982) dalam Arlen (1998). Selanjutnya Arlen (1998, 2001, dan 2010) menjelaskan bahwa cacing tanah dari jenis

Pheretima posthuma juga ditemukan di Sumatera Utara, yaitu pada bagian pinggir

tumpukan sampah kota, areal perkebunan kelapa sawit dan areal pertanian tanaman pangan.


(39)

Gambar 4.3 Pheretima posthuma

4. Ponthoscolex corethrurus family Glossocolecidae

Panjang tubuh berkisar antara 70-80 mm, diameter 2-3 mm, dan jumlah segmen antara 120-167 warna bagian dorsal coklat kekuningan, bagian ventral abu-abu keputihan, warna ujung anterior kekuningan dan ujung posterior coklat kekuningan prostomium prolobus atau epilobus klitelium berbentuk pelana, (Gambar 4.4), segmennya IV-VI dengan warna kekuningan, dimana bagian dorsal menebal sedangkan bagian ventral tidak. Mempunyai seta, bagian ventral tersusun, lubang dorsal tidak jelas setae mulai dari segmen ke II dengan tipe lumbrisine lubang kelamin jantan terletak pada segmen 20/21 dan lubang kelamin betina tidak jelas dan spermatekanya juga tidak jelas. (Arlen,1998)

Suin (1997) menyatakan bahwa cacing tanah jenisPontoscolex corethrurus ini

memiliki sebaran yang sangat luas di Indonesia, dan banyak ditemukan pada semak belukar, padang rumput, dan tidak ditemukan pada hutan yang lebat. Selanjutnya Arlen (1998, 2001, dan 2010) menjelaskan bahwa cacing tanah dari jenis

Pontoscolex corethrurus juga ditemukan di Sumatera Utara, yaitu pada areal


(40)

Gambar 4.4 Pontoscolex corethrurus

4.2 Faktor fisik kimia tanah pada masing-masing lokasi PTPN III Sei Mangkei Dari hasil pengukuran yang telah dilakukan terhadap faktor fisik kimia tanah pada areal kebun kelapa sawit PTPN III Sei Mangkei didapatkan nilai faktor fisik kimia tanah, seperti yang terlihat pada Tabel 4.2 dibawah ini:

Tabel 4.2 Nilai Faktor Fisik-Kimia Tanah Pada Masing-Masing Lokasi di Perkebunan Kelapa Sawit PTPN III Sei Mangkei

No Parameter Satuan Lokasi I Lokasi II Lokasi III 1 Kelembaban % 67,00 81,00 91,00

2 pH - 7,00 6,20 5,90

3 Suhu 0C 28,50 29,00 28,00

4 Kadar air % 15,68 21,63 34,04

5 Kadar organik % 1,35 2,23 2,62

6 N-total % 0,11 0,27 0,43

7 C/N - 12,27 8,26 6,09

8 K-tukar Me/100 0,19 0,51 0,58

9 Ca-tukar Me/100 0,47 0,58 0,40

10 Mg-tukar Me/100 2,38 8,72 9,26 11 P tersedia ppm 3,99 354,35 522,47

Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa limbah cair pabrik kelapa sawit yang dialirkan ke areal kebun ternyata berfungsi sebagai bahan organik, hal ini terlihat bahwa meningkatnya kadar air, Kadar organik, Mg tukar, K tukar, N-total dan P tersedia pada lokasi II dan III yang dialiri dengan limbah Cair Pabrik Kelapa sawit dibandingkan dengan yang tidak dialiri limbah pada lokasi I. Dari Tabel 4.2 juga terlihat pH tanah antar ketiga lokasi memiliki nilai kisaran yang cukup berbeda yaitu antara 5,9 – 7,0. Faktor fisik kimia tanah yang paling nampak perbedaannya adalah P tersedia pada lokasi I sangat rendah 3,99 sedangkan pada lokasi II 354,35 dan lokasi


(41)

III 522,47. Hal ini dikarenakan dengan meningkatnya P di lokasi III berarti tanaman penutup yang ada pada lokasi III cocok untuk perkembangbiakan cacing tanah. Menurut Muklis (2007), apabila P tinggi di suatu daerah itu berarti tanaman d daerah tersebut tergolong bagus.

