Pengawetan Kayu Kelapa Sawit Menggunakan Larutan Asap Cair Dengan Formaldehid

(1)

PENELITIAN ILMIAH

PENGAWETAN KAYU KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN

LARUTAN ASAP CAIR DENGAN FORMALDEHID

Oleh:

DEDE IBRAHIM MUTHAWALI, S.Si.M.Si

NIP. 19660228200112100

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

INTISARI

Pengawetan kayu kelapa sawit menggunakan asap cair – formaldehid mengakibatkan sifat mekanis KKS bertambah. Proses impregnasi dilakukan dengan merendam spesimen KKS dalam asap cair – formaldehid selama 48 jam. KKS hasil impregnasi diamati menggunakan uji Sifat Mekanis, Mikroskop Elektron Payaran (SEM), Analisis Termal Diferensial (DTA), Spektroskopi Infra Merah Fourier Transform (FTIR) dan GC – MS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan KKS terimpregnasi asap cair – formaldehid meningkat. Asap cair – formaldehid di dalam spesimen KKS berfungsi sebagai pengawet dan pengikat antara serat kayu.


(3)

ABSTRACT

Preservation of oil palm wood (OPW) use smoke liquid – formaldehyde resulted of mechanical OPW was increased. Impregnation process was done by dipping OPW specimens into smoke liquid – formaldehyde for 48 hours.. The result of OPW impregnation was carried out using Mechanical Test, Scanning Electron Microscopy (SEM), Differential Thermal Analysis (DTA), Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) and GC-MS. The result has shown that mechanical strength of impregnate OPW smoke liquid – formaldehyde increased. Smoke liquid – formaldehyde in OPW specimen as preservation and binder among the wood fibers.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Usulan Penelitian ini yang berjudul “Pengawetan Kayu Kelapa Sawit Menggunakan Larutan Asap-Cair Dengan Formaldehid”

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu DR. Ir. T. Chairunnisa, M.Sc selaku Direktur Pasca Sarjana.

2. Bapak Prof. DR. H.R. Brahmana, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing

3. Bapak Prof. DR. Basuki Wirjosentono, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing 4. Bapak Drs. Thamrin, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing beserta semua

pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan usulan penelitian ini.

5. Kepala Laboratorium Kimia Polimer FMIPA USU beserta laborannya atas sarana dan bantuan yang diberikan.

6. Kepala Laboratorium Pusat Penelitian FMIPA USU beserta laboran atas sarana dan bantuannya yang diberikan.

7. Kepala Laboratorium Kimia Organik FMIPA UGM Yogyakarta atas bantuannya dalam menganalisa sampel.

8. Kepala laboratorium Pengembangan PTKI Medan, atas bantuannya dalam menganalisa sampel.

9. Rekan-rekan mahasiswa pascasarjana Program Studi Kimia atas kejasamanya selama perkuliahan dan penelitian.


(5)

10.Ayahku Syamsul Akbar Hasibuan dan Ibuku tercinta Hj. Alawiyah, Kakanda Coki, Dodo, Joko, serta Adinda Budi, Wizni dan Wirda. Istriku tercinta Muriana atas dorongan, bantuan dan perhatiannya baik sehingga penyusunan tesis ini dapat dirangkumkan.

11.Yusuf, Irman, Dirham, Vina, Nandar, Suharman, Husni, Henry, Laila dan Ningsih atas bantuan dan perhatiannya selama penyusunan tesis ini.

12.Staf-staf yang bekerja di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa usulan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan kritik yang membangun sehingga nantinya menjadi usulan penelitian yang baik dan benar.

Medan, 2006 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Intisari... i

Abstract... ii

Kata Pengantar... iii

Daftar isi ... v

Daftar Gambar ... viii

Daftar Tabel... ix

Daftar Lampiran ... x

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 4

1.3. Tujuan Penelitian... 4

1.4. Manfaat Penelitian... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kayu Kelapa Sawit ... 6

2.2. Modifikasi Sifat Kayu dan Teknik Impregnasi... 11

2.3. Pengasapan dan Asap Cair... 13

2.4. Monomer Reaktif... 14

2.5. Fenol dan Formaldehid ... 15

2.6. Difusi Bahan Polimer... 17

2.7. Kelarutan Polimer ... 18


(7)

2.8.1. Kekuatan Tarik UTS (Ultimate Tensile Strength) ... 19

2.8.2. Kekuatan Tarik UFS (Ultimate Flexural Strength)... 20

2.9. Analisis Spektroskopi Infra Merah (FT-IR) ... 21

2.10. Analisisi Termal Bahan Polimer... 22

2.11. Miskroskop Elektron Payaran (SEM)... 23

2.12. Kromatogram Asap Cair dari Kayu ... 24

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Penyediaan Bahan Baku ... 26

3.2. Bahan Kimia ... 26

3.3. Peralatan... 26

3.4. Prosedur Kerja ... 27

3.4.1. Penyediaan Bahan Baku Kayu Kelapa Sawit (KKS)... 27

3.4.2. Penyediaan Asap Cair (Fenol Alam) ... 28

3.4.3. Impregnasi Asap Cair dan Monomer Reaktif ... 28

3.5. Analisis Asap Cair ... 28

3.5.1. Analisis GC-MS... 28

3.5.2. Analisis SEM ... 29

3.5.3. Analisis FT-IR ... 30

3.5.4. Analisis Termal Diferensial (DTA) ... 30

3.5.5. Karakterisasi Asap Cair ... 30

3.5.5.1. Uji Modulus Patah dan Modulus Elastisitas... 30

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakterisasi Awal KKS... 32


(8)

4.3. Analisis Mikroskop Elektron Payaran (SEM) ... 36

4.4. Analisis FT-IR ... 39

4.5. Analisis GC-MS... 42

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 44

5.1. Kesimpulan... 44

5.2. Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45


(9)

DAFTAR GAMBAR

Judul

No Halaman

2.1. Penampang Melintang KKS ... 7

2.2. Struktur Molekul Selulosa ... 8

3.1.a. Pemotongan Lintang dan Bagi Spesimen KKS... 27

3.1.b. Spesimen KKS dengan Ukuran 5 x 2,5 x 2 cm ... 27

4.1. DTA KKS Sebelum Impregnasi ... 33

4.2. DTA KKS Menggunakan Asap Cair dan Formaldehid dengan Perbandingan 1:4 ... 34

4.3. DTA KKS Menggunakan Asap Cair dan Formaldehid dengan Perbandingan 1:1 ... 35

4.4. Foto SEM KKS Sebelum Impregnasi Perbesararan 100x ... 37

4.5. Foto SEM KKS Setelah Impregnasi dengan Formaldehid Perbesaran 150x... 38

4.6. Foto SEM KKS Setelah Impregnasi dengan Asap Cair Perbesaran 150x... 38

4.7. Foto SEM KKS Setelah Impregnasi dengan Asap Cair dan Formaldehid Perbandingan 1:4 Perbesaran 150x ... 39


(10)

DAFTAR TABEL

Judul

4.1. Karakteristik Rata-Rata Spesimen Kayu Kelapa Sawit

(KKS) Kering ... 32

No Halaman

4.2. Bilangan Gelombang KKS Awal ... 40 4.3. Bilangan Gelombang KKS Impregnasi dengan Penambahan

Asap Cair ... 40 4.4. Bilangan Gelombang KKS Impregnasi dengan Penambahan

Formaldehid... 41 4.5. Bilangan Gelombang KKS Impregnasi dengan Penambahan Asap


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Judul

1. Bagan Alir Prosedur Penelitian... 48

No Halaman 2. Gambar Alat Pembuatan Asap Cair Dengan Kondensasi – Absorbsi... 49

3. Data Pengukuran MOR dan MOE KKS Bagian Pinggir (P), Tengah (T) dan Inti (I) Setelah Impregnasi dengan Berbagai Pelarut ... 49

4. Tabel Kayu Bangunan Dalam Keadaan Kering Di Udara ... 50

5. Data Pengukuran Modulus Patah (MOR) Rata-Rata Kayu Kelapa Sawit (KKS) Kering... 50

6. Data Pengukuran Modulus Elastisitas (MOE) Rata-Rata Kayu Kelapa Sawit (KKS) Kering... 50

7. Spektrum FT-IR Kayu Kelapa Sawit (KKS) ... 51

8. Spektrum FT-IR KKS Setelah Impregnasi dengan Formaldehid ... 51

9. Spektrum FT-IR KKS Setelah Impregnasi dengan Asap Cair... 52

10. Spektrum FT-IR KKS Setelah Impregnasi dengan Asap Cair dengan Formaldehid perbandingan 1:4 ... 52

11. Data Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan Standar 2 ppm... 53

12. Data Penentuan Waktu Operasi Larutan Standar Fenol 2 ppm... 53

13. Data Penentuan Kurva Kalibrasi Larutan Standar Fenol 2 ppm ... 53

14. Data Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asap Cair... 54

15. Data Penentuan Waktu Operasi Asap Cair ... 54


(12)

17. Data Penentuan Kadar Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada

Berbagai Suhu ... 55

18. Grafik Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan Standar 2 ppm... 56

19. Grafik Penentuan Waktu Operasi Larutan Standar Fenol 2 ppm... 56

20. Grafik Penentuan Kurva Larutan Standar Fenol... 57

21. Grafik Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asap Cari dari Cangkang Kelapa Sawit ... 57

22. Grafik Penetuan Waktu Operasi Asap Cair dari Cangkang Kelapa Sawit... 58

23. Data Proses Pembuatan Asap Cair Dari Cangkang Kelapa Sawit ... 58

24. Diagram Waktu Pembuatan Asap Cair Pada Berbagai Suhu... 59

25. Diagram Volume Asap Cair Pada Berbagai Suhu ... 59

26. Data Penentuan Kadar Keasaman Asap Cair Pada Berbagai Suhu... 60

27. Diagram Kadar Keasaman Asap Cair Pada Berbagai Suhu... 60

28. Analisis Kualitatif Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada Berbagai Suhu ... 61

29. Data Kadar Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada Berbagai Suhu.... 61

30. Diagram Kadar Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada Berbagai Suhu ... 62

31. Data Nilai Indeks Pencoklatan Asap Cair Pada Berbagai Suhu ... 62

32. Diagram Indeks Pencoklatan Asap Cair Pada Berbagai Suhu ... 63

33. Senyawa Dalam Asap Cair Pada Suhu 190-210 oC ... 63

34. Kromatogram Senyawa Fenol... 64


(13)

ABSTRACT

Preservation of oil palm wood (OPW) use smoke liquid – formaldehyde resulted of mechanical OPW was increased. Impregnation process was done by dipping OPW specimens into smoke liquid – formaldehyde for 48 hours.. The result of OPW impregnation was carried out using Mechanical Test, Scanning Electron Microscopy (SEM), Differential Thermal Analysis (DTA), Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) and GC-MS. The result has shown that mechanical strength of impregnate OPW smoke liquid – formaldehyde increased. Smoke liquid – formaldehyde in OPW specimen as preservation and binder among the wood fibers.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Seperti diketahui kayu kelapa sawit atau KKS memiliki sifat hidrofil yang tinggi. Tingginya kadar air dan parenkim pada KKS, berakibat sifat fisik dan mekanik dari kayu tersebut kurang baik, yang mana KKS mudah retak dan patah serta mudah rusak karena pengaruh cuaca, juga oleh rayap (Prayitno, 1995).

Dikarenakan kebutuhan kayu dengan spesifikasi tertentu di Indonesia begitu meningkat sementara kurangnya pasokan kayu maka diperlukan kayu alternativ. Agar KKS dapat dijadikan kayu alternatif maka perlu ditingkatkan sifat dimensi dari KKS tersebut.

Pengawetan kayu merupakan usaha untuk meningkatkan umur pemakaian kayu yang mempunyai keawetan alami rendah.

