ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG NOMOR 780/PID/B/2010/PNTK TENTANG TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA

(1)

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG NOMOR 780/PID/B/2010/PNTK TENTANG TINDAK PIDANA

PSIKOTROPIKA

Oleh

RINALDI SURYA CAESARIO

Ancaman bahaya penyalahgunaan psikotropika merupakan ancaman nasional yang perlu ditanggulangi sedini mungkin karena akan merusak kehidupan masyarakat yang pada akhirnya akan membahayakan stabilitas nasional bahkan mengancam pertahanan dan keamanan negara. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana psikotropika? (2) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika? Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana psikotropika. (2) Untuk mengetahui dasar-dasar yang menjadi pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Responden penelitian adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan dan selanjutnya data dianalisis secara kualitatif

Berdasarkan analisis terhadap Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika maka dapat disimpulkan: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pengedar psikotropika didasarkan pada unsur kesengajaan (dolus), yaitu pelaku mengetahui bahwa perbuatannya melanggar hukum dan dengan sengaja mengedarkan psikotropika maka ia harus mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut di depan hukum. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan terdakwa terdiri atas tiga syarat, yaitu kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkannya terdakwa, adanya perbuatan melawan hukum, yaitu suatu sikap psikis terdakwa yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu perbuatannya disengaja dan tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa. Sebagai pertanggungjawaban pidananya, terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda


(2)

Rinaldi Surya Caesario

Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan bahwa jika denda tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 2 (dua) bulan kurungan. (2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pengedar psikotropika terdiri dari hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa dapat merusak generasi bangsa dan hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas segala perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum dan terdakwa mempunyai keluarga.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pada masa mendatang hendaknya pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pengedar psikotropika berorientasi pada pembinaan kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada bagaimana mengembalikan pelaku pengedar psikotropika untuk tidak mengulangi tindak pidana di masa-masa yang akan datang. (2) Pertanggungjawaban pidana bagi para pengguna (bukan pengedar) hendaknya lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi agar pencandu tersebut setelah direhabilitas akan dapat kembali dan diterima dalam kehidupan masyarakat secara baik serta tidak mengulangi tindak pidana yang merugikan dirinya sendiri maupun masyarakat.


(3)

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum. Hukum merupakan sarana bagi pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya. Dalam hal ini ada hubungannya dengan asas legalitas, yang mana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur dalam undang-undang, maka bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan larangan tersebut sudah diatur dalam undang-undang, maka bagi para pelaku dapat dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan perbuatan tersebut.

Setiap warga negara wajib menjunjung tinggi dan menaati hukum, namun dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus mempertanggung


(4)

2

jawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum. Tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dan patut dipidana sesuai dengan kesalahannya sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan (Andi Hamzah, 2001: 12).

Hukum dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat, dengan maksud agar hukum dapat berjalan sebagaimana dicita-citakan oleh masyarakat itu sendiri, yakni menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Orang yang melakukan tindak pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan normatif mengenai dilakukannya suatu tindak pidana.

Salah satu tindak pidana yang terjadi di wilayah hukum Indonesia adalah penyalahgunaan psikotropika. Secara umum permasalahan psikotropika dapat dibagi menjadi tiga bagian yang saling terkait, yakni adanya produksi gelap, perdagangan gelap psikotropika dan penyalahgunaan psikotropika. Ancaman bahaya penyalahgunaan psikotropika merupakan ancaman nasional yang perlu ditanggulangi sedini mungkin karena merupakan ancaman terhadap peradaban manusia yang pada akhirnya akan membahayakan stabilitas nasional bahkan mengancam pertahanan dan keamanan negara. Ancaman penyalahgunaan obat-obatan terlarang tersebut dapat menjadi hambatan bagi kelancaran pembangunan,


(5)

khususnya pembangunan sumber daya manusia, sehingga perlu ditanggulangi oleh pemerintah maupun masyarakat.

