Peranan kepolisian dalam penyidikan kasus Kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan Kematian (studi kasus di polresta Pematang siantar)

(1)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Agio V. Sangki. 2012. Tanggung Jawab Pidana Pengemudi Kendaraan Yang Mengakibatkan Kematian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas. Lex Crimen Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2012.

Amirudin dan Zainal Askin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Angkasa. 2013. Perlindungan Hukum terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas dalam Perspektif Viktimologi. Makalah disampaikan dalam Training for Trainers on Victmology and Victim Assistance Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban 18-28 Maret 2013 di Cikopo – Bogor.

Chairudin, Ismail, 2008. Kepolisian Sipil Sebagai Paradigma Baru Kepolisian Republik Indonesia, Pembekalan Kepada Peserta Sespati Kepolisian Republik Indonesia Dikreg ke 14 T.P.

Hamzah Andi, 1986. Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik dan Sarana Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hamzah Andi, 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Revisi., Jakarta: Sinar Grafika.

Kelana, Momo. 1994. Hukum Kepolisian, Cetakan Pertama. Jakarta : PTIK/ Gramedia.

Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Direktorat Lalu Lintas 2011. Standar Operasional Dan Prosedur Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas (TPTKP Dan Penyidikan).

Kuffal, HMA. 2008. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum. Edisi Revisi. Cetakan Kesepuluh. Jakarta: UMM Press.

Maksum, M. Umar, Agus Suprianto, Thalis Noor Cahyadi, M, Ulinhuha, Afronji, 2009. Cara Mudah Menghadapi Kasus-kasus Hukum Untuk Orang Awam. Yogyakarta: Sabda Media.

Marzuki, Peter Mahmud. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Persada Media Group.

Maskat, Djunaidi H, 1993. Kepemimpinan Efektif di lingkungan Polri pada tingkat Mabes, Polda, Polwil, Polres dan Polsek, Bandung: Sanyata Sumanasa Wira Sespin Polri.


(2)

Moeljatno, 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan Pertama. Jakarta : Bumi Aksara.

Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Pertama. Jakarta: Bumi Aksara.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung : Alumni.

Poerwadarminta, W.J.S. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta : Balai Pustaka.

Rahardjo, Satjipto, 2000. Menuju Kepolisian Republik Indonesia Mandiri yang Profesional, Jakarta: Yayasan Tenaga Kerja.

Ramelan. 2006. Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi. Jakarta: Sumber Ilmu Jaya

Sadjijono, 2008. Seri Hukum Kepolisian, Polri dan Good Governance, Jakarta: Laksbang Mediatama.

Sadjijono, 2008 Seri Hukum Kepolisian, Polri dan Good Governance, Jakarta: Laksbang Mediatama.

Setyabudi, Besar. 2004. Kajian Peningkatan Keselamatan Lalu Lintas pada Lokasi Rawan Kecelakaan (Blackspot) di Jalan Tol, Warta Penelitian Perhubungan No.05/THN.XVI/2004

Soekanto, Soerjono. 1990. Polisi dan Lalu Lintas (Analisis Menurut Sosiologi Hukum, Bandung: Mandar Maju

Soekanto, Soerjono. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Cetakan III, Jakarta: UI- Press.

Soesilo, R. 1974. Taktik & Teknik Penyidikan Perkara (Criminal), Bogor: Penerbit Politeia.

Surakhmad, Winarno. 1998. Paper, Skripsi, Thesis, Disertasi. Cetakan Pertama. Bandung: Tarsito.

Toni. 2012. Analisis Hukum Penegakan Tindak Pidana Pelanggaran Bidang Lalu Lintas. Ringkasan penelitian, Penerapan Pasal 6 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Kompetensi Pejabat Yang Melaksanakan Fungsi Di Bidang Lalu Lintas, Fakultas Hukum UBB.

B. Peraturan Perundang-undangan


(3)

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 dan Peraturan tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Cetakan Pertama, Jakarta: Visimedia.

UU RI No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Bandung: Citra Umbara, 2010. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981.

Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan.

C. Internet:

Ilman Hadi. Apakah Perdamaian dalam Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Menggugurkan Tuntutan?. Tersedia di: www.hukumonline.com/klinik/ detail/lt5129ad1637c27/apakah-perdamaian-dalam-kasus-kecelakaan-lalu-lintas-menggugurkan-tuntutan. Senin, 25 Pebruari 2013

Kemenhub, 2011. Kemenhub RI, 2011. Perhubungan Darat Dalam Angka 2010. http://www.hubdat.dephub.go.id. Diakses tanggal 30 Maret 2014.

D. Berkas Perkara

Berkas Perkara dari Kepolisian Resor Pematang Siantar a.n. Arya Pratama pada kasus Kecelakaan Lalu Lintas yang Menyebabkan Kematian orang lain a.n. Tukar.


(4)

BAB III

PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN KASUS KECELAKAAN BERLALU LINTAS YANG MENYEBABKAN

KEMATIAN

A. Memproses Laporan / Informasi

Proses penyidikan kasus kecelakaan lalu lintas yang dilaksanakan di pihak kepolisian, yang menangani adalah Sat Lantas khususnya Idik Laka. Pejabat yang bertanggung jawab secara teknis dalam proses tersebut adalah Kasat Lantas sebagai penyidik. Dalam proses tersebut mulai dari TKP yang menangani adalah petugas lalu lintas lapangan (Unit penjagaan dan pengaturan) atau Unit Patwal. Penyidik pembantu dari Idik Laka selanjutnya memproses laporan dan melakukan pemeriksaan awal, pemeriksaan terhadap tersangka, korban dan saksi serta melengkapi berkas perkara.

Pengertian laporan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 24 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

Pelaporan merupakan sebuah bentuk pemberitahuan kepada pejabat yang berwenang bahwa telah atau sedang atau diduga akan terjadinya sebuah peristiwa pidana. Artinya sebuah peristiwa yang dilaporkan oleh masyarakat belum tentu merupakan sebuah peristiwa pidana sehingga dibutuhkan sebuah tindakan


(5)

penyelidikan oleh pejabat yang berwenang untuk menentukan apakah peristiwa tersebut merupakan sebuah peristiwa pidana atau bukan.

Tindakan penyelidikan untuk menentukan apakah sebuah peristiwa merupakan peristiwa pidana atau bukan merupakan sebuah kewajiban bagi pejabat yang berwenang ketika menerima sebuah laporan dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) KUHAP, yaitu :

Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.

Dalam memproses laporan dari masyarakat, petugas Kepolisian yang bertugas memberikan Pelayanan Kepolisian kepada masyarakat pada kasus kecelakaan lalu lintas membutuhkan antara lain :

1. Segala bentuk laporan masyarakat tentang terjadi kasus kecelakaan lalu lintas yang ada di wilayah kerjanya.

2. Melakukan penanganan pertama laporan masyarakat tentang adanya kejadian kecelakaan lalu lintas.

3. Melayani masyarakat dalam hal permintaan bantuan tindakan kepolisian untuk penanganan kasus kecelakaan lalu lintas.

4. Melayani dan membantu penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas baik yang ringan, sedang, maupun yang berat sehingga menyebabkan orang lain meninggal dunia.

Prosedur penerimaan laporan masyarakat kepada pihak kepolisian tentang terjadinya kasus kecelakaan lalu lintas, adalah :


(6)

1. Masyarakat atau pelapor dapat datang ke Kantor Polisi terdekat berdasarkan tempat kejadian perkara yang akan dilaporkan.

2. Masyarakat/pelapor akan diterima oleh Petugas pelayanan.

3. Oleh Petugas kepolisian masyarakat/pelapor akan diambil keterangannya untuk dituangkan dalam format berdasarkan apa yang dilaporkan.

4. Setelah diterima laporannya masyarakat akan diberikan Surat Tanda Penerimaan Laporan.

Setelah polisi mendapat informasi atau laporan adanya suatu peristiwa kecelakaan lalu lintas yang diduga terjadi tindak pidana yang berasal dari laporan dari masyarakat maka sebelum melakukan penanganan, harus ada terlebih dahulu tata cara dalam penanganan tempat kejadian perkara agar tidak terjadi kesulitan yang nantinya akan dialami penyidik dalam mencari bukti adanya suatu tindak pidana pada saat penanganan tempat kejadian perkara karena telah dijalankan dengan prosedur yang berlaku.

Adapun penanganan tempat kejadian perkara secara garis besarnya terdiri dari dua bagian yakni tindakan pertama di tempat kejadian perkara yakni: tindakan kepolisian yang dilakukan segera setelah menerima laporan bahwa telah terjadi tindak pidana, dengan maksud untuk melakukan pertolongan/perlindungan kepada korban dan pengamanan dan mempertahankan status quo guna persiapan serta kelancaran pelaksanaan pengolahan tempat kejadian perkara. Dan pengolahan tempat kejadian perkara yakni tindakan penyidik/penyidik pembantu untuk memasuki tempat kejadian perkara dalam rangka melakukan pemeriksaan TKP mencari informasi tentang terjadinya tindak pidana mengumpulkan/


(7)

mengambil/membawa barang-barang bukti yang diduga ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi untuk diambil alih penguasaannya atau menyimpan barang bukti tersebut guna kepentingan pembuktian. Setelah kita mengetahui pembagian secara besarnya proses penanganan tempat kejadian perkara maka tata cara penanganan tempat kejadian perkara meliputi:

1. persiapan penanganan tempat kejadian perkara. 2. tindakan pertama di tempat kejadian perkara. 3. pengolahan tempat kejadian perkara.

4. pengambilan dan pengumpulan barang bukti

5. pengakhiran penanganan tempat kejadian perkara.65

B. Mendatangi Tempat Kejadian Perkara

Persiapan mendatangi TKP kecelakaan lalu lintas yaitu personil terdiri dari anggota Polantas minimal 2 (dua) orang dan anggota Sabhara minimal 2 (dua) orang serta unsur bantuan teknis (laboratorium kriminal dan identifikasi untuk melakukan pemotretan, pengambilan sidik jari dan tindakan lain yang diperlukan). Apabila kecelakaan lalu lintas berakibat kemacetan lalu lintas yang panjang perlu menyertai anggota Bimmas untuk memberikan informasi kepada pengemudi agar pengemudi sabar untuk antri karena telah terjadi kecelakaan lalu lintas.66

Kendaraan Persiapkan kendaraan dan alat komunikasi untuk kecepatan bertindak dan memelihara hubungan petugas dengan markas kesatuan, selanjutnya       

  65

Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Direktorat Lalu Lintas 2011. Standar Operasional Dan Prosedur Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas (TPTKP Dan Penyidikan), halaman 6-17.  


(8)

adakan pengecekan kembali terhadap peralatan kendaraan seperti Rem, lampu rotator, ban, lampu-lampu, sirene serta peralatan lainnya yang dianggap penting.

