Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola Rumah Makan Tradisional Kelas C di Jakarta Timur

(1)

DI JAKARTA TIMUR

AYAT TAUFIK AREVIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola Rumah Makan Tradisional Kelas C di Jakarta Timur, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Ayat Taufik Arevin NIM I32060031


(3)

AREVIN, AYAT TAUFIK. 2009. Adoption Level of Sapta Pesona (Seven Amazing) Program by the Traditional Restaurant Managers of C-class in East Jakarta. Under direction of BASITA G. SUGIHEN as the chairman of supervisory team and SITI AMANAH as a member.

The sectors of transportation, telecommunication, tourism development raised since of 1980th, have been able to overcome the social problems and economics in the ASEAN countries. Tourism development represents Indonesian pledge in the effort of accelerating economics growth. Sapta Pesona is one of the programs to promote tourism development. Sapta Pesona (the Seven Amazed Program) consists of safety, cleanliness, orderliness, comfort, beauty, hospitality, and enhancing memories. The success of Sapta Pesona program will positively contribute to the tourism businesses that are majority managed by low medium levels of restaurant businesses. The study was focused on management of C-class restaurants. Management of C-class restaurants still ran in very traditional strategy. The aims of this study were (1) to learn the participatory level of the traditional restaurant managers in adoption Sapta Pesona program, (2) to identify the factors related to the participation of the managers in adoption, and (3) to find out strategic to improve participation of the managers in adoption Sapta Pesona program. The research method used was survey, supported by participatory observation technique. The populations of the study were 63 restaurants managers at the east of Jakarta. The data collection was carried out from February until September 2008. The data analysis used was correlation test of Rank Spearman. The results showed that (1) the participation of traditional restaurant managers were of medium level, (2) the personal characters (age, experience, level of educations and communication intensity) were positively related to the participatory level of the traditional restaurant managers in adoption Sapta Pesona program, (3) the business characters were closely related to the participatory level of the traditional restaurant managers in adoption Sapta Pesona program.


(4)

Pengelola Rumah Makan Tradisional Kelas C Jakarta Timur. Dibimbing oleh BASITA G. SUGIHEN sebagai Ketua Komisi dan SITI AMANAH sebagai Anggota Komisi.

Pariwisata menjadi salah satu industri terbesar di dunia yang prospektif dan kompetitif. Upaya pembangunan pariwisata ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan citra pariwisata suatu wilayah. Indonesia masih jauh tertinggal, dibandingkan dengan negara Asia lainnya, dalam merebut kunjungan wisata internasional. Indonesia juga belum mampu menjadikan pariwisata sebagai primadona dalam menghasilkan devisa bagi negara ini. Jika tidak segera berbenah, mungkin kita hanya akan menjadi penonton dalam persaingan global yang semakin ketat.

Salah satu item pajak daerah yang akan digenjot Pemprov DKI Jakarta untuk mendongkrak penerimaan asli daerah (PAD) sebagaimana ditargetkan rencana jangka menengah daerah 2007-2012 yaitu pajak hotel dan restoran (Bisnis Indonesia, 8 April 2008). Perolehan PAD kota Jakarta Timur pada tahun 2005 dari industri pariwisata total sebesar Rp. 32.117.784.180, masing dari penerimaan pajak hotel sebesar Rp. 7.109.812.177, pajak restoran Rp. 19.536.992.658 dan pajak hiburan Rp. 5.470.979.345 (http://www.jaktim.beritajakarta.com/). Hal ini membuktikan bahwa rumah makan atau restoran salah satu sarana usaha pariwisata yang memiliki potensi.

Sapta Pesona merupakan salah satu program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar mampu berpartisipasi dalam pembangunan di bidang pariwisata. Unsur-unsur Sapta Pesona yaitu: (1) aman, (2) tertib, (3) bersih, (4) sejuk, (5) indah, (6) ramah-tamah, dan (7) kenangan. Sapta Pesona merupakan kunci sukses bagi semua kegiatan bisnis di bidang pariwisata. Salah satu upaya peningkatan mutu atau citra rumah makan tradsional yaitu perlunya pengelola rumah makan mengadopsi dan menerapkan unsur-unsur dalam program Sapta Pesona.

Kondisi dan cara pengelolaan rumah makan tradisional (RMT) kelas C di Jakarta Timur masih sangat sederhana baik dari sisi manajemen SDM, metode pengolahan, teknik pelayanan, dan pemeliharaan sarana dan prasarana yang dimiliki. Akibatnya mereka tidak mampu memenuhi kepuasan pelanggan dan rendah dalam kemampuan berkompetisi, sehingga berimbas pada kemajuan usahanya.

Pengelola RMT kelas C memiliki kemampuan rendah dalam adopsi program Sapta Pesona. Hal ini dipengaruhi faktor-faktor dalam ciri pribadi pengelola dan ciri lingkungan usaha rumah makan tradisional. Maka rumusan masalah penelitian ini yaitu (1) Apakah program Sapta Pesona sudah menjadi komitmen budaya bagi pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur? (2) Ciri-ciri apa saja yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur? (3) Bagaimana bentuk tingkatan adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola usaha RMT kelas C di Jakarta Timur?


(5)

diperoleh secara langsung dari responden dan informan penelitian, melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif, serta untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman.

Tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur termasuk kategori sedang. Ciri pribadi yang penting diperhatikan untuk mempercepat kemampuan adopsi pengelola RMT kelas C yaitu usia, tingkat pendidikan, pengalaman usaha, dan intensitas komunikasi. Sedangkan ciri lingkungan usaha yang menjadi pertimbangan yaitu kebijakan Pemda, skala usaha, modal tenaga kerja, sarana usaha, prasarana usaha, lokasi usaha, dan kompetitor.

Strategi mempercepat adopsi dapat dilakukan dengan meningkatkan interaksi penyuluh dengan pengelola RMT kelas C; penyuluh dan petugas suku dinas pariwisata hendaknya memotivasi pengelola RMT kelas C supaya terlibat aktif dalam kelompok usaha sejenis dan mendorong pengembangan kelompoknya sebagai wadah komunikasi antar pengelola tentang program-program yang dibutuhkan dan yang ditawarkan oleh pemerintah.


(6)

Ó Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

DI JAKARTA TIMUR

AYAT TAUFIK AREVIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

Nama : Ayat Taufik Arevin

NIM : I 352060031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A. Ketua

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(9)

(10)

Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Februari hingga September 2008 adalah


(11)

(12)

DAFTAR TABEL ... .. xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Masalah Penelitian ... 4

Tujuan Penelitian ... 5

Manfaat Penelitan ... 5

Batasan Istilah ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Rumah Makan Tradisional ... 8

Peran dan Tugas Pengelola ... 11

Ciri Pribadi ... 12

Ciri Lingkungan Usaha ... 19

Adopsi Inovasi ... 29

Program Sapta Pesona ... 32

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir ... 36

Hipotesis Penelitian ... 46

METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel ... 47

Rancangan Penelitian ... 47

Definisi Operasional ... 48

Instrumentasi ... .... 56

Pengumpulan Data ... 57

Analisis Data ... 59

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian... 60

Ciri Pribadi Pengelola RMT Kelas C di Jakarta Timur... 62

Ciri Lingkungan Usaha RMT Kelas C di Jakarta Timur... . 70

Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C... 77

Hubungan Ciri Pribadi dan Ciri Lingkungan Usaha dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C... 81

Strategi Percepatan Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C Jakarta Timur... 85

KESIMPULAN DAN SARAN... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 94


(13)

1. Kelompok dan Populasi RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 47

2. Peubah, Indikator, dan Skala Data ... 52

3. Deskripsi Ciri Pribadi RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 63

4. Deskripsi Ciri Lingkungan Usaha RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 71

5. Skor Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 77

6. Persepsi Pengelola RMT Kelas C terhadap Program Sapta Pesona ... 80

7. Nilai Koefisien Korelasi (rs) antara Ciri Pribadi dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona ... 82

8. Nilai Koefisien Korelasi (rs) antara Ciri Lingkungan Usaha dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona ... 84


(14)

Halaman

1. Tahapan Proses Adopsi Inovasi ... 31 2. Proses Introduksi, Adopsi dan Inovasi dari Asal Sumbernya ... 38 3. Proses Adopsi dan Difusi Sapta Pesona ... 41 4. Kerangka Berpikir Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola

RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 46 5. Persentase menurut Kategori Adopter ... 80


(15)

1. Lembar Pedoman Pengumpulan Data ... 99

2. Daftar Usaha Sarana Pariwisata (USP) Jakarta Timur Tahun 2007 Jenis Usaha Rumah Makan/Restoran ... 110

3. Peta Sebaran Potensi RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 111

4. Kuesioner Penelitian ... 112

5. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman ... 121


(16)

Perkembangan pembangunan sektor transportasi, telekomunikasi dan pariwisata semakin pesat sejak digulirkan sejak era 1980-an, telah mampu mengatasi masalah ekonomi dan sosial di negara-negara ASEAN. Ketiga sektor tersebut merupakan bagian dari strategi pembangunan ekonomi berkelanjutan, searah dengan pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas utama di negara-negara berkembang. Maka diperkirakan akan menjadi sektor andalan agar Asia mampu berkompetisi di dalam era globalisasi.

Pariwisata menjadi salah satu industri terbesar di dunia yang prospektif dan kompetitif. Industri ini mampu menjadi sumber devisa di berbagai negara, Singapura, Malaysia, Hongkong, Thailand, Jepang, Hawaii, dan lainnya. Bahkan di Kepulauan Karibia, Bahama, dan Fiji menjadikan pariwisata sebagai penyumbang terbesar dalam penciptaan pendapatan masyarakat dan Negara. Perkembangan industri pariwisata cukup pesat pada beberapa tahun terakhir ini, menurut catatan World Tourism Organization (WTO), pada tahun 2002 tercatat 700 juta orang melakukan perjalanan wisata internasional, dan pada tahun 2005 tercatat lebih dari 850 juta. Dari angka tersebut lebih dari 25 persen tersebar di kawasan Asia Timur dan Pasifik.

