Gambaran Perubahan Berat Badan pada Pasien Tuberkulosis Selama Pengobatan DOTS di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru Medan Tahun 2009

(1)

GAMBARAN PERUBAHAN BERAT BADAN

PADA PASIEN TUBERKULOSIS SELAMA PENGOBATAN DOTS DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU MEDAN

TAHUN 2009

Oleh:

MIRNA RAMZIE 070100217

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

GAMBARAN PERUBAHAN BERAT BADAN

PADA PASIEN TUBERKULOSIS SELAMA PENGOBATAN DOTS DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU MEDAN

TAHUN 2009

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh: MIRNA RAMZIE

070100217

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Gambaran Perubahan Berat Badan pada Pasien Tuberkulosis Selama Pengobatan DOTS di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru Medan Tahun 2009

Nama : Mirna Ramzie NIM : 070100217

Pembimbing

(dr. Amira Permatasari, Sp.P)

Penguji I

(dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K))

Penguji II

(dr. Hemma Yulfi, DAP&E, M.Med,Ed)

Medan, 16 Desember 2010 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara


(4)

ABSTRAK

Pendahuluan: Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronik menular. Indonesia merupakan peringkat ketiga setelah India dan Cina dalam menyumbang jumlah kasus TB di dunia. Penanggulangan TB di Indonesia sejak tahun 1995 telah dilaksanakan dengan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjangkitnya penyakit TB adalah status gizi. Malnutrisi muncul sebagai peningkatan risiko berkembangnya penyakit TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perubahan berat badan pasien TB selama pengobatan DOTS di BP4 Medan.

Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan retrospektif. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien TB paru di BP4 Medan yang telah menjalani pengobatan lengkap selama 6 bulan yang berusia 17-70 tahun. Sampel yang diambil adalah 68 orang dengan menggunakan teknik total sampling.

Hasil: Pada penelitian didapatkan rata-rata berat badan pasien TB selama pengobatan DOTS adalah >40-55 kg. Empat bulan pertama masa pengobatan, peningkatan berat badan paling sering terjadi pada masa awal sampai bulan ke-2 pengobatan DOTS yaitu sebanyak 46 orang (67,6%) dan bulan ke-2 sampai bulan ke-4 pengobatan DOTS sebanyak 51 orang (75%). Kenaikan berat badan 1-5 kg terjadi pada masa awal sampai bulan ke-2 pengobatan DOTS yaitu sebanyak 40 orang (58,8%) dan bulan ke-2 sampai bulan ke-4 pengobatan DOTS sebanyak 48 orang (70,6%). Dari bulan ke-4 sampai bulan ke-6 pengobatan sebagian besar pasien hanya mengalami kenaikan <1 kg yaitu sebanyak 52 orang (76,5%). Perubahan kenaikan berat badan >5% paling banyak terjadi pada fase awal pengobatan yaitu dari awal sampai bulan ke-2 pengobatan DOTS yaitu sebanyak 18 orang (26,5%).

Kesimpulan: Status Pengobatan TB akan lebih baik apabila tidak hanya dengan pemberian obat dengan program DOTS, tapi juga dipertimbangkan untuk pemberian asupan gizi pada penderita TB.


(5)

ABSTRACT

Introduction: Tuberculosis (TB) is a chronic infectious disease is contagious. Indonesia is ranked third after India and China in contributing to the number of TB cases in the world. TB control in Indonesia since 1995 has been implemented with the DOTS strategy recommended by WHO. One of the factors that influence the spread of TB disease is nutritional status. Malnutrition appears as an increased risk of developing TB disease. This study aims to know the description of changes in body weight during treatment DOTS TB patient in BP4 Medan.

Method: This study is descriptive with a retrospective approach. The sample in this study were pulmonary TB patients in Medan BP4 who had undergone complete treatment for 6 months of age 17-70 years. The samples taken were 68 people using total sampling techniques.

Result: It was found the average weight gain during treatment DOTS TB patients was 40.0 to 54.9 kg. The first four months of treatment, weight gain is most common in the early days until the 2nd month DOTS treatment as many as 46 people (67.6%) and month of the 2nd till the 4th month DOTS treatment were 51 people (75% .) 1-5 kg weight gain occurred in the early days until the 2nd month DOTS treatment as many as 40 people (58.8%) and month of the 2nd till the 4th month DOTS treatment as many as 48 people (70.6%). From the 4th month until the 6th month of treatment most patients only experienced an increase of less than 1 kg of as many as 52 people (76.5%). Changes in weight gain> 5%, most occur in the early phase of treatment is from the beginning to the month of the 2nd DOTS treatment as many as 18 people (26.5%).

Conclusion: TB treatment would be better if not only with the administration of drugs with DOTS program, but also considered for the provision of nutritional intake in patients with TB.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Karya tulis ilmiah ini berjudul “Gambaran Perubahan Berat Badan pada Pasien Tuberkulosis Selama Pengobatan DOTS di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru Medan Tahun 2009”. Dalam penyelesaian penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Amira Permatasari Tarigan, Sp.P, sebagai Dosen Pembimbing saya yang telah banyak memberi arahan dan masukan kepada penulis, sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. dr. Zulham, M.Biomed, sebagai dosen pembimbing saya sebelumnya yang telah membantu saya dalam memberikan arahan dan saran dalam menyelesaikan proposal karya tulis ilmiah ini.

4. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S dan dr. Hemma Yulfi, DAP&E, M.Med, Ed selaku Dosen Penguji yang telah meluangkan waktu dan pemikiran untuk kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.

5. Bapak dr. Adlan Lufti Sp.P selaku Kepala Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan.

6. Ibu Rita sebagai Kepala Bagian Penelitian Penyakit Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan.


(7)

8. Para dosen dan staf pegawai di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

9. Rasa hormat dan terima kasih yang tiada terhingga saya persembahkan kepada kedua orang tua saya, ayahanda Drs. H. Ramzie Tharfie dan ibunda saya Hj. Rosmeliaty Siregar serta saudara-saudara saya atas doa, semangat dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama ini.

10. Seluruh teman-teman saya khususnya teman-teman Stambuk 2007 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama mengikuti pendidikan.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat berguna bagi kita semua.

Medan, Desember 2010

Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan... i

Abstrak... ii

Abstract... ... iii

Kata Pengantar... iv

Daftar Isi... vi

Daftar Tabel... xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Rumusan Masalah... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.3.1. Tujuan Umum... 3

1.3.2. Tujuan Khusus... 3

1.4. Manfaat Penelitian... 3

1.4.1. Manfaat bagi Masyarakat... 3

1.4.2. Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan... 3

1.4.3. Manfaat bagi Pembuat Kebijakan Kesehatan... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Tuberkulosis... 4

2.2. Epidemiologi TB... 4

2.3. Etiologi... 4

2.4. Patogenesis... 5

2.4.1. Tuberkulosis Primer... 5

2.4.2. Tuberkulosis Pasca Primer... 5

2.5. Klasifikasi TB... 6

2.5.1. Tuberkuosis Paru... 6

2.5.2. Tuberkulosis Ekstra-Paru... 8

2.6. Diagnosis TB... 8

2.6.1. Gejala Klinis... 8

2.6.2. Pemeriksaan Fisik... 9


(9)

2.6.4. Pemeriksaan Radiologik... 10

2.7. Pengobatan TB... 10

2.7.1. DOTS... 10

2.7.2. Jenis, sifat dan dosis Obat Anti Tuberkulosis... 12

2.7.3. Evaluasi Pengobatan... 12

2.8. Peranan Status Gizi Pada Penderita TB... 14

2.8.1. Patofisiologi Penurunan BB pada Pasien TB... 16

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 17

3.2. Defenisi Operasional... 17

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian... 19

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian... 19

4.3. Populasi dan Sampel... 19

4.3.1. Populasi... 19

4.3.2. Sampel... 20

4.4. Teknik Pengumpulan Data... 20

4.5. Pengolahan Data dan Analisa... 21

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PENELITIAN 5.1. Hasil Penelitian... 22