Peralatan lain yang diperlukan dalam menangani TKP kecelakaan lalu lintas yang terdiri dari:

1. Alat pengaman TKP 10 buah kerucut Lalu lintas. a. 2 buah lampu peringatan

b. 2 buah senter

c. Rambu-rambu lalu lintas seperti petunjuk arah, batas kecepatan dan sebagainya.

d. 2 buah segitiga pengaman 2. Kelengkapan petugas seperti:

a. Jas/rompi lalu lintas. b. Sarung tangan c. Peluit/sempritan d. Tongkat Polri e. Senjata api, borgol f. Kotak P2GD

3. Alat tulis dan klip board untuk membuat sketsa/gambar tempat kejadian perkara (TKP) dan Formulir 3 L.

4. Alat pengukur jarak (meteran) dan alat-alat untuk pembuatan tanda-tanda di permukaan jalan.

5. Alat pemecah kaca, alat pemotong sabuk pengaman, alat pemotong kerangka kendaraan bermotor, alat pengungkit/dongkrak kendaraan bermotor dan alat penarik kendaraan bermotor.


(9)

6. Alat pemadam kebakaran 7. Alat pemotret

8. Kaca pembesar

9. Garis Polisi (Police line) 10. Kompas / GPS

11. Dan lain-lain yang dianggap perlu disesuaikan dengan situasi TKP dan jenis kecelakaan lalu lintas yang terjadi.

Polisi harus segera hubungi instansi terkait bilamana diperlukan seperti: Ambulans, pemadam kebakaran, mobil derek dan lain-lain. Setelah persiapan selesai maka langkah selanjutnya adalah memberikan APP kepada petugas yang akan ke TKP mengenai peristiwa kecelakaan lalu lintas itu sendiri, pembagian tugas dan lain-lain.

Setelah proses persiapan telah selesai dilaksanakan, selanjutnya polisi mendatangi TKP kecelakaan lalu lintas dengan menentukan rute yang terpendek dengan memperhatikan situasi lalu lintas, bergerak dengan cepat tetapi tetap memperhatikan keselamatan. Apabila situasi lalu lintas padat dan melewati persimpangan agar menggunakan sirene dan rotator. Polisi mengupayakan seminimal mungkin melakukan pelanggaran lalu lintas dan memperhatikan arus lalu lintas selama di perjalanan menuju TKP, bilamana ada kendaraan yang dicurigai melarikan diri.

Setelah tiba di TKP, polisi memarkir kendaraan di tempat yang aman dan diketahui oleh pengguna jalan lainnya serta dapat berfungsi untuk mengamankan TKP dan memberikan petunjuk agar pengguna jalan lainnya lebih berhati-hati.


(10)

Posisi kendaraan menghadap keluar serong kanan dan berada dekat TKP apabila jalan lurus sedangkan untuk TKP yang dekat dengan tikungan berada sebelum tikungan. Rotator kendaraan tetap dihidupkan sampai selesai kegiatan penanganan TKP.

Tindakan pertama yang dilakukan polisi di TKP kecelakaan lalu lintas yaitu dengan mengamankan TKP kecelakaan lalu lintas yang bertujuan:

a. Menjaga agar TKP tetap utuh/tidak berubah sebagaimana pada saat dilihat dan diketemukan petugas yang melakukan tindakan pertama di TKP.

b. Mencegah timbulnya permasalahan baru seperti terjadinya kecelakaan lalu lintas dan kemacetan lalu lintas.

c. Untuk memberikan pertolongan kepada korban dan mengamankan bagi petugas yang sedang melaksanakan tugas di TKP serta pemakai jalan lainnya. d. Untuk melindungi agar barang bukti yang ada tidak hilang atau rusak.

e. Untuk memperoleh keterangan dan fakta sebagai bahan penyidikan lebih lanjut.

Alat-alat yang digunakan untuk mengamankan TKP meliputi kendaraan petugas, kerucut lalu lintas, lampu peringatan, lampu senter, rambu-rambu lalu lintas (petunjuk arah, batas kecepatan, prioritas dan lain-lain), segitiga pengaman. Tata cara mengamankan TKP kecelakaan lalu lintas yaitu menentukan jarak untuk menutup dan membatasi TKP kecelakaan lalu lintas. Untuk menentukan jarak dalam rangka menutup dan membatasi TKP kecelakaan lalu lintas harus terlebih dahulu menentukan jarak berhenti suatu kendaraan.


(11)

Contoh:

Pada suatu jalur jalan dengan kecepatan yang diijinkan adalah 72 Km/jam maka jarak berhenti suatu kendaraan dapat dihitung sebagai berikut:

V² S = (v x t) + --- (2 x a)

S = Jarak Berhenti Kendaraan

V = Kecepatan kendaraan (72 Km/jam = 20 M/det) T = Waktu reaksi dari pengemudi rata-rata 1 detik A = Perlambatan rata-rata 5 m/det

Maka jarak berhenti kendaraan tersebut adalah: (20x20)

(20 x 1) + --- = 20 + 40 = 60 meter (2 x 5) 10

Dengan demikian maka jarak yang diperlukan untuk menutup / membatasi TKP kecelakaan lalu lintas di jalur jalan tersebut adalah 60 meter, dari kendaraan petugas sampai kerucut terdepan.

Cara penempatan alat-alat pengamanan TKP kecelakaan lalu lintas yaitu pada jalur satu arah parkir kendaraan petugas menyudut/serong dengan badan jalan (membentuk sudut kira-kira 30 derajat dengan tepi jalan) di depan TKP kecelakaan lalu lintas, dengan jarak 10 meter dari kendaraan/ korban yang terlibat kecelakaan lalu lintas, dengan bagian belakang dari kendaraan petugas tersebut menghadap arah datangnya arus lalu lintas. Lampu rotator dan lampu hazard kendaraan petugas dihidupkan. Letakkan kerucut No. 1 disamping kanan bagian


(12)

belakang kendaraan petugas dan segaris dengan sudut kanan depan kendaraan petugas, kemudian kerucut No.9 diletakkan paling depan dari arah datangnya arus lalu lintas dengan jarak minimal 60 meter dari jarak berhenti kendaraan pada jalur jalan tersebut. Kemudian diantara kerucut No. 1 dan No. 9 diletakkan 7 (tujuh) buah kerucut lainnya, sedangkan kerucut No.10 diletakkan diantara kendaraan petugas dan kendaraan yang terlibat kecelakaan lalu lintas. Kerucut No.9 diletakkan di tepi jalan/pada garis tepi jalan dan di depan kerucut tersebut ditempatkan lampu peringatan pada kedua sisi jalan dengan jarak antara 25 s/d 50 meter dari kerucut No. 9 tersebut, namun apabila tidak memiliki lampu peringatan agar menggunakan segi tiga pengaman.

Pada jalur 2 (dua) arah Posisi kendaraan petugas dengan cara penempatan pada jalur satu arah. Penempatan kerucut pada prinsipnya sama dengan cara penempatan pada jalur satu arah, hanya pada jalur jalan yang ditutup ditempatkan 7 (tujuh) buah kerucut sepanjang jarak berhenti kendaraan. Tiga buah kerucut lainnya ditempatkan pada arah yang berlawanan, sebagai batas lajur yang ditutup. Kemudian di tepi seberang jalan sejajar dengan kerucut No. 3 dan di tepi seberang jalan lainnya ditempatkan lampu peringatan atau segi tiga pengaman. Di tempat kerucut No.7 pada jarak antara 25 s/d 50 meter ditempatkan lampu peringatan / segi tiga pengaman, kemudian disamping kerucut No.7 yang diletakkan ditepi jalan ditempatkan rambu lalu lintas (memberi kesempatan terlebih dahulu pada kendaraan yang datang dari depan)

Ketentuan penempatan alat-alat TKP laka lantas tersebut di atas hanya dapat dilaksanakan pada TKP kecelakaan lalu lintas di jalur lalu lintas yang sepi,


(13)

ruas jalannya lebar dan kecepatan tinggi seperti jalan Tol dan Arteri. Polisi melarang setiap orang yang tidak berkepentingan masuk ke TKP yang telah diberi batas (Police line). Selanjutnya mengamankan tersangka dan saksi serta mengumpulkannya pada tempat di luar batas yang telah ditentukan. Polisi memisahkan saksi dan tersangka dengan maksud untuk tidak saling mempengaruhi.

Polisi juga harus membuat tanda di TKP terhadap kendaraan yang terlibat kecelakaan lalu lintas. Kedudukan kendaraan yang terlibat kecelakaan lalu lintas diberi tanda “garis siku-siku” di atas permukaan jalan pada batas masing-masing bumper depan dan belakang dari kendaraan tersebut (titik terluar dari keempat sudutnya), sedangkan kedudukan dari keempat as roda kendaraan tersebut diberi tanda X di atas permukaan jalan.

Terhadap korban kecelakaan lalu lintas. Letak korban diberi tanda dengan menggambar bagian luar dari tubuh korban di atas permukaan tempat dimana korban tergeletak. Sedangkan terhadap alat bukti lainnya seperti ceceran darah, pecahan kaca, alat-alat kendaraan yang terlepas, lobang di permukaan jalan dan sebagainya ditandai dengan melingkari bagian luarnya di atas permukaan tempat/ jalan dimana alat-alat bukti tersebut ditemukan. Terhadap titik tabrak ditandai dengan tanda X di dalam lingkaran. Terhadap bekas rem kendaraan ditandai dengan tanda XX pada kedua ujung bekas rem tersebut. Setelah alat bukti diberi tanda dan difoto lalu dipindahkan ke tepi jalan sehingga arus lalu lintas dapat lancar kembali.


(14)

Penanganan terhadap korban kecelakaan lalu lintas bertujuan dilaksanakannya pertolongan terhadap korban kecelakaan lalu lintas adalah untuk membantu agar kondisi korban tersebut tidak menjadi lebih buruk. Peralatan yang diperlukan dalam menolong korban kecelakaan lalu lintas adalah pembalut cepat, kasa steril, pembalut biasa, obat merah (yodium), pembalut segi tiga, plester, Kapas, dan gunting.

Tata cara memberikan pertolongan pada korban kecelakaan lalu lintas yaitu: Apabila tidak ada petugas medis usahakan memberikan pertolongan sesuai petunjuk P2GD. Pada korban patah tulang, agar dijaga korban tetap pada posisi semula dan jangan sekali-kali merubah posisi korban dan pada saat akan dikirim ke rumah sakit, diusahakan agar posisi korban tetap seperti saat ditemukan di TKP. Sedangkan korban yang terhimpit anggota badannya oleh kendaraan / alat-alat kendaraan, apabila akan dilakukan pertolongan terhadap korban, usahakan terlebih dahulu kehadiran seorang dokter atau petugas medis untuk menghentikan pendarahan atau memberikan pertolongan lebih lanjut setelah korban dilepaskan dari himpitan/jepitan tersebut.

Apabila korban dapat mengganggu kelancaran arus lalu lintas, maka korban dapat dipindahkan ke tempat yang aman dengan memberikan tanda terlebih dahulu pada letak korban semula. Usahakan secepatnya dapat mengetahui dan mencatat identitas korban dan dalam kasus tabrak lari diupayakan untuk mendapat informasi dari korban mengenai identitas kendaraan yang menabrak korban.


(15)

Dalam mengirim korban dengan tidak menggunakan kendaraan ambulance atau kendaraan petugas maka yang perlu dilakukan adalah menentukan terlebih dahulu Rumah sakit atau dokter yang akan dituju kemudian mencatat identitas kendaraan yang akan membawa korban ke Rumah Sakit. Polisi wajib mengamankan dan mencatat semua barang berharga milik korban, untuk kemudian diserahkan kembali kepada korban/keluarga/ahli waris yang berhak.

