BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Hasil Penelitian
Bab ini menguraikan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial pada anggota keluarga yang mengalami isolasi sosial di RSJ Pemprovsu
Medan. Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 1 Juni 2013. Penelitian ini dilakukan melalui pengumpulan data dan menggunakan kuesioner terhadap 56
responden yaitu keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami isolasi sosial yang dirawat jalan di Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan. Penyajian data
meliputi karakteristik responden, faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi
sosial di RSJ Pemprovsu Medan.
1.1 Data Demografi
Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga isolasi sosial yang dirawat jalan di RSJ pemprovsu Medan.
Responden dalam penelitian ini berjumlah 56 orang keluarga yang mewakili. Berdasarkan data demografi berjumlah 56 orang terdapat mayoritas responden
berjenis kelamin perempuan berjumlah 40 orang 71,4, berusia 44-54 tahun berjumlah 19 orang 33,9, hubungan dengan klien yaitu orangtua klien
berjumlah 29 orang 58, pendidikan tamat SMA berjumlah 20 orang 35,7, pekerjaan dari responden yaitu sebagai ibu rumah tangga berjumlah 23 orang
41, lama perawatan 1-2 tahun berjumlah 19 orang 33,9, selanjutnya penghasilan responden yang berjumlah Rp500.0000-1.000.000 berjumlah 34
orang 60,7.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan karakteristik responden yang mengalami isolasi sosial n=56
Karakteristik F
Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Usia
22-32tahun 33-43tahun
44-54tahun 55-65tahun
66-76tahun
Hubungan dengan Klien
Suami Istri
Orang tua Saudara
Cucu
Pendidikan
SD SMP
SMA Perguruan Tinggi
Pekerjaan Wiraswasta
Petani Ibu Rumah tangga
PNS PRT
Lama Perawatan
0-1tahun 1-2tahun
2-3tahun 3-4tahun
4-5tahun 5-6tahun
Penghasilan
Rp 500.000 500000-1000000
1000000-1500000 1500000-2000000
3500000-4000000 16
40 8
12 19
15 2
2 1
29 15
9 15
11 20
10 11
13 23
7 2
11 19
9 8
7 2
6 34
3 8
5 28,5
71,4 14,2
21,4 33,9
26,8 3,6
3,5 1,7
51,7 26,7
16 26,7
19,6 35,7
17,8 19,6
23,2 41
12,5 3,5
19,6 33,9
16 14,2
12,5 3,5
10,7 60,7
5,3 14,2
8,9
Universitas Sumatera Utara
1.2 Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial
Faktor-faktor yang mempengaruhi klien isolasi sosial yaitu : faktor komunikasi keluarga, koping keluarga, pengetahuan keluarga, biaya pengobatan
dan perawatan yang dirawat jalan di RSJ Pemprovsu Medan. Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentase faktor-faktor yang mempengaruhi
klien isolasi sosial. Variabel
Frekuensi Persentase
Faktor Komunikasi Kurang baik
Baik Faktor koping keluarga
Kurang baik Baik
Faktor pengetahuan keluarga Kurang baik
Baik Faktor biaya pengobatan dan
perawatan Kurang baik
Baik 27
29 15
41 19
37 32
24 48,3
51,7 26,8
73,2 34
66 57,1
48,3
Hasil penelitian yang dilihat dari tabel 5 diatas menunjukkan bahwa mayoritas keluarga memiliki faktor komunikasi baik sebanyak 51,7. Berikutnya faktor
koping keluarga baik 73,2, faktor pengetahuan keluarga yang baik 66, faktor biaya pengobatan dan perawatan kurang baik 32 orang 57,1.
