PENDAHULUAN Refleksi Fonem Proto Austronesia dalam Bahasa Aceh dan Bahasa Melayu Dialek Langkat

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah Pada dasarnya perubahan bahasa merupakan suatu fenomena yang bersifat semesta dan universal. Perubahan bahasa sebagai fenomena yang bersifat umum dapat dilihat dari perubahan bunyi pada tataran fonologi yang merupakan tataran kebahasaan yang sangat mendasar dan penting dalam rangka telaah dibidang linguistik historis komparatif Fernandez, 1996. Kemudian, perubahan bahasa lainnya yang tidak kalah menarik adalah hubungan kekerabatan bahasa yang dilihat dari aspek historisnya. Linguistik historis komparatif adalah cabang ilmu lingusitik yang memiliki tugas utama diantaranya menetapkan fakta dan tingkat kekerabatan antarbahasa yang berkaitan erat dengan pengelompokan bahasa-bahasa yang berkerabat. Bahasa-bahasa sekerabat yang termasuk dalam anggota suatu kelompok bahasa pada dasarnya memiliki sejarah perkembangan yang sama. Sesuai dengan tugas utama tersebut, lingusitik historis komparatif memiliki kewenangan dalam mengkaji relasi historis kekerabatan diantara sekelompok bahasa tertentu Antilla, 1972 dalam Masrukhi, 2002. Kajian linguistik historis komparatif terhadap bahasa-bahasa Austronesia telah banyak diteliti oleh para pakar bahasa. Rumpun bahasa Austronesia dikaji dengan menggunakan metode perbandingan bahasa untuk menemukan kata-kata yang Universitas Sumatera Utara seasal kognat, yaitu kata-kata yang mirip dalam bunyi dan makna serta dapat ditunjukkan bahwa kata-kata tersebut berasal dari kata yang sama dari bahasa Proto Austronesia sesuai dengan sebuah aturan yang teratur. Bahasa-bahasa yang termasuk dalam anggota satu kelompok bahasa biasanya mempunyai sejarah perkembangan yang sama. Dengan demikian, setiap bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi sesama penuturnya mempunyai relasi atau hubungan kekerabatan dengan bahasa lainnya baik jauh maupun dekat. Hal ini dapat dibuktikan melalui rekonstruksi unsur- unsur retensi kesamaan atau pemertahanan dan dapat dibuktikan pula melalui inovasi perubahan dari bahasa asalnya yang disebut protobahasa, baik pada tataran fonologi, leksikon maupun gramatikalnya. Perubahan suatu bahasa dari bahasa-bahasa sekerabat dapat dilacak dengan mengembalikan bahasa tersebut kedalam bentuk protobahasanya, dengan cara mengamati perubahan pada tahap yang paling awal, yaitu perubahan bunyi pada tataran fonologisnya. Sehubungan dengan hal tersebut, perhatian para pakar bahasa pada awalnya tertuju pada perangkat kognat ‘kata seasal’ untuk mengetahui hubungan kekerabatan antarbahasa tersebut. Pengamatan melalui perangkat kognat ini bermanfaat untuk merunut relevansi historisnya, dengan cara merumuskan kaidah- kaidah perubahan bunyi bahasa serta korespodensi bunyinya dari bahasa-bahasa sekerabat tersebut, sehingga dapat dilakukan pemilihan leksikon bahasa sekarang yang merupakan lanjutan dari bahasa asalnya atau protobahasanya Dyen dalam Fernandez, 1996. Universitas Sumatera Utara Dalam penelitian ini, protobahasa yang akan dikaji adalah Bahasa Aceh dan Bahasa Melayu yang digunakan masyarakat Langkat. Bahasa Aceh BA dan Bahasa Melayu Dialek Langkat BMDL adalah dua bahasa yang tergolong dalam keluarga Bahasa Austronesia yang dituturkan masyarakat di Pulau Sumatera. Dari penelusuran sejarah dan antropologi dikemukakan bahwa meskipun masyarakat suku Aceh dan suku Melayu Langkat merupakan dua etnis yang tinggal didua kawasan yang berbeda yaitu Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Aceh, tetapi keduanya memiliki persamaan dalam penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedua bahasa tersebut memiliki hubungan kekerabatan bahasa yang dekat. Propinsi Aceh memiliki sekurang-kurangnya sebelas bahasa daerah, yakni bahasa Aceh, bahasa Gayo, bahasa Alas, bahasa Tamiang, bahasa Aneuk Jamee, bahasa Kluet, bahasa Singkil, bahasa Haloban, bahasa Simeulue, bahasa Devayan dan bahasa Sigulai Daud, 2006. Namun dalam penelitian ini, hanya dibatasi pada kajian bahasa Aceh saja. Di antara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di propinsi Aceh, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 dari total penduduk propinsi Aceh Daud, 1997, Daud dan Durie, 1999. Bahasa Aceh digunakan hampir diseluruh kabupatenkota di Aceh . Oleh karena itu, bahasa Aceh memiliki jumlah penutur paling banyak dan mempunyai wilayah sebaran paling luas, sehingga bahasa ini dijadikan lambang identitas daerah dan merupakan bahasa kebanggaan masyarakat Aceh. Daerah Aceh yang sebelumnya Universitas Sumatera Utara pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh 1959-2001, Nanggroe Aceh Darussalam 2001-2009 dan sekarang propinsi Aceh 2009-sekarang adalah salah satu propinsi yang terletak dibagian barat Indonesia Wikipedia, 2010. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala disebelah utara, Samudra Hindia disebelah barat, Selat Malaka disebelah timur, dan Sumatera Utara disebelah tenggara dan selatan. Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat propinsi Aceh. Penutur asli bahasa Aceh adalah masyarakat yang mendiami Kabupaten Aceh Besar, Kota Madya Banda Aceh, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Aceh Jeumpa, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Barat dan Kota Madya Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat dibeberapa wilayah dalam Kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-Tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, didapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar propinsi Aceh, yaitu didaerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia, serta Sydney di Australia Daud, 1997. Kota Lhokseumawe adalah salah satu kotamadya di Propinsi Aceh. Kota ini telah menjadi sebuah kota otonom sejak tanggal 21 Juni 2001 seperti yang tertuang dalam UU No. 2 Tahun 2001 tentang pembentukan Kota Lhokseumawe Bappeda Lhokseumawe. Kota Lhokseumawe terdiri dari empat kecamatan yaitu Kecamatan Universitas Sumatera Utara Muara Satu, Kecamatan Muara Dua, Kecamatan Banda Sakti dan Kecamatan Blang Mangat seluas 181,06 km2 dengan jumlah penduduk 156.478 jiwa Badan Pusat Statistik Lhokseumawe Tahun 2006. Fenomena yang terjadi pada Bahasa Aceh saat ini adalah mulai pudarnya Bahasa Aceh dikalangan remaja. Salah satu gambaran dari kondisi di atas telah dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan di salah satu SMA di kota Lhokseumawe. Di SMA ini layaknya SMA lain di Aceh hampir seluruh siswanya adalah remaja yang berdarah Aceh dan tinggal di Aceh. Sebagian dari mereka mahir berbahasa Aceh dengan baik. Namun, mereka jarang menggunakan Bahasa Aceh, melainkan bahasa Indonesia. Jika ada dari teman mereka yang berbicara dalam Bahasa Aceh mereka tidak segan-segan mengatakan dengan istilah “gak gaul”. Banyak diantara mereka beranggapan bahwa Bahasa Aceh itu ‘kampungan’. Terlebih lagi bagi siswa-siswi di SMA ini dituntut untuk dapat berbahasa Inggris. Hal inilah yang dapat mendeskriminasi bahasa bumi kita sendiri. Kondisi di atas khususnya di kota Lhokseumawe mencerminkan gejala kepunahan Bahasa Aceh sebagai bahasa daerah, karena kelangsungan bahasa daerah ada pada kalangan remaja. Jika kalangan remaja sudah tidak lagi menggunakan Bahasa Aceh, lambat laun bahasa tersebut akan punah. Irwandi Yusuf selaku Gubernur Aceh juga menghimbau rakyat Aceh agar tidak malu berbahasa Aceh harian rakyat aceh, 2007, sebab Bahasa Aceh merupakan salah satu identitas daerah yang perlu dilestarikan. Beliau bahkan menegaskan agar Bahasa Aceh tidak lagi dikatakan sebagai “bahasa daerah Aceh”, Universitas Sumatera Utara melainkan cukup disebut sebagai “Bahasa Aceh” saja, mengingat bahasa tersebut sudah dipakai sejak dulu kala dalam Kerajaan Aceh ketika Aceh masih merupakan sebuah Negara yang berdaulat. Bahasa Melayu adalah sejumlah bahasa yang saling bermiripan yang dituturkan di wilayah Nusantara dan beberapa tempat lain. Sebagai bahasa yang luas pemakaiannya, bahasa ini menjadi bahasa resmi di Brunei, Indonesia sebagai bahasa Indonesia, dan Malaysia juga dikenal sebagai bahasa Malaysia; salah satu bahasa yang diakui di Singapura; dan menjadi bahasa kerja di Timor Leste sebagai bahasa Indonesia. Bahasa Melayu pernah menjadi lingua franca bagi perdagangan dan hubungan politik di Nusantara. Proses migrasi turut memperluas bahasa ini kemudian. Migrasi kemudian juga memperluas pemakaiannya. Selain di negara yang disebut sebelumnya, bahasa Melayu dituturkan pula di Afrika Selatan, Sri Lanka, Thailand selatan, Filipina selatan, Myanmar selatan, sebagian kecil Kamboja, hingga Papua Nugini. Bahasa ini juga dituturkan oleh penduduk Pulau Christmas dan Kepulauan Cocos, yang menjadi bagian Australia Wapedia, 2009. Tulisan-tulisan pertama dalam bahasa Melayu ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Jumlah penutur bahasa Melayu di Indonesia sangat banyak, bahkan dari segi jumlah sebetulnya melampaui jumlah penutur Bahasa Melayu di Malaysia, maupun di Brunei Darussalam. Bahasa Melayu dituturkan mulai sepanjang pantai timur Universitas Sumatera Utara Sumatera, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka-Belitung, hingga pesisir Pulau Kalimantan dan kota Negara, Bali. Bahasa Melayu di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu Dialek Melayu dan Kreol. Dialek Melayu di Indonesia antara lain; dialek Tamiang, Dialek Langkat, Dialek Deli, Dialek Asahan, Dialek Riau, Dialek Riau Daratan, Dialek Anak Dalam, Dialek Jambi, Dialek Bengkulu, Dialek Palembang, Dialek Bangka-Belitung, Dialek Pontianak, Dialek Landak, Dialek Sambas, Dialek Ketapang, Dialek Berau, Dialek Kutai, Dialek Loloan, Dialek Riau Kepulauan dan beberapa kawasan di Riau Daratan dituturkan sama seperti Dialek Johor Wapedia, 2009. Bahasa Melayu mengalami proses Kreolisasi, karena dalam perkembangannya terutama di kawasan-kawasan berpenduduk bukan Melayu dan yang mempunyai bahasa masing-masing, bahasa Melayu mengalami proses pidginisasi dengan berbaurnya berbagai unsur bahasa setempat ke dalam bahasa Melayu dan karena dituturkan oleh anak-anaknya, bentuk dialek Melayu Kreol tersebut antara lain; Dialek Melayu Jakara bahasa Betawi: dituturkan di Jakarta dan sekitarnya, Dialek Melayu Peranakan: banyak dituturkan oleh kalangan orang Tionghoa di pesisir Jawa Timur dan Jawa Tengah, Dialek Melayu Manado bahasa Manado: dipakai sebagai lingua franca di Sulawesi Utara, Dialek Melayu Maluku Utara: dipakai di hampir seluruh Maluku Utara, Dialek Melayu Bacan: dipakai di kawasan pulau Bacan, Maluku Utara, Dialek Melayu Ambon: dipakai sebagai bahasa ibu bagi warga kota Ambon, dan bahasa kedua bagi warga sekitarnya, Dialek Melayu Banda: berbeda dengan Melayu Ambon, dan digunakan di kawasan Kepulauan Banda, Maluku, Universitas Sumatera Utara Dialek Melayu Larantuka : dipakai di kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Dialek Melayu Kupang: menjadi lingua franca di wilayah Kupang dan sebagian Pulau Timor, Dialek Melayu Papua: Papua, Papua Barat, Dialek Melayu Makassar: Sulawesi Selatan Wapedia, 2009 Kabupaten Langkat adalah sebuah kabupaten yang terletak di Sumatra Utara, Indonesia. Ibu kotanya berada di Stabat. Kabupaten ini memiliki wilayah seluas 6.272 km² dan berpenduduk sejumlah 902.986 jiwa pada tahun 2000. Nama Langkat diambil dari nama Kerajaan Langkat yang dulu pernah ada di tempat yang kini merupakan kota kecil bernama Tanjung Pura, sekitar 20 km dari Stabat. Sastrawan terkenal, Amir Hamzah, berasal dari Langkat, bahkan mantan wakil presiden Indonesia, Adam Malik juga pernah menuntut ilmu di sini. Kesultanan Langkat merupakan kerajaan yang dulu memerintah di wilayah Kabupaten Langkat, Sumatra Utara sekarang. Kesultanan Langkat menjadi makmur karena dibukanya perkebunan karet dan ditemukannya cadangan minyak di Pangkalan Brandan. Langkat merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Aceh sampai awal abad ke-19. Pada saat itu raja-raja Langkat meminta perlindungan Kesultanan Siak. Tahun 1850 Aceh mendekati Raja Langkat kembali ke bawah pengaruhnya. Namun pada 1869 Langkat menandatangani perjanjian dengan Belanda, dan Raja Langkat diakui sebagai Sultan pada tahun 1877. Kesultanan Langkat runtuh bersamaan dengan meletusnya Revolusi