Hubungan Ketergantungan Kepiting Bakau dengan Ekosistem Mangrove Metode Penelitian Alat dan Bahan

Keberadaan masing-masing spesies pada kondisi atau zonasi diatas, disebabkan karena perbedaan salinitas tanah. Klasifikasi zonasi untuk komunitas mangrove adalah zona air payau ke arah laut, dengan kisaran salinitas 10 – 30 o 0 - 10 oo dan zona air tawar ke air payau dengan salinitas antara o 00 pada waktu air pasang.

2.8. Hubungan Ketergantungan Kepiting Bakau dengan Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan produsen primer melalui serasah yang dihasilkannya. Serasah mangrove setelah melalui proses dekomposisi untuk jumlah mikroorganisme, menghasilkan detritus yang meningkatkan kesuburan perairan, sehingga berbagai jenis fitoplankton dapat hidup dan berkembang. Fitoplankton, ikan dan Krustasea, sampai akhirnya dimangsa oleh manusia berbagai konsumen utama. Mulya 2000 menyatakan kepiting bakau Scylla spp adalah salah satu biota perairan yang bernilai ekonomis penting dan kehidupannya sangat dipengaruhi oleh keberadaan hutan mangrove. Struktur fisik vegetasi mangrove dengan akar-akar tunjangnya yang saling membelit dan padat serta cabangnya yang memanjang ke bawah menjadikannya sebagai habitat yang baik bagi kehidupan kepiting bakau. Hutan mangrove juga dapat berfungsi sebagai daerah pembesaran nursery ground, pemijahan spawning ground dan mencari makan feeding ground bagi kepiting bakau terutama kepiting muda, karena ketersediaan makanan alami yang melimpah pada ekosistem tersebut. Kepiting bakau hidup di sekitar hutan mangrove, memakan akar-akarnya dan merupakan habitat yang sangat cocok untuk menunjang kehidupannya karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia. Ekosistem mangrove merupakan tempat yang sangat ideal bagi kepiting bakau untuk berlindung. Nontji 1987 dalam Siaheinina 2008 menyatakan bahwa beberapa produk perikanan yang bernilai ekonomi penting, mempunyai hubungan yang erat dengan ekosistem mangrove seperti udang Paneus, kepiting bakau Scylla dan tiram Crassostrea.

2.9. Hubungan Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat Terhadap Perkembangan Kepiting Bakau

Parameter fisik kimia air adalah faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau. Kepiting bakau di alam menempati habitat yang berbeda-beda berdasarkan stadia pada daur hidupnya.

2.9.1. Suhu

Suhu merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam pengkajian kelautan. Data suhu dimanfaatkan untuk mempelajari gejala-gejala fisik di dalam laut serta kaitannya dengan kehidupan hewan atau tumbuhan Nontji, 2005. Apabila suhu di permukaan air meningkat, kepiting akan lebih lama tinggal dalam lubang. Rosmaniar 2008 menyatakan perairan yang mempunyai suhu tinggi cenderung menaikkan angka pertumbuhan kepiting bakau dan waktu dewasa menjadi singkat. Suhu air yang lebih rendah dari 20 o

2.9.2. Kecerahan

C dapat mengakibatkan aktivitas dan nafsu makan kepiting bakau turun secara drastis. Selama periode pasang surut maupun pasang naik menunjukkan bahwa perbedaan waktu menyebabkan adanya perbedaan kecerahan. Waktu pasang surut pengaruh daratan lebih dominan sehingga tingkat kecerahannya lebih rendah sedangkan pada waktu pasang naik laut memiliki kecerahan lebih tinggi berpengaruh terhadap kondisi perairan, juga dipengaruhi oleh adanya limbah yang menutupi permukaan perairan sehingga dapat menghalangi penetrasi cahaya Nontji, 2005.

2.9.3. Kedalaman Air dan Pasang Surut

Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi perkawinan, namun demikian kepiting bakau juga dapat hidup pada perairan yang dangkal. Pasang surut terjadi karena interaksi antara gaya tarik gravitasi matahari dan bulan terhadap bumi serta gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh rotasi dan sistem bulan. Akibat gaya-gaya ini, air samudera tertarik ke atas, naik turunnya permukaan laut secara periodik selama satu interval waktu tertentu disebut pasang surut. Pasang surut merupakan faktor lingkungan yang paling penting yang mempengaruhi kehidupan di zona intertidal Nybakken, 1992. Larva kepiting bakau yang berasal dari perairan laut banyak dijumpai di sekitar daerah estuaria dan hutan mangrove dikarenakan terbawa oleh arus pada saat pasang. Larva-larva tersebut selanjutnya akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung Mulya, 2000.

2.9.4. Salinitas Air

Salinitas disebut kadar garam atau kegaraman. Jumlah berat semua garam yang terlarut dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan o oo permil, garam per mil Nontji, 2005. Salinitas berpengaruh terhadap setiap fase kehidupan kepiting bakau, terutama pada saat moulting Hill, 1976 dalam Rosmaniar, 2008. Kasry 1996 menyatakan kepiting bakau dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan yang mempunyai salinitas 15 o oo – 29 o oo walaupun belum diketahui pengaruh salinitas terhadap pertumbuhannya. Kepiting bakau akan mengubah konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungannya melalui kombinasi proses osmosis dan difusi Anwar et al., 1984. Kisaran salinitas yang sesuai bagi kepiting adalah 10 – 30 o oo atau digolongkan ke dalam air payau Kasry, 1996.