Universitas Sumatera Utara
2. Pembahasan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Klien Isolasi Sosial 2.1 Komunikasi Keluarga Terhadap Klien Isolasi Sosial
Komunikasi keluarga terhadap klien isolasi sosial yang dirawat jalan di Pemprovsu Medan diperoleh bahwa sebagian besar responden faktor
komunikasinya baik sebanyak 29 orang 51,7 sedangkan yang kurang baik sebanyak 27 orang 48,2.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh mayoritas 51,7 responden memiliki komunikasi yang baik kepada klien isolasi sosial artinya pesan yang
dikirim jelas tersampaikan kepada klien isolasi sosial. Ketika anggota keluarga berkomunikasi selaras dengan konsistensi isi pesan dan intruksi pesan yang
disampaikan kepada klien isolasi sosial. Kata yang diucapkan, perasaan yang diekspresikan, dan perilaku terhadap klien memungkinkan anggota keluarga untuk
mengenal kebutuhan emosi klien isolasi sosial. Dengan penerapan pola komunikasi fungsional dalam keluarga dapat menerima perbedaan, menghargai
keterbukaan, saling menghormati perasaan, pikiran, peduli terhadap masalah yang dihadapi klien isolasi sosial, namun pada keluarga yang paling sehat pun sering
kali masih mengalami permasalahan dalam komunikasi Friedman dkk, 2010. Namun, dari hasil penelitian ini dengan hasil 64,2 keluarga jarang
meluangkan waktu untuk berbagi dan bercerita bersama klien isolasi sosial. Hal ini sejalan dengan teori yang dinyatakan oleh Dalami 2009 bahwa faktor
komunikasi dalam keluarga dapat mengantar seseorang dalam gangguan berhubungan dengan orang lain, bila keluarga hanya menginformasikan hal-hal
yang negatif akan mendorong klien isolasi sosial mengembangkan harga diri
Universitas Sumatera Utara
rendah, komunikasi kurang terbuka terutama dalam pemecahan masalah klien isolasi sosial yang tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah, dan
adanya dua pesan yang bertentangan disampaikan pada saat yang bersamaan, mengakibatkan klien enggan berkomunikasi dengan orang lain sehingga klien
mengalami isolasi sosial. Hal ini didukung juga oleh penelitian Rusmiati dkk 2010 tentang Hubungan
Pola Komunikasi dengan Frekuensi Kekambuhan Klien Perilaku Kekerasan mengatakan pada masa perawatan klien di rumah komunikasi antara anggota
keluarga dengan klien tidak terjalin dengan baik karena keluarga membiarkan klien untuk diam tanpa diketahui penyebab klien diam. Keluarga diharapkan
menerapkan komunikasi yang fungsional dapat meningkatkan komunikasi yang efektif sehingga isi pesan dapat dimengerti oleh klien isolasi sosial sedangkan
keluarga dengan komunikasi yang disfungsional diharapkan mampu mengajak klien berkomunikasi secara terbuka dan jelas sehingga meminimalkan
kekambuhan. Didukung juga oleh penelitian Chandra 2004 tentang Schizophrenia
Anonymous, A Better Future bahwa keluarga harus bersikap menerima, tetap berkomunikasi dan tidak mengasingkan klien isolasi sosial. Tindakan kasar,
berantakan atau mengucilkan justru akan membuat penderita semakin depresi bahkan menarik diri. Akan tetapi, terlalu memanjakan juga tidak baik.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Koping Keluarga Terhadap Klien Isolasi Sosial
Koping keluarga terhadap klien isolasi sosial yang dirawat jalan di Pemprovsu Medan diperoleh bahwa sebagian besar responden faktor koping
keluarga baik sebanyak 41 orang 73,2, yang kurang baik 15 orang yaitu 26,7.
Ini menunjukkan bahwa seluruh keluarga yang anggota keluarganya rawat jalan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara Medan sudah
memiliki koping keluarga yang baik. Hal ini terlihat hasil penelitian dari sebanyak responden 76,7 keluarga mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan yang
dimiliki klien, 69,6 keluarga memecahkan masalah bersama dengan melakukan diskusi penyelesaian masalah secara bersama-sama.
. Hal ini juga didukung oleh teori Rasmun 2004, dengan menggunakan koping yang efektif keluarga dapat beradaptasi terhadap perubahan yang dialami
oleh klien isolasi sosial dan bisa memperbaikan situasi yang lama dan beradaptasi terhadap perubahan yang baru.
Terlihat dari hasil penelitian mayoritas responden berusia 44-54 tahun 33,9. Responden termasuk kedalam golongan dewasa
madya yang cukup matang dalam pemberian perawatan dirumah dan dapat beradaptasi terhadap perubahan masalah yang dialami klien Potter, 2005
Hasil penelitian ini juga menunjukkan 92,8 keluarga mendorong dukungan spiritual kepada klien agar masalah yang dihadapi klien cepat selesai.
Menurut Chesler dan Barbarin 1987 dalam Friedman 2010, meskipun banyak orang yang memikirkan upaya mencari dan mengandalkan dukungan spiritual
sebagai suatu respon koping individual, beberapa studi mengatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
anggota keluarga menemukan dukungan spiritual ini sebagai suatu cara mengatasi masalah di dalam keluarga terutama dalam masalah yang dihadapi klien isolasi
sosial. Sesungguhnya kepercayaan kepada Tuhan dan berdoa diidentifikasi oleh anggota keluarga sebagai cara keluarga untuk mengatasi masalah klien isolasi
sosial. Dukungan spiritual membantu keluarga mentoleransi ketegangan- ketegangan kronis dan lama serta membantu keutuhan keluarga.