Kita dapat memandang kayu melalui aspek anatomi, aspek fisika, aspek kimia dan aspek mekanika. Diketahui kayu merupakan kumpulan dari berjuta-juta sel kayu. Masing-masing kayu mempunyai kadar air, densitas dan daya kembang-susut tersendiri. Komponen kimia penyusun kayu yang utama adalah air, selulosa, hemiselulosa dan lignin. Adapun kayu mempunyai tingkat kekerasan dan kekuatannya apabila dipandang dari aspek mekanikanya.

Pengawetan kayu dengan cara oven atau pengeringan dapat berlangsung secara merata sehingga pada kelembaban tertentu dimensi kayu menjadi stabil. Akan tetapi ini tidak bertahan lama, karena air dapat terdifusi kembali ke dalam kayu selama


(15)

pemakaian. Untuk mencegah terjadinya difusi air dapat dilakukan pelapisan dengan cara mempelitur atau sejenisnya. Namun apabila terjadinya benturan kayu dengan benda lain dapat berakibat permukaan kayu terbuka sehingga air berdifusi dan kayu dapat menggembung. Pengisian pori-pori kayu dengan bahan kimia atau zat aditif dapat mengurangi hidrofilisitas kayu sehingga pengembangan atau penyusutan volume kayu berkurang. Cara ini pun kurang sempurna karena pada proses tertentu zat aditif dapat berdifusi ke luar dari pori-pori kayu. Jadi memungkinkan pori-pori mengabsorbsi air.

Pembentukan ikatan kimia antara komponen utama kayu dengan bahan aditif kelihatan lebih permanen, sehingga ini dapat dijadikan metode peningkatan stabilitas kayu. Cara asetilasi dan formaldehidasi dengan pemakaian katalis asam klorida dan pelarut asetal glasial telah dikenal dengan metode cukup baik untuk meningkatkan stabilitas dimensi kayu. Pada asetilasi reaksi kimia yang terjadi adalah reaksi subsitusi nukleofilik gugus OH komponen kayu dan C karbonil dari anhidrida asetat (CH3CO)2O, sehingga gugus OH dalam komponen kayu berubah menjadi asetil –

OCOCH3. Dalam hal lain formaldehidasi adalah reaksi subsitusi nukleofilik gugus

OH komponen kayu dengan formaldehid (CHCO) menjadi hemiasetal R-OCH2OH

atau bereaksi lebih lanjut dengan gugus OH komponen kayu yang lain membentuk asetal, R-O(CH2)-R sehingga terbentuk ikatan kimia antar komponen kayu.

Ditinjau dari cara meresapkan bahan kimia ke dalam kayu, proses pengawetan modern dibedakan menjadi dua cara. Pertama proses pengawetan kayu dengan tekanan meliputi proses pengawetan sel penuh dan proses pengawetan sel kosong.


(16)

Yang kedua proses pengawetan tanpa tekanan yang meliputi cara penyemprotan, pencelupan perendaman dingin, perendaman panas-dingin vakum dan proses difusi.

Riset baru akhir-akhir ini dapat dijadikan rujukan penelitian mengenai peningkatan dimensi dan pengawetan kayu. Pemanfaatan material berbasis polimer dengan teknik impregnasi dapat dijadikan alternatif, dikarenakan kelebihannya dalam berbagai hal yaitu ringan, mudah dibentuk, cukup kuat, relatif murah dan dapat memenuhi spesifikasi yang diinginkan. Penelitian ketahanan pengawetan kayu menggunakan gabungan fenol dengan E-glass telah dilakukan Cihat Tascioglu (2002). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan ketahanan kayu meningkat secara signifikan. Robert G (1998) telah mengkarakterisasi jaringan fenol-formaldehida yang terjadi pada kayu sehingga sifat mekanik dapat meningkat dengan terbentuknya jaringan tersebut. Guanghoo He (2004) mempelajari kinetika pematangan dari reaksi antara fenol-formaldehida dengan kayu. Dengan alat DTA dipelajari perubahan energi yang menyertai reaksi tersebut. L David Dwinell (2002) melakukan pengawetan dengan pengasapan menggunakan metil bromida sebagai katalis. Abdurrohim S dan Martono D (1997) telah pula melakukan pengawetan lima jenis kayu untuk perumahan secara rendaman dingin dengan bahan pengawet tembaga-khrom-boron (CCB). Xiobing Zhou (2001) meneliti reaksi yang terjadi antara kayu dengan resin isosianat menggunakan NMR dan menyatakan bahwa reaksi yang terjadi antara gugus OH yang ada pada kayu dengan gugus uretan mampu meningkatkan sifat-sifat mekanik dari kayu.


(17)

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti berkeinginan untuk melakukan studi pengawetan kayu kelapa sawit (KKS) dengan pola polimerisasi melalui impregnasi kayu kelapa sawit dengan menggunakan asap cair dan direaksikan dengan formaldehid. Diharapkan penelitian ini akan menambah hasanah ilmiah untuk kemajuan di bidang material dan bahan khususnya kayu. Keuntungan lain dari pola polimerisasi menggunakan asap-cair (fenol alam) dan formaldehida adalah kemungkinan dari manipulasi sifat-sifat akhir kayu dapat dikontrol dengan melihat hasil analisa dan karakterisasi yang didapatkan. Jadi bahan-bahan reaksi polimerisasi yang terpakai dapat dikendalikan hingga menghasilkan sifat yang diinginkan.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas peneliti merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh perendaman asap cair – forlmaldehid pada sifat mekanik kayu kelapa sawit.

2. Bagaimana impregnasi asap cair – formaldehid pada kayu kelapa sawit.

3. Bagaimana analisis dan karakterisasi hasil dengan : Sifat Mekanik, DTA, SEM, GC-MS dan FT-IR.

1.3.Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh perendaman asap cair - formaldehid pada peningkatan sifat mekanik kayu kelapa sawit.


(18)

3. Mendapatkan hasil analisis dan karakterisasi dengan Sifat Mekanik, DTA, SEM,GC-MS dan FT-IR.

1.4.Manfaat Penelitian

1. Mendapatkan informasi sifat mekanik KKS setelah penambahan fenol alam.

2. Sebagai informasi mengenai reaksi polimerisasi antar fenol alam dengan formaldehida pada kayu kelapa sawit.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kayu Kelapa Sawit

Pohon kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq), merupakan tumbuhan dari orde Palmales, family : Palmaceae; subfamily : Cocoideae. Tumbuhan tersebut termasuk tumbuhan monokotil, ciri-ciri dari tumbuhan monokotil tersebut adalah, tidak memiliki : kambium, pertumbuhan sekunder, lingkaran tahun, sel jari-jari, kayu awal, kayu akhir, cabang, mata kayu. Batang terdiri dari serat dan parenkim. Pohon kelapa sawit produktif sampai umur 25 tahun, ketinggian 9-12 m dan diameter 45-65 cm diukur dari permukaan tanah. (Tomimura, 1992).

Pada bagian inti dari struktur dan anatomi kayu kelapa sawit (KKS) yang paling dominan adalah jaringan dasar parenkim, sehingga memiliki kerapatan yang rendah. Pada daerah pinggir dekat kulit penyusun utamanya adalah berkas pengangkut yang terselimuti oleh serabut berdinding tebal sehingga rapat masanya lebih tinggi. Di daerah bagian kayu yang terdiri dari jaringan parenkim mengandung kadar air lebih tinggi dan menurun seiring prosentase berkas pengangkut naik.

Batang kelapa sawit mempunyai sifat khusus seperti kandungan selulosa dan lignin yang rendah, namun kandungan air dan NaOH yang dapat larut tinggi dibandingkan kayu pohon karet dan ampas batang tebu. Sifat fisik batang menunjukkan heterogenitas yang berbeda-beda tergantung pada arah lingkaran dan arah vertikal. (Tomimura, 1992). Kadar air KKS basah ± 40 %, kerapatannya berkisar


(20)

dari 0,2 – 0,6 gr/ml dengan kerapatan rata-rata 0,37 gr/ml, (Lubis, 1994). Pada keadaan kering konstan, komponen-komponen yang terkandung dalam KKS adalah selulosa (30,77 %), pentosa (20,05 %), lignin (17,22 %), hemiselulosa (16,81 %), air (12,05 %), abu (2,25 %) dan SiO2 (0,84 %).

Gambar 2.1. Penampang melintang KKS

Selulosa merupakan polisakarida yang tersusun dari monomer D-glukosa yang mempunyai tiga gugus hidroksil yang dapat disubstitusi, tidak larut dalam air, sifat kristalinitas dan BM yang tinggi. Sifat kristalinitasnya akan menurun bila gugus hidroksilnya tersubstitusi, misalnya dengan gugus etil (Baker 1987).

Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linear dan mempunyai kecenderungan kuat membentuk ikatan hidrogen intra dan inter molekul. Oleh ikatan hidrogen molekul-molekul selulosa terikat bersama-sama membentuk seberkas fibril elementer. Fibril elementer bergabung membentuk mikrofibril, kemudian mikrofibril bergabung menjadi fibril dan akhirnya membentuk serat-serat selulosa (Sjostron,


(21)

1998). Daerah yang sangat teratur disebut kristalin dan kurang teratur disebut amorf. Selulosa tidak dapat larut dalam air, meskipun memiliki banyak gugus hidroksil dan bersifat polar disebabkan selulosa memiliki ikatan hidrogen yang kuat. (Seymour, 1984).

.

Gambar 2.2. Struktur molekul selulosa

Meskipun terdapat gugus OH pada kedua ujung rantai selulosa, gugus-gugus OH ini menunjukkan perilaku yang berbeda. Gugus C1 – OH adalah gugus

hidrat aldehida yang diturunkan dari pembentukan cincin melalui ikatan hemiasetal intramolekul yang bersifat pereduksi, sedangkan gugus OH pada akhir C4 pada rantai

selulosa adalah hidroksil alkoholat hingga bersifat bukan pereduksi. Gugus hidroksi pada C6 memiliki reaktivitas yang lebih tinggi karena pengaruh substituen-

substituen di sekitarnya maka terjadi reaksi esterifikasi atau interaksi dengan bahan lain.


(22)

Morfologi selulosa mempunyai pengaruh yang besar. Gugus hidroksil dalam daerah amorf sangat mudah dicapai dan bereaksi, sedangkan gugus hidroksil dalam daerah kristalin dengan berkas yang rapat dan ikatan antar rantai yang kuat, mungkin tidak sama sekali.

Skema reaksi-reaksi kopolimerisasi cangkokan selulosa : Permulaan :

R-R katalis 2 R●

R● + MH M● + RH Pertumbuhan rantai :

M● + M M●2

M●X +M M●X+1

Perpindahan rantai :

M●X + Sel-H M●XH + Sel●

Kopolimerisasi cangkokan :

Sel● + M Sel + M●

Sel-M● + M Sel-M●2

Sel-M●X + M Sel-MX+1

Pengakhiran :

M●X + M●Y MX+Y

Sel-M●X + M●Y Sel-MX+Y

Ikatan silang :

Sel-M●X + Y●M-Sel Sel-MX+Y-Sel

Senyawa lain yang dikandung oleh KKS adalah hemiselulosa. Pada kayu, hemiselulosa berfungsi sebagai bahan pendukung dalam dinding sel. Hemiselulosa tergolong polimer heteropolisakarida yang disusun oleh sekitar 200 monometer. Hemiselulosa relatif mudah larut dalam air dan dihidrolisis oleh asam menjadi


(23)

komponen monomernya antara lain kelompok gula pentosan seperti D-xilosa dan L-arabinosa serta gula heksosa seperti D-glukosa, D-galaktosa dan D-manosa. Hemiselulosa tidak kristalin, tetapi sangat bercabang.