Suin (1982) menyatakan bahwa pada tanah dengan vegetasi dasarnya rapat, maka cacing tanah akan banyak ditemukan, karena kondisi fisik kimia tanahnya lebih baik dan juga sumber makanan yang banyak ditemukan. Sedangkan pada lokasi I kondisi fisik kimianya kurang bagus untuk perkembangbiakan cacing tanah karena Kelimpahan cacing tanah dipengaruhi oleh bahan organik, dengan meningkatnya bahan organik maka meningkat pula populasi cacing tanah , karena disekitar liang cacing tanah kaya akan N total dan C organik Kotoran (feses) cacing tanah mengandung banyak bahan organik yang tinggi, berupa N total dan nitrat, Ca dan Mg , dan kemampuan penukaran basa. Disini membuktikan bahwa cacing tanah berpengaruh baik terhadap produkt ivitas tanah. Karena cacing tanah dalam sifat kimia tanahnya berperan menghasilkan bahan organik, kemampuan dalam pertukaran kation, unsur P dan K yang tersedia akan meningkat.

Buckman & Brady (1982) menyatakan bahan organik tanah sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan populasi cacing tanah, karena bahan organik yang terdapat di tanah sangat diperlukan untuk melanjutkan kehidupannya. Selanjutnya Walwork (1970) menyatakan keberadaan spesies cacing tanah pada suatu areal sangat ditentukan oleh kandungan bahan organik di areal tersebut, apabila kandungan organiknya tinggi maka spesies cacing tanah juga akan banyak sehingga umumnya tanah yang banyak mengandung bahan organik memiliki aerasi dan porositas yang baik.

4.3Kepadatan (individu/m²) dan Kepadatan Relatif (%) Populasi Cacing Tanah Kepadatan populasi cacing tanah pada ketiga lokasi penelitian tidak terlalu berbeda, kepadatan populasi cacing tanah yang paling tinggi didapatkan pada lokasi III yaitu 41,46 individu/m2. dan kepadatan populasi yang paling rendah dari ketiga lokasi ini


(42)

adalah pada lokasi I yaitu 29,62 individu/m2 seperti yang terlihat pada Tabel 4.3 berikut ini:

Tabel 4.3 Kepadatan (individu/m²) dan kepadatan Relatif Populasi Cacing Tanah Pada Masing-Masing Lokasi Penelitian

No Spesies Lokasi I Lokasi II Lokasi III

K KR Kom K KR Kom K KR Kom

1 Fridericia - - - 1,48 3,56 4

2 Megascolex sp1 11,11 37,50 2 21,47 53,70 1 22,96 55,37 1

3 Pheretima Posthuma

5,18 17,48 3 7,40 18,50 3 10,36 24,98 2

4 Pontoscolex corethrurus

13,33 44,96 1 11,11 27,78 2 6,66 16,06 3

Jumlah 29,62 99,94 39,98 99,98 41,46 99,97

Keterangan: Lokasi I, Areal kebun yang tidak dialiri dengan limbah cair kelapa sawit (Kontrol), Lokasi II, Areal kebun yang dialiri limbah cair kelapa sawit yang telah mulai kering (lembab) Lokasi III = Areal kebun yang dialiri limbah cair kelapa sawit yang masih basah K= Kepadatan, KR= Kepadatan Relatif

Dari Tabel 4.3 terlihat bahwa spesies yang memiliki nilai kepadatan tertinggi pada lokasi 1 yaitu spesies Pontoscolex corethrurus 13,33 individu/m2 dengan nilai kepadatan relatif 44,96 %, dan nilai kepadatan terendah di dapatkan pada spesies

Pheretima posthuma 5,18 individu/m2 dengan nilai kepadatan relatif 17,48. Pada lokasi II spesies yang memiliki nilai kepadatan tertinggi yaitu spesies Megascolex sp1 21,47 individu/m2 dengan nilai kepadatan relatif 53,70 dan nilai kepadatan terendah pada spesies Pheretima posthuma 7,40 dengan nilai kepadatan relatif 18,50. Pada lokasi III spesies yang memilki nilai kepadatan tertinggi yaitu spesies Megascolex sp1 22,96 individu/m2 dengan nilai kepadatan relatif 55,37 dan nilai kepadatan terendah pada spesies Fridericia sp 1,48 individu/m2 dengan nilai kepadatan relatif 3,56. Dari tabel dilihat spesies yang memiliki nilai tertinggi pada lokasi penelitian pada spesies

Pontoscolex corethrurus dan Megascolex sp1. Keadaan ini disebabkan kedua spesies

ini memiliki nilai toleransi yang luas di Indonesia dalam meningkatkan kesuburan tanah.

Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Suin (1997) cacing tanah dari jenis

Pontoscolex corethrurus dan Megascolex sp1 ini sangat luas penyebarannya di

Indonesia dan banyak ditemukan pada semak belukar, padang rumput, Tetapi tidak ditemukan di hutan yang lebat.


(43)

Selanjutnya Suin (1988) dalam Arlen menyatakan cacing tanah dari jenis

Pontoscolex corethrurus banyak ditemukan pada tanah hutan, padang rumput dan

semak belukar yang memiliki pH tanah netral (6,4-7), dan tidak menyukai tanah dengan pH < 6,4, serta telah tercemar oleh bahan-bahan kimia, seperti debu semen, pupuk dan pestisida kimia yang banyak digunakan dalam dunia pertanian. Sedangkan cacing tanah dari jenis Megascolex sp1 lebih menyukai kondisi lingkungan yang agak asam, dan sering ditemukan pada tanah dengan pH (<6), dimana kelembaban tanahnya berkisar antara 85-95 %.

4.4Frekuensi Kehadiran (FK) Masing-masing Spesies Cacing Tanah pada Tiga Lokasi Penelitian

Frekuensi kehadiran sering pula dinyatakan sebagai konstansi kehadiran. Frekuensi kehadiran itu dapat dikelompokkan atas spesies aksidental (sangat jarang) bila konstansinya 0-25% spesies assesori (jarang) konstansinya 25-50 % konstan (sering) yang konstansinya 50-75 % dan spesies absolut (sangat sering) bila konstansinya > 75 % (Suin, 1997). Seperti pada tabel dibawah ini:

Tabel 4.4 Nilai Frekuensi Kehadiran Masing-masing Spesies Cacing Tanah Pada Ketiga Lokasi Penelitian

No Spesies Lokasi I Lokasi II Lokasi III

FK % Konstansi FK Konstansi FK Konstansi

1 Fridericia - - - - 13,33 Aksidental

2 Megascolex sp1 46,66 Assesori 73,33 Konstan 66,66 Konstan

3 Pheretima posthuma 26,66 Assesori 46,66 Assesori 60,00 Konstan

4 Pontoscolex corethrurus 66,66 Konstan 60,00 Konstan 46,66 Konstan

Keterangan : FK Frekuensi Kehadiran, Aksidental : sangat jarang, Assesori : Jarang, Konstan: sering

Dari Tabel 4.4 terlihat bahwa pada lokasi I ditemukan 2 spesies yang bersifat assesori, 1 spesies yang bersifat konstan, kemudian pada lokasi II ditemukan 2 spesies yang bersifat konstan, 1 spesies yang bersifat assesori, dan pada lokasi III ditemukan 1 spesies yang bersifat aksidental dan 3 spesies yang bersifat konstan. Dari tabel diatas juga dapat dilihat bahwa cacing tanah yang bersifat aksidental (sangat jarang) hanya ditemukan pada Fridericia sp, sangat jarangnya spesies tersebut ditemukan pada lokasi ini menunjukkan bahwa daerah ini merupakan tidak cocok untuk perkembangbiakan dan kehidupa n cacing tanah. Hal ini di sebabkan karena kondisi


