Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengumpulan Data Konseptualisasi Model

3 2 METODE

2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Bogor dalam kurun waktu Desember 2012 sampai dengan Juli 2013. Objek lokasi yang diteliti adalah Provinsi Kalimantan Barat. Sumber : Penafsiran Citra Satelit Landsat 7 ETM+ Provinsi Kalimantan Barat 2009 Gambar 1 Peta Provinsi Kalimantan Barat sebagai objek penelitian 4

2.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data sekunder Statistik Kehutanan yang diperoleh dari Kementerian Kehutanan RI dan Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat. Data tersebut meliputi data penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan. Penelitian ini juga menggunakan hasil penelitian-penelitian terkait sebelumnya yang digunakan sebagai acuan dalam proses pembuatan model seperti model alometrik pendugaan cadangan karbon. Adapun data yang dimaksud meliputi: a. Data Penggunaan Kawasan Hutan antara lain:  Data perubahan fungsi kawasan hutan  Data pelepasan kawasan hutan  Data pinjam pakai kawasan  Data tukar menukar kawasan b. Data Pemanfaatan Kawasan Hutan antara lain :  Perkembangan luas IUPHHK-HA  Perkembangan luas IUPHHK-HT  Perkembangan luas IUPHHK-HTR Alat yang digunakan yaitu seperangkat komputer serta perangkat lunak software untuk mengolah data, yaitu Microsoft Office Excel 2007, STELLA 9.0.2, Curve Expert 1.3 dan Vensim PLE.

2.3 Metode Pengumpulan Data

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja. Metode pengumpulan data menggunakan studi literatur dari laporan-laporan Kementerian Kehutanan RI dan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat.

2.4 Prosedur Pengembangan Model

Pengembangan model pada penelitian ini menggunakan pendekatan analisis sistem. Analisis sistem dapat digunakan untuk melakukan pendekatan terhadap masalah yang secara intuitif terorganisir. Analisis sistem menyaratkan adanya pemahaman terhadap suatu sistem meskipun sedikit. Dengan membuat analogi-analogi untuk memahami suatu sistem. Analisis sistem melakukan pendekatan pemecahan suatu masalah berdasarkan proses. Hal ini membedakan analisis sistem dengan statistika yang lebih mengedepankan kualitas dan kuantitas data yang dimiliki. Pemahaman adanya isomorisme antar beragam sistem menjadikan pemahaman terhadap sesuatu menjadi mungkin, bahkan pada suatu sistem yang kita buta sekali akan perilakunya Purnomo 2004. Pemodelan sistem merupakan salah satu cara untuk menuangkan pemahaman kita terhadap sistem di dunia nyata. Model merupakan bentuk penyederhanaan sistem yang mampu menjelaskan komponen-komponen yang terkait dan interaksi yang terjadi di dalamnya. Pada mulanya model digunakan sebagai alat prediksi, namun untuk memperoleh hasil yang akurat dalam sistem yang kompleks sulit didapatkan. Sekarang model lebih digunakan sebagai tempat 5 belajar untuk memahami proses yang tejadi dalam sistem nyata. Kegunaan model terletak pada efektivitas kita belajar terkait sistem yang ingin dipahami. Analisis sistem adalah pendekatan filosofis dan kumpulan teknik, termasuk simulasi yang dikembangkan secara eksplisit untuk menunjukan masalah yang berkaitan dengan sistem yang kompleks. Analisis sistem menekankan pada pendekatan holistik untuk memecahkan masalah dan menggunakan model matematika untuk mengidentifikasi dan menyimulasikan karakteristik yang penting dari sistem yang kompleks. Untuk pemodelan yang lebih fleksibel dan multiguna, dapat digunakan dengan fase-fase sebagai berikut Purnomo 2004: 2.4.1 Identifikasi Isu, Tujuan, dan Batasan Langkah pertama dalam membangun sebuah model adalah mengidentifikasi isu atau masalah. Hal ini akan menempatkan dimana sebenarnya suatu model perlu dibangun. Membaca berbagai jurnal terkait isu yang akan diangkat merupakan salah satu cara untuk mempertajam pemahaman pentingnya model yang akan kita bangun. Kesalahan dalam mengidentifikasi suatu isu mengakibatkan kesalahan melihat suatu permasalahan secara tepat yang tentu berpengaruh terhadap pemecahan suatu masalah. Semakin kompleks suatu sistem maka semakin rumit masalah yang ditawarkan. Hal ini mengakibatkan solusi yang dicari akan semakin rumit atau solusi tunggal hampir tidak ada. Beragam solusi yang ditawarkan bergantung pada sudut pandang yang diambil. Informasi untuk memecahkan masalah tidak pernah lengkap sehingga tidak akan pernah ada sebuah solusi yang dapat dijamin kebenarannya. Setelah isu ditentukan berikutnya adalah menentukan tujuan pemodelan itu sendiri. Tujuan pemodelan akan menentukan metode pemodelan, ketelitian pemodelan, dan jenis pemodelan itu sendiri. Tujuan pemodelan harus dinyatakan secara eksplisit. Ketersediaan sumberdaya yang ada seperti waktu, dana dan data yang tersedia haruslah menjadi pertimbangan suatu tujuan model. Ketersediaan data harus menjadi pertimbangan agar tujuan pemodelan tidak terlalu tinggi untuk dapat dicapai melalui model yang dibangun. Langkah selanjutnya adalah menentukan batasan dari model. Batasan model menunjukan komponen apa saja yang masuk atau tidak termasuk ke dalam model. Komponen yang tidak termasuk ke dalam pemodelan disebut sebagai “lingkungan”. Batasan dapat berupa batas ruang, waktu, dan isu.