Kecenderungan kejahatan atau penyalahgunaan psikotropika mengalami peningkatan karena pengaruh kemajuan teknologi, globalisasi dan derasnya arus informasi. Selain itu adanya keinginan para pelaku untuk memperoleh keuntungan yang besar dalam jangka waktu cepat dalam situasi ekonomi yang memburuk seperti sekarang ini, diprediksikan akan mendorong munculnya pabrik-pabrik gelap baru dan penyalahgunaan psikotropika lain akan semakin marak di masa mendatang. Kondisi ini menjadi keprihatinan dan perhatian semua pihak baik pemerintah, LSM dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mencari jalan penyelesaian yang paling baik guna mengatasi permasalahan psikotropika ini sehingga tidak sampai merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Psikotropika dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Bahaya penyalahgunaan obat-obatan terlarang berpangkal dari mengkonsumsi bahan atau jenis obat-obatan terlarang harus ditanggulangi. Hal ini disebabkan karena dampak yang ditimbulkan karena penyalahgunaan obat-obatan terlarang akan merusak mental dan fisik individu yang bersangkutan dan dapat meningkat pada hancurnya kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Kejahatan dan penyalahgunaan psikotropika dan psikotropika di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dan telah berada pada ambang mengkhawatirkan apabila tidak segera ditanggulangi melalui penegakan hukum yang tegas dan komprehensif.


(6)

4

Penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan psikotropika memiliki peranan yang besar dalam penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjamin kepentingan mayoritas masyarakat atau warga negara, terjaminnya kepastian hukum sehingga berbagai perilaku kriminal dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan anggota masyarakat atas anggota masyarakat lainnya akan dapat dihindarkan. Dengan kata lain penegakan hukum secara ideal akan dapat mengantisipasi berbagai penyelewengan pada anggota masyarakat dan adanya pegangan yang pasti bagi masyarakat dalam menaati dan melaksanakan hukum. Pentingnya masalah penegakan hukum dalam hal ini berkaitan dengan semakin meningkatnya tindak pidana penyalahgunaan psikotropika.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana penyalahgunaan psikotropika merupakan upaya untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan pidana.

Salah satu contoh kasus tindak pidana penyalahgunaan psikotropika pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang adalah penjatuhan pidana sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika. Pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana biasa dalam peradilan tingkat


(7)

pertama, telah menjatuhkan putusan dalam perkara Terdakwa Hendarsyah Als Agus Baron. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman”, maka perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 112 Ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pengadilan menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan bahwa jika denda tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 2 (dua) bulan kurungan;

Masalah yang melatar belakangi penelitian ini adalah kurang optimalnya penerapan Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, seharusnya setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Sesuai dengan ketentuan pasal di atas terlihat bahwa pelaku dihukum pidana kurungan sangat minimal yaitu 4 (empat) tahun dan denda Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan bahwa jika denda tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 2 (dua) bulan kurungan, padahal ancaman maksimalnya adalah 12 tahun penjara dan denda maksimalnya adalah Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Maknanya adalah terdapat masalah dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK.


(8)

6

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis melakukan penelitian yang berjudul: Analisis Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana psikotropika? b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana

terhadap pelaku tindak pidana psikotropika pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup studi dalam penelitian ini adalah kajian ilmu Hukum Pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana tindak pidana psikotropika dan dasar-dasar yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana psikotropika pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana psikotropika.


(9)

b. Untuk mengetahui dasar-dasar yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana psikotropika pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana psikotropika dan dasar-dasar yang menjadi pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi aparat penegak hukum dalam penegakan hukum. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak-pihak lain yang akan melakukan penelitian mengenai penegakan hukum pidana di masa-masa yang akan datang.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum (Soerjono Soekanto, 1983: 73). Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:


(10)

8

a. Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Barda Nawawi Arif (2003: 35), pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), artinya seseorang yang melakukan kesalahan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Meskipun konsep pertanggungjawaban pidana umumnya berprinsip pada asas kemampuan bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan, namun terdapat pula beberapa asas lain, yaitu pertanggungjawaban pengganti, asas pertanggungjawaban yang ketat dan asas pemberian maaf atau pengampunan oleh hakim.

Pertanggungjawaban pidana ini menuntut adanya kemampuan bertanggung jawab pelaku. Kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normal dan kematangan psikis seseorang yang membawa tiga macam kemampuan yaitu untuk memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri, menyadari bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat; dan menentukan kemampuan/kecakapan terhadap perbuatan tersebut. Kesalahan mempunyai ciri sebagai hal yang dapat dicela, dan pada hakikatnya tidak mencegah kelakukan yang melawan hukum, dengan subtansi sebagai berikut:

(1) Kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan;

(2) Hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatan yang dilakukan yang berbentuk kesengajaan;

(3) Tidak adanya alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan pada pembuat pidana


(11)

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Menurut Barda Nawawi Arif (1996: 112-114), hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa: Seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184). Menurut Pasal 185 Ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan. Ayat (3) menyebutkan ketentuan tersebut tidak berlaku jika disertai suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat 3, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.

Selain itu Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

(1) Kesalahan pelaku tindak pidana

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.


(12)

10

(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum

(3) Cara melakukan tindak pidana

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terdapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

(4) Sikap batin pelaku tindak pidana

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

(5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu memperingan hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).

(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang di atas juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau


(13)

bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur serta mempermudah jalannya persidangan.

(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam penelitian (Soerjono Soekanto, 1983: 112). Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: a. Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan

diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (Lilik Mulyadi, 2007: 15).

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran


(14)

12

norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku (Moeljatno, 1983: 54)

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum (Satjipto Rahardjo, 1996: 26).

d. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika).

F. Sistematika Penulisan

Sistematika yang disajikan agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara keseluruhan diuraikan sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi yaitu pengertian Putusan, Dasar Pertimbangan Hakim, Tindak Pidana Psikotropika.


(15)

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana psikotropika dan dasar-dasar yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK.

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Putusan Hakim

Menurut Lilik Mulyadi (2007: 15), dalam membuat Putusan pengadilan, seorang hakim harus memperhatikan apa yang diatur dalam pasal 197 KUHAP, yang berisikan berbagai hal yang harus dimasukkan dalam surat Putusan. Adapun berbagai hal yang harus dimasukkan dalam sebuah putusan pemidanaan sebagaimana disebutkan dalam pasal 197 KUHAP.

Sistematikan putusan hakim adalah sebagai berikut: 1. Nomor Putusan

2. Kepala Putusan/Irah-irah (Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa)

3. Identitas Terdakwa

4. Tahapan penahanan (kalau ditahan) 5. Surat Dakwaan

6. Tuntutan Pidana 7. Pledooi

8. Fakta Hukum

9. Pertimbangan Hukum

10. Peraturan perundangan yang menjadi dasar pertimbangan 11. Terpenuhinya Unsur-unsur tindak pidana


(17)

12. Pernyataan kesalahan terdakwa

13. Alasan yang memberatkan atau meringankan hukuman 14. Kualifikasi dan pemidanaan

15. Penentuan status barang bukti 16. Biaya perkara

17. Hari dan tanggal musyawarah serta putusan

18. Nama Hakim, Penuntut Umum, Panitera Pengganti, terdakwa dan Penasehat Hukumnya

B. Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia menjadi ciri Negara hukum. Sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh Hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan member kesempatan kepada pihak terdakwa yang diawali oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya (Andi Hamzah, 2001: 97).

Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaiakn perkara pidana. Dengan demikian dapat dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapakan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau kasasi, melakukan grasi, dsb. Sedangkan di pihak lain, apabila ditelaah melalui


(18)

16

visi hakim yag mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan (Lilik Mulyadi, 2007: 119).

Putusan bebas adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan terdakwa yang didakwakan kepadanya jika terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 Ayat (1) KUHAP). Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria dasar pertanyaan (the 4 way test) berupa:

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan? 3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan?

4. Bermanfaatkah putusanku ini? (Lilik Mulyadi, 2007: 136).

Praktiknya walaupun telah bertitiktolak dari sifat/sikap seseorang Hakim yang baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat buah titik pertanyaan tersebut di atas, maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekuranghati-hatian, dan kesalahan. Dalam praktik peradilan, ada saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap tidak diperhatikan hakim dalam membuat keputusan (Soerjono Soekanto, 1983: 125).


(19)

Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig atau null and void) karena kurang pertimbangan hukum (onvoldoende gemotiverd).

Praktik peradilan pidana pada putusan hakim sebelum pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan.