Langkah selanjutnya yaitu pengolahan TKP kecelakaan lalu lintas. Tujuan dilaksanakannya pengolahan TKP kecelakaan lalu lintas adalah untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti sebanyak-banyaknya untuk dianalisa dan dievaluasi menurut teori “Bukti Segi Tiga” guna memberi arah terhadap penyidikan selanjutnya. Alat-alat bukti yang dapat dikumpulkan di TKP kecelakaan lalu lintas yaitu alat bukti petunjuk, alat bukti keterangan saksi dan alat bukti keterangan tersangka. Untuk memperoleh alat-alat bukti tersebut di atas, dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Pengamatan umum

1) Keadaan jalan, sempit/lebar/tanjakan/turunan/tikungan/simpangan/lurus dan lain-lain.

2) Keadaan lingkungan, ramai/ sepi/ bebas pandangan dll. 3) Keadaan cuaca pada waktu terjadi kecelakaan lalu lintas 4) Kendaraan yang terlibat kecelakaan lalu lintas.

5) Kerusakan pada kendaraan

6) Kerusakan pada jalan dan kelengkapannya 7) Letak kendaraan dan korban


(16)

8) Bekas-bekas tabrakan yang tertinggal di jalan seperti; bekas rem, pecehan kaca, tetesan darah, bekas cat/ dempul, bekas oli, suku cadang yang terlepas/ jatuh dan lain-lain.

9) Arah datangnya kendaraan yang terlibat kecelakaan

b. Pemeriksaan terhadap kendaraan yang terlibat kecelakaan lalu lintas. 1) Surat-surat kendaraan (STNK, STCK, Buku Kir)

2) Keadaan lampu-lampu kendaraan (apakah semua menyala dengan baik dan bagaimana penyetelan tinggi rendahnya sorot lampu).

3) Keadaan klakson

4) Keadaan alat penghapus kaca

5) Kedudukan persneling pada gigi berapa. 6) Keadaan kemudi.

7) Penyetelan dari pada kaca spion. 8) Kondisi rem

9) Kondisi ban kendaraan

10) Kedudukan spido meter/ ukuran kecepatan kendaraan 11) Kondisi Per

12) Muatan kendaraan.

c. Pemeriksaan terhadap jalan dan kelengkapannya

1) Kondisi jalan (HotMix / Sirtu / berlobang / bergelombang dan lain-lain) 2) Rambu-rambu yang ada di sekitar TKP

3) Kondisi bahu jalan 4) Marka jalan


(17)

d. Pemeriksaan terhadap tersangka

1) Amankan tersangka termasuk memberikan perlindunganapabila ada masyarakat yang main hakim sendiri.

2) Lakukan interview dengan mengajukan pertanyaan singkat kepada tersangka untuk memperoleh keterangan sementara tentang bagaimana terjadinya peristiwa kecelakaan tersebut.

3) Kondisi pengemudi sebelum terjadi kecelakaan lalu lintas 4) Catat identitas tersangka (SIM, KTP dan lain-lain ) 5) Photografi (pemotretan) di TKP.

a) Foto situasi TKP secara keseluruhan, sebanyak 4 (empat) kali dari 4 (empat) penjuru.

b) Foto posisi dari kendaraan yang terlibat kecelakaan, sebanyak 4 (empat) kali dari 4 (empat) penjuru.

c) Foto korban sebelum dipindahkan dari TKP.

d) Foto kerusakan yang ada pada kendaraan yang terlibat kecelakaan lalu lintas.

e) Foto bekas-bekas yang tertinggal di TKP seperti bekas rem, pecahan kaca, pecahan cat/dempul dan lain-lain.

f) Setelah melakukan pemotretan, semua data-data dicatat dengan lengkap meliputi:

(1) Jarak pengambilan gambar

(2) Cuaca pada waktu pengambilan foto (3) Cahaya/penyinaran yang digunakan.


(18)

(4) Kamera yang digunakan

(5) Diafragma dan kecepatan yang digunakan (6) Arah pemotretan

g) Setelah seluruh kegiatan pemotretan selesai, segera dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemotretan (contoh terlampir)

e. Pembuatan gambar/sketsa TKP, langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1) Mencari arah mata angin (arah utara)

2) Tentukan Skala (1: 100 yang artinya 1 meter di TKP sama dengan 1 Cm di gambar atau 1: 200 yang artinya 1 meter di TKP sama dengan ½ Cm di gambar)

3) Unsur-unsur yang harus dituangkan dalam gambar TKP kecelakaan lalu lintas adalah:

a) Lebar jalan, lebar got, lebar trotoar dan lain-lain b) Bentuk jalan; jalan lurus, tikungan, persimpangan c) Posisi korban

d) Posisi kendaraan e) Posisi titik tabrak

f) Posisi titik pokok pengukuran g) Posisi barang bukti

h) Bayangan arah/tujuan dari masing-masing kendaraan yang terlibat i) Untuk menguatkan gambar sketsa di TKP perlu di tanda tangani oleh

tersangka, saksi dan diketahui oleh penyidik yang membuat sketsa TKP.


(19)

j) Pengukuran gambar/sketsa TKP Tujuan dari kegiatan pengukuran TKP kecelakaan lalu lintas adalah untuk mengetahui jarak/ukuran yang sebenarnya dari situasi TKP. Dengan ukuran yang benar maka akan memudahkan pada waktu diadakan rekonstruksi.

(1) Posisi/titik yang perlu dilakukan pengukuran. (a) Titik pokok pengukuran (titik P)

(b) Key point/ titik tabrak (titik X)

(c) Posisi kendaraan yang terlibat (titik pengukuran dari bemper depan dan belakang)

(d) Posisi korban (e) Posisi barang bukti (f) Panjang bekas rem (g) Lebar jalan

(2) Metode/cara pengukuran di TKP kecelakaan lalu lintas.

(a) Metode garis alas, dengan menentukan titik pokok pengukuran (tiang listrik, pal Km, tiang telepon/bangunan-bangunan lainnya yang tidak dilakukan pemindahan dalam waktu dekat). Menarik garis lurus melalui titik P dan sejajar dengan jalan dimana terjadi kecelakaan tersebut. Menarik garis tegak lurus dari semua titik yang perlu diukur ke garis alas. Mengadakan pengukuran terhadap garis-garis tegak lurus tersebut. Mengukur jarak antara titik P (garis alas) ke semua titik yang


(20)

ada di garis alas. (contoh terlampir) Metode ini lebih cocok untuk jalan lurus.

(b) Metode Segitiga, dengan mentukan 2 (dua) buah titik pokok pengukuran (titik A dan titik B). Menarik garis lurus dari A ke B, menarik garis lurus dari semua titik yang harus diukur ke titik A dan B. Metode ini lebih cocok untuk jalan tikungan tajam atau persimpangan.

Pengakhiran Penanganan TKP Kecelakaan Lalu Lintas dilakukan dengan melakukan konsolidasi. Setelah pengolahan TKP kecelakaan lalu lintas selesai dilaksanakan maka dilakukan pengecekan terhadap personil, perlengkapan dan segala hal yang diketahui, diketemukan dan dilakukan di TKP. Melakukan pembukaan TKP Setelah TKP dibuka hal yang perlu diperhatikan bahwa arus lalu lintas harus normal kembali baru anggota (anggota disini bukan termasuk dalam tim penyidik kecelakaan lalu lintas) dapat meninggalkan TKP.

C. Permintaan Visum et Repertum

Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses persidangan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum. Oleh karena pembuktian merupakan bagian dari proses peradilan pidana, maka tata cara pembuktian tersebut terikat pada Hukum Acara Pidana yang berlaku yaitu Undang-Undang nomor 8 tahun 1981.


(21)

Dalam pasal 183 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 dinyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya”.

Dari bunyi pasal 183 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 kiranya dapat dipahami bahwa pemidanaan baru boleh dijatuhkan oleh hakim apabila:

1. Terdapat sedikitnya dua alat bukti yang sah

2. Dua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang telah terjadinya perbuatan pidana

3. Dan perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh terdakwa

Alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat 1, Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 adalah:

1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat

4. Keterangan terdakwa

Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana


(22)

yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut.

Keterangan ahli yang dimaksud yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti. Bukti tersebut berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda kekerasan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan Visum et Repertum.

Visum et Repertum adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati, ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan. Penegak hukum mengartikan Visum et Repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.

Setelah polisi kembali dari TKP, maka segera mengajukan permintaan Visum et Repertum ke Rumah Sakit dimana korban di rawat dengan mengisi


(23)

Blangko Visum sesuai kebutuhan (Visum luar untuk korban luka dan Visum dalam untuk korban meninggal dunia).

Pengiriman mayat ke Rumah Sakit untuk dimintakan Visum harus diperhatikan:

1. Diberi label dan disegel pada ibu jarinya (guna menghindari kekeliruan). 2. Pada label harus jelas disebutkan identitas korban (nama, umur, jenis kelamin,

suku bangsa, agama, tempat tinggal, No. LP, tanda tangan petugas yang mengirim).

3. Apabila keluarga korban keberatan diadakan bedah mayat maka kewajiban penyidik untuk secara persuasif memberikan penjelasan tentang pentingnya bedah mayat tersebut (sebagai pedoman gunakan pasal 222 KUHP).

4. Pada dasarnya pencabutan Visum tidak dibenarkan, bilamana Visum harus dicabut maka yang berwenang mencabut Visum adalah serendah-rendahnya Kapolres.

5. Permohonan pencabutan Visum diajukan oleh keluarga korban (ayah/ibu, suami/istri, dan anak) yang disahkan oleh Lurah/kepala desa setempat berdasarkan alasan yang dapat diterima misalnya: alasan agama, kepercayaan atau adat istiadat.

Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang diperuntukkan untuk kepentingan peradilan, Visum et Repertum digolongkan menurut obyek yang diperiksa sebagai berikut :

1. Visum et Repertum untuk orang hidup. Jenis ini dibedakan lagi dalam :


(24)

a. Visum et Repertum biasa. Visum et Repertum ini diberikan kepada pihak peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.

b. Visum et Repertum sementara. Visum et Repertum sementara diberikan apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh dibuatkan Visum et Repertum lanjutan.

c. Visum et Repertum lanjutan. Dalam hal ini korban tidak memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain, atau meninggal dunia.

2. Visum et Repertum untuk orang mati (jenazah).

Pada pembuatan Visum et Repertum ini, dalam hal korban mati maka penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk dilakukan bedah mayat (outopsi).

a. Visum et Repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP.

b. Visum et Repertum penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan penggalian jenazah.

c. Visum et Repertum psikiatri yaitu Visum pada terdakwa yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa. d. Visum et Repertum barang bukti, misalnya Visum terhadap barang bukti

yang ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak pidana, contohnya darah, bercak mani, selongsong peluru, pisau.


(25)

Visum et Repertum dalam pengungkapan suatu kasus, menunjukkan peranan yang cukup penting bagi tindakan pihak kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam Visum et Repertum, menentukan langkah yang diambil pihak kepolisian dalam mengusut suatu kasus.

