24 rakyat bisa berperan secara jujur dan wajar dalam upaya menyuarakan kepentingan
rakyat.
5.3. Permasalahan Hak Pilih Dalam Pemilu 2009
Golput terdiri atas dua genre: golput politis dan golput teknis. Terhadap mereka yang golput karena pilihan politik, karena menganggap pemilu tidak berguna, hanya
memboroskan anggaran negara, sekadar sarana bagi partai politik dan calon legislator untuk menyampaikan janji-janji kosong yang langsung dilupakan ketika telah
melenggang ke kursi parlemen. Di negeri ini, menggunakan hak memilih casting vote masih dikonstruksikan sebagai sekadar hak, belum menjadi kewajiban sebagaimana
halnya di Australia. Namun, bagi yang golput karena soal teknis administratif, yaitu tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap DPT, soal ini harus dicari akar masalah dan
solusinya. Untuk menggunakan hak memilih, pemilih harus didaftar, yang kewajibannya
dibebankan kepada penyelenggara pemilu KPU dan jajarannya. Model pendaftaran yang dianut dalam UU Pemilu ada stelsel pasif. Suka atau tidak, semua warga negara
yang telah memenuhi syarat akan didaftar. Hal ini membedakan dengan praktek di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang menggunakan stelsel
aktif. Untuk menggunakan haknya, warga negara yang memenuhi syarat harus mendaftarkan diri secara aktif. Penyelenggara pemilu tidak akan memberikan surat suara
kepada pemilih yang tidak mendaftar.
20
Bila ada warga negara yang memenuhi syarat tidak terdaftar, KPU patut disalahkan. KPU bisa dipersepsikan telah melalaikan kewajiban untuk mendaftar semua
20
Ibid
Universitas Sumatera Utara
25 pemilih yang berhak memilih. Namun, sejak zaman otoriter hingga demokratis hingga
saat ini, data penduduk selalu bermasalah. Birokrasi pemerintahan tidak bekerja untuk mendata penduduk secara lengkap dan valid, yang akan digunakan dalam setiap pemilu.
Padahal, pemilu adalah sesuatu yang bisa diprediksi waktunya. Terlebih Indonesia mengatur sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer di mana pemilu bisa
diadakan sewaktu-waktu. Persoalan administrasi kependudukan dan pendataan pemilih mencerminkan
belum bagusnya sistem pengelolaan potensi penduduk Indonesia. Padahal, validitas data pemilih juga menjadi indikator terhadap integritas pemilu di Indonesia.
21
Sejak awal reformasi sudah kerap kita dengar beragam rencana pembenahan administrasi kependudukan. Kita juga pernah mendengar rencana komputerisasi data
kependudukan dan pemberlakuan nomor identitas tunggal bagi setiap penduduk. Nyatanya, dalam perkara ini kita tak beranjak maju.
Jika data pemilih tidak valid, tidak akurat, kemungkinan pemilih dalam menjalankan hak
memilihnya menjadi semakin rendah. Karena itu, legitimasi politik dalam pemilu sangat dipertaruhkan di sini.
22
Mungkin puluhan atau ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka pemegang kartu tanda penduduk dan terdaftar sebagai penduduk. Namun, mereka kehilangan hak pilih
karena nama mereka tak tertera dalam daftar pemilih tetap. Sebagian dari mereka datang ke tempat pemungutan suara pada 9 April lalu sambil membawa bukti-bukti identitas
21
Indonesia on time.com, Data Pemilih Pengaruhi Partisipasi Pemilih dalam Pemilu, Diakses, Jumat 24 April 2009
22
Eep Saifulloh Fatah, Dosa-Dosa Besar Pemilu 2009, www.kompasonline.com
, diakses pada Jumat Tanggal 24 April 2009
Universitas Sumatera Utara
26 kependudukan. Tetapi, aturan melarang mereka menggunakan hak pilih mereka.