Menurut teori yang dinyatakan Ahyar 2010, ada beberapa faktor yang memengaruhi strategi koping, diantaranya adalah dukungan sosial. Dukungan
sosial meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada klien isolasi sosial yang diberikan oleh anggota keluarga lain ataupun masyarakat
di sekitarnya. Data tersebut didukung juga dengan hasil penelitian ini dengan mayoritas hubungan responden dengan klien adalah orangtua 51,7. Peran
sebagai orang tua yaitu bertanggung jawab membesarkan klien, mengendalikan konflik klien isolasi sosial dalam masyarakat dan memberikan perawatan yang
berkelanjutan pada klien isolasi sosial sehingga ketika klien mengalami isolasi sosial maka banyak peran yang dilakukan oleh orang tua dalam perawatan klien
Wong,2008. Menurut penelitian Chandra 2006 tentang Cara Pencegahan dan Pengobatan
Gangguan Jiwa menegaskan bahwa lingkungan sekitar terutama dalam keluarga itu sendiri mempunyai reaksi tertentu terhadap klien isolasi sosial yang sudah
pasti berdampak terhadap klien isolasi sosial. Beberapa reaksi dari lingkungan keluarga yang paling sering ditemukan adalah mengasingkan, mengucilkan,
menjauhkan, dan tidak memberi peluang kesempatan untuk bekerja, tidak
Universitas Sumatera Utara
mengakui sebagai anggota keluarganya, dan tidak komunikatif terhadap klien isolasi sosial. Dampak dari sikapperlakuan keluarga terhadap klien isolasi sosial
tersebut menyebabkan klien isolasi sosial sering mengalami kekambuhan dan menjadi sulit untuk sembuh.
2.3 Pengetahuan Keluarga Terhadap Klien Isolasi Sosial
Pengetahuan keluarga terhadap klien isolasi sosial yang dirawat jalan di Pemprovsu Medan diperoleh bahwa sebagian besar responden faktor pengetahuan
keluarga yang baik sebanyak 37 orang 66, yang kurang baik 19 orang 33,9.
Ini menunjukkan bahwa seluruh keluarga yang anggota keluarganya rawat jalan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Propinsi Sumatera Utara Medan sudah
memiliki pengetahuan yang baik. Hasil penelitian sebanyak 60,7 responden mengatakan bahwa keluarga memiliki pengetahuan untuk mempertahankan
kesehatan mental klien terlihat dari 64,3 keluarga berusaha tahu tentang obat yang diberikan kepada klien isolasi sosial. Data ini didukung oleh penelitian
Destiny 2012 tentang Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien Skizofrenia dengan hasil penelitian pengetahuan
keluarga tentang pengobatan pasien dikatakan baik. Pengetahuan berikatan erat dengan pendidikan seseorang. Pendidikan memberikan kemampuan kepada
seseorang untuk berpikir rasional dalam menghadapi masalah hidup dan akan berdampak timbulnya suatu proses pengembangan atau pematangan pandangan
hidup pribadi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tingginya
Universitas Sumatera Utara
tingkat pengetahuan seseorang Notoadmodjo 2003. Terlihat dari hasil penelitian mayoritas responden 35,7 berpendidikan tamat SMA dimana pengetahuan dan
pemahaman responden tentang pengobatan klien isolasi sosial kemungkinan lebih baik dibandingkan yang berpendidikan rendah.
Berdasarkan penelitian dari badan National Mental Health Association NMHA 2001, diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun
kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh kembali.
Namun faktanya, NMHA mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya
Foster, 2001. Data didukung dengan penelitian Simanjuntak dan Daulay 2006 tentang
Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Tingkat Kecemasan dalam Menghadapi Anggota Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa dengan hasil penelitian
59,4 pengetahuan yang baik. Setelah dibandingkan antara kondisi anggota keluarga yang berpengetahuan baik dan yang kurang memiliki pengetahuan
baiktidak peduli diketahui bagaimana perawatan terhadap anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa, di mana kondisi keluarga yang berpengetahuan
baik lebih terjaga dibandingkan pada keluarga yang tidak memiliki pengetahuan yang baik. Sehingga sangat diperlukan bagi keluarga untuk memiliki pengetahuan
yang baik dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Didukung juga dalam penelitian Islamie 2011 tentang Pengaruh
Pengetahuan dan Mekanisme Koping terhadap Sikap Keluarga untuk Menerima
Universitas Sumatera Utara
Pasien Gangguan Jiwa Skizofrenia yang Telah Tenang bahwa keluarga berperan dalam mencegah kekambuhan klien isolasi sosial. Jika keluarga mengetahui
tentang penyakit yang diderita anggota keluarganya maka akan mempengaruhi proses penerimaan untuk melakukan perawatan kepada klien. Tingkat
pengetahuan juga dipengaruhi motivasi, rasa optimis keluarga untuk mencari pengobatan yang terbaik bagi klien isolasi sosial. Keluarga juga mendengar
anjuran dan saran dokter untuk melakukan pengobatan terhadap keluarga yang menderita isolasi sosial tersebut. Hal ini terlihat 64,3 keluarga berusaha tahu
tentang obat yang diberikan pada klien agar klien dapat berperilaku normal.
2.4 Faktor Biaya Pengobatan dan Perawatan Terhadap Klien Isolasi Sosial
Biaya pengobatan dan perawatan terhadap klien isolasi sosial yang dirawat jalan di Pemprovsu Medan diperoleh bahwa sebagian besar responden faktor
biaya pengobatan dan perawatan kurang baik 32 orang 57,1, yang baik sebanyak 24 orang 42,8.
Hal ini terlihat dari hasil penelitian diperoleh sebanyak 67,8 keluarga merasa terbebani dengan biaya pengobatan dan perawatan klien di rumah sakit
yang terlalu tinggi sehingga keluarga merawat klien di rumah untuk meminimkan biaya pengobatan yang terlalu tinggi 60,7. Terlihat dari penghasilan keluarga
yang rendah per bulannya Rp. 500.000-Rp. 1.000.000 dan mayoritas pekerjaan respnden adalah ibu rumah tangga, namun rata-rata responden memperoleh
bantuan dari pemerintah yang disebut dengan JAMKESMAS, sehingga biaya pengobatan dan perawatan klien sedikit terbantu. Terlihat dari hasil penelitian
Universitas Sumatera Utara
53,5 keluarga tidak pernah merasa kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan perawatan klien.
Tingkat ekonomi yang baik memungkinkan anggota keluarga untuk memperoleh kebutuhan yang lebih misalnya di bidang pendidikan, kesehatan,
pengembangan karir dan sebagainya. Demikian juga sebaliknya jika ekonomi lemah maka menjadi hambatan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Keadaan sosial ekonomi kemiskinan, orang tua yang bekerja atau penghasilan rendah yang memegang peranan penting dalam meningkatkan status kesehatan
keluarga. Jenis pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan tingkat penghasilan dan lingkungan kerja, dimana bila penghasilan tinggi maka pemanfaatan pelayanan
kesehatan dan pencegahan penyakit juga meningkat, dibandingkan dengan penghasilan rendah akan berdampak pada kurangnya pemanfaatan pelayanan
kesehatan dalam hal pemeliharaan kesehatan karena daya beli obat maupun biaya transportasi dalam mengunjungi pusat pelayanan kesehatan Notoatmodjo, 2003.
Hal ini didukung oleh penelitian Chandra 2004 tentang skizophrenia Anonymous, A Better Future, faktor ini juga adalah faktor yang paling penting
dikaji keluarga karena pada umumnya kemampuan finansial keluarga klien isolasi sosial tidak memungkinkan untuk membiayai penyembuhan penyakit yang
cenderung berjalan kronis sehingga kejadian seperti ini memicu tindakan dan sikap keluarga terhadap penolakan klien isolasi sosial.
Vijay 2005 meneliti tentang Cara Pencegahan dan Pencegahan Gangguan Jiwa juga mengatakan bahwa perawatan yang dibutuhkan penderita isolasi sosial
menimbulkan dampak yang besar bagi keluarga, yaitu dampak ekonomi yang
Universitas Sumatera Utara
ditimbulkan berupa hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat serta tingginya biaya perawatan yang
ditanggung keluarga. Keluarga merasa bahwa biaya perawatan di rumah lebih murah dibandingkan jika penderita harus dirawat di rumah sakit, sebab tingginya
biaya pengobatan selama di rumah sakit dapat menjadi beban bagi keluarga sehingga hal ini dapat menyulitkan bagi keluarga.
3. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini yaitu adanya kemungkinan data dari hasil penelitian ini tidak menggambarkan jawaban yang sebenarnya dari pendapat
responden, karena bisa terdapat kemungkinan tidak semua responden menjawab jujur sesuai apa yang dirasakan dengan pernyataan-pernyataan yang ada pada
kuesioner. Keterbatasan lainnya yaitu, penelitian ini tidak dapat melakukan wawancara secara lebih mendalam terhadap responden, karena penelitian ini
menggunakan kuesioner tertutup yang pilihan jawabannya sudah ditentukan.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 PENUTUP