D. Pembuatan Berita Acara Pemeriksaan di TKP

Berita Acara Pemeriksaan di TKP dibuat oleh Penyidik/ Penyidik Pembantu yang melakukan pengolahan TKP, dengan materi sebagai berikut:

1. Hasil yang diketemukan di TKP baik TKP itu sendiri, korban, saksi-saksi, tersangka maupun barang bukti.

2. Tindakan yang dilakukan oleh petugas (TPTKP dan pengolahan TKP) terhadap hasil yang ditemukan di TKP.

3. Disamping Berita Acara Pemeriksaan di TKP dibuat juga Berita Acara Pemotretan di TKP dan Berita Acara lain-lain sesuai tindakan yang dilakukan. 4. Berita Acara Pemeriksaan di TKP dibuat ditandatangani pemeriksa dan

ditandatangani juga oleh saksi/ tersangka yang menyaksikan pemeriksaan. 5. Adakan koordinasi dengan pihak Jasa Raharja dalam rangka mempercepat

klaim asuransi bagi korban luka maupun meninggal dunia.

Pelaksanaan proses penyidikan (KUHAP) yaitu dengan pemanggilan tersangka dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:


(26)

2. Surat panggilan harus ditandatangani oleh pejabat yang berwenang (Kapolres / Kasat Lantas selaku penyidik) serta yang dipanggil.

3. Nama, pekerjaan dan alamat yang dipanggil harus ditulis dengan jelas.

4. Waktu pemanggilan (tanggal hari dan jam) dan tempat untuk menghadap harus ditulis dengan jelas serta harus ada cukup tenggang waktu bagi yang dipanggil (penerima surat panggilan) untuk menghadap.

5. Menyebutkan dengan jelas maksud / keperluan pemanggilan.

Penyidik dapat melakukan penangkapan pada tersangka kasus kecelakaan lalu lintas. Menurut Pasal 1 butir 20 KUHAP dinyatakan bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU ini.

Penangkapan terhadap pelaku tindak pidana kelalaian mengakibatkan mati dan luka-lukanya orang adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan. Penangkapan merupakan suatu langkah yang dilakukan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan jika seseorang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti-bukti awal yang mencukupi suatu penangkapan harus disertai dengan surat perintah tugas dan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan alasan penangkapan serta uraian singkat mengenai kejahatan yang dipersangkakan surat perintah penangkapan tersebut harus diperlihatkan dan diberikan kepada tersangka


(27)

atau keluarganya, setelah penangkapan dilakukan tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya.

Bagi tersangka yang terlibat kecelakaan lalu lintas dan korban meninggal dunia atau luka berat, untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan penahanan sementara (pasal 20 KUHAP). Oleh karena penahanan merupakan tindakan pengekangan terhadap kebebasan seseorang, maka dalam pelaksanaannya harus diperhatikan ketentuan yang diatur dalam pasal 20, 21, 24, 25, 29 dan 31 KUHAP. Surat Perintah Penahanan Sementara harus ditandatangani oleh pejabat yang berwenang (Kapolres/ Kasat Lantas selaku penyidik). Atas permintaan tersangka, penyidik dapat menangguhkan penahanan sementara (pasal 31 KUHAP yo pasal 35,36 PP 27 tahun 2083). Kewenangan menangguhkan penahanan sementara berada Kepala Kesatuan (Kapolres). Surat Perintah Pengeluaran Tahanan ditandatangani oleh Kepala Kesatuan (Kapolres).

Setelah tersangka ditangkap maka dapat dilakukan penahanan. Adapun pengertian penahanan adalah sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 21 jo pasal 20 KUHAP : “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara-cara yang diatur dalam Undang-undang ini.”

Alasan dilakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP yaitu :

1) dikhawatirkan melarikan diri

2) dikhawatirkan akan merusak / menghilangkan barang bukti 3) dikhawatirkan akan melakukan tindak pidana lagi.


(28)

Penahanan terhadap tersangka dapat dibedakan menjadi tiga yaitu penahanan rumah tahanan Negara, penahanan rumah, dan penahanan kota. (Pasal 22)

Penyidik atau penyidik pembantu (pemeriksa) yang mempunyai kewenangan sesuai yang diatur dalam pasal 6, 7, 9, 10 dan 11 KUHP melakukan pemeriksaan terhadap saksi/tersangka. Dalam hal dimulainya penyidikan terhadap peristiwa kecelakaan lalu lintas yang terjadi, maka penyidik berkewajiban untuk memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (pasal 109 (1) KUHAP). Dalam hal dimulainya pemeriksaan terhadap tersangka, maka pemeriksa wajib untuk memberitahukan tentang hak-hak tersangka (pasal 50 s/d 65 KUHAP). Dalam melakukan pemeriksaan, pemeriksa dilarang menggunakan kekerasan/tekanan dalam bentuk apapun (pasal 117 (1) KUHAP). Pemeriksaan terhadap saksi atau tersangka dapat dilakukan di tempat kediamannya, bilamana telah dua kali dipanggil secara berturut-turut dengan surat panggilan yang sah, tetapi yang bersangkutan tidak dapat hadir karena alasan yang patut dan wajar (pasal 113 KUHAP).

Penyidik / penyidik pembantu dapat meminta pendapat ahli / orang yang memiliki keahlian khusus (pasal 120 (1) KUHAP). Terutama berkaitan dengan persyaratan teknis dan laik jalan kepada petugas DLLAJ yang mempunyai keahlian sebagai pemeriksa dan atau ATPM (sebagai ahli spesifikasi tehnis kendaraan) di daerah. Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali ada cukup alasan untuk dapat diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di


(29)

Pengadilan (pasal 116 (1) KUHAP). Tersangka berhak meminta turunan Berita Acara Pemeriksaan atas dirinya.

Dalam hal tersangka ditahan sementara, maka waktu 1 x 24 jam (1 hari ) setelah perintah penahanan dijalankan harus segera dilakukan pemeriksaan (pasal 122 KUHAP). Tersangka yang ditahan harus segera dibuatkan Surat Perintah Penahanan Tersangka (SPPT) dan tembusan disampaikan kepada keluarga. Perhatikan:

1. Penyidik selalu mengikuti perkembangan korban bila luka berat s/d hari ke 30 bilamana tetap bertahan hidup diklasifikasikan dalam penerapan Pasal 310 (3) Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 Penyidik yang melakukan pemeriksaan tidak boleh ganti-ganti.

2. Memberitahukan hak-hak tersangka secara jelas.

Pada prinsipnya sesuai Pasal 52 huruf a UULAJ, setiap kendaraan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana dapat diamankan sementara termasuk surat-suratnya yang semata-mata untuk kepentingan penyidikan ke Pengadilan. Kecelakaan lalu lintas adalah perbuatan tertangkap tangan (pasal 111 KUHAP). Setelah dari TKP penyidik segera menetapkan berdasarkan bukti-bukti di TKP apakah perbuatan pelanggaran mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dapat dilakukan penyidikan atau tidak.

Untuk melengkapi berkas perkara pemeriksaan maka penyidik segera minta persetujuan Ketua Pengadilan atas kendaraan atau surat-surat yang disita (pasal 38 ayat (2) KUHAP). Atas pertimbangan kepentingan masyarakat kendaraan dapat tidak dilakukan penyitaan dengan catatan:


(30)

1. Penyidik tidak membutuhkan lagi sebagai bahan pembuktian.

2. Kendaraan tersebut sangat dibutuhkan oleh pemilik untuk mengurangi beban ekonomi keluarga terutama kendaraan dari kredit.

3. Penyidik tidak menambah beban administrasi penyidikan terutama penyediaan lahan parkir/penyimpanan dan pengawasan.

4. Kendaraan harus didata dari 4 dimensi (pada titik benturan, depan/belakang, kanan / kiri).

5. Tidak boleh dirubah bentuk.

Berdasarkan Pasal 1 butir 16 KUHAP penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud, atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Apabila ternyata bahwa barang bukti tersebut tidak ada hubungannya dengan kejahatan yang dituduhkan, maka barang tersebut dikembalikan pada pemiliknya. Dan apabila perkara telah selesai diputus, maka benda sitaan ditentukan kemana dikembalikan atau dimusnahkan. Apakah kepada pemiliknya atau dirampas untuk kepentingan Negara atau dipergunakan lagi sebagai barang bukti dalam perkara atau dimusnahkan.

Dalam melakukan penyidikan, taktik dan teknik pemeriksaan yang dilakukan kepolisian adalah:

1. Persiapan pemeriksaan

Pemeriksa (penyidik/penyidik pembantu) harus berusaha menarik dan mengumpulkan semua keterangan yang mengarah pada unsur-unsur pidana


(31)

yang dituduhkan semaksimal mungkin. Menyeleksi bukti-bukti dari TKP yang penting untuk bahan pemeriksaan yang dituangkan dalam BAP. Menghindari pemikiran subyektif terhadap pelaku sebelum mendapatkan keterangan-keterangan dari saksi (korban), pelaku disertai dengan bukti-bukti di TKP. Hasil pemeriksaan dibuat dalam berita acara

2. Berita Acara harus memenuhi persyaratan

Syarat formal sesuai dengan pasal 121 KUHAP yaitu Penyidik atas kekuatan sumpah jabatan membuat BA yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari tersangka dan atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai akta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara. Syarat materil Yaitu Berita Acara yang dibuat harus memenuhi syarat-syarat pembuktian yaitu antara bukti-bukti yang diketemukan di TKP dengan unsur-unsur kesalahan (kelalaian dan atau kesengajaan) yang disangkakan.

Penyidikan kecelakaan lalu lintas perlu didukung dengan sistem administrasi yang baik meliputi :

1) Kelengkapan berkas perkara pemeriksaan meliputi : a) Sampul berkas perkara.

b) Daftar isi berkas perkara. c) Resume.

d) Laporan Polisi.


(32)

f) Surat Pemberitahuan dimulainya penyidikan. g) Berita Acara Pemeriksaan Saksi.

h) Berita Acara Pemeriksaan/surat keterangan Saksi/Ahli. i) Berita Acara penyumpahan saksi/ahli.

j) Berita Acara Pemeriksaan Tersangka. k) Surat Perintah Penyitaan barang bukti. l) Berita Acara Penyitaan barang bukti. m) Surat Panggilan.

n) Surat Perintah Penangkapan. o) Surat Perintah Penahanan. p) Berita cara Rekontruksi. q) Berita Acara Penangkapan.

r) Berita Acara Pengembalian barang bukti.

s) Berita Acara Pembungkusan dan penyegelan barang bukti. t) Surat Perintah Penangguhan Penahanan.

u) Surat Perintah Pengalihan jenis Penahanan.

v) Surat Permintaan Perpanjangan penahanan kepada Kepala Kejaksaan negeri (PU).

w) Surat Permintaan Perpanjangan Penahanan kepada Ketua Pengadilan  Negeri.

x) Surat Perintah Perpanjangan Penahanan

y) Surat Permintaan izin Penetapan penyitaan barang bukti kepada Ketua  Pengadilan Negeri.


