27 perbuatan ini akan dilakukan pada
masa depan, ditandai dengan kata
nanti kalau
makna pengandaian pada klausa pertama dan
akan
makna belum dilakukan pada klausa kedua. Kata-kata tersebut
termasuk ke
dalam kategori
gramatikal.
2. Aspek atau Sou
1.
Katsuyougobi
a.
masu ru kei
4
今夜 十
時
う
婆
あ
ア ニ
あ
神 乗
移
う
1987: 204
‘Malam ini pun pada pukul dua belas, si nenek akan
merasukkan dewa Agni ke
dalam tubuh saya.’ 2013: 172
Kalimat 4
menyatakan peristiwa yang akan terjadi pada
masa mendatang.
kalimat ini
sepertinya bisa dimasukkan ke dalam kategori
kala mendatang,
tapi melihat dari keadaan atau situasi
kalimat yang menyatakan proses perbuatan
yang berulang-ulang
dilakukan oleh pelaku nenek sihir dengan merasukkan dewa Agni
kepada si pembicara, maka kalimat ini tergolong dalam aspek. Adapun
penanda kohesi yang mempertegas bahwa proses perbuatan ini terjadi
berulang-ulang dan
memerlukan waktu tertentu untuk melakukan
ritual, yakni tiga kategori leksikal seperti keterangan waktu
konya
‘malam ini’, 12
ji
’jam 12’, dan
mata
‘lagi’. Kemudian kohesi gramatikal berupa partikel
mo
‘pun’ dan sufiks –
masu
atau –
ru
yang melekat pada verba
utsuru
‘merasukkan’. Begitu juga
sebaliknya, dalam
bahasa Indonesia juga ditandai dengan
kohesi leksikal
malam ini,
dan
jam 12.
Lalu, kohesi gramatikalnya yakni kata
lagi
dan
pun
.
b.
mashita ru kei
5
ア メ 人
う 言
い
い 新
あ
い見タバ巻煙草 火
1987: 196 ‘Sambil berkata demikian,
orang Amerika
itu menyalakan rokok linting
barunya.’ 2013: 164 Kalimat
5 menyatakan
perbuatan yang
telah selesai
dilakukan oleh orang Amerika kala lampau. Akan tetapi, apabila dilihat
dari proses sebelum ia menyalakan rokok
linting, si
pembicara
28 mendahuluinya dengan perbuatan
berkata sesuatu kepada nenek sihir India. Dengan demikian, ada proses
kegiatan lain
yakni perbuatan
berbicara yang kemudian diselingi dengan perbuatan menyalakan rokok
linting baru. Dalam kalimat bahasa Jepang,
proses perbuatan
mencapai ketercapaian ditandai dengan sufiks
–
mashita
yang melekat pada verba
tsukeru
‘menyalakan’ yang
merupakan kategori
gramatikal berkonjugasi,
sebaliknya dalam
bahasa Indonesia,
ketercapaian perbuatan tidak ditunjukkan melalui
penanda kohesi leksikal, misalnya keterangan
waktu. Selanjutnya,
proses perbuatan berbincang yang memerlukan waktu ditandai dengan
sufiks –
nagara
sebagai kategori gramatikal
berkonjugasi, namun
dalam bahasa
Indonesia sufiks
tersebut berubah menjadi kategori gramatikal tak berkonjugasimenjadi
konjungsi. c.
naru
6
婆
あ
百 弗 小切手
見 急
う
愛想
あ い
1987: 197 ‘Begitu melihat cek tiga
ratus dolar, serta-merta saja sikap si nenek menjadi
ramah.’ 2013: 165 Kalimat
6 menyatakan
perbuatan yang
sudah terjadi.
Perbuatan yang diwujudkan dengan tingkah laku ramah si nenek setelah
ia menerima cek 300 dolar. Walau demikian, ketercapaian perbuatan
tersebut diawali
oleh proses
disodorkannya cek sebesar tiga ratus dolar oleh orang Amerika. Seketika
saja, setelah itu ia berubah menjadi ramah.
Adapun penanda
kohesi gramatikal bahasa Jepang yang
menandakan bahwa kejadian final pada klausa kedua berawal dari
proses, ditunjukkan oleh sufiks -
ru to
yang melekat pada verba
miru
‘melihat’, yang memiliki makna bahwa
setelah kegiatan
satu dilakukan, secara otomatis akan
segera menimbulkan perbuatan lain. Dalam bahasa Indonesia, sufiks ini
berubah menjadi kata utuh berupa adverbia
begitu
. Selanjutnya, pada klausa kedua, terdapat kategori
adverbia dengan kata
kyuu ni
‘serta- merta’ dan
yoku
yang bisa
diterjemahkan
dengan baik.