Di Asia Tenggara, Indonesia masih jauh tertinggal dari Thailand, Singapura, dan Malaysia dalam merebut kunjungan wisata internasional. Indonesia juga belum mampu menjadikan pariwisata sebagai primadona dalam menghasilkan devisa bagi negara ini. Jika tidak segera berbenah, mungkin kita hanya akan menjadi penonton dalam persaingan global yang semakin ketat.

Pembangunan pariwisata di Indonesia mengaplikasikan tiga paradigma utama, yaitu: (1) meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja dan

kesempatan berusaha, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (2) mewujudkan keadilan sosial, melestarikan serta memperkokoh jatidiri,

kemandirian bangsa, memperkaya kepribadian, mempertahankan nilai-nilai

agama, serta berfungsi sebagai media menciptakan ketertiban dunia. (3) memperhatikan kelestarian lingkungan dan berkesinambungan.


(17)

Dalam rangka pemantapan citra dan daya saing pariwisata Indonesia, pada tahun 2008 ini Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (DEPBUDPAR) kembali mencanangkan


(18)

sarana pariwisata jenis hotel dan restoran sangat memberikan kontribusi dalam partisipasi pembangunan di wilayah DKI Jakarta.

Kota Jakarta Timur dalam program pengembangannya, dipersiapkan sebagai kota wisata belanja dengan menggali berbagai hal yang dapat dijadikan potensi obyek wisata, meningkatkan jumlah dan jenis atraksi wisata, mempermudah birokrasi perizinan usaha dan industri penunjang pariwisata, serta meningkatkan SDM. Dampak strategi tersebut sektor pariwisata pada tahun 2005 pemerintah kota Jakarta Timur berhasil mendapatkan penerimaan masing-masing dari pajak hotel sebesar Rp. 7.109.812.177, pajak restoran Rp. 19.536.992.658 dan pajak hiburan Rp. 5.470.979.345. Total keseluruhan Rp. 32.117.784.180, dan penerimaan pajak ini meningkat sebesar 64,3 persen di banding tahun sebelumnya sebesar Rp. 20.810.713.117. (http://www.jaktim.beritajakarta.com/)

Berdasarkan data tentang Usaha Sarana Pariwisata (USP) di Jakarta Timur pada tahun 2007 untuk jenis usaha restoran atau rumah makan terdapat 231 nama usaha. Rumah makan tersebut dikelompokkan menurut klasifikasinya yaitu A, B, C, dan D. Standar klasifikasi menggunakan skala usaha berdasarkan nilai total investasi, jumlah kursi yang menyatakan kapasitas pelanggan (tamu) yang mampu ditampung, dan jumlah karyawan yang dipekerjakan, juga mengenai kelayakan fasilitas yang dimiliki.

Penelitian ini terfokus pada usaha Rumah Makan Tradisional kelas C (selanjutnya disebut dengan RMT kelas C) karena termasuk pada kelompok usaha kecil yang penuh dengan resiko. Rumah makan tradisional kelas C, sesuai dengan jenis usaha kecil lain terbukti memiliki kontribusi yang cukup besar di bidang pembangunan sosial-ekonomi di berbagai negara, di antaranya yaitu: 1) membuka lapangan kerja yang luas dan bersifat fleksibel baik bagi laki-laki maupun perempuan, untuk segala umur, dan penuh waktu, maupun paruh waktu; 2) banyak produk baru yang bisa dikembangkan; dan 3) membuka peluang bagi orang yang memiliki obsesi kuat, tekad besar, dan pekerja keras untuk menjadi pemimpin untuk usahanya.

Beberapa faktor penyebab kegagalan usaha kecil menurut Puspopranoto (2006) antara lain yaitu: (1) Akibat kebiasaan buruk atau kesehatan kurang baik; (2) Kehilangan pasar; (3) Kurangnya pengalaman manajerial; dan (4) Lemahnya


(19)

daya saing dan lokasi kurang baik. Faktor ini juga yang menyebabkan keberadaan rumah makan tradisional semakin terdesak oleh restoran modern jenis fast food waralaba baik lokal maupun asing. Meski ukuran restoran waralaba tersebut ukurannya lebih kecil dari restoran tradisional, namun indutri jenis ini lebih mengutamakan profesionalisme dengan menjunjung mutu dan citra produk serta kualitas pelayanan.

Kunci keberhasilan menurut Rakhmawati (2003) antara lain restoran fast food modern tunduk pada peraturan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan frenchise-nya di kantor pusat, seperti ketetapan : standar mutu produk, standar manajemen, standar pemasaran, standar lay-out dan standar desain, dan standar kerja karyawan. Jika semuanya dipenuhi maka dapat diperoleh izin franchising.

Berbagai pembinaan maupun pendampingan bagi industri usaha sarana pariwisata telah dilakukan oleh kantor Suku Dinas Pariwisata Jakarta Timur dan telah menjadi agenda kegiatan setiap tahunnya. Terakhir kali pada bulan Juli 2007 kegiatan sosialisasi Sapta Pesona diikuti oleh 100 pengusaha dan pengelola industri pariwisata di wilayah Jakarta Timur, seperti pengelola akomodasi/hotel, rumah makan/restoran, griya pijat, bioskop, salon dan bola sodok. Kegiatan sosialisasi ini selain sebagai bentuk pembinaan juga untuk meningkatkan pelayanan dari para pengelola industri pariwisata di Jakarta Timur.

Berhasil-tidaknya usaha restoran atau rumah makan merupakan tanggungjawab pengelola (manajer), maka diperlukan pengalaman usaha, kemampuan berwirausaha, dan keterampilan manajerial. Tidak hanya itu pengelola rumah makan tradisional perlu pula mengadopsi program sadar wisata dan konsep Sapta Pesona.

Masalah Penelitian

Penelitian tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur ini diharapkan mampu menjawab masalah tentang :

1. Apakah program Sapta Pesona sudah menjadi komitmen budaya bagi pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur?


(20)

2. Ciri-ciri apa saja yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur? 3. Bagaimana strategi percepatan adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola

rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur?

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur yaitu: 1. Mengetahui tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah

makan tradisional kelas C di Jakarta Timur.

2. Menganalisis ciri-ciri yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur. 3. Bahan rumusan untuk meningkatkan penerimaan nilai-nilai Sapta Pesona oleh

Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur, dan ditampilkan dalam bentuk tindakan nyata.

Manfaat Penelitian

Penelitian tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur diharapkan berguna bagi semua pihak yang terkait, antara lain:

1. Ikut berpartisipasi menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan dan pengembangan di bidang industri pariwisata.

2. Memberikan informasi guna menerbitkan standarisasi pelayanan bagi rumah makan dalam upaya mewujudkan budaya layanan prima.

3. Memotivasi pengusaha tradisional mengembangkan usaha rumah makan dalam upaya meningkatkan citra dan daya saing pariwisata nasional.

Batasan Istilah Tingkat Adopsi

Untuk mendefinisikan adopsi tidak lepas dengan istilah inovasi, karena bila orang sebagai individu atau kelompok masyarakat mempunyai sikap menerima inovasi, berarti orang atau kelompok masyarakat itu telah mengadopsi inovasi


(21)

tersebut. Dalam hal ini inovasi merupakan suatu ide atau gagasan yang dianggap baru oleh perorangan atau unit kelompok yang mengadopsinya. Sedangkan adopsi merupakan suatu keputusan untuk menggunakan inovasi sebagai suatu pilihan terbaik.

Inovasi mempunyai tiga komponen, yaitu (1) ide atau gagasan, (2) metode atau praktek, dan (3) produk (barang dan jasa). Untuk dapat disebut inovasi, ketiga komponen tersebut harus mempunyai sifat


(22)

Pengelola

Pimpinan dalam suatu organisasi atau perusahaan yang bertanggungjawab atas kinerja dari satu atau lebih anggota atau stafnya disebut sebagai manajer atau pengelola. Pengelola melaksanakan fungsi manajemen, yaitu melaksanakan suatu proses yang melibatkan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian yang dilakukan untuk mencapai sasaran perusahaan. Pengelola yang bergerak dalam bisnis rumah makan atau restoran, agar lebih produktif dan bekerja efisien mutlak memerlukan pengalaman usaha, kemampuan wirausaha, dan keterampilan manajerial.

Rumah Makan Tradisional Kelas C

Rumah makan suatu usaha yang menyediakan jasa pelayanan makan dan minum bagi pelanggannya, sebagai salah satu unit usaha sarana pariwisata (USP) yang ijin operasionalnya dari pemerintah terkait dan kewajibannya membayar retribusi (pajak) dikelompokkan berdasarkan nilai investasi, kelengkapan fasilitas dan sistim pelayanan yang diberikan. Rumah makan kelas C adalah tergolong sebagai perusahaan kecil. Pengertian perusahaan kecil mengacu pada ciri-ciri manajemen berdiri sendiri, investasi modal terbatas baik dari sisi keuangan maupun jumlah tenaga kerja, daerah operasinya lokal, dan ukuran secara keseluruhan relatif kecil.

Rumah makan tradisional terdiri dari 2 (dua) karakteristik, yaitu positif dan negatif. Karakter positif menggambarkan bahwa rumah makan tradisional selain menyajikan hidangan ciri khas suatu daerah, juga suasana dengan nuansa desain dan dekor maupun ciri khas pelayanan didominasi oleh etnik budaya. Sedangkan karakter negatif rumah makan tradisional yang dikelola dengan segala kesederhanaan dan keterbatasan yang dimilikinya jauh dari sentuhan modern dengan ciri khas konvensional yaitu lebih mengutamakan keunggulan produk daripada kualitas pelayanan.


(23)

Restoran termasuk industri pariwisata dalam kelompok usaha penyediaan

makanan dan minuman. Pada pengembangan usahanya dapat menyediakan fasilitas

dan atraksi rekreasi dan hiburan serta fasilitas lainnya. Jenis restoran antara lain

seperti restoran,

café

,

coffee

shop

, kantin, dan kafetaria (Perda Provinsi DKI Jakarta

Nomor 10 Tahun 2004).