(33)

2) Kelengkapan administrasi penyidikan bentuk buku Register meliputi :

a) Buku Register Laporan Polisi

b) Buku Register kejahatan/Pelanggaran c) Buku Register surat Panggilan

d) Buku Register Surat Perintah Penangkapan e) Buku Register Surat Perintah Penyitaan f) Buku Register Surat Perintah Tugas g) Buku Register Tahanan

h) Buku Register Berkas Perkara i) Buku Register Barang Bukti

j) Buku Register Pencarian orang dan kendaraan k) Buku Register Permintaan Visum et Repertum l) Jurnal Kecelakaan lalu lintas

m) Daftar Recidivist

Buku-buku register tersebut di atas (Point a s/d m) keberadaannya ada di satuan lalu lintas masing-masing wilayah.

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil salah satu contoh kasus kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan orang lain meninggal dunia yang terjadi di wilayah hukum polresta Pematang Siantar dengan tersangka atas nama Arya Pratama. Berdasarkan Laporan Polisi No. Pol.: LP/187/X/2013/Lantas, tanggal 09 Oktober 2013 dan Surat Perintah Penyidikan No. Pol: Sprin-Dik/149/X/ 2013/Lantas tanggal 09 Oktober 2013 menyatakan telah terjadi Kecelakaan/ tabrakan lalu lintas antara sepeda motor Suzuki Shogun BK 5052-WO yang dikendarai oleh Arya Pratama kontra sepeda dayung (onthel) yang didayung oleh


(34)

Sdr. Tukar, yang terjadi pada hari Sabtu tanggal 21 September 2013 sekira pukul 20.00 Wib di Jalan Singosari depan Sekolah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kota Pematang Siantar.

Sebelum kecelakaan lalu lintas sepeda motor Suzuki Shogun datang dari arah Jalan Singosari bawah menuju arah Jalan Bali (simpang mayat) demikian juga dengan sepeda dayung (onthel) juga dari arah yang sama. Sentuhan/benturan pada kecelakaan tersebut terjadi pada bagian stang sebelah kiri sepeda motor Suzuki Shogun dengan keranjang sebelah kanan yang ada pada boncengan belakang sepeda onthel.

Setelah benturan/sentuhan tersebut terjadi sepeda motor Suzuki Shogun dan pengendaranya jatuh ke tengah badan jalan sekitar TKP, sedangkan sepeda onthel jatuh ke sisi kiri (pinggir) badan jalan jurusannya dan pesepedanya jatuh di sisi kiri sepeda.

Akibat dari kecelakaan tersebut pengendara sepeda motor Suzuki Shogun mengalami luka gugus pada lutut kaki kiri, sedang sepeda motor yang dikendarainya hanya mengalami lecet pada sayap depan. Sementara pesepeda mengalami luka koyak pada kepala bagian belakang sebelah kanan, selanjutnya dibawa berobat ke RS Suaka Insan, tidak lama kemudian dirujuk ke RS Vita Insani Pematang Siantar. Selama 6 (enam) hari dalam perawatan di RS Vita Insani Pematang Siantar kemudian dirujuk lagi ke RSUD Djasamen Saragih Pematang Siantar. Selama 3 (tiga) hari dirawat di RSUD Djasamen Saragih Pematang Siantar pesepeda onthel tersebut atas nama Tukar meninggal dunia.


(35)

Selanjutnya keluarga korban membuat pengaduan terlambat (Peter) ke Unit Laka Polres Pematang Siantar.

Dalam kasus kecelakaan tersebut juga diperoleh keterangan dari 5 orang saksi-saksi yaitu Sutrisno (39 tahun, wiraswasta), Saminta Br. Sinaga (66 tahun, ibu rumah tangga), Bambang Suheriyanto (33 tahun, karyawan swasta), Andi (34 tahun, karyawan swasta), dan Ibrahim Pane (46 tahun, satpam sekolah MAN).

Dalam keterangannya, saksi Sutrisno (anak korban Sdr. Tukar) menerangkan tidak mengetahui kronologis terjadinya kecelakaan tersebut. Saksi mengetahui terjadinya kecelakaan tersebut setelah diberitahukan oleh adiknya melalui telepon, selanjutnya saksi melihat orangtuanya ke RS Suaka Insan Pematangsiantar, karena fasilitas tidak mendukung lalu pada malam itu juga orangtua saksi (korban\) dirujuk ke RS Vita Insani Pematangsiantar. Saksimelihat orangtuanya atas nama Tukar mengalami luka koyak pada bagian kepala belakang sebelah kanan, telinga sebelah kanan mengeluarkan darah, luka gugus pada kaki kanan-kiri, luka gugus pada punggung belakang dan luka gugus pada tangan kanan kiri. Setelah 6 (enam) hari di rawat di RS Vita Insani Pematangsiantar, karena biaya membengkak, lalu orangtua saksi di rujuk ke RSUD Djasamen Saragih Pematangsiantar. Selama 3 (tiga) hari di rawat di RSUD Djasamen Saragih Pematangsiantar korban meninggal dunia. Saksi mengenal pengendara sepeda motor Suzuki Shogun bernama Arya Pratama saat berada di RS Suaka Insan Pematangsiantar.

Saksi Saminta Br. Sinaga (istri Sdr. Tukar) menerangkan bahwa saksi tidak mengetahui terjadinya kecelakaan tersebut, saksi mengetahui telah terjadi


(36)

kecelakaan tersebut setelah diberitahukan oleh warga jalan singosari yang datang ke rumahnya, dimana suaminya tersebut telah dibawa berobat ke RS Suaka Insan Pematangsiantar. Di rumah sakit, saksi melihat kondisi korban mengalami luka koyak pada bagian kepala belakang sebelah kanan, telinga sebelah kanan mengeluarkan darah, luka gugus pada kaki kanan-kiri, luka gugus pada punggung belakang dan luka gugus pada tangan kanan kiri. Saksi menerangkan bahwa saat korban berada di RS Suaka Insan Pematangsiantar, karena kurangnya fasilitas selanjutnya dirujuk ke RS Vita Insani Pematangsiantar, selama 6 (enam) hari rawat inap di rumah sakit tersebut, karena biaya membengkak lalu dirujuk ke RSUD Djasamen Saragih Pematangsiantar. Selama 3 (tiga) hari rawat inap di rumah sakit tersebut korban meninggal dunia, tepatnya pada hari Senin tanggal 30 September 2013 sekitar pukul 09.15 Wib. Terakhir kali saksi bertemu korban adalah pada hari Sabtu tanggal 21 September 2013 sekitar pukul 10.00 Wib di rumah saksi, dimana saat itu korban pergi berjualan tape keliling dengan mendayung sepeda onthel. Jenazah Alm. Tukar disemayamkan di rumah saksi, dan pada hari Senin tanggal 30 September 2013 (hari meninggalnya korban) sekira pukul 16.00 Wib, dikebumikan di pemakaman umum di desa Tengko Kelurahan Bahkapul Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematangsiantar.

Saksi Bambang Suheriyanto (pemilik sepeda motor Suzuki Shogun) menerangkan saksi tidak mengerti sebab dilakukan pemeriksaan terhadapnya. Saksi kenal dengan Arya Pratama dan saksi juga kenal dengan sepeda motor Suzuki Shogun tanpa plat nomor polisi, yang diketahui saksi bernomor BK 5052 WO dimana sepeda motor tersebut adalah miliknya. Saksi tidak mengetahui


(37)

kronologis terjadinya kecelakaan tersebut. Saksi mengetahui terjadinya kecelakaan tersebut setelah sepeda motor miliknya tersebut diantar oleh teman si Arya Pratama yang tidak dikenal dan mengatakan bahwa sepeda motor tersebut baru saja mengalami kecelakaan saat dikendarai oleh Arya Pratama menabrak sepeda yang didayung oleh orangtua (kakek-kakek) di jalan Singosari depan Sekolah Madrasah Aliyah Negeri Kota Pematangsiantar sekitar pukul 20.00 Wib. Dan korban telah dibawa berobat ke RS Suaka Insan Pematangsiantar. Di RS Suaka Insan Pematangsiantar saksi melihat keadaan pesepeda yang merupakan kakek-kakek mengalami luka koyak pada kepala sebelah kanan dan telinga sebelah kanan mengeluarkan darah. Saksi menerangkan bahwa selama satu minggu sebelum terjadinya kecelakaan, sepeda motor miliknya tersebut berada di bengkel untuk diperbaiki, dan setahu saksi Arya Pratama adalah anggota bengkel tempat ianya memperbaiki sepeda motornya tersebut. Saksi mengetahui bahwasannya pesepeda tersebut meninggal dunia adalah setelah diberitahu Arya Pratama pada hari saat pesepeda tersebut meninggal dunia.

Saksi Andi (Abang Kandung Arya Pratama) menerangkan bahwa saksi tidak mengetahui kronologis terjadinya kecelakaan tersebut, saksi mengetahui telah terjadi kecelakaan setelah diberitahukan oleh adiknya Arya Pratama melalui telepon. Saat di RS Suaka Insan Pematangsiantar saksi melihat kondisi pesepeda terbaring di ruang IGD dengan kondisi sadar, mengalami luka koyak pada kepala samping kanan belakang telinga dan telinga kanan mengeluarkan darah, sedangkan adiknya Arya Pratama duduk di bangku ruang IGD menunggu korban dengan keadaan luka gugus pada lutut kaki kiri. Saksi mengetahui bahwasannya


(38)

sepeda motor yang dikendarai oleh adiknya tersebut adalah milik saudara Bambang setelah kecelakaan terjadi, di rumah Bambang saksi melihat sepeda motor tersebut hanya mengalami kerusakan lecet pada sayap depan, sementara keadaan sepeda onthel saksi tidak tahu. Saksi mengetahui kabar bahwasannya korban (pesepeda) tersebut meninggal dunia dari anak korban. Meninggal dunia dalam perawatan di RSU Pematangsiantar, pada hari Senin tanggal 30 September 2013 sekitar pukul 09.00 Wib.

Saksi Ibrahim Pane (Satpam Sekolah MAN Pematangsiantar) menerangkan bahwa saksi tidak dapat melihat dengan jelas akibat dari kecelakaan tersebut yang dialami oleh pesepeda dan pengendara sepeda motor, situasi di TKP gelap tidak ada penerangan lampu jalan. Tapi setahu saksi saat di TKP, pesepeda onthel tidak sadarkan diri. Saksi menerangkan bahwa sebelum kecelakaan sepeda motor Suzuki Shogun datang dari arah Jalan Singosari bawah menuju arah jalan Bali (simpang mayat) demikian juga dengan pesepeda onthel. Saksi tidak tahu bagian mana yang bersentuhan diantara kedua kendaraan tersebut, saksi hanya mendengar suara benturan selanjutnya saksi mendekati asal suara benturan tersebut. Jarak antara posisi saksi dengan tempat terjadinya kecelakaan sekitar 10 meter. Di tempat kejadian saksi melihat sepeda di pinggir jalan sisi kiri jurusannya, sedangkan pesepedanya berada di pinggir jalan di belakang sepeda. Namun selanjutnya datang seorang anak laki-laki mengaku kepada aksi bahwa ianyalah pengendara sepeda motor yang telah menabrak pesepeda tersebut. Setelah menghentikan bettor lalu saksi menyarankan agar pengendara sepeda motor membawa korban ke rumah sakit terdekat. Saksi menerangkan jalan TKP


(39)

dua arah, lebar jalan cukup, jalan di TKP menuju jalan Bali agak menanjak, kondisi jalan bagus, cuaca cerah malam hari, pandangan tidak terhalang, situasi pengguna jalan saat terjadi kecelakaan sepi dan penerangan di sekitar TKP gelap / lampu jalan tidak ada.