Kedua
29 kata dalam bahasa Jepang ini dalam
bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai adverbia yang terwujud
dalam kata penuh atau
jiritsugo.
Dengan demikian,
kehadiran adverbia ini menambah kejelasan
keadaan sikap si nenek yang menjadi ramah.
2. a.
te iru
7
見え い
所 唇
帰
え
人 馬鹿
う 微笑
う
え 浮
う
い
1987: 202 ‘Jangankan merasa takut,
bahkan dia
menyunggingkan senyum
yang seolah melecehkan.’ 2013: 169
Kalimat 7 menyatakan keadaan atau situasi sikap si nenek. Dalam
konteks kalimat sebelumnya, ia menyunggingkan senyum kepada
Endo yang
sebelumnya telah
mengancamnya dengan pistol agar bersedia
menyerahkan Taeko.
Adapun penanda kategori gramatikal yang menyatakan keadaan atau
situasi itu masih bisa diamati keadaannya nampak dari sufiks
–
te iru
yang melekat pada verba
ukaberu
‘mengapung’ yang diterjemahkan menjadi
melecehkan tidak
memedulikan. Jadi, dipaksa dengan cara demikian, si nenek tidak
menggubris atau pun gentar. Di samping itu partikel
–
sae
yang menyatakan ketidak-percayaan si
pembicara terhadap lawan bicaranya si nenek turut menjadi faktor masih
membekasnya keadaan itu terhadap diri si penutur. Dalam bahasa
Indonesia, penggambaran
situasi yang
masih bisa
dirasakan dampaknya seperti
–
te iru
tidak ditemukan, namun penggambaran
keadaan ketidak-percayaan
pembicara seperti partikel –
sae
masih bisa diterjemahkan menjadi konjungsi
jangankan...bahkan
. b.
te
+
imashita
8
婆
あ
疑
う
わ う
日 人
様子
う
窺
う
い
1987: 201 ‘Si nenek semakin terlihat
curiga, terus-menerus
memperhatikan tindak-
tanduk orang Jepang itu.’ 2013: 169
Kalimat 8
menyatakan keadaan yang sudah terjadi, namun
masih memandang bagaimana proses kejadian tersebut hingga mencapai
ketercapaian. Adapun
proses kejadian yang dijadikan tinjauan
adalah sikap curiga si nenek yang ia
30 wujudkan
dalam perbuatan
memperhatikan terus-menerus
tingkah laku Endo, orang Jepang tersebut. Lalu, secara gramatikal,
ketercapaian perbuatan
ditandai dengan
sufiks –
imashita
yang melekat
pada verba
ukagau
‘memperhatikan’. Dalam terjemahan bahasa Indonesia, tidak ditemukan
penanda aspek ketercapaian dalam kejadian tersebut.
c.
te
+
kuru
9
見 あ
礼
い
え 碌 い人
多 来
1987: 197 ‘Akhir-akhir ini, meski
saya sudah meramalkan, banyak orang yang tidak
membalas kemurahan hati dengan semestinya.’ 2013:
165
Kalimat 9
merupakan ujaran si nenek yang ditujukan pada
orang Amerika
yang ingin
diramalnya. Kalimat ini menyatakan makna
proses hilangnya
penghormatan para pelanggannya yang
tidak membalas
budi sewajarnya kepada si nenek setelah
mereka diramal olehnya. Secara gramatikal, kategori gramatikal yang
menandainya ditandai dengan sufiks –
te kuru
yang menyatakan demikian. Dalam terjemahan bahasa Indonesia,
tidak diketahui secara pasti penanda kategori leksikal atau gramatikal
yang menyatakan proses hilangnya sesuatu, namun bila melihat dari
konteks kalimatnya, bisa segera dipahami bahwa si nenek memang
tengah merasakan hal demikian.
c.
te
+
shimau
10
… 階
い
窓 顔
出 支那人
女 子
一目見
い
保 気
う 立
い
1987: 199 ‘Begitu melihat wajah
anak perempuan
yang muncul di jendela lantai
dua, dia terhenti berjalan dan bengong terpana.’