Dalam konteks pengembangan pariwisata, usaha restoran memiliki beberapa

peran penting antara lain yaitu: (1) penyedia jasa layanan kebutuhan makan dan

minum bagi wisatawan; (2) meningkatkan lama tinggal wisatawan sebagai dampak

pelayanan yang memuaskan; (3) sebagai pendukung sumber informasi memperlancar

perjalanan wisatawan; (4) memberikan jaminan keamanan, ketertiban, kebersihan,

kesejukan, keindahan, keramah-tamahan, dan kenangan bagi pengunjung

(wisatawan); (5) menyediakan peluang kerja bagi masyarakat yang membutuhkan;

dan (6) kebutuhan tenaga profesional dan kompeten turut mempengaruhi keberadaan

dan peningkatan jumlah lembaga pendidikan dan pelatihan bidang restoran.

Keputusan Menteri Keuangan RI tentang Uraian Klasifikasi Lapangan Usaha

Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum mengklasifikasikan restoran

dan rumah makan menjadi 4 kelompok, berdasarkan kelasnya yang tertinggi yaitu: (a)

Restoran Talam Kencana; (b) Restoran Talam Selaka; (c) Restoran Talam Gangsa;

dan (d) Restoran Non-talam. Peringkat klasifikasi restoran diurut berdasarkan kriteria

berikut:

(1)

Penggunaan sebagian atau seluruh bangunan, dengan sifat bangunan yang

permanen atau non-permanen;

(2)

Kepemilikan dapur pengolahan dan tempat penyajian pada bangunan yang sama;

(3)

Kelengkapan peralatan dan fasilitas proses pembuatan dan penyimpanan; dan

(4)

Ijin kelayakan operasional dari instansi yang membinanya dan mengeluarkan


(24)

Restoran Non-talam disebut juga sebagai rumah makan, yaitu restoran yang

belum mendapatkan surat keputusan sebagai yang berklasifikasi talam. Restoran

Non-Talam terbagi lagi menjadi 3 (tiga) kelas yaitu (1) Rumah Makan Kelas A; (2)

Rumah Makan Kelas B; dan (3) Rumah Makan Kelas C. Kelas tersebut dibedakan

menurut kapasitas meja/kursi tamu, dan jumlah karyawanya.

Tradisional menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) adalah sikap dan

cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat

kebiasaan yang ada secara turun temurun. Dalam konteks rumah makan memiliki 2

cara tinjau berbeda, yaitu dari sisi positif dan negatif. Rumah makan tradisional

(RMT) jika ditinjau dari sisi positif yaitu suatu bentuk usaha yang menjual hidangan

(menu makanan dan minuman) khas suatu daerah, lengkap dengan suasana baik

dekorasi eksterior maupun interior, seragam karyawan, latar belakang musik atau

hiburan dan keramah-tamahan sebagai ciri dari daerah tersebut. Selanjutnya konsep

dengan unsur etnik tersebut yang menjadi kebanggaan bagi pengunjungnya, atau

sebagai daya tarik bagi wisatawan yang selalu ingin mencoba sesuatu yang baru.

Hal-hal tersebut yang memiliki nilai jual dari rumah makan tradisional. Rumah makan

tradisional berdasarkan sudut pandang negatif yaitu rumah makan yang dikelola

secara konvensional, dengan pengelola cenderung bersikap, cara pikir dan cara

bertindak yang tidak sesuai dengan tuntutan masa kini (modern).

Perbedaan pengelolaan antara bisnis tradisional dengan bisnis modern yaitu:

(1) Pebisnis tradisional cenderung berorientasi pada penjualan, fokus pada nilai

produk, kontak pelanggan tidak berkesinambungan, dan komitmen pada mutu hanya

bagi staf produksi; sedangkan (2) Pebisnis modern berorientasi untuk

mempertahankan pelanggan, fokus pada nilai pelayanan, kontak pelanggan

berkesinambungan, dan komitmen mutu berlaku bagi seluruh staf (Kotler, 2002).

Perbedaan bisnis tradisional dan modern ditambahkan Nickel (2005) yaitu:

(1)

Bisnis Tradisional memuaskan pelanggan, orientasi laba dan produk, dan

cenderung menerapkan etika reaktif, dan fokus pada masalah manajerial, sedangkan

(2) Bisnis Modern sudah pada taraf mempesonakan pelanggan, orientasi laba,

pelanggan dan

stakeholder

, dan fokus pada kepentingan pelanggan.


(25)

Karakteristik RMT Kelas C

Rumah makan tradisional kelas C (selanjutnya disingkat RMT Kelas C)

merupakan bidang usaha sarana pariwisata (USP) pada kelompok usaha kecil dan

menengah, berdasarkan aturan instansi pemerintah terkait yaitu:

(1)

Badan Pusat Statistik (BPS) menggolongkan pada industri rumah tangga dengan

jumlah pekerja 1


(26)

The Dun & Bradstreet Corporation

(Puspopranoto, 2006) mengidentifikasi

faktor-faktor penyebab kegagalan usaha kecil antara lain yaitu: (1) Kelalaian (akibat

kebiasaan buruk atau kesehatan kurang baik); (2) Faktor ekonomis (kehilangan

pasar); (3) Pengalaman (tidak cakap, kurangnya pengalaman manajerial); dan (4)

Penjualan (lemah daya saing, kesulitan persediaan, lokasi kurang baik).

Hasil riset Parsa (2005), salah satu unsur sukses dipengaruhi pengetahuan para

pengelola melalui pendidikan lanjutan tentang pemasaran dan lokakarya. Suatu

lingkungan yang mendukung profesionalisme akan menumbuhkan produktivitas lebih

baik. Unsur-unsur penyebab kegagalan bisnis rumah makan yaitu: (1) Kurangnya

pengalaman dalam berbisnis dan rendahnya pengetahuan pengelolaan restoran; (2)

Ketidakmampuan untuk memelihara standard operasional, terlalu banyak masalah

dalam layanan, serta rendahnya standard kebersihan dan kesehatan; dan (3) Untuk

rumah makan yang bernuansa etnis (tradisional), hilangnya keaslian berakibat

hilangnya integritas konseptual.

Peran dan Tugas Pengelola

Peran pengelola atau manajer secara konkret dikemukakan Puspopranoto

(2006) sebagai berikut: (1) Orang dalam organisasi yang bertanggung jawab atas

kinerja dari satu atau lebih orang lain; (2) Orang yang tugasnya menggunakan sumber

daya material seperti informasi, teknologi, bahan baku, fasilitas, dan uang untuk

memproduksi barang dan jasa yang dapat ditawarkan organisasi (perusahaan) kepada

para pelanggan; dan (3) Tugas setiap manajer terkait dengan satu tanggung jawab

utama, yaitu membantu organisasi dalam mencapai kinerja tinggi melalui

pemanfaatan semua sumber daya, baik tenaga manusia maupun material.

Tugas-tugas di dalam organisasi menurut Fuad (2000) dapat dibedakan

berdasarkan tiga tingkatan manajemen yaitu: (1) Manajemen Tertinggi

(Top

Management)

, bertugas mengembangkan rencana-rencana yang luas dan

melakukan pengambilan keputusan strategis. (2) Manajemen Menengah

(Middle

Management)

, tanggung jawab yang

harus dilaksanakan para manajer tingkat ini


(27)

adalah mengembangkan rencana-rencana operasi untuk melaksanakan semua rencana

yang telah disusun manajemen puncak. (3) Manajemen Pelaksana

(Operating

Management)

, bertanggung jawab untuk melaksanakan semua rencana yang telah

dibuat manajemen menengah serta bertugas untuk mengawasi para pekerja dalam

menjalankan pekerjaan sehari-hari. Manajer pelaksana sering pula disebut

pengawas atau penyelia tingkat pertama

(First line supervisor).

Hal yang dikerjakan manajer menurut Nickels (Puspopranoto 2006) yaitu:

(1)

Merencanakan; menetapkan sasaran organisasi, menyusun strategi guna mencapai

sasaran, menentukan sumber daya yang dibutuhkan, menetapkan standar yang

tepat.

(2)

Mengorganisasikan; (a) mengalokasikan sumber daya dan pemberian tugas,

(b) menetapkan prosedur untuk mencapai sasaran dan menyiapkan struktur

organisasi yang menunjukkan garis kewenangan/tanggung jawab, (c) merekrut,

menyeleksi, melatih, dan mengembangkan karyawan, (d) menempatkan

karyawan di tempat di mana mereka sangat efektif.

(3)

Memimpin/mengarahkan; memandu dan memotivasi karyawan untuk bekerja

secara efektif merealisasikan sasaran dan tujuan organisasi.

(4)

Mengendalikan; mengukur kinerja dibandingkan tujuan perusahaan, memantau

kinerja relatif terhadap standar, memberi penghargaan atas kinerja yang menonjol,

dan mengambil tindakan korektif sesuai dengan kebutuhan.

Ciri Pribadi

Ciri pribadi yaitu segala sesuatu yang melekat pada diri seseorang yang sifatnya

khas untuk setiap orang. Ciri pribadi muncul karena terjadinya proses alam seperti:

usia, persepsi terhadap sesuatu, motivasi, maupun proses yang sengaja diciptakan

untuk meningkatkan kualitas diri, seperti: tingkat pendidikan, intensitas komunikasi,

frekuensi mencari inforniasi. Ciri pribadi mempengaruhi seseorang dalam

memberikan respon terhadap stimuli yang diterimanya, dan akan mengubah

perilakunya.


(28)

Lionberger (1960) menyatakan faktor-faktor internal yang mempengaruhi cepat

lambatnya adopsi adalah usia, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, pola

hubungan dan kekosmopolitan, keberanian mengambil resiko, sikap terhadap

perubahan, motivasi berkarya, aspirasi, sifat fatalisme dan diagnosisme (sistem

kepercayaan yang tertutup).

Soekartawi (1988) menjelaskan terdapat 11 peubah yang mempengaruhi proses

difusi dan adopsi inovasi yaitu: usia, pendidikan, keberanian mengambil resiko, pola

hubungan, sikap terhadap perubahan, pendapatan usaha tani, luas usaha tani, status

pemilikan tanah, prestise masyarakat, sumber informasi yang digunakan dan jenis

inovasi.

Pengaruh ciri pribadi terhadap perubahan perilaku, dikemukakan pada paragraf

tersebut, menunjukkan bahwa ciri pribadi mutlak dipertimbangkan dalam

program-program penyuluhan. Ciri pribadi yang melekat pada diri seseorang, baik yang

muncul dari kawasan kepribadiannya maupun yang dimiliki karena status dan

peranannya, akan memunculkan kekuatan atau dorongan untuk bertindak terutama

yang menguntungkan dirinya.

Usia

Usia mempengaruhi kecepatan perubahan perilaku, karena usia akan

mempengaruhi kemampuan fisik dan kemampuan fikir. Orang yang lebih tua

cenderung kurang responsif terhadap ide-ide baru. Padmowihardjo (1978)

menyatakan bahwa kemampuan seseorang untuk belajar berkembang secara gradual,

sejalan dengan meningkatnya usia. Akan tetapi setelah mencapai usia tertentu akan

berkurang secara gradual pula, dan sangat nyata pada usia 55-60 tahun. Sementara itu

Vener dan Davidson (Lunandi, 1986) menyatakan bahwa dengan bertambahnya

usia secara fisiologis terdapat perubahan daya penglihatan dan pendengaran yang

dapat menurunkan tingkat efektivitas belajar orang dewasa. Klausmeijer dan

Goodwin (1966) mengemukakan bahwa ada pengaruh usia terhadap minat seseorang

terhadap macam pekerjaan tertentu sehingga usia seseorang juga akan berpengaruh

terhadap motivasinya untuk belajar.


(29)

Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Padmowihardjo (1994)

mengatakan usia bukan merupakan faktor psikologis, tetapi sesuatu yang diakibatkan

oleh usia adalah faktor fisiologis. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan

seseorang berhubungan dengan usia. Faktor pertama adalah mekanisme belajar dan

kematangan otak, organ-organ sensual dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua

adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar lainnya. Selanjutnya

Wiraatmadja (1990) mengemukakan bahwa usia petani akan mempengaruhi

penerimaan petani terhadap hal-hal baru.

Seseorang yang muda usia mungkin memiliki pengalaman dan pendidikan

kurang, tetapi memiliki energi atau semangat untuk mencoba usahanya; sedangkan

orang yang sudah berumur memiliki pengalaman dan pendidikan lebih tinggi

sehingga menentukan keberhasilan dalam usahanya (Bird, 1989).

Pendidikan

Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya

pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin luas

pengetahuannya. Pengaruh pendidikan terhadap perubahan perilaku, hasil penelitian

Maryani (1995), menunjukkan bahwa mereka yang berpendidikan tinggi lebih mudah

untuk menerima informasi dan berkemampuan menganalisis masalah yang

dihadapinya.

Pendidikan merupakan proses pembentukan watak seseorang, sehingga

memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku (Winkel, 1991).

Gonzales (Jahi, 1988) merangkum pendapat beberapa ilmuwan bahwa pendidikan

merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan.

Pendidikan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif dan derajat ilmu

pengetahuan yang dimiliki seseorang.

Russel (1993) mengatakan bahwa pendidikan senantiasa mempunyai dua

sasaran, yaitu pengajaran dan pelatihan perilaku yang lebih baik. Salam (1997)

mengemukakan bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha yang disadari


(30)

untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di

dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Tichenor

et al

., (Padi,

2005)

mengemukakan bahwa kenaikan pendidikan formal menunjukkan suatu

perluasan dan penganekaragaman ruang kehidupan, jumlah kelompok referensi yang

lebih besar, keterampilan dan kesadaran ilmu pengetahuan dan masalah umumnya

lainnya yang lebih besar serta lebih luasnya dedahan pada isi media tentang lingkup

masalah.

Pendidikan diartikan sebagai rangkaian proses belajar-mengajar yang

menghasilkan perubahan perilaku. Pendidikan menjadi urutan pertama dalam

menentukan tingkat keinovatifan seseorang, demikian pendapat Rogers dan

Shoemaker (1971). Menurut Slamet (1975) tingkat pendidikan warga belajar akan

mempengaruhi pemahamannya terhadap sesuatu yang akan dipelajari. Artinya, hasil

belajar yang diperoleh dari proses belajar (proses pendidikan) akan membuat warga

belajar mampu melihat hubungan yang nyata antara berbagai fenomena yang

dihadapi. Selain itu, hasil belajar yang pernah diperoleh warga belajar dari pendidikan

yang pernah diikutinya akan mempengaruhi semangatnya untuk belajar.

Pengalaman Usaha

Pengalaman berusaha merujuk pada jumlah tahun lamanya seorang pengelola

berbisnis rumah makan. Pengalaman berusaha yang lebih lama dapat menumbuhkan

motivasi yang lebih kuat untuk berbuat sesuatu yang menguntungkan. Pengalaman

seseorang bertambah sejalan dengan bertambahnya usia. Pengalaman dapat diukur

secara kuantitatif berdasarkan jumlah tahun seseorang dalam bidang usaha; serta

pengalaman yang bersifat kualitatif. Konsekuensi masa depan ditentukan oleh

pengalaman masa lalu, dampak dari pengalaman, serta pengamatan seseorang

terhadap yang lain. (Bandura, 1986)

Hal ini sependapat dengan Stanton (1978) bahwa motivasi untuk berbuat

tergantung dari pengalamannya, sebab pengalaman akan menentukan minat dan

kebutuhan yang dirasakan. Dalam proses belajar-mengajar, pengalaman juga


(31)

memiliki peran penting. Klausmeijer dan Goodwin (1966) menyatakan bahwa

pengalaman masa lampau akan mempengaruhi efisiensi belajar karena menurut

Havelock (1969) pengalaman masa lampau yang telah dimiliki seseorang akan

mempengaruhi kecenderungannya merasa memerlukan dan siap untuk menerima

pengetahuan pengetahuan baru. Pengalaman seseorang juga akan memberikan

kontribusi terhadap minat dan harapannya untuk belajar lebih banyak (Dahama and

Bhatnagar, 1980). Pemahaman terhadap pengalaman merupakan awal dan proses

belajar karena pengalaman akan dapat mengarahkan perhatian warga belajar kepada

minat, kebutuhan dan masalah masalah yang dihadapi.

Intensitas Komunikasi

Soekartawi (1988) menyatakan bahwa jumlah sumber informasi yang

digunakan oleh seseorang berhubungan positif dengan tingkat penerapan dan

penyebaran inovasi. Aktifitas mencari informasi adalah salah satu peubah komunikasi

yang berhubungan positif dengan tingkat penerapan inovasi (Van den Ban and

Hawkins, 1988). Perilaku pencarian informasi berhubungan dengan tingkat

pendidikan. Orang-orang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari isi informasi

melalui media cetak, demikian pendapat Schramm (1973).

Kajian berbagai hasil penelitian dan pendapat para ahli menunjukkan bahwa

intensitas komunikasi menentukan kecepatan perubahan perilaku. Pengelola rumah

makan melalui aktivitas komunikasi aktif dan komunikasi pasif akan lebih cepat

mengubah perilaku bisnisnya. Aktifitas komunikasi aktif artinya pengelola rumah

makan sengaja mencari informasi tentang cara atau strategi menjalankan bisnisnya,

sedangkan komunikasi pasif artinya pengelola rumah makan sekedar menerima

informasi tentang bisnis restoran dari pihak lain.

Keanggotaan kelompok

Keanggotaan dalam kelompok mencerminkan perilaku komunikasi seseorang

karena dalam kelompok terjadi proses komunikasi dan proses pendidikan. Seseorang

dapat berubah perilakunya karena pengaruh kelompok. Kelompok, menurut Slamet


(32)

(1995) adalah dua atau lebih orang yang berhimpun atas dasar kesamaan, berinteraksi

melalui pola atau struktur tertentu guna mencapai tujuan bersama, dalam kurun waktu

yang relatif panjang.

Sherip (Bahraini, 1984) mengartikan kelompok sebagai suatu kesatuan sosial

yang terdiri atas dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang

cukup intensif dan teratur, sehingga diantara individu sudah terdapat pembagian

tugas, struktur, dan norma-norma tertentu, yang khas bagi kesatuan sosial tersebut.

Hare (Bahraini, 1984) suatu kelompok bisa berbentuk asosiasi, yaitu organisasi yang

dibentuk oleh dan untuk pekerja yang berfungsi mewakili para pekerja dari satu atau

beberapa perusahaan saja yang bertujuan meningkatkan profesionalisme atau

kesejahteraan pekerja. Dalam kelompok terjadi interaksi antara anggota satu dan

anggota lainnya, mempunyai tujuan yang menjadi pedoman gerak kelompok dan

anggota, membentuk norma yang mengatur ikatan dan aktivitas anggota, serta

mengembangkan peranan dan jaringan ikatan perorangan dalam kelompok.

Menurut Slamet (1995) kelompok mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1)

terdiri dan individu-individu, (2) saling ketergantungan antara individu, (3) partisipasi

yang terus menerus dan individu, (4) mandiri atau mengarahkan diri sendiri, (5)

selektif dalam hal anggota, tujuan dan kegiatan, serta, (6) memiliki keragaman yang

terbatas. Soekartawi (1988) juga mengatakan bahwa salah satu faktor yang

mempengaruhi proses adopsi adalah interaksi antar individu, interaksi

individu-individu dengan kelompok-kelompok masyarakat.

Keberanian Mengendalikan Resiko

Entrepreneurship

menurut Hendro (2006) memiliki tiga komponen utama

yaitu: wirausaha, wiraswasta, atau pengusaha. Ada hal berbeda, yaitu antara

wirausaha dan wiraswasta. Wirausaha berasal dari kata "wira" artinya berani dan

"usaha" yang bersumber bahasa Melayu. Begitu juga kata wiraswasta yang berasal

dari kata "wira" berani dan 'swasta


(33)

Secara umum menurut Fuad (2000) pengertian wiraswastawan menunjuk

kepada pribadi tertentu yang secara kualitatif lebih dari kebanyakan manusia pada

umumnya, yaitu pribadi yang memiliki kemampuan untuk: (a) Berdiri di atas

kekuatan sendiri dalam mengambil keputusan dan menetapkan tujuan;

(b) Memperkenalkan fungsi faktor produksi baru, merespon secara kreatif dan

inovatif; (c) Belajar dari pengalaman (mawas diri), memiliki semangat bersaing dan

berprestasi yang kuat; (d) Menguasai berbagai pengetahuan; ketrampilan dalam

menyusun, menjalankan, dan mencapai tujuan organisasi usaha.