Tersangka (Arya Pratama) kepada penyidik menerangkan bahwa terjadi kecelakaan pada hari Sabtu tanggal 21 September 2013 sekitar pukul 20.00 Wib di Jalan Singosari depan Sekolah Madrasah Aliyah Negeri Kota Pematangsiantar. Akibat dari kecelakaan tersebut tersangka mengalami luka gugus pada pergelangan kaki kiri, sedangkan pesepeda mengalami luka pada kepala bagian belakang sebelah kanan, sepeda motor yang dikendarai tersangka mengalami kerusakan lecet pada sayap depan, sedangkan sepeda onthel tidak mengalami kerusakan. Lalu tersangka membawa korban berobat medis ke RS Suaka Insan Pematangsiantar. Sebelum kecelakaan, sepeda motor yang dikendarai tersangka datang dari arah jalan Singosari bawah menuju arah jalan Bali (simpang Mayat), demikian juga dengan sepeda onthel lawan tabraknya. Bagian yang bersentuhan pada kecelakaan tersebut adalah pada bagian stang sebelah kiri sepeda motor Suzuki Shogun dengan keranjang sebelah kanan pada sepeda. Benturan / tabrakan pada kecelakaan tersebut terjadi pada sisi kiri badan jalan Singosari jurusan sepeda motor dan sepeda onthel. Setelah kecelakaan terjadi, tersangka dan sepeda motor yang dikendarainya jatuh ke tengah badan jalan Singosari di TKP, sedangkan pesepeda jatuh ke sisi kiri badan jalan sementara sepedanya jatuh ke sisi kanan pesepeda. Tersangka menerangkan bahwa saat mengendarai sepeda motor dengan kondisi lampu utama mati, dengan kecepatan sekitar 50 km/jam


(40)

gigi persneling 3 (tiga). Cuaca cerah malam hari, jalan lurus dua arah, jalan beraspal, lebar jalan cukup kondisi jalan bagus, pemakai jalan sepi, pandangan tidak terhalang, sekitar TKP sekolahan MAN dan tanaman sawit, penerangan sekitar TKP gelap/lampu jalan tidak ada.

Berdasarkan hasil pemeriksaan tempat kejadian perkara (TKP) ditemukan hal-hal sebagai berikut:

1. Keadaan jalan

a. Jalan aspal hotmix, lebar jalan cukup, jalan dua arah, keadaan jalan bagus, jalan rata, jalan agak menikung, jalan menuju arah jalan Bali agak menanjak.

b. Tidak ditemukan seretan pada badan jalan akibat dari kecelakaan. 2. Keadaan kendaraan

Sepeda motor Suzuki Shogun BK 5052 WO tidak ditemukan di TKP, diantar ke kantor unit Laka Polres Pematangsiantar oleh pengendaranya dalam keadaan hanya rusak lecet pada sayap bagian depan. Sedangkan sepeda ditemukan di halaman depan rumah warga sekitar TKP, dalam keadaan sedikit bengkok pada bagian cagaknya dan keranjang sebelah kanan.

3. Korban

Korban tidak ditemukan di tempat kejadian. 4. Kondisi Lingkungan

Cuaca cerah pagi hari, pengguna jalan sepi, sekitar TKP merupakan sekolahan Madrasah Aliyah Negeri Pematangsiantar dan tanaman kelapa sawit.


(41)

Tindakan yang diambil kepolisian dalam pemeriksaan TKP adalah sebagai berikut:

1. Mencari bukti-bukti di TKP.

2. Melakukan pemeriksaan dan pengukuran di TKP. 3. Membuat gambar sket TKP.

4. Melakukan pemotretan di TKP.

5. Meminta keterangan singkat dari masyarakat di sekitar TKP.

Dalam resume kasus kecelakaan yang dilakukan tersangka Arya Pratama dengan fakta-fakta sebagai berikut:

1. Pemanggilan Tidak dilakukan 2. Penangkapan

Sesuai dengan Surat Perintah Penangkapan No. Pol.: Sp.Kap/16/X/2013/ Lantas, tanggal 09 Oktober 2013, telah dilakukan penangkapan terhadap tersangka An. Arya Pratama.

3. Penahanan

Sesuai dengan Surat Perintah Penahanan No. Pol.: Sp.Han/16/X/2013/Lantas, tanggal 10 Oktober 2013, telah dilakukan penahanan terhadap tersangka An. Arya Pratama.

4. Perintah membawa Tidak dilakukan 5. Penyitaan

Sesuai dengan Surat Perintah Penyitaan No.Pol.:SP.Sita/177/X/2013/Lantas tanggal 09 Oktober 2013 telah dilakukan penyitaan barang bukti berupa:


(42)

a. 1 (satu) unit sepeda motor Suzuki Shogun BK 5052-WO.

b. 1 (satu) lembar STNK Asli sepeda motor Suzuki Shogun BK 5052-WO. c. 1 (satu) unit sepeda onthel, selanjutnya dibuat Berita Acara Penyitaan.

Setelah mendatangi tempat kejadian perkara, memeriksa saksi-saksi dan tersangka kemudian dihubungkan dengan barang bukti yang ada, maka diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Situasi jalan di tempat kejadian bagus, lebar cukup, dikerasi dengan aspal, permukaan jalan rata, cuaca cerah malam hari, arus lalu lintas sepi, jalan lurus agak menikung, jalan dua arah pandangan ke depan tidak terhalang, penerangan di TKP gelap/lampu jalan tidak ada.

2. Benar pada hari Sabtu tanggal 21 September 2013 sekira pukul 20.00 Wib di Jalan Singosari depan Sekolah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kelurahan Bantan Kecamatan Siantar Barat Kota Pematang Siantar telah terjadi kecelakaan lalu lintas antara sepeda motor Suzuki Shogun BK 5052-WO yang dikendarai oleh Arya Pratama kontra sepeda onthel (dayung) yang didayung oleh Sdr. Tukar.

3. Sebelum kecelakaan lantas terjadi sepeda motor Suzuki Shogun BK 5052-WO dan sepeda onthel datang dari arah Jalan Singosari bawah menuju arah Jalan Bali (simpang mayat)/berjalan satu arah.

4. Sepeda motor Suzuki Shogun BK 5052-WO melaju dengan kondisi lampu utama tidak hidup (mati) dan tidak dapat melihat sepeda onthel yang melaju di depan jurusannya. Sehingga terjadi benturan/sentuhan antara stang kiri sepeda


(43)

motor dengan keranjang sebelah kanan yang ada pada bagian boncengan belakang sepeda.

5. Akibat dari sentuhan/benturan tersebut pengendara sepeda motor dan sepeda motornya jatuh ke sisi kanan badan jalan jurusannya, sedangkan pesepeda dan sepeda onthelnya jatuh ke sisi kiri badan jalan jurusannya. Pengendara sepeda motor mengalami luka ringan, sedangkan pesepeda onthel mengalami luka koyak pada kepala belakang sebelah kanan, telinga sebelah kanan mengeluarkan darah, luka gugus pada tangan dan kaki, luka gugus pada punggung belakang. Berobat medis ke RS Suaka Insan, dirujuk ke Rumah Sakit Vita Insani Pematang Siantar, setelah 6 (enam) hair dirawat inap, lalu dirujuk lagi ke RSUD Djasamen Saragih Pematang Siantar, setelah 3 (tiga) hari dirawat pesepeda onthel atas nama Tukar meninggal dunia, tepatnya pada hari Senin tanggal 30 September 2013 sekitar pukul 09.15 WIB.

Analisa Juridis kasus kecelakaan yang dilakukan tersangka Arya Pratama bahwa berdasarkan petunjuk dan fakta-fakta tersebut di atas bahwa benar telah terjadi tindak pidana kecelakaan/tabrakan lalu lintas yang karena salahnya ataupun kelalaiannya mengemudikan kendaraan di jalan umum mengakibatkan orang menderita luka berat dan selanjutnya meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam rumusan pasal 310 (3), (4) UU RI No. 22 Tahun 2009, tentang LLAJ.

Adapun unsur-unsur pidana yang dipersangkakan kepada tersangka sesuai dengan rumusan pasal 310 (3), (4) UU RI No. 22 Tahun 2009, tentang LLAJ adalah:


(44)

1. Barang siapa dan atau setiap orang mengemudikan kendaraan bermotor

Dalam hal ini adalah tersangka Arya Pratama selaku pengendara sepeda motor Suzuki Shogun BK 5052-WO.

2. Karena salahnya atau kealpaannya dan atau kelalaiannya.

Tersangka Arya Pratama saat mengendarai sepeda motor Suzuki Shogun BK 5052-WO dengan kondisi lampu utama tidak menyala (mati) yang melaju di depan jurusannya. Sehingga saat posisi sepeda motor dekat dengan sepeda onthel yang melaju di depan jurusannya tidak dapat lagi menghindar sehingga terjadi benturan/sentuhan pada bagian stang sebelah kiri sepeda motor Suzuki Shogun BK 5052-WO dengan keranjang sebelah kanan pada bagian boncengan belakang sepeda.

3. Mengakibatkan orang luka berat dan meninggal dunia

Dalam hal ini adalah Tukar selaku pesepeda onthel menderita luka berat selanjutnya korban meninggal dunia dalam perawatan di RSUD Djasamen Saragih Pematang Siantar. Sesuai dengan hasil Visum et Repertum luka yang dikeluarkan oleh RS Vita Insani Kota Pematang Siantar dan Surat Keterangan Kematian dari RSUD Djasamen Saragih Pematang Siantar.

Berdasarkan pembahasan-pembahasan tersebut di atas maka penyidik mengambil kesimpulan bahwa terjadinya kecelakaan/tabrakan lalu lintas antara sepeda motor Suzuki Shogun BK 5052-WO yang dikendarai oleh Arya Pratama kontra sepeda onthel yang didayung oleh Tukar. Diduga akibat dari kekurang hati-hatian ataupun kelalaian tersangka Arya Pratama saat mengendarai sepeda motor dalam keadaan lampu utama tidak menyala (mati) dan tidak memperhatikan atau tidak menjaga jarak dengan sepeda onthel yang melaju di


(45)

depan jurusannya, sehingga tidak dapat menghindar dari benturan/sentuhan dengan sepeda onthel tersebut antara stang sebelah kiri sepeda motor dengan keranjang sebelah kanan pada boncengan belakang sepeda.

Terhadap tersangka Arya Pratama dapat dipersalahkan karena kelalaiannya ataupun kealpaannya mengemudikan kendaraan di jalan umum mengakibatkan orang luka berat dan selanjutnya meninggal dunia dalam rumusan pasal 310 (3), (4) UU RI No. 22 Tahun 2009, tentang LLAJ. Pasal 310 ayat (3) dan (4) berbunyi sebagai berikut:67

(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Peran polisi dalam menyelesaikan kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian korban di wilayah hukum Polresta Pematangsiantar dilakukan dengan membuat:

1. Resume 2. Laporan polisi

3. Surat perintah penyidikan 4. Surat perintah tugas

5. Pemberitahuan dimulainya penyidikan 6. Menggambar sket (denah) lokasi TKP.       


(46)

7. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi-saksi. 8. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersangka 9. Penghunjukan penasehat hukum

10.Surat perintah penyitaan 11.Berita acara penyitaan

12.Permintaan izin persetujuan penyitaan. 13.Penetapan penyitaan

14.Surat perintah penangkapan 15.Berita acara penahanan. 16.Perpanjangan penahanan.