Halangan administrasi merenggut hak-hak politik mereka, mereka terabaikan.
23
Secara teoriotis, ada dua penjelasan teori mengapa seseorang tidak ikut memilih dalam pemilihan. Penjelasan pertama bersumber dari teori-teori mengenai perilaku
pemilih voter behavior. Penjelasan ini memusatkan perhatian pada individu. Besar kecilnya partisipasi pemilih voting turnout dilacak pada sebab-sebab dari individu
pemilih. Ada tiga teori besar yang menjelaskan mengapa seseorang tidak memilih ditinjau dari sudut pemilih ini. Pertama, teori sosiologis. Seseorang tidak ikut dalam
pemilihan dijelaskan sebagai akibat dari latar belakang sosiologis tertentu, seperti agama, pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya.
5.4.Golput Tinjauan Teoritis
24
23
Ibid
24
Di tiap wilayah atau negara faktor sosiologis ini akan memberi dampak berbeda. Di Amerika, orang yang berpendidikan tinggi relatif lebih peduli dengan pemilihan dan cenderung menggunakan hak pilihnya,
dibandingkan dengan warga yang berpendidikan rendah. Sebaliknya di negara-negara berkembang seperti di India atau Indonesia, masyarakat berpendidikan rendah justru yang lebih aktif berpartisipasi dalam
pemilihan. Kelompok masyarakat terdidik di kota justru mempunyai tingkat partisipasi lebih rendah.
Faktor jenis pekerjaan juga dinilai bisa mempengaruhi keputusan orang ikut pemilihan atau tidak. Kedua, teori psikologis.
Keputusan seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh kedekatan dengan partai atau kandidat yang maju dalam pemilihan. Makin dekat seseorang dengan partai
atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan seseorang terlibat dalam pemilihan. Ketiga, teori ekonomi politik. Teori ini menyatakan keputusan untuk memilih atau tidak
dilandasi oleh pertimbangan rasional, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan lebih baik. Atau ketidakpercayaan masalah akan bisa
Universitas Sumatera Utara
27 diselesaikan jika pemimpin baru terpilih, dan sebagainya. Pemilih yang tidak percaya
dengan pemilihan akan menciptakan keadaan lebih baik, cenderung untuk tidak ikut memilih.
Selain teori yang memusatkan perhatian pada individu pemilih, fenomena voting turnout juga bisa dijelaskan dengan teori dari sisi struktur. Di sini besar kecilnya
partisipasi pemilih tidak diterangkan dari sudut pemilih, tetapi dari struktur atau sistem suatu negara. Paling tidak ada tiga penjelas yang umum dipakai oleh pengamat atau ahli.
Pertama, sistem pendaftaran registrasi pemilih. Untuk bisa memilih, umumnya calon pemilih harus terdaftar sebagai pemilih terlebih dahulu. Kemudahan dalam pendaftaran
pemilih bisa mempengaruhi minat seseorang untuk terlibat dalam pemilihan. Sebaliknya, sistem pendaftaran yang rumit dan tidak teratur bisa mengurangi minat orang dalam
pemilihan.
25
Kedua, sistem kepartaian dan pemilihan umum suatu negara. Sejumlah penelitian menunjukkan, sistem dua partai relatif bisa mengurangi tingkat partisipasi pemilih.