2.4.2 Formulasi Konseptual

Fase ini ditujukan agar orang dapat dengan mudah mengikuti pola pikir yang tertuang pada model, sehingga kerumitan pada model harus dihindari. Model konseptual yang dibuat menggambarkan secara menyeluruh model yang akan dibuat. Fase ini dimulai dengan mengidentifikasi semua komponen yang terlibat dan dimasukan dalam pemodelan. Komponen-komponen tersebut kemudian dicari interrelasinya satu sama lain menggunakan ragam metode seperti diagram kotak dan panah, diagram sebab akibat, diagram stok dan aliran atau diagram sekuens sequence diagram. Perilaku dan hubungan antar komponen antar komponen sebaiknya juga digambarkan pada fase ini. 6

2.4.3 Spesifikasi Model

Pada fase ini dilakukan kuantifikasi model. Jika pada model konseptual, hubungan dua komponen dapat digambarkan dengan anak panah, maka pada fase ini spesifikasi model anak panah tersebut dapat berupa persamaan numerik dengan satuan-satuan yang jelas. Peubah waktu yang dipakai dalam keseluruhan model harus ditetapkan. Komponen-komponen yang terlibat dalam pemodelan, namun kita tidak memahami lebih lanjut harus dikeluarkan dari model. Persamaan-persamaan yang dipakai dalam model harus disebutkan darimana asalnya, apakah berdasarkan suatu rujukan atau hasil kreasi sendiri. Suatu kreasi persamaan bisa dilakukan dengan melakukan regresi dari data yang tersedia atau dugaan yang dapat dipertanggungjawabkan. Fase ini menuntut pengetahuan memadai dalam pemakaian perangkat bantu seperti perangkat lunak software STELLA, VENSIM, POWERSIM, SIMILE, CORMAS, dan lain-lain. Dalam fase ini, pemrograman dilakukan. Fase ini dilakukan dari yang sederhana dan memastikan bahwa persamaan dan pemrogramannya benar. Bila terdapat kesalahan dalam model yang sederhana ini, maka yang lebih rumit pun pasti salah.