2013: 167
Kalimat 10menggambarkan ketuntasan perbuatan yang dilakukan
oleh tokoh aku Endo, karena telah melihat
anak perempuan
yang muncul di lantai dua. Ketuntasan
tersebut ia
tampilkan dalam
perbuatan berhenti sejenak dan bengong menatap gadis itu. Adapun
penanda kategori
gramatikalnya adalah sufiks
–
te shimaimashita
yang
31 memiliki makna dilangsungkannya
kejadian hingga
tuntas. Lalu,
akhiran-
mashita
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut telah usai.
Dalam bahasa Indonesia, penanda yang menunjukkan ketuntasan belum
diketahui secara pasti apakah kata
terpana
, lalu tidak ditemukan pula penanda leksikal yang menyatakan
bahwa kejadian tersebut telah usai. 3. a.
renyoukei
+
dasu
11
う 婆
あ
部屋 戸
力 い
い 叩 出
1987: 200 ‘Lalu dengan sekuat tenaga
dia mengetuk pintu kamar si nenek.’ 2013: 168
Kalimat 11 memiliki makna dimulainya suatu kegiatan atau
perbuatan. Kegiatan atau perbuatan tersebut dilatar-belakangi oleh suatu
penyebab. Adapun konteks kalimat di atas
yakni, Endo berusaha
mengetuk pintu kamar si nenek sekuat tenaga, karena dalam konteks
sebelumnya, dinyatakan bahwa ia mendengar tangisan Taeko yang
sedang disiksa si nenek. Oleh karena itulah, Endo memberanikan diri
melakukan perbuatan
tersebut. Adapun
penanda kategori
gramatikalnya ditandai dengan sufiks -
dashimasita
yang bergabung dengan verba
tataku
‘mengetuk’. Kejadian tersebut juga telah usai. Sebaliknya,
dalam bahasa Indonesia, peristiwa selesainya kejadian tersebut juga
tidak bisa diamati secara jelas karena tidak ada penanda kohesinya. Begitu
pula dengan bentuk perbuatan yang dilakukan, apakah betul-betul baru
dimulai atau tidak, juga tidak diketahui secara pasti.
b.
renyoukei
+
ageru
12
い い
色
い
失
う
う 一度婆
い あ
顔 見
あ
1987: 199
‘Wajah E Ren semakin memucat, dan sekali lagi
dia menatap wajah si
nenek.’ 2013: 167 Kalimat
12 menyatakan
perbuatan yang
dilakukan oleh
seseorang untuk orang lain. Pada konteks kalimat 12, perbuatan yang
dilakukan E Ren Taeko kepada si nenek
adalah dengan
menatap wajahnya. Ia melakukan demikian,
oleh karena ia merasa tertekan dan tersiksa oleh perilaku si nenek.
Adapun wujud penanda gramatikal yang menyatakan makna demikian,
32 ditandai dengan sufiks
–
agemashita
. Secara gramatikal, dalam bahasa
Indonesia, tidak ditandai bentuk kohesi yang menunjukkan perbuatan
memberi yang dilakukan seseorang kepada orang lain, melainkan harus
dipahami dulu konteks kalimatnya.
c.
renyoukei
+
hajimeru
13
誰 外
来 見 え
戸 叩
音 突然粗々
あ あ
聞え始
1987: 199 ‘Tepat pada saat itu,
tampaknya ada seseorang yang datang, terdengar
ketukan yang keras di
pintu.’ 2013: 167 Kalimat 13 memiliki makna
yang hampir sama dengan kalimat 10 yakni menyatakan dimulainya
suatu kegiatan. Pada konteks kalimat ini, dimulainya suatu bentuk kegiatan
atau perbuatan
ditandai oleh
didengarnya ketukan pintu oleh si nenek dalam konteks sebelumnya
disebut. Perbuatan tersebut menjadi latar belakang sikap dan perbuatan si
nenek lainnya yang mulai curiga terhadap orang yang tiba-tiba datang
ini Endo. Dalam bahasa Jepang, penanda gramatikal yang menandai
dimulainya suatu perbuatan dalam kalimat ini ditandai dengan sufiks
–
hajimeru
dan diikut-lekati oleh sufiks
–
mashita
yang menandakan bahwa peristiwa ini telah usai.
Sebaliknya, dalam
terjemahan bahasa Indonesia, tidak diketahui
secara pasti penanda kohesi yang menunjukkan kapan perbuatan itu
dimulai, dan kapan perbuatan itu berakhir.
D. Kesimpulan