Menurut Lilik Mulyadi (2007: 139-140), teori lain yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim, yaitu dalam mengadili pelaku tindak pidana pemalsuan dokumen, maka proses menyajikan kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori-teori sebagai berikut:

a. Teori koherensi atau kosistensi

Teori yang membuktikan adanya saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain. Atau, saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain (alat-alat bukti yang tertuang dalam Pasal 184


(20)

18

KUHAP). Dalam hal seperti ini dikenal adanya hubungan kausalitas yang bersifatrasional a priori.

b. Teori korespodensi

Jika ada fakta-fakta di persidangan yang saling bersesuaian, misalnya, antara keterangan saksi bersesuaian dengan norma atau ide. Jika keterangan saksi Mr. X menyatakan bahwa pembangunan proyek yang dilakukan oleh Mr. Y tidak melalui proses lelang tetapi dilaksanakan melalui penunjukan langsung Perusahaan Z. Persesuaian antara fakta dengan norma ini terlihat dalam hubungan kuasalitas yang bersifat empirisa pesteriori.

c. Teori utilitas

Teori ini dikenal pula dengan pragmatik, kegunaan yang bergantung pada manfaat (utility), yang memungkinkan dapat dikerjakan (workbility), memiliki hasil yang memuaskan (satisfactory result), misalnya, seseorang yang dituduh melakukan korupsi karena melakukan proyek pembangunan jalan yang dalam kontrak akan memakai pasir sungai, tetapi karena di daerah tersebut tidak didapatkan pasir sungai, lalu pelaksana proyek itu mempergunakan pasir gunung yang harganya lebih mahal. Apakah pelaksanaan proyek itu dapat dipersalahkan melakukan korupsi? Padahal dia tidak memperkaya diri sendiri atau orang lain, bahkan dia merugi kalau memakai pasir gunung. Kasus seperti ini dapat diteropong melalui kacamata teori yang ketiga ini, karena kepentingan umum untuk melayani masyarakat terpenuhi.


(21)

C. Penanggulangan Tindak Pidana

Kebijakan Kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang (Sudarto, 1983: 109).

Menurut E Utrecht dan M. Saleh Djinjang (1982), pelaksanaan dari politik hukum pidana harus melalui beberapa tahap kebijakan yaitu:

1. Tahap Formulasi

Yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat Undang-Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif.


(22)

20

2. Tahap Aplikasi

Yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

3. Tahap Eksekusi

Yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh pembuat Undang-Undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.

Ketiga tahap Penegakan Hukum Pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan


(23)

Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal) maupun non hukum pidana (nonpenal), yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang (Sudarto, 1983: 109).

Selain itu kebijakan kriminal juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial (social policy).Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare policy) dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat (social defence policy). Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan”. Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) menggunakan dua sarana, yaitu:

1. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal.

Sarana penal adalah penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu :

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.


(24)

22

2. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan (Barda Nawawi Arief, 2003: 158).

Berkaitan dengan pentahapan kebijakan, Barda Nawawi Arief (2003: 173) menyebutkan bahwa perwujudan kebijakan melalui tiga tahap:

1. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang.

2. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana oleh pengadilan, dan 3. Tahap pelaksanaan pidana oleh aparat eksekusi pidana.

Dilihat sebagai satu kesatuan proses, maka tahap kebijakan pertama dapat pula disebut sebagai tahap kebijakan legislatif yang merupakan tahap paling strategis. Dari tahap kebijakan legislatif inilah diharapkan adanya suatu garis pedoman untuk tahap-tahap berikutnya. Kebijakan formulasi hukum pidana ini memang sepatutnya dikaji karena merupakan tahap paling strategis dari upaya penanggulangan kejahatan melalui penal policy. Oleh karena itu, kesalahan/ kelemahan kebijakan formulasi dapat dipandang sebagai kesalahan strategis dan oleh karenanya dapat menghambat atau setidak-tidaknya mempengaruhi efektivitas penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (Barda Nawawi Arief, 2003).

Upaya penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare), maka wajar apabila kebijakan atau politik hukum


(25)

pidana merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial(social policy). Kebijakan kriminal dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan merupakan salah satu kebijakan, selain kebijakan-kebijakan pembangunan lainnya (politik sosial).