2.4.4 Evaluasi Model

Evaluasi model dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan membandingkannya dengan dunia nyata. Setiap model diamati apakah relasi-relasi yang ada logis atau tidak. Setelah setiap bagian model diamati dan dianggap logis, maka perlu diamati bagaimana hubungan antar bagian tersebut untuk menjadi model yang utuh. Jika keseluruhan model sudah logis, tahap pertama dari fase evaluasi model dapat diselesaikan. Model dikatakan logis berarti ada penalaran yang memadai dari relasi-relasi tersebut. Logis bukan berarti bahwa semua persamaan sesuai dengan apa yang dipercayai orang atau dengan kata lain sesuai dengan paradigma yang ada. Setiap model harus memiliki keberanian untuk berbeda dengan paradigma yang ada karena pada awalnya pemodelan sistem adalah suatu paradigma baru yang berlawanan arah dengan paradigma lama yang cenderung spesialisasi berlebihan pada setiap bidang ilmu pengetahuan. Tahap kedua adalah mengamati apakah perilaku model sesuai dengan harapan atau perkiraan yang digambarkan pada fase konseptualisasi model. Tahap ketiga evaluasi adalah membandingkan antara perilaku model dengan data yang didapat dari sistem atau dunia nyata. Misalnya model harus dapat dieksekusi pada rentang waktu batasan model. Kesesuaian model dengan dunia nyata adalah penting, tetapi lebih penting adalah bagaimana model tersebut bisa dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemodelan yang dilakukan. 2.4.5 Penggunaan Model Pada tahap ini model yang telah dikembangkan diaplikasikan pada skenario-skenario yang telah ditentukan melalui simulasi skenario yang telah dibuat. Hasil simulasi tersebut kemudian dikerucutkan pada skenario yang memenuhi tujuan pemodelan. 7 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini disajikan sesuai dengan fase-fase pemodelan dinamika sistem yang dilakukan. 3.1 Identifikasi isu, tujuan, dan batasan 3.1.1 Identifikasi isu Kalimantan Barat merupakan provinsi terluas nomor empat di Indonesia dengan luas mencapai 14 680 700 Ha. Dari luas tersebut, Pemerintah melalui SK Menteri Kehutanan nomor. 259Kpts-II2000 tanggal 23 Agustus 2000 menetapkan luas kawasan hutan sebesar 9 178 760 Ha atau 62.52 dari luas Kalimantan Barat pengelolaannya berada di bawah pengawasan Kementerian Kehutanan. Kondisi ini mengakibatkan Provinsi Kalimantan Barat memiliki potensi yang besar untuk ikut menyukseskan target pengurangan emisi oleh pemerintah melalui program Reduced emission from deforestation and degradation REDD+. Pendekatan pengembangan model yang dikembangkan pada penelitian ini sesuai dengan pendekatan pengembangan REDD+ di Indonesia yang ditampilkan pada gambar berikut. Gambar 2 Skema pendekatan pengembangan REDD+ di Indonesia Isu utama yang diangkat dalam pemodelan ini adalah pola pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Barat. Potensi sumberdaya hutan yang relatif besar ini mengundang berbagai pihak untuk memanfaatkannya, mulai dari pemerintah, masyarakat, dan pengusaha saling terkait pada pola penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan. Hal ini menghasilkan konsekuensi negatif terhadap kondisi hutan Provinsi Kalimantan Barat yaitu deforestasi dan degradasi hutan yang sulit terkendali. Kebutuhan lahan untuk alokasi penggunaan lain APL semakin meningkat dimana langsung mengurangi luas kawasan hutan. Pembangunan perkebunan membutuhkan lahan yang luas, juga menyumbang angka deforestasi yang signifikan. Pembalakan oleh pengusaha dan masyarakat baik legal maupun illegal menyebabkan degradasi hutan. Namun, dari data yang didapatkan menunjukkan bahwa luas kawasan IUPHHK-HA semakin berkurang setiap tahunnya. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Kalimantan Barat tercatat 4.395 juta jiwa SP 2010. Kepadatan penduduk sekitar 30 jiwaKm 2 . Tingkat kepadatan penduduk ini bila dibandingkan dengan tingkat REDD + DEFORESTASI DEGRADASI HUTAN PENINGKATAN STOK KARBON Penggunaan lahan untuk pertanian, pemukiman, dan pertambangan Izin Pemanfaatan HTI Pembalakan illegal HTR 8 kepadatan penduduk Provinsi Jawa Barat sebesar 1 159 jiwaKm 2 atau Sumatera Utara sebesar 181 jiwaKm 2 masih sangat rendah SP 2010, sehingga menjadi alasan Pemerintah Pusat menjadikan Provinsi Kalimantan Barat menjadi daerah tujuan transmigrasi dalam rangka pemerataan pembangunan dan penduduk. Hal ini tentu memacu tingkat kebutuhan akan lahan pemukiman dan berladang semakin bertambah. Tercatat hingga akhir 2011 pelepasan kawasan hutan untuk wilayah transmigrasi seluas 49 199 Ha. Selain itu, Provinsi Kalimantan Barat memiliki potensi kekayaan tambang yang tinggi. Jenis-jenis potensi tambang tersebut antara lain bauksit, emas, intan, bijih besi, tembaga, dan batu bara yang tentunya berada di dalam kawasan hutan. Sampai dengan akhir 2011 tercatat izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan tambang dan bukan tambang seluas 2 623 Ha yang memasuki tahap eksploitasi dan 3 239 Ha untuk tahap kegiatan eksplorasi Statistik Kehutanan 2011. Adapun ijin pinjam pakai kawasan di Kalimantan Barat adalah tanpa kompensasi berbentuk lahan namun dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP. Sumber daya lainnya yang secara langsung bersinggungan dengan sektor kehutanan terkait penggunaan lahan adalah perkebunan. Komoditas perkebunan unggulan yang dikembangkan antara lain adalah karet, kelapa sawit, kakao, kopi, dan masih banyak lagi jenis lain yang dikembangkan namun dalam luasan yang relatif lebih kecil. Data Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat untuk perkembangan luasan komoditas tersebut berturut-turut tahun 2010 adalah 550 616 Ha, 544 778 Ha, 27 496 Ha, dan 13 209 Ha Kalbar dalam angka 2010. Sementara itu sampai dengan akhir tahun 2011 pelepasan kawasan hutan untuk kawasan budidaya non kehutanan adalah seluas 224 040 Ha dan yang masih tahap perizinan seluas 78 047 Ha.