Motivasi pemilih untuk ikut memilih bisa surut ketika partai atau calon yang maju dalam pemilihan tidak ada yang disukai. Sebaliknya negara yang menganut sistem multipartai
relatif bisa memancing partisipasi pemilih yang lebih tinggi. Hal ini karena pemilih lebih punya banyak pilihan dan alternatif. Sejumlah penelitian juga menunjukkan, sistem
25
Secara umum ada dua sistem registrasi pendaftaran pemilih. Pertama, sistem yang mewajibkan pemilih untuk mendaftar. Di sini negara secara aktif akan mendaftar pemilih yang mempunyai syarat sebagai
pemilih. Kedua, sistem yang membebaskan pemilih untuk mendaftar atau tidak sebagai pemilih. Pemilih punya hak untuk menolak didaftar sebagai pemilih jika tidak menginginkannya. Sistem yang pertama akan
menghasilkan partisipasi pemilih voting turnout yang tinggi. Misalnya di Prancis. Warga yang berumur 18 tahun secara otomatis akan didaftar sebagai pemilih. Tidak mengherankan jikalau Prancis adalah salah
satu negara yang mempunyai tingkat voting turnout lumayan tinggi. Rata-rata voting turnout dalam sejumlah pemilihan umum di Prancis adalah 76. Dikutip dari http:en.wikipedia.orgwikiVoter_turnout.
Lihat juga Rafael Lopez Pintor and Maria Gratschew,” Voter Registration and Inclusive Democracy: Analysing Registration Practices Worldwide” dalam IDEA, Voter turnout Since 1945: A Global Report,
2002
Universitas Sumatera Utara
28 proporsional lebih membuat partsipasi pemilih lebih tinggi dibandingkan dengan
pemilihan sistem distrik. Keterwakilan proporsional pada umumnya dipercaya dapat meningkatkan kehadiran pemilih karena semua partai dapat meningkatkan keterwakilan
mereka
26
Ketiga, sifat pemilihan. Apakah pemilihan itu merupakan hak atau kewajiban bagi warga negara. Ada negara yang menganut paham bahwa pemilihan umum adalah hak
bagi warga negara, karenanya warga bisa memilih dan bisa juga tidak memilih. Tidak ada hukuman bagi warga negara yang tidak ikut memilih. Tetapi ada juga negara yang
memandang pemilihan umum sebagai kewajiban dari warga negara. Warga diwajibkan untuk ikut pemilihan dan jika tidak ikut akan mendapat hukuman. Bentuk hukuman ini
bermacam-macam—dari hukuman denda, penambahan pajak hingga ancaman tidak mendapat jaminan atau asuransi dari negara.
.
27
Negara yang menerapkan hukuman bagi warga yang tidak terlibat dalam pemilihan bisa dipastikan mempunyai tingkat partisipasi
pemilih yang tinggi.
26
Dalton, Russel J. dan Martin P. Wattenberg, “ The Not So Simple Act of Voting” dalam Ada W. Finifter ed, Political Science: The State of The Discipline, Washington, American Political Science
Association, 1993.
27
Salah satu contoh adalah Australia. Rata-rata tingkat voter turnout di Australia adalah 95— Australia dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat partisipasi pemilih paling tinggi di dunia. Australia
menerapkan hukuman denda bagi pemilih yang tidak ikut memilih. Hukuman ini bisa berujung penjara jika calon pemilih ini tidak membayar denda yang harus dibayar. Australia bukan satusatunya negara yang
menerapkan denda bagi warga yang tidak ikut memilih. Swis, Austria, Ciprus, Argentina, Peru adalah contoh negara lain yang menerapkan hukuman denda. Selain hukuman, mekanisme lain untuk
“mewajibkan” pemilih datang di hari pemilihan adalah memberikan surat keterangan. Surat keterangan ini dipakai ketika seseorang melamar pekerjaan terutama di kantor-kantor pemerintah. Di Belgia dan Mexico,
pemilih yang tidak ikut pemilihan tanpa alasan jelas, bisa dipastikan akan kesulitan mendapat pekerjaan di kantor pemerintah. Kesulitan yang sama juga dialami ketika mengurus surat dan dokumen dari kantor
pemerintah. Semua negara yang mewajibkan warga negaranya ikut memilih ini, dikenal mempunyai tingkat voter turnout tinggi. Lihat Maria Gratschew,”Compulsory Voting”, dalam IDEA, Voter turnout Since
1945: A Global Report, 2002.
Universitas Sumatera Utara
29
5.5. Perilaku Golongan Putih