D. Tindak Pidana Psikotropika

Menurut Andi Hamzah (2001: 42), tindak pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan

Beberapa pasal dalam KUHP yang menyebutkan beberapa jenis tindak pidana adalah sebagai berikut:

1) Setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia(pasal 2 KUHP)

2) Setiap orang Indonesia yang melakukan kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108, dan 131 KUHP (Pasal 4 KUHP)

3) Setiap orang Indonesia yang melakukan kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai


(26)

24

meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia (Pasal 4 KUHP)

4) Setiap orang yang melakukan pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu (Pasal 4 KUHP). 5) Setiap orang yang melakukan salah satu kejahatan yang tersebut dalam

pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal-pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil (Pasal 4 KUHP).

6) Warga negara Indonesia yang berada di luar Indonesia yang melakukan salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451 KUHP (Pasal 5 KUHP).

7) Warga negara Indonesia yang berada di luar Indonesia yang melakukan salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana (Pasal 5 KUHP).

8) Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan pidana (Pasal 55 KUHP).


(27)

9) Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan (Pasal 55 KUHP).

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika).

Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah:

a. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan;

b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika; c. Memberantas peredaran gelap psikotropika

(Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika).

Menurut Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika. Pasal 46 menyatakan bahwa pembinaan diarahkan untuk:


(28)

26

a. Terpenuhinya kebutuhan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan;

b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;

c. Melindungi masyarakat dari segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan dan/atau bahaya atas penyalahgunaan psikotropika; d. Memberantas peredaran gelap psikotropika;

e. Mencegah pelibatan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dalam kegiatan penyalahgunaan dan/atau peredaran gelap psikotropika; dan

f. Mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan teknologi di bidang psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan.

Menurut Dadang Hawari (2002: 7), penyalahgunaan psikotropika adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis Psikotropika secara berkala atau teratur diluar indikasi medis,sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial. Ketergantungan psikotropika adalah keadaan di mana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah psikotropika yang makin bertambah (toleransi), apabila pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom).

Menurut Dadang Hawari (2002: 8), tingkat pemakaian psikotropika adalah: a. Pemakaian coba-coba (experimental use)

Adalah pemakaian psikotropika yang tujuannya ingin mencoba,untuk memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai berhenti pada tahap ini, dan sebagian lain berlanjut pada tahap lebih berat.


(29)

b. Pemakaian sosial/rekreasi (social/recreational use)

Adalah yaitu pemakaian psikotropika dengan tujuan bersenang-senang, pada saat rekreasi atau santai. Sebagian pemakai tetap bertahan pada tahap ini, namun sebagian lagi meningkat pada tahap yang lebih berat

c. Pemakaian Situasional (situasional use)

Adalah pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu seperti ketegangan, kesedihan, kekecewaan, dan sebagainnya, dengan maksud menghilangkan perasaan-perasaan tersebut.

d. Penyalahgunaan (abuse)

Adalah pemakaian sebagai suatu pola penggunaan yang bersifat patologik/ klinis (menyimpang) yang ditandai oleh intoksikasi sepanjang hari, tak mampu mengurangi atau menghentikan, berusaha berulang kali mengendalikan, terus menggunakan walaupun sakit fisiknya kambuh. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan fungsional atau okupasional yang ditandai oleh: tugas dan relasi dalam keluarga tak terpenuhi dengan baik,perilaku agresif dan tak wajar, hubungan dengan kawan terganggu, sering bolos sekolah atau kerja, melanggar hukum atau kriminal dan tak mampu berfungsi secara efektif.

e. Ketergantungan (dependence use)

Adalah telah terjadi toleransi dan gejala putus zat, bila pemakaian psikotropika dihentikan atau dikurangi dosisnya. Agar tidak berlanjut pada tingkat yang lebih berat (ketergantungan), maka sebaiknya tingkat-tingkat pemakaian ini memerlukan perhatian dan kewaspadaan keluarga dan masyarakat, sehingga perlu dilakukan penyuluhan.


(30)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus (Soerjono Soekanto, 1983: 41).