Hendro (2006), setiap wirausahawan (

entrepreuneur

) yang sukses memiliki

empat unsur pokok yaitu:

(1)

Kemampuan (hubungannya dengan

IQ

dan

skill

) dalam membaca peluang,

berinovasi, mengelola, dan menjual;

(2)

Keberanian (hubungannya dengan

emotional quotient

dan mental) dalam

mengatasi ketakutannya, mengendalikan resiko, dan untuk keluar dari zona

kenyamanan;

(3)

Keteguhan hati (hubungannya dengan motivasi diri):

persistence

(ulet), pantang

menyerah,

determinasi

(teguh akan keyakinannya), dan kekuatan akan pikiran

(

power of mind)

bahwa anda juga bisa; dan

(4)

Kreatifitas yang menelurkan sebuah inspirasi sebagai cikal bakal ide untuk

menemukan peluang berdasarkan intuisi (hubungannya dengan pengalaman).

Keterampilan Teknis

Fuad (2000) memberikan tiga keterampilan yang perlu dikuasai oleh manajer

berdasarkan tingkatan manajemen yaitu: (1) Manajemen Puncak membutuhkan

ketrampilan bersifat konseptual

(Conceptual Skills),

(2) Manajemen Menengah dituntut

memiliki ketrampilan bersifat manajerial

(Managerial Skills),

dan

(3) Manajemen

Pelaksana sebagai pengawas atau penyelia tingkat pertama

(First line supervisor)

membutuhkan ketrampilan bersifat teknik

(Technical Skills).

Untuk melaksanakan fungsi-fungsinya, para manajer atau pengelola usaha

memerlukan berbagai kemampuan dan keterampilan. Menurut Katz (1974) terdapat 3


(34)

(tiga) macam keterampilan manajer yaitu: (1) Keterampilan teknis adalah

kemampuan untuk menggunakan peralatan, prosedur atau teknik-teknik dari suatu

bidang tertentu; (2) Keterampilan manusiawi adalah kemampuan untuk interaksi

dengan orang lain dalam memahami dan memotivasi serta mendorong orang lain baik

sebagai individu atau kelompok; dan (3) Keterampilan konseptual adalah kemampuan

mental para manajer untuk mengkoordinasi dan mengintegrasikan seluruh

kepentingan dan kegiatan organisasi sehingga organisasi dapat dilihat sebagai suatu

kesatuan yang utuh.

Ketiga kemampuan dan keterampilan tersebut sama pentingnya, namun

kepentingan itu sangat tergantung kepada kedudukan manajer itu dalam tingkat

organisasi. Komposisi teknis lebih besar untuk manajer rendah dan kemampuan

konsepsional lebih utama bagi manajer tingkat atas, karena harus mengambil putusan

yang berpengaruh luas dan berjangka waktu yang panjang.

Ciri Lingkungan Usaha

Schoell (1993) menyatakan faktor-faktor yang menunjukkan kekuatan utama

dari perusahaan kecil adalah: (1) Fleksibilitas lebih besar. Perusahaan kecil

cenderung lebih dapat menyesuaikan rencana dengan sangat cepat dalam

merespon perubahan lingkungan; (2) Lebih banyak perhatian secara pribadi terhadap

pelanggan dan karyawan; dan (3) Biaya tetap lebih rendah. Biaya personalia lebih

hemat, hal ini memungkinkan untuk menjual produknya pada harga lebih rendah. 4)

Motivasi pemilik lebih besar, pemilik usaha kecil memiliki perusahaannya sendiri

maka hal ini memotivasinya untuk bekerja lebih keras.

Tingkat pendapatan usaha, ukuran luas usaha, dan sumber informasi yang

digunakan turut mempengaruhi cepat lambatnya adopsi Lionberger (1960).

Faktor-faktor dari lingkungan usaha berikut yaitu: (1) pasar input antara lain tenaga kerja,

bahan baku, modal, dan usaha; dan (2) pasar output

antara lain tuntutan pelanggan

dan pengaruh terhadap kompetitor, turut mempengaruhi keuntungan dari perusahaan,

dan pada akhirnya akan mempengaruhi penilaian untung ruginya suatu investasi.


(35)

Kebijakan Pemda

Kebijakan pembangunan pariwisata bertujuan, memperluas kesempatan kerja,

berusaha, meningkatkan devisa negara, memperkenalkan alam dan lingkungan

Indonesia. Adapun pengembangan dan pembinaannya, lewat penataran, penyuluhan

dalam rangka sosialisasi peraturan perundangan di bidang kepariwisataan.

Menyelenggarakan kursus keterampilan industri kecil. Kerjasama dengan pihak

swasta terkait.

Sejak diterapkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 mengenai pembagian

wewenang antara sistem dan organisasi pemerintah pusat dan daerah, maka peran

pemerintah daerah semakin besar dalam mengurus ketatalaksanaan administrasi

pemerintahan wilayahnya. Sehubungan dengan hal tersebut Peraturan Daerah (Perda)

Propinsi DKI Jakarta Nomor 10 tahun 2004 tentang Kepariwisataan, merupakan salah

satu kebijakan Pemda. Peraturan yang terkait dengan kegiatan operasional usaha

penunjang pariwisata, khususnya usaha rumah makan, yaitu:

(1)

Pasal 9; mengatur tentang Dinas Pariwisata melakukan pembinaan terhadap

industri pariwisata melalui peningkatan standar kualitas pelayanan dan

peningkatan daya saing usaha pariwisata, sebagai upaya mewujudkan iklim usaha

yang kondusif.

(2)

Pasal 16; Setiap industri pariwisata, wajib melakukan upaya pelestarian

lingkungan melalui AMDAL.

(3)

Pasal 24; setiap industri pariwisata harus memperoleh ISUP (Izin Usaha

Sementara Usaha Pariwisata) dari Kepala Dinas Pariwisata, sebagai syarat Izin

Mendirikan Bangunan (IMB) dan untuk menyusun dokumen Analisa Mengenai

Dampak Lingkungan (AMDAL) serta Izin Tetap Usaha Pariwisata (ITUP).

(4)

Pasal 31; Dinas Pariwisata menyelenggarakan pelatihan untuk meningkatkan

mutu tenagakerja bidang kepariwisataan berpedoman pada standar kompetensi

profesi kepariwisataan berdasarkan profesi/jabatan masing-masing.


(36)

(5)

Pasal 32; Setiap tenaga kerja pariwisata wajib memiliki Sertifikat Profesi

Kepariwisataan sebagai lisensi kekaryaan berdasarkan profesi/jabatan di

bidangnya masing-masing.

(6)

Pasal 35; tentang kewajiban dan larangan di antaranya tentang kewajiban untuk:

-

menjamin dan bertanggung jawab terhadap keamanan, keselamatan,

ketertiban dan kenyamanan;

-

memelihara kebersihan, keindahan dan kesehatan lokasi kegiatan;

-

memberikan kesempatan kepada karyawan untuk melaksanakan ibadah;

-

menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja;

-

membayar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; dan tentang larangan di

antaranya menggunakan tenaga kerja di bawah umur.

(7)

Pasal 40; aturan tentang usaha penyediaan makanan dan minuman, terdiri dari

restoran, bar, pusat jajan, jasa boga, dan bakeri harus disertifikasi halal oleh

lembaga yang berkompeten. Tanda sertifikasi diletakkan pada tempat yang mudah

dibaca oleh konsumen.

(8)

Pasal 41; Dinas Pariwisata melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan

kepariwisataan.

(9)

Pasal 42 Dinas Pariwisata melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan

kepariwisataan

Skala Usaha

Skala usaha dapat diukur dengan melihat luas areal yang diusahakan oleh

petani atau satuan ternak yang dimiliki peternak. skala usaha dapat dilihat dari

keuntungan yang diperoleh dengan cara menjabarkan berbagai prasyarat teknis

maupun ekonomi yang memberikan kontribusi terhadap keuntungan tersebut.

(Soedjana, 2007)

Suatu industri dapat diklasifikasikan atas dasar skala atau besar kecilnya

usaha. Besar kecilnya usaha bisnis ditentukan oleh besar kecilnya modal yang

ditanamkan. Klasifikasi industri berdasarkan skala usaha dapat dibagi menjadi 3


(37)

kriteria sebagai berikut: 1) Industri skala usaha kecil, 2) Industri skala menengah, dan

3) Industri skala usaha besar (Prawirosentono, 2002).

Dari waktu ke waktu, karena nilai uang yang selalu makin turun,

menyebabkan kriteria usaha berdasarkan modal yang ditanamkan sering

berubah-ubah. Pengertian usaha kecil tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1995, yang

menyebutkan bahwa usaha kecil adalah usaha dengan kekayaan bersih paling banyak

Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dengan hasil

penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000.

BPS memberikan batasan jumlah tenaga kerja dalam menentukan skala usaha

terutama di sektor industri, yaitu industri kerajinan rumah tangga (IKRT) dengan 1-4

pekerja, dan industri kecil (IK) dengan 5-19 pekerja termasuk pemiliknya.3

Departemen Perindustrian dan Perdagangan juga memberikan batasan yang sama

dalam membagi skala usaha, yaitu industri dagang mikro (1- 4 pekerja), industri

dagang kecil (5-19 pekerja), dan industri dagang menengah (20-99 pekerja).

Skala usaha dalam suatu sistem usaha rumah makan dapat juga diukur dengan

berbagai cara, antara lain dari nilai investasi, biaya tetap, biaya variabel, total omzet

penjualan, luas areal rumah makan, dan jumlah kursi yang menggambarkan kapasitas

tamu yang mampu di tampung.

Modal Keuangan

Permodalan dan bentuk usaha industri pariwisata sebagaimana di maksud

dalam Pasal 7 Perda DKI Jakarta No. 10 tahun 2004 adalah sebagai berikut:

(a)

seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara Republik Indonesia dapat

berbentuk Badan Hukum atau usaha perseorangan sesuai dengan peraturan

perundangan yang berlaku;

(b)

modal patungan antara Warga Negara Republik Indonesia dan Warga Negara

Asing, bentuk usahanya harus Perseroan Terbatas;

(c)

seluruh modalnya dimiliki warga negara asing dalam bentuk penanaman modal

asing wajib mematuhi peraturan perundangan yang berlaku.


(38)

Modal merupakan faktor penunjang utama dalam kegiatan usaha rumah

makan tradisional. Tanpa adanya modal, pemilik RMT Kelas C akan sulit

mengembangkan usaha yang dilakukannya. Dalam pengertian ekonomi, (Hernanto,

1993) mengatakan bahwa modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama

dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan

barang-barang baru yakni produksi pertanian.

Berdasarkan sumbernya, menurut (Hernanto, 1993) modal dapat dibedakan

menjadi: (1) milik sendiri, (2) pinjaman atau kredit; (a) kredit bank, dan (b) dari

pelepas uang/tetangga/famili dan lain-lain, (3) warisan, (4) dari usaha lain, dan (5)

kontrak sewa. Modal sendiri, pemilik RMT bebas menggunakan. Modal yang berasal

dari kredit yang milik orang lain tentunya ada persyaratan.

Persyaratan dapat diartikan pembebanan yang menyangkut waktu

pengambilan maupun jumlah serta angsurannya. Untuk modal yang berasal dari

warisan, tergantung dari pemberi. Sumber modal dari luar usaha RMT dimaksud bila

pemilik RMT memiliki usaha dari luar usaha RMT yang cukup besar. Modal dari

kontrak sewa diatur menurut jangka waktu tertentu sampai peminjam dapat

mengembalikan.

Ketersediaan modal mempengaruhi kemampuan pemilik RMT Kelas C dalam

upaya mengembangkan usaha rumah makan tradisionalnya, karena berpengaruh pada

produktivitas hasil usaha secara optimal. Dengan demikian, keterbatasan modal usaha

RMT Kelas C berhubungan dengan kompetensi pemilik RMT Kelas C dalam

mengelola usaha rumah makannya.

Modal Tenaga Keja

Sumber daya pariwisata dalam pembangunan kepariwisataan, sebagaimana di

maksud dalam Pasal 7 Perda DKI Jakarta No. 10 tahun 2004, terdiri atas: sumber

daya alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, berupa letak geografi, kepulauan, laut,

flora dan fauna, sungai, danau, hutan, bentang alam, iklim; sumber daya hasil karya

manusia, berupa hasil-hasil rekayasa sumber daya alam, perkotaan, kebudayaan,


(39)

nilai-nilai sosial, warisan sejarah, dan teknologi; sumber daya manusia berupa,

kesiapan, kompetensi, komitmen dan peran serta masyarakat.

Modal tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam

melaksanakan kegiatan usaha RMT, bahkan kekurangan tenaga kerja dapat

mengakibatkan turunnya produksi. Pekerja dengan tingkat keahlian tertentu memiliki

status lebih tinggi daripada pekerja tanpa keahlian (Boserup, 1984). Perbedaan status

(karena perbedaan keahlian, keterampilan dan latihan yang dimiliki seseorang), yang

menurut Belante dan Jackson (1983) disebut sebagai modal tenaga keja (human

capital) termasuk pula ukuran sampai batas mana masyarakat menilai keahlian,

keterampilan dan latihan tersebut.

Pendidikan dan latihan menurut Simanjuntak (Tjiptoherijanto, 1982)

merupakan salah satu aspek yang penting dalam pengembangan sumber daya

manusia. Pendidikan dan latihan di satu pihak dapat meningkatkan produktifitas

kerja, sedangkan di pihak lain merupakan indikator tingkat kemiskinan masyarakat

bilamana suatu negara memiliki sejumlah besar penduduk buta hurup dan

berpendidikan rendah.

Sarana Usaha

Sarana kepariwisataan (

tourism superstructure

) adalah perusahaan-perusahan

yang memberikan pelayanan langsung kepada wisatawan, baik secara langsung

maupun tidak, dan kehidupan usahanya banyak bergantung pada kedatangan para

wisatawan tersebut.

Yoeti (1996) membagi tiga bagian penting dari sarana kepariwisataan, yaitu:

sarana pokok, sarana pelengkap, dan sarana penunjang. Sarana pokok kepariwisataan

yaitu agen perjalalanan, perusahaan angkutan, hotel, restoran, obyek dan atraksi

wisata. Perusahaan tersebut merupakan fasilitas minimal yang harus ada pada daerah

tujuan wisata (DTW). Jika salah satu tidak ada, dapat dikatakan perjalanan wisata

tidak berjalan seperti diharapkan.

Sarana pelengkap kepariwisataan, Nyoman S.Pendit (Yoeti, 1996), merupakan

perusahaan pariwisata sekunder, karena tidak seluruhnya bergantung kepada


(40)

wisatawan melainkan bagi masyarakat setempat. Perusahaan termasuk ini yaitu; toko

pakaian dan perhiasan, toko kelontong,

photostudio

, usaha binatu, cukur rambut,

salon kecantikan dan lainnya. Sedangkan sarana penunjang kepariwisataan seperti

niteclub, steambath, casinos,

dan lain-lain.

Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat/media dalam

mencapai maksud atau tujuan. Sarana rumah makan mencakup perabotan dan

peralatan yang diperlukan sebagai kelengkapan setiap gedung/ruangan dalam

menjalankan fungsinya untuk meningkatkan mutu dan relevansi hasil produk dan

layanannya. Berdasarkan jenisnya sarana rumah makan dibagi dalam 4 (empat)

kelompok yaitu:

(1)

Sarana pengolahan, mencakup: (a) sarana untuk melaksanakan proses persiapan,

seperti pisau pemotong, alat bantu dan wadah (b) peralatan memasak, sesuai

tugas/kegiatan para juru masak di dapur (c) peralatan penyajian hidangan. (c)

peralatan penyimpanan bahan segar dan makanan siap saji.

(2)

Sarana pelayanan mencakup: (a) furniture seperti meja, kursi, almari persediaan

alat; (b) lenan (jenis kain) seperti taplak meja, serbet tamu, dan serbet kerja.

(3)

Peralatan makan dan minum tamu seperti piring, gelas, cangkir, sendok, garpu,

dan pisau makan.

(4)

Sarana penunjang seperti seragam karyawan dan asesoris kerjanya.

Manajemen sarana yang profesional merupakan suatu keharusan, dimulai

dengan adanya rencana strategik, rencana tahunan, rencana operasional yang

diterjemahkan dalam rencana kerja anggaran tahunan yang disepakati bersama.

Kemudian didukung oleh unit pengelola yang handal yang memiliki program

perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan serta pengendaliannya.

Kelayakan sarana, baik kwalitas dan kwantitasnya, yang mendukung kegiatan

usaha dan pelayanan pada pelanggan rumah makan merupakan aset perusahaan

karena dapat mendorong peningkatan produktifitas, kepuasan pelanggan dan pada

gilirannya akan membantu meningkatkan kesejahteraan tamu dan karyawan serta

sebagai kebanggaan dalam memberikan citra perusahaan. Sebagai aset perusahaan,


(41)

sarana perlu dinventarisir dan didokumentasikan dengan baik, dipelihara dan

dimanfaatkan secara efektif, efisien dan terintegrasi.

Prasarana Usaha

Prasarana (

infrastructures

) adalah semua fasilitas yang dapat memungkinkan

proses perekonomian berjalan dengan lancar dan dalam upaya memudahkan manusia

untuk memenuhi kebutuhannya. Kreck (Yoeti, 1996) membagi prasarana atas dua

bagian yang penting yaitu (1) Prasarana Perekonomian (

economic infrastructure

),

terdiri atas pengangkutan (

transportation

), prasarana komunikasi (

communication

infrastructure

), sistim instalasi (

utilities

), dan sistem perbankan; dan (2). Prasarana

Sosial, terdiri atas sistim pendidikan, pelayanan kesehatan, faktor keamanan, dan

petugas pelayanan. Sedangkan Wahab (Yoeti, 1996) membagi menjadi tiga prasarana

yaitu: (1) Prasarana umum, bertujuan untuk membantu kelancaran roda

perekonomian; (2) Prasarana kebutuhan masyarakat banyak; dan (3) Prasarana

kepariwisataan.

Perbedaan antara pasarana kepariwisataan dengan sarana kepariwisataan adalah

semua fasilitas yang memungkinkan agar sarana kepariwisataan dapat hidup dan

berkembang serta dapat memberikan pelayanan pada wisatawan untuk memenuhi

kebutuhan mereka yang beraneka ragam (Yoeti, 1996). Restoran atau rumah makan

agar dapat melayani tamu-tamunya dengan baik dan lancar, membutuhkan (a)

instalasi tenaga listrik, instalasi air, gas, dan sumber energi lainnya; (b) alat

transportasi; (c) distributor bahan dan peralatan; (d) tenaga

maintenance

, yang

merawat dan memperbaiki peralatan/mesin; (e) tenaga pelayanan kesehatan,

keamanan, dan pendidikan; (f) sistim telekomunikasi; dan (g) sistem perbankan dan

moneter.

Prasarana rumah makan adalah perangkat penunjang utama suatu proses atau

usaha rumah makan agar tujuan tercapai. Prasarana rumah makan dapat dibagi dalam

2 (dua) kelompok yaitu: (1) Prasarana bangunan. Mencakup lahan dan bangunan

gedung baik untuk keperluan ruang makan, ruang kantor, ruang karyawan, ruang

dapur, ruang gudang basah dan kering, fasilitas umum seperti toilet dan musholla.


(42)

(2) Prasarana umum berupa air, penampungan sampah, saluran limbah, listrik,

instalasi gas/BBM, peralatan pemadam kebakaran, lahan parkir dan taman.

Pembangunan maupun pengembangan prasarana rumah makan ini mengacu

pada

masterplan

rumah makan, sehingga misi, tujuan dan suasana rumah makan yang

diharapkan dapat tercapai. Demikian pula pada kegiatan pengadaan, pengoperasian,

perawatan dan perbaikan alat sangat diperlukan agar peralatan dapat dioperasikan

dengan baik.

Lokasi Usaha

Dalam industri pariwisata lokasi menjadi keunggulan bersaing yang kuat,

dalam hal ini misalnya restoran yang berhadapan dengan pusat taman kota akan

mempunyai keunggulan bersaing dibandingkan restoran yang terletak satu blok lebih

jauh yang tidak dapat melihat taman itu secara langsung. Rumah makan yang

berlokasi tepat di pintu keluar jalan tol akan dapat memiliki keunggulan tingkat

kunjungan lebih tinggi dibandingkan yang berada satu blok lebih jauh. Restoran di

puncak gunung mengiklankan pemandangan pegunungan sebagai keunggulan

bersaing dan restoran yang mempunyai pemandangan laut melakukan hal yang sama.

Perusahaan pariwisata harus mencari manfaat yang diciptakan oleh lokasi

mereka dan mengunakan manfaat tersebut untuk membedakan diri dari kompetitor

mereka. Dalam hal kemudahan akses juga menjadi pertimbangan pelanggan rumah

makan, misalnya di beberapa kota besar, banyak orang tidak suka menghabiskan

waktu lebih dari 10 menit untuk pergi ke suatu restoran. Maka dari itu, rumah makan

di daerah urban harus berada dalam radius 10 menit berkendara dari pelanggannya.

Di jalan raya yang bersekat, jalur pemisah dapat membuat restoran di seberang jalan

seperti sulit didatangi. Pengemudi mungkin akan lebih memilih mencari restoran siap

saji di sisi jalan yang sama, ketimbang harus mencari putaran untuk menyeberang

(Kotler, 2002).


(43)

Kompetitor

Setiap perusahaan akan memiliki dan berhadapan dengan banyak kompetitor

(pesaing). Konsep pemasaran menyatakan bahwa agar berhasil sebuah perusahaan

harus memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumennya lebih baik daripada para

pesaingnya. Para pemasar harus berusaha keras untuk tidak saja menyesuaikan diri

dengan kebutuhan pelanggan sasaran. Mereka juga harus menyesuaikan diri dengan

strategi perusahaan lain yang melayani pasar sasaran yang sama. Perusahaan harus

memperoleh keunggulan strategis dengan cara memposisikan produknya secara

mantap dalam benak konsumen.

Tidak ada strategi bersaing yang cocok (pas) bagi semua perusahaan, karena

masing-masing perusahaan perlu mempertimbangkan ukuran dan posisi di dalam

industrinya dalam hubungannya dengan pesaing. Perusahaan besar yang dominan

dalam sebuah industri dapat menggunakan strategi tertentu yang tidak mungkin

dilakukan oleh perusahaan kecil. Tetapi perusahaan kecil pun dapat memilih strategi

yang memberikan keunggulan tertentu. Sebagai contoh, sebuah restoran waralaba

besar dapat memanfaatkan daya belinya untuk beriklan secara nasional. Biaya yang

besar ditanggung bersama oleh ratusan atau ribuan restoran. Tetapi restoran yang

kecilpun mampu dengan cepat menyesuaikan diri terhadap kecenderungan setempat,

dan dapat menawarkan menu yang lebih bervariasi karena tidak perlu

meng-khawatirkan standar menu untuk ribuan restoran. Maka perusahaan besar dan kecil

harus mencari strategi pemasaran yang memberikan keunggulan spesifik dalam

menghadapi pesaing yang beroperasi di pasar masing-masing (Kotler, 2002).

Kotler (2002) merumuskan bahwa setiap perusahaan berhadapan dengan empat

level persaingan yaitu: (1) Sebuah perusahaan dapat menganggap pesaingnya adalah

perusahaan lain yang menawarkan produk dan jasa serupa kepada pelanggan yang

sama dengan harga yang sama; (2) Sebuah perusahaan dapat menganggap pesaingnya

adalah semua perusahaan dengan produk atau kelas produk yang sama; (3) Sebuah

perusahaan dapat menganggap pesaingnya adalah semua perusahaan pemasok jasa

yang sama; dan (4) Lebih luas lagi, sebuah perusahaan dapat menganggap pesaingnya


(44)

adalah semua perusahaan yang bersaing untuk memperoleh uang dari pelanggan yang

sama.

Perusahaan dapat memperoleh keunggulan bersaing yang kuat melalui

pene-rimaan dan pelatihan kompetensi karyawannya secara lebih baik dibandingkan

pesaingnya, misalnya dalam hal kesopanan santun, menciptakan semangat kerja pada

para karyawan, pelayanan konsumen secara konsisten dan cermat, untuk memahami

pelanggan, berkomunikasi secara jelas dengan pelanggan, dan menanggapi secara

cepat permintaan dan masalah pelanggan.

Adopsi Inovasi

Inovasi

Havelock (Syafruddin, 2003) menyatakan bahwa inovasi merupakan segala

perubahan yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh masyarakat yang

mengalaminya. Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa inovasi adalah suatu ide,

perilaku, produk, informasi, dan pratek-praktek baru yang belum banyak diketahui,

diterima, dan digunakan/diterapkan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam

suatu lokalitas tertentu, yang mendorong terjadi perubahan-perubahan disegala aspek

kehidupan masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu hidup setiap individu/warga

masyarakat yang bersangkutan.

Menurut Samsudin (Syafruddin, 2003) inovasi adalah sesuatu yang baru yang

disampaikan kepada masyarakat lebih baik dan lebih menguntungkan dari hal-hal

sebelumnya. Selain itu Depari (1995) menyatakan bahwa inovasi adalah gagasan,

tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang.

Adopsi

Rogers dan Shoemaker (1971) adopsi adalah proses mental, dalam mengambil

keputusan untuk menerima atau menolak ide baru dan menegaskan lebih lanjut

tentang penerimaan dan penolakan ide baru tersebut. Selanjutnya menurut

Mardikanto (1993) adopsi sebagai proses perubahan perilaku berupa pengetahuan,

sikap, maupun keterampilan pada diri seseorang setelah menerima


(45)

disampaikan penyuluh kepada sasarannya. Penerimaan disini mengandung arti tidak

sekedar


(46)

(3)

Tahap keputusan (

decision

), terjadi ketika individu atau pembuat keputusan

lainnya dalam situasi menentukan pilihan menerima atau menolak inovasi;

(4)

Tahap implementasi (

implementation

), terjadi ketika individu atau pembuat

keputusan lainnya membuat keputusan mengunakan inovasi;

(5)

Tahap konfirmasi (

confirmation

), terjadi ketika individu atau pembuat keputusan

mencoba memperkuat keputusan inovasi atau menarik keputusan inovasi,

mungkin akan menolak keputusan sebelumnya jika dihadapkan pada informasi

yang bertentangan dengan inovasi yang telah diterapkan atau pernah ditolak.

Untuk mempermudah dalam memahami proses adopsi inovasi dapat dilihat

pada gambar berikut:

Gambar 1. Tahapan Proses Adopsi Inovasi

Faktor-Faktor Mempengaruhi Adopsi Inovasi

Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya faktor-faktor yang

mempengaruhi adopsi inovasi. Suparlan (Syafruddin, 2003) menyatakan bahwa

adopsi inovasi dipengaruhi oleh (a) tidak bertentangan dengan pola kebudayaan yang

telah ada, (b) struktur sosial masyarakat dan pranata sosial, dan (c) persepsi

masyarakat terhadap inovasi. Menurut Deptan (2001), bahwa kecepatan proses adopsi

dipengaruhi oleh klasifikasi pengadopsi, ciri-ciri pribadi, sosial, budaya dan

lingkungan serta sumber informasi. Di lain pihak Lionberger dan Gwin (1993)

Inovasi

Kesadaran

(

awareness

)

Minat

(

interest

)

Penilaian

(

evaluation

)

Mencoba

(

trial

)

Penolakan

(

rejection

)

Konfirmasi

(

confirmation

)

Menerapkan

(

adoption

)

Introduksi


(47)

mengelompokkan faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi antara lain, variabel

internal (personal), variabel eksternal (situasional) dan variabel kelembagaan

(pendukung).

Adopsi inovasi di usaha kecil menengah (UKM) didorong oleh persepsi

manfaat, sumber daya yang meliputi kecukupan dana untuk mengadopsi dan

dukungan terhadap pengembangan diri karyawan, kesiapan dukungan sistem yang

meliputi pengertian dan pemahaman pemilik/pengelola terhadap suatu inovasi.

Inovasi dapat mempengaruhi strategi perusahaan, kecukupan staff, dan kecukupan

infrastruktur, pasar yang meliputi tuntutan pelanggan dan pengaruh terhadap

kompetitor (persaingan). Faktor infrastruktur diwakili oleh biaya bahan, serta vendor

dan konsultan yang meliputi kemudahan memperoleh jasa konsultan dan kecukupan

bantuan konsultan. Faktor lembaga perbankan tentang kecukupan dukungan

keuangan dan kecukupan dukungan non keuangan dari pemerintah berupaa regulasi,

kebijakan, dan pembinaan.

Program Sapta Pesona

Program Sapta Pesona merupakan salah satu inovasi, yang didefinisikan

sebagai sebuah konsep yang menggambarkan

partisipasi dan dukungan masyarakat

dalam mendorong terwujudnya iklim yang kondusif pengembangan kepariwisataan di

suatu wilayah/tempat. Partisipasi dan dukungan masyarakat tersebut terkait dengan

penciptaan

kondisi yang mampu mendorong tumbuh dan berkembangnya industri

pariwisata, antara lain unsur keamanan, kebersihan

,

ketertiban, kenyamanan,

keindahan, keramahan, dan unsur kenangan.

Sebelum krisis moneter 1997, program

Visit Indonesia Year

pernah menuai

sukses dengan mendongkrak jumlah wisatawan mancanegara dan devisa sektor

pariwisata. Sejarahnya, dimulai pada 1991 saat pariwisata masih berada di bawah

Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi yang dipimpin Soesilo Sudarman.

Tahun

itulah

pertama

kali

Visit

Indonesia

Year

(VIY)

ditetapkan.

Proses pelaksanaannya antara lain lewat kampanye sadar wisata. Bentuknya beragam,

mulai dari penyuluhan hingga lokakarya. Isinya antara lain menggugah kesadaran


(48)

kebersihan, keamanan, sampai mempersiapkan hal terkecil berupa kenangan yang

bisa dibawa pulang. Program VIY 1991 dianggap sukses. Pada 1990, jumlah wisman

yang semula 2,18 juta, meningkat menjadi 2,57 juta pada 1991. Kenaikan itu

dianggap istimewa karena saat itu banyak negara disibukkan dengan Perang Teluk.

Maka, VIY diperpanjang 10 tahun dalam sebuah program bernama Dekade

Kunjungan Wisata Indonesia (Dekuni) yang berlaku mulai 1992 hingga 2000.

Tahun ini dimulai program

Visit Indonesia Year

2008 yang diluncurkan

bertepatan dengan momentum 100 tahun kebangkitan nasional. Menteri Pariwisata

dan Kebudayaan Jero Wacik optimistis tercapainya target 7 juta wisman dan US$6,4

miliar devisa dari sektor pariwisata. Beberapa target yang dikemukakan, seperti Bali

1,5 juta wisman, Sumatra Barat 1 juta, Jakarta 1,6 juta, dan Jawa Barat 600 ribu. Dari

empat daerah itu saja, jelasnya, sudah tercapai 4,7 juta wisatawan asing.

Penjabaran Konsep Sapta Pesona

Program Sapta Pesona bertujuan untuk menyadarkan warga masyarakat untuk

bangkit, dan berpartisipasi aktif dalam sektor pariwisata. Partisipasi semua warga

masyarakat diarahkan pada kemampuan memiliki kesadaran wisata, kesadaran

tentang lingkungannya, kesadaran sebagai tuan rumah, kesadaran akan seni budaya,

kesadaran akan hukum dan kesadaran akan berwisata. Melalui partisipasi aktif

anggota masyarakat sesuai dengan seluruh aspek sapta pesona, diharapkan dapat

menciptakan kondisi kawasan wisata yang aman, bersih

,

tertib, nyaman, indah,

ramah, dan memenuhi unsur kenangan.

Agar masyarakat dapat berperan aktif sesuai dengan tujuan yang diharapkan

maka perlu disusun strategi untuk memudahkan mereka mengadopsi. Penjabaran

Sapta Pesona seperti tercantum pada Panduan Sadar Wisata yang dapat disesuaikan

dengan lingkungan usaha rumah makan seperti berikut di bawah ini.

Aman (Keamanan),

bertujuan menciptakan lingkungan yang aman bagi

wisatawan dan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan, sehingga wisatawan tidak

merasa cemas dan dapat menikmati kunjungannya ke suatu destinasi wisata. Bentuk

aksi:

(1) Memelihara keamanan lingkungan, aman dari gangguan preman dan


(49)

pengutil; (2) Membantu memberi informasi kepada wisatawan; (3) Menjaga

lingkungan yang bebas dari bahaya penyakit menular; dan (4) Meminimalkan resiko

kecelakaan dalam penggunaan fasilitas publik.

Tertib (Ketertiban),

bertujuan

menciptakan lingkungan yang tertib bagi

berlangsungnya kegiatan kepariwisataan yang mampu memberikan layanan teratur

dan efektif bagi wisatawan. Bentuk aksi: (1) Mewujudkan budaya antri; (2)

Memelihara lingkungan dengan menaati peraturan yang berlaku; (3) Disiplin

waktu/tepat waktu; dan (4) Semua sisi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat

menunjukkan keteraturan yang tinggi.

Bersih (Kebersihan),

bertujuan: menciptakan lingkungan yang bersih bagi

berlangsungnya kegiatan kepariwisataan yang mampu memberikan layanan higienis

bagi wisatawan. Bentuk aksi: (1) Tidak membuang sampah/limbah sembarangan;

(2) Turut menjaga kebersihan sarana dan lingkungan obyek dan daya tarik wisata;

(3) Menyiapkan sajian makanan dan minuman yang higienis; (4) Menyiapkan

perlengkapan penyajian makanan dan minuman yang bersih; dan (5) Pakaian dan

penampilan petugas bersih dan rapi

Sejuk (Kesejukan),

bertujuan: menciptakan lingkungan yang nyaman dan

sejuk bagi berlangsungnya kegiatan kepariwisataan yang mampu menawarkan

suasana yang nyaman, sejuk, sehingga menimbulkan rasa


(50)

dan serasi serta menjaga karakter kelokalan; dan (3) Menjaga keindahan vegetasi,

tanaman hias dan peneduh sebagai elemen estetika lingkungan yang bersifat natural.

Ramah (Keramah-tamahan),

bertujuan: menciptakan lingkungan yang ramah

bagi berlangsungnya kegiatan kepariwisataan yang mampu menawarkan suasana

yang akrab, bersahabat serta seperti di


(51)

Prinsip Pembangunan Pariwisata

Pembangunan pariwisata harus mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dengan memberikan kesempatan agar masyarakat mampu berperan serta secara aktif untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Usaha pariwisata harus mengedepankan kepentingan masyarakat sehingga masyarakat dapat mengambil bagian dalam pengelolaan sumber daya dan obyek wisata atau daerah tujuan wisata. Menuruti kode etik pariwisata dunia, bahwa dalam pembangunan bidang pariwisata perlu untuk memiliki keterkaitan dengan pengaturan pelestarian lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat setempat, perencanaan berorientasi pada perlindungan sumber daya alam dan budaya, hak asasi manusia, hak dan kewajiban para pelaku pariwisata, pelestarian warisan budaya dan globalisasi.

Jika memperhatikan prinsip-prinsip dan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam pembangunan pariwisata tersebut, maka kata kunci pembangunan pariwisata adalah bagaimana membangun partisipasi masyarakat. Namun berdasarkan studi yang dilakukan Kementerian Budpar RI (2003), diperoleh fakta bahwa:


(52)

Partisipasi Pengelola RMT

Masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan (stakeholder) pembangunan memiliki peran strategis tidak saja sebagai penerima manfaat, namun sekaligus menjadi pelaku yang mendorong keberhasilan pengembangan kepariwisataan. Keberhasilan pengembangan pariwisata perlu iklim yang kondusif dalam bentuk dukungan dan partisipasi masyarakat melalui peningkatan sadar wisata.

Sadar wisata didefinisikan sebagai sebuah konsep yang menggambarkan partisipasi dan dukungan masyarakat dalam mendorong terwujudnya iklim yang kondusif pengembangan kepariwisataan di suatu wilayah/tempat. Partisipasi dan dukungan masyarakat tersebut terkait dengan penciptaan kondisi yang mampu mendorong tumbuh dan berkembangnya industri pariwisata, antara lain unsur keamanan, kebersihan, ketertiban, kenyamanan, keindahan, keramahan dan unsur kenangan (Sapta Pesona). Sadar wisata sebagai bentuk komitmen strategis dalam pengembangan pariwisata harus mengakar, dipahami dan disikapi secara tepat dan konkret dikalangan masyarakat. Tiap produk pariwisata harus mengandung Sapta Pesona sebagai tolok ukur peningkatan kualitas produk pariwisata.

Untuk wilayah DKI Jakarta, jasa akomodasi yaitu hotel dan rumah makan merupakan sarana pendukung pembangunan sektor pariwisata yang cukup potensial. Selain dapat mencipatakan situasi nyaman dan aman bagi pengunjung (tamu), karena hotel dan rumah makan mempunyai peran cukup penting dalam pembangunan pariwisata untuk menarik pengunjung selain sektor lainnya. Kontribusi sektor kuliner terutama restoran dalam memberikan sumbangan bagi peningkatan pendapatan asli daerah juga cukup tinggi.

Pengelola rumah makan merupakan orang terdepan (front-liner) dalam menjamin kepuasan kualitas produk makanan, minuman, serta pelayanan bagi pelanggannya. Pengelola juga yang bertanggungjawab atas profesionalisme dan jaminan kesejahteraan karyawannya. Pelanggan dan karyawan merupakan aset dalam menjadikan bisnis yang dikelolanya sehat dan mampu berkembang. Maka jika kondisi usaha rumah makan tradisional yang ada di kota besar seperti Jakarta, sekarang ini justru semakin terdesak oleh restoran waralaba baik lokal maupun dari luar negeri, adalah akibat rendahnya pengalaman usaha, kemampuan


(1)

Populasi penelitian adalah 63 responden (pengelola RMT kelas C), dan pengumpulan data dilakukan secara sensus kepada 63 responden tersebut. Data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari responden dan informan penelitian, melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif, serta untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman.

Tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur termasuk kategori sedang. Ciri pribadi yang penting diperhatikan untuk mempercepat kemampuan adopsi pengelola RMT kelas C yaitu usia, tingkat pendidikan, pengalaman usaha, dan intensitas komunikasi. Sedangkan ciri lingkungan usaha yang menjadi pertimbangan yaitu kebijakan Pemda, skala usaha, modal tenaga kerja, sarana usaha, prasarana usaha, lokasi usaha, dan kompetitor.

Strategi mempercepat adopsi dapat dilakukan dengan meningkatkan interaksi penyuluh dengan pengelola RMT kelas C; penyuluh dan petugas suku dinas pariwisata hendaknya memotivasi pengelola RMT kelas C supaya terlibat aktif dalam kelompok usaha sejenis dan mendorong pengembangan kelompoknya sebagai wadah komunikasi antar pengelola tentang program-program yang dibutuhkan dan yang ditawarkan oleh pemerintah.


(2)

Ó Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(3)

TINGKAT ADOPSI PROGRAM SAPTA PESONA OLEH

PENGELOLA RUMAH MAKAN TRADISIONAL KELAS C

DI JAKARTA TIMUR

AYAT TAUFIK AREVIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(4)

Judul Tesis : Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola Rumah Makan Tradisional Kelas C di Jakarta Timur Nama : Ayat Taufik Arevin

NIM : I 352060031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A. Ketua

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(5)

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Februari hingga September 2008 adalah