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 22

5.1.2. Deskripsi Karateristik Pasien TB di BP4 Medan.. ... 22

5.1.3. Berat Badan Pasien TB Selama Pengobatan DOTS di BP4 Medan... 24

5.1.4. Gambaran Perubahan Berat Badan Pasien TB Selama Pengobatan DOTS di BP4 Medan... 26

5.1.5. Perubahan Kenaikan Berat Badan Pasien TB Selama Pengobatan DOTS di BP4 Medan... 27

5.2. Pembahasan... 30

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan... 34


(10)

DAFTAR PUSTAKA... 36 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT 12

5.1. Karateristik Pasien TB Berdasarkan Umur 23 5.2. Karateristik Pasien TB Berdasarkan Jenis Kelamin 23 5.3. Karateristik Pasien TB Berdasarkan Agama 23 5.4. Karateristik Pasien TB Berdasarkan Suku 24 5.5. Distribusi Berat Badan Pasien TB Sebelum Pengobatan DOTS 24 5.6. Distribusi Berat Badan Pasien TB Setelah 2 bulan Pengobatan 25

DOTS

5.7. Distribusi Berat Badan Pasien TB Setelah 4 bulan Pengobatan 25 DOTS

5.8. Distribusi Berat Badan Pasien TB Setelah 6 bulan Pengobatan 25 DOTS

5.9. Gambaran Perubahan Berat Badan Pasien TB Sebelum 26 Pengobatan DOTS sampai bulan ke-2 Pengobatan DOTS

5.10. Gambaran Perubahan Berat Badan Pasien TB dari bulan ke-2 26 sampai bulan ke-4 Pengobatan DOTS

5.11. Gambaran Perubahan Berat Badan Pasien TB dari bulan ke-4 27 sampai bulan ke-6 Pengobatan DOTS

5.12. Distribusi Kenaikan Berat Badan Pasien TB Sebelum 28 Pengobatan DOTS sampai bulan ke-2 Pengobatan DOTS

5.13. Distribusi Kenaikan Berat Badan Pasien TB dari bulan ke-2 28 sampai bulan ke-4 Pengobatan DOTS

5.14. Distribusi Kenaikan Berat Badan Pasien TB dari bulan ke-4 29 sampai bulan ke-6 Pengobatan DOTS


(12)

5.15. Distribusi Persen Perubahan Kenaikan Berat Badan Pasien TB 29 Selama Pengobatan DOTS


(13)

ABSTRAK

Pendahuluan: Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronik menular. Indonesia merupakan peringkat ketiga setelah India dan Cina dalam menyumbang jumlah kasus TB di dunia. Penanggulangan TB di Indonesia sejak tahun 1995 telah dilaksanakan dengan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjangkitnya penyakit TB adalah status gizi. Malnutrisi muncul sebagai peningkatan risiko berkembangnya penyakit TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perubahan berat badan pasien TB selama pengobatan DOTS di BP4 Medan.

Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan retrospektif. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien TB paru di BP4 Medan yang telah menjalani pengobatan lengkap selama 6 bulan yang berusia 17-70 tahun. Sampel yang diambil adalah 68 orang dengan menggunakan teknik total sampling.

Hasil: Pada penelitian didapatkan rata-rata berat badan pasien TB selama pengobatan DOTS adalah >40-55 kg. Empat bulan pertama masa pengobatan, peningkatan berat badan paling sering terjadi pada masa awal sampai bulan ke-2 pengobatan DOTS yaitu sebanyak 46 orang (67,6%) dan bulan ke-2 sampai bulan ke-4 pengobatan DOTS sebanyak 51 orang (75%). Kenaikan berat badan 1-5 kg terjadi pada masa awal sampai bulan ke-2 pengobatan DOTS yaitu sebanyak 40 orang (58,8%) dan bulan ke-2 sampai bulan ke-4 pengobatan DOTS sebanyak 48 orang (70,6%). Dari bulan ke-4 sampai bulan ke-6 pengobatan sebagian besar pasien hanya mengalami kenaikan <1 kg yaitu sebanyak 52 orang (76,5%). Perubahan kenaikan berat badan >5% paling banyak terjadi pada fase awal pengobatan yaitu dari awal sampai bulan ke-2 pengobatan DOTS yaitu sebanyak 18 orang (26,5%).

Kesimpulan: Status Pengobatan TB akan lebih baik apabila tidak hanya dengan pemberian obat dengan program DOTS, tapi juga dipertimbangkan untuk pemberian asupan gizi pada penderita TB.


(14)

ABSTRACT

Introduction: Tuberculosis (TB) is a chronic infectious disease is contagious. Indonesia is ranked third after India and China in contributing to the number of TB cases in the world. TB control in Indonesia since 1995 has been implemented with the DOTS strategy recommended by WHO. One of the factors that influence the spread of TB disease is nutritional status. Malnutrition appears as an increased risk of developing TB disease. This study aims to know the description of changes in body weight during treatment DOTS TB patient in BP4 Medan.

Method: This study is descriptive with a retrospective approach. The sample in this study were pulmonary TB patients in Medan BP4 who had undergone complete treatment for 6 months of age 17-70 years. The samples taken were 68 people using total sampling techniques.

Result: It was found the average weight gain during treatment DOTS TB patients was 40.0 to 54.9 kg. The first four months of treatment, weight gain is most common in the early days until the 2nd month DOTS treatment as many as 46 people (67.6%) and month of the 2nd till the 4th month DOTS treatment were 51 people (75% .) 1-5 kg weight gain occurred in the early days until the 2nd month DOTS treatment as many as 40 people (58.8%) and month of the 2nd till the 4th month DOTS treatment as many as 48 people (70.6%). From the 4th month until the 6th month of treatment most patients only experienced an increase of less than 1 kg of as many as 52 people (76.5%). Changes in weight gain> 5%, most occur in the early phase of treatment is from the beginning to the month of the 2nd DOTS treatment as many as 18 people (26.5%).

Conclusion: TB treatment would be better if not only with the administration of drugs with DOTS program, but also considered for the provision of nutritional intake in patients with TB.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronik menular. Tuberkulosis adalah setiap penyakit menular pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh spesies Mycobacterium dan ditandai dengan pembentukan tuberkel dan nekrosis kaseosa pada jaringan-jaringan. Spesies penyebab yang paling sering adalah M. tuberculosis dan M. bovis. Tuberkulosis bervariasi secara luas dalam hal manifestasinya dan mempunyai kecendrungan kronisitas yang besar. Berbagai organ dapat terkena, walaupun pada manusia paru adalah tempat utama penyakit ini dan biasanya merupakan pintu gerbang masuknya infeksi untuk mencapai organ lainnya (Dorlan, 2006).

Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) dalam annual report on global TB control 2003 menyatakan 22 negara sebagai high burden countries terhadap TB. Indonesia peringkat ketiga dengan prevalensi 10% setelah India (30%) dan Cina (15%) dalam menyumbang jumlah kasus TB di dunia (Depkes, 2004). Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun 1992 TB merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan saluran napas serta nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Jumlah pasien TB di Indonesia adalah sekitar 5,8 % dari total jumlah pasien TB dunia. Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Angka prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia produktif (15-54 tahun). Oleh karena itu, kerugian ekonomi akibat TB juga cukup besar (Depkes RI, 2010).

Pada tahun 1995 WHO menganjurkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), strategi komprehensif untuk digunakan oleh pelayanan kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan


(16)

penderita TB, agar transmisi penularan dapat dikurangi di masyarakat (Girsang, 2002).

Salah satu permasalahan dalam Program Penanggulangan TBC adalah lamanya jangka waktu pengobatan yang harus dijalani penderita selama 6 sampai 8 bulan. Kegagalan proses pengobatan akibat ketidaktaatan penderita pada instruksi dan aturan minum obat yang meliputi dosis, cara, waktu minum obat dan periode, akan mengakibatkan terjadinya kekebalan terhadap semua obat Multiple Drugs Resistance dan mengakibatkan terjadinya kekambuhan (Depkes RI, 2002).

Salah satu faktor yang mempengaruhi terjangkitnya penyakit TB adalah status gizi. Status gizi yang yang buruk akan meningkatan risiko terhadap penyakit TB paru. Sebaliknya, penyakit TB paru dapat mempengaruhi status gizi penderita karena proses perjalanan penyakit yang memepengaruhi daya tahan tubuh. Masalah gizi menjadi penting karena perbaikan gizi merupakan salah satu upaya untuk memutus lingkaran setan penularan dan pemberantasan TB Indonesia (Triwanti, 2005).