Penyusun utama kimia kayu yang berikutnya adalah lignin, yaitu molekul polimer dari unit fenilpropana. Senyawa ini mengandung sejumlah besar cincin benzen reaktif. Lignin terdapat di dalam dinding sel maupun di daerah antar sel, menyebabkan kayu menjadi keras dan kaku sehingga mampu menahan tekanan mekanis yang besar.

Istilah kompleks lignin-karbohidrat (LCC) digunakan untuk agregat-agregat dari tipe ini yang terikat secara kovalen. Antara lignin dengan hemiselulosa ada jenis ikatan tipe ester atau eter bahkan ikatan glikosida. Yang lebih umum dan stabil dari pada ikatan ester adalah ikatan eter antara lignin dan karbohidrat. Dalam hal ini kedudukan alfa adalah titik hubungan yang paling mungkin antara lignin dan hemiselulosa (Sjostron, 1998).

Pada kayu ada juga komponen yang dapat diekstraksi yang disebut zat ekstraktif. Zat ekstraktif ini bukanlah bagian dari struktur dinding sel kayu tetapi hanya pengisi rongga sel. Begitupun zat ekstraktif ini berpengaruh terhadap sifat-sifat kayu seperti bau, warna, keawetan kayu dan lain-lain. Senyawa-senyawa yang terkandung dalam ekstraktif kayu antara lain senyawa-senyawa jenuh, senyawa fenolat, lemak, lilin, asam lemak, alkohol, steroid dan hidrokarbon tinggi.


(24)

2.2. Modifikasi Sifat-sifat Kayu dan Teknik Impregnasi

Modifikasi sifat-sifat kayu ditujukan agar kestabilan dimensi kayu dapat diperbaiki. Dengan teknik impregnasi menjadikan modifikasinya lebih merata. Dengan mereaksikan gugus-gugus hidroksil dari polimer dinding sel, sifat hidrofil polimer dinding sel tersebut diubah menjadi hifrofob sehingga kestabilan kayu meningkat dan lebih tahan terhadap serangan mikroba dan rayap.

Apabila kekristalan dari selulosa di dalam kayu dikurangi maka kayu dapat lebih menjadi termoplastis. Membuat derivat-derivat selulosa di dalam kayunya sendiri adalah usaha untuk mengubah kayu menjadi termoplastis. Hal ini dilakukan dengan pengesteran dan pengeteran atau cara-cara lain dalam membentuk devivat selulosa (Roehyati, 1995).

Rendaman panas, vakum-tekan dan injeksi adalah cara pengisian pori-pori kayu untuk memasukkan zat yang tidak menguap ke dalam rongga sel kayu. Ini dapat mencegah penyusutan kayu. Derajat stabilitas dimensi kayu yang diberikan zat polimer pengisi berbanding terbalik dengan ukuran molekul zat pengisi. Peningkatan stabilitas dimensi kayu bisa dengan meraksikan komponen kayu dengan zat aditif sehingga dapat mengurangi sifat higroskopis kayu. Asetilasi pada kayu diharapkan dapat meningkatkan stabilitas dimensi kayu. Prinsipnya merupakan reaksi esterifikasi yakni subsitusi gugus OH komponen kayu dengan gugus asetil dalam anhidrid asetat sehingga berubah menjadi senyawa asetat.

Impregnasi meliputi penetrasi cairan ke dalam rongga-rongga kayu dan difusi bahan-bahan kimia yang terlarut. Penetrasi yang dipengaruhi gaya-gaya kapiler dan distribusi ukuran pori, sedangkan laju penetrasi tergantung pada tekanan dan berlangsung cukup cepat. Difusi dipengaruhi penampang lintang total dari pori-pori,


(25)

berlangsung lebih lambat dan dikendalikan oleh konsentrasi bahan kimia yang terlarut. Difusi adalah perpindahan massa yang terjadi pada suatu campuran yang disebabkan oleh gradien konsentrasi. Antar difusi merupakan terbentuknya gabungan antara dua permukaan polimer melalui difusi (penyebaran) ikatan rantai molekul-molekul polimer dari satu permukaan masuk kedalam jaringan molekul permukaan yang lainnya. Difusi dapat lebih cepat bila suhu tinggi dan molekul yang berdifusi kecil.

Dalam pemilihan kondisi impregnasi baik tekanan, suhu dan waktu impregnasi serta besarnya harus mempertimbangkan kondisi kayu yang digunakan (Sjostron, 1998). Teknik impregnasi reaktif adalah teknik impregnasi yang dirancang menggunakan medium dalam fasa leleh dengan melibatkan modifikasi bahan polimernya sebelum impregnasi sehingga meningkat kompatibilitasnya. Basuki W, dkk (2001) telah melakukan impregnasi bahan polimer bekas dari jenis polistiren dan polipropilen melalui sistem penekanan vakum pada suhu leleh pada kayu kelapa sawit. NS Cetin (1999) juga telah melakukan impregnasi bahan polimer untuk membentuk grafting dengan menggunakan metakrilat anhidrid yang dilakukan pada kayu jenis Pynus sylvestris. Pola impregnasi dapat medisfusikan bahan-bahan monomer ke dalam kayu lunak, khususnya kayu monokotil, karena monomer-monomer tersebut bersifat cair yang mampu berdifusi ke dalam kayu. Sifat-sifat dasar dari KKS dapat diperbaiki bila monomer-monomer reaktif yang digunakan dapat berpolimerisasi dengan senyawa fenol atau senyawa dari kayu tersebut.

2.3. Pengasapan dan Asap – Cair

Pengasapan dapat dijadikan proses untuk tujuan pengawetan. Telah diketahui asap mengandung sebagian besar senyawa yang terbentuk oleh pirolisis konstituen kayu. Pengolahan menjadi asap cair dilakukan dengan berbagai suhu pirolisis untuk


(26)

menghasilkan senyawa-senyawa organik yang diharapkan. Jadi asap dapat dibentuk dalam wujud cair dengan pola destilasi sehingga dapat menghasilkan bahan-bahan kimia tersebut tergantung dari suhu destilasi yang digunakan. Pada penelitian ini pedoman utama dari asap adalah pengambilan senyawa fenol, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan baku polimerisasi.

Golongan utama dari senyawa-senyawa yang terdeteksi di dalam asap pernah dikemukakan oleh Girard (1992) yang meliputi :

- Fenol, tidak kurang 85 macam diidentifikasi dalam kondesat dan 10 macam diidentifikasi dalam produk asapan.

- Karbonil, keton dan aldehid, lebih kurang 45 macam yang diidentifikasi dalam kondensat.

- Asam, 35 macam yang terdapat dalam kondensat. - Furan, 11 macam

- Alkohol dan eter, 15 macam

- Hidrokarbon alifatik, 1 macam dalam kondensat dan 20 macam dalam produk asapan.

- Hidrokarbon aromatik polisiklis, 47 macam diidentifikasi dalam kondensat dan 20 macam dalam produk asapan.

Guangho He (2004) menyimpulkan reaksi antara fenol dengan selulosa kayu, apabila fenol langsung ditambahkan pada kayu akan terbentuk reaksi fenol pada gugus oksigen yang ada pada kayu dan bila dilakukan degradasi kadar air pada kayu maka fenol akan terikat pada gugus OH dari kayu.

Selhan Karangnoze (2004) telah menganalisa fenol dengan liquefaction dari biomass kayu dengan menggunakan sistem peningkatan pemanasan yang dipengaruhi


(27)

oleh efek Rubidium. Dari analisa diperlihatkan bahwa senyawa yang dihasilkan paling banyak adalah fenol.

Dua senyawa utama dalam asap-cair yang diketahui mempunyai efek bakterisida adalah fenol dan asam-asam organik yang dalam kombinasinya bekerja sama secara efektif untuk mengontrol pertumbuhan mikrobia. (Psczola, 1995). Fenol mempunyai aktivitas antioksidan yang cukup besar. Telah diteliti bahwa asap kayu dapat difraksionasikan menjadi komponen asam, basa dan netral. Sifat antioksidasi yang paling baik ada pada komponen netral. Sebaliknya memiliki sedikit sifat antioksidasi pada komponen bersifat asam, sedangkan komponen basa memacu oksidasi lipida (Totter dan Polatsht, 1984). Senyawa antioksidan sintetis yang beredar di pasaran seperti hidroxy anisol (BHA) dan butylated hidroxy toluene (BHT) adalah golongan senyawa fenol juga.

2.4. Monomer Reaktif

Hampir setiap senyawa yang mengandung ikatan rangkap dua dapat diubah mejadi polimer. Perbedaan entalpi dan entropi antara monomer kayu memiliki atom-atom hidrogen yang terikat ke karbon kedua dari ikatan rangkap duanya. Biasanya cepat terpolimerisasi dengan monomer-monomer 1,2 disubsitusi.

Konsiderasi energi-energi bebas polimerisasi Yakni :

Δ Gp = Δ Hp – T Δ Sp

Efek sterik juga merupakan bukti untuk membandingkan reaktivitas isomer-isomer cis dan trans, demikian juga efek kepolaran dapat membentuk polimerisasi seperti turunan stirena, yang mana gugus-gugus penarik elektron akan memberikan kecepatan seperti yang diperkirakan untuk suatu proses radikal bebas. Monomer reaktif yang memiliki ikatan rangkap boleh juga berada pada ujung rantai polimerik, yang


(28)

dikenal sebagai makromonomer dan apabila dilakukan polimerisasi akan membentuk polimer dengan struktur yang reguler atau struktur sisir.

2.5. Fenol dan Formaldehida

Formaldehida merupakan salah satu senyawa yang sering digunakan dalam polimerisasi dengan fenol dan dari reaksi ini akan terbentuk polimerisasi yang bersifat thermosetting.

Fenol bereaksi dengan aldehid menghasilkan produk kondensasi, jika ada posisi bebas pada orto dan para terhadap gugus hidroksi pada cincin benzen. Formaldehida merupakan aldehid paling reaktif dan digunakan untuk produksi secara komersil. Produk yang kemungkinan paling besar terjadi tergantung pada perbandingan molar dari reaktan. (Meyer, F.W. B, 1984).

Damar yang dibuat dari fenol dan aldehida membentuk kelompok yang disebut fenolik atau fenoplas. Fenol bereaksi dengan aldehida, memberikan produk kondensasi, jika kedudukan 2-(orto) dan 4-(para) terhadap gugus hidroksil fenolik. Kedudukan 2- dan 4- dalam fenol yang aktif menyebabkan kerapatan elektron meningkat pada kedudukan itu.

Aldehida yang digunakan dalam industri fenoplas adalah metanal (formaldehida). Reaksi yang terjadi tergantung pada perbandingan molar fenol-formaldehida (dikenal dengan perbandingan P/F, yang berasal dari nama Feno-Formaldehida). Reaksi antara fenol dan metanal menghasilkan pemasukan gugus –CH2OH ke kedudukan 2- dan 4-

dalam fenol.

Pada awal tahun 1900-an Baeckeland pertama kali mengembangkan damar fenol-metanal yang diberi nama ‘bakelit’, dan sejak itu bidang kimia polimer menjadi industri besar. Damar fenolik jika dimatangkan akan tahan terhadap suhu tinggi, pelarut dan


(29)

bahan kimia, juga merupakan isolator listrik yang baik. Plastik yang dibuat dari damar berfenol bersifat keras, kaku, dan umumnya berwarna gelap. Bahan itu digunakan untuk barang seperti sakelar listrik, asbak, gagang panic, pegangan pintu, di samping itu damar fenol-metanal dipakai untuk perekat kayu lapis dan untuk membuat barang berlapis. (Cowd, 2000).

Fenol murni mempunyai sifat agak toksik terhadap manusia (mudah teradsorbsi dan menyebabkan keracunan pada darah) dan tidak digunakan sebagai desinfektan. Senyawa fenol efektif dalam menyerang bakteria vegetatif, virus lipofilik, jamur dan kadang Mycobacterium tuberculosis, mekanismenya melalui toksisitas terhadap sel.