(44)

lingkungan fisik-kimia maupun ketersediaan sumber daya makanan dapat mendukung untuk kehidupan cacing tanah. Sementara cacing tanah yang bersifat konstan (sering), ditemukan pada spesies Megascolex sp1, Pheretima posthuma dan Pontoscolex

corethrurus. Hal ini di sebabkan ketiga spesies ini termasuk spesies indikator, yang

berarti hewan tersebut dapat hidup dan berkembang dengan baik di suatu daerah

4.5Cacing Tanah yang Dapat Hidup dan Berkembangbiak dengan baik

Untuk mengetahui kondisi lingkungan yang baik dan dapat mendukung kehidupan dan perkembangbiakan cacing tanah pada suatu habitat dapat diketahui berdasarkan nilai KR >10% dan FK > 25% (Suin, 1997) seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.5 Cacing Tanah yang Kepadatan Relatifnya (KR) ≥ 10 % dan Frekuensi Kehadiran (FK) ≥ 25 % pada Tiga Lokasi Penelitian

No Spesies Lokasi I Lokasi II Lokasi III

KR (%) FK (%) KR (%) FK (%) KR (%) FK(%)

2 Megascolex sp1 37,50 46,66 53,70 73,33 55,37 66,66

3 Pheretima posthuma 17,48 26,66 18,50 46,66 24,98 60,00

4 Pontoscolex corethrurus 44,96 66,66 27,78 60,00 16,06 46,66

Keterangan : Lokasi I = Areal kebun yang tidak dialiri dengan limbah cair kelapa sawit (Kontrol), Lokasi II = Areal kebun yang dialiri limbah cair kelapa sawit yang telah mulai kering (lembab) Lokasi III = Areal kebun yang dialiri limbah cair kelapa sawit yang masih basah K= Kepadatan, KR= Kepadatan Relatif

Dari Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa cacing tanah yang dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik pada areal kebun kelapa sawit, baik yang diberi pupuk limbah cair pabrik kelapa sawit maupun yang tidak (Lokasi I, II dan III) didapatkan tiga spesies yaitu Megascolex sp1, Pheretima posthuma dan Pontoscolex corethrurus karena memiliki nilai kepadatan Relatif (KR) ≥ 10 % dan Frekuensi Kehadiran (FK) ≥ 25 % . keadaan ini menunjukkan bahwa cacing tanah tersebut merupakan spesies yang memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap kondisi lingkungan, karena dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik.

Keadaan ini menunjukkan bahwa keadaan masing-masing lokasi penelitian dapat mendukung kehidupan dan perkembangbiakan spesies cacing tanah seperti pada


(45)

spesies Megascolex sp1, Pheretima posthuma dan Pontoscolex corethrurus. Dari ketiga spesies cacing tanah ini terdapat pada ketiga lokasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa lahan tersebut memiliki nilai kadar organik yang tinggi dan spesies tanaman yang bervariasi sesuai bagi kehidupannya. Hal ini sesuai yang dijelaskan oleh Suin (2002) bahwa cacing tanah yang memiliki kisaran toleransi yang luas pada umumnya bersifat kosmopolitan, selanjutnya dijelaskan bahwa cacing tanah yang memiliki nilai KR ≥ 10% dan FK ≥ 25% menunjukkan bahwa hewan tersebut dapat hidup dan berkembang dengan baik di habitatnya. Hal ini sesuai dengan Michael (1995) yang menyatakan secara alamiah, penyebaran hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan diatur oleh jumlah dan keragaman bahan yang dibutuhkan oleh organisme, dan faktor fisik dan batas toleransi organisme terhadap komponen-komponen ini di lingkungan.

4.6 Analisis Korelasi Pearson (r) Antara Faktor Fisik Kimia dengan Kepadatan Relatif

Berdasarkan pengukuran faktor fisik kimia tanah yang telah dilakukan pada setiap lokasi penelitian dan dikorelasikan dengan Kepadatan Relatif (KR) maka diperoleh nilai Kepadatan Relatif seperti terlihat pada tabel berikut :

Tabel 4.6 Nilai Analisis Korelasi Pearson antara beberapa faktor fisik kimia Dengan Kepadatan Relatif (KR) Cacing Tanah