17.Surat perintah Visum et Repertum korban. 18.Hasil Visum et revertum dan surat kematian 19.Daftar saksi

20.Daftar tersangka dan foto tersangka.

21.Daftar barang bukti dan foto-foto barang bukti

22.Surat pengiriman berkas perkara ke Kejaksaan Negeri 23.Surat pelimpahan tersangka dan barang bukti.


(47)

BAB IV

KEBIJAKAN HUKUM POLISI DALAM MENANGGULANGI KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENYEBABKAN KEMATIAN

Konsepsi kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral mengandung konsekuensi, bahwa segala usaha yang rasional untuk menanggulanginya harus merupakan satu kesatuan yang terpadu (integralitas), yang berarti kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan kebijakan penal harus pula dipadukan dengan kebiasaan atau usaha-usaha yang bersifat non penal.

A. Penal

Kebijakan penal, atau disebut “penal policy” menurut Marc Ancel adalah suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik, atau disebut juga kebijakan hukum pidana.68

Penanggulangan kecelakaan lalu lintas oleh polisi dalam kebijakan hukum pidana adalah dengan melakukan tugas dan wewenangnya sebagai penyelidik dan penyidik untuk mencari terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya, yang selanjutnya dilakukan penangkapan, penahanan, penyitaan barang bukti, pemeriksaan, serta pemberkasan untuk dikirim ke Jaksa Penuntut Umum (JPU), agar pelaku tindak pidana kelalaian mengakibatkan orang lain

      

68Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:


(48)

meninggal dunia dapat diproses dalam sidang pengadilan dan mendapatkan hukuman sebagaimana perbuatannya.

Kebijakan penal dapat diartikan sebagai penindakan pelanggaran lalu lintas secara hukum yang meliputi penindakan dengan menggunakan tilang, serta penindakan terhadap pelaku kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa dengan menggunakan ketentuan penyidikan sebagaimana terdapat dalam KUHAP. Dasar hukum penegakan hukum lalu lintas di bidang represif antara lain yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 83 tahun 1980 tentang jalan. 2. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP

3. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkatan jalan. 4. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1980 tentang jalan tol. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 s/d 44 tahun 1993

7. Keputusan Menteri Perhubungan 8. Peraturan daerah

Peran polisi lalu lintas dalam penegakan hukum pidana yang berkaitan dengan kasus kecelakaan lalu lintas menurut KUHAP adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan. Hal ini disebabkan kelalaian dalam berlalu lintas diatur pada pasal 359 dan 360 KUHP yang mengakibatkan luka-luka atau kematian pada orang lain.


(49)

Kebijakan penal polisi dalam penyidikan tindak pidana kelalaian mengakibatkan matinya orang lain sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP adalah sebagai berikut:

1. Mendatangi tempat kejadian perkara

Penyidik mendatangi tempat kejadian perkara dan melakukan pemotretan/ mengambil foto tentang keadaan TKP dan selanjutnya membuat sketsa atau gambar kecelakaan lalu lintas dengan sebenar-benarnya atas kekuatan sumpah jabatan. Adapun sketsa atau gambar telah terjadinya suatu kecelakaan meliputi: 1) Gambar jalan dimana lokasi terjadinya kecelakaan.

2) Gambar arah kendaraan sebagai penyebab/subjek kecelakaan. 3) Gambar arah kendaraan yang menjadi objek kecelakaan.

4) Gambar kendaraan sebelum terjadinya kecelakaan, saat terjadinya keel dan setelah terjadinya kecelakaan.

5) Identitas kendaraan yang mengalami kecelakaan. 2. Penangkapan

Menurut Pasal 1 butir 20 KUHAP dinyatakan bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU ini.

Penangkapan terhadap pelaku tindak pidana kelalaian mengakibatkan mati dan luka-lukanya orang adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan.


(50)

Penangkapan merupakan suatu langkah yang dilakukan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan jika seseorang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti-bukti awal yang mencukupi suatu penangkapan harus disertai dengan surat perintah tugas dan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan alasan penangkapan serta uraian singkat mengenai kejahatan yang dipersangkakan surat perintah penangkapan tersebut harus diperlihatkan dan diberikan kepada tersangka atau keluarganya, setelah penangkapan dilakukan tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya.

3. Penahanan

Setelah tersangka ditangkap maka dapat dilakukan penahanan. Adapun pengertian penahanan adalah sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 21 jo pasal 20 KUHAP : “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara-cara yang diatur dalam Undang-undang ini.” Alasan dilakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa menurut Pasal

21 ayat (1) KUHAP yaitu : 1) dikhawatirkan melarikan diri

2) dikhawatirkan akan merusak / menghilangkan barang bukti 3) dikhawatirkan akan melakukan tindak pidana lagi.

Penahanan terhadap tersangka dapat dibedakan menjadi tiga yaitu penahanan rumah tahanan Negara, penahanan rumah, dan penahanan kota. ( Pasal 22 )


(51)

4. Penggeledahan (Pasal 32 KUHAP)

Adakalanya untuk mendapatkan bukti-bukti yang berhubungan dengan suatu tindak pidana, penyidik harus memeriksa suatu tempat tertutup atau badan seseorang, hal inilah yang dimaksud dengan penggeledahan.

Penggeledahan dibagi menjadi dua :

1) Penggeledahan rumah, adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang (Pasal 1 butir 17 KUHAP). 2) Penggeledahan badan adalah suatu tindakan dari penyidik untuk

mengadakan pemeriksaan badan atau pakaian tersangka, untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita (Pasal 1 butir 18 KUHAP).

5. Penyitaan (Pasal 38 KUHAP)

Berdasarkan Pasal 1 butir 16 KUHAP penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud, atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

Apabila ternyata bahwa barang bukti tersebut tidak ada hubungannya dengan kejahatan yang dituduhkan, maka barang tersebut dikembalikan pada pemiliknya. Dan apabila perkara telah selesai diputus, maka benda sitaan ditentukan kemana dikembalikan atau dimusnahkan. Apakah kepada


(52)

pemiliknya atau dirampas untuk kepentingan Negara atau dipergunakan lagi sebagai barang bukti dalam perkara atau dimusnahkan.

B. Non Penal

Pada dasarnya polisi di dalam melaksanakan tugas kewajibannya selalu berpegang pada perundang-undangan yang berlaku. Selaku penegak hukum akan menegakkan semua ketentuan hukum yang berlaku, hal ini memang karena kewajibannya. Namun disamping selaku penegak hukum tugas polisi adalah pembina kamtibmas di daerahnya, dalam hal ini kebijakan-kebijakan yang dapat menyeimbangkannya kepada semua tugas itu selalu menjadi perhatian utama. Sehingga mau tidak mau di dalam melaksanakan tugas selalu ditempuh berbagai cara yang tepat. Unsur kebijakan selalu melengkapi ketentuan-ketentuan hokum yang berlaku, bahkan di beberapa hal seperti penyidikan dapat mengenyampingkan ketentuan hukum positif yang berlaku pada suatu saat dan tempat yang sulit untuk dipaksakan berlakunya hukum positif.

Dalam kasus kecelakaan lalu lintas dan penyelesaiannya terkadang kebijakan yang diambil oleh polisi dilaksanakan secara kompromi atau peringatan kepada pengendara yang melanggar dengan alasan keadaan darurat saja. Tindakan ini diambil setelah polisi sebagai penyidik melakukan tindakan-tindakan penyidikan dan diproses sebagaimana seharusnya. Akan tetapi biasanya setelah melalui proses pemeriksaan telah dipertimbangkan dengan seksama ternyata cara-cara tersebut di atas lebih efektif, lebih bermanfaat ditinjau dari segi perkaranya, semua pihak, waktu, biaya proses maupun dari segi kepentingan masyarakat,


(53)

maka pelanggaran jalanan yang ditangani itu cukup diselesaikan oleh mereka dengan diketahui oleh polisi sendiri.

Langkah kebijaksanaan yang diambil polisi sebagai penyidik tersebut biasanya sudah banyak dimengerti dengan baik oleh komponen-komponen fungsi di dalam sistem peradilan pidana terutama oleh jaksa selaku Penuntut Umum. Disini menunjukkan bahwa di dalam tugasnya sebagai alat Negara penegak hukum, polisi ternyata mengambil sikap fleksibel di dalam menghadapi ketentuan-ketentuan hukum positif yang tertulis. Maka di dalam hukum pidana positif pun tidaklah harus begitu kaku, sehingga kebijaksanaan-kebijaksanaan perkara seperti menghentikan atau mengenyampingkan perkara pelanggaran yang dianggap dapat dipertanggungjawabkan dari sudut tugas-tugas kepolisian dapat juga dilakukan oleh polisi.

Bentuk non penal dalam proses penyidikan kecelakaan lalu lintas merupakan diskresi birokrasi, dimana polisi dalam melakukan diskresi berkaitan dengan proses penyidikan dalam setiap tingkat penyidikan tidak dapat diputus sendiri namun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari penyidik pembantu dan penyidik serta berdasarkan kebijaksanaan atau keputusan pimpinan atau pejabat yang lebih tinggi dalam organisasi kepolisian.

Berdasarkan kebijakan non penal, penanggulangan kecelakaan lalu lintas oleh kepolisian dapat dikelompokkan menjadi 3 aspek yaitu:

1. Aspek rekayasa (engineering)

Rambu dan tanda lalu lintas jalan harus dilengkapi, seperti berbagai rambu peringatan, perintah, larangan, dan rambu petunjuk, lalu lintas dengan


(54)

kualitas, dimensi dan jumlah kebutuhan jalan, untuk menciptakan tertib pengemudi. Apabila semua rambut tersebut diperhatikan dan diikuti dengan baik oleh pemakai jalan diharapkan kecelakaan lalu lintas dapat berkurang.

Penyempurnaan dan penambahan rambu tanda lalu lintas dilaksanakan sesuai periode pengoperasian disesuaikan dengan tingkat keperluannya, misalnya:

9. Penambahan rambu petunjuk, larangan dan peringatan pada setiap ruas jalan.

10.Lampu flip flop, dipasang pada lokasi tertentu rawan kecelakaan yang membutuhkan konsentrasi pengemudi

11.Standarisasi lampu darurat, berupa rambu-rambu yang dipasang sementara untuk pengaman lalu lintas pada lokasi-lokasi darurat seperti lokasi-lokasi darurat seperti lokasi pekerjaan pemeliharaan jalan dan kecelakaan lalu lintas, dengan maksud agar pemakai jalan mengetahui bahwa di depan sedang ada kegiatan pekerjaan jalan atau penanganan kecelakaan sehingga pemakai jalan lebih berhati-hati.

Perawatan rambu lalu lintas, secara rutin dan periodik dilaksanakan perbaikan dan pemeliharaan atas rambu-rambu lalu lintas, sehingga tetap dapat dilihat dengan jelas oleh pengguna jalan.