Menurut beberapa kajian fenol asap cair memang bervariasi. Kandungan fenol dalam asap cair kayu singkong mencapai lebih dari 1000 ppm. Hal ini sesuai dengan Girard (1992) yang menyebutkan variasi kandungan fenol dalam asap cair berkisar antara 0,006-5000 ppm. Tetapi jauh berbeda dengan hasil penelitian Tranggono (1997) terhadap asap cair kayu jati, lamtorogung, tempurung kelapa, mahoni, kamper, bangkirai, kruing dan glugu (pohon kelapa) yang menunjukkan variasi kandungan fenolnya berkisar antara 2,0-5,13 % atau sama dengan 21000-513000 ppm.

Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh jenis kayu yang berbeda, dimana kayu singkong termasuk dalam golongan kayu lunak sementara jenis kayu yang digunakan Tranggono (1997) termasuk dalam golongan jenis kayu keras. Kandungan lignin dalam kayu lunak lebih rendah daripada yang terdapat dalam kayu keras. Perbedaan hasil juga dapat disebabkan oleh metode analisis yang berbeda. (Agritech Vol. 20 No. 1, 2000)

Perbedaan kandungan fenol tersebut mungkin juga disebabkan karena perbedaan oksigen, karena salah satu reaksi pembentukan fenol adalah oksidasi. Selain itu juga menurut Girard (1992) bahwa kuantitas maupun sifat senyawa fenol yang terdapat


(30)

dalam asap langsung berhubungan dengan pirolisis kayu. Jadi suhu pembuatan asap akan mempengaruhi komposisi asap yang dihasilkan. (Tranggono, et al, 1997)

2.6. Difusi Bahan Polimer

Perpindahan materi dapat disebabkan oleh gradient konsentrasi, medan sentrifugal, dan medan listrik. Dalam setiap kasus gaya yang menyebabkan perpindahan dapat dianggap sebagai gradien potensial yang negatif. Gradien negatif dari potensial kimia adalah gaya dorong untuk difusi.

Dalam proses perpindahan gerak dari komponen i dapat dinyatakan dalam fluksnya Ji, yang didefinisikan sebagai banyaknya komponen i yang melewati satuan luas permukaan dalam satuan waktu.

Difusi adalah perpindahan massa yang terjadi pada suatu campuran yang disebabkan oleh gradient konsentrasi. Difusi materi melalui sel sebanding dengan gaya dorong, dinyatakan oleh persamaan Fick :

dc J = - D

dx Dengan :

J = fluks (mol m-2 s-1),

D = Koefisien difusi (m2s-1),

` = daya dorong, ditunjukkan sebagai gradient konsentrasi di sepanjang X (mol m-4)

dc dx

2.7. Kelarutan Polimer

Proses kelarutan bahan polimer jauh lebih rumit dari pada kelarutan senyawa-senyawa dengan bobot molekul rendah, sebab adanya perbedaan antara ukuran molekul


(31)

polimer dan pelarut, pengaruh viskositas larutan dan tekstur polimer (amorf, kristalin, linier atau berikatan silang). Konsep larutan polimer dalam teknologi bahan polimer memegang peranan yang sangat penting, misalnya pada teknik plastisasi, pembuatan bahan perekat, dan sebagainya. Bilamana bahan polimer dilarutkan ke dalam suatu pelarut yang berbobot molekul rendah terlebih dahulu akan terjadi peristiwa penggembungan, dengan molekul pelarut yang terdispersi di antara rantai polimer. Bila jumlah pelarut semakin besar, interaksi sesama rantai polimer menjadi semakin lemah dan akhirnya lepas sama sekali menbentuk larutan polimer (Wirjosentono, dkk, 1995). 2.8. Sifat Mekanis Bahan Polimer

Pada pengujian secara mekanis terhadap suatu sampel yang diamati adalah sifat kekuatan tarik, tegangan, regangan, modulus dan perpanjangan yang menunjukkan pada kekuatan bahan.

Penggunaan bahan polimer baik itu dalam industri maupun dalam kehidupan sehari-hari sangat tergantung pada sifat mekanis dari bahan polimer tersebut. Sifat mekanis ini merupakan ini merupakan perpaduan antara kekuatan tarik yang tinggi dan elastisitas yang baik. Sifat mekanis khas utuk setiap polimer, ini disebabkan karena adanya dua macam ikatan dalam bahan polimer, yaitu ikatan kimia yang kuat antara atom dan interaksi antara rantai yang lebih lemah. (Nur, 1997).

2.8.1.Kekuatan Tarik UTS (Ultimate Tensile Strength)

Kekuatan tarik/tekan merupakan salah salah satu sifat dasar bahan polimer yang penting dan sering digunakan untuk karakterisasi suatu bahan polimer. Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui perubahan bentuk pada sampel atau bahan yang diuji. Pada uji tarik beban kakas sesumbu yang bertambah secara perlahan-lahan sampai sampel uji patah, maka pada saat yang sama diamati pertambahan panjang yang dialami sampel uji.


(32)

Pertambahan panjang (Δl) yang terjadi akibat kakas tarikan yang diberikan pada sampel uji disebut dengan deformasi sedangkan regangan adalah perbandingan antara pertambahan panjang dengan panjang semula.

Δl

ε = x 100 % lo

Keterangan :

ε = Regangan (%)

lo = Panjang mula-mula (mm)

Δl = Pertambahan panjang (mm)

Dengan demikian regangan merupakan ukuran kekenyalan (kemuluran) suatu bahan yang biasanya dinyatakan dalam %. Besarnya kekuatan tarik dapat diperoleh dari kurva aluran tegangan atau regangan. Kekuatan tarik atau tekan diukur dari besarnya beban maksimum (Fmaks) yang digunakan untuk memutuskan/mematahkan spesimen

bahan dibagi dengan luas penampang awal (Ao) dan secara matematis ditulis sebagai

berikut :

Fmaks σ =

Ao Keterangan :

σ = tegangan atau kekuatan tarik (kgf/mm2) Fmaks = beban maksimum (kgf)

A = luas penampang awal (mm2)

2.8.2.Kekuatan Lentur UFS (Ultimate Flexural Strength)

Tujuan dari pengujian ini untuk mengetahui ketahanan suatu bahan terhadap pembebanan pada titik lentur dan untuk mengetahui keelastisan suatu bahan.


(33)

Pembebanan yang diberikan adalah pembebanan dengan tegak lurus dengan titik-titik sebagai penahanan berjarak tertentu dan titik pembebanan diletakkan pada titik tengah sampel dimana besarnya pelengkungan ini disebut defleksi (δ).

Persamaan untuk mendapatkan kekuatan lentur adalah : 3PL

MOR =

2 l t2

P’L MOE =

4 y l4 t

MOR = modulus patah (kg/cm2)

MOE = modulus elastisitas (kg/cm2)

P = beban patah (kg) P’ = beban lentur (kg) L = jarak sanggah (cm) l = lebar spesimen (cm) t = tebal spesimen (cm) y = jarak defleksi (cm) (haygreen, 1996)

2.9. Analisis Spektroskopi Infra Merah (FT-IR)

Spektroskopi IR merupakan suatu metoda analisis yang dipakai untuk karakterisasi bahan polier dan analisis gugus fungsi. Dengan cara menentukan dan merekam hasil spektra residu dengan serapan energi oleh molekul organik dalam daerah sinar infra merah. Daerah infra merah didefenisikan sebagai daerah yang memiliki


(34)

panjang gelombang 1-500 nm. Setiap gugus dalam molekul umumnya mempunyai karakteristik sendiri, sehingga spektroskopi IR dapat digunakan untuk mendeteksi gugus yang spesifik pada polimer. Intensitas pita serapan merupakan ukuran konsentrasi gugus yang khas yang dimiliki oleh polimer (Seymour, 1975).

Untuk dapat mengindentifikasi data infra merah dari bahan polimer, diperlukan suatu persyaratan yaitu zat yang diselidiki harus homogen secara kimia. Tahap awal identifikasi bahan polimer, serapan yang karakteristik untuk masing-masing bahan polimer harus diketahui dengan membandingkan spektrum yang telah dikenal. Pita serapan yang khas akan ditunjukkan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya (Hummel, 1985)

Metoda ini didasarkan pada interaksi antara radiasi infra merah dengan materi (interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik). Interaksi ini berupa absorpsi pada frekwensi atau panjang gelombang tertentu yang berhubungan dengan energi transisi antara berbagai keadaan energi vibrasi, rotasi dan molekul. Radiasi infra merah yang penting dalam penentuan struktur atau analisa gugus fungsi terletak pada 400 cm-1 - 650 cm-1.

2.10. Analisis Termal Bahan Polimer

Analisis termal bukan saja mampu untuk memberikan informasi tentang perubahan fisik sampel (misalnya titik leleh dan penguapan), tetapi juga terjadi proses kimia yang mencakup polimerisasi, degradasi, dekomposisi dan sebagainya.

Differensial Thermal Analysis (DTA) adalah suatu metoda yang dapat digunakan untuk menentukan sifat termal suatu bahan polimer. DTA merupakan suatu metode dapat mencatat perbedaan suhu antara sampel dan senyawa pembanding, baik terhadap waktu ataupun suhu.


(35)

Dalam bidang polimer DTA sering digunakan untuk menentukan temperatur leleh (Tl) dan temperatur gelas (Tg). Temperatur leleh adalah temperatur pada saat polimer mengalamni pelelehan secara sempurna, sedangkan temperatur transisi gelas (TG) adalah temperatur pada saat terjadinya perubahan sifat fisik polimer dari elastis menjadi kaku.

Metode DTA mempunyai kelebihan dapat memberikan hasil yang spesifik untuk suatu sampel, karena tidak ada dua material yang memberikan suatu kurva yang sama persis walaupun mempunyai perbedaan yang sangat kecil dari struktur kristal dan komposisi kimia. Puncak-puncak yang dihasilkan akan berbeda baik dari luas atau bentuk puncak sehingga kurva yang dihasilkan khas untuk setiap jenis material. Kekurangan DTA adalah terlihat perbedaan yang nyata pada jangkauan temperatur yang lebar sehingga diperlukan waktu yang cukup lama untuk mencapai jangkauan tersebut, dan kurva yang dihasilkan sangat tergantung pada peralatan dan teknik penentuan sehingga untuk jenis material yang sama jika dianalisis dengan dua alat yang berbeda akan memberikan kurva yang sedikit berbeda.

2.11. Mikroskop Elektron Payaran (SEM)

Adanya material lain dalam suatu matriks seperti dispersi matrial tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada permukaan spesimen. Untuk melihat perubahan dalam bahan tersebut dapat dilakukan suatu analisa permukaan, dimana alat yang biasa digunakan adalah SEM. (Mark, H.F., 1965)

Teknik SEM merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan spesimen. Gambar tampilan permukaan yang diperoleh merupakan gambar topografi dengan tonjolan, lekukan dan lubang pada permukaan, gambar topografi diperoleh dari penangkapan sekunder yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan


(36)

ditangkap oleh detektor dan diteruskan ke monitor sehingga diperoleh gambar khas yang menggambarkan struktur permukaan spesimen, selanjutnya gambar dimonitor dapat dipotret dengan film hitam putih.

Pada dasarnya SEM menggunakan sinyal yang dihasilkan yang dipantulkan atau berkas sinar elektrom sekunder. SEM menggunakan prinsip scanning dimana berkas elektron diarahkan pada titik-titik pada permukaan spesimen . Gerakan elektron tersebut dinamakan scanning atau gerakan membaca.

Sampel yang akan dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai permukaan dengan konduktifitasnya rendah sehingga saat analisa SEM bahan polimer harus dilapisi dengan bahan konduktor yang tipis. Konduktor yang biasa digunakan adalah perak, tetapi untuk analisa pada jangka waktu yang lama penggunaan emas atau campuran emas dan paladium akan lebih baik.

2.12.Kromatogram Asap Cair dari Kayu a. Dari pirolisis selulosa :

Asam asetat, asam formiat, maltol, metilsiklopentenolon, etilsiklopentenolon, dietilsiklopentenolon, furfural, 5-hidroksimetilfurfural.

b. Dari pirolisis lignin :

Fenol, orto, meta dan para kresol, guaiakol, metilguaiakol, etilguaiakol, 4-propilguaiakol, pirokatekol, trimetilfenol, vanilin, 4-(2-propio)-vanillon, 4(1-propio)-vanillon, aceto4(1-propio)-vanillon, 2,4,5-trimetilbenzaldehid, 4-hidroksiasetofenon, eugenol, cis dan trans-isoeugenol, 2,6-dimetoksifenol (siringol), metilsiringol, etilsiringol, 4-propilsiringol, 4-asetosiringol, 4-(2-propio)-siringol, 4-(1-propio)-siringol, cis dan trans-4-(1-propenil)-siringol, 4-(2-propenil)-siringol, siringaldehid. (anonim, 1991)


(37)

Golongan utama dari senyawa yang terdeteksi di dalam asap meliputi (a) fenol; 85 macam diidentifikasi dalam kondensat dan 10 macam dalam produk asapan, (b) karbonil, keton dan aldehid; 45 macam diidentifikasi dalam kondensat, (c) asam-asam; 35 macam diidentifikasi dalam kondensat, (d) furan; 11 macam, (e) alkohol dan ester; 15 macam diidentifikasidalam kondensat, (f) lakton; 13 macam, (g) hidrokarbon alifatik; 1 macam diidentifikasi dalam kondensat; 20 macam dalam produk asapan, (h) hidrokarbon aromatik polisiklik; 47 macam diidentifikasi dalam kondensat; 20 macam dalam produk asapan. Hal ini hampir sama dengan penelitian Gilbert dan Knowlen, 1975 yang menyatakan bahwa senyawa-senyawa kimia paling penting yang diketahui dalam asap dan asap cair antara lain; fenol, karbonil, asam, furan, alkohol dan ester, lakton dan polisiklik hidrokarbon. Jadi sejumlah besar komponen yang telah diidentifikasi dari beberapa senyawa kimia yang ada dalam asap antara lain, 45 macam fenol, lebih dari 70 senyawa karbonil seperti keton dan aldehid, 20 asam, 11 furan, 13 alkohol, dan ester, 13 lakton dan 27 hidrokarbon polisiklis aromatik (Policyclic Aromatic Hydrocarbon/PAH)


(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. PENYEDIAAN BAHAN BAKU

Kayu Kelapa Sawit (KKS) yang dijadikan sampel pada rancangan penelitian ini diambil dari batang dewasa pada saat peremajaan atau umur 25 tahun dari perkebunan kelapa sawit di PPKS Medan, dengan ketinggian 10 meter.

Destilasi asap pada suhu tertentu dilakukan untuk mendapatkan asap-cair yang digunakan sebagai bahan baku. Destilasi asap ini dilakukan di PPKS Medan.

3.2. BAHAN KIMIA

Bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah Toluena diisosianat atau Metilen diisosianat (E.Merck). Etilen glikol atau Propilen glikol, Trimetilol Propane (TMP), Metakrilat anhidrid, Pyridin, Formaldehid. Kosentrasi akan dihitung berdasarkan kesesuaian yang diperlukan.

3.3. PERALATAN

Suatu rangkaian peralatan destilasi yang lengkap, yang ada di PPKS Medan, telah siap digunakan untuk mendapatkan asap-cair. Sedangkan alat GC-MS dipakai untuk menganalisa komponen asap-cair yang dihasilkan tersebut. Penentuan sifat mekanik menggunakan peralatan yang ada di Laboratorium Penelitian FMIPA.

Adapun FT – IR diperlukan untuk mengetahui perubahan gugus yang terjadi setelah KKS bereaksi dengan monomer reaktif. Untuk melihat pori-pori dari KKS yang dihasilkan setelah terjadi impregnasi diperlukan alat mikroskop elektron (SEM). Sifat termal akan dilihat menggunakan DTA.


(39)

3.4. PROSEDUR KERJA

3.4.1. Penyediaan Bahan Baku Kayu Kelapa Sawit (KKS)

Sampel Kayu Kelapa Sawit (KKS) yang akan digunakan diambil dari bagian batang, dipotong melintang pada bagian tengah sepanjang 1 meter. Selanjutnya dibelah membentuk papan dengan ketebalan 5 cm dan kemudian dikeringkan di udara terbuka selama 8 jam. Papan tersebut dibentuk menjadi spesimen dengan ukuran 5 x 2,5 x 2 cm lalu speciemen KKS dikeringkan di dalam oven pada suhu 400 C sampai diperoleh berat

konstan.

2 cm

2,5 cm

5

(a) (b)

Gambar 3.1 a. Pemotongan melintang dan bagi spesimen KKS : 1,2,3,4 : Spesimen bagian pinggir (P)

5,6,7,8 : Spesimen bagian tengah (T) 9,10,11,12 : Spesimen bagian inti (I)

b. Spesimen KKS dengan ukuran 5 x 2,5 x 2 cm 3.4.2. Penyediaan Asap – Cair (Fenol Alam)

Penyediaan asap-cair dibuat dari hasil pengasapan dengan sistem destilasi pada suhu tertentu dan dilakukan analisa kebenarannya menggunakan alat GC – MS.


(40)

Pengasapan KKS dirancang sedemikian rupa yang mana difusi asap masuk kedalam kayu, sedangkan untuk asap-cair (fenol alam) dilakukan pada suatu wadah yang telah disediakan dan perendaman sampel kayu dilakukan over night.

3.4.3. Impregnasi Asap-Cair dan Monomer Reaktif

Dilakukan pengeringan dalam oven dengan suhu 40 0C terhadap spesimen KKS

hingga didapatkan berat konstan. Kemudian direndam dalam gelas ukur 500 ml yang berisi cair dan monomer reaktif. Proses impregnasi spesimen KKS dengan asap-cair dan monomer reaktif ini berlangsung selama 48 jam. spesimen KKS hasil impregnasi ini akan dianalisa dan dikarakterisasi.

3.5. Analisis Asap Cair 3.5.1. AnalisisiGC-MS

Komponen-komponen asap-cair dianalisis menggunakan GC - MS dengan gas pembawa helium. Terlebih dahulu asap-cair dilarutkan dalam eter, kemudian dilakukan pemisahan antara fasa yang larut dalam eter dan fasa polarnya. Campuran senyawa yang akan diawetkan kromatografi gas akan terpisah menjadi komponen-komponen individual. Untuk beberapa komponen yang dominan akan dianalisa lebih lanjut dengan spektrometri massa. Sebagai standar digunakan literatur.

3.5.2. Analisis SEM

Analisis SEM dilakukan untuk mempelajari sifat morfologi terhadap sampel KKS. Dalam hal ini dapat dilihat rongga-rongga KKS kering, asap-cair yang menutupi seluruh pori-pori serta masuknya asap-cair dan reaksi yang terjadi dengan monomer


(41)

aktif. Informasi dari analisa ini akan mendapatkan gambaran dari seberapa baik bahan-bahan kimia yang digunakan dapat meresap sampai ke pori-pori terdalam dari kayu.

Uji SEM dilakukan untuk mempelajari sifat-sifat morfologi terhadap sampel KKS. Dalam hal ini dapat dilihat rongga-rongga KKS kering, asap-cair dan reaksi yang menutupi seluruh pori-pori serta masuknya asap-cair dan reaksi yang terjadi dengan monomer aktif. Informasi dari analisa ini akan mendapatkan gambaran dari seberapa baik bahan kimia yang digunakan dapat meresap sampai pori-pori terdalam dari kayu.

Sampel spesimen diletakkan dalam sample (stub) yang terbuat dari logam setelah terlebih dahulu diberi perekat stik karbon. Kemudian sample spesimen dilapisi emas bercampur palladium dalam suatu ruangan (vakum evaporator) yang bertekanan 0,1 atm selama 5 menit. Sampel dimasukkan ke dalam ruangan spesimen (spesimen chamber) dan selanjutnya disinari dengan pancaran elektron bertenaga ± 15 kilovolt sehingga sample mengeluarkan elektron sekunder dan elektron terpantul yang dapat dideteksi dengan detektor sintilator dan kemudian diperkuat dengan suatu rangkaian listrik yang menyebabkan timbulnya gambar pada Cathode Ray Tube. Pemotretan dilakukan setelah memiliki bagian tertentu dari objek (sample) dengan pembesaran 200 kali sehingga diperoleh foto yang baik dan jelas.

3.5.3. Analisis FT – IR

Analisis FT-IR dilakukan untuk memberikan informasi mengenai perubahan gugus fungsi akibat reaksi yang terjadi antara asap-cair dengan spesimen KKS dan antara monomer reaktif dengan spesimen KKS.

Sampel ditimbang ± 1 gram ditambahkan dengan pelet KBr, dipress kemudian diletakkan pada alat ke arah sinar infra merah. Hasil akan direkam ke dalam kertas berskala aluran kurva bilangan gelombang terhadap intensitas.


(42)

3.5.4. Analisis Termal Diferensial (DTA)

Analisis termal memberikan informasi tentang perubahan fisik sampel, juga terjadi proses kimia. Sampel ditimbang dengan berat tertentu dalam cawan cuplikan sampel, kemudian dioperasikan pada kondisi alat tersebut.

3.5.5. Karakterisasi Asap Cair

3.5.5.1. Uji Modulus Patah dan Modulus Elastisitas

Sifat keteguhan lentur patah dan sifat keelastisitas KKS setelah diimpregnasi dilakukan uji modulus patah dan uji modulus elastisitas. Pengujian modulus patah dan modulus elastisitas dilakukan dengan alat uji tekan terhadap spesimen. Spesimen diletakkan di dua titik dari masing-masing kedua bagian ujung spesimen sebagai penyanggah pada alat uji tekan dan kemudian dikenakan penekanan pada beban 1000 kg tepat di tengah-tengah spesimen dengan kecepatan 50 mm/menit kemudian dicatat tegangan maksimum (F maks) dan regangan pada saat spesimen patah.


(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakterisasi Awal KKS

Setelah spesimen kering, karakterisasi keadaan awal (sebelum perlakuan impregnasi) diamati, yang meliputi: modulus patah (MOR), modulus elastisitas (MOE) menurut prosedur. Data karakteristik spesimen KKS pada keadaan awal ini tercantum pada tabel 4.1 untuk ketiga jenis spesimen (pinggir, P, tengah T, dan inti, I). Terlihat bahwa semua parameter fisika dan mekanik pada tabel 4.1. menunjukkan penurunan dari spesimen bagian pinggir (P) ke bagian tengah (T). Hal ini sesuai sifat alami KKS yang mengandung jumlah serat lebih banyak dari bagian pinggir bila dibandingkan dengan bagian tengah dan inti.

Data karakteristik KKS setelah mengalami impregnasi dapat dilihat pada lampiran 4. Dari data tersebut tampak bahwa harga MOR dan MOE rata-rata KKS setelah impregnasi naik dari harga MOR dan MOE rata-rata KKS sebelum impregnasi. Bertambahnya harga MOR dan MOE membuktikan bahwa KKS terimpregnasi oleh beberapa pelarut tersebut. Harga MOR dan MOE yang paling besar terdapat pada asap cair-formaldehid perbandingan 1:4.

Tabel 4.1. Karakteristik rata-rata spesimen kayu kelapa sawit (KKS) kering

No

Spesimen

 

MOR (kg/cm2)

MOE (kg/cm2) 1 2 3 Pinggir (P) Tengah (T) Inti (I) 217 194 127 15685 9473 7180


(44)

4.2. Analisis Termal Diferensial (DTA)

Untuk mengetahui terjadinya reaksi kimia dan perubahan – perubahan pada suatu materi secara fisik dapat diketahui melalui perubahan energi, bau, warna, dan suhu. Materi disusun oleh ion – ion yang bergerak, berotasi sehingga saling bertumbukan yang menimbulkan panas. Materi tersebut dapat melepaskan panas atau menyerap panas tergantung kebutuhan materi tersebu. Peristiwa ini dinamakan eksoterm dan endoterm. Besarnya panas yang menyebabkan perubahan pada materi tersebut dapat dianalisis dengan DTA. Hasil DTA KKS sebelum impregnasi dapat ditunjukkan pada gambar 4.1.

Gambar 4.1. DTA KKS Sebelum Impregnasi

Hasil dari gambar DTA formaldehid menunjukkan sebelum impregnasi tampak bahwa KKS bersifat eksoterm (melepaskan panas), Hal ini terjadi karena KKS bersifat hidrofil yang memiliki banyak susunan – susunan gugus –OH selulosa KKS yang mudah terurai. Dari kurva tersebut tampak bahwa pada temperatur sekitar 200 oC,


(45)

puncak pada temperatur 265 oC, puncak ini diidentifikasi sebagai temperatur

terdegradasi, sedangkan temperatur terdekomposisi (terbakar) pada sekitar 360 oC

Hasil DTA KKS menggunakan asap cair, formaldehid, perbandingan 1 : 4 asap cair dengan formaldehid dapat ditunjukkan pada gambar 4.2.

Gambar 4.2. DTA KKS Menggunakan Asap Cair dan Formaldehid dengan Perbandingan 1:4.

Hasil dari gambar DTA asap cair tampak bahwa KKS setelah terimpregnasi bersifat endoterm (menyerap panas). Dari kurva tersebut juga tampak bahwa pada temperatur sekitar 200 oC, puncak ini diidentifikasi sebagai temperatur leleh. Selain


(46)

sebagai temperatur terdegradasi, sedangkan temperatur terdekomposisi (terbakar) pada sekitar 430 oC

Hasil Dari gambar DTA asap cair dengan formaldehid perbandingan 1 :1 dapat ditunjukkan pada gambar 4.3.

Gambar 4.3. DTA KKS Menggunakan Asap Cair dan Formaldehid dengan Perbandingan 1:1.

Hasil Dari gambar DTA asap cair dengan formaldehid perbandingan 1 :1 menunjukkan sebelum impregnasi tampak bahwa KKS bersifat eksoterm (melepaskan panas), Hal ini terjadi karena KKS bersifat hidrofil yang memiliki banyak susunan – susunan gugus –OH selulosa KKS yang mudah terurai. Dari kurva tersebut tampak bahwa pada temperatur sekitar 200 oC, puncak ini diidentifikasi sebagai temperatur leleh. Selain puncak 200 oC juga muncul puncak pada temperatur 265 oC, 360 oC puncak ini diidentifikasi sebagai temperatur terdegradasi, sedangkan temperatur terdekomposisi (terbakar) pada sekitar 320 oC.

4.3. Analisis Mikroskop Elektron Payaran (SEM) KKS

SEM membantu untuk mengetahui bentuk dan perubahan permukaan dari suatu bahan. Pada prinsipnya bila terjadi perubahan pada suatu bahan misalnya patahan, lekukan dan perubahan struktur dari permukaan, maka bahan tersebut cenderung mengalami perubahan energi. Energi yang berubahn tersebut dapat dipancarkan, dipantulkan dan diserap serta diubah bentuknya menjadi fungsi gelombang elektromagnetik yang dapat ditangkap dan dibaca foto SEM.


(47)

Gambar 4.4. Foto SEM KKS Sebelum Impregnasi Perbesaran 100x.

Dari foto di atas tampak bahwa KKS memiliki serat (fibril) dan vascular bundle (bagian yang terang) yang mengelilingi jaringan parenkim (bagian yang gelap) dan jaringan ini mempunyai rongga yang berpori banyak serta besar.

Gambar 4.5. Foto SEM KKS Setelah Impregnasi dengan Formaldehid Perbesaran 150x Dari foto di atas terlihat bahwa rongga-rongga dari jaringan parenkim telah terisi oleh formalin dan rongga tersebut telah mengecil


(48)

Gambar 4.6. Foto SEM KKS Setelah Impregnasi dengan Asap Cair Perbesaran 150x Dari foto terlihat bahwa rongga-rongga dari jaringan parenkim telah berisi oleh asap cair dan rongga tersebut telah mengecil.

Gambar 4.7. Foto SEM KKS Setelah Impregnasi dengan Asap Cair dengan Formaldehid Perbandingan 1:4 Perbesaran 150x.

Dari foto terlihat bahwa rongga-rongga dari jaringan parenkim (bagian yang gelap) telah terisi oleh asap cair dan formaldehid dan rongga tersebut makin mengecil. Dari keempat gambar di atas dapat dikatakan bahwa telah terjadi perubahan struktur KKS, sehingga dapat dikatakan peristiwa impregnasi telah terjadi.

4.4. Analisis FT-IR

Analisis FT-IR dilakukan untuk mengidentifikasi gugus fungsi fenol dan formaldehid yang telah diimpregnasi. Hasil analisis gugus fungsi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(49)

Tabel 4.2. Bilangan Gelombang KKS Awal

Dari lampiran 6 spektra bilangan gelombang dapat dilihat perubahan masing-masing gugus fungsi. Resin. Resin pengimpregnasi terdiri dari asap cair, formaldehid dan campuran asap cair dan formaldehid. Dari spektrum pada tabel 4.2. sebelum impregnasi bilangan gelombang pada 3040,6 cm-1 merupakan gugus OH selulosa KKS yang diperkuat adanya serapan 1060,94 cm-1. Serapan pada daerah 1647,36 cm-1 menunjukkan adanya CH aromatik OOP.

Tabel 4.3. Bilangan Gelombang KKS Impregnasi dengan Penambahan Asap Cair

Spektrum pada tabel 4.3. KKS impregnasi dengan asap cair menunjukkan adanya perbedaan serapan dengan KKS sebelum impregnasi terjadi intensitas perubahan pada gugus OH KKS. Pada daerah 3406 cm-1 menjadi 3373,80 cm-1 yang diperkuat adanya serapan pada daerah 1035,87 cm-1, hal ini terjadi karena ikatan H antar molekul terus bertambah sehingga muncul pita-pita baru. Serapan pada daerah 1595,27 cm-1 menunjukkan adanya senyawa aromatis. Serapan pada daerah 1425,52 cm-1 menunjukkan adanya CH2. Serapan pada daerah 1265,42 cm -1

menunjukkan C-O. Serapan pada daerah 617,28 cm-1 menujukkan adanya CH aromatik OOP.

Sampel Bilangan Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi

KKS Awal 3040,6 1647,36 1060,94 673,22 O-H C-C Selulosa Memperkuat O-H CH aromatik OOP

Sampel Bilangan Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi

KKS Impregnasi dengan Penambahan Asap Cair 3373,8 1595,27 1425,52 1265,42 1035,87 617,28 O-H C=C aromatik CH2 C-O Memperkuat O-H CH aromatik OOP

Tabel 4.4. Bilangan Gelombang KKS Impregnasi dengan Penambahan Formaldehid

Dari spektrum pada tabel 4.4. diimpregnasi dengan formaldehid menunjukkan adanya perbedaan serapan dengan KKS sebelum impregnasi terjadi intensitas perubahan pada gugus OH KKS. Pada daerah 3406 cm-1 menjadi 3449,03 cm-1. Hal ini terjadi karena ikatan H antar molekul terus bertambah sehingga muncul pita-pita baru. Serapan pada daerah 1602,99 cm-1 menunjukkan adanya C-C selulosa. Serapan pada daerah 671,29 menunjukkan adanya CH aromatik OOP.

Sampel Bilangan Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi KKS Impregnasi Dengan Penambahan Formaldehid 3449,03 1602,99 1113,03 671,29 O-H C-C selulosa C-O


(50)

Tabel. 4.5.Bilangan Gelombang KKS Impregnasi dengan Penambahan Asap Cair dan Formaldehid

Dari spektrum pada tabel 4.5. diimpregnasi dengan campuran asap cair dan formaldehid menunjukkan adanya perbedaan serapan dengan KKS sebelum impregnasi terjadi intensitas perubahan pada gugus OH KKS. Pada daerah 3406 cm-1 menjadi 3435,53 cm-1 yang diperkuat dengan adanya serapan pada 1053,23 cm-1, hal ini terjadi karena ikatan H antar molekul terus bertambah sehingga muncul pita-pita baru. Serapan pada daerah 1647,36 cm-1 menunjukkan adanya C-C selulosa. Serapan pada daerah 1419,74 cm-1 menunjukkan adanya C-C selulosa. Serapan pada daerah 644,28 cm-1 menunjukkan adanya CH aromatik OOP.

Sampel Bilangan Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi KKS Impregnasi

Dengan Penambahan Asap Cair dan Formaldehid 3435,53 1647,36 1419,74 1053,23 644,28 O-H C-C selulosa CH2 Memperkuat O-H CH aromatik OOP

4.5. Analisa Dengan GC-MS

Berdasarkan analisis GC-MS yang telah dilakukan pada asap cair yang dihasilkan pada suhuh 190-210 oC (data terlampir), dapat dilihat dari kromatogram menunjukkan adanya 3 puncak yang tajam. Hal ini dapat dilhat dari waktu retensi masing-masing puncak yaitu : puncak 1 sebesar 1,892, puncak 2 sebesar 2,308 dan puncak 3 sebesar 7,492, dari ketiga puncak tersebut dihasilkan 3 spektrum massa yang menunjukkan adanya 3 senyawa yaitu: asam asetat, asam propanoat dan fenol.

Dari hasil di atas dapat diketahui di dalam asap cair yang dihasilkan dari pirolisis cangkang kelapa sawit terdapat senyawa asam asetat, asam propanoat dan fenol yang dapat berfungsi sebagai pengawet kayu karena akan terbentuk reaksi antara fenol dengan gugus oksigen yang ada pada kayu dan bila dilakukan degradasi kadar air pada kayu maka fenol akan terikat pada gugus OH dari kayu.


(51)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Sifat mekanik kayu kelapa sawit (KKS) menurun dari spesimen bagian pinggir (P), tengah (T) dan inti (I).

2. Perendaman spesimen kayu kelapa sawit (KKS) ke dalam asap cair – formaldehid ternyata dapat meningkatkan sifat mekanik kayu sehingga dapat digunakan sebagai pengawet kayu.

3. Karakterisasi setelah impregnasi dengan asap cair – formaldehid diperoleh bahan kayu yang lebih berkualitas. Merujuk ke SNI – 1994 mendekati kualitas kayu bangunan golongan III.

5.2. Saran

1. Perlu dicari pelarut alternatif yang ramah lingkungan sebagai pengawet kayu pengganti fenol karena mengingat bersifat toksit.

2. Agar dilakukan penelitian peningkatan kualitas kayu kelapa sawit (KKS) dengan teknik impregnasi lainnya seperti dengan proses difusi.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohim, S., (1997). ”Pengawetan Lima Jenis Kayu Untuk Perumahan Secara Rendaman Dingin dengan Bahan Pengawet CCB”. Jurnal Penelitian Hasil Hutan.

Achmadi, S., S., (1990), ”Kimia Kayu”, Penelaah Wasrin Syarii. Institut Pertanian Bogor

Baker (1987), “Controlled Release of Biologically active agent”. John Willey and Sons, New York.