3.1.2 Tujuan

Tujuan pemodelan adalah membuat sebuah model dinamika sistem untuk memahami perubahan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan Provinsi Kalimantan Barat serta menduga pengaruhnya terhadap stok karbon. 3.1.3 Batasan Basis data yang digunakan pada penelitian ini adalah aktivitas penggunaan lahan di Provinsi Kalimantan Barat yang bersumber dari data Kementerian Kehutanan. Faktor perubahan tutupan lahan yang diakibatkan bencana alam seperti banjir dan kebakaran hutan tidak termasuk lingkup pemodelan.

3.2 Konseptualisasi Model

Model konseptual yang dikembangkan sebagaimana Gambar 3. Model yang dikembangkan terdiri dari tiga bagian model yaitu deforestasi Land Use Change, degradasi hutan, dan peningkatan simpanan karbon Enhance carbon stock. Bagian model deforestasi menggambarkan perubahan fungsi dan penggunaan kawasan hutan seperti pinjam pakai kawasan, tukar menukar kawasan, pelepasan kawasan hutan, dan alih fungsi kawasan hutan. Pengembangan bagian model ini 9 mengacu kepada peraturan-peraturan pemerintah yang berlaku pada saat tahun berjalan. Gambar 3 Model konseptual dinamika sistem yang dikembangkan Bagian model pertama menggambarkan bagaimana hutan di dalam kawasan hutan dikelompokan menurut fungsinya dan adanya kegiatan alih fungsi hutan di dalamnya, antara lain adalah hutan lindung HL, hutan konservasi HK, hutan produksi tetap HP, hutan produksi terbatas HPT, dan hutan produksi yang dapat dikonversi HPK. Bagian model kedua menggambarkan dinamika struktur tegakan yang terjadi di dalam hutan alam. Adanya kegiatan penebangan baik legal maupun illegal illegal logging mengakibatkan terjadinya dinamika tegakan yang dalam jangka pendek mengakibatkan degradasi hutan. Penebangan legal berasal dari izin konsesi hutan alam kepada pengusaha, yang kita kenal dengan IUPHHK-HA HPH. Selain itu pemerintah juga menerbitkan izin konsesi hutan alam kepada masyarakat dalam bentuk IUPHHK-HD Hutan desa dan IUPHHK-Hkm Hutan kemasyarakatan. Pengembangan bagian model deforestasi hanya dibatasi pada perkembangan HPH saja. Hal ini dikarenakan luasan HKm dan HD yang masih relatif kecil dan keterbatasan informasi mengenai sistem silvikultur yang dikembangkan pada HKm dan HD. Bagian model ketiga menggambarkan kegiatan pemanfaaatan lahan kurang produktif menjadi hutan tanaman baik dalam skala industri maupun skala kecil. Termasuk dalam bagian model ini adalah hutan tanaman industri HTI dan hutan tanaman rakyat HTR. Ketiga bagian model di atas terhubung langsung dengan pola penggunaan kawasan hutan. Kegiatan-kegiatan pada bagian model pertama secara langsung mengurangi luas kawasan hutan atau merubah fungsi kawasan hutan, sedangkan pada bagian model kedua dan ketiga sama sekali tidak mengurangi luas kawasan hutan atau merubah status fungsi hutan. 10 Setelah mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai dinamika yang terjadi pada bagian model-bagian model tersebut selama kurun tahun 2000 hingga 2011, maka data aktivitas DA dikonversi ke dalam bentuk stok karbon sesuai dengan metode perhitungan yang mengacu pada Intergovermental Panel on Climate Change IPCC 2006 untuk sektor Agriculture, Forestry and Other Land Use AFOLU. Nilai emisi atau serapan GRK didapatkan melalui perkalian antara data aktivitas DA dengan faktor emisi FE.

3.3 Spesifikasi model