2. Aspek Pendidikan (Education)

Untuk aspek Pendidikan ini kegiatan yang dilakukan didalamnya berupa informasi dan kampanye keselamatan, misalnya :


(55)

a. Penyuluhan tertib lalu lintas, dilakukan kepada para pemakai jalan secara berkala tentang tata tertib dan sopan santun berlalu lintas di jalan.

b. Penyuluhan dan himbauan kepada masyarakat pengguna kendaraan agar memakai sabuk pengaman, dilakukan dengan cara menyebar selebaran serta kampanye secara langsung di lapangan, baik untuk kendaraan kecil ataupun truk untuk mengurangi tingkat fatalisme, dan himbauan kepada pengguna kendaraan umum agar tidak segan-segan memperingati pengemudi yang ugal-ugalan dalam mengemudikan kendaraannya.

c. Penyuluhan khusus terhadap pengemudi kendaraan umum, seperti angkot, bus, truk, agar tidak ugal-ugalan di jalan, tidak hanya mementingkan setoran, dan dilarang keras menggunakan alkohol atau narkotika dan khusus pengemudi dengan jarak tempuh yang cukup jauh, mengemudi di malam hari

3. Aspek Pengelolaan (Operation)

a. Patroli secara berkala oleh polisi secara terus menerus dalam rangka tindakan preventif dan represif terhadap keamanan dan keselamatan berlalu lintas.

b. Tersedianya sarana komunikasi berupa radio komunikasi yang dipasang di setiap kendaraan patroli, untuk mempercepat penanganan setiap permasalahan di jalan raya.

c. Memakai rompi pengaman reflektif, untuk menjaga baik petugas/pekerja maupun bagi lalu lintas yang sedang berada di jalan, petugas/pekerja wajib


(56)

memakai rompi pengaman agar terlihat jelas oleh pemakai jalan baik siang ataupun malam.

d. Peningkatan keterampilan unit pelayanan, dengan secara berkala melakukan latihan penanganan, kecelakaan lalu lintas jalan raya bagi seluruh unit kerja operasional, khususnya berkaitan dengan fungsi dan peranan polisi.

e. Operasi yustisi, secara periodik dilaksanakan operasi yustisi terhadap masyarakat di kawasan jalan raya yang sering terjadi pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas. Sasaran operasi antara lain meliputi penertiban terhadap pemakai jalan, meliputi kelengkapan berkendaraan, dan kelayakan kendaraan.


(57)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pengaturan hukum kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian orang lain diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 pasal 2029 dengan mengelompokkan kecelakaan lalu lintas ringan, sedang, dan berat yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Terjadinya kelalaian dalam kecelakaan berlalu lintas yang mengakibatkan kematian orang lain disebabkan oleh faktor manusia, faktor kendaraan, faktor jalan, dan faktor lingkungan. Diantara faktor-faktor tersebut faktor manusia merupakan faktor yang paling menentukan terjadinya kecelakaan berlalu lintas.

2. Peranan kepolisian dalam melakukan penyidikan kasus kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian korban yaitu dengan mendatangi tempat kejadian perkara, melakukan permintaan visum et repertum, membuat berita acara pemeriksaan di TKP dengan melakukan pemanggilan, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, dan penyitaan barang bukti.

3. Kebijakan hukum polisi dalam menanggulangi kecelakaan lalu lintas yaitu dengan cara kebijakan penal dan non penal. Kebijakan penal yaitu penegakan hukum pidana dengan menindak para pelaku pelanggaran terhadap hukum pidana, dalam hal ini terhadap pelaku kelalaian mengakibatkan orang lain meninggal dunia sebagaimana diatur dalam


(58)

pasal 359 dan 360 KUHP dilakukan penyelidikan dan penyidikan untuk selanjutnya diproses pengadilan dan kebijakan non penal yaitu kebijakan di luar hukum pidana yang bertujuan mengurangi angka kecelakaan lalu lintas yaitu meliputi aspek rekayasa (engineering), aspek pendidikan dan aspek pengelolaan (operation).

B. Saran

1. Meningkatnya jumlah kasus kecelakaan yang mengakibatkan kematian orang lain maka disarankan untuk menambah jumlah masa tahanan menjadi 10 tahun atau denda minimal 10 juta dan maksimal 20 juta sehingga membuat masyarakat lebih berhati-hati dan tidak lalai dalam berkendara.

2. Pihak kepolisian segera mendatangi lokasi tempat kejadian kecelakaan lalu lintas sehingga segera mendapatkan barang bukti dan saksi-saksi yang akan mempermudah dalam proses penyusunan berkas perkara.

3. Disarankan kepada pihak kepolisian untuk menambahkan marka atau rambu-rambu lalu lintas dan melakukan patroli secara rutin terutama di tempat-tempat yang sepi dan rawan terjadinya kecelakaan sehingga apabila terjadi kecelakaan dapat segera ditangani sehingga dapat memperlancar proses penyidikan. Pihak kepolisian untuk lebih berkoordinasi dengan masyarakat dengan cara mensosialisasikan nomor-nomor telepon yang mudah dihubungi jika terjadi kecelakaan lalu lintas sehingga informasi terjadinya kecelakaan dapat segera diketahui dan mendapat penanganan yang lebih cepat.


(1)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Alhamdulillahirabbilalamin puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi tepat pada waktunya. Tidak lupa pula shalawat beriring salam diberikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman Jahiliyah ke zaman berilmu pengetahuan seperti sekarang ini.

Penulisan skripsi yang berjudul “PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN (STUDI KASUS DI POLRESTA PEMATANG SIANTAR)” merupakan karya tulis ilmiah yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi bertujuan untuk melatih mahasiswa untuk berpikir kritis dan mampu menuangkan berbagai ide dan pemikirannya secara terstruktur. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan ilmu pengetahuan, meskipun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Selama proses perkuliahan hingga penulisan skripsi ini berjalan, penulis banyak mendapatkan bantuan, dukungan dan bimbingan serta masukan dari berbagai pihak. Secara khusus, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :


(2)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas dukungan yang besar terhadap seluruh mahasiswa/i di dalam lingkungan Kampus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Saidin, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Ibu Zaidar, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih kepada bapak yang selama ini telah memberikan bimbingan dan nasehat-nasehat kepada penulis dalam menjalankan program studi S1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak Prof. Ediwarman, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah memberikan petunjuk, masukan, bimbingan, motivasi dan bantuan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini;


(3)

9. Ibu Liza Erwina, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah memberikan petunjuk, masukan, bimbingan, motivasi dan bantuan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini;

10. Ibu Marlina, S.H., M.Hum, yang telah banyak memberikan nasehat, dan masukan pada pemberian judul skripsi;

11. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar yang sangat berperan dalam kehidupan penulis selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12. Kepada kedua Orang Tua yang telah memberikan segala sesuatunya selama proses perkuliahan dan penulisan skripsi;

13. Saudara kandung penulis Abang Riduan, Alm. Rudian, Kakak Ria Dewi dan Rati Komala Dewi, keponakan tercinta Dava Prandana, Syifa Naila Dianti, dan Rasya yang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan penulis yang telah memberikan do’a, dukungan dan bantuannya selama penulisan skripsi ini;

14. Teman-teman Angkatan 2010 terkhusus Grup C Hartina Aziziah, Ahmad Ihami, Mifta Holis, Chairiah Ela Sari, Rizky Fauzan, Solatia, Anrinanda, Ludfi Aristio, Kusuma Ambar Wati, Hanna Anastasia, Debora Yulia, Caterine, M Fajrin, Sakafa, Deni Yanti, Deffit Ivani, Irfan Fajri, Aries F, Puspita Sari dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah menjadi teman penulis dalam masa-masa menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(4)

15. Saudara-Saudara yang Luar biasa Abangda Alif Moelya, Suprianto SE, Wien Ramadansyah, Soraya Nur Hafla, Dhea dan Dwi Wira, Octavia nst yang selalu membantu dan memotivasi dalam penulisan;

16. Sahabat-sahabat terbaik Yulia Arna Saragih, Rhivita Sonia, Prayuda Pulungan, Elisha Nst, Indra Aditya, Martina, Triana, Siti, Muhammad Fajar, Satrya Ananda, Fandi, Devi, Putri F Nisa, Etha, Tomi, Rahadian, Yolanda. 17. Dan untuk semua teman-teman dan saudara-saudara yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan terdapat banyak kekurangan oleh karenanya dibutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan yang dapat digunakan bagi penegakan hukum di Indonesia dan semoga pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam proses penulisan skripsi ini mendapatkan pahala dan berkah dari Allah SWT. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Assalamu’alaikum Warahmatullahhi Wabarakatuh.

Medan, Mei 2014 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAK ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 9

A. Latar Belakang Masalah ... 9

B. Perumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Tinjauan Kepustakaan ... 17

F. Metode Penelitian ... 29

BAB II ATURAN HUKUM KECELAKAAN BERLALU LINTAS SEBAGAI TINDAK PIDANA KELALAIAN YANG MENYEBABKAN KEMATIAN PADA ORANG LAIN ... 33

A. Kepolisian RI Menurut UU No. 2 Tahun 2002 ... 35

B. Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Kematian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ... 25

C. Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas dan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas ... 29

BAB III PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ... 59

A. Memproses Laporan / Informasi ... 59

B. Mendatangi Tempat Kejadian Perkara ... 62

C. Permintaan Visum et Repertum ... 75

D. Pembuatan Berita Acara Pemeriksaan di TKP ... 80

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM POLISI DALAM MENANGGULANGI KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ... 102

A. Penal ... 102

B. Non Penal ... 107

BAB V PENUTUP ... 112

A. Kesimpulan ... 112


(6)

ABSTRAK Ramadan

Meskipun telah disosialisasikannya Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, angka kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas di Indonesia tetap tinggi. Polisi sebagai bagian dari aparat penegak hukum merupakan salah satu subsistem yang bertugas dalam bidang penyidik dan penyelidik tindak pidana seperti halnya dalam penyidikan kasus kecelakaan lalu lintas. Permasalahan yang diangkat dan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana aturan hukum kecelakaan berlalu lintas sebagai tindak pidana kelalaian yang menyebabkan kematian pada orang lain? Bagaimana peranan kepolisian dalam penyidikan kasus kecelakaan berlalu lintas yang menyebabkan kematian? Bagaimana upaya polisi dalam menanggulangi kasus kecelakaan berlalu lintas yang menyebabkan kematian? Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui peranan kepolisian dalam penyidikan kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian (studi kasus di Polresta Pematang Siantar).

Metode dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif-normatif yang bersifat kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah konseptual. Materi penelitian diambil dari data primer dan data sekunder, kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan penelitian.

Peran kepolisian dalam melakukan penyidikan kasus kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian korban yaitu dengan memproses laporan/informasi, mendatangi tempat kejadian perkara, melakukan permintaan visum et repertum, membuat berita acara pemeriksaan di TKP dengan melakukan pemanggilan, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penyitaan barang bukti, pemberkasan perkara. Upaya yang dilakukan polisi untuk menanggulangi kecelakaan lalu lintas yaitu dengan cara penal dan non penal.

Pihak kepolisian segera mendatangi lokasi tempat kejadian kecelakaan lalu lintas sehingga segera mendapatkan barang bukti dan saksi-saksi yang akan mempermudah dalam proses penyusunan berkas perkara.