Barbara L. Ilman, Vina W. Yang and Les Ferge (2000) “Bioprocessing Preservative Treated Waste Wood”. Forest Products Laboratory Maedison, WI 53705. Prepared for 31st Annual Meeting. Kona, Hawaii

USA. May 14 – 19.

Billmeyer (1984), “Texbook of Polymer Science” . John Wiley and Sons, Singapore, p. 518.

Bunichiroo Tomitta. Chung Yun Hse. (1998). “Phenol – Urea – Formaldehyde (PUF) cocondensed wood adhesives”. J. Internasional Journal Adhesion & Adhesive 18, 69-79.

C.A.S. Hill., N.S. Cetin. (2000). “Surface activation of wood for graft polymerization”. J. International Journal & Adhesives 20, 71-79

Cowd, M.A. 1991, “Kimia Polimer”. ITB Bandung

Darwin, Y dan Thamrin, 2001. “Pembuatan Kayu Termopalstis dari Batang Kelapa Sawit”. FMIPA-USU

Duljapar, Khaerudin, (1996), ”Pengawetan Kayu”. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.

Dumanauw, F., J., (1990), ”Mengenal Kayu”. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Dwinell (2002), “Fumigating And Heat-Treating In Service Hardwood Pallets”

.USDA Forest Service, Southern Research Station, Athens, GA 30605. Annual International Research Conference on Methly Bromide Alternatives and Emmissions Reduction, 6-9 November 2002, Orlando, FL.

Feingel, D., (1995). “Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi”. Cetakan Pertama, Gadjah Mada University, Yogyakarta.


(53)

Girard (1992), “Smoking in : Technology of Meat Product”. Translated by Bernard Hammings and ATT. Clermont Ferrand. Ellis Horwood, New York.

Guanghoo He, Bernad Riedy (2004), “Curing Cenetics of Phenol Formaldehyde resin and wood-resin interaction in the presence of wood substrates”. J. Wood Sci Techmol 38.

Gunnar Barrefors, Susan Bjorkvist., Olle Romas,. (1996) “Gas Cromotographic Separation Of Volatile Furans From Birchwood Smoke”. J. of Chromatography. A., 753. p. 151 – 155.

Ibachi, et al (2001), “Termite and fungal resistance of in situpolymerized tributyltin acrylate and acetylated Indonesian and USA wood” The International Research Group On Wood Preservation. IRG/WP 00-30219. US Departement of Agriculture, Forest Service, Forest Products Laboratory One Gifford Pinchot Drive Madison, Wisconsin USA 53705-2398

Jenicca Kjallstrand, Olle Rammas, Goran Peterson (1998) “Gas Chromatographic and mass spectrometric analysis of 36 lignin-related methoxyphenols from uncontrolled combustion of wood”. J. of Cromatography A. 824 : 205-210.

Karagnoze (2004), “Effect of Rb and Cs Carbonates for Production of Phenols from Liquifaction of Wood Biomass”. J. Fuel. 83 (2004) 2293 – 2299 Lubis (1994), “ Prospek Industri dengan Bahan Baku Limbah Padat Kelapa

Sawit di Indonesia”. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit Medan.

Maga (1987), “Smoke in Food Processing”. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida.

Nihat S. Cetin, Nilgul Ozman (2002). “Use of organosol lignin in phenol-formaldehyde resins for particleboard production”. International Journal Adhesion & Adhesives 22 : 477-480

Prayitno , T., A., (1995), “Bentuk Batang dan Sifat fisika Kelapa Sawit”. Laporan Penelitian Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta

P.A. Atkinson et.al. (2001) “The mechanism of action of tin compounds as flame retardants and smoke suppreseant for polyester thermosets” J. Polymer Degradation and Stability. 71 : 351-360

Prayitno, T., A., Darnoko, (1994), ” Karakteristik Papan Partikel dari Pohon Kelapa Sawit”. Berita PPKS.


(54)

Pszczola (1995), “Tour Highlights Production and Uses of Smoke Based Flavours”. Food Techn. 49 (1) : 70-74.

Rebecca E. Ibach (1999) “Wood Preservation”. Forest Products Laboratory. Wood Handbook – wood as an enginering material. Gen. Tech. Rep. FPL – GTR – 133. Madision WI : U.S. Departement of Agriculture, Forest Service.

Robbet G. Schmidet, Charles E. Frazier. (1998). “Network Characterization of Phenol formaldehyde thermosetting wood adhesives”. J. International Journal Adhesion & Adhesives 18 : 139 – 146.

Roehyati, J.., (1995) “Prospek Pemanfaatan Lignoselulosa Sebagai Bahan Polimer”. In ProsidingSimposium Nasional Polimer, Jakarta, 11-12 Juli 1995.

Sandip D. Desai, Jigar V, Patel, Vijay Kumar Sinha (2003) “Polyurethane Adhesive system from biomaterial-based polyol for bonding wood”. J. International Journal Adhesion & Adhesive 23 : 293-399.

Seymour (1984), “Structure-Property Relation ship in Polimer”. Plenum Press, New York.

Sjostron (1984), “Kimia Kayu Dasar dan Penggunaan”. Edisi Kedua, UGM Press, Yogyakarta.

Suranto, Yustinius, (2002), “Pengawetan Kayu”. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Suwartono, (2001). ”Karakteristik Sifat Fisik dan Sifat Mekanik Kayu Kelapa

Sawit”. USU, Medan

Tasciouglu. C., (2002). “Bound Durability Characterization of Preservative Treated wood and e-glass/Phenolic Composite Interfices”. Abant Izzet Baysal University, Duzce. Turkey.

Tommimura (1992), “Chemical Charateristic of Oil Palm Trunk”. Japan Agric. Tranggono, dkk (1996). “Identifikasi Asap Cair dari berbagai jenis kayu dan

tempurung kelapa”. Seminar Nasional Pangan dan Gizi & Kongres PATPI di Yogyakarta, 10-11 Juni 1996.

Wirjesontono (1996), “Struktur dan Sifat Mekanis Polimer”. Intan Dirja Lela Press, Medan


(55)

Lampiran I. Bagan Alir Prosedur Penelitian

Kayu Kelapa Sawit

Dipotong sesuai ASTM Dikeringkan pada 400C

KKS ukuran tertentu dan berat konstan

Pengasapan

Destilasi pada suhu 100 – 400 0 C

Diasapkan Direndam dengan Fenol Over night

Monomer Reaktif

Katalis Hasil dianalisa dengan

GC - MS

Sampel KKS

Sampel dianalisa

Hasil Reaksi Dikarakterisasi


(56)

Lampiran 2. Gambar Alat Pembuatan Asap Cair Dengan Kondensasi - Absorbsi

Pipa Penyalur Asap Pengukur

Suhu Pengukur

Suhu

Kolom Pendingin Penangkap

Tar Kolom

Pendingin Gas Sisar Dapur Pemanas Listrik Reaktor Kolom Absorbsi Penampung Tar Dudukan Penyangga Penampung Hasil

Lampiran 3. Data Pengukuran MOR dan MOE KKS Bagian Pinggir (P), Tengah (T) dan inti (I) Setelah Impregnasi dengan Berbagai Pelarut.

MOR MOE

Bagian Pelarut

Kg/cm2 Kg/cm2

Formaldehid 264 20732

Asap Cair 342 35429

P

Asap Cair-Formaldehid (1:4) 587 54760

Formaldehid 285 11723

Asap Cair 310 13571

T

Asap Cair-Formaldehid (1:4) 380 18984

Formaldehid 135 8860

Asap Cair 141 9248

I


(57)

Lampiran 4. Tabel Kekuatan Kayu Bangunan dalam Keadaan Kering Udara

Modulus Elastisitas Lentur Patah Tekan Sejajar Tekan Tegak lurus Serat Kelas Kuat Berat Jenis

(ribuan) Kg/cm2 Kg/cm2 serat Kg/cm2

Kg/cm2

I >0,9 >161 >1221 >630 >171

II 0,6 - 0,9 112 795 411 114

III 0,4 - 0,6 75 437 266 76

IV 0,3 - 0,4 56 278 193 57

V <0,3 <56 <278 <193 <57

Lampiran 5. Data Pengukuran Modulus Patah (MOR) Rata-Rata Kayu Kelapa Sawit (KKS) Kering

Beban No Spesimen Tebal rata-rata

KKS kering (cm) Lebar rata-rata KKS kering (cm) Jarak Sanggah (cm) Jarak Defleksi (cm) Min (Kg) Maks (Kg) Modulus patah (MOR) rata-rata KKS kering (Kg/cm2)

1 Pinggir (P) 0,91 2,4 12 0,3 19,7 24,00 217

2 Tengah (T) 0,93 2,4 12 0,3 12,7 22,37 194

3 Inti (I) 0,93 2,4 12 0,3 9,6 14,30 127

Lampiran 6. Data Pengukuran Modulus Elastisitas (MOE) Rata-Rata Kayu Kelapa Sawit (KKS) Kering

Beban No Spesimen Tebal rata-rata

KKS kering (cm) Lebar rata-rata KKS kering (cm) Jarak Sanggah (cm) Jarak Defleksi (cm) Min (Kg) Maks (Kg) Modulus elastisitas (MOR) rata-rata KKS kering (Kg/cm2)

1 Pinggir (P) 0,91 2,4 12 0,3 19,7 24,00 15685

2 Tengah (T) 0,93 2,4 12 0,3 12,7 22,37 9473


(58)

Lampiran 7. Spektrum FT-IR Kayu Kelapa Sawit (KKS)


(59)

Lampiran 9. Spektrum FT-IR KKS Setelah Impregnasi dengan Asap Cair

Lampiran 10. Spektrum FT-IR KKS Setelah Impregnasi dengan Asap Cair dengan Formaldehid Perbandingan 1:4.


(60)

Lampiran 11. Data Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan Standar 2 ppm.

Panjang Gelombang (nm) Absorbansi

720 0.0213

730 0.0213

740 0.0217

750 0.0236

760 0.0228

770 0.0229

780 0.021

790 0.0209

Lampiran 12. Data Penentuan Waktu Operasi Larutan Standar Fenol 2 ppm

Waktu (menit) Absorbansi

10 0.0209

15 0.0210

20 0.0235

25 0.0233

30 0.0225

Lampiran 13. Data Penentuan Kurva Kalibrasi Larutan Standar Fenol 2 ppm

Konsentrasi (ppm) Absorbansi

0 0.000

2 0.023

4 0.042

6 0.062

8 0.083


(61)

Lampiran 14. Data Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asap Cair Panjang Gelombang (nm) Absorbansi

400 0.0422

410 0.0421

420 0.0432

430 0.0433

440 0.0435

450 0.0425

460 0.0437

470 0.0420

480 0.0434

490 0.0436

500 0.0438

510 0.0442

520 0.0440

530 0.0437

540 0.0437

550 0.0429

560 0.0428

570 0.0427

580 0.0423

590 0.0419

600 0.0419

Lampiran 15. Data Penentuan Waktu Operasi Asap Cair

Waktu (menit) Absorbansi


(62)

10 0.0430

15 0.0417

20 0.0417

25 0.0410

Lampiran 16. Data Penentuan Kadar Keasaman Asap Cair Pada Berbagai Suhu

Berat Sampel Volu me NaOH 0,01 N (mL) Kadar Keasaman No Suhu (oC)

(g) V1 V2 V3 V (%)

1 50-70 0.9272 5.33 5.35 5.32 5.33 0.3649 2 70-90 0.9274 6.66 6.64 6.65 6.65 0.4551 3 90-100 0.9286 7.66 7.63 7.64 7.64 0.5222 4 100-130 0.9285 1.01 1.02 1.01 1.01 0.0690 5 130-150 0.9237 1.66 1.67 1.67 1.66 0.1136 6 150-170 0.9275 2.01 2.02 2.02 2.01 0.1375 7 170-190 0.9284 1.66 1.66 1.66 1.66 0.1135 8 190-210 0.9276 2.33 2.35 2.36 2.34 0.1601

Lampiran 17. Data Penentuan Kadar Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada Berbagai Suhu

Kadar Keasaman

Suhu Berat

Sampel Absorbansi

Turunan Fenol No

(oC) (g) A1 A2 A3 A (%)

1 50-70 0.9294 0.184 0.183 0.185 0.184 1.9725 2 70-90 0.9202 0.26 0.257 0.255 0.2573 2.7961


(63)

3 90-100 0.9246 0.267 0.268 0.265 0.2666 2.8841 4 100-130 0.9235 0.275 0.274 0.277 0.2753 2.9824 5 130-150 0.9186 0.334 0.334 0.332 0.3333 3.6343 6 150-170 0.9227 0.357 0.354 0.356 0.3556 3.8616 7 170-190 0.9215 0.261 0.259 0.257 0.259 2.8107 8 190-210 0.9205 0.278 0.286 0.284 0.2856 3.1049

Lampiran 18. Grafik Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan Standar Fenol 2 ppm

0.0205 0.021 0.0215 0.022 0.0225 0.023 0.0235 0.024

710 720 730 740 750 760 770 780 790 800

Panjang Gelombang (nm)

Ab

so

rb

a

n

si

Lampiran 19. Grafik Penentuan Waktu Operasi Larutan Standar Fenol 2ppm

0.022 0.0225

so

rb

a

n

s 0.023

0.0235 0.024


(64)

Lampiran 20. Grafik Penentuan Kurva Larutan Standar Fenol

Lampiran 14. Grafik Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asap Cair Dari Cangkang Kelapa Sawit Sawit.