Berdasarkan pengertian tersebut maka pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris digunakan dalam penelitian ini untuk memahami persoalan mengenai Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.


(31)

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

(3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu bahan hukum sekunder berasal dari Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/ pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari internet.


(32)

30

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Soerjono Soekanto (1983: 119), populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

2. Sampel

Menurut Soerjono Soekanto (1983: 121), sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah dua orang hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.


(33)

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Menurut Soerjono Soekanto (1983: 121), analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan.


(34)

32

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.


(35)

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis terhadap Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pengedar psikotropika didasarkan pada unsur kesengajaan (dolus), yaitu pelaku mengetahui bahwa perbuatannya melanggar hukum dan dengan sengaja mengedarkan psikotropika maka ia harus mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut di depan hukum. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan terdakwa terdiri atas tiga syarat, yaitu kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkannya terdakwa, adanya perbuatan melawan hukum, yaitu suatu sikap psikis terdakwa yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu perbuatannya disengaja dan tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pengedar psikotropika terdiri dari hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa dapat merusak generasi bangsa dan hal-hal yang


(36)

60

meringankan yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas segala perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum dan terdakwa mempunyai keluarga.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pada masa mendatang hendaknya pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pengedar psikotropika berorientasi pada pembinaan kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada bagaimana mengembalikan pelaku pengedar psikotropika untuk tidak mengulangi tindak pidana di masa-masa yang akan datang.

2. Pertanggungjawaban pidana bagi para pengguna (bukan pengedar) hendaknya lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi agar pencandu tersebut setelah direhabilitas akan dapat kembali dan diterima dalam kehidupan masyarakat secara baik serta tidak mengulangi tindak pidana yang merugikan dirinya sendiri maupun masyarakat.


(37)

(Skripsi)

Oleh

RINALDI SURYA CAESARIO

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(38)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 7

E. Sistematika Penulisan ... 12

DAFTAR PUSTAKA II TINJAUAN PUSTAKA... 14

A. Putusan Hakim ... 14

B. Dasar Pertimbangan Hakim ... 15

C. Penanggulangan Tindak pidana ... 19

D. Tindak Pidana Psikotropika ... 23

DAFTAR PUSTAKA III METODE PENELITIAN... 28

A. Pendekatan Masalah ... 28

B. Sumber dan Jenis Data ... 28

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 30

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ... 30

E. Analisis Data ... 31 DAFTAR PUSTAKA


(39)

B. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pengedar Psikotropika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor

780/Pid/B/2010/PNTK... 34

C. Dasar-Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK... 48

V PENUTUP... 59

A. Kesimpulan ... 59


(40)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Badra Nawawi. 2003.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.

Hamzah, Andi. 2001.Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Mulyadi, Lilik. 2007.Kekuasaan Kehakiman,Bina Ilmu, Surabaya.

Moeljatno, 1983.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonsesia,Rineka Cipta, Jakarta. Rahardjo, Satjipto. 1996.Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial

dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983.Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika


(41)

Arief, Barda Nawawi. 2003.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.

Hamzah, Andi. 2001.Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Hawari, Dadang, 2002.Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, Fakultas

Kedokteran UI, Jakarta.

Moeljatno, 1993.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonsesia,Rineka Cipta, Jakarta. Mulyadi, Lilik. 2007.Kekuasaan Kehakiman,Bina Ilmu, Surabaya.

Setiadi, Edi. 1997.Permasalahan dan Asas-Asas Pertanggung Jawaban Pidana. Alumni.Bandung.

Sudarto. 1983.Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1983.Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Utrecht, E. dan M. Saleh Djinjang. 1982.Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Pradya Paramitha. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono. 1983.Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika


(43)

i

Oleh

RINALDI SURYA CAESARIO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(44)

ii

Judul Skripsi :ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG NOMOR 780/PID/B/2010/ PNTK TENTANG TINDAK PIDANA

PSIKOTROPIKA

Nama Mahasiswa :RINALDI SURYA CAESARIO No. Pokok Mahasiswa :0642011327

Bagian :Hukum Pidana

Fakultas :Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, SH, MH. NIP. 19611231 198903 1 023

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP.19620817 198703 2 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana,

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP.19620817 198703 2 003


(45)

iii

1. Tim Penguji

Ketua :Tri Andrisman, S.H., M.H. …………...