Sosial tahun 1946. Pada saat itu banyak keluarga kesultanan Langkat yang terbunuh. Salah satunya adalah Tengku Amir Hamzah, penyair Angkatan Pujangga Baru, yang juga pangeran Kesultanan Langkat. Universitas Sumatera Utara Hubungan historis antara Langkat dan Aceh inilah yang membuat penulis tertarik untuk meneliti hubungan kekerabatan antara Bahasa Aceh dan Bahasa Melayu Dialek Langkat, apakah terdapat warisan bersama mengingat Langkat pernah di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh. Atas asumsi tersebut, penulis mencoba melihat sejauh mana hubungan kekerabatan kedua bahasa tersebut dan bagaimana refleksi fonem Proto Austronesia dari kedua bahasa tersebut. 1.2.Batasan Masalah Penelitian Bertolak dari uraian singkat di atas, berikut dirumuskan masalah-masalah penelitian ini. a. Bagaimanakah refleksi vokal proto Austronesia dalam bahasa Aceh dan bahasa Melayu dialek langkat. b. Bagaimanakah refleksi bahasa Aceh dan bahasa Melayu dialek langkat dilihat secara retensi maupun inovasi. 1.3.Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan terutama untuk menemukan fakta dan informasi ikhwal makna kesejarahan dan garis silsalah kekerabatan kedua bahasa tersebut. Adapun tujuan lain dari penelitian ini adalah: a. Mendeskripsikan refleksi vokal proto Austronesia dalam bahasa Aceh dan bahasa Melayu Dialek Langkat Universitas Sumatera Utara b. Mendeskripsikan seberapa jauh refleksi bahasa Aceh dan bahasa Melayu dialek Langkat dilihat secara retensi maupun inovasi. 1.4.Manfaat Penelitian Secara teoritis, manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui tingkat kekerabatan dalam bahasa Aceh dan bahasa Melayu dialek langkat b. Dapat dijadikan sumber acuan bagi para linguis, dan para peneliti terhadap penelitian-penelitian berikutnya c. Dapat memperkaya kajian Linguistik Historis Komparatif, dan linguistik umumnya Sedangkan manfaat yang diharapkan secara praktis adalah: a. Untuk menggugah minat generasi muda untuk mempelajari bahasa daerah guna pelestarian bahasa tersebut. b. Sebagai bahan perbandingan bagi mahasiswa yang melakukan penelitian yang relevan untuk masa yang akan datang 1.5.Klarifikasi Istilah Klarifikasi istilah yang digunakan guna mempermudah pemahaman penelitian ini yaitu istilah Refleksi, pemahaman Proto Austronesia dan sekilas pengetahuan tentang bahasa Aceh dan bahasa Melayu. Ketiga hal tersebut akan dipaparkan di bawah ini secara singkat. Universitas Sumatera Utara Kridalaksana, 2001;186 dalam Budasi 2003 mengatakan refleksi adalah unsur atau bentuk yang dianggap mewakili unsur atau bentuk yang lebih tua yang diketahui dari rekonstruksi; unsur atau bentuk turunan itu sedikit banyaknya mengalami perubahan-perubahan bahasa Proto Austronesia merupakan bahasa yang diduga menjadi asal dari bahasa- bahasa Indonesia bahasa yang tersebar luas di wilayah kepulauan di Asia Tenggara Mbete, 1981. Bahasa Aceh merupakan bagian dari Keluarga Bahasa Malayo-Polinesia. Bahasa ini dituturkan di Nanggröe Aceh Darussalam, dominan di sebagian besar wilayah kecuali di Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Simeulue dan Aceh Tamiang. Bahasa Melayu adalah sejumlah bahasa yang saling bermiripan yang dituturkan di wilayah Nusantara dan beberapa tempat lain. Sebagai bahasa yang luas pemakaiannya, bahasa ini menjadi bahasa resmi di Brunei, Indonesia sebagai bahasa Indonesia, dan Malaysia juga dikenal sebagai bahasa Malaysia; salah satu bahasa yang diakui di Singapura; dan menjadi bahasa kerja di Timor Leste sebagai bahasa Indonesia. Bahasa Melayu pernah menjadi lingua franca bagi perdagangan dan hubungan politik di Nusantara. Migrasi kemudian juga memperluas pemakaiannya. Selain di negara yang disebut sebelumnya, bahasa Melayu dituturkan pula di Afrika Selatan, Sri Lanka, Thailand selatan, Filipina selatan, Myanmar selatan, sebagian kecil Kamboja, hingga Papua Nugini. Bahasa ini juga dituturkan oleh penduduk Universitas Sumatera Utara Pulau Christmas dan Kepulauan Cocos, yang menjadi bagian Australia Wikipedia, 2009. Universitas Sumatera Utara

BAB II KERANGKA TEORETIS