0.000 0.020 0.040 0.060 0.080 0.100 0.120

0 2 4 6 8 10 1

Konsentrasi (ppm)

Ab

so

rb

2

si

a

n

Lampiran 21. Grafik Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asap Cari dari Cangkang Kelapa Sawit.

Lampiran 15. Grafik Penentuan Waktu Operasi Asap Cair Dari Cangkang Kelapa Sawit 0.0415 0.042 0.0425 0.043 0.0435 0.044 0.0445

390 410 430 450 470 490 510 530 550 570 590 610

Panjang Gelombang (nm)

A

r

si

b

an

b

so


(65)

Lampiran 22. Grafik Penetuan Waktu Operasi Asap Cair dari Cangkang Kelapa Sawit.

Lampiran 23. Data Proses Pembuatan Asap Cair Dari Cangkang Kelapa Sawit. No Waktu (menit) Suhu(oC) Volume asap cair (mL)

1 26 50-70 750

2 38 70-90 240

3 48 90-100 140

4 65 100-130 210

5 80 130-150 90

6 90 150-170 198

7 112 170-190 180

0.0405 0.041 0.0415 0.042 0.0425 0.043 0.0435

0 5 10 15 20 25 30

Waktu Ope ras i (me nit)

Ab

so

rb

a

n


(66)

8 122 190-210 130

Rendemen Hasil =

g mL 10000 1938

x 100% = 19,38 %

Lampiran 24. Diagram Waktu Pembuatan Asap Cair Pada Berbagai Suhu

Lampiran 25. Diagram Volume Asap Cair Pada Berbagai Suhu

Lampiran 26. Data Penentuan Kadar Keasaman Asap Cair Pada Berbagai Suhu

No Suhu (oC) Kadar keasaman (%)

1 50-70 0.3649

2 70-90 0.4551

3 90-100 0.5222

4 100-130 0.0690

5 130-150 0.1136

0 20 40 60 80 100 120 140

1 2 3 4 5 6 7 8

Suhu(oC)

W a kt u ( m en it ) Keterangan :

1 = 50-70 oC 2 = 70-90 oC 3 = 90-110 oC 4 = 110-130 oC 5 = 130-150 oC 6 = 150-170 oC 7 = 170-190 oC 8 = 190-210 oC

200 Vo 100 0 300 400 500 600 700 800

1 2 3 4 5 6 7 8

Suhu (oC)

lu m e ( m L ) Keterangan :

1 = 50-70 oC 2 = 70-90 oC 3 = 90-110 oC 4 = 110-130 oC 5 = 130-150 oC 6 = 150-170 oC 7 = 170-190 oC 8 = 190-210 oC


(67)

6 150-170 0.1375

7 170-190 0.1135

8 190-210 0.1601

Lampiran 27. Diagram Kadar Keasaman Asap Cair Pada Berbagai Suhu

Lampiran 28. Analisis Kual tati if Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada Berbagai Suhu

Suhu (oC) Warna yang dihasilkan

50-70 Coklat

70-90 Biru kehijauan

90-100 Hijau

100-130 Hijau

130-150 Hijau

150-170 Hijau

170-190 Hijau

190-210 Hijau

Lampiran 29. Data Kadar Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada Berbagai Suhu

No Suhu

(oC)

Kadar Senyawa Turunan Fenol (%)

1 50-70 1.9725

0 0.1 K a d 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 6

Suhu(oC)

a r K eas am an ( % )

1 2 3 4 5 7 8

Keterangan :

1 = 50-70 oC 2 = 70-90 oC 3 = 90-110 oC 4 = 110-130 oC 5 = 130-150 oC 6 = 150-170 oC 7 = 170-190 oC 8 = 190-210 oC


(68)

2 70-90 2.7961

3 90-100 2.8841

4 100-130 2.9824

5 130-150 3.6343

6 150-170 3.8616

7 170-190 2.8107

8 190-210 3.1049

Lampiran 30. Diagram Kadar Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada Berbagai Suhu

Lampiran 31. Data Nilai Indeks Pencoklatan Asap Cair Pada Berbagai Suhu

No Suhu (oC) Absorbansi

1 50-70 0.0440

2 70-90 0.0439

3 90-100 0.0430

4 100-130 0.0437

5 130-150 0.0442

0.5 1 K a T ur 0 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5

1 2 3 4 5 6 7 8

Suhu (oC)

da r Se ny a w a una n F e n o l ( % ) Keterangan :

1 = 50-70 oC 2 = 70-90 oC 3 = 90-110 oC 4 = 110-130 oC 5 = 130-150 oC 6 = 150-170 oC 7 = 170-190 oC 8 = 190-210 oC


(69)

6 150-170 0.0441

7 170-190 0.043

8 190-210 0.0439

Lampiran 32. Diagram Indeks Pencoklatan Asap Cair Pada Berbagai Suhu.

Lampiran 33. Senyawa Dalam Asap Cair Pada Suhu 190-210 oC

No Nama Senyawa Kimia

1 Asam asetat

2 Asam propanoat

3 Fenol

0.0420 0.0425

N

ila

0.0430 0.0435 0.0440 0.0445

1 2 3 4 5 6 7 8

Suhu (oC)

ek

s P

en

co

k

la

ta

n

i I

n

d

Keterangan :

1 = 50-70 oC 2 = 70-90 oC 3 = 90-110 oC 4 = 110-130 oC 5 = 130-150 oC 6 = 150-170 oC 7 = 170-190 oC 8 = 190-210 oC


(70)

Lampiran 34. Kromatogram Senyawa Fenol


(1)

Lampiran 22. Grafik Penetuan Waktu Operasi Asap Cair dari Cangkang Kelapa Sawit.

Lampiran 23. Data Proses Pembuatan Asap Cair Dari Cangkang Kelapa Sawit. No Waktu (menit) Suhu(oC) Volume asap cair (mL)

1 26 50-70 750

2 38 70-90 240

3 48 90-100 140

4 65 100-130 210

5 80 130-150 90

6 90 150-170 198

0.0405 0.041 0.0415 0.042 0.0425 0.043 0.0435

0 5 10 15 20 25 30

Waktu Ope ras i (me nit)

Ab

so

rb

a

n


(2)

Lampiran 24. Diagram Waktu Pembuatan Asap Cair Pada Berbagai Suhu

Lampiran 25. Diagram Volume Asap Cair Pada Berbagai Suhu

Lampiran 26. Data Penentuan Kadar Keasaman Asap Cair Pada Berbagai Suhu

No Suhu (oC) Kadar keasaman (%)

1 50-70 0.3649

2 70-90 0.4551

3 90-100 0.5222

4 100-130 0.0690

5 130-150 0.1136

0 20 40 60 80 100 120 140

1 2 3 4 5 6 7 8

Suhu(oC)

W a kt u ( m en it ) Keterangan :

1 = 50-70 oC 2 = 70-90 oC 3 = 90-110 oC 4 = 110-130 oC 5 = 130-150 oC 6 = 150-170 oC 7 = 170-190 oC 8 = 190-210 oC

200 Vo 100 0 300 400 500 600 700 800

1 2 3 4 5 6 7 8

Suhu (oC)

lu m e ( m L ) Keterangan :

1 = 50-70 oC 2 = 70-90 oC 3 = 90-110 oC 4 = 110-130 oC 5 = 130-150 oC 6 = 150-170 oC 7 = 170-190 oC 8 = 190-210 oC


(3)

7 170-190 0.1135

8 190-210 0.1601

Lampiran 27. Diagram Kadar Keasaman Asap Cair Pada Berbagai Suhu

Lampiran 28. Analisis Kual tati if Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada Berbagai Suhu

Suhu (oC) Warna yang dihasilkan

50-70 Coklat

70-90 Biru kehijauan

90-100 Hijau

100-130 Hijau

130-150 Hijau

150-170 Hijau

170-190 Hijau

190-210 Hijau

Lampiran 29. Data Kadar Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada Berbagai Suhu

No Suhu

(oC)

Kadar Senyawa Turunan Fenol (%) 0

0.1

K

a

d

0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

6 Suhu(oC)

a

r K

eas

am

an

(

%

)

1 2 3 4 5 7 8

Keterangan :

1 = 50-70 oC 2 = 70-90 oC 3 = 90-110 oC 4 = 110-130 oC 5 = 130-150 oC 6 = 150-170 oC 7 = 170-190 oC 8 = 190-210 oC


(4)

4 100-130 2.9824

5 130-150 3.6343

6 150-170 3.8616

7 170-190 2.8107

8 190-210 3.1049

Lampiran 30. Diagram Kadar Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada Berbagai Suhu

Lampiran 31. Data Nilai Indeks Pencoklatan Asap Cair Pada Berbagai Suhu

No Suhu (oC) Absorbansi

1 50-70 0.0440

2 70-90 0.0439

3 90-100 0.0430

4 100-130 0.0437

0.5 1

K

a

T

ur

0 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5

1 2 3 4 5 6 7 8

Suhu (oC)

da

r

Se

ny

a

w

a

una

n F

e

n

o

l (

%

)

Keterangan :

1 = 50-70 oC 2 = 70-90 oC 3 = 90-110 oC 4 = 110-130 oC 5 = 130-150 oC 6 = 150-170 oC 7 = 170-190 oC 8 = 190-210 oC


(5)

7 170-190 0.043

8 190-210 0.0439

Lampiran 32. Diagram Indeks Pencoklatan Asap Cair Pada Berbagai Suhu.

Lampiran 33. Senyawa Dalam Asap Cair Pada Suhu 190-210 oC

No Nama Senyawa Kimia

1 Asam asetat

2 Asam propanoat

3 Fenol

0.0420 0.0425

N

ila

0.0430 0.0435 0.0440 0.0445

1 2 3 4 5 6 7 8

Suhu (oC)

ek

s P

en

co

k

la

ta

n

i I

n

d

Keterangan :

1 = 50-70 oC 2 = 70-90 oC 3 = 90-110 oC 4 = 110-130 oC 5 = 130-150 oC 6 = 150-170 oC 7 = 170-190 oC 8 = 190-210 oC


(6)