Dari Tabel 4.6 Dari hasil uji korelasi pearson antara faktor fisik kimia tanah dengan kepadatan cacing tanah dapat dilihat bahwa faktor fisik kimia tanah dengan kepadatan cacing tanah dapat dilihat bahwa Kelembaban, Suhu, Kadar air, Kadar organik, N total, K tukar, Ca tukar dan P tersedia berpengaruh terhadap kepadatan cacing tanah pada suatu daerah, tapi yang paling berpengaruh yaitu Mg tukar (+0,951), K tukar (+0,916), Kadar organik (+0,854) dan P tersedia (+0,844), Keadaan ini menunjukan bahwa kepadatan cacing tanah dapat ditentukan oleh faktor fisik kimia tanah karena Kotoran (feses) cacing tanah mengandung banyak bahan organik yang tinggi, berupa

Kelem-baban

pH suhu Kadar

air

Kadar Organik

N total C/N K

tukar Ca Tukar Mg Tukar P Tersedia


(46)

N total dan nitrat, K dan Mg, kejenuhan basa dan kemampuan penukaran basa. Disini membuktikan bahwa cacing tanah berpengaruh baik terhadap produkt ivitas tanah. Karena cacing tanah dalam sifat kimia tanahnya berperan menghasilkan bahan organik, kemampuan dalam pertukaran kation, unsur P dan K yang tersedia akan meningkat. Sedangkan pH dan C/N tidak berpengaruh. Keadaan ini menunjukan bahwa kepadatan cacing tanah dapat ditentukan oleh faktor fisik kimia tanah.

Dari Tabel dapat dilihat bahwa hasil uji Analisi Korelasi Pearson antara beberapa faktor fisik kimia tanah terdapat perbedaan tingkat korelasi dan arah korelasinya dengan kepadatan relatif. Menurut Sugiyono (2005) apabila didapatkan nilai positif (+) menunjukka n hubungan yang searah antara nilai faktor fisik kimia tanah, maka nilai kepadatan relatif akan semakin tinggi pula, sedangkan nilai negatif (-) menunjukka n hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisik kimia tanah dengan nilai kepadatan relatif (KR). Berdasarkan hasil diatas menunjukkan bahwa terdapat hubungan/pengaruh faktor fisik kimia tanah terhadap nilai Kepadatan Relatif (KR).


(47)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai komposisi komunitas cacing tanah pada areal kebun kelapa sawit PTPN III Sei mangkei yang diberi pupuk dengan limbah cair pabrik kelapa sawit dapat disimpulkan bahwa:

a. Didapatkan sebanyak 4 spesies cacing tanah yang termasuk kedalam 3 famili, yaitu famili Glossoscolecidae, Megascolidae dan Encyhtraeidae

b. Pada lokasi I dan II didapatkan 3 spesies cacing tanah yaitu : Megascolex sp1,

Pheretima posthuma dan Pontoscolex corethrurus. Pada lokasi III didapatkan 4

spesies yaitu : Fridericia sp, Megascolex sp1, Pheretima posthuma dan

Pontoscolex corethrurus.

c. Di dapatkan 3 spesies cacing tanah yang dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik yaitu Megascolex sp1, Pheretima posthuma dan Pontoscolex corethrurus d. Kepadatan cacing tanah tertinggi pada lokasi I yaitu Spesies Pontoscolex

corethrurus dengan nilai kepadatan 13,33. Pada lokasi II Spesies Megascolex sp1

dengan nilai kepadatan 21,47. Pada lokasi III spesies Megascolex sp1 dengan nilai kepadatan 22,96

e. Pada lokasi I cacing tanah yang bersifat assesori terdiri dari 2 spesies yaitu

Megascolex sp1 dan Pheretima posthuma, sedangkan yang bersifat Konstan 1

spesies yaitu Pontoscolex corethrurus. Pada lokasi II yang bersifat konstan terdiri dari 2 spesies yaitu Megascolex sp1 dan Pontoscolex corethrurus sedangkan yang bersifat Assesori 1 spesies yaitu Pheretima posthuma. Pada lokasi III yang bersifat Aksidental terdiri dari 1 spesies yaitu Fridericia sp. sedangkan yang bersifat Konstan terdiri dari 3 spesies yaitu Megascolex sp1, Pheretima posthuma dan

Pontoscolex corethrurus

f. Faktor fisik kimia tanah yang paling berpengaruh terhadap perkembangbiakan cacing tanah yaitu Mg tukar, K tukar, Kadar organik dan P tersedia


