mm agar minyak yang dihasilkan tidak banyak kotor. Celah antara sliding cone dan press cage dibatasi maksimum 6 mm agar kehilangan minyak yang terbawa oleh
ampas bisa ditekan serendah mungkin. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul :
ANALISA PERSENTASE KEHILANGAN MINYAK KELAPA SAWIT YANG TERDAPAT PADA AMPAS PRESS DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II
PAGAR MERBAU.
1.2. Permasalahan
Yang menjadi pokok permasalahan dalam hal ini adalah sering dijumpai kadar minyak CPO Crude Palm Oil yang cukup tinggi pada ampas press di PT.
Perkebunan Nusantara II Pagar Merbau.
1.3. Tujuan
- Untuk mengetahui berapa besarnya persentase kehilangan minyak sawit yang terdapat pada ampas press.
- Untuk mengetahui kondisi optimum yang baik pada screw press.
1.4. Manfaat
Dengan dilakukannya analisa pada ampas press maka dapat diketahui besarnya persentase kehilangan minyak sawit yang terdapat pada ampas press tersebut dan cara
mengatasi kehilangan minyak sawit yang terdapat pada ampas press tersebut agar persentase kehilangan minyak tersebut dapat dikurangi.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Kelapa Sawit
Kelapa sawit Elaeis guineensis merupakan tumbuhan tropis yang diperkirakan berasal dari Nigeria Afrika Barat karena pertama kali ditemukan di
hutan belantara negara tersebut. Kelapa sawit pertama masuk ke Indonesia pada tahun 1848, dibawa dari Mauritius dan Amsterdam oleh seorang warga Belanda. Bibit
kelapa sawit yang berasal dari kedua tempat tersebut masing-masing berjumlah dua batang dan pada tahun itu juga ditanam di Kebun Raya Bogor. Hingga saat ini, dua
dari empat pohon tersebut masih hidup dan diyakini sebagai nenek moyang kelapa sawit yang ada di Asia Tenggara. Sebagian keturunan kelapa sawit dari Kebun Raya
Bogor tersebut telah diintroduksi ke Deli Serdang Sumatera Utara sehingga dinamakan varietas Deli Dura.
Perkebunan kelapa sawit komersial pertama di Indonesia mulai diusahakan pada tahun 1911 di Aceh dan Sumatra Utara oleh Adrien Hallet, seorang berkebangsaan Belgia.
Luas kebun kelapa sawit terus bertambah, dari 1.272 hektar pada tahun 1916 menjadi 92.307 hektar pada tahun 1938.
Ekspor minyak kelapa sawit dari Sumatera pertama kali dilakukan pada tahun 1919 dengan volume 576 ton dan dilanjutkan pada tahun 1923 dengan volume
850 ton. Sebagian areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera pada mulanya dimiliki oleh masyarakat secara perorangan, namun dalam perkembangannya, kepemilikan
perkebunan ini digantikan oleh perusahaan-perusahaan asing dari Eropa. Pada tahun
Universitas Sumatera Utara
1957, pemerintah Republik Indonesia menasionalisasikan seluruh perkebunan milik asing dan selanjutnya menjadi perusahaan perkebunan milik negara. Perkebunan
kelapa sawit di Indonesia terus mengalami perkembangan, meskipun dalam perjalanannya juga mengalami pasang surut.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan sektor penghasil devisa Negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai pada tahun 1980, luas lahan mencapai 294.560 Ha
dengan produksi CPO Crude Palm Oil sebesar 721.172 ton. Sejak itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat.
Hal ini didukung oleh kebijakan Pemerintah yang melaksanakan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan PIR-BUN. Fauzi, 2004.
2.2. Minyak Kelapa Sawit