Malnutrisi muncul sebagai peningkatan risiko berkembangnya penyakit TB. Walaupun begitu, penyebab dan efek sangat sulit untuk dibedakan karena TB juga menyebabkan terjadinya penurunan berat badan (Khan, 2006).

Pasien TB yang memiliki BB yang rendah saat diagnosis, kemudian mengalami kenaikan BB sebesar lima persen atau kurang dari lima persen BB mereka selama dua bulan pertama pengobatan (terapi masa intensif) memiliki peningkatan risiko kekambuhan penyakit secara signifikan. Berat badan yang rendah adalah bila memiliki berat badan 10% dibawah BB ideal. Terdapat 18,5% angka kekambuhan terjadi pada pasien dengan peningkatan berat badan lebih dari lima persen dan 50,5% angka kekambuhan terjadi pada pasien dengan peningkatan berat kurang dari lima persen. Kurang dari lima persen kenaikan berat badan bisa menjadi penanda peningkatan aktivitas penyakit tuberkulosis dan atau respon yang buruk terhadap terapi (Khan, 2006).

Sepanjang pengetahuan kami, penelitian mengenai perubahan BB pasien TB yang mendapatkan program DOTS di Indonesia belum pernah dilakukan.


(17)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Bagaimana gambaran perubahan BB pasien TB yang menjalani program DOTS?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran perubahan BB pada pasien TB selama pengobatan DOTS.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

Memperoleh data perubahan BB pada pasien TB dari awal pengobatan DOTS sampai selesai pengobatan DOTS.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat bagi Masyarakat

Diharapkan penelitian ini dapat memperluas pengetahuan kesehatan masyarakat umum mengenai TB

1.4.2. Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi di bidang kesehatan paru-paru.

1.4.3. Manfaat bagi Pembuat Kebijakan Kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat membantu evaluasi program DOTS di Indonesia.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex (PDPI, 2006).

2.2. Epidemiologi Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru TB pada tahun 2002 dengan 3,9 juta adalah kasus Basil Tahan Asam (BTA) positif (PDPI, 2006).

Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Indonesia adalah negara dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Sedangkan berdasarkan umur, terlihat angka insidensi TB secara perlahan bergerak ke arah kelompok umur tua (dengan puncak pada 55-64 tahun), meskipun saat ini sebagian besar kasus masih terjadi pada kelompok umur 15-64 tahun (Amin, 2007).

2.3. Etiologi

Proses terjadinya infeksi M. tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung BTA. (Amin, 2007).

Penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 μm dan tebal 0,3-0,6 μm. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan, dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam


(19)

(asam alkohol) sehinga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan dia juga lebih tahan tehadap gangguan kimia dan fisis. Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit lagi dan menjadikan penyakit TB menjadi aktif lagi (Amin, 2007).

2.4. Patogenesis

2.4.1. Tuberkulosis Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

3. Menyebar dengan cara :

 Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya.

 Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.

 Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, adrenal, genitalia dan sebagainya (PDPI, 2006).

2.4.2. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis


(20)

post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat 2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan

dengan penyebukan jaringan fibrosis.

3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik) (PDPI, 2006).

2.5. Klasifikasi TB 2.5.1. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.

1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak/BTA Tuberkulosis paru dibagi atas:

a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.

• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. • Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif

dan biakan positif. b. Tuberkulosis paru BTA (-)

• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif.

• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positif.


(21)

2. Berdasarkan tipe pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :

a. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

b. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

c. Kasus defaulted atau drop out

Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

d. Kasus gagal

• Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).

• Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

e. Kasus kronik / persisten

Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

f. Kasus Bekas TB:

Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.


(22)

• Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologik (PDPI, 2006).

2.5.2. Tuberkulosis Ekstra-paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain (PDPI, 2006).

Tuberkulosis ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

a. TB ekstra-paru ringan

Misalnya : TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

b. TB ekstra-paru berat

Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin (Depkes RI, 2003).

2.6. Diagnosis TB 2.6.1. Gejala Klinis

1. Gejala respiratorik

Gejala respiratorik berupa batuk 2 minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.

2. Gejala sistemik

Gejala sistemik lain berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.


(23)

3. Gejala TB ekstra paru

Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan terkadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan (PDPI, 2006).

2.6.2. Pemeriksaan Fisik/Jasmani

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat (PDPI, 2006).

2.6.3. Pemeriksaan Bakteriologik a. Bahan pemeriksasan

Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquorcerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)

b. Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):

- Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan) - Pagi ( keesokan harinya )

- Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.

c. Cara pemeriksaan dahak Pemeriksaan mikroskopik:

 Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen

 Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)


(24)

lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : • 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif

• 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks, kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif → BTA positif • bila 3 kali negatif → BTA negatif

Pemeriksaan biakan kuman:

Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara:

- Egg-based media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh - Agar-based media : Middle brook

2.6.4. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform) (PDPI, 2006).

2.7. Pengobatan TB

2.7.1. Directly Observed Treatment Short-course (DOTS)

Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerjasama dengan WHO, melaksanakan suatu evaluasi bersama bernama WHO-Indonesia Joint Evaluation yang menghasilkan rekomendasi perlunya segera dilakukan perubahan mendasar pada strategi penanggulan TB di Indonesia yang kemudian disebut “STRATEGI DOTS” (Permatasari, 2005).

Istilah DOTS dapat diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) (Permatasari, 2005).

Tujuannya mencapai angka kesembuhan yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping obat jika timbul dan mencegah resistensi (Permatasari, 2005). DOTS mengandung lima komponen, yaitu:


(25)

1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana 2. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis

3. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)

4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin 5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan

evaluasi program penanggulangan TB (Depkes RI,2002).

Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan dalam program pengobatan TB jangka pendek adalah: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan Ethambutol (E). Oleh karena itu penggunaan Rifampisin dan Streptomisin untuk penyakit lain hendaknya dihindari untuk mencegah timbulnya resistensi kuman. Pengobatan penderita harus didahului oleh pemastian diagnosis melalui pemeriksaan radiologik, dan laboratorium terhadap adanya BTA pada sampel sputum penderita (Girsang, 2002).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif (2-3 bulan) dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan (4-7 bulan) pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes RI, 2002).


(26)

2.7.2. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT

Tabel 2.1. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT

Jenis OAT Sifat

Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)

Harian 3x

seminggu Isoniazid (H)

Bakterisid 5 (4-6)

10 (8-12) Rifampicin (R)

Bakterisid 10 (8-12)

10 (8-12) Pyrazinamide (Z)

Bakterisid 25 (20-30)

35 (30-40) Streptomycin (S)

Bakterisid 15 (12-18)

15 (12-18) Ethambutol (E)

Bakteriostatik 15 (15-20)

30 (20-35)

2.7.3. Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

 Evaluasi klinik

Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasi berupa respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.

 Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)

Evaluasi ini bertujuan mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopik dilaksanakan sebelum pengobatan


(27)

dimulai, setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif), dan pada akhir pengobatan. Bila ada fasilitas biakan dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.

 Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada saat sebelum pengobatan, setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan), dan pada akhir pengobatan.

 Evaluasi efek samping OAT secara klinik

Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan). Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan). Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.

 Evalusi keteraturan berobat

Evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.


(28)

 Evaluasi pasien yang telah sembuh

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (PDPI,2006).

2.8. Peranan Status Gizi Pada Penderita TB

Status gizi menentukan kesehatan normal tubuh serta semua fungsi sistem pada tubuh termasuk sistem imun yang bertanggungjawab sebagai pertahanan tubuh dalam berbagai penyakit infeksi (Dodor, 2008). Salah satu faktor yang mempengaruhi terjangkitnya penyakit TB adalah status gizi. Status gizi yang buruk akan meningkatkan resiko terhadap penyakit TB paru. Sebaliknya, penyakit TB paru dapat mempengaruhi status gizi penderita karena proses perjalanan penyakitnya yang mempengaruhi daya tahan tubuh. Selain itu, penderita TB yang mengalami kekurangan gizi akan mengakibatkan produksi antibodi dan limfosit terhambat, sehingga proses penyembuhan akan terhambat pula (Triwanti, 2005).