Sekretaris/Anggota :Diah Gustiniati, S.H., M.H. …………...

Penguji Utama :Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. …………...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003


(46)

iv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 14 April 1988, merupakan putra kelima dari lima bersaudara, buah hati pasangan Bapak Hi. Azwar Djajasinga dan Ibu Hj. Pundari Umar.

Pendidikan formal yang penulis tempuh adalah SD Negeri 2 TELADAN Tanjung Karang Timur Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2000, SLTP Negeri 25 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2003, SMA Negeri 12 Bandar Lampung selesaikan pada tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui Jalur Non SPMB.


(47)

v

Dalam alur kehidupan

manusia mengalami berbagai permasalahan dan setiap permasalahan pasti ada jalan keluar karena Allah SWT tidak akan memberikan cobaan

di luar kemampuan hamba-hambaNya

Orang menjadi dewasa dan bijak dengan terbiasa bersikap, berkata,

atau berpikiran terbaik

Ingat!!! Tua itu pasti tetapi dewasa adalah pilihan

Belajarlah dari pengalaman untuk menempuh masa depan dan jangan pernah kau merasa besar sebab diatas langit masih ada langit Pernah berpikirkah bahwa manusia itu

sangat kecil di mata Allah SWT (Penulis)


(48)

vi

PERSEMBAHAN

Bapak dan Ibuku Tercinta

Hi. Azwar Djajasinga dan Hj. Pundari Umar,

yang telah membesarkanku, membimbingku dan senantiasa mendoakan keberhasilanku

Kakak-Kakakku

Batin Yeni, Bung Darma, Abang Ipong, dan Kak Fandi

beserta Kakak Iparku Yetti Anggraini, Putri Amalia dan Diliana Suwandi yang telah memberikan dukungannya

Keponakan-Keponakanku

Nazwa, Rayhan dan Nizam yang kusayangi

Almamater Tercinta Universitas Lampung


(49)

vii

Puji dan syukur, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab hanya dengan kehendak dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: ”Analisis Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, SH, MH., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus Pembimbing II Skripsi ini. Terimakasih atas bimbingan, masukan dan sarannya kepada penulis selama proses bimbingan skripsi.


(50)

viii

3. Bapak Tri Andrisman, SH., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus Pembimbing I Skripsi ini Terimakasih atas bimbingan, masukan dan sarannya kepada penulis selama proses bimbingan skripsi.

4. Bapak Gunawan Jatmiko S.H, M.H, selaku Penguji Skripsi, atas masukan dan saran yang diberikan kepada penulis demi perbaikan skripsi.

5. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi.

6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

7. Kepala Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, yang telah memberikan izin dan memberikan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian. 8. Bapak “Azwar Djajasinga”, Ibu “Pundari Umar”, Batin, Bung, Abang, dan

Kakak atas dukungan material maupun moril, semangat, doa, dan selalu memberikan yang terbaik dalam hidupku.

9. Kepada teman-teman, khususnya angkatan 2006 dan 2007, Jevi, Ari Wijaya, Nanda, Ade, Boy, Deni, Langgir, Boni, Nando, Popoy, Otto, Goceng, Gembel, Mbie. Tetap semangat melanjutkan perjuangan, terima kasih atas dukungan serta semangatnya.

10. Kepada sahabat-sahabatku di ELEGANTE Lampung Community, Ayi, Adi, Buncit, Akew, Rindo, Doni, Monda, Bendot, Apoy, dan Nai. serta yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan dukungannya.


(51)

ix

mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Februari 2012 Penulis


(1)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 14 April 1988, merupakan putra kelima dari lima bersaudara, buah hati pasangan Bapak Hi. Azwar Djajasinga dan Ibu Hj. Pundari Umar.

Pendidikan formal yang penulis tempuh adalah SD Negeri 2 TELADAN Tanjung Karang Timur Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2000, SLTP Negeri 25 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2003, SMA Negeri 12 Bandar Lampung selesaikan pada tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui Jalur Non SPMB.


