Aliran Kepercayaan di Indonesia

2. Aliran Kepercayaan di Indonesia

Wilhelm Wundt menjelaskan bahwa pada mulanya datang kepercayaan tentang magi, iblis, dan lainnya. Pada tahap evolusi berikutnya, yakni pada abad Totem, mulai munculnya agama dalam bentuk pemujaan binatang. Lama-kelamaan totem mulai susut, lalu objek pemujaan diganti dengan manusia. Pemujaan beralih menjadi pemujaan terhadap nenek moyang hingga akhirnya ada pengkultusan terhadap pahlawan, dan pengkultusan dewa-dewi.

Aliran kepercayaan yang berkembang di Indonesia adalah Budi Setia (didirikan oleh kaum priayi), Sumarah (didominasi oleh kaum priayi), Kawruh Baja, Ilmu Sejati, Kawruh kasunyatan, Sunda wiwitan (tersisa pada etnis Baduy di Kanekes, Banten), Buhun Jawa Barat, Sumber: Indonesian Heritage: Agama dan Parmalim (agama asli Batak), Kaharingan Kalimantan, Tonaas Walian

Upacara, halaman 85

Minahasa Sulut, Tolottang, Wetu telu, dan Naurus (P. Seram Maluku). Gambar 2.8 Naga Bayan dipercaya penganut Wetu Telu.

Wetu telu berarti tiga waktu. Wetu telu adalah agama Islam yang mengalami sinkretisme dengan Hindu Bali, kejawen, dan kepercayaan kepada leluhur. Kamu dapat menemui orang-orang yang beragama Islam seperti itu terutama di bagian utara dan selatan Pulau Lombok. Bagaimana sampai terjadi percampuran seperti itu? Latar belakang proses percampurannya adalah pada waktu itu, ada sejenis agama Islam (keras) berkembang di kalangan orang kaya. Tokoh di balik perkembangan itu adalah para mahasiswa yang belajar pada kurun waktu tertentu di sekolah- sekolah agama ortodoks. Mereka inilah yang mempelajari dasar-dasar keislaman dengan menafsirkan ayat-ayat untuk disesuaikan dengan tradisi ortodoks yang telah mapan.

Dalam kepercayaan ini, peran leluhur begitu menonjol. Mereka memercayai kehidupan yang senantiasa mengalir dengan unsur sangat kuat yang disebut jiwa yang dapat dibangkitkan. Seseorang yang hidup jiwanya selalu berada di dalam tubuh. Jiwa dapat meninggalkan tubuh (pada saat tidur) tetapi selalu kembali ke tubuh orang tersebut. Baru setelah mati, jiwa meninggalkan tubuh, tetapi selalu hidup dan dapat mengembara ke mana-mana. Nah, supaya jiwa itu tenteram dan tidak membahayakan manusia, maka dilakukanlah upacara-upacara. Pada saat itulah, orang yang mati diubah menjadi leluhur.

Bagi orang-orang Lombok yang menganut wetu telu, kematian tidak berarti perpisahan. Jiwa orang mati mungkin pergi ke alam lain tetapi tetap dapat kembali sewaktu-waktu. Oleh karena itu, mereka dapat memengaruhi kehidupan keturunannya yang masih hidup. Para penganut wetu telu dapat memanggil dan meminta bantuan arwah para leluhurnya dengan suatu perayaan. Lihatlah gambar di samping. Itulah upacara tumbuk padi yang dilakukan untuk persiapan perayaan.

Orang Islam penganut wetu telu di Lombok Utara memiliki pusat tempat suci yang disebut dengan Masjid Bayan. Ciri-ciri masjidnya sebagai berikut. a. Memiliki beduk yang besar.

b. Terdapat patung naga yang disebut dengan naga Bayan. c. Terdapat patung burung dari kayu di atas mimbar induk. d. Tidak pernah melaksanakan khotbah hari Jumat. e. Para jemaah wetu telu hanya mengunjungi jika mereka ingin mempersembahkan makanan kepada kiai pada perayaan tertentu.

Agama dan Perilaku Keagamaan Agama dan Perilaku Keagamaan

Berbeda dengan umat Islam umumnya yang mengadakan perayaan meriah pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, maka wetu telu melaksanakan perayaan meriah pada saat Maulud Nabi. Pada saat itu, kamu akan melihat masjid wetu telu dihiasi dengan umbul-umbul dan kain. Pada waktu malam, para kiai bertemu untuk makan bersama. Ketika Ramadan tiba, semua kiai bertemu setiap malam untuk berdoa, dan buka puasa bersama hanya dilakukan pada akhir bulan puasa sekaligus juga dilakukan khotbah. Selain itu, para kiai wetu telu juga akan bertemu di Masjid Bayan jika di Lombok Utara terjadi bencana alam. Mereka melaksanakan upacara lohor jariang jumat. Upacara diakhiri khotbah khas Bayan dengan menggunakan bahasa daerah.

Para penganut wetu telu dapat menjelaskan bagaimana Islam diterima di Lombok, serta bagaimana waktu lima dan wetu telu dapat dibedakan dengan menggunakan naskah lontar. Memang, hingga kini masyarakat Lombok ada yang melakukan sembahyang hanya tiga kali sehari. Hal ini berbeda dengan orang muslim yang melaksanakan salat lima waktu dalam sehari. Oleh karena itu, wetu telu dapat disebut sebagai suatu sekte yang berpegang pada kebiasaan tradisional (adat) dan syariah.

Hampir seluruh negara-negara di dunia, mengenal dan menganut agama. Sebutkanlah agama-agama yang terbanyak dianut di negara-negara di Asia Tenggara (sebutkan agama terbesar pada setiap negara).