Pasien TB sering ditemukan mengalami kehilangan berat badan yang hebat, suatu gejala yang menjelaskan mengenai penurunan imun seseorang (immuno-suppresive) dan merupakan penentu utama dari berat dan prognosa penyakit tersebut (Vasantha, 2008). Mariono (2003) dalam Usman (2008), malnutrisi menyebabkan berat badan berkurang, kekuatan otot pernapasan berkurang, menurunnya kapasitas ventilasi dan berkuranganya pertahanan paru sehingga memperburuk kondisi pasien. Kekurangan nutrisi pada umumnya berkaitan dengan terganggunya respon imun, khususnya fungsi fagosit, produksi sitokin, respon sekresi antibody, dan sistem komplemen. Ringkasnya kekurangan nutrisi menyebabkan immudodefisiensi secara umum untuk berbagai penyakit infeksi termasuk tuberkulosis (Usman, 2008).

Kebanyakan penderita TB adalah kelompok usia produkif (15-55 tahun) secara tidak langsung penyakit dan status gizi yang buruk akan mempengaruhi


(29)

produktivitas. Untuk itu diperlukan dukungan nutrisi yang adekuat sehingga akan mempercepat perbaikan status gizi dan menignkatkan sistem imun yang dapat mempercepat proses penyembuhan disamping pemberian obat yang teratur sesuai metode pengobatan TB (Usman, 2008).

Menurut Linder (1991) dalam Usman (2008), gizi secara umum terdiri dari karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral. Dalam keadan normal gizi dapat tercukupi dari makanan sehari-hari tetapi dalam kondisi kemiskinan dan penyakit kronis, tidak semua komponen gizi dapat terpenuhi terutama protein. Kebutuhan protein dalam keadaan normal 0,8-1 gr/kgBB/hari, dan pada keadaan sakit kebutuhan protein mencapai 1,5-3 gr/kgBB/hari.

Chan (1996) dalam Usman (2008), peranan protein pada pengobatan TB selain memenuhi kebutuhan gizi, meningkatkan regenerasi jaringan yang rusak juga mempercepat sterilisasi dari kuman TB.

Linder (1991) dalam Usman (2008), menyatakan dengan memberikan diit Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan obat TB pada penderita TB yang di rawat di rumah sakit didapatkan perbaikan secara klinis berupa peningkatan berat badan, peningkatan kadar Hb, dan penurunan SGOT, SGPT.

Vasantha (2008), menunjukkan bahwa kenaikan berat badan pengobatan dikaitkan dengan usia (<45 tahun), di pusat pemerintah, tidak ada riwayat pemakaian obat sebelumnya. Pada akhir masa intensif pengobatan DOTS, ditemukan perubahan berat badan pada pasien TB secara signifikan berhubungan status pernikahan, pendapatan per bulan, tingkat pendidikan, kepercayaan dalam memilih jenis makanan tertentu pada saat sakit dan porsi makan dalam keluarga. Pada pasien TB laki-laki didapati peningkatan BMI sedikit lebih tinggi dibandingkan pasien wanita saat pengobatan dimulai (Dodor, 2008). Sedangkan menurut Khan (2006), pasien yang memiliki berat badan rendah pada saat diagnosis, kenaikan berat badan 5% atau kurang yang terjadi setelah pengobatan dua bulan (fase intensif) berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya kekambuhan.


(30)

2.8.1. Patofisiologi Penurunan Berat Badan pada Pasien TB Infeksi Mycobacterium tuberculosis

Aktifasi makrofag oleh IFN-γ produksi pirogen endogen IL -1, IL-4, IL-6, TNF-α

Pirogen endogen bersirkulasi sistemik & menembus masuk hematoencephalic barrier bereaksi terhadap hipotalamus.

Efek sitokin pirogen endogen pada hipotalamus menyebabkan produksi prostaglandin.

Prostaglandin merangsang cerebral cortex

( respon behavioral) → nafsu makan menurun & leptin meningkat menyebabkan stimulasi dari hipotalamus → nafsu makan disupresi

Pada masa yang sama terjadi peningkatan metabolisme tubuh pada pasien TB karena peningkatan penggunaan energi metabolik.

Penurunan nafsu makan dan peningkatan metabolisme tubuh pasien TB menyebabkan penurunan BB


(31)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi Operasional

Variabel Defenisi Operasional

Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Pengobatan DOTS Strategi penanganan TB yang direkomendasikan WHO,dilakukan dalam waktu 6-8 bulan dan diawasi oleh PMO. Pencatatan melalui data sekunder yang didapatkan dari rekam medis pasien TB di BP4 Medan Rekam medis Nominal Perubahan BB Peningkatan ataupun penurunan massa tubuh pasien TB dari berat badan sebelumnya yang diukur selama pengobatan DOTS. Pencatatan BB diukur menggunakan timbangan setiap bulan pengobatan yang didapat dari rekam medis pasien TB di BP4 Medan. Rekam medis Numerik Pengobatan DOTS Perubahan BB: - Evaluasi 1 - Evaluasi 2 - Evaluasi 3


(32)

Evaluasi 1 Perubahan berat badan dari awal pengobatan sampai bulan ke-2

pengobatan DOTS

Selisih BB awal pengobatan DOTS dengan BB bulan ke-2 pengobatan DOTS

SPSS 17 Numerik

Evaluasi 2 Perubahan berat badan dari bulan ke-2 ke-4 pengobatan DOTS

Selisih BB bulan ke-2 pengobatan DOTS dengan BB bulan ke-4 pengobatan DOTS

SPSS 17 Numerik

Evaluasi 3 Perubahan berat badan dari bulan ke-4 ke-6 pengobatan DOTS

Selisih BB bulan ke-2 pengobatan DOTS dengan BB bulan ke-4 pengobatan DOTS


(33)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penilitian ini adalah penelitian deskriptif yang menggambarkan terjadinya peningkatan berat badan pada pasien TB selama pengobatan DOTS. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah retrospektif. Data penelitian diambil secara retrospektif (sekunder) dari rekam medis sepanjang tahun 2009.

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian direncanakan akan dilaksanankan pada bulan Juni-Juli 2010.

Penelitian ini akan dilakukan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) di Kota Medan. Pemilihan lokasi ini didasari atas pertimbangan bahwa:

1. BP4 merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Propinsi Sumatra Utara.

2. BP4 mempunyai tugas menyelenggarakan upaya kesehatan preventif dan melaksanakan perawatan terhadap penderita TB yang berasal dari Kota Medan dan Sumatra Utara.

3. BP4 merupakan pusat rujukan penanganan pasien TB dan TB dengan HIV+ dari Puskesmas di Propinsi Sumatra Utara.

4. Telah diresmikannya voluntary counseling & testing (VCT) di BP4 Medan.

5. Penelitian di atas belum pernah dilkukan sebelumnya.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh pasien TB yang menerima pengobatan DOTS di BP4 Medan.


(34)

4.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini menggunakan instrumen rekam medik pasien TB yang menerima pengobatan DOTS pada tahun 2009 di BP4 Medan.

Kriteria Inklusi:

a. Pasien TB paru dengan BTA (+) yang menerima pengobatan DOTS lengkap selama 6 bulan di BP4 Medan selama 2009.

b. Pasien berusia 17 – 70 tahun

Kriteria Eksklusi:

a. Pasien TB yang mempunyai penyakit lain seperti Human Immunodeficiency Virus (HIV), Hepatitis, Diabetes Melitus (DM), Tiroktoksikosis.

b. Pasien TB dengan kasus relaps, drop out, dan kronik. c. Pasien TB dalam masa kehamilan.

Besar sampel penelitian adalah 68 orang dan metoda pengumpulan sampel menggunakan metode total sampling.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari rekam medik yaitu kartu status pasien TB di BP4.

Data yang digunakan adalah data umum dan data khusus. Data umum berupa usia, agama, suku, jenis kelamin,. Data khusus adalah perubahan berat badan pasien TB pada bulan ke 2,4, dan 6 selama pengobatan dengan metoda DOTS.


(35)

4.5. Pengolahan dan Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan adalah data umum yang berupa umur, jenis kelamin,agama, dan suku. Sedangkan data khusus yang diambil adalah evaluasi perubahan berat badan pasien selama pengobatan DOTS di BP4, yaitu pada bulan ke 2,4, dan 6. Data telah diolah secara manual dan dilanjutkan dengan menggunakan bantuan komputer program SPSS 17.0 dan dianalisis secara statistik deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi dan diagram.


(36)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) terletak di jalan Asrama No. 18 / Samping Jalan Gaperta ( Jalan Abdul Manaf Lubis ) di lingkungan II keluarahan Helvetia Medan dengan Nomor Telepon (061)8445394, Fax (061)8445394.

Dalam PERDA No. 3 Tahun 2001 dan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 061-437.K/Tahun 2002 dinyatakan bahwa kedudukan BP4 adalah Unit Pelaksana Teknis di bidang kesehatan paru dalam lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.

Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru melaksanakan upaya kesehatan yang menyeluruh (preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif) terhadap gangguan kesehatan paru masyarakat akibat infeksi bakteri, virus, jamur , parasit, pengaruh kebiasaan, lingkungan hidup dan pekerjaan, serta dalam upaya pengembangan kesehatan paru masyarakat.

5.1.2. Deskripsi Karateristik Pasien TB di BP4 Medan

Dalam penelitian ini, responden yang diteliti sebanyak 68 orang berdasarkan rekam medis di BP4 Medan. Rekam medis yang diambil adalah rekam medis dari pasien dengan diagnosa TB paru BTA positif yang telah menjalani pengobatan DOTS lengkap selama 6 bulan.


(37)

Tabel 5.1. Karateristik Penderita TB Berdasarkan Umur

Umur n %

17-29 tahun 42 61.8

30-39 tahun 16 23.5

40-49 tahun 5 7.4

50-59 tahun 4 5.9

>60 tahun 1 1.5

Total 68 100.0

Berdasarkan hasil tabel 5.1. di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pasien TB paru di BP 4 Medan memiliki umur antara 17-29 tahun sebesar 61,8%.

Tabel 5.2. Karateristik Pasien TB Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin n %

Pria 43 63,2

Wanita 25 36,8

Total 68 100,0

Dari tabel 5.2. terdapat pasien TB pria lebih banyak dibandingkan wanita yaitu sebesar 63,2%.

Tabel 5.3. Karateristik Pasien TB Berdasarkan Agama

Agama n %

Islam 35 51,5

Kristen Hindu Buddha

33 0 0

48,5 0 0


(38)

Tabel 5.3. menunjukkan terdapat 35 pasien TB yang beragama Islam (51,5%) dan 33 orang responden yang beragama Kristen (48,5%). Dan tidak didapati adanya responden yang beragama Hindu dan Buddha.

Tabel 5.4. Karateristik Pasien TB Berdasarkan Suku

Suku n %

Batak 46 67,6

Jawa 17 25,0

Melayu 5 7,4

Total 8 100,0

Tabel 5.4. tersebut menunjukkan mayoritas suku pasien TB yang berkunjung di BP4 Medan adalah suku Batak sebanyak 67,6%.

5.1.3. Distribusi Berat Badan Pasien TB Selama Pengobatan DOTS di BP4 Medan

Setelah dilakukan penelitian dengan pendekatan retrospektif dengan menggunakan instrumen berupa rekam medik, didapatkan distribusi berat badan pada pasien TB yang terjadi selama pengobatan DOTS.

Tabel 5.5. Distribusi Berat Badan Pasien TB pada Awal Pengobatan DOTS

Berat Badan (kg) n %

25-40 >40-55 >55-70

13 42 13

19,1 61,8 19,1

Total 68 100,0

Dari Tabel 5.5. dapat dilihat berat badan pasien TB sebelum pengobatan DOTS dengan persentase paling tinggi yaitu 61,8% adalah >40-55 kg.


(39)

Tabel 5.6. Distribusi Berat Badan Pasien TB Setelah 2 bulan Pengobatan DOTS

Berat Badan (kg) n %

25-40 >40-55 >55-70 11 43 14 16,2 63,2 20,6

Total 68 100,0

Hasil dari tabel 5.6. menunjukkan bahwa frekuensi berat badan paling banyak setelah 2 bulan pengobatan DOTS adalah >40-55 kg dengan persentase 63,2%.

Tabel 5.7. Distribusi Berat Badan Pasien TB Setelah 4 bulan Pengobatan DOTS

Berat Badan (kg) n %

25-40 >40-55 >55-70 8 38 22 11,8 55,9 32,4

Total 68 100,0

Dari tabel 5.7. dapat dilihat bahwa pasien dengan berat badan >40-55 kg memiliki frekuensi tertinggi yaitu sebanyak 38 orang dengan persentase 55,9%.

Tabel 5.8. Distribusi Berat Badan Pasien TB Setelah 6 bulan Pengobatan DOTS

Berat Badan (kg) n %

25-40 >40-55 >55-70 5 39 24 7,4 57,4 35,3


(40)

Dari tabel 5.8 didapatkan berat badan pasien >40-55 kg dengan frekuensi 39 orang (57,4%) merupakan berat badan terbanyak pada pasien TB setelah pengobatan 6 bulan.

5.1.4. Gambaran Perubahan Berat Badan Pasien TB Selama Pengobatan DOTS di BP4 Medan.

Dengan mengetahui berat badan pasien TB selama pengobatan DOTS maka kita dapat mengetahui perubahan-perubahan berat badan yang terjadi selama pengobatan DOTS dengan mengevaluasi berat badan pasien TB setiap 2 bulan.

Tabel 5.9. Gambaran Perubahan Berat Badan Pasien TB dari Awal Pengobatan sampai bulan ke-2 Pengobatan DOTS (Evaluasi 1)

Perubahan BB n %

Tidak ada perubahan BB 20 29,4

Penurunan BB 2 2,9

Peningkatan BB 46 67,6

Total 68 100,0

Dari tabel 5.9. dapat kita lihat pasien TB paling banyak mengalami peningkatan berat badan yaitu sebesar 67,6% dari awal pengobatan sampai bulan ke-2 pengobatan DOTS.

Tabel 5.10. Gambaran Perubahan Berat Badan Pasien TB dari bulan ke-2 sampai bulan ke-4 Pengobatan DOTS (Evaluasi 2)

Perubahan BB n %

Tidak ada perubahan BB 16 23,5

Penurunan BB 1 1,5

Peningkatan BB 51 75,0


(41)

Pada tabel 5.10. berat badan pasien TB dari bulan ke-2 sampai bulan ke-4 pengobatan DOTS lebih dari setengah pasien mengalami peningkatan berat badan dengan persentase 75%.

Tabel 5.11. Gambaran Perubahan Berat Badan Pasien TB dari bulan ke-4 sampai bulan ke-6 Pengobatan DOTS (Evaluasi 3)

Perubahan BB n %

Tidak ada perubahan BB 50 73,5

Penurunan BB 1 1,5

Peningkatan BB 17 25,0

Total 68 100,0

Dengan melihat tabel 5.11. sebagian besar pasien TB tidak mengalami perubahan berat badan pada dari bulan ke-4 sampai bulan ke-6 pengobatan DOTS yaitu sebesar 73,5%.

5.1.5. Distribusi Perubahan Kenaikan Berat Badan Pasien TB Selama Pengobatan DOTS di BP4 Medan

Dari data tabel perubahan berat badan pasien TB selama pengobatan DOTS, dapat kita lihat sebagian besar pasien mengalami peningkatan berat badan. Oleh karena itu, dapat ditentukan besar kenaikan berat badan pasien selama pengobatan DOTS pada tabel dibawah ini.


(42)

Tabel 5.12. Distribusi Kenaikan Berat Badan Pasien TB dari Awal Pengobatan sampai bulan ke-2 Pengobatan DOTS (Evaluasi 1)

Kenaikan BB

(kg) n %

< 1 23 33,8

1-5 40 58,8

> 5 5 7,4

Total 68 100,0

Tabel 5.12. menunjukkan besar kenaikan berat badan pada pasien TB dari awal sampai 2 bulan pengobatan DOTS (masa intensif). Pasien paling banyak mengalami kenaikan berat badan antara 1-5 kg dengan persentase 58,8%.

Tabel 5.13. Distribusi Kenaikan Berat Badan Pasien TB dari bulan ke-2 sampai bulan ke-4 Pengobatan DOTS (Evaluasi 2)

Kenaikan BB

(kg) n %

< 1 18 26,5

1-5 48 70,6

> 5 2 2,9

Total 68 100,0

Tabel 5.13. menunjukkan perubahan kenaikan berat badan pasien TB dari bulan ke-2 sampai bulan ke-4 pengobatan DOTS. Frekuensi tertinggi terdapat pasien dengan kenaikan berat badan 1-5 kg yaitu 70,6%.


(43)

Tabel 5.14 Distribusi Kenaikan Berat Badan Pasien TB dari bulan ke-4 sampai bulan ke-6 Pengobatan DOTS (Evaluasi 3)

Kenaikan BB

(kg) n %

< 1 1-5 > 5

52 16 0

76,5 23,5 0

Total 68 100,0

Dengan tabel 5.14. dapat dilihat perubahan kenaikan berat badan pada pasien TB terjadi bulan ke-4 sampai bulan ke-6 pengobatan DOTS. Didapatkan frekuensi tertinggi pada pasien dengan kenaikan berat badan <1 kg sebanyak 76,5%.

Tabel 5.15 Distribusi Persen Kenaikan Berat Badan Pasien TB Selama Pengobatan DOTS

% Perubahan Kenaikan BB

Evaluasi 1 Evaluasi 2 Evaluasi 3 n % n % n % ≤5% 50 73,5 55 80,9 61 89,7 >5% 18 26,5 13 19,1 7 10,3 Total 68 100,0 68 100,0 68 100,0

Setelah dilakukan distribusi frekuensi perubahan kenaikan berat badan pada pasien TB selama pengobatan DOTS, maka dapat diketahui persen dari perubahan kenaikan berat tersebut dengan melihat tabel 5.15. Dari tabel ini dapat dilihat perubahan persen kenaikan berat badan pasien setiap evaluasi per 2 bulan selama pengobatan DOTS paling banyak adalah ≤ 5% dari berat badan sebelumnya. Sedangkan kenaikan berat badan >5% paling banyak ditemukan pada evaluasi 1 ataupun pada masa sebelum sampai bulan ke-2 pengobatan DOTS (masa intensif) dengan persentase 26,5% sebanyak 18 orang.


(44)

5.2. Pembahasan

Lebih tingi dari hasil WHO, jumlah pasien TB di BP4 Medan dari golongan usia produktif (17-59 tahun) lebih banyak yaitu 98,5%, dibandingkan usia nonproduktif ( >60 tahun) yang hanya memiliki persentase 1,5%. Hasil ini lebih tinggi dari hasil WHO yang memperkirakan 95% penderita TB di negara berkembang, dan lebih dari 70% berada pada usia produktif (15-54 tahun) (Depkes RI,2010). Keadaan ini diduga ada hubungannya dengan tingkat aktivitas dan pekerjaan sebagai tenaga kerja produktif yang memungkinkan untuk mudah tetular dengan kuman TB setiap saat dari penderita, khususnya dengan BTA positif. TB primer terjadi pada masa anak-anak namun sebagian besar penderita akan menunjukkan gejala klinis setelah memasuki usia produktif.Sebagai penderita, mereka akan kehilangan masa produktivitasnya sekitar 3-4 bulan kerja atau setara dengan 20% - 30% pendapatan keluarga setahun. Dampaknya adalah tergangunya situasi ekonomi penderita dan keluarga (Triawanti, 2005).

Lebih dari setengah pasien TB di BP4 Medan adalah pria (63,2%). Keadaan ini diduga karena adanya perbedaan aktivitas luar rumah, terutama untuk bekerja, sosialisasi kemasyarakatan antara pria dan wanita. Data ini sejalan dengan penelitian lainnya (Amin, 2006), yaitu angka kejadian TB paru cendrung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan yaitu berkisar antara 1,5-2 kali.

Mayoritas pasien TB di BP4 Medan adalah Islam (51,5%) dan Kristen (48,5%). Tidak didapati adanya pasien yang beragama Hindu atau Buddha. Hal ini diduga dikarenakan masyarakat di Sumatra Utara khususnya Medan mayoritas menganut agama Islam (65,45%) dan Kristen ( Khatolik dan Protestan, 31,40%) (Diskominfo, 2010). Tidak jelas apa yang menjadi penyebab tidak didapatinya pasien TB yang beragama Hindu ataupun Buddha di BP4 Medan. Mungkin dikarenakan yang beragama Hindu atau Buddha banyak berasal dari etnis India dan China yang lebih banyak memilih pengobatan ke rumah sakit swasta. Hal lain yang dapat menyebabkan hal tersebut mungkin juga berhubungan dengan lokasi BP4 yang berada di pinggir kota Medan, sehingga komunitas Hindu dan Buddha tak mengunjunginya.


(45)

Suku Batak lebih banyak mengunjungi BP4 Medan (67,6%). Pasien dengan suku Melayu memiliki persentase terendah (7,4%). Hal ini sejalan dengan laporan yang mengatakan lebih dari setengah masyarakat di daerah Sumatera Utara adalah suku Batak (51,11%), dan suku Melayu (5,86%) sebagai suku asli di Sumatera Utara. Sedangkan suku Jawa (25%) yang merupakan suku pendatang datang memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan suku Melayu pada penelitian ini, dan (33,40%) pada laporan sebelumnya (Diskominfo, 2010).

Berat badan pasien TB selama pengobatan DOTS paling banyak berasal dari kelompok >40-55 kg dan >55-70 kg, sedangkan berat badan pasien yang paling sedikit yaitu 25-40 kg. Dengan rata-rata berat badan pada awal pengobatan adalah 46,8 kg, setelah 2 bulan pengobatan 48,5, setelah pengobatan 4 bulan 50,0 kg, dan setelah pengobatan 6 bulan 50,5 kg, maka terdapat peningkatan berat badan pada pasien TB sebelum dan sesudah diberi pengobatan DOTS. Laporan hasil penelitian lain menyatakan berat badan rata-rata penderita TB paru yang menjalani pengobatan pada RS. Ciptomangunkusuma, RS.St.Corolus dan Puskesmas Jatinegara, Jakarta tahun 1989-1993 sebesar 47 kg. Selanjutnya dilaporkan pula kematian penderita TB paru lebih sering pada berat badan dibawah 40 kg (Triawanti, 2005).

Gambaran perubahan berat badan pasien TB selama pengobatan DOTS terlihat lebih banyak mengalami peningkatan berat badan. Peningkatan berat badan lebih banyak terjadi dari bulan ke-2 sampai bulan ke-4 pengobatan DOTS (Evaluasi 2) (75%) dibandingkan pada masa intensif, yaitu dari awal pengobatan sampai bulan ke-2 pengobatan DOTS (Evaluasi 1) (67,6%). Sedangkan pasien yang mengalami penurunan berat badan selama pengobatan DOTS hanya 1 sampai 2 orang saja. Terjadinya peningkatan berat badan ini diduga karena ada pengaruh tidak langsung dari pengobatan OAT pada penderita TB yaitu karena adanya kesempatan tubuh untuk memperbaiki daya tahan tubuh setelah sebagian besar populasi basil TB (90%) terbunuh pada beberapa hari pertama pengobatan (Depkes RI, 2002). Menurut Triawanti (2005), kemampuan efektivitas OAT dibuktikan dengan penderita menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 mingggu dan sebagian besar penderita menjadi negatif pada akhir pengobatan


(46)

intensif. Di antara perbaikan klinis adalah peningkatan nafsu makan pada minggu-minggu pertama setelah pengobatan dikarenakan kuman penginfeksi telah banyak yang mati atau lumpuh, sehingga tubuh berkesempatan memeperbaiki sel-sel yang rusak akibat proses peningkatan metabolit dan konsumsi O2. Peningkatan nafsu makan inilah yang berdampak terhadap peningkatan berat badan. Tidak dapat ditentukan penyebab adanya penurunan berat badan pasien TB selama evaluasi pengobatan DOTS, namun salah satu faktor kemiskinan pada pasien TB menyebabkan mereka tidak sanggup meningkatkan daya tahan tubuh, makanan yang tidak mencukupi dan kurang gizi, tidak sanggup membeli obat yang seharusnya dikonsumsi secara rutin dan juga karena kemiskinan mengharuskan mereka bekerja keras (secara fisik), sehingga kondisi ini mempersulit proses penyembuhan penyakit TB Paru yang diderita (Yunus, 1992).

Rentang kenaikan berat badan paling banyak pada pasien TB adalah 1-5 kg. Namun, dari bulan ke-4 sampai bulan ke-6 pengobatan DOTS (Evaluasi 3) didapatkan angka kenaikan berat badan <1 kg atau bahkan tidak didapatkan adanya kenaikan berat badan yang terjadi. Rata-rata kenaikan berat badan yang terjadi pada awal pengobatan sampai bulan ke-2 pengobatan DOTS (Evaluasi 1) adalah 1,7 kg, dari bulan ke-2 sampai bulan ke-4 pengobatan DOTS (Evaluasi 2) adalah 1,5 kg, dan dari bulan ke-4 sampai bulan ke-6 pengobatan DOTS (Evaluasi 3) adalah 0,5 kg. Dengan demikian, kenaikan berat badan terjadi lebih banyak selama pengobatan masa intensif (Evaluasi 1) yaitu pada kelompok kenaikan berat badan >5 kg sebesar 7,4% dibandingkan pada masa lanjutan (Evaluasi 2 dan 3). Sedangkan untuk rata-rata keseluruhan besar kenaikan berat badan pasien TB dai awal pengobatan sampai selesai pengobatan DOTS adalah 3,7 kg dengan rentang kenaikan -1 sampai 16 kg. Hasil ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan rata-rata kenaikan berat badan pasien sebelum sampai selesai pengobatan DOTS adalah sebesar 3,34 kg dengan rentang kenaikan -4 sampai 20 kg (Vasantha, 2008).

Didapatkankan kenaikan berat badan pasien TB selama pengobatan DOTS lebih banyak ≤ 5% pada setiap evaluasi per 2 bulan, yaitu 73,5% pada evaluasi 1, 80,9% pada evaluasi 2, dan 89,7% pada evaluasi 3. Sedangkan untuk kenaikan


(47)

berat badan > 5% paling banyak ditemukan pada evaluasi 1 yaitu 26,5% dari 68 orang pasien TB. Menurut Khan (2008), pasien TB yang memiliki berat badan yang rendah saat diagnosis, kemudian mengalami kenaikan berat badan sebesar ≤ 5%, selama dua bulan pertama pengobatan (terapi masa intensif) memiliki peningkatan risiko kekambuhan penyakit secara signifikan. Namun pada penelitian ini terdapat keterbatasan dimana peneliti tidak dapat menentukan staus gizi dari pasien TB tersebut, hal ini diakibatkan karena tidak lengkapnya informasi mengenai tinggi badan pasien pada instrumen rekam medik. Sedangkan tinggi badan menjadi hal yang penting untuk menentukan indeks masa tubuh seseorang, yang nantinya dapat dijadikan pedoman dalam menentukan status gizi seseorang.


(48)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Sebagian besar pasien TB di BP4 Medan berumur antara 17-29 tahun (61,8%).

2. Berdasarkan jenis kelamin didapatkan pasien TB lebih banyak berjenis kelamin pria (63,2%) daripada wanita (36,2%).

3. Untuk karateristik berdasarkan agama, agama Islam (51,5%) dan Kristen (48,5%) merupakan mayoritas pasien TB di BP4 Medan.

4. Untuk karateristik berdasarkan suku, didapatkan pasien TB di BP4 Medan paling banyak adalah suku Batak (67,6%).

5. Rentang berat badan pasien TB selama pengobatan DOTS yang paling banyak adalah >40-55 kg.

6. Gambaran perubahan berat badan yang paling banyak terjadi selama pengobatan DOTS adalah peningkatan berat badan.

7. Rata-rata rentang kenaikan berat badan pasien TB setiap evaluasi per 2 bulan pengobatan DOTS adalah 1-5 kg.

8. Pasien TB lebih banyak mengalami kenaikan berat badan ≤ 5% selama pengobatan DOTS. Sedangkan kenaikan berat badan >5% paling banyak terjadi pada awal pengobatan sampai bulan ke-2 pengobatan DOTS atau pada evaluasi 1 (masa intensif).

6.2. Saran

Penyakit TB merupakan penyakit infeksi yang sangat menular dan memerlukan pengobatan yang intensif. Namun pengobatan TB akan lebih baik lagi apabila tidak hanya dengan pemberian obat dengan program DOTS, tapi juga dipertimbangkan untuk pemberian asupan gizi pada penderita TB.

Petugas BP4 juga sebaiknya melakukan pengukuran tingi badan pasien dalam rekam medis. Hal ini dimaksudkan agar dapat diterapkannya metode penghitungan IMT , dimana yang juga akan berfungsi dalam menentukan status


(49)

gizi dari seorang pasien. Penilaian status gizi dapat digunakan sebagai alternatif untuk menilai keberhasilan pengobatan. Selain karena murah juga relatif mudah diterapkan dalam evaluasi program DOTS di Indonesia, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas program pengobatan TB.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z., Bahar, A., 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II .Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.

Chandra RK, 1996. Nutrition, immunity and infection: From basic knowledge of dietary manipulation of immune responses to practical application of ameliorating suffering and improving survival, Proc Natl Acad Sci USA (XII); 93: 14304-07. Dalam: Usman, S.,2008. Konversi BTA Pada Penderita Paru Kategori I dengan Berat Badan Rendah Dibandingkan Berat Badan Normal yang Mendapakatkan Terapi Intensif. USU e-Repository.

Chan J, Tian Y, Tanak KE., 1996. Effect of Protein Calorie Malnutrition on Tuberculosis in Mice, Proc Natl Acad Sci USA (XII); 93: 14857-61. Dalam: Usman, S.,2008. Konversi BTA Pada Penderita Paru Kategori I dengan Berat Badan Rendah Dibandingkan Berat Badan Normal yang Mendapakatkan Terapi Intensif. USU e-Repository.

Departemen Kesehatan RI, 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI,2010. Pengendalian TB Indonesia Mendekati Target MDG. Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI.Available from:

Diskominfo, 2010. Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara. Available from:

[Accesed 27

November 2010].

Dodor, EA, 2008. Evaluation of Nutritional Status of New Tuberculosis Patients at the Effia-Nkwanta Regional Hospital. Ghana Med J 42 (1): 22-28.

Dorland, W.A. Newman, 2000. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC

Girsang, M.,2002. Pengobatan Standar Penderita TBC, Cermin Dunia Kedokteran, 137: 5-7.

Herman, N., Aditama, TY., dan Ikhsan, M., 2008. Perbandingan Hasil Akhir Pengobatan Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dengan


(51)

Kombipak pada Pengobatan Tuberkulosis Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas Kecamatan Jatinegara, Pulogadung dan Matraman Jakarta Timur. J Respir Indo 28 (3): 145- 154.

Khan, A., Sterling, T.R., Reves, R., Vernon, A., Horsburgh C, R., and Tuberculosis Trails Consortium, 2006. Lack of Weight Gain and Relapse Risk in a Large Tuberculosis Treatment Trial. Am J Respir Crit Care Med 174: 344-48. Leitch, AG., 2000. Tuberculosis: Pathogenesis, Epidemiology and Prevention. In: Seaton,A., Seaton, D., Leitch, G., editors. Crofton and Doughlas’s RespiratoryDiseases. 5th ed. London: Blackwell Science Ltd: 476-9. Dalam: Usman, S.,2008. Konversi BTA Pada Penderita Paru Kategori I dengan Berat Badan Rendah Dibandingkan Berat Badan Normal yang Mendapakatkan Terapi Intensif. USU e-Repository.

Linder, MC., 1991. Nutritional biochemistry and metabolism with clinical applications. UK: Prentice Hall Int: 87-108. Dalam: Usman, S.,2008. Konversi BTA Pada Penderita Paru Kategori I dengan Berat Badan Rendah Dibandingkan Berat Badan Normal yang Mendapakatkan Terapi Intensif. USU e-Repository. Mambo ,2010. Survei Prevalensi Tuberkulosis (SPTBC) 2004. Available from:

Mariono, S., 2003. Nutrisi untuk Pasien Paru di Rumah Sakit dan Rawat Jalan, Respina V. Dalam: Usman, S.,2008. Konversi BTA Pada Penderita Paru Kategori I dengan Berat Badan Rendah Dibandingkan Berat Badan Normal yang Mendapakatkan Terapi Intensif. USU e-Repository.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:Indah Offset Citra Grafika.

Permatasari, A., 2005. Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi DOTS. USU e- Repository.

Sastroasmoro, S., Ismael, S., 2010. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta : CV Sagung Seto.

Triwanti, Fakhrurrozi M., Waspada C.,2005. Perubahan Indeks Massa Tubuh Penderita Tuberkulosis Paru Setelah Mendapat Obat AntiTuberkulosis Fase Intensif. Berita Kedokteran Masyarakat XII : 117- 123.


(52)

Vasantha M, Gopi P G, Subramani R., 2008. Weight Gain in Patients With Tuberculosis Treated Under Directly Observed Treatment Short- Course (DOTS). Indian J Tubrc 2009, (56): 5-9.


(1)

berat badan > 5% paling banyak ditemukan pada evaluasi 1 yaitu 26,5% dari 68 orang pasien TB. Menurut Khan (2008), pasien TB yang memiliki berat badan yang rendah saat diagnosis, kemudian mengalami kenaikan berat badan sebesar ≤ 5%, selama dua bulan pertama pengobatan (terapi masa intensif) memiliki peningkatan risiko kekambuhan penyakit secara signifikan. Namun pada penelitian ini terdapat keterbatasan dimana peneliti tidak dapat menentukan staus gizi dari pasien TB tersebut, hal ini diakibatkan karena tidak lengkapnya informasi mengenai tinggi badan pasien pada instrumen rekam medik. Sedangkan tinggi badan menjadi hal yang penting untuk menentukan indeks masa tubuh seseorang, yang nantinya dapat dijadikan pedoman dalam menentukan status gizi seseorang.


(2)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Sebagian besar pasien TB di BP4 Medan berumur antara 17-29 tahun (61,8%).

2. Berdasarkan jenis kelamin didapatkan pasien TB lebih banyak berjenis kelamin pria (63,2%) daripada wanita (36,2%).

3. Untuk karateristik berdasarkan agama, agama Islam (51,5%) dan Kristen (48,5%) merupakan mayoritas pasien TB di BP4 Medan.

4. Untuk karateristik berdasarkan suku, didapatkan pasien TB di BP4 Medan paling banyak adalah suku Batak (67,6%).

5. Rentang berat badan pasien TB selama pengobatan DOTS yang paling banyak adalah >40-55 kg.

6. Gambaran perubahan berat badan yang paling banyak terjadi selama pengobatan DOTS adalah peningkatan berat badan.

7. Rata-rata rentang kenaikan berat badan pasien TB setiap evaluasi per 2 bulan pengobatan DOTS adalah 1-5 kg.

8. Pasien TB lebih banyak mengalami kenaikan berat badan ≤ 5% selama pengobatan DOTS. Sedangkan kenaikan berat badan >5% paling banyak terjadi pada awal pengobatan sampai bulan ke-2 pengobatan DOTS atau pada evaluasi 1 (masa intensif).

6.2. Saran

Penyakit TB merupakan penyakit infeksi yang sangat menular dan memerlukan pengobatan yang intensif. Namun pengobatan TB akan lebih baik lagi apabila tidak hanya dengan pemberian obat dengan program DOTS, tapi juga dipertimbangkan untuk pemberian asupan gizi pada penderita TB.

Petugas BP4 juga sebaiknya melakukan pengukuran tingi badan pasien dalam rekam medis. Hal ini dimaksudkan agar dapat diterapkannya metode


(3)

gizi dari seorang pasien. Penilaian status gizi dapat digunakan sebagai alternatif untuk menilai keberhasilan pengobatan. Selain karena murah juga relatif mudah diterapkan dalam evaluasi program DOTS di Indonesia, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas program pengobatan TB.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z., Bahar, A., 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II .Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.

Chandra RK, 1996. Nutrition, immunity and infection: From basic knowledge of dietary manipulation of immune responses to practical application of ameliorating suffering and improving survival, Proc Natl Acad Sci USA (XII); 93: 14304-07. Dalam: Usman, S.,2008. Konversi BTA Pada Penderita Paru Kategori I dengan Berat Badan Rendah Dibandingkan Berat Badan Normal yang Mendapakatkan Terapi Intensif. USU e-Repository.

Chan J, Tian Y, Tanak KE., 1996. Effect of Protein Calorie Malnutrition on Tuberculosis in Mice, Proc Natl Acad Sci USA (XII); 93: 14857-61. Dalam: Usman, S.,2008. Konversi BTA Pada Penderita Paru Kategori I dengan Berat Badan Rendah Dibandingkan Berat Badan Normal yang Mendapakatkan Terapi Intensif. USU e-Repository.

Departemen Kesehatan RI, 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI,2010. Pengendalian TB Indonesia Mendekati Target MDG. Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI.Available from:

Diskominfo, 2010. Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara. Available from:

[Accesed 27

November 2010].

Dodor, EA, 2008. Evaluation of Nutritional Status of New Tuberculosis Patients at the Effia-Nkwanta Regional Hospital. Ghana Med J 42 (1): 22-28.

Dorland, W.A. Newman, 2000. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC

Girsang, M.,2002. Pengobatan Standar Penderita TBC, Cermin Dunia Kedokteran, 137: 5-7.


(5)

Kombipak pada Pengobatan Tuberkulosis Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas Kecamatan Jatinegara, Pulogadung dan Matraman Jakarta Timur. J Respir Indo 28 (3): 145- 154.

Khan, A., Sterling, T.R., Reves, R., Vernon, A., Horsburgh C, R., and Tuberculosis Trails Consortium, 2006. Lack of Weight Gain and Relapse Risk in a Large Tuberculosis Treatment Trial. Am J Respir Crit Care Med 174: 344-48. Leitch, AG., 2000. Tuberculosis: Pathogenesis, Epidemiology and Prevention. In: Seaton,A., Seaton, D., Leitch, G., editors. Crofton and Doughlas’s RespiratoryDiseases. 5th ed. London: Blackwell Science Ltd: 476-9. Dalam: Usman, S.,2008. Konversi BTA Pada Penderita Paru Kategori I dengan Berat Badan Rendah Dibandingkan Berat Badan Normal yang Mendapakatkan Terapi Intensif. USU e-Repository.

Linder, MC., 1991. Nutritional biochemistry and metabolism with clinical applications. UK: Prentice Hall Int: 87-108. Dalam: Usman, S.,2008. Konversi BTA Pada Penderita Paru Kategori I dengan Berat Badan Rendah Dibandingkan Berat Badan Normal yang Mendapakatkan Terapi Intensif. USU e-Repository. Mambo ,2010. Survei Prevalensi Tuberkulosis (SPTBC) 2004. Available from:

Mariono, S., 2003. Nutrisi untuk Pasien Paru di Rumah Sakit dan Rawat Jalan, Respina V. Dalam: Usman, S.,2008. Konversi BTA Pada Penderita Paru Kategori I dengan Berat Badan Rendah Dibandingkan Berat Badan Normal yang Mendapakatkan Terapi Intensif. USU e-Repository.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:Indah Offset Citra Grafika.

Permatasari, A., 2005. Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi DOTS. USU e- Repository.

Sastroasmoro, S., Ismael, S., 2010. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta : CV Sagung Seto.

Triwanti, Fakhrurrozi M., Waspada C.,2005. Perubahan Indeks Massa Tubuh Penderita Tuberkulosis Paru Setelah Mendapat Obat AntiTuberkulosis Fase Intensif. Berita Kedokteran Masyarakat XII : 117- 123.


(6)

Vasantha M, Gopi P G, Subramani R., 2008. Weight Gain in Patients With Tuberculosis Treated Under Directly Observed Treatment Short- Course (DOTS). Indian J Tubrc 2009, (56): 5-9.