(48)

5.2 Saran

Untuk memperoleh hasil yang lebih baik tentang komposisi komunitas cacing tanah yang diberi pupuk dan yang tidak diberi pupuk limbah cair pabrik kelapa sawit perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dilokasi penelitian pada musim dingin dan musim kemarau agar dapat dibandingkan dengan yang telah didapatkan dilokasi penelitian ini dengan memperhatikan bagaimana pengaruh keberadaan dan penyebaran setiap jenis cacing tanah terhadap tingkat kesuburan tanah dilokasi penelitian


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Adianto. 1993. Biologi Pertanian (Pupuk Kandang, Pupuk Organik Nabati dan

Insektisida). Edisi kedua. Alumni Anggota IKAPI. Bandung. hlm. 16-17.

Anonim, (2001). Buku Panduan Teknologi Pengendalian Dampak Lingkungan Industri Minyak Kelapa Sawit di Indonesia

Anas, I. 1990. Metode Penelitian Cacing Tanah (penuntun praktikum). PAU-Bioteknologi IPB- Dirjen Dikti Depdikbud. Hlm 252

Ansyori. 2004. Potensi Cacing Tanah Sebagai Alternatif Bio-Indikator Pertanian Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor

Arlen. 1998. Kajian Pengaruh Pemupukan Dengan Limbah Cair Pabrik Kelapa

Sawit Ke Areal Kebun Terhadap Cacing Tanah Untuk Memantau Kualitas Tanah Secara Biologis. Tesis S2 (Tidak dipublikasikan) Program Studi PSL

Pascasarjana USU. Medan

Arlen & Budimulya, M. 2001. Kajian Keanekaragaman Makrofauna Tanah

Pada Areal Kebun Kelapa Sawit Yang Diberi Percobaan Pemupukan Dengan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit. (Laporan Penelitian No. Urut 49, Tidak

Dipublikasikan). hlm: 2-9, 22-23

Arlen. 2010. Komposisi Komunitas Makrofauna Tanah pada Areal Pertanian yang Diberi Pupuk Organik dan Anorganik yang dapat digunakan Sebagai Bioindikator Kesuburan Tanah. Disertasi (tidak dipublikasikan). JurusanBiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Medan

Banuwa, I.S, A.A. Damai, K. Hendrato dan R. Zahab. 2001. Pemanfaatan Limbah

cair pabrik kertas (Land Application) PT Pola Pulpindo Mantap di Kec.

Sungkai, Kab. Lampung Utara. Laporan Penelitian.

Budiarti, Asiani, Palungkun, Roni, 1992. Cacing Tanah. Jakarta : Penebar Swadaya Buletin Bisnis Indonesia. 2010

Buckman, H.O. and N.C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Yokyakarta : Gadjah Mada University Press

Departemen Pertanian.,(2006). Pedoman Pengelolaan Limbah Industri Kelapa Sawit. Jakarta

Dindall, D.L., 1990. Soil Biology Guide. New York, Chichester, Brisbane : Jhon Willey and Sons


(50)

Edward, C.H & J.R. Lofty. 1997. Biology of Earthworm. London. Chapman and Hall. pp. 77-221.

Hanafiah, K.A. 2005. Biologi Tanah. Ekologi dan Makrobiologi Tanah PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. hlm. 70, 78-79, 91-94, 119-120, 142-143.

Jimenez, J.J., A.G. Moreno, T. Decaens, P. Lavelle, M.J. Fisher, and R.J. Thomas. 1998 Earthworm communities in native savannas and man-made pastures of the Eastern Plains of Colombia. Journal of Biol. Fertil. Soils 28:101-110 Loebis, B. dan P. L. Tobing. 1989. Potensi Pemanfaatan Limbah Pabrik Kelapa Sawit. Buletin Perkebunan. Medan.

Naibaho, P.M. 1996. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa

Sawit. Medan. hlm. 129-133.

Michael, E.p. 1995. Ecology Methods for Field and Laboratory Investigations. New Delhi Tata Mc Graw Hill Publishing Company Limited. Pp. 136-139

Muklis. 2007. Analisis Tanah Tanaman. Medan : USU Press. Hlm. 109-111

Pamin, K.., M. M. Siahaan dan P. L. Tobing, 1996. Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik

Kelapa Sawit Pada Perkebunan Kelapa Sawit Di Indonesia. Lokakarya Nasional Pemanfaatan Limbah Cair Dengan Cara Land Application.

Diselenggarakan atas kerja sama: Badan Agribisnis, Ditjenbun, PPKS Medan dan BAPEDAL, 26-27 Nop 1996 di Jakarta. hlm. 2-19

Paoletti, M.G. 1999. The role of earthworms for assessment of sustainability and as

bioindicators. Journal of Agriculture, Ecosystem and Enviroment 74:137-155.

Profil Singkat Pabrik Kelapa Sawit.1997. PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III. Sei Mangkei

Risza, Suyatno. 1994. Kelapa Sawit. Upaya Peningkatan Produktivitas. Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI). Yogyakarta. hlm. 40-44.

Russel, E.W. 1988. Soil Condition and Plant Growth. Eleventh Edition. Longman Scientific & Technical. New York: The United States with John Wiley & Sons. pp. 138-151.

Soelaeman, Y. Wahyunto dan Sunaryo. 2004. Penggunaan Pupuk Cair Limbah

Pabrik Mono Sodium Glutamat (MSG) Pada Tanaman Pangan Di Propinsi Lampung. Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dab Konservasi

Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat dan Balitbang Pertanian. Bogor.


(51)

Suin, N.M. 2002. Cacing Tanah dari Biotop Hutan, Belukar dan Kebun di Kawasan

Gambung – Jawa Barat. Tesis Pasca Sarjana (S2). ITB. Bandung (Tidak

Dipublikasi). hlm. 72-74.

Suin, N. M. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Cetakan Pertama. Bumi Aksara. Jakarta. Suin, M. N., 1994. Metoda Ekologi. Cetakan Pertama. Edisi 2. Penerbit Universitas Andalas. Padang

Wallwork, J.A. 1970. Ecology of Soil Animal. Mc.Graw Hill Book Company. London. pp. 58-74.

Wallwork, J.A. 1976. The Distribustion and Diversity of Soil Fauna. London: Academic Press inc. pp. 36.


(52)

(53)

LAMPIRAN B. Diagram Kerja Pengambilan Sampel Pengambilan Sampel

Identifikasi Sampel

Botol koleksi alcohol 70 % Plot Sampel

30 x 30

Botol koleksi formalin 4 % Tanah yang

diambil

- diambil pada kedalaman 30 cm

- disortir cacing tanahnya - dibersihkan dengan aquadest

- dikeringkan di atas kertas saring

Botol koleksi Alkohol 70 %

- dideterminasi dan diidentifikasi Mikroskop

Botol koleksi


(54)

LAMPIRAN C. Data Jumlah dan Jenis Cacing Tanah yang Didapatkan pada Tiga Lokasi Penelitian

A. Lokasi I

B. Lokasi II

C. Lokasi III

Jenis Plot Sampling Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Megascolex sp1 2 - 3 5 1 - - - 2 - 1 - 1 - - 15

Pheretina - 1 - - - - 4 - 1 - 1 - - - - 7

Pontoscolex 1 2 - 1 1 - 5 1 1 2 - 1 - - 1 18

Jumlah 40

Jenis Plot Sampling Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Megascolex Sp1 2 6 - - 1 - 1 1 - 6 2 4 1 2 3 29

Pheretima 2 - 3 - - - 1 - 1 1 1 - - 1 - 10

Phontoscolex 1 - 2 1 1 - 3 1 - 2 1 - - - 3 15

Jumlah 54

Jenis Plot Sampling Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 1

12 13 14 15

Fridericia sp - 1 - - - 1 - - - 2

Megascolex Sp1 1 3

3 2 - - 4 1 1 3 1 1 - - 2 - 31

Pheretima - 2 1 1 - 3 2 - 1 1 - - - 2 1 14

Phontoscolex 1 - 1 - 1 - - 2 - 1 1 - 2 - - 9


(55)

LAMPIRAN D. Contoh Cara Perhitungan Analisis Data Luas area = 30 cm x 30 cm

= 900 cm2

= 10.000 : 900 cm2 = 11,11 m2

Kepadatan (K)

Fridericia sp = x 11,11 = 1,48 individu/m2

Megascolex sp1 =

Pheretima posthuma = Pontoscolex corethrurus =

Kepadatan Relatif (KR)

Fridericia sp =

Megascolex sp1 =

Pheretima posthuma = Pontoscolex corethrurus =

Frekuensi Kehadiran (FK)

Fridericia sp =

Megascolex sp1 =

Pheretima posthuma = Pontoscolex corethrurus =


(56)

Lampiran E. Foto-foto penelitian

Gambar E.1 Pengambilan sampel dilapangan


(1)

Suin, N.M. 2002. Cacing Tanah dari Biotop Hutan, Belukar dan Kebun di Kawasan Gambung – Jawa Barat. Tesis Pasca Sarjana (S2). ITB. Bandung (Tidak Dipublikasi). hlm. 72-74.

Suin, N. M. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Cetakan Pertama. Bumi Aksara. Jakarta.

Suin, M. N., 1994. Metoda Ekologi. Cetakan Pertama. Edisi 2. Penerbit Universitas Andalas. Padang

Wallwork, J.A. 1970. Ecology of Soil Animal. Mc.Graw Hill Book Company. London. pp. 58-74.

Wallwork, J.A. 1976. The Distribustion and Diversity of Soil Fauna. London: Academic Press inc. pp. 36.


(2)

(3)

LAMPIRAN B. Diagram Kerja Pengambilan Sampel Pengambilan Sampel Identifikasi Sampel Botol koleksi alcohol 70 % Plot Sampel

30 x 30

Botol koleksi formalin 4 % Tanah yang

diambil

- diambil pada kedalaman 30 cm

- disortir cacing tanahnya - dibersihkan dengan aquadest

- dikeringkan di atas kertas saring

Botol koleksi Alkohol 70 %

- dideterminasi dan diidentifikasi Mikroskop

Botol koleksi


(4)

LAMPIRAN C. Data Jumlah dan Jenis Cacing Tanah yang Didapatkan pada Tiga Lokasi Penelitian

A. Lokasi I

B. Lokasi II

C. Lokasi III

Jenis Plot Sampling Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Megascolex sp1 2 - 3 5 1 - - - 2 - 1 - 1 - - 15

Pheretina - 1 - - - - 4 - 1 - 1 - - - - 7

Pontoscolex 1 2 - 1 1 - 5 1 1 2 - 1 - - 1 18

Jumlah 40

Jenis Plot Sampling Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Megascolex Sp1 2 6 - - 1 - 1 1 - 6 2 4 1 2 3 29

Pheretima 2 - 3 - - - 1 - 1 1 1 - - 1 - 10 Phontoscolex 1 - 2 1 1 - 3 1 - 2 1 - - - 3 15

Jumlah 54

Jenis Plot Sampling Jlh

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 1

12 13 14 15

Fridericia sp - 1 - - - 1 - - - 2 Megascolex Sp1 1

3

3 2 - - 4 1 1 3 1 1 - - 2 - 31

Pheretima - 2 1 1 - 3 2 - 1 1 - - - 2 1 14 Phontoscolex 1 - 1 - 1 - - 2 - 1 1 - 2 - - 9


(5)

LAMPIRAN D. Contoh Cara Perhitungan Analisis Data Luas area = 30 cm x 30 cm

= 900 cm2

= 10.000 : 900 cm2 = 11,11 m2

Kepadatan (K)

Fridericia sp = x 11,11 = 1,48 individu/m2

Megascolex sp1 =

Pheretima posthuma =

Pontoscolex corethrurus =

Kepadatan Relatif (KR)

Fridericia sp =

Megascolex sp1 =

Pheretima posthuma =

Pontoscolex corethrurus =

Frekuensi Kehadiran (FK)

Fridericia sp =

Megascolex sp1 =

Pheretima posthuma =


(6)

Lampiran E. Foto-foto penelitian

Gambar E.1 Pengambilan sampel dilapangan