(2)

MOTTO

Dalam alur kehidupan

manusia mengalami berbagai permasalahan dan setiap permasalahan pasti ada jalan keluar karena Allah SWT tidak akan memberikan cobaan

di luar kemampuan hamba-hambaNya

Orang menjadi dewasa dan bijak dengan terbiasa bersikap, berkata,

atau berpikiran terbaik

Ingat!!! Tua itu pasti tetapi dewasa adalah pilihan

Belajarlah dari pengalaman untuk menempuh masa depan dan jangan pernah kau merasa besar sebab diatas langit masih ada langit Pernah berpikirkah bahwa manusia itu

sangat kecil di mata Allah SWT (Penulis)


(3)

PERSEMBAHAN

Bapak dan Ibuku Tercinta

Hi. Azwar Djajasinga dan Hj. Pundari Umar,

yang telah membesarkanku, membimbingku dan senantiasa mendoakan keberhasilanku

Kakak-Kakakku

Batin Yeni, Bung Darma, Abang Ipong, dan Kak Fandi

beserta Kakak Iparku Yetti Anggraini, Putri Amalia dan Diliana Suwandi yang telah memberikan dukungannya

Keponakan-Keponakanku

Nazwa, Rayhan dan Nizam yang kusayangi

Almamater Tercinta Universitas Lampung


(4)

SAN WACANA

Puji dan syukur, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab hanya dengan kehendak dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: ”Analisis Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 780/Pid/B/2010/PNTK Tentang Tindak Pidana Psikotropika. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, SH, MH., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus Pembimbing II Skripsi ini. Terimakasih atas bimbingan, masukan dan sarannya kepada penulis selama proses bimbingan skripsi.


(5)

3. Bapak Tri Andrisman, SH., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus Pembimbing I Skripsi ini Terimakasih atas bimbingan, masukan dan sarannya kepada penulis selama proses bimbingan skripsi.

4. Bapak Gunawan Jatmiko S.H, M.H, selaku Penguji Skripsi, atas masukan dan saran yang diberikan kepada penulis demi perbaikan skripsi.

5. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi.

6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

7. Kepala Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, yang telah memberikan izin dan memberikan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian. 8. Bapak “Azwar Djajasinga”, Ibu “Pundari Umar”, Batin, Bung, Abang, dan

Kakak atas dukungan material maupun moril, semangat, doa, dan selalu memberikan yang terbaik dalam hidupku.

9. Kepada teman-teman, khususnya angkatan 2006 dan 2007, Jevi, Ari Wijaya, Nanda, Ade, Boy, Deni, Langgir, Boni, Nando, Popoy, Otto, Goceng, Gembel, Mbie. Tetap semangat melanjutkan perjuangan, terima kasih atas dukungan serta semangatnya.

10. Kepada sahabat-sahabatku di ELEGANTE Lampung Community, Ayi, Adi, Buncit, Akew, Rindo, Doni, Monda, Bendot, Apoy, dan Nai. serta yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan


(6)

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Penulis berdoa semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Februari 2012 Penulis


Dokumen yang terkait

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Analisis Kasus Tindak Pidana Penggelapan Dengan Menggunakan Jabatan Dalam Menggandakan Rekening Bank (Studi Kasus : No.1945 / Pid.B / 2005 / PN-MDN)

2 61 120

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN RENCANA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.95/Pid/B/2010/PN.TK)

1 5 34

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN UANG PERUSAHAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Perkara Nomor: 167/Pid.B/2011/PN.TK)

4 14 77

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 508/ PID/B 2011/PN.TK)

3 17 55

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 46/Pid.B(A)/2012/PN.T.K.)

0 45 52

ANALISIS DISPARITAS PIDANA PADA PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING IN PERSON) (Studi Putusan Nomor 1633/Pid/B/2008/PNTK dengan Putusan Nomor 384/Pid/B/2012/PNTK )

3 25 47

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP OKNUM POLISI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG NOMOR 76/PID.B/2012/PN.TK)

0 16 54

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN TERHADAP OKNUM POLISI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG NOMOR 76/PID.B/2012/PN.TK)

1 14 55

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENYIMPAN UANG RUPIAH PALSU (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/Pid.B/2014/PN.Tjk).

1 15 55