2.9.5. Derajat Keasaman pH

Kehidupan organisme aquatik sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai pH. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa membahayakan kelangsungan hidup organisme karena menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Soim 1999 menyatakan bahwa pH yang sesuai untuk kepiting bakau berkisar antara 7,2 - 7,8. Sedangkan menurut Kasry 1996 pH yang baik untuk kepiting adalah 7,0 - 8,0.

2.9.6. Kandungan Oksigen Terlarut atau Disolved Oxygen DO

Disolved Oxygen DO merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut ini merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama dibutuhkan untuk respirasi bagi sebagian besar organisme air. Oleh sebab itu kelarutan oksigen dalam air sangat dipengaruhi suhu. Kepiting dapat hidup pada perairan yang memiliki kandungan oksigen terlarut lebih dari 4 mgliter Kordi, 1997.

2.9.7. Biochemichal Oxygen Demand BOD

Nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperatur 20 o C Forstner, 1990 dalam Barus, 2004. Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi pengukuran BOD adalah jumlah senyawa organik yang akan diuraikan, tersedianya mikroorganisme aerob yang mampu menguraikan senyawa organik tersebut dan tersedianya sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian itu.

2.9.8. Nitrat NO

3 Nitrat adalah zat nutrisi yang merupakan produk akhir dari penguraian mikroorganisme. Mikroorganisme mengoksidasi amonium menjadi nitrit dan akhirnya menjadi nitrat, penguraian ini dikenal sebagai nitrifikasi Borneff, 1982 dalam Barus, 2004.

2.9.9. Phosphat PO

4 Phosphat merupakan nutrient yang paling penting dalam menentukan produktivitas perairan. Fitoplankton dan tumbuhan air lainnya membutuhkan nitrogen dan fosfor sebagai sumber nutrisi utama bagi pertumbuhannya. Peningkatan unsur fosfor dalam air akan dapat meningkatkan populasi algae secara massal yang dapat menimbulkan eutrofikasi dalam ekosistem air Barus, 2004. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Juli 2013 di ekosistem mangrove Belawan Kota Medan Sumatera Utara. Secara geografis lokasi penelitian terletak pada posisi 03 47 ’ LU dengan 98 42 ’ Penentuan stasiun penelitian ditentukan berdasarkan kawasan pemanfaatan dan karakteristik khusus yang terdapat pada tiap stasiun Gambar 3. Ditentukan 4 stasiun dengan kriteria sebagai berikut : BT. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Timur berbatasan dengan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Hamparan Perak, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Labuhan Anonimus, 2011. 1. Stasiun 1 berada di lingkungan XX Kecamatan Belawan Sicanang yang berdekatan dengan pemukiman penduduk, pada koordinat N 03 ° 44’57,7” dan E 098 ° 2. Stasiun 2 berada di Kecamatan Medan Marelan yang merupakan kawasan alami, pada koordinat N 03 38’50,1” umumnya ditumbuhi oleh asosiasi mangrove Rhizophora spp., Sonneratia spp., Hisbiscus tiliaceus, Xylocarpus granatus. Tipe substrat dasarnya berpasir. ° 44’16,5” dan E 098 ° 3. Stasiun 3 berada di desa Paluh Sembilan yang merupakan daerah Demonstrasi Provinsi Dinas Perikanan dekat dengan pertambakan , pada koordinat N 03 38’44,3” umumnya ditumbuhi oleh mangrove jenis Nypa frugticans. Tipe subsrat dasarnya berpasir. ° 45’22,9” dan E 098 ° 38’29,8” umumnya ditumbuhi oleh mangrove jenis Rhizophora spp. Tipe substrat dasarnya berpasir. 4. Stasiun 4 berada di desa Paluh Harimau, pada koordinat N 03 ° 45’03,4” dan E 098 ° 38’22,0” umumnya ditumbuhi oleh mangrove jenis Sonneratia spp. Tipe substrat dasarnya berpasir. Gambar 3. Peta Lokasi Penetitian Keterangan : Stasiun 1 : Lingkungan XX Kecamatan SicanangPemukiman Penduduk Asosiasi Mangrove : Rhizophora spp., Sonneratia spp., Hisbiscus tiliaceus, Xylocarpus granatus Stasiun 2 : Kecamatan Medan MarelanKawasan alami Nypa frugticans Stasiun 3 : Desa Paluh SembilanPertambakan Rhizophora spp. Stasiun 4 : Desa Paluh Harimau Sonneratia spp.

3.2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk penentuan lokasi dan dalam pengambilan sampel menggunakan Purposive Random Sampling pada 4 stasiun penelitian.

3.3. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi bubu, thermometer Hg, soil pH, nilon sepanjang 10 meter, gabus, tali penduga, refractometer, sediment core, oven, sieve shaker, tanur, botol warna gelap, kantong plastik dan alat tulis menulis. Bahan yang diteliti adalah kepiting bakau yang terdapat di Belawan Sicanang sebagai bahan kajian penelitian.

3.4. Pengukuran Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat