Gambaran Hasil Akhir Pengobatan Pasien TB Paru BTA Positif Yang Menggunakan Strategi DOTS Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Di RSUP H. Adam Malik Medan Pada Tahun 2004-2012

(1)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP  

Nama : Fitriyani S.

Tempat, tanggal lahir : Silaen, 6 April 1992 Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jalan Berdikari No.52 pasar 1 Padang Bulan

Riwayat pendidikan :

1. S1 Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan (2010-sekarang)

2. SMAN-2 Balige, Sumatera Utara (2007-2010)

3. SMP SW. Budhi Dharma Balige, Sumatera Utara (2004-2007) 4. SDN 173564 Silaen, Sumatera Utara (1998-2004)

Riwayat Pelatihan :

1. Seminar KTI dan Update Kedokteran Riwayat Organisasi :

1. UKM KMK (Kebaktian Mahasiswa Kristen ) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun (2010 – sekarang).

                   


(2)

DATA INDUK PENELITIAN  jenis kelamin responden

Frequency Percent 91 65.0 49 35.0 140 100.0  

Hasil pengobatan 

           

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Sembuh 72 51.4 51.4 51.4

Gagal 22 15.7 15.7 67.1

Pindah 19 13.6 13.6 80.7

Default 20 14.3 14.3 95.0

Meninggal 1 .7 .7 95.7

pengobatan lengkap 6 4.3 4.3 100.0


(3)

jenis kelamin responden * hasil pengobatan Crosstabulation

      hasil pengobatan

Total

     

sembuh gagal pindah default meninggal

pengob atan lengka p jenis kelam in respo nden

laki-laki Count 46 16 12 14 0 3 91

% within jenis kelamin responden

50.5% 17.6 %

13.2% 15.4% .0% 3.3% 100.0%

% within hasil pengobatan

63.9% 72.7 %

63.2% 70.0% .0% 50.0% 65.0%

% of Total 32.9% 11.4 %

8.6% 10.0% .0% 2.1% 65.0%

Perempu an

Count 26 6 7 6 1 3 49

% within jenis kelamin responden

53.1% 12.2 %

14.3% 12.2% 2.0% 6.1% 100.0%

% within hasil pengobatan

36.1% 27.3 %

36.8% 30.0% 100.0% 50.0% 35.0%

% of Total 18.6% 4.3% 5.0% 4.3% .7% 2.1% 35.0%

Total Count 72 22 19 20 1 6 140

% within jenis kelamin responden

51.4% 15.7 %

13.6% 14.3% .7% 4.3% 100.0%

% within hasil pengobatan

100.0% 100.0 %


(4)

% of Total 51.4% 15.7 %


(5)

     

Total sembuh Gagal pindah default gal lengkap

umur baru

15-35 Count 43 10 14 13 0 1 81

% within umur baru 53.1% 12.3% 17.3% 16.0% .0% 1.2% 100.0%

% within hasil pengobatan

59.7% 45.5% 73.7% 65.0% .0% 16.7% 57.9%

% of Total 30.7% 7.1% 10.0% 9.3% .0% .7% 57.9%

36-56 Count 23 11 2 7 1 2 46

% within umur baru 50.0% 23.9% 4.3% 15.2% 2.2% 4.3% 100.0%

% within hasil pengobatan

31.9% 50.0% 10.5% 35.0% 100.0% 33.3% 32.9%

% of Total 16.4% 7.9% 1.4% 5.0% .7% 1.4% 32.9%

57-77 Count 6 1 3 0 0 3 13

% within umur baru 46.2% 7.7% 23.1% .0% .0% 23.1% 100.0%

% within hasil pengobatan

8.3% 4.5% 15.8% .0% .0% 50.0% 9.3%

% of Total 4.3% .7% 2.1% .0% .0% 2.1% 9.3%

Total Count 72 22 19 20 1 6 140

% within umur baru 51.4% 15.7% 13.6% 14.3% .7% 4.3% 100.0%

% within hasil pengobatan

100.0% 100.0 %

100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Addis, Z., Birhan, W., Alemu, A., Mulu, A., Ayal, G., Negash, A. 2013.Treatment Outcome of Tuberculosis Patients in Azezo Health Center, North West Ethiopia. International Journal of Biomedical And Advance Research. 4:169.

Alatas, H., Karyomanggolo, W.T., Musa, D.A., Boediarso, A., Oesman, I.N., Idris N.S. Desain Penelitian. Dalam : Sastroasmoro S. dan Ismael S..

Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Ed.4. Jakarta : Sagung Seto, 112-113.

Alsagaf, H., Mukty, A. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.Ed.7. Surabaya : Airlangga University Press, 73-109.

Amin, Z., Bahar, A. 2009. Tuberkulosis Paru. Dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam, Ed.2. Jakarta: Internapublishing, 2230-2239.

Caetona, M.P., Carvalho, A., Valente, I., Braga, R., Duarte, R. 2012. Predictors of Delayed Sputum Smear and Culture Conversion Among a Portuguese Population with Pulmonary Tuberculosis. Journal Revista Portuguesa de

Pneumologia. [online]18:72-79. Available From

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22277838 [Accessed 7 Mei 2013]. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Data TB 2010. Subdit TB

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Firdous, U., Rahardjo, E., Roselinda. 2006. Faktor-faktor Penderita TB paru Putus Berobat. Media litbang XVI : 4 : 20.

Fortun J, Marti´n-D.P., Molina, A., Navas E., Hermida, J., Cobo J, Go´mez-M.E., Moreno S.2007. Sputum Conversion Among Patients with Pulmonary Tuberculosis: Are There Implications for Removal of Respiratory Isolation?. Journal of Antimicrobial Chemotherapy . 59 : 794 – 798.


(7)

Gebretsadik, Berhe, Fikre, E., Abraham, A. 2011. Treatment Outcome of Smear-Positive Pulmonary Tuberculosis Patients in Tigray Region, Northern Ethiopia. 21.

Hertiyana, R., Rohani, Aandirini, F. 2012. Karakteristik Pasien Tuberkulosis Paru Kasus Baru dengan BTA Positif Di RSUD Arifin Achmad Periode Januari 2009 Sampai Desember 2012: Bagian Ilmu Paru Kedokteran Universitas Riau: 4-5.

International Tuberculosis Lung Disease Research Institute. 2001. TB Manual

National Tuberculosis Programme Guidelines. Warsaw.

Jawetz, Melnick, Adelsberg’s. 2005. Mikrobiologi Kedokteran,Ed 1. Mudihardi E., Kuntaman, dan Warto E.B. Jakarta: Salemba Medika, 453-464.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Ringkasan Eksekutif Data dan

Informasi Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Pusat Data Dan Informasi

Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.2009. Pedoman Penanggulangan

Tuberkulosis. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Kenyorini, Suradi, Eddy, S. 2006. Uji Tuberkulin. JTI. 3(2): 7-15.

Kurbatova, E.V., Gammino, V.M., Bayona, J.,Becerra, M.C., Danilovitz, M., Falzon, D., Gelmanova, I., Keshavjee, S., Mitnick, C.D., Quelapio, M.I., Riekstina, V., Taylor, A., Viiklepp, P., Zignol, M.,Cegielski, J.P. 2012. Predictors of sputum culture conversion among patients treated for multidrug-resistant tuberculosis : Int J Tuberc Lung Dis.16(10) :1335–1343.

MacDonald, R.,J.,Reichman, L.B.2003. Tuberculosis. In: Capro J.D., Karlinsky J., Glasroth J., dan E.Talmadge. Baum’s Textbook of Pulmonary Disease.Ed.7. Lipincott Williams & Wilkins Publishers, 364-367.


(8)

Munir, S.M., Nawas, A., Soetoyo,Dianiati, K. 2010. Pengamatan Pasien Tuberkulosis Paru dengan Multidrug Resistant (TB-MDR) di Poliklinik Paru RSUP Persahabatan : J Respir Indo. 30(2) : 92-104.

Pajankar, S., Khandekar, R.,Amri, M.A.,Lawati, M.R. 2008. Factors Influencing Sputum Smear Conversion at One and Two Months of Tuberculosis Treatment. Oman Medical Journal. [Online] Volume 23( 4): 263-268. Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3273921/

[Accessed 7 Mei 2013].

PDPI. 2011. Tuberkulosis. Ed.2. Jakarta : PDPI, 3-66.

Pengobatan TBC. 2012. [Online Image]. Available from

http://medicastore.com/tbc/pengobatan_tbc.htm [Accessed 4 Mei 2013]. Raviglione, M.C., O’brien T.J. 2008. Mycobacterial Disease. In: Fauci, A.S.,

Kasper, L., Braunwald, E., and Hausen, S.L. (eds) . Harrison’s Principal Of

Internal Medicine, Ed.17. Newyork: Mc Graw Hill Medical, 1006-1020.

Sjahrurachman, Agus. 2010. Diagnosis Multi Drug Resistant Mycobacterium

tuberculosis. Jurnal Tuberculosis Indonesia. Vol 7 : 13-15.

Su, W-J., Feng, J-Y., Chiu, Y-C., Huang, S-F., Lee, Y-C.2011. Role of 2-Month Sputum Smears in Predicting Culture Conversion in Pulmonary Tuberculosis: Eur Respir J. 37: 376–38.

Tabrani, Irma. 2008. Konversi Sputum BTA pada Fase Intensif TB Paru Kategori I antara Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dan Obat Anti Tuberculosis (OAT) Generic di RSUP. H.Adam Malik Medan. Tesis, Universitas Sumatera Utara.

Tatalaksana pasien TB. 2012. [Online Image]. Available from

http://medicallinkgo.wordpress.com/2012/04/12/tatalaksana-pasien-tb/


(9)

Triyani,Y., Parwati, I.,Sjahid, I., Gunawan, J.E. 2007. Peralihan (Konversi) Sputum BTA Antara Pemberian Dosis Baku (Standar) dan Tinggi Rifampicin pada Pengobatan (Terapi) Anti Tuberkulosis Kelompok (Kategori) I. Indonesian

Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. Vol. 14(1): 1-10.

World Heath Organization. 2009. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for

National Programmes,[Online]. Available from

http://www.who.int/tb/publications/tb_treatmentguidelines/en/ [Accessed 5 Mei 2013].


(10)

BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Konsep

Dilihat dari tujuan penelitian, maka kerangka konsep penelitian ini adalah :

Skema 3.1. Kerangka Konsep

3. 2. Variabel dan Defenisi Operasional 1. BTA Positif

a. Defenisi Operasional : BTA positif adalah jika bila minimal satu kali dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan sputum pada pagi hari menunjukkan hasil positif atau dikatakan positif bila dua atau lebih pemeriksaan sputum positif, atau satu kali sputum positif didukung hasil pemeriksaan foto toraks sesuai Pasien TB paru BTA positif

yang tidak mengalami konversi sputum setelah 2 bulan pengobatan

Hasil pengobatan pasien TB paru BTA positif yang tidak mengalami konversi sputum setelah 2 bulan pengobatan 

Sembuh


(11)

dengan gambaran TB oleh klinikus, atau satu kali pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil kultur M.tuberculosis.

b. Cara Ukur : Dilihat dari rekam medis c. Alat Ukur : Rekam medis

d. Hasil Ukur : Pada pemeriksaan mikrokopik ditemukan kuman BTA, radiologi gambaran TB paru aktif dan kultur ditemukan M.tuberculosis.

e. Skala Pengukuran : nominal 2. Tidak mengalami konversi sputum

a. Defenisi operasional : jika pada pemeriksaan sputum setelah 2 bulan pengobatan tetap positif

b. Cara ukur : Dilihat dari hasil konversi pada rekam medis

c. Alat ukur : rekam medis

d. Hasil ukur : Konversi sputum tetap positif e. Skala pengukuran: nominal

3. Hasil pengobatan TB paru

a. Defenisi operasional : Hasil pengobatan adalah hasil yang didapatkan dari pengobatan TB paru dari konversi sputum b. Cara ukur : Dilihat dari rekam medis

c. Alat ukur : Rekam medis

d. Hasil ukur : Sembuh setelah 7 bulan dan Tidak sembuh atau gagal


(12)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain studi Cross

Sectional. Penelitian ini dilakukan dengan satu kali pengukuran atau pengambilan

data (Ghazali et al, 2011). Dan selanjutnya dilihat gambaran hasil pengobatan TB Paru BTA positif yang menggunakan strategi DOTS setelah 2 bulan pengobatan tidak mengalami konversi pada pemeriksaan sputum.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah di RSUP H. Adam Malik. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai pada Juli-November 2013.

4. 3. Populasi dan Sampel Penelitian 4. 3. 1. Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah semua TB paru BTA positif di RSUP H. Adam Malik pada tahun 2004- 2012.

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian diambil dengan menggunakan metode total sampling. Sampel yang akan diteliti adalah sampel yang memenuhi kriteria penelitian. Adapun kriteria penelitian adalah :

a. Kriteria Inklusi

1. Pasien TB paru BTA positif

2. Mengikuti pengobatan dengan lengkap

3. Pasien TB paru BTA positif yang tidak mengalami konversi sputum setelah 2 bulan pengobatan


(13)

b. Kriteria Eksklusi

1. Pasien TB paru BTA positif yang setelah 2 bulan menjalani pengobatan sudah menjadi negatif pada pemeriksaan sputum 2. Pasien TB yang mengalami efek samping sehingga OAT

diberhentikan sebagian atau semuanya.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang telah tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen. Bentuk data sekunder yang digunakan adalah rekam medis dari RSUP H. Adam Malik. Dari rekam medis didapatkan data tentang jenis kelamin, usia dan persentasi pasien yang sembuh setelah pengobatan dan pasien yang tidak sembuh.

4.5. Metode Analisis Data

Pada penelitian ini, data yang didapat diolah dan dianalisis menggunakan program editing pada komputer.


(14)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini diadakan di sub bagian rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Rumah Sakit ini beralamat di Jalan Bunga Lau No. 17 Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya Medan Provinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990. Berdasarkan SK Menkes No. 502/Menkes /SK/IX/1991, RSUP H. Adam Malik Medan juga sebagai pusat rujukan wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau.

5.1.2. Deskripsi Data Penelitian

Proses pengambilan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan data sekunder yaitu rekam medis. Dengan cara mengumpulkan data berupa nama, usia, jenis kelamin, hasil konversi bulan kedua, dan hasil pengobatan. Data tersebut dianalisis untuk akhirnya dapat disimpulkan melalui paparan di bawah ini.

Penelitian ini dilakukan dengan melihat data TB elektronik untuk tahun 2004-20012. Data tahun 2009-2012 dapat dilihat juga dalam rekam medis. Dari data tersebut didapatkan sebanyak 3353 pasien TB paru yang datang berobat ke Poliklinik Paru. Dari 3353 pasien hanya 140 pasien yang setelah dua bulan pengobatan tidak mengalami konversi sputum. Jadi, yang dapat dianalisis hanya 140 pasien.


(15)

5.1.2.1. Distribusi Jumlah Penderita TB Paru

Distribusi jumlah penderita TB Paru dari tahun 2004-2012 dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.1. Distribusi Jumlah Pasien TB Paru Tah un Total pasien TB paru Total pasien BTA positif

Total pasien TB

paru yang mengalami

konversi sputum

Total pasien yang setelah 2 bulan pengobatan tidak mengalami konversi sputum Angka konversi (%)

2004 206 176 168 8 95.4%

2005 290 260 223 35 85.7%

2006 248 235 221 14 94%

2007 351 215 194 21 90.2%

2008 394 375 373 2 99.4%

2009 365 337 327 10 97%

2010 252 220 200 22 90.9%

2011 696 497 492 7 98.9%

2012 551 362 341 21 94.1%

Tota l

3353 2675 2539 140

Dari tabel di atas didapatkan bahwa dari 3353 pasien TB paru, terdapat 2675 pasien yang hasil sputum positif. Terdapat 2539 pasien yang setelah 2 bulan pengobatan mengalami konversi sputum dari 2675 pasien BTA positif. Dengan begitu angka konversi sputum untuk 9 tahun adalah 2539/2675 (94.9%). Dari 2675 pasien BTA positif terdapat 140 pasien yang tidak mengalami konversi sputum. Angka konversi sputum tertinggi terdapat pada tahun 2008 yaitu 99.4%. Angka konversi terendah yaitu tahun 2005 sebesar 85.7%.


(16)

Skema 5.1. Grafik Angka Konversi TB paru BTA Positif Tahun 2004-2012

Grafik di atas menunjukkan angka konversi TB paru BTA positif dari tahun 2004-2012. Dari grafik di atas terlihat bahwa terjadi peningkatan dan penurunan angka konversi sputum tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dan penurunan keberhasilan pengobatan TB paru BTA positif.

5.1.2.2. Distribusi Penderita TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi penderita TB Paru berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut.

75.0% 80.0% 85.0% 90.0% 95.0% 100.0% 105.0%

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Angka Konversi Sputum

Tahun


(17)

Tabel 5.2. Distribusi Penderita TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin N (orang) %

Laki-laki 91 65

Perempuan 49 35

Total 140 100

Dari tabel 5.2., menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin, terdapat 91 orang (65%) laki-laki yang menderita TB paru BTA positif dan tidak mengalami konversi sputum setelah dua bulan pengobatan. Sementara, perempuan sebanyak 49 orang (35%).

5.1.2.3. Distribusi Penderita TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan kelompok Usia

Distribusi penderita TB Paru berdasarkan kelompok usia dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.3. Distribusi Penderita TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan Kelompok Usia

Dari tabel di atas didapatkan bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita TB paru BTA positif dan tidak mengalami konversi sputum setelah dua bulan pengobatan adalah kelempok usia 15-35 tahun sebanyak 81 orang (57.9%). Diikuti Kelompok usia 36-56 tahun sebanyak 46 orang (32.9%), dan kelompok usia 57-77 tahun sebanyak 13 orang (9.3%).

Kelompok usia N (orang) %

15-35 81 57.9

36-56 46 32.9

57-77 13 9.3


(18)

5.1.2.4. Distribusi Penderita TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan Hasil Pengobatan

Tabel 5.4. Distribusi Penderita TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan Hasil Pengobatan

Hasil pengobatan N %

Sembuh 72 51.4

Gagal 12 15.7

Pindah 19 13.6

Putus berobat 20 14.3

Meninggal 1 0.7

Pengobatan lengkap 6 4.3

Total 140 100

Tabel di atas menunjukkan dari 140 orang ada 72 orang (51.4%) yang sembuh, 12 orang (15.7%) gagal, 19 orang ( 13.6%) pindah, 20 orang ( 14.3%) putus berobat, 1 orang (0.7%) meninggal, dan 6 orang (4.3%) pengobatan lengkap.

5.1.2.5. Distribusi Hasil Akhir Pengobatan Pasien TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan Jenis Kelamin


(19)

Tabel 5.5. Distribusi Hasil Akhir Pengobatan Pasien TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan Jenis Kelamin

Hasil Akhir Pengobatan

Laki-laki Perempuan

N % N %

Sembuh 46 50.5 26 53.1

Gagal 16 17.6 6 12.2

Pindah 12 13.2 7 14.3

Putus berobat 14 15.4 6 12.2

Meninggal 0 0 1 2

Pengobatan lengkap 3 3.3 3 6.1

Total 91 100 49 100

Dari tabel di atas didapatkan ada 91 orang pasien laki-laki dan 49 orang perempuan. Dari 91 orang laki-laki, 46 orang (50.5%) sembuh, 16 orang (17.6%) gagal, 12 orang (13.2%) pindah, 14 orang (15.4%) putus berobat, dan 3 orang (3.3%) pengobatan lengkap. Sementara dari 49 orang perempuan didapatkan, 26 orang (53.1%) sembuh, 6 orang (12.2%) gagal, 7 orang (14.3%) pindah, 6 orang (12.2%) putus berobat, 1 orang (2%) meninggal, dan 3 orang (6.1%) pengobatan lengkap.

5.1.2.6. Distribusi Hasil Akhir Pengobatan Pasien TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan Usia


(20)

Tabel 5.6. Distribusi Hasil Akhir Pengobatan Pasien TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan Usia

Hasil akhir pengobatan

Kelompok usia 15-35 tahun

Kelompok usia 36-56 tahun

Kelompok usia 57-77 tahun

N % N % N %

Sembuh 43 53.1 23 50 6 46.2

Gagal 10 12.3 11 23.9 1 7.7

Pindah 14 17.3 2 4.3 3 23.1

Putus berobat

13 16 7 15.2 0 0

Meninggal 0 0 1 2.2 0 0

Pengobatan lengkap

1 1.2 2 4.3 3 23.1

Total 81 100 46 100 49 100

Dari tabel di atas didapatkan 81 orang pada usia 15-35 tahun. Dari 81 orang didapatkan ada 43 orang (53.1%) sembuh, 10 orang (12.3%) gagal, 14 orang (17.3%%) pindah, 13 orang (16%) putus berobat, tidak ada yang meninggal, dan 1 orang (1.2%) pengobatan lengkap.

Terdapat 46 orang usia 35-56 tahun. Dari 46 orang didapatkan, 23 orang sembuh (50%), 11 orang (23.9%) gagal, 2 orang (4.3%) pindah, 7 orang (15.2%) putus berobat, 1 orang (2.2%) meninggal, 2 orang (4.3%) pengobatan lengkap. Terdapat 49 pasien usia 57-77 tahun, dari 49 orang, 6 orang (46.2%) sembuh, 1 orang (7.7%) gagal, 3 orang (23.1%) pindah, tidak ada pasien yang putus berobat dan meninggal, dan 3 orang (23.1%) pengobatan lengkap.


(21)

5.2. Pembahasan

Hasil pengobatan TB paru setelah dua bulan dapat dilihat dari hasil konversi sputum. Pemeriksaan sputum merupakan indikator untuk melihat respon pengobatan. Sehingga konversi sputum adalah hal yang sangat penting untuk menilai keefektifan penggunaan obat (Pajankar et al, 2008 )

Kegagalan atau keterlambatan konversi sputum lebih dari 2 bulan akan memberikan hasil pengobatan yang tidak baik. Konversi sputum BTA adalah salah satu indikator yang digunakan untuk memantau dan menilai pengobatan. Yaitu dengan menentukan angka konversi sputum. Konversi sputum BTA adalah mengubah hasil pemeriksaan hapusan sputum BTA penderita TB paru dari BTA positif menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan (terapi intensif) selama 2 bulan (Pajankar et al, 2008). Dari hasil konversi ditemukan adanya pasien-pasien yang pemeriksaan sputum BTA positif tidak mengalami konversi. Banyak kepustakaan telah mencantumkan penjelasan bahwa konversi sputum BTA diharapkan terjadi dalam dua bulan setelah pengobatan fase intensif.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa selama sembilan tahun terdapat 3353 pasien TB paru, 2675 pasien BTA positif, dan 2539 pasien mengalami konversi sputum. Sementara ada 140 orang yang tidak mengalami konversi sputum. Dengan kata lain angka konversi dari penelitian ini selama sembilan tahun adalah 2539/2675 (94.9%). Seperti penjelasan sebelumnya bahwa konversi sputum adalah salah satu indikator untuk memantau atau menilai pengobatan. Jadi menilai konversi sputum sangat penting untuk dilakukan.


(22)

5.2.1. Jenis kelamin

Dari status rekam medis didapatkan jumlah pasien laki-laki yang menderita TB paru dan tidak mengalami konversi sputum setelah 2 bulan pengobatan adalah 91 orang (65%), perempuan sebanyak 49 orang (35%). Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian Pajankar et.al. (2008) yaitu laki-laki 21 orang (54%) dan 18 orang (46%) perempuan. Hal yang sama juga didapatkan dari penelitian Tabrani (2008) dengan laki-laki 22 orang (64%) dan perempuan 12 orang (36%). Menurut penelitian Tsukamura dalam Munir et.al. (2010) juga mendapatkan hal yang sama yaitu laki-laki 12 orang (63%) dan perempuan 7 orang (37%). Dari penelitian Hertiyana et.al. (2013) hasil didapatkan jenis kelamin pasien tuberkulosis paru kasus baru dengan BTA positif lebih banyak laki-laki yaitu berjumlah 60 orang (63.8%) dibandingkan perempuan dengan jumlah 34 orang (36.2%). Namun berbeda dengan hasil penelitian Balasubramanian, lebih banyak terjadi pada perempuan dibanding laki-laki dengan perbandingan (6,5:1). Begitu juga dengan penelitian oleh Thorson dalam Hertiyana et.al. (2013) pasien tuberkulosis paru dengan BTA positif paling banyak terjadi pada perempuan dibanding laki-laki, dengan perbandingan (1,2:1).

Secara epidemiologi dibuktikan terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal penyakit infeksi, progresivitas penyakit, insidens dan kematian akibat TB. Berdasarkan WHO Tuberculosis Control in South East Asia

Region tahun 2012, pasien tuberkulosis kasus baru dengan BTA positif sering

terjadi pada perempuan (81%) dibandingkan laki-laki yang hanya 75%. Perkembangan penyakit juga mempunyai perbedaan antara laki-laki dan perempuan yaitu perempuan mempunyai penyakit lebih berat pada saat datang ke rumah sakit. Perempuan lebih sering terlambat datang ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini mungkin berhubungan dengan aib dan rasa malu lebih dirasakan pada perempuan dibanding laki-laki. Perempuan juga lebih sering mengalami kekhawatiran akan dikucilkan dari keluarga dan lingkungan akibat penyakitnya (Hertiyana et.al, 2013). Selain itu hambatan ekonomi dan faktor sosial kultural turut berperan termasuk pemahaman tentang penyakit paru.


(23)

Menurut Nagawa dalam Munir et.al, (2010) melaporkan pada perempuan ditemukan diagnosis yang terlambat sedangkan pada laki-laki cenderung pergi ke pelayanan kesehatan ketika mereka mengetahui pengobatan TB gratis sedangkan perempuan tidak.

5.2.2. Usia

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan kelompok usia didapatkan kelompok usia terbanyak yang menderita TB paru BTA positif dan tidak mengalami konversi sputum setelah dua bulan pengobatan adalah kelompok usia 15-35 tahun sebanyak 81 orang (57.9%). Kelompok usia 36-56 tahun sebanyak 46 orang (32.9%), dan kelompok usia 57-77 tahun sebanyak 13 orang (9.3%). Penelitian Pajankar et.al, (2008), kelompok usia terbanyak adalah usia 21-40 tahun, penelitian Tabrani (2008) usia terbanyak yaitu 15-49 tahun. Penelitian Hertiyana et.al, (2013) mengatakan bahwa kelompok usia terbanyak adalah usia 35-44 tahun.

Berdasarkan WHO Tuberculosis Control in South East Asia Region tahun 2012, pasien tuberkulosis kasus baru dengan BTA positif terbanyak terjadi pada usia produktif antara 15-34 tahun. Umur produktif sangat berbahaya terhadap tingkat penularan karena pasien mudah berinteraksi dengan orang lain, mobilitas yang tinggi dan memungkinkan untuk menular ke orang lain serta lingkungan sekitar tempat tinggal.

5.2.3. Hasil Akhir Pengobatan

Dari hasil penelitian ini terdapat 72 orang (51,4%) yang sembuh yaitu pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan hasil pemeriksaan ulang dahak (follow-up) negatif pada akhir pengobatan dan minimal satu pemeriksaan follow-up sebelumnya negatif. Terdapat 12 orang (15,7%) yang gagal kemungkinan karena ketidaktahuan pasien dengan penyakitnya, efek samping obat, dan ketidakpatuhan pasien. Terdapat 19 orang ( 13,6%) pindah yaitu pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan


(24)

hasil pengobatannya tidak diketahui. Terdapat 20 orang ( 14,3%) putus berobat yaitu pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai, 1 orang (0,7%) meninggal, dan 6 orang (4,3%) pengobatan lengkap. Pasien ini sudah menjalani pengobatan dengan hasil akhir pemeriksaan sputum BTA negatif Keputusan pasien dikatakan selesai pengobatan apabila pasien tersebut telah berobat tetapi tidak memenuhi syarat sembuh atau gagal.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Addis et.al. (2011) di North West Ethiopia. Dari seluruh pasien yang berobat terdapat 299 orang (62%) pengobatan lengkap , 89 orang (18.5%) sembuh, 41 orang meninggal (8.5%), 1 orang (0.21%) gagal, 44 orang (9.13%) pindah, dan 8 orang (1.7%) putus berobat. Dengan tingkat keberhasilan 80.5%.

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Gebretsadik et.al. (2011) di negara Etiopia memaparkan dari seluruh pasien terdapat 343 orang (85.5%) sembuh, 18 orang (4.4%) pengobatan lengkap, 6 orang pindah (1.47%), gagal 15 orang (3.2%), 13 orang (3.2%)putus berobat, dan 16 orang (3.9%) meninggal.

Penelitian yang dilakukan di Indonesia didapatkan bahwa terdapat 88 orang (88%) sembuh dan gagal 12 orang (12%) (dengan rincian pengobatan lengkap 9 orang, pindah 2 orang, dan 1 orang meninggal. Hasil pengobatan tersebut dipengaruhi oleh 2 faktor yang penting yaitu, pelayanan kesehatan yang memadai dan adanya volunter dalam hal ini PMO yang memperhatikan pasien. Selain itu dipengaruhi oleh penanganan TB dengan strategi DOTS yang diterapkan di berbagai negara di dunia (Firdous et al, 2005).


(25)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai “Gambaran Hasil Akhir Pengobatan TB Paru BTA Positif yang Menggunakan Strategi DOTS Setelah 2 Bulan Pengobatan Tidak Mengalami Konversi Sputum pada Tahun 2004-2012 di RSUP H. Adam Malik” serta pembahasan yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

a. Terdapat 140 orang dari pasien TB paru yang tidak mengalami konversi sputum setelah 2 bulan pengobatan dari 3353 pasien dan 2675 yang BTA positif, 2539 yang mengalami konversi sputum. Dengan demikian angka konversi TB paru tahun 2004-2012 adalah 2539/2675 (94.9%).

b. Tingkat keberhasilan pengobatan TB paru tiap tahunnya mulai tahun 2004-2012 mengalami kemajuan dan kemunduran terlihat dari hasil konversi sputum tiap tahunnya yaitu, tahun 2004 (95.4%), tahun 2005 (85.7%), tahun 2006 (94%), tahun 2007 (90.2%), tahun 2008 (99.4%), tahun 2009 (97%), tahun 2010 (90.9%), tahun 2011 (98.9%), tahun 2012 (94.1%).

c. Laki-laki lebih banyak yang hasil sputumnya tidak mengalami konversi yaitu 91 orang (65%) sementara perempuan sebanyak 49 orang (35%).

d. Usia terbanyak menderita TB paru BTA positif adalah usia 15-35 tahun sebanyak 81 orang (57.9%)

e. Pengobatan TB paru dengan strategi DOTS sudah baik terlihat dari jumlah pasien yang sembuh setelah 2 bulan tidak konversi sebanyak 72 orang (51.4%) yang sembuh, 12 orang (15.7%) gagal, 19 orang ( 13.6%) pindah, 20 orang ( 14.3%) putus


(26)

berobat, 1 orang (0.7%) meninggal, dan 6 orang (4.3%) pengobatan lengkap.

f. Dari 91 orang laki-laki, 46 orang (50.5%) sembuh, 16 orang (17.6%) gagal, 12 orang (13.2%) pindah, 14 orang (15.4%) putus berobat, dan 3 orang (3.3%) pengobatan lengkap.

g. Dari 49 orang perempuan didapatkan, 26 orang (53.1%) sembuh, 6 orang (12.2%) gagal, 7 orang (14.3%) pindah, 6 orang (12.2%) putus berobat, 1 orang (2%) meninggal, dan 3 orang (6.1%) pengobatan lengkap.

h. Hasil pengobatan yang sembuh terbanyak pada usia 15-35 tahun didapatkan ada 43 orang (53.1%) sembuh, 10 orang (12.3%) gagal, 14 orang (17.3%%) pindah, 13 orang (16%) putus berobat, tidak ada yang meninggal, dan 1 orang (1.2%) pengobatan lengkap.

i. Pada usia 35-56 tahun, 23 orang sembuh (50%), 11 orang (23.9%) gagal, 2 orang (4.3%) pindah, 7 orang (15.2%) putus berobat, 1 orang (2.2%) meninggal, 2 orang (4.3%) pengobatan lengkap.

j. Usia 57-77, 6 orang (46.2%) sembuh, 1 orang (7.7%) gagal, 3 orang (23.1%) pindah, tidak ada pasien yang putus berobat dan meninggal, dan 3 orang (23.1%) pengobatan lengkap.

6.2. Saran

a.

Rekam Medis sebagai sumber data penelitian sebaiknya lebih lengkap dalam melampirkan data-data pasien, keluhan pasien, pelaporan pemeriksaan, hasil pemeriksaan dan follow up serta pengobatan yang dilakukan sehingga memudahkan peneliti dalam pengolahan data.

b.

Penelitian tentang keberhasilan pengobatan TB Paru perlu dilakukan lagi melihat angka konversi TB Paru BTA Positif yang masih meningkat dan menurun.


(27)

c.

Sehubungan dengan masih tingginya angka kejadian TB paru, sebaiknya tindakan-tindakan dalam upaya pencegahan, diagnosis dini harus secara intensif dilakukan sehingga dapat mencegah terjadinya TB paru

d.

Masyarakat memiliki pandangan yang benar tentang TB paru untuk mengatasi TB paru.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Defenisi TB Paru

TB paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil

Mycobacterium tuberculosis (Alsagaf dan Mukty, 2010).

TB paru adalah kasus TB yang menegenai parenkim paru (PDPI,2011). TB paru merupakan penyakit akibat infeksi yang menular melalui udara yang membutuhkan kombinasi banyak obat dan membutuhkan waktu yang lama (Su et al,2011).

2. 2. Klasifikasi TB Paru

Sampai sekarang belum ada kesepakatan di antara para klinikus, ahli radiologi, mikrobiologi, dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi tuberkulosis. Namun, menurut PDPI tahun 2011, berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dapat dilasifikasikan menjadi:

1. TB Paru BTA positif adalah bila minimal satu kali dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan sputum pada pagi hari menunjukkan hasil positif pada laboratorium yang memenuhi syarat External

Quality Assurance (EQA). Atau pada negara yang belum memiliki

laboratorium syarat EQA dikatakan positif bila dua atau lebih pemeriksaan sputum positif, atau satu kali sputum positif didukung hasil pemeriksaan foto toraks sesuai dengan gambaran TB oleh klinikus, atau satu kali pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil kultur M.tuberculosis.

2. TB paru negatif adalah apabila hasil pemeriksaan sputum negatif tetapi hasil kultur positif, atau dua kali pemeriksaan sputum negatif tetapi hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB aktif.


(29)

2. 3. Faktor Resiko Terinfeksi TB Paru

a. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of

Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko

terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang di antara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.

b. Terpapar dengan sumber infeksi, orang yang terpapar langsung dengan seseorang yang sudah terinfeksi dengan TB paru akan lebih beresiko terjadinya TB paru. Pasien yang batuk lebih dari 48 kali/malam akan menginfeksi 48% dari orang yang kontak dengan pasien. Sementara pasien yang batuk kurang dari 12 kali/malam menginfeksi 28% dari kontaknya dan jumlah basil sebagai penyebab infeksi.

c. Virulensi yang tinggi dari basil tuberculosis, setelah ditemukannya gen pada Mycobacterium tuberculosis yaitu katG gene, rpoV, dan erp gene. d. Umur , pada anak-anak berumur lebih dari 4 tahun lebih sering terinfeksi

primary tuberculosis, pada wanita lebih sering terinfeksi pada umur 25-34

tahun.

e. Daya tahan tubuh yang menurun, ditentukan oleh : faktor genetika, faktor faal (umur ), faktor lingkungan ( nutrisi, perumahan, dan pekerjaan), bahan toksik (alkohol, rokok, kortikosteroid), faktor imunologis (infeksi primer, vaksinasi BCG), dan penyakit lainnya.


(30)

Tabel 2. 1 Faktor Resiko TB Paru Karena Penyakit Lainnya:

Factor Relative Risk / Odds

Recent Infection (<1 Year ) 12,9

Fibrotic Lesions (Spontaneously Inhaled)

2-20

Comorbidity

HIV Infection 100

Silicosis 30

Chronic Renal Failure 10-25

Diabetic 2-4

Intravenous Drug Use 10-30

Imunosupressive Treatment 10

Gastrectomy 2-5

Jejoineal By Pass 30-60

Post Transplantation Period (Renal, Cardiac)

20-70

Malnutrition And Severe Underweight 2

2. 4. Etiologi

TB paru adalah penyakit menular karena infeksi basil Mycobacterium

tuberculosis yang bersifat patogen pada manusia. Mycobacteria tergolong kepada

family mycobacteriaceae dan ordo actynomycetales. Ditemukan Dr. Robert Koch

sehingga sering disebut dengan Koch's disease yang dikenal dengan penyakit Tuberkulosis (TB, TBC) (McDonald dan Reichman, 2003). Bakteri ini terutama menginfeksi paru-paru (80%) yang menular melalui saluran pernafasan (Raviglione dan O’Brien, 2008)

Dalam jaringan, basil tuberkel adalah bakteri batang lurus dengan ukuran sekitar 0,4 – 3 µm. Pada media buatan, bentuk kokoid dan filamentous dan tidak berspora. Mycobacterium tuberculosis tidak dapat dikelompokkan sebagai bakteri


(31)

gram positif. Setelah diwarnai dengan dengan pencelup dasar tidak dapat didekolorisasi dengan alkohol. Basil tuberkel ini dapat ditandai dengan pencepat asam (acid fast bacilli). Hal ini tergantung pada integritas lilin pembungkus,

mycolat acid, dan dinding sel lainnya yng bersifat lipid.

Pewarnaan teknik Ziehl Neelsen digunakan untuk mengidentifikasikan bakteri cepat asam. Melalui pewarnaan ini didapatkan bakteri tuberkulosis berwarna merah dengan latar belakang biru. Mycobacterium dapat dikultur pada media Lowenstein-Jansen dengan suhu optimum 37C, bersifat obligat aerob dan tumbuh sangat lamban dengan lama inkubasi 4-8 minggu, koloni kering, kasar, dan berwarna kekuningan. Selain itu, bakteri ini lebih resisten terhadap faktor kimia daripada bakteri lain. Seperti resisten terhadap pengeringan, sebagian besar disinfektan, asam dan basa, serta sensitif terhadap panas (Jawetz et al, 2005).

2. 5. Patogenesis dan Imunitas

Penyakit TB paru merupakan penyakit menular yang penularannya terjadi melalui terinhalasinya droplet infection dari pasien yang mengalami TB paru. Penularan lebih mudah terjadi bila ada hubungan yang dekat dan lama dengan penderita TB paru aktif yaitu golongan penderita yang disebut dengan open case. Bentuk penularan lain adalah melalui debu yang beterbangan di udara yang mengandung basil tuberkulosis.

Perjalanan basil tuberkulosis dalam saluran pernapasan akan mengaktifkan sistem imun sebagai pertahanan tubuh. Dari mulai saluran pernapasan atas sampai saluran pernapasan bawah tubuh akan melakukan pertahanan melalui peran sel silia pada sel mukosa saluran pernapasan. Sementara itu, makrofag alveolar belum diaktivasi untuk memfagositosis basil tersebut. Setelah diaktifkannya makrofag, maka bakteri akan berinteraksi dengan molekul-molekul pada permukaan makrofag seperti, reseptor komplemen, reseptor manose, reseptor gamma immunoglobulin GFc, dan reseptor scavenger tipe A. Proses fagositosis akan meningkatkan aktivasi komplemen yaitu C3 dan mengaktifkan C3b sebagai opsonisasi hingga terbentuk fagosom. Kemampuan basil untuk tetap bertahan


(32)

tergantung pada kemampuan asidifikasi bakteri tersebut. Komplek kejadian tersebut dipengaruhi oleh glycolipid lipoarabinomannan ( LAM ) sehingga kalmodulin terganggu dan basil dapat bertahan. Pertahanan dari basil tersebut mengakibatkan rupturnya fagosom dan basil akan terlepas.

Selain itu, proses tersebut akan mengaktifkan sistem imun baik seluluer maupun humoral. Pada tahap ini, penderita masih belum menunjukkan gejala. Setelah 2-4 minggu akan terlihat respon penderita yaitu, respon CMI dan kerusakan jaringan yang merusak makrofag yang tidak aktif dan membentuk nekrosis kaseosa yang akan menghambat pertumbuhan mycobacterium.

Imunitas spesifik juga berperan penting untuk mempertahankan tubuh dari basil tuberkulosis yang terus bertumbuh. Melalui sistem imun spesifik, akumulasi limfosit dan akumulasi sejumlah makrofag yang teraktivasi akan terbentuk

granulomatous lessions atau tuberkel. Lesi ini, akan membentuk epiteloid dan

giant cell. Hal ini mengaktifkan berbagai produk mycobacterium untuk merusak

makrofag dan membentuk neksoris jaringan yang padat di tengah tuberkel. Namun terbentuknya tuberkel dan nekrosis akan mencegah pertumbuhan bakteri karena oksigen dan pH yang rendah. Beberapa bentuk lesi akan sembuh dengan terbentuknya fibrosis dan bentuk kalsifikasi (Raviglione dan O’Brien, 2008).

2. 6. TB Paru Primer dan Post Primer

TB paru dapat dikategorikan sebagai TB paru primer dan post primer. TB paru primer merupakan keradangan paru yang disebabkan oleh basil tuberkulosis pada tubuh penderita yang belum pernah mempunyai kekebalan terhadap basil tersebut. Pada daerah yang transmisi TB paru masih sangat tinggi, TB paru primer akan terlihat pada anak-anak (Alsagaf dan Mukty, 2010)

Pada permulaan infeksi, basil tuberkulosis masuk ke dalam tubuh yang belum memiliki kekebalan akan mengadakan perlawanan dengan cara infiltrasi sel-sel radang ke jaringan yang terinfeksi. Sehingga terjadi respon inflamasi


(33)

dengan uji tuberkulin kulit masih negatif. Namun setelah 3-7 minggu sudah terbentuk zat anti sehingga terjadi reaksi spesifik yaitu tanda-tanda umum dan tuberkulin positif.

Pada tahap permulaan, fokus primer dapat memberikan keluhan atau tanda-tanda seperti :

a. Suhu badan meningkat

b. Malaise, anoreksia, nafsu makan menurun c. Uji tuberkulin negatif

Setelah <12 minggu, terjadi reaksi tubuh seperti di atas ditambah tanda-tanda di bawah ini yaitu:

a. Batuk karena pembesaran kelenjar yang menekan pernapasan dan uji tuberkulin positif

b. Pada foto toraks tampak pembesaran kelenjar limfa di daerah hilu, trakea, dan leher

c. Infiltrat halus yang menyebar pada seluruh lapangan paru (TB paru milier) Pada umumnya, TB paru primer dapat sembuh sendiri tetapi dapat kambuh di kemudian hari. Selain itu dapat sembuh dengan meninggalkan bekas, atau berkomplikasi dengan cara menyebar secara perkontinuitatum, lymfogen, dan bronkogen. Selain itu, TB paru primer dapat berakhir dengan sembuh meninggalkan sequele atau meninggal dunia.

TB paru post primer atau disebut dengan post primary tuberculosis,

progressive tuberculosis, adult type, reactivation atau secondary tuberculosis

merupakan reaktivasi dari endogen dan interaksi eksogen. Interaksi eksogen yaitu infeksi ulang pada tubuh yang pernah menderita TB. Reaktivasi endogen berasal dari basil yang sudah pernah ada dalam tubuh yang aktif kembali. Namun, sebagian besar terjadi karena infeksi ulang yang ditandai dengan permulaan radang pada subklavikula.


(34)

Pada pemeriksaan patologi akan terdapat gambaran berikut :

a. Pneumonia lobuler dalam perjalanan lebih lanjut dapat sembuh sendiri secara sempurna, sembuh dengan ada perkapuran, perkejuan dengan terbentuknya rongga atau kavitas , aneurisma Ramussen, batuk darah, dan fistula bronkopleura terbuka dan tertutup.

b. Fokus asinus sebagai akibat penyebaran basil secara bronkogen atau karena proses penyembuhan yang meninggalkan jaringan ikat atau fibrosis. 2. 7. Diagnosis TB Paru

Untuk menegakkan diagnosis TB paru perlu dilakukan beberapa pemeriksaan seperti: pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologik dan pemeriksaan laboratorium (mikrobiologik).

2.7. 1. Pemeriksaan Klinis

Pada pemeriksaan klinis dibagi atas pemeriksaan gejala klinis dan pemeriksaan jasmani. Pada pemeriksaan didapatkan gejala klinis seperti :

1. Gejala respiratorik

a. Batuk merupakan gejala yang paling paling sering dikeluhkan. Batuk timbul oleh karena bronkus sudah terlibat. Batuk-batuk yang berlangsung ≥3 minggu harus dipikirkan adanya tuberkulosis paru. b. Batuk darah. Darah yang dikeluarkan dapat berupa garis-garis, bercak-bercak atau bahkan dalam jumlah banyak. Batuk darah dapat juga terjadi pada bronkiektasis dan tumor paru.

c. Sesak napas dijumpai jika proses penyakit sudah lanjut dan terdapat kerusakan paru yang cukup luas.

d. Nyeri dada timbul apabila sistem persarafan yang terdapat di pleura sudah terlibat.

2. Gejala Sistemik

a. Demam merupakan gejala yang paling sering dijumpai, biasanya timbul pada sore dan malam hari.


(35)

b. Gejala sistemik lain seperti keringat malam, anoreksia, malaise, berat badan menurun serta nafsu makan menurun.

Selain itu dilihat dari pemeriksaan jasmani. Pemeriksaan jasmani sangat tergantung pada luas lesi dan kelainan struktural paru yang terinfeksi. Pada permulaan penyakit sulit didapatkan kelainan pada pemeriksaan jasmani. Suara atau bising napas abnormal dapat berupa suara bronkial, amforik, ronki basah, suara napas melemah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. Sedangkan limfadenitis yang disebabkan oleh M.tuberculosis dapat menyebabkan pembesaran kelenjar limfe dalam beberapa minggu atau bulan dan selalu disertai nyeri tekan pada nodul yang bersangkutan. Lesi umumnya terletak di sekitar perjalanan vena jugularis, belakang leher ataupun di daerah supra klavikula.

2.7.2. Pemeriksaan Laboratorium 2.7.2.1. Pemeriksaan Darah Rutin

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk tuberkulosis paru. Laju endapan darah sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endapan darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositosis juga kurang spesifik.

2.7.2.2. Pemeriksaan Bakteriologik

Untuk pemeriksaan bakteriologik ini spesimen dapat diambil dari sputum, bilasan lambung, jaringan, baik lymph node atau jaringan reseksi operasi, cairan pleura, cucian lambung, cairan serebrospinalis, pus / aspirasi abses, urine, apusan laring.

Pada pemeriksaan mikroskopik biasa dapat dilihat adanya basil tahan asam. Dibutuhkan paling sedikit 5000 batang kuman per cc sputum untuk mendapatkan kepositifan. Pewarnaan yang umum dipakai adalah pewarnaan Ziehl Nielsen dan pewarnaan Kinyoun-Gabbett. Cara pengambilan sputum tiga kali dengan cara:

1. Spot (sputum saat kunjungan pertama) 2. Sputum pagi (keesokan harinya)


(36)

Untuk penilaian terhadap pemeriksaan mikroskopis, WHO merekomendasikan pembacaan dengan menggunakan skala IUATLD.

Tabel 2.2. Penilaian Sputum BTA

Jumlah Basil Tahan Asam Penilaian

Tidak dijumpai BTA/ 100 lapangan pandang

0

Dijumpai 1-9 BTA / 100 lapangan pandang

catat jumlah yang ada

Dijumpai 10-99 BTA / 100 lapangan pandang

1+

Dijumpai 1-10 BTA / lapangan pandang dalam 50 lapangan pandang

2+

Dijumpai >10 BTA /lapangan pandang dalam 20 lapangan pandang

3+

Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik yaitu: bila 2x positif : mikroskopik (+) bila 1x positif,2x negatif : ulang BTA 3x bila 1x positif : mikroskopik positif bila 3x negatif : mikroskopik negatif

Selain itu dapat diperiksa dengan mikroskop fluorescens. Gambaran basil tahan asam yang terlihat lebih besar dan lebih jelas karena daya pandang diperluas dan adanya fluorescens dari zat warna auramin-rhodamin.

Pada pemeriksaan kultur dibutuhkan paling sedikit 10 kuman tuberkulosis yang hidup. Jenis-jenis pemeriksaan kultur sputum ini antara lain : metode konvensional seperti Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh, Middlebrook 7H-10 dan 7H-11 dan metode Radiometrik seperti BACTEC. Dengan teknik ini waktu yang dibutuhkan untuk isolasi dan identifikasi Mycobacterium tuberculosis menjadi tiga minggu saja.Untuk test sensitifitas ditambah 5-7 hari lagi.


(37)

2.7.2.3. Pemeriksaan Sitologi pada Tuberkulosis Kelenjar

Pemeriksaan biopsi aspirasi untuk diagnosis penyakit ini adalah aman, mudah dan murah untuk dikerjakan meskipun pasiennya anak-anak. Secara makroskopik nodul mula-mula berisi zat yang berwarnah abu-abu dan jernih tapi lama kelamaan warnah bisa berubah menjadi kekuningan seperti keju. Penglihatan di bawah mikroskop terhadap sekret tampak tuberkel-tuberkel yang khas dengan sel datia langerhans. Jika terjadi perkejuan yang lama dan meluas maka struktur kelenjar dapat hilang sama sekali dan digantikan dengan struktur yang atipik. Pada proses penyembuhan dapat terjadi fibrosis dan pengapuran. Bahayanya dari penyakit ini ialah meskipun kelihatannya penyakit sudah tenang akan tetapi terkadang dapat menyebar ke tempat lain seperti tulang, otak dan lain-lain. Dengan ditemukannya sel epiteloid, datia langerhans ataupun massa nekrosis perkejuan maka pemeriksaan sitologi dikatakan positif.

2.7.2.4. Imunologi/Serologi

Pemeriksaan imunologi dilakukan dengan uji tuberkulin. Di Indonesia dengan prevalensi TB yang tinggi pemeriksaan ini kurang berarti apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan bermakna jika didapatkan konversi dari uji yang sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau timbul bula. Tes tuberkulin berguna dalam menentukan diagnosis penderita (terutama pada anak-anak yang mempunyai kontak dengan seorang penderita tuberkulosis yang menular). Namun penderita tersebut harus diperiksa oleh dokter yang berpengalaman. Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam "Screening TBC " (Kenyorini et al, 2006).

Reaksi uji tuberkulin yang dilakukan secara intradermal akan menghasilkan hipersensitivitas tipe IV atau delayed-type hypersensitivity (DTH). Masuknya protein TB saat injeksi akan menyebabkan sel T tersensitisasi dan menggerakkan limfosit ke tempat suntikan. Limfosit akan merangsang terbentuknya indurasi dan vasodilatasi lokal, edema, deposit fibrin, dan penarikan sel inflamasi ke tempat suntikan. Reaksi tuberkulin merupakan reaksi DTH.


(38)

Protein tuberkulin yang disuntikkan di kulit, kemudian diproses dan dipresentasikan ke sel dendritik/langerhans ke sel T melalui molekul MHC-II. Sitokin yang diproduksi oleh sel T akan membentuk molekul adhesi endotel. Monosit keluar dari pembuluh darah dan masuk ke tempat suntikan yang berkembang menjadi makrofag. Produk sel T dan makrofag menimbulkan edema dan bengkak. Test kulit positif maka akan tampak edema lokal atau infiltrat maksimal 48-72 jam setelah suntikan. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Uji tuberkulin dibaca setelah 48-72 jam (saat ini dianjurkan 72 jam) setelah penyuntikan. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan alat tulis, kemudian diukur dengan alat pengukur transparan, diameter transversal indurasi yang terjadi dan dinyatakan hasilnya dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm ( PPTI, 2006 ).

Menurut McDonald dan Reichman, 2003, interpretasi ukuran indurasi reaksi tuberkulin adalah:

1. Indurasi 5 mm artinya:

a. Suspek terinfeksi HIV dan Imunocompromised

b. Close contacts dengan orang yang terinfeksi TB

c. Orang dengan foto toraks tidak normal dengan gambaran TB paru yang sudah pernah diobati

2. Indurasi 10 mm:

a. Datang dari daerah dengan prevalensi tinggi TB b. Individu dengan HIV negatif tetapi pengguna NAPZA

c. Konversi uji tuberkulin menjadi 10 mm dalam 2 tahun, Individu dengan kondisi klinis yang merupakan resiko tinggi TB : DM , Malabsorbsi, CRF, Tumor di leher dan kepala, Leukemia, lymphoma, Penurunan BB > 10% , Silikosis

3. Indurasi ≥15 mm

a. Bukan resiko tinggi tertular TB


(39)

ELISA (Enzyme Linked Immmunosorbent Assay) merupakan test serologi yang dapat mendeteksi respons humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Dengan cara ini maka dapat ditentukan kadar antibodi terhadap basil tuberkulosis pada serum penderita. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa IgG saja yang memberikan kenaikan diatas normal secara bermakna. Sayangnya uji serologis ini hanya memberikan sensitifitas yang sedang saja (62%).

2.7.3. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan rutin adalah foto toraks PA. Tuberkulosis memberikan gambaran bermacam-macam pada foto toraks. Gambaran radiologik yang ditemukan dapat berupa bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior bawah, kavitas lebih dari satu dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular, bayangan bercak milier dan efusi pleura unilateral (PDPI,2011)

Menurut Hood Alsagaf dan Abdul Mukty (2010), berdasarkan luasnya proses yang tampak pada foto toraks dapat dibagi sebagai berikut:

a. Lesi minimal (minimal lesion) adalah bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.

b. Lesi sedang (moderately advanced lesion) adalah bila proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang, tetapi luas proses tidak boleh lebih luas dari satu paru, atau jumlah dari seluruh proses yang ada paling banyak seluas satu paru atau bila proses tuberkulosis tadi mempunyai densitas lebih padat, lebih tebal maka proses tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga pada satu paru dan proses ini dapat /tidak disertai kavitas. Bila disertai kavitas maka luas (diameter) semua kavitas tidak boleh lebih dari 4 cm.


(40)

Gambar 2. 1. Alur Diagnosis TB

Sumber : http://medicallinkgo.wordpress.com/2012/04/12/tatalaksana-pasien-tb/ 

2.8. Pengobatan TB Paru

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien TB dan menghindari MDR TB (Tabrani, 2008).


(41)

Menurut PDPI tujuan pengobatan TB paru adalah :

a. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas

b. Mencegah kematian karena penyakit TB aktif atau efek lanjutan c. Mencegah kekambuhan

d. Mengurangi transmisi atau penularan kepada yang lain e. Mencegah terjadinya resistensi obat serta penularannya

Menurut Depkes, Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.

Tahap awal (intensif) :

a. Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap lanjutan :

a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama

b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.


(42)

Tabel 2. 3. Paduan OAT Alternatif Kategori

Pengobatan

Penderita TB Panduan Obat Alternatif Intensif Lanjutan

I Kasus baru, BTA (+) Kasus baru, BTA (-)

Kelainan luas Kasus baru, TB diluar paru

yang berat

2RHZE (RHZS) 6HE

4RH 4R3H3

II Kasus kambuh, gagal Putus berobat, BTA (+)

2RHZES/1RHZE 2RHZES/1RHZE

5R3H3E3 6RHE III Kasus baru, BTA (-) kasus

diluar paru ringan

2RHZ 6HE 4RH

4R3H3

IV Kasus kronik Rujuk ke Spesialis Paru

Tabel 2.4. Jenis dan dosis OAT lini pertama : Obat Dosis harian

(mg/kgbb/hari)

Dosis 2x/minggu (mg/kgbb/hari)

Dosis 3x/minggu (mg/kgbb/hari) INH 5-15 (maks 300 mg) 15-40 (maks. 900

mg)

15-40 (maks. 900 mg)

Rifampisin 10-20 (maks. 600 mg)

10-20 (maks. 600 mg)

15-20 (maks. 600 mg)

Pirazinamid 15-40 (maks. 2 g) 50-70 (maks. 4 g) 15-30 (maks. 3 g) Etambutol 15-25 (maks. 2,5 g) 50 (maks. 2,5 g) 15-25 (maks. 2,5 g) Streptomisin 15-40 (maks. 1 g) 25-40 (maks. 1,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)


(43)

Tabel 2.5. Cara Kerja OAT Lini Pertama

INH Bakterisidal melawan basil intraseluler dan ekstraseluler Rifampisin Bakterisidal intraseluler dan ekstraseluler , dan sterilisasi

terutama memetabolisme organism secara perlahan-lahan Pirazinamid Bakterisidal terutama memetabolisme organism secara

perlahan-lahan organism intaseluler, Aktif pada suasana pH asam, dan sinergis dengan baik dengan INH dan obat lain Etambutol Bakterisidal dengan melawan basil intaseluler dan

ekstraseluler pada dosis 25 mg/kg BB dan bakteristatik pada dosis 15 mg/kg BB

Jenis obat lini kedua:

a. Kanamisin b. Kapreomisin c. Amikasin d. Kuinolon e. Sikloserin

f. Etionamid dan Para-amini salisilat

Kombinasi dari 4 OAT akan mampu mengurangi resitensi kuman TB terhadap obat TB karena kemungkinan penderita kecil untuk memilih salah satu obat untuk diminum (Tabrani,2008).

2.9. TB MDR (Multi Drug Resistance)

Tuberkulosis resisten obat anti tuberkulosis merupakan satu fenomena buatan manusia sebagai akibat pengobatan yang tidak adekuat. TB MDR adalah adalah M. tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Karena rifampisin dan INH adalah 2 obat yang sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan pada strategi DOTS.

TB MDR disebabkan oleh banyak faktor. Dari faktor mikrobiologi, TB MDR disebabkan oleh resisten yang natural, resisten yang didapat, amplifier effect ,virulensi kuman , dan tertular galur kuman –MDR. Dari faktor klinik disebabkan


(44)

oleh keterlambatan diagnosis, pengobatan tidak mengikuti guideline, penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan misal rifampisin atau INH, tidak ada / kurangnya pelatihan TB, tidak ada pemantauan pengobatan , fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten pada paduan yang pertama maka “penambahan” 1 jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten, dan organisasi program nasional TB yang kurang baik. Selain itu, TB MDR juga disebabkan oleh faktor obatnya. Hal itu dikarenakan pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien, obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit atau sampai selesai gagal, obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau ada diare, kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana bioavibiliti rifampisinnya berkurang, regimen / dosis obat yang tidak tepat, harga obat yang tidak terjangkau dan pengadaan obat terputus. Faktor pasien juga dapat menjadi penyebab TB MDR. Hal itu dapat dilihat dari PMO tidak ada/kurang baik, kurangnya informasi atau penyuluhan, kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll, efek samping obat, sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada, masalah sosial, dan gangguan penyerapan obat. Selain itu, dari faktor programnya, terlihat dari tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan , program DOTS belum berjalan dengan baik memerlukan biaya yang besar (PDPI, 2011).

Kasus MDR pengobatannya jauh lebih sukar daripada kasus TB biasa, tidak hanya membahayakan dirinya tetapi juga menular bagi masyarakat sekitarnya. Karena itu kasus tersebut harus diidenfikasi dengan benar dan cepat agar pengobatan dapat dilakukan dengan tepat dan secepatnya. Mengingat bahwa diagnos TB MDR adalah bukanlah diagnosis klinis, maka pemeriksaan uji kepekaan menjadi sangat penting dalam tatalaksana kasus MDR. Apalagi pernyataan kesembuhan juga didasarkan atas hasil pemeriksaan biakan (Sjahrurachman, 2010).


(45)

Secara umum menurut PDPI pada tahun 2011 resitensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi :

a. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan

b. Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah c. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat

pengobatan OAT minimal 1 bulan

Prinsip Umum Pengobatan TB-MDR menurut WHO adalah :

a. Penggunaan paling tidak 4 obat-obatan sangat mungkin tidak efektif

b. Jangan menggunakan obat yang mempunyai resitensi silang (cross resistance)

c. Singkirkan obat yg tidak aman untuk pasien.

d. Harus siap mencegah, memantau dan menangulangi efek samping obat

e. Gunakan obat dari grup 1-5 dengan urutan yang berdasarkan kekuatannya.

Strategi yang digunakan untuk pengobatan TB MDR dikenal dengan strategi DOTS PLUS. Hierarki pengobatan dengan strategi DOTS-PLUS adalah dengan memberikan OAT lini pertama yaitu, ZE (HR) karena efek dan toleransinya bagus.

2.10. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course)

Organisasi kesehatan dunia (WHO) mengatakan bahwa keberhasilan program penanggulangan TB adalah dengan menerapkan strategi DOTS yang juga telah diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik. Strategi ini, merupakan strategi yang efektif untuk memastikan kepatuhan berobat dan kelengkapan pengobatan. Menurut Kemenkes RI dalam Strategi Nasional


(46)

Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014, probabilitas terjadinya resistensi obat TB lebih tinggi di rumah sakit dan sektor swasta yang belum terlibat dalam program pengendalian TB nasional sebagai akibat dari tingginya ketidakpatuhan dan tingkat drop out pengobatan karena tidak diterapkannya strategi DOTS yang tinggi.

Komponen DOTS terdiri dari :

1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional 2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis

3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung dikenal dengan istilah Directly Observed Therapy

4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan

5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku / standar

Selain itu ada 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasikan WHO :

1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak mampu.

2. Memberikan perhatian khusus pada TB-HIV, MDR-TB dengan aktivitas gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS, dan pendekatan lain yang relevan.

3. Kontribusi pada sistem kesehatan dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain dan pelayanan umum.

4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan nonpemerintah dengan pendekatan berdasarkan public primary mix untuk mematuhi International Standars of TB Care.

5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif.

6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik, dan vaksin.

Untuk mencapai tersebut, hal yang penting adalah adanya PMO. Dimana sebelumnya pasien sudah diberi penjelasan perlunya ada PMO, PMO juga harus


(47)

hadir di poliklinik untuk mendapatkan penjelasan tentang DOT. PMO tersebut adalah orang yang sukarela membantu pasien sampai sembuh dan diutamakan petugas kesehatan. Tetapi dapat juga kader kesehatan, kader dasawisma, kader PPTKI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien.

Selain itu melalui strategi DOTS diadakan penyuluhan tentang TB. Baik penyuluhan perorangan dapat dilakukan di unit rawat jalan, di apotik dan penyuluhan kelompok .

Di Indonesia pengendalian TB dengan strategi DOTS menyatakan bahwa laju penurunan prevalensi dan mortalitas TB belum cukup cepat untuk menjadi setengah pada tahun 2015 sesuai target Millenium Development Goals (MDGs).

Keberhasilan strategi DOTS diukur dengan angka kesembuhan minimal 85 %. Angka kesembuhan tersebut menyatakan persentasi penderita TB paru BTA positif yang sembuh setelah pengobatan selesai dari jumlah penderita TB paru yang tercatat. Di Sumatera Utara angka keberhasilan penobatan dengan strategi DOTS sudah mencapai 89 % (Kemenkes,2013). Hal itu menunjukkan keberhasilan yang baik pada pengobatan TB paru BTA positif.

2.11. Hasil Akhir Pengobatan

Hasil pengobatan TB paru setelah fase intensif dapat dilihat dari hasil konversi sputum. Pemeriksaan sputum merupakan indikator untuk melihat respon pengobatan. Sehingga konversi sputum adalah hal yang sangat penting untuk menilai keefektifan penggunaan obat (Pajankar et al, 2008 ; Kurbatova et al, 2012)

Kegagalan atau keterlambatan konversi sputum lebih dari 2 bulan akan memberikan hasil pengobatan yang tidak baik. Mengetahui faktor-faktor yang mengakibatkan hal tersebut sangat penting untuk mengetahui pengobatan selanjutnya (Fortune et al, 2007; Su et al, 2011; Caetano, 2012).

Banyak kepustakaan telah mencantumkan penjelasan bahwa konversi sputum BTA diharapkan terjadi dalam dua bulan setelah pengobatan tahap tubian


(48)

(terapi fase intensif), tetapi belum ada publikasi yang menjelaskan pada minggu ke berapa konversi sputum BTA mulai terjadi pada penderita TB (Triyani et al, 2007).

Banyak faktor yang mengakibatkan tidak terjadinya konversi sputum setelah fase intensif. Hal itu disebabkan keterlambatan konversi sputum dan terjadinya MDR. Faktor yang mengakibatkan tersebut telah dibahas pada penjelasan TB- MDR. Menurut penelitian yang dilakukan Pajankar dkk tahun 2008, hal itu disebabkan pengobatan yang tidak adekuat di negara berkembang, usia yang semakin tua, faktor- faktor penyulit dari penderita yang memiliki penyakit lain, dan kavitas yang persisten di dalam paru.

Hasil akhir pengobatan TB paru ada yang sembuh yaitu pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak

(follow-up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan minimal satu pemeriksaan

follow-up sebelumnya negatif. Pengobatan lengkap dalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. Disebut meninggal jika pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. Pasien pindah adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. Default (putus berobat) adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Dikatakan pasien gagal yaitu yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan (Kemenkes, 2009).

Pada penderita TB paru yang tidak mengalami konversi setelah 2 bulan pengobatan dilakukan intervensi yaitu OAT Sisipan (HRZE). Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari) sebagaimana dalam tabel di bawah ini :


(49)

Tabel. 2.6. Dosis KDT fase sisipan : HRZE

Berat Badan Tahap Intensif Tiap Hari Selama 28 Hari RHZE (150/75/400/275)

30 – 37 Kg 2 Tablet 4KDT

38 – 54 Kg 3 Tablet 4 KDT

55 – 70 Kg 4 Tablet 4 KDT

≥71 Kg 5 Tablet 4 KDT

Paket sisipan Kombipak adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 2.7. OAT Kombipak Sisipan HRZE Tahap Pengob atan Lamanya Pengobatan Tablet Isoniasid @ 300 mgr Kaplet Ripam-fisi n @ 450 mgr Tablet Pirazina-mid @ 500 mgr Tablet Etam-butol @ 250 mgr Jumlah hari/kali menelan obat Tahap intensif (dosis harian)

1 bulan 1 1 3 3 28

Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua (Kemenkes RI, 2009).


(50)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

TB paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil

Mycobacterium tuberculosis (Alsagaf dan Mukty, 2010). TB paru masih

merupakan masalah kesehatan utama di dunia. 95 % TB paru terjadi di negara berkembang. Laporan WHO pada tahun 2010 menyatakan bahwa angka kejadian TB di dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa). Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12 juta sampai 16 juta). Saat ini Indonesia berada pada peringkat kelima di dunia. Hal ini dikarenakan jumlah penderita TB di Afrika Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah penderita TB di Indonesia.

Menurut Global Tuberculosis pada tahun 2009, diperkirakan prevalensi TB di Indonesia untuk semua tipe TB adalah 505.614 kasus pertahun, 244 per 10.000 penduduk dan 1.550 perhari. Insidensi penyakit TB 528.063 kasus pertahun, 228 kasus per 10.000 penduduk dan 1.447 perhari. Insidensi kasus baru 236.029 pertahun, 102 kasus per 10.000 penduduk, dan 647 perhari. Insidensi kasus TB yang mengakibatkan kematian 91.369 pertahun, 30 kasus per 10.000 penduduk, dan 250 perhari.

Di Sumatera Utara, penemuan kasus baru terdapat 14.158 pertahun

(Indonesia Health Profile, 2008). Sementara, Case Detection Rate TB paru

Sumatera Utara 41,44 per Juni 2012 dan Sucsess rate 89 % dari target

keberhasilan 87% ( Kemenkes , 2013 ).

Karena permasalahan TB yang masih menjadi perhatian yang serius, maka pada tahun 1994 Indonesia bekerjasama dengan WHO untuk mengadakan

evaluasi bersama (WHO-Indonesia Joint Evaluation) yang menghasilkan perlunya

perubahan yang lebih mendasar lagi pada strategi penanggulangan TB di Indonesia. Dikenal dengan Strategi DOTS. Strategi ini, merupakan strategi yang efektif untuk memastikan kepatuhan berobat dan kelengkapan pengobatan.


(51)

Dengan strategi DOTS diharapkan dapat mengurangi biaya pengobatan TB paru, mengurangi frekuensi resistensi obat, kasus kambuh, kasus gagal pengobatan dan meningkatkan angka kesembuhan. Di Indonesia pengendalian TB dengan strategi

Direct Observed Treatment Shortcourse (DOTS) untuk laju penurunan prevalensi

dan mortalitas belum cukup cepat untuk menjadi setengah pada tahun 2015 sesuai

target Millenium Development Goals (MDGs). Padahal, stategi DOTS sudah

sangat bagus dirumuskan. Hal itu terlihat dari masih ada pasien TB paru yang belum berhasil.

Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010

menyatakan bahwa pengobatan TB paru ditentukan berdasarkan temuan kuman

BTA dalam sputum. Dalam hal ini, peran laboratorium dalam memantau pengobatan TB orang dewasa adalah sangat penting. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan memeriksa ulang sputum BTA secara mikroskopis. Pemeriksaan hapusan sputum BTA dengan mikroskop cahaya merupakan pemeriksaan penunjang diagnostik utama di negara yang sedang berkembang. Karena pemeriksaan dengan sarana tersebut paling berhasil (efisien), mudah, murah, dan cepat. Sedangkan pemeriksaan biakan merupakan pemeriksaan baku

emas (gold standard) untuk menetapkan diagnosis TB. Namun, pemeriksaan

tersebut memiliki beberapa kendala yaitu: biaya, teknik, dan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan hasil positif.

Konversi sputum BTA adalah salah satu indikator yang digunakan untuk memantau dan menilai pengobatan. Yaitu dengan menentukan angka konversi sputum. Konversi sputum BTA adalah mengubah hasil pemeriksaan hapusan sputum BTA penderita TB paru dari BTA positif menjadi BTA negatif

setelah menjalani masa pengobatan (terapi intensif) selama 2 bulan (Pajankar et

al, 2008). Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa waktu mulai dan lama

terjadinya konversi sputum dipengaruhi oleh banyak faktor. Dari hasil konversi ditemukan adanya pasien-pasien yang pemeriksaan sputum BTA positif tidak mengalami konversi. Padahal, banyak kepustakaan telah mencantumkan penjelasan konversi sputum BTA diharapkan terjadi dalam dua bulan setelah


(52)

pengobatan tahap terapi fase intensif. Menurut laporan Depkes RI 2000-2010, angka konversi minimal adalah 80%. Pada tahun 2000-2009 telah tercapai angka konversi di atas 80% dan di Sumatera Utara angka konversi sebesar 96,4 %.

Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk mengangkat masalah ini. Karena jika dilihat kembali strategi DOTS dalam pengobatan TB sudah sangat efektif. Tetapi, masih terdapat pasien-pasien TB yang tidak mengalami konversi menjadi negatif. Untuk itu, penulis ingin melihat gambaran hasil akhir pengobatan dengan strategi DOTS pada pasien yang setelah 2 bulan menjalani pengobatan tidak mengalami konversi sputum.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada karya tulis ini adalah sebagai berikut : Bagaimana gambaran hasil akhir pengobatan TB Paru BTA positif yang menggunakan strategi DOTS setelah 2 bulan pengobatan tidak mengalami konversi sputum pada tahun 2004-2012 di RSUP H. Adam Malik ?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk mengetahui gambaran hasil akhir pengobatan TB Paru BTA positif yang menggunakan strategi DOTS setelah 2 bulan pengobatan tidak mengalami konversi sputum pada tahun 2004-2012 di RSUP H. Adam Malik.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran hasil akhir pengobatan TB Paru BTA positif

yang menggunakan strategi DOTS setelah 2 bulan pengobatan tidak mengalami konversi sputum.

2. Mengetahui angka konversi TB paru di RSUP H. Adam Malik Medana

3. Mengetahui gambaran hasil pengobatan TB paru berdasarkan jenis

kelamin dan usia. .


(53)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk:

1. Peneliti dapat menambah wawasan tentang TB paru tentang

penanganan TB dengan strategi DOTS dan hasil pengobatan TB paru.

2. Bagi masyarakat dalam menangani TB benar-benar berkomitmen

untuk mengatasi TB melihat masih ada pengobatan yang tidak berhasil.

3. Bagi institusi kesehatan untuk bersama-sama menjadikan Indonesia

free TB dan melihat kembali pengobatan TB paru bila setelah 2 bulan

pengobatan tidak mengalami konversi sputum sebaiknya langsung diobati dengan fase sisipan selama 1 bulan dan fase lanjutan kembali.


(54)

Abstrak

TB paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil

Mycobacterium tuberculosis. TB paru masih merupakan masalah kesehatan utama

di dunia dimana 95% terjadi di negara berkembang. Laporan WHO pada tahun 2010 menyatakan bahwa angka kejadian TB di dunia sebesar 9,4 juta. Saat ini Indonesia berada pada peringkat kelima di dunia. Di Indonesia menurut Global

Tuberculosis pada tahun 2009, diperkirakan Insidensi kasus baru 236.029

pertahun, 102 kasus per 10.000 penduduk, dan 647 perhari.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain studi Cross Sectional dengan metode total sampling, untuk melihat hasil akhir pengobatan TB Paru BTA positif yang menggunakan strategi DOTS setelah 2 bulan pengobatan tidak mengalami konversi sputum di RSUP H. Adam Malik pada tahun 2004-2012. Penelitian ini meneliti 140 sampel dengan hasil penderita terbanyak adalah laki-laki 91 orang (65%), usia terbanyak 15-35 tahun 81 orang (57.9%), dengan hasil pengobatan 72 orang (51.4%) sembuh, 12 orang (15,7%) gagal, 19 orang (13,6%) pindah, 20 orang (14,3%)putus berobat, 1 orang (0,7%) meninggal, dan 6 orang (4,3%) pengobatan lengkap. Dengan begitu angka konversi TB paru BTA positif adalah 94.9%.


(55)

Abstract

Pulmonary Tuberculosis is an infectious disease caused by the bacillus Mycobacterium tuberculosis . It still a major health problem in the world in which 95% occur in developing countries. The WHO report in 2010 stated that the

amount incidence of TB in the world is 9.4 million. Currently, Indonesia is the 5th

rank in the world. According to the Global Tuberculosis in 2009, the incidence of new cases was estimated as 236.029 per year in which 102 cases per 10.000 inhabitants , and 647cases per day .

This study is a descriptive cross sectional design, with a total sampling method to see the final results of smear positive pulmonary Tuberculosis treatment using the DOTS strategy after 2 months of treatment did not undergo sputum conversion in the department of H. Adam Malik in the year 2004 to 2012.

This study examined 140 samples with results of most patients were 91 males (65 %) , most aged 15-35 years old 81 samples ( 57.9 % ), with the results of treatment of 72 samples (51.4 %) successfully cured, 12 samples (15.7 %) failed, 19 samples (13.6 %)transferred out, 20 people (14.3%) defaulters, 1 (0.7%) died , and 6 (4.3%) completed treatment. Generally there was conversion rate are 94.9%.


(56)

GAMBARAN HASIL AKHIR PENGOBATAN PASIEN TB PARU BTA POSITIF YANG MENGGUNAKAN STRATEGI DOTS TIDAK

MENGALAMI KONVERSI SPUTUM SETELAH 2 BULAN PENGOBATAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN

2004-2012

Oleh :  

FITRIYANI S. 100100004

   

 

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(57)

   

GAMBARAN HASIL AKHIR PENGOBATAN PASIEN TB PARU BTA POSITIF YANG MENGGUNAKAN STRATEGI DOTS TIDAK

MENGALAMI KONVERSI SPUTUM SETELAH 2 BULAN PENGOBATAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN

2004-2012

Karya Tulis Ilmiah Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh: FITRIYANI S.

100100004

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(58)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Gambaran Hasil Akhir Pengobatan Pasien TB Paru BTA Positif Yang Menggunakan Strategi DOTS Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Di RSUP H. Adam Malik Medan Pada Tahun 2004-2012

Nama : Fitriyani S. NIM : 100100004

Pembimbing

dr. Setia Putra Tarigan, Sp.P NIP.197303272008011013

Penguji I

dr. Datten Bangun, MSc, SpFK NIP. 130349092

Penguji II

Dr.dr. M. Fidel Ganis Siregar, M.Ked(OG), Sp.OG(k) NIP. 196405301989031019

Medan, Januari 2014 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH NIP. 19540220 198011 1 00


(59)

Abstrak

TB paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. TB paru masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia dimana 95% terjadi di negara berkembang. Laporan WHO pada tahun 2010 menyatakan bahwa angka kejadian TB di dunia sebesar 9,4 juta. Saat ini Indonesia berada pada peringkat kelima di dunia. Di Indonesia menurut Global Tuberculosis pada tahun 2009, diperkirakan Insidensi kasus baru 236.029 pertahun, 102 kasus per 10.000 penduduk, dan 647 perhari.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain studi Cross Sectional dengan metode total sampling, untuk melihat hasil akhir pengobatan TB Paru BTA positif yang menggunakan strategi DOTS setelah 2 bulan pengobatan tidak mengalami konversi sputum di RSUP H. Adam Malik pada tahun 2004-2012. Penelitian ini meneliti 140 sampel dengan hasil penderita terbanyak adalah laki-laki 91 orang (65%), usia terbanyak 15-35 tahun 81 orang (57.9%), dengan hasil pengobatan 72 orang (51.4%) sembuh, 12 orang (15,7%) gagal, 19 orang (13,6%)

pindah, 20 orang (14,3%) putus berobat, 1 orang (0,7%) meninggal, dan 6 orang

(4,3%) pengobatan lengkap. Dengan begitu angka konversi TB paru BTA positif adalah 94.9%.


(60)

Abstract

Pulmonary Tuberculosis is an infectious disease caused by the bacillus Mycobacterium tuberculosis . It still a major health problem in the world in which 95% occur in developing countries. The WHO report in 2010 stated that the

amount incidence of TB in the world is 9.4 million. Currently, Indonesia is the 5th

rank in the world. According to the Global Tuberculosis in 2009, the incidence of new cases was estimated as 236.029 per year in which 102 cases per 10.000 inhabitants , and 647cases per day .

This study is a descriptive cross sectional design, with a total sampling method to see the final results of smear positive pulmonary Tuberculosis treatment using the DOTS strategy after 2 months of treatment did not undergo sputum conversion in the department of H. Adam Malik in the year 2004 to 2012.

This study examined 140 samples with results of most patients were 91 males (65 %) , most aged 15-35 years old 81 samples ( 57.9 % ), with the results of treatment of 72 samples (51.4 %) successfully cured, 12 samples (15.7 %) failed, 19 samples (13.6 %)transferred out, 20 people (14.3%) defaulters, 1 (0.7%) died , and 6 (4.3%) completed treatment. Generally there was conversion rate are 94.9%.


(61)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian ini yang berjudul “Gambaran Hasil Akhir

Pengobatan TB Paru BTA Positif yang Menggunakan Strategi DOTS Setelah 2 Bulan Pengobatan Tidak Mengalami Konversi Sputum di RSUP H. Adam Malik pada Tahun 2004-2012”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing penulisan karya tulis ilmiah ini, dr. Setia Putra Tarigan, Sp.P, yang telah meluangkan waktu untuk mendukung, membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan penelitian sehingga dapat diselesaikan. Penulisan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Untuk itu, saya dengan rasa hormat menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak prof. dr. Gontar Siregar, Sp.PD (KGEH) selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan sarjana di Fakultas Kedokteran USU.

2. dr. Datten Bangun, MSc, SpFK dan DR.dr. M. Fidel Ganis

Siregar,M.Ked(OG), Sp.OG(K) selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran yang begitu bermanfaat demi perbaikan karya tulis ilmiah ini.

3. Kedua orang tua penulis M.simangunsong dan S. Silaen yang selalu

memberikan doa, dukungan, serta semangat kepada penulis utuk menyelesaikan proposal ini.

4. Sahabat-sahabat saya, Jennie, Grace Duma, Jane, Maria, dan Marisa

yang turut membantu dalam penyelesaian penelitian ini.  


(62)

 

Penulis menyadari bahwa penulisan hasil penelitian ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan karya tulis ilmiah ini.

Medan, Januari 2014 Penulis


(63)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR ISTILAH ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. TB Paru ... 5

2.1. Definisi TB paru ... 5

2.2. Klasifikasi TB Paru ... 5

2.3. Faktor Resiko Terinfeksi TB Paru ... 6

2.4. Etiologi TB Paru ... 7


(1)

2.6. TB Paru Primer dan Post Primer ... 9

2.7. Diagnosis TB Paru ... 11

2.7.1. Pemeriksaan Klinis ... 11

2.7.2. Pemeriksaan Laboratorium ... 12

2.7.3. Pemeriksaan Radiologi ... 16

2.8. Pengobatan TB Paru ... 18

2.9. TB MDR ... 21

2.10. Strategi DOTS ... 23

2.11. Hasil Pengobatan ... 25

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 28

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 28

3.2. Definisi Operasional ... 28

3.2.1. BTA positif. ... 29

3.2.2. Tidak mengalami konversi ... .. 29

3.2.3. Hasil pengobatan ... 29

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 30

4.1. Rancangan Penelitian ... 30

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 30

4.3.1. Populasi Penelitian ... 30

4.3.2. Sampel Penelitian ... 30

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 31


(2)

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 32

5.1. Hasil Penelitian ... 32

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 32

5.1.2. Deskripsi Data Penelitian ... 32

5.1.2.1. Distribusi Jumlah Penderita TB Paru ... 33

5.1.2.2. Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin ... 35

5.1.2.3. Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Kelompok Usia ... 35

5.1.2.4. Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Hasil Akhir Pengobatan ... 36

5.1.2.5. Distribusi Hasil Akhir Pengobatan Berdasarkan Jenis Kelamin ... 37

5.1.2.6. Distribusi Hasil Akhir Pengobatan Berdasarkan Usia ... 38

5.2. Pembahasan ... 39

5.2.1. Jenis Kelamin ... 40

5.2.2. Usia ... 41

5.2.3. Hasil Akhir Pengobatan ... 41

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

6.1. Kesimpulan ... 43

6.2. Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 46 LAMPIRAN


(3)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Faktor Resiko TB paru Karena Penyakit Lainnya

7

2.2. Penilaian Sputum BTA 13

2.3. Paduan OAT Alternatif 19

2.4. Jenis dan dosis OAT Lini Pertama 20

2.5. Cara Kerja OAT Lini Pertama 20

2.6. Dosis KDT Fase Sisipan : HRZE 26

2.7. Kombipak Sisipan HRZE 27

5.1. Distribusi Jumlah Pasien TB Paru 33 5.2. Distribusi Penderita TB Paru yang Tidak

Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan pengobatan Berdasarkan Jenis Kelamin

35

5.3. Distribusi Penderita TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan pengobatan Berdasarkan Kelompok Usia

35

5.4. Distribusi Penderita TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Pasien TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan pengobatan Berdasarkan Hasil Akhir Pengobatan

36

5.5. Distribusi Hasil Akhir Pengobatan Pasien TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan pengobatan Berdasarkan Jenis Kelamin

37

5.6. Distribusi Hasil Akhir Pengobatan Pasien TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan pengobatan Berdasarkan Usia


(4)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2. 1. Alur Diagnosis TB 17

3.1. Kerangka Konsep 28

5.1. Grafik angka konversi TB

paru BTA positif tahun 2004-2012


(5)

DAFTAR ISTILAH

BTA : Bakteri Tahan Asam

DOTS : Directly Observed Treatment Short Course

IUATLD : International Union Against Tuberculosis and Lung Disease MDGs : Millenium Development Goals

MDR : Multi Drug Resistance OAT : Obat Anti Tuberkulosis

PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia PMO : Pengawas Menelan Obat

TB : Tuberculosis

WHO : World Health Organization

                   


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

Lampiran 1. ... Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2. ... Surat Ethical

Clearance

Lampiran 3. ... Surat Ijin Meneliti Lampiran 4